Chapter 7 — Bento
Kehidupan
sehari-hariku cukup sibuk.
Pagi-pagi sekali, aku ada pekerjaan paruh waktu untuk mengantar koran, dan setelah
sekolah ada pekerjaan paruh waktu di Sandora.
Jika
memperhitungkan waktu untuk mengerjakan tugas sekolah, aku tidak mempunyai banyak waktu
luang.
Bisa
dibilang, hari-hariku yang penuh pekerjaan paruh waktu adalah kepuasan
pribadiku, meskipun mengenai sewa dan biaya sekolah,
Satonaka-san bilang kalau aku tidak
mencemaskan itu jika dibayar nanti...
tapi merasa nyaman dengan itu rasanya tidak benar.
Utang
harus segera dibayar. Aku ingin bisa dengan bangga mengatakan, “Berkatmu, aku bisa mandiri.”
Dan itu hanyalah sepuluh persen dari alasannya, tetapi Satonaka-san itu
menakutkan.
Ia
jelas adalah orang yang sangat berjasa, tetapi membuat utang yang tidak akan
bisa aku bayar seumur hidupku akan buruk untuk mentalku di kemudian hari.
Satonaka-san
menyarankan agar aku melanjutkan ke universitas setelah lulus SMA, tetapi aku
juga masih memikirkan hal itu.
Begitulah,
hari ini pun aku berangkat ke sekolah dengan terburu-buru.
Teman-teman
sekelasku, entah dalam
arti baik maupun buruk, tidak terlalu peduli dengan orang lain, hanya saling
menyapa dengan sedikit kata. Sepertinya tidak ada yang namanya perundungan.
Namun,
jika ada...
Sekilas, Aku
bertemu pandang dengan Miura-san yang berada di
dekat jendela.
Kami
memiliki satu janji, yaitu untuk tidak saling berbicara di sekolah.
Dia tidak
menjelaskan alasannya secara rinci. Hanya saja,
kami berdua sama-sama menyepakatinya.
“Selamat
pagi, selamat pagi, selamat pagi!”
Tiba-tiba
dari tepi pandanganku muncul
karakter lucu.
“Sepertinya
ada burung beo yang hampir rusak muncul...”
“Apa-apaan itu? Burung beo bisa rusak?”
“Entahlah.”
Saat aku sedang berurusan dengan karakter lucu Agena, Miura-san secara alami
mengalihkan pandangannya dariku dan kembali menatap keluar jendela.
“Hari
ini juga, lagi-lagi, mepet banget
ya.”
Karakter
lucu Agena menutup mulutnya dengan
lengan dan terlihat terkesan. Maksudku, tanganmu tidak keluar dari lengan baju,
sih. Dan mulutmu kecil banget.
“Aku
ingin tidur sampai batas terakhir.”
“Oh,
tapi itu untuk pekerjaan wapuh waktumu dan bukan
untuk sekolah, ‘kan?
Pukul berapa kamu bangun?”
“Jam
setengah empat.”
“Itu
masih dini hari, lucu banget.”
Satonaka-san
bilang itu masih lebih baik dibandingkan dengan nelayan.
Orang itu
pernah bercerita bahwa semasa kuliah, ia pernah bekerja di
kapal penangkap tuna. Ia sempat
membicarakan utang, jadi aku tidak menanyakannya lebih jauh.
“Sebelumnya
aku tidak bertanya, tapi... bagaimana dengan
makananmu?”
“Aku
makan dengan cukup baik. Karena itu demi
adikku juga.”
“Oh,
adik yang terkenal itu. Imut?”
“Bagiku
sih.”
“Eh,
hmm~, begitu ya.”
“Agena?”
Agena yang berayun maju mundur seperti pendulum,
terlihat sedang melamun sambil menatap ke arah atas. Tutup mulutmu yang terbuka
lebar itu.
“Ehm,
begini, kalau kamu tidak keberatan, boleh aku bertanya?”
Tumben-tumbennya
Agena tidak menatap mataku dan dia
menggosok-gosok lengan bajunya.
Tingkah
lakunya mirip seperti saat Arisa mengaku telah mengompol… Saat
aku berpikir hal yang tidak sopan seperti itu,
“Bagaimana
kalau aku membuatkanmu bento?”
“Eh?”
“Yah, maksudku, aku penasaran apa kamu membutuhkannya gitu?
Karena adikmu pasti juga kesulitan, ‘kan?
Saat bekerja, mungkin kamu lapar? Jadi, bagaimana kalau hanya makanan ringan?”
“...Begitu
ya.”
“Gimana...?”
Dia memiringkan kepalanya dengan lembut. Melihat Agena yang menunggu jawabanku, aku
merasa terkesan.
Atau
lebih tepatnya, aku merasa
tidak enak hati karena berpikir seperti itu.
Apa yang
harus kukatakan, aku tidak pernah mengira dia akan menjadi karakter seperti
ini.
Aku
bahkan tidak berpikir dia akan memperhatikanku dan begitu peduli padaku.
“Terima
kasih, Agena. Aku menerima niat baikmu.”
“Yay, hore… eh, niat baik?”
“Ya,
untuk hal-hal seperti itu, aku sudah cukup.”
Miura-san
memang sosok yang penuh perhatian. Begitu dia tahu tentang situasiku, dia
langsung berusaha memenuhi kebutuhan hidupku. Dia menggantikan waktu yang
dihabiskan untuk makan dan persiapannya.
Dalam
arti itu, aku hanya bisa berterima kasih kepada Miura-san
“Ah, oh,
begitu ya! Ma-Maaf
ya, aku jadi tanya-tanya hal aneh.”
“Tidak,
aku tidak mengira kamu akan
memikirkan hal seperti itu. Terima kasih.”
“Kamu
tidak memuji, kan?”
Dia
tertawa, memberi sedikit dorongan padaku, lalu kembali ke tempat duduknya
dengan cara yang biasa.
Ada perasaan sedikit bersalah, tapi terima kasih
banyak, Agena.
Mungkin
karena aku tenggelam dalam perasaan hangat seperti itu.
“...aku masih sempat enggak, ya.”
Aku tidak
mendengar gumaman Agena.
“...dia,
ya.”
Saat itu,
aku bahkan tidak menyadari kalau Miura-san sedang melihat ke arah Agena.
†
† †
“Ini,
bento♡”
“Eh, ohj.”
Hari itu,
Miura-san yang menyerahkan bento padaku tampak sangat senang.
“Terima
kasih banyak.”
“Tidak
apa-apa, aku melakukan ini karena suka.
Setelah
tersenyum, dia sepertinya teringat sesuatu dan menambahkan.
“Kalau
tidak menyukainya, mana
mungkin aku akan bisa terus melakukannya, dan itu akan menjadi
beban.”
“Eh, ah,
iya.”
Sepertinya,
dia tidak merasa terbebani. Meskipun itu terlalu menguntungkan bagiku dan
membuatku khawatir, sayangnya aku tidak punya pilihan lain.
Setiap
pilihan selain bergantung pada Miura-san akan membebani Arisa.
“Hmm~♪hmm~♪”
Miura-san
bersenandung sembari mencuci
wajan yang telah digunakan.
“Hal yang
paling melegakan adalah ketika aku
mendengar kalau itu tidak membebanimu, Miura-san.”
“Jangan mengatakannya seolah-olah seperti, ‘tapi
sedikit banyak menjadi beban,’ ya. Sebenarnya tidak ada beban sama sekali.”
“Meskipun kamu bilang begitu…”
Sedangkan
untuk biaya makanan, semuanya
itu berasal dari gaji kerja paruh waktuku.
Miura-san
sendiri juga selalu memberikan lebih dari cukup saat makan.
Belum
lagi, dia menghabiskan waktu untuk memasak di rumah kami.
Bisa
dibilang, dia lebih tahu tentang dapur daripada aku, dan tanpa kusadari, tiba-tiba ada alat masak
yang tidak aku kenal yang muncul di dapurku.
Miura-san yang masih dalam suasana hati yang ceria
berkata sambil tersenyum,
“Jika
seseorang berusaha terlalu keras untuk melakukan sesuatu untuk orang lain, meskipun itu diluar kemampuanmu, hal
itu bisa menjadi
beban. Misalnya, seseorang yang sepertinya belum pernah memasak tiba-tiba ingin
melayanimu.”
Hmm?
Sepertinya ada hal semacam itu yang
baru-baru ini terjadi.
“Bagiku, ini
adalah bagian dari hobiku. Hanya
dengan melihat Arisa senang, aku juga ikutan
bahagia, dan itulah arti memasak.”
Dia mengemukakan pendapatnya dengan
tenang sambil mencuci piring.
“Menghabiskan
waktu bersama orang-orang
yang kita suka dan kepuasan melihat mereka menikmati apa
yang kita buat, itu hanya kebetulan bermanfaat.”
“Begitu
ya.”
...Tunggu,
apa dia baru saja dengan santai
menyebutkan orang yang disukainya?
“Ada
apa, Maizono?”
“Tidak,
bukan apa-apa.”
Nanti...
maksudku, apa itu
sekarang? Atau tentang hal sekarang?
“Hehe.”
Miura-san
yang tampak senang itu, rasanya pipinya sedikit memerah... jadi, aku tidak tahu
harus berkomentar bagaimana.
Meskipun
dia tampak senang, dia mengalihkan wajahnya dariku dan kembali fokus pada
mencuci piring.
Pria yang
bijaksana tidak tahu harus berbuat apa dalam situasi seperti ini.
“~♪”
Hanya
saja, sepertinya suasana hati Miura-san
tampak sangat bahagia hari ini.
“Kurasa
mungkin ada hal yang baik terjadi.”
"Hmm?”
Pita
besar di belakang celemek
yang terikat di punggungnya bergoyang pelan.
“Apa
ada sesuatu yang baik terjadi?”
“Hm~?”
Dia
bersandar ke belakang seolah-olah
meletakkan kepalanya di pundakku.
Miura-san
menatapku.
Ternyata
dia tidak setinggi itu. Biasanya, karena pesonanya, dia terlihat seperti wanita
cantik yang percaya diri.
Dia setidaknya satu senti lebih
pendek dariku, jadi sekarang kepalanya dekat dengan dadaku...
Bulu
matanya tampak panjang. Bahkan jika dia
terbalik, wajahnya tetap terlihat imut.
“Ya,
mungkin.”
Wajah
imutnya itu tersenyum nakal seperti
kucing.
Setelah
mengucapkan itu, kepalanya kembali ke posisi semula. Dua sisi rambutnya yang
berkilau bergerak lembut.
“...”
Tidak, yah, meskipun ada bagusnya kalau suasana hatimu sedang
senang, tapi jantungku tidak bisa menahan ini.
“Itu
bukan hal yang terlalu sulit.”
Setelah
selesai mencuci piring, dia mengeringkan tangannya dengan handuk yang
tergeletak.
Gerakan
itu sudah sangat akrab baginya, seolah-olah
itu adalah sesuatu yang biasa.
Aku berusaha untuk tetap tenang, tapi itu memakan waktu.
Entah dia
mengetahuinya atau tidak dengan perasaan batinku, Miura-san
melanjutkan.
“Sepertinya
aku sekali lagi menyadari bahwa aku pantas berada di sini.”
“???”
“Jika seandainya
keadaannya sedikit buruk, tempat yang aman
ini bisa saja diambil oleh wanita yang tidak aku kenal, atau bisa dibilang,
kursi yang aku duduki ini bisa jadi ada persaingan untuk mendapatkannya.”
“Eh?”
Aku masih sedikit tidak paham maksud perkataannya...
“Apa
ini alasan yang tidak bisa kamu ceritakan padaku?”
“Bukannya
begitu sih. Tapi yah, jika Maizono tidak
menyadarinya, aku juga bisa bijak untuk tidak mengatakannya... mungkin.”
Begitu
ya. Ya, jika itu adalah sesuatu yang tidak bisa diungkapkan, ya sudah. Meskipun
sedikit membuatku merasa sedikit kesepian.
“Tapi!”
Miura-san
berbalik dengan semangat. Begitu dia berbalik, matanya terbelalak.
“Jangan
cemberut begitu!”
“Aku
tidak cemberut.”
“Jangan bohong!
...Eh, bukan itu maksudku! Yang jelas, semua ini berkat dirimu!”
“Aku?”
“Ya!”
“Hanya
saja, alasannya tidak jelas.”
“Di
situ agak rumit. Cukup terima saja rasa
terima kasihku.”
“Meski kamu
bilang begitu...”
Miura-san
menurunkan alisnya dengan ekspresi curiga.
“Kalau
kamu penasaran, aku bisa saja memberitahumu...”
“Tidak,
aku tidak ingin kamu memaksakan diri untuk memberitahu. Hanya saja...”
“Hanya saja?”
“Jika
sesuatu yang aku lakukan bisa membuat Miura-san
bahagia, kupikir aku harus melakukannya lebih sering.”
Akan
lebih membantu jika ada reka ulang.
Setelah
aku mengatakannya, matanya yang besar berkedip dua atau tiga kali. Bulu matanya
bergetar.
“...Ahaha.”
Dia
tersenyum lebar dan tiba-tiba menempelkan tubuhnya padaku.
“Dasar!”
Bukan
hanya kembali, bahunya yang menempel tetap berada di dadaku.
Aroma
lembut seperti sabun darinya tercium.
“M-Miura-san?”
“Jangan
terlalu sering mengatakan hal-hal seperti itu pada gadis sepertiku.”
“Eh,
maksudnya apa?”
Gadis yang
seperti Miura-san.
Satu kata
yang terlintas di pikiranku adalah tipe Jiraikei,
tapi Miura-san jelas-jelas bukan gadis yang
seperti itu.
“Maksudku yang seperti ini...”
Kepalanya
miring, dan aku bisa melihat bagian bawah kepalanya di bawah daguku.
Aku tidak
tahu ekspresi wajahnya seperti apa.
Uh, atau,
hmm, sepertinya dia sedang berusaha untuk mengungkapkan sesuatu, jadi aku tidak
bisa bergerak. Apa yang harus aku lakukan? Tangan bebasku mencari tempat,
tetapi akhirnya hanya menggantung.
“Jadi...
aku ingin memiliki tempat... kalau diperlakukan baik, aku bisa jadi sangat tergoda...
dan aku juga punya rasa kepemilikan yang kuat... eh?”
“Miura-san?”
Entah
kenapa, tampaknya Miura-san terdiam.
“Apa karena aku ini gadis jiraikei dan
menhera?”
“Mu-Mustahil!?!?”
Miura-san
seharusnya bukanlah tipe orang
yang mirip seperti barang terkutuk yang pernah dikatakan Agena!
“Habisnya,
lihatlah.”
“Meskipun
kamu bilang begitu...”
Sambil masih tetap menempel satu sama lain, aku merasakan kalau detak
jantungku menjadi sangat kacau.
Lebih
tepatnya, telinganya yang bersentuhan dengan dadaku yang tegang membuatku
merasa malu... Kenapa dia tidak menjauh, sih...?
“…Karena
satu kata yang kamu katakan
barusan...”
“Satu
kata?”
“Aku
jadi tidak bisa bergerak...”
“Apa
maksudmu?”
Apa yang
dia maksud dengan “perkataanku”
yang dia sebutkan?
“Apa
maksudmu dengan kamu tidak bisa bergerak?”
Sebaliknya,
jantungku berdetak kencang seperti orang bodoh.
“Aku
jadi tidak ingin bergerak... Kamu mengerti,
‘kan...?”
“…”
Tidak
ingin bergerak. Ingin tetap seperti ini.
Jika itu
adalah keinginan Miura-san, maka tidak ada alasan bagiku untuk menjauhkannya.
Lebih
teoatnya, maksudku, karena aku merasa tegang, aku tidak mempunyai alasan
untuk menjauhkan Miura-san yang “memohon” padaku.
Hanya
saja, hal seperti ini... jika pengetahuanku benar... biasanya hal semacam ini biasa dilakukan
oleh pasangan kekasih.
Pengetahuanku
berasal dari drama percintaan yang ditayangkan di televisi, jadi sebenarnya aku
tidak tahu.
Aku juga
merasa pernah mendengar bahwa ini adalah hal yang biasa di luar negeri, tetapi
ini Jepang. Atau mungkin aku yang ketinggalan informasi dan globalisasi sedang
berlangsung...!?
“Mm...
Maaf. …Ei!”
Setelah
waktu yang lama, tiba-tiba panas dari dadaku menghilang. Hanya saja Miura-san
menjauh, tapi entah kenapa, perasaan kehilangan ini datang.
Maksudku,
hanya Miura-san yang menjauh, kenapa dia bisa menempel?
Ketika
dipikir-pikir, apa yang sebenarnya terjadi?
Apa dia
menyukaiku!? Secara romantis!
“Ah...
aku sudah terjebak dalam situasi ini, ya...”
Miura-san
yang menjauh, memegang dadanya yang tampak lembut dan berbisik seperti itu.
“Aku
merasa kalau jantungku hampir mau copot.”
“Eh,
kenapa? Apa kau merasa berdebar-debar?”
Dia
mendongak dengan ceria dan berkata dengan nakal.
Wajahnya
yang lebih bersemangat dari biasanya terlihat menggoda, sama seperti setelah mandi.
“Ya itu sih,.... tidak kurasa kamu sudah
mendengarkannya sendiri melalui telingamu, ‘kan?”
Setelah
aku berkata begitu, Miura-san berkedip satu atau dua kali, lalu menutupi
mulutnya dan mengalihkan tatapan.
“…Maaf,
aku juga bertingkah sedikit aneh, jadi aku tidak menyadarinya.”
“Itu…
baiklah…?”
Sejenak,
kami terdiam selama beberapa saat.
Satu-satunya
suara yang terdengar hanyalah suara kipas angin tua yang
terpasang berputar yang terdengar pelan.
“Eh,
aku pulang duluan ya. Maaf ya, rasanya
jadi terasa aneh begini.”
“…Tidak,
ehm...”
Aku entah
kenapa menghentikan Miura-san yang sedang berusaha melepas celemeknya dengan canggung.
Setelah
ini aku juga ada kerja, dan meskipun aku menahannya, tidak ada yang bisa
dilakukan.
“Apa ada hal
lain lagi yang ingin kamu
bicarakan?”
Dia
tersenyum canggung, seolah merasa malu.
Ekspresi
ambigu Miura-san itu... bagaimana aku harus mengatakannya.
Aku tidak
yakin apakah ini benar, tapi... aku menginginkannya.
“Kamu bilang kalau kamu itu mungkin gadis
jiraikei, ‘kan?”
Aku
mengucapkan sesuatu yang tidak jelas.
“Eh,
iya.”
“Itu..., aku pernah mendengar ada yang mengatakan kalau orang yang
seperti itu lumayan parah. Aku berpikir Miura-san bukan
orang seperti itu.”
“…?”
Dia
tampak bingung tentang apa yang ingin aku katakan. Aku juga tidak tahu apa yang
ingin aku sampaikan.
“Aku
ingin kau menunjukkan bahwa kamu
bukan seperti itu, atau bahwa seharusnya ada waktu untuk hal seperti itu.”
Aku, yang
sudah tidak tahu lagi apa yang aku bicarakan.
Lihat tuh, Miura-san juga jadi terlihat kebingungan──.
“Hehe...”
Miura-san
tertawa kecil.
“…Ya,
memang begitu. Memang benar.”
Dia
mengangguk dan kemudian tersenyum. Menggaruk pipinya, tampak sedikit malu.
“Kamu bilang kalau kamu ingin mengenalku lebih baik.
Memang perlu waktu untuk itu.”
“Ah,
iya. Itu benar.”
Setelah
mengangguk, aku menyadari.
Aku hanya
mencari alasan untuk tinggal bersama Miura-san.
Setelah
semua yang dia lakukan untukku, aku masih saja berani.
Dan
Miura-san pasti menyadari hal itu dan tetap bersikap baik padaku.
“Kalau
begitu, lain kali… saat kamu punya waktu luang di
suatu sore hari… itupun kalau kamu tidak
keberatan?”
Dia memiringkan kepalanya dan melihatku
dengan senyum nakal.
Tidak ada
alasan untuk menolaknya.
“Ah,
itu janji.”
Ketika
aku mengangguk, Miura-san menempatkan tangannya di mulutnya dan tersenyum
anggun.
“Ahaha.
Ini bukan hal yang perlu dipersiapkan.”
Setelah
itu, dia memberi sapaan,
“sampai jumpa”, dan aku mengantar Miura-san yang meraih
pegangan pintu depan.