Bab 10 — Rahasia Kecil Mereka Berdua
Mahiru
duduk sendirian di dalam bak
mandi, lututnya menempel ke dadanya. Termenung di
dalam pikirannya, dia berjuang mati-matian menahan
keinginan untuk berteriak, kewalahan dengan skenario nyata yang muncul di benaknya
tentang apa yang akan segera terjadi.
Meskipun
aku sendiri yang mengajukan ide ini,
aku malah seperti
ini.
“…Malam
ini, bolehkah aku tidak pulang…?” Setelah mengumpulkan
keberaniannya, Mahiru mengucapkan kata-kata tersebut
pada malam terakhir festival budaya. Amane, meski ragu-ragu, tetap menyetujui
permintaannya.
Berbeda
dengan saat mereka berada di rumah keluarga Amane, dia telah memutuskan untuk
menghabiskan malam bersama sebagai sepasang kekasih—sebuah sentimen yang
tampaknya dipahami oleh Amane. Di awal-awal hubungan mereka, Amane pasti akan dengan tegas menolaknya,
wajahnya memerah karena malu. Namun sekarang, ia menerima permintaannya, meski
dengan sangat enggan. Hal ini menunjukkan bahwa perasaannya terhadap Mahiru
semakin dalam sehingga Ia
tidak bisa lagi menutup mata terhadap cinta dan hasratnya terhadap Mahiru.
Meskipun
Mahiru tahu bahwa dirinya tidak
begitu paham tentang hal-hal begituan,
karena dia lebih cuek untuk gadis seusianya, dia bukannya tidak tahu apa-apa.
Dia memahami hasrat yang bisa dimiliki pria seperti Amane dan seberapa keras ia berusaha
mati-matian untuk menekan hasrat tersebut, dan menerimanya sebagai hal yang
wajar. Amane mendorong hawa nafsunya kecuali cintanya
pada Mahiru, tapi hal tersebut sudah di ujung tanduk.
Mahiru sadar bahwa kemungkinan keintiman akan meroket begitu mereka memutuskan
untuk menghabiskan malam bersama. Mahiru
sadar, jika terjadi sesuatu yang memutuskan benang itu, dia akan segera menjadi
makanan penutup. Walaupun demikian,
kemungkinan itu adalah sesuatu yang sudah dia persiapkan, dan karena itu, dia
memohon untuk menghabiskan waktu bersama Amane.
…Bukannya
aku ingin bertingkah agresif
atau semacamnya.
Mengingat
apa yang dia katakan saja sudah membuat Mahiru merasa malu setengah mati hingga dia
membenamkan mulutnya ke dalam bak mandi dan meluapkan rasa malunya dengan
napasnya. Namun, ketika dia menyadari kembali kalau
pernyataannya yang keterlaluan dan situasi saat ini
berangsur-angsur mereda, rasa malunya semakin bertambah.
Mahiru
tetap berendam di bak mandi untuk merawat tubuhnya setelah Amane keluar lebih
dulu. Itu hanya rutinitasnya yang biasa, tapi dari sudut pandang Amane,
sepertinya dia melakukan upaya ekstra. Meskipun mungkin terdengar seperti
alasan yang tidak perlu, dia tidak meminta untuk menginap karena dia ingin
melakukan aktivitas bercinta. Mahiru cuma
ingin berada di sisinya dan merasakan kehangatannya, untuk menutupi kekurangan Amanenium yang dia
rasakan selama festival budaya. Dia belum tentu mencari tindakan spesifik itu.
Memahami bahwa ada kemungkinan besar untuk dicintai baik secara fisik maupun
emosional sebagai hasil dari keintiman mereka, Mahiru
bersedia menerima segala sesuatunya apa adanya.
“…Uuu,”
erangnya, suaranya teredam dan bergema di kamar mandi. Terlepas dari tekadnya,
rasa malu yang muncul di dalam dirinya tak terkendali. Mahiru masih sama seperti gadis lain
seusianya. Bukannya dia tidak pernah mempunyai fantasi semacam itu.
Dia menebak kenapa Amane kadang-kadang merasa tidak nyaman untuk menjauh saat
terjadi kontak dekat. Ketika itu terjadi, dia kadang-kadang menyadari kehadiran
sesuatu tertentu. Karena ini, atau mungkin berkat itu, dia samar-samar
membayangkan Amane membuktikan cintanya secara fisik.
Pengetahuan
Mahiru tidak mencakup informasi tentang aktivitas
begituan.
Pemahamannya hanya terbatas
pada buku teks kesehatan dan manga shoujo yang dipinjam dari temannya, Chitose. Meskipun dia memahami
mekanisme hubungan s*ksual,
dia gagal membayangkan hal tersebut di
dalam pikirannya. Pengetahuannya yang terbatas membuatnya membayangkan hanya
disentuh, dipeluk dalam keadaan telanjang, atau dibungkus dengan seprai. Meski
begitu, bagi Mahiru, bayangan itu saja sudah cukup merangsang dan membebani pikirannya. Pikiran
bahwa sesuatu yang lebih hebat bisa terjadi padanya membuat jantungnya berdebar
kencang tak terkendali.
Dia
secara naluriah memegangi dadanya. Di luar kekenyalannya yang lembut, dia
merasakan denyut yang kuat datang dari hatinya. Mahiru
sadar bahwa ketegangan di hatinya setengah karena ketegangan dan setengah lagi
karena antisipasi, rasa malunya masih membara di dalam dirinya.
…Aku ingin menanggapinya. Ya, tapi…
Dia
mengerti betul bahwa Amane adalah orang yang
gampang sungkan dan berhati-hati, menghormatinya
sampai-sampai tidak melakukan pendekatan fisik.
Hasrat tersembunyi Amane
bukan sekedar dorongan fisik namun berasal dari cinta tulusnya kepada Mahiru. Itu sebabnya Mahiru
ingin meresponsnya, mempercayakan dirinya sepenuhnya padanya, dicintai baik
jiwa maupun raga, untuk menjadi milik Amane seutuhnya.
Tetap saja, meski begitu, dia tidak bisa mengatakan dengan pasti bahwa dia
tidak memiliki perlawanan sama sekali.
…Oh,
benar, aku harus segera meninggalkan kamar mandi. Jika tidak cepat-cepat,
Amane-kun mungkin akan merasa canggung.
Sementara
Mahiru dibuat gundah dan menggeliat di kamar
mandi, Amane menunggu di ruang tamu. Dia tidak ingin membuat kekasihnya menunggu. Hatinya masih
gelisah, dia meyakinkan dirinya untuk membiarkan segala sesuatunya terjadi
sebagaimana mestinya dan melangkah keluar dari bak mandi.
Apapun
yang terjadi, biarlah terjadi.
Setelah
membiarkan tetesan yang menempel di tubuhnya diserap dengan lembut oleh handuk,
Mahiru mengoleskan krim pelembab
ke atas kulitnya dan melanjutkan
rutinitas perawatan kulit wajahnya. Dia harus berhati-hati agar tidak terlalu
antusias dalam persiapannya, agar tidak terlihat jelas, tapi mau tak mau dia
harus teliti dalam memeriksa tubuhnya. Sambil memastikan tekstur kulitnya yang
super lembut dan berkilau sehabis mandi, dirinya lalu melirik baju ganti di keranjang.
Dia membawa dua jenis pakaian tidur.
Salah
satunya adalah piyama jenis daster
selutut dengan tambahan kardigan
renda, dipilih berdasarkan preferensi Amane. Dasternya membiarkan bagian tulang belikatnya terbuka, namun kainnya
tidak tembus pandang dan menonjolkan garis tubuhnya dengan baik—tidak terlalu
banyak, tidak terlalu sedikit. Kardigan yang dikenakan di atasnya mengatur
tingkat keterbukaannya. Terbukti dari sikap
Amane yang biasa bahwa Ia lebih menyukai pakaian seperti itu, lebih menyukai
pakaian sederhana yang mempertahankan kesan elegan dibandingkan pakaian yang
secara terang-terangan menekankan keseksian.
Dengan kata lain, dia menyukai hal-hal yang rapi dan polos.
Mempertimbangkan
hal itu, aku mungkin harus menyimpan yang
satu ini.
Mahiru
melirik sekilas ke arah beju tidur
lainnya yang telah dia persiapkan,
tersembunyi di bawah baju tidur lain
seolah-olah untuk menyembunyikannya, dan mengarang alasan dalam pikirannya. Dia
telah—untuk berjaga-jaga—mempersiapkan sesuatu ketika satu hal mengarah ke hal
lain. Itu benar-benar untuk berjaga-jaga. Mahiru membelinya karena didorong
oleh desakan Chitose bahwa “tidak ada ruginya memilikinya kalau-kalau ia
yang memulai sesuatu.” Baju tidur
lainnya—atau lebih tepatnya, lingerie—jauh
lebih sensual daripada yang pertama. Itu adalah sesuatu yang takkan dipakai oleh Mahiru yang waras. Kainnya, karena tipis,
transparan dan desainnya akan dengan mudah memperlihatkan apa yang seharusnya
disembunyikan dengan sedikit pergeseran. Tampaknya terlalu tidak bisa
diandalkan.
Dalam
benak Mahiru, muncul di hadapan Amane dengan mengenakan
pakaian itu akan terlihat terlalu berdampak—itu
akan menimbulkan semangat dan kemungkinan besar akan membuatnya jijik. Selain
itu, mengenakan pakaian memalukan seperti itu adalah hal yang tidak pernah terpikirkan Mairu. Meskipun itu adalah ide
Chitose, dan Mahiru masih merasa bodoh bahkan karena membelinya, dia takut
bagian dirinya mungkin akan memakainya untuk menyenangkan Amane.
A-Ayo
pakai yang jenis cardigan saja hari ini…
Fakta
bahwa aku bahkan membeli sesuatu seperti ini…bukannya itu membuatku sangat nakal?
Sambir berusaha menjauhi
pemikiran itu, Mahiru
meraih baju piyama yang lebih sederhana.
✧ ₊
✦
₊ ✧
Pada
akhirnya, memilih daster biasa mungkin merupakan keputusan yang tepat. Amane
sedang menonton TV di sofa seperti biasa, tapi ketika Mahiru mendekat dan Ia
mendongak, pipinya terlalu memerah untuk dianggap sebagai kehangatan setelah
mandi. Saat melihat penampilan
Mahiru, Ia tampak santai, sepertinya lega karena Mahiru tidak terpengaruh oleh
ide Chitose.
Namun dia yang menyemangatiku, sih.
Mahiru
senang dia tidak mengenakan pakaian lain itu. Seandainya Mahiru benar-benari memakainya, Amane
pasti takkan berani menatap
matanya. Dia bahkan tidak memiliki kepercayaan diri untuk tampil di hadapan Amane dengan pakaian seperti itu.
Tatapan Amane yang tampak antara kelegaan
dan sedikit kegembiraan, bukanlah hal yang tidak menyenangkan baginya, tapi
masih terasa canggung terlihat mengenakan piyama
di tempat yang begitu terang. Mahiru memang sering mengenakan
piyamanya di rumah keluarga Amane,
tapi itu hanya pakaian biasa yang sengaja dibuat minim paparan. Itu memang
memalukan, tapi pakaian ini berada pada level yang berbeda.
Ketika
Mahiru merasakan kalau tatapan
Amane menelusuri lekukan piyamanya,
dia menyusut sedikit, tapi tidak bersembunyi, mengingat dia telah memakainya
agar Amane melihatnya.
“A-Apa
ini terlihat aneh?” dia bertanya, meskipun dia tahu dari reaksinya bahwa bukan
itu masalahnya.
Salah
mengartikan hal itu sebagai kecemasan, Amane dengan lembut menggelengkan
kepalanya dan berkata, “Tidak sama sekali.
Malahan itu
kelihayan lucu dan cocok untukmu. Aku hanya berpikir kalau
itu berbeda dari yang kamu kenakan di rumah orang tuaku.” Usai mengatakan itu, Amane terus mengamatinya, meski dengan
penuh kehati-hatian.
“T-Tentu
saja aku takkan memakai pakaian seperti ini
di rumah orang tuamu. Tapi, erm, hanya kamu yang bisa melihatku sekarang,
Amane-kun, jadi aku… berusaha sedikit lebih keras.”
Mengatakan
bahwa dia memakainya untuk Amane tidak sepenuhnya benar. Dia mengakui bahwa
sebagian dari dirinya ingin menyenangkan kekasihnya,
untuk membangkitkan perasaannya dengan pakaian seperti itu. Pikiran itu sendiri
membuatnya gelisah karena malu, tapi Amane mengalihkan pandangannya dengan
malu-malu setelah mendengar
perkataan Mahiru.
Mereka
berdua sadar akan rasa malu mereka, tapi tidak ada kemajuan jika terus begini,
jadi Mahiru dengan ragu-ragu mendekat untuk duduk di sampingnya. Sementara
Amane tampak agak tegang, tapi Mahiru
ingin lebih dekat dengannya, menyentuhnya, jadi dia dengan hati-hati bersandar
pada tubuh Amane.
Dalam
keadaan normal, jarak ini akan terasa lebih alami, namun perpaduan antara
ketidakpastian dan harapan
mengenai apa yang mungkin terjadi selanjutnya membuat keduanya tegang. Amane,
yang jelas-jelas dalam keadaan
kaku, tampak berusaha bersikap normal, menerima kedekatan Mahiru tanpa menarik
diri, yang membuatnya merasa tenang.
“…Sejujurnya,
aku khawatir dengan apa yang akan kulakukan jika kamu datang dengan mengenakan
pakaian tidur yang sangat berani.”
Peengakuan Amane yang begitu tiba-tiba membuat tubuh Mahiru merinding. Tentu saja, itu
adalah reaksi yang tidak dapat dihindari.
“Sebenarnya
aku sudah mempertimbangkannya.” Mahiru
tidak hanya mempertimbangkannya—dia sebenarnya sudah
membelinya dan membawanya sekarang juga. Tentu saja, mengakui hal semacam itu merupakan sesuatu
yang tidak
mampu dilakukan Mahiru.
“Mahiru…”
“Tapi,
erm… A-Aku pikir jika aku terlalu…agresif
dalam mengenakan pakaianku, itu mungkin akan membuatmu bergidik ngeri.”
Meskipun dia menahan diri karena alasan yang
disebutkan di atas, Mahiru sempat memikirkan
apa Amane mungkin berharap dia mengenakan sesuatu yang lebih provokatif. Namun,
dia merasa terlalu malu untuk mengenakan pakaian yang mencolok dan sugestif
saat pertama kali mereka bersama. Dia bergumam, “Aku yakin akan hal itu,”
sambil mengingat piyamanya—bukan,
lingerie—masih bukan, benda yang
nyaris tidak menyembunyikan apa pun yang dia sembunyikan di bawah pakaian gantinya.
Amane,
membayangkan apa yang dimaksudnya, wajahnya semakin memerah. “…Aku takkan bergidik ngeri dengan
hal itu. Aku justru senang ketika
mengetahui kalau kamu
memakainya hanya untukku, Mahiru.”
“A-Aku
takkan memakainya, oke?”
“Kamu takkan memakainya?”
“Kamu ingin
aku memakainya?”
Mendengar sedikit kekecewaan dalam suaranya, mau
tak mau membuat Mahiru bertanya.
…Kupikir
itu mungkin terlalu merangsang bagi Amane-kun.
Selain
jumlah kainnya yang minim, yang paling mencolok adalah desainnya yang sengaja
menampilkan area yang biasanya tertutup. Itu adalah jenis benda yang bisa
membuat seseorang pingsan saat mereka melihatnya. Amane mungkin membayangkan
sesuatu yang tipis dan berenda, dan meskipun Mahiru juga menganggap
barang-barang seperti itu bersifat cabul, apa yang dibawanya bahkan lebih
berani—barang itu dirancang khusus agar mudah memamerkan
kulitnya. Kemungkinan besar hal itu
bahkan lebih parah dari apa
yang dibayangkan Amane.
“Tidak, yah, suatu hari nanti…aku ingin
melihatnya. Jika kamu merasa waktunya sudah tepat, Mahiru, silakan tunjukkan
padaku,” jawabnya.
“Kalau
begitu… suatu hari nanti, oke?”
“Ya,
suatu hari nanti… Kita tidak perlu terburu-buru untuk saat ini.”
Meski
lega karena Amane punya keinginan untuk melihatnya namun mundur begitu saja,
Mahiru juga merasa dilema.
Dia menghargai sikap Amane dalam
menghormati keinginannya, tapi mau tak mau dia melontarkan tatapan
bertanya-tanya apa itu benar-benar tidak masalah bagi seorang pria sejati. Saat
Amane memiringkan kepalanya sebagai
jawaban, Mahiru hanya
menjawab, “Bukan apa-apa.”
Amane
lalu tersenyum lembut, sambil menggenggam tangan Mahiru ke telapak tangannya
yang besar. Meskipun dia mengetahui kalau itu cara
Amane untuk menenangkannya, mengingat situasinya, dia masih
merasa tegang untuk sesaat. Namun, kehangatan lembut segera meluluhkan
kekakuannya. Tindakannya itu merupakan
pesan diam yang memberitahu Mahiru
untuk tidak terlalu khawatir tentang hal itu, menghangatkan hatinya dan membawa
senyuman lembut di bibirnya.
Jantungnya
terus berdebar kencang, tapi tidak sakit lagi. Itu adalah sensasi lembut yang,
meski sedikit menyempit, menimbulkan perpaduan antara rasa manis dan
kebahagiaan. Anehnya, meski memiliki pikiran yang jernih, ada perasaan yang
bertentangan dengan hal itu. Mahiru
tenggelam dalam euforia, pikirannya mulai mencair. Tapi lebih dari segalanya,
dia sangat merasakan kepedulian Amane padanya, dan dengan perasaan bahagia itu,
dia menyandarkan kepalanya ke tubuh Amane.
Pandangannya
tertuju pada televisi yang terus menyampaikan berita dengan suara monoton.
Layar tersebut menampilkan presentasi yang jelas dan berbeda tentang peristiwa
terkini yang terjadi di sekitar mereka. Namun, tidak ada satupun yang
benar-benar masuk ke dalam kepalanya,
kemungkinan karena kehadiran di sampingnya. Amane juga dengan sangat lembut mendekat
ke arah Mahiru, tidak terlalu condong, melainkan pelukan yang halus dan hampir
penuh kasih sayang. Mereka mendengarkan suara mantap pembawa berita,
menghabiskan waktu dengan tenang.
Hati
mereka yang tadinya gelisah menemukan ritme yang menenangkan, dengan nyaman berdetak satu sama lain ke dalam keadaan
menenangkan. Merasakan detak jantungnya kembali ke kecepatan yang biasa, Mahiru
merasa tenang dengan panas tubuh Amane dan sentuhan jari-jarinya. Kemudian, dia
menyadari adanya perubahan halus pada cara jari-jemari
Amane ketika menyentuhnya. Sentuhan yang dulunya menenangkan
dan menyelimuti, kini secara halus berubah menjadi sesuatu yang berbeda. Dia
tidak hanya menahan tangannya di tangannya—jari-jarinya menyelinap di antara
jari-jari Mahiru seolah
mencarinya, menangkap tangannya. Sikap ini bukan berarti tidak melepaskan,
melainkan tidak ingin berpisah. Mahiru diam-diam membalas tangannya dengan
erat.
“…Kurasa sudah waktunya. Ayo kita tidur.”
Tergerak
oleh nada lembut dari kata-katanya yang lembut, Mahiru diam-diam menggenggam
tangan Amane sekali lagi.
✧ ₊
✦
₊ ✧
Tanpa
didesak maupun dipandu Amane, Mahiru dengan lembut terus memegang
tangannya dan memasuki kamar tidurnya, dipandu oleh kemauannya sendiri.
Terlepas dari tekadnya, Mahiru masih
merasakan ketegangan dan rasa malu yang meningkat, jadi untuk mengalihkan
perhatiannya, dia melihat sekeliling kamarnya, yang biasanya tidak terlalu dia
perhatikan.
Sejak
mengenal Mahiru, Amane sedikit demi sedikit
mulai merapikan kamarnya dengan
benar. Mungkin karena kurangnya banyak barang, ruangan itu sangat bersih dan rapi. Kepribadiannya tampak tercermin
dalam dekorasi minimalis. Satu-satunya barang yang menonjol adalah sebuah
boneka yang diletakkan di meja belajar/kerjanya dan sesuatu yang menarik
perhatian Mahiru di musim semi: sebuah bantal ‘jahat’ yang sangat nyaman
hingga memanjakan siapa pun yang duduk di atasnya. Boneka itu adalah piala
usaha, yang dimenangkan oleh Mahiru setelah beberapa kali mencoba selama kencan
Golden Week mereka. Di tengah suasana
ruangan yang sederhana, boneka itu terlihat menawan—sangat bersih dan dirawat
dengan hati-hati.
“…Sepertinya kamu sangat merawat bonekamu, ya.”
“Ya, aku hanay membersihkannya sedikit supaya
tidak berdebu. Aku tidak tidur sambil memeluknya seperti kamu, Mahiru.”
“A-Apa
kamu sedang mengejekku?”
Amane mungkin
mengacu pada boneka beruang yang ia hadiahkan untuk ulang tahun Mahiru. Memang benar, dia bisa tidur nyenyak sambil memeluknya
setiap malam dan merawatnya dengan baik, tapi jika fakta itu ditunjukkan
seperti ini sungguh memalukan. Rasanya seperti dia bersikap kekanak-kanakan
meskipun dia adalah seorang
gadis SMA.
“Buat apa
aku mengejekmu? Rasanya terlalu imut
untuk diejek. Aku merasa
senang kamu begitu menghargainya.” Setelah dibalas
dengan sangat serius, Mahiru mendapati dirinya tidak bisa menolak.
“…Aku
selalu menghargai apa yang kuterima darimu, Amane-kun.”
“Terima
kasih… kamu tidak membawanya hari ini, kan? Maksudku, Kuma-san.”
“Erm, itu
karena…kamu akan bersamaku malam ini, Amane-kun.”
“…Ya.”
Hari ini,
teman tidurnya yang biasa, boneka beruangnya, dibiarkan menjaga benteng. Untuk
malam ini, Amane akan mengambil peran itu. Apa Mahiru ingin menggunakannya
sebagai bantal tubuh atau menjadi bantal tubuh masih belum pasti, tapi
bagaimanapun juga, mereka punya niat untuk saling membelai demi berbagi kehangatan satu sama
lain.
Dadanya
mulai terasa sedikit sakit saat menyadari bahwa dia sebenarnya ada di kamar
Amane, dia sedikit mengecil. Lalu, entah kenapa, Amane
diam-diam menutupi boneka kucing itu dengan selimut. Mahiru tahu dari mana asal
selimut itu karena selimut itu disampirkan di atas kursi, tapi tindakan Amane
membuatnya bingung, dan rasa gugupnya pun hilang sejenak.
“…Apa
ada yang salah?”
“Y-Yah,
aku merasa tidak bisa tenang
saat dia memperhatikanku… Itu saja.”
Mahiru
terkikik. “Jadi kamu juga mempedulikan hal itu ya, Amane-kun?”
“Cerewet.”
“Tapi
menurutku itu agak lucu?”
“Kamu sendiri tidak berhak bicara begitu,
selalu memeluk Kuma-san saat tidur.”
“Kita
sudah selesai membicarakan itu tadi, ‘kan? Duhh!”
Amane
tertawa terkekeh karena merasa geli dengan ekspresi cemberut
Mahiru. Sebagai tanggapan, Mahiru
dengan ringan menampar sisi tubuhnya dengan tangannya yang bebas, tetapi Amane tidak tampak terganggu. Sebaliknya, ia memandangnya
dengan geli dan kasih sayang, membuat Mahiru
merasa geli di bawah tatapan hangatnya. Terlihat seperti ini adalah bagian yang
paling memalukan bagi Mahiru. Itu adalah cara lain mengenai bagaimana Amane memanjakannya.
Amane
tampak siap menerima apa pun yang dilemparnya ke arahnya. Sedikit frustrasi,
Mahiru menyipitkan matanya dan menatap Amane, yang tidak terpengaruh oleh
tatapannya, dan memasang senyuman lembut di bibirnya. Lalu, Ia dengan lembut
mencegat tinju kecil Mahiru, yang merupakan alat 'menyerang', dan
menangkapnya dengan telapak tangannya yang besar. Tidak ada kekuatan dalam
genggamannya. Yang ada hanyalah jalinan jari, seolah-olah bergandengan tangan.
Hanya gerakan sederhana ini yang menguras seluruh tenaga Mahiru. Seolah sudah pasrah pada nasibnya, Mahiru secara alami dituntun ke tempat
tidur oleh Amane. Meskipun Mahiru
tidak menolaknya, duduk
di tempat tidur membuat jantungnya berdebar kencang, saat dia memikirkan apa
yang akan segera terjadi.
…Apa yang
ingin kamu lakukan, Amane-kun? Mahiru mendongak,
merasakan Amane melepaskan tangannya, dan mendapati dirinya dipeluk dalam
pelukan Amane sebelum dia bisa melihat sekilas wajahnya.
“…Apa boleh... kita, uh…melanjutkan apa yang
kita tinggalkan sebelumnya…di kamar mandi?”
Mengangkat
kepalanya dari dada Amane
dan mendongak ke atas, Mahiru mendapati
dirinya menatap mata Amane yang dalam dan seperti obsidian. Meski mereka tampak
tenang, ada nada mendesak di dalam diri
mereka, seolah-olah ia menjadi tidak
sabar. Hampir terpesona oleh tatapannya, Mahiru
berhasil mengucapkan “Y-Ya” dengan terbata-bata, sementara pikirannya berpacu
dengan panik. Jawabannya yang agak bingung adalah reaksi terhadap perubahan tak
terduga dalam sikap pria itu.
Amane,
entah sadar atau tidak akan gejolak batinn Mahiru,
tersenyum lembut. Kehangatan dalam senyuman Amane membuat Mahiru merasa pusing,
dan pada saat itu juga, ujung jarinya yang kasar mengangkat dagu Mahiru, dan Ia
membungkuk untuk menciumnya.
Ah…
Dia tidak diberi waktu untuk bereaksi.
Bibir Amane yang sedikit lebih kencang dari
bibirnya, menyentuh bibir Mahiru
dengan lembut. Sepertinya Amane
juga baru-baru ini merawat bibirnya, karena bibirnya penuh dan halus—tidak
kering atau pecah-pecah sama sekali. Mereka berhasil menenangkan Mahiru dengan
belaian yang menenangkan. Kehangatan yang dia rasakan dari kekasihnya jauh lebih kuat daripada
kehangatannya sendiri. Amane, memahami bahwa Mahiru baru saja terbiasa dicium,
menempelkan bibirnya ke bibir Mahiru dengan lembut, menggosoknya perlahan untuk
meredakan ketegangannya. Mahiru
merasakan emosi yang tidak terlalu memalukan tetapi membawa kegelisahan yang
tak terlukiskan, tanpa sedikitpun rasa tidak nyaman. Semakin lama mereka
berciuman, semakin banyak kekuatannya yang hilang, seolah-olah ditarik keluar,
menyebabkan dia semakin bersandar pada tubuh Amane. Mahiru mungkin tiba-tiba terjatuh ke
belakang jika Amane tidak
mendukungnya.
Sedikit
kekasaran bibirnya saat Amane menciumnya
menggoda dengan cara yang tak terlukiskan, dan Mahiru
terkikik tanpa sengaja. Amane, yang memulai ciuman itu, juga terkekeh melihat
reaksi Mahiru. Lalu, dengan lembut serta
perlahan, Ia memperdalam ciumannya, menikmati bibir manis Mahiru. Lidahnya yang
hangat dan agak kasar menyelinap ke dalam, dengan hati-hati namun penuh
semangat menjelajahi apa yang ada di dalamnya. Meskipun Mahiru sudah mempunyai pengalaman, ciuman semacam ini merupakan ciuman
yang belum biasa dia lakukan. Tetap saja, dia ingin menerima kehangatan Amane
dan merasa semua yang Ia lakukan begitu nyaman sehingga Mahiru, sebaliknya,
mulai mencari Amane semakin sering seolah-olah menanggapi rayuannya. Kehangatan
mereka menyatu melalui bibir mereka, menyadari bahkan napas mereka pun menjadi
sama panasnya. Menjalin napas dan lidah mereka, mereka terus menikmati
kehangatan satu sama lain tanpa henti.
Ketika
pikirannya serasa berada
di awan, Mahiru merasa kalau tubuhnya
sangat sensitif terhadap setiap rangsangan. Setiap belaian
tangan Amane di punggungnya, yang dimaksudkan untuk menopangnya, mengirimkan
sensasi tak dikenal mengalir ke seluruh tubuhnya seperti kejutan listrik statis. Apa Amane sudah terbiasa
melakukan ini? Atau apa ia
menahan diri sampai sekarang? Bagi Mahiru, jawabannya tidak jelas. Saat ciuman
mereka semakin memanas, begitu juga reaksi Mahiru—bukan
hanya napas, tetapi juga erangan lembut mulai keluar dari bibirnya. Nada
tinggi. Sedikit serak. Sesuatu antara suara dan nafas. Mahiru sendiri tidak
mengerti dari mana suara seperti itu berasal. Suaranya bukan satu-satunya hal
yang tampak meleleh; seluruh tubuhnya terasa seperti hancur, menyerah
sepenuhnya pada Amane.
Saat
Mahiru menanggapi ciuman itu dengan suara yang begitu manis sampai-sampai membuatnya hampir
tidak percaya kalau itu adalah suara desahannya
sendiri, Amane dengan lembut menggerakkan tangannya. Ketika tangannya menelusuri
garis pinggang Mahiru yang
tersembunyi di bawah daster membuat tubuhnya menggigil sejenak, tapi dia tidak
punya niat untuk menghentikan Amane.
Perasaan telapak tangannya yang perlahan meluncur ke atas membuat tulang
punggungnya merinding, tapi saat mereka berciuman, sensasi itu dengan cepat
diliputi oleh sensasi yang berbeda.
――Jika begini terus, kami akan…
Jika
Mahiru membiarkan Amane melakukan apa yang diinginkannya, dia bahkan tidak
perlu memikirkannya—tujuan yang akan mereka tuju sudah jelas. Mahiru tidak punya niatan untuk menolaknya. Namun secara refleks, tubuhnya
bergetar hebat, dan Amane
dengan cepat menarik tangannya dari tubuhnya. Tidak hanya itu, Amane juga mengakhiri ciuman mereka
saat ia memasang ekspresi yang diwarnai nafsu dan rasa bersalah. Ketika melihat ekspresi kekasihnya yang seperti itu,
Mahiru secara naluriah membenamkan wajahnya di dada Amane, menangkap tangan
yang selalu berusaha memprioritaskan dirinya di atas dirinya sendiri.
“…Erm,
aku tidak bermaksud menarik kembali apa yang kukatakan sebelumnya…saat aku
meminta untuk menginap,” Mahiru menjelaskan, karena Amane pasti salah mengira
rasa menggigilnya sebagai rasa takut atau penolakan.
Tidak,
bukan begitu.
Mengatakan
dia tidak takut sama sekali adalah sebuah kebohongan. Membiarkan seseorang
menyentuhnya untuk pertama kalinya, mengalami sensasi yang tidak diketahui,
menerima keinginan orang lain… hal semacam itu
tentu saja akan membuat takut sebagian besar orang yang menerimanya. Dan memang
demikian. Mempercayakan tubuhnya
pada orang lain berarti membuat diri rentan terhadap apa pun yang mungkin
terjadi. Meski begitu, Mahiru telah memutuskan untuk menerima Amane. Menatapnya
dari dalam pelukannya, dia melihat keterkejutan bercampur dengan ekspresi
sebelumnya. Pada akhirnya, dia hendak mundur sendiri. Tidak peduli seberapa
terangsangnya Amane, seberapa besar Ia menginginkan Mahiru, Ia menghormati
Mahiru dan bersedia menunggu sampai Mahiru siap.
Bagaimana
mungkin dia bisa menolak Amane, yang selalu baik hati dan tidak mampu
mengutamakan dirinya sendiri? Kehangatannya, hatinya, penampilannya,
segalanya tentang dirinya.
Mahiru ingin menerimanya secara
keseluruhan dan menjadikan itu
miliknya. Dia ingin Amane memahami
bahwa keinginan untuk memiliki orang lain bukanlah keinginan egoiosnya sendiri. Di tengah rasa malunya,
namun dengan tekad yang tak tergoyahkan, Mahiru
menatap Amane melalui matanya yang sedikit dibasahi oleh intensitas ciuman
mereka. Dia menghela nafas, menyebabkan tubuhnya gemetar karena khawatir dia
telah membuatnya marah. Tapi kemudian Amane
mengacak-acak rambutnya, menarik napas dalam-dalam beberapa kali seolah ingin
menenangkan diri, dan kembali menatapnya. Di pantulan
mata obsidiannya, api berkobar terlalu ganas untuk ditutupi, bercampur dengan
kilatan dingin seperti besi.
“Um,
baiklah aku…”
“Y-Ya?”
“Mengenai
perasaanku, aku ingin menjadikanmu milikku, Mahiru.”
“…Ya.”
Pasti
itulah yang sebenarnya dirasakan Amane. Meskipun terasa tidak pantas,
mengalihkan pandangannya sedikit ke bawah mengungkapkan sesuatu yang berbicara
lebih fasih daripada kata-kata.
“…Tapi, kamu tahu sendiri, erm…Aku
belum cukup umur untuk mengambil tanggung jawab, dan jika ada sesuatu yang terjadi, kamulah yang paling
terkena dampaknya. Yah, tentu saja aku akan bertanggung jawab jika terjadi
sesuatu, tapi bukan berarti aku bisa menjanjikan hubungan yang pasti secara
hukum dalam waktu dekat.” Mahiru tidak terlalu bodoh atau dongo sehingga
tidak memahami kata-katanya. “Aku mencintaimu, Mahiru, dan itulah sebabnya aku ingin mengutamakanmu. Begitu
kamu berhasil menemukan sesuatu yang ingin kamu lakukan
atau pelajari di masa depan, aku
tidak ingin mengganggu tujuan tersebut. Kita akan menghabiskan banyak waktu
bersama mulai sekarang, dan mempertimbangkan hal itu, menurutku hidupmu tidak
boleh ditentukan oleh emosi dan nafsu sesaat seperti saat ini.”
“…Aku mengerti.”
“Aku
sepenuhnya siap untuk menghabiskan sisa hidupku bersamamu, Mahiru. Hanya saja,
aku…”
“Kamu
tidak perlu mengatakan apa pun lagi,” sela Mahiru.
Dia
mengerti bahkan tanpa dia melanjutkan.
Sejujurnya,
ia selalu begitu…
Amane
selalu bertindak demi kepentingan terbaiknya, dalam segala hal. Meski begitu,
Mahiru juga bukannya tidak
menyadari hal itu. Dia tahu bahwa tindakan cinta dapat menghasilkan kehidupan
baru, dan tidak ada kontrasepsi yang benar-benar aman. Bahkan dengan sangat
hati-hati, selalu ada kemungkinan pembuahan, dan jika itu terjadi, Mahiru akan
menjalani kehidupan sembari mengandung
saat dirinya masih menjadi pelajar. Hal ini
dapat menyebabkan beberapa bentuk hukuman dari sekolah, atau bahkan jika tidak,
dia mungkin akan dikritik karena tidak bertanggung jawab. Terlebih lagi, masalah tersebut belum selesai begitu anak
itu lahir—anak itu masih harus dibesarkan. Gagasan untuk melahirkan anak lain
seperti Mahiru ke dunia ini, dan menjadi pihak yang bersalah dalam hal ini,
adalah sesuatu yang sama sekali tidak diinginkannya.
Sungguh, aku benar-benar wanita yang
sangat beruntung.
Amane sudah mempertimbangkan segalanya,
dan meski dihadapkan pada kesempatan dan godaan untuk melepaskan hasratnya yang
telah lama terpendam, Ia tetap memutuskan untuk memilih masa depannya. SSeraya merasa sangat bersyukur atas
keputusannya, Mahiru dengan lembut mengulurkan tangannya ke pipi Amane.
“Amane-kun,
aku mengerti seberapa besar kamu
menghormatiku, dan kamu sangat mencintaiku. Dihargai sebesar ini olehmu…Aku merasa sangat-sangat bahagia.”
Dadanya
bergejolak karena kehangatan.
Setelah merasa
sangat dicintai, dihormati, dan disayangi, Mahiru menyadari seberapa besar
perasaan Amane. Meskipun dirinya dipenuhi dengan kebahagiaan
sejak mereka mulai resmi berpacaran, selalu ada celah kecil yang
tidak dapat diisi di dalam hatinya. Sekarang, akhirnya, kehadiran Amane telah
mengisi ruang kosong itu sepenuhnya. Hatinya, yang tadinya kosong, kini terisi
penuh oleh Amane. Mahiru
merasakan kebahagiaan yang luar biasa ini dengan hati dan tubuhnya, sedemikian
rupa sehingga dia merasa seperti dia akan menangis karena bahagia. Tidak
berusaha menahan gelombang kebahagiaan ini, Mahiru membiarkan seluruh emosinya
mengalir ke dalam senyuman dan menempelkan bibirnya ke bibir Amane dalam ciuman
lembut.
“…Aku
mencintaimu, Amane-kun…dari lubuk hatiku yang terdalam!”
Mahiru
yakin bahwa saat ini, dia adalah orang yang paling bahagia dan paling puas di
dunia. Saat dMahiru merasa
begitu kewalahan karena diliputi banyak emosi sampai-sampai dia hampir menangis, Amane
memberikan ciuman lembut padanya. Ciumannya, bagaikan pancaran sinar matahari
lembut yang menyinari jiwa dan raga, terasa menenangkan dan menyejukkan. Amane kemudian dengan lembut memeluk
Mahiru dalam pelukannya.
“Bisakah
kamu menunggu sampai aku siap mengambil tanggung jawab?”
Apa
maksudnya? Amane dengan suaranya yang sedikit bergetar, menahan dirinya untuk masa depan mereka
bersama. Cara Ia memandang Mahiru dengan tatapan penuh cinta, dipenuhi dengan
sedikit ketidaksabaran dan sedikit rasa frustrasi, membuat Mahiru mudah menebak
seberapa besar Ia menahan diri. Bukti terbesarnya dirasakan dalam kontak dekat
mereka. Perwujudan dari dorongan hatinya yang tertahan hampir menekannya ke
arahnya, seolah-olah untuk mengomunikasikan tekadnya.
Mahiru
melirik sekilas ke bawah dan tersipu ketika sesuatu memasuki bidang
penglihatannya. Namun, dengan tekad Amane yang sangat jelas, pemandangan itu
sama sekali tidak menyenangkan. Dengan anggukan malu-malu sebagai pengakuan
pada dirinya sendiri, Mahiru bersandar lebih dekat ke arah Amane yang selalu
bertahan dan tabah sekali lagi. Saat Mahiru
menyentuh dada Amane yang
kokoh, dia merasakan detak jantungnya yang berdebar kencang, yang membuat
denyut nadinya bertambah cepat seolah-olah dalam semacam resonansi simpatik.
“Kalau
begitu, aku akan membiarkan diriku disayangi sampai waktunya tiba.”
Aku merasa
sangat, sangat bahagia. Mahiru tersenyum pada Amane
dengan ekspresi puas, dan Ia balas mengangguk ke arahnya dengan ekspresi puas
sebelum dengan lembut memeluknya dengan lembut.
“Aku akan
memastikan untuk menyayangimu.”
Bgitu mendengar
bisikan Amane, Mahiru menutup matanya, penuh dengan antisipasi yang manis dan
lembut. Mereka berpelukan dalam diam, detak jantung mereka menyatu menjadi
ritme yang tersinkronisasi. Sensasi menenangkan ini membuatnya merasa
seolah-olah mereka sedang melebur satu sama lain.
“…Nee.”
Saat
Mahiru tertatih-tatih di ambang tidur, terhibur oleh sinar matahari yang
lembut, dia samar-samar mendengar suara memanggilnya. “Ya?”
dia menjawab dengan lembut.
“Bolehkah
aku menanyakan sesuatu yang memalukan?”
Melihat
Amane menggumamkan kata-katanya seolah-olah Ia merasa sulit mengucapkannya,
Mahiru tidak bisa menahan tawa, merasa
penasaran mengapa Ia merasa ragu-ragu sekarang.
“Silahkan
saja. Sebagai orang yang sangat kucintai, aku akan menerima sisi
kerenmu, sisi memalukanmu, dan setiap permintaanmu.”
Mahiru
siap menghadapi apa pun dan menyukai segala hal tentang dirinya.
…Aku
penasaran hal ‘memalukan’ apa yang ingin dia tanyakan. Mahiru memiringkan kepalanya ke dalam
pikirannya saat dia penuh rasa ingin tahu,
bersiap menerima apa pun yang terjadi. Lalu, meski terlihat ragu-ragu, Amane
menggerakkan bibirnya dan mendekatkannya ke leher Mahiru. Meskipun Mahiru sedikit gemetar karena kontak
yang tiba-tiba itu, tidak ada rasa sakit, hanya kehangatan nafasnya. Mahiru
kemudian merilekskan tubuhnya yang tegang sejenak.
“…Baiklah,
um… Bolehkah aku menyentuhmu? …Sedikit saja,” Amane bertanya ragu-ragu.
Mahiru
berkedip beberapa kali sejenak karena
terkejut. Suaranya tenang dan serak, tapi tidak salah lagi ada gairah dalam
permintaannya. Amane sepertinya menyadari kalau Mahiru mungkin enggan
menerimanya sepenuhnya dengan seluruh tubuhnya. Mempertimbangkan itu, maksud
pertanyaannya sebenarnya adalah… Wajahnya langsung memerah setelah menyadari makna tersirat dari kata-katanya. Rasa
malunya belum hilang, Mahiru
menatapnya sebentar, lalu menurunkan pandangannya lagi. “… T-Tolong, lakukan dengan lembut.”
Mahiru
senang disentuh oleh Amane. Meskipun itu mungkin memberikan sensasi yang belum
pernah dia alami sebelumnya, dirinya
tidak berniat menolak sentuhannya. Selama Amane yang mengajarinya, dia yakin
itu tidak akan membawa hal buruk. Selain itu, mereka telah berjanji—untuk
merasakan pengalaman pertama mereka bersama. Mana
mungkin dia akan menolak saat pertama kali Amane menawarinya.
Hanya
jawaban lembut itulah yang bisa diucapkan
Mahiru di tengah rasa malunya, yang membuat Amane
tertawa senang. Selanjutnya, Amane
menarik tangannya, dan jatuh ke tempat tidur, melayang di atas tubuhnya. Dengan
lampu yang menerangi sosoknya dari belakang, Ia menatap Mahiru dengan
sungguh-sungguh. Penampilannya lembut, penuh kasih, kerinduan, dan memohon. Di
kedalaman mata obsidiannya, panas mendidih yang tak terbantahkan
berkedip-kedip, dan hanya berada di bawah tatapannya saja sudah membuatnya
merasa sangat panas hingga ke inti tubuhnya, seperti tubuhnya dilalap api.
Detak jantungnya jauh lebih cepat dari biasanya, hampir terasa seperti bukan
detak jantungnya sendiri. Telapak tangannya, yang selalu lembut dan ragu-ragu,
kini menelusuri tubuhnya dengan niat ragu-ragu namun jelas. Meski begitu, Mahiru merasa tidak takut sama sekali.
“…Um,
jika kamu tidak menyukainya, atau jika itu menyakitkan, tolong beri tahu aku.
Aku akan segera berhenti,” kata Amane.
Mungkin
khawatir dengan ketegangan sesaat di tubuhnya, Amane menatap tajam ke arah mata Mahiru sebelum menyentuh
kulitnya secara langsung. Amane telah membuat pernyataan itu
dengan sangat serius. Perbedaan antara keseksian Mahiru sebelumnya dan
tatapannya yang sekarang sungguh-sungguh dan penuh perhatian begitu mencolok
hingga Mahiru tidak bisa tidak menyadarinya.
“…Bukannya menurutmu, sebagai seorang
wanita, aku akan lebih bahagia jika kamu melakukan apa yang kamu mau?”
“I-Itu
mungkin benar, ya. Tapi aku tidak ingin memaksamu melakukan apa pun.”
Merasa tersentuh
oleh kata-kata Amane yang terus-menerus menunjukkan kepeduliannya, Mahiru
diam-diam tersenyum dan mengulurkan tangan ke arah Amane. Saat Mahiru meletakkan tangannya di pipinya
yang tersipu, mungkin karena perpaduan antara kegugupan dan kegembiraan, kemerahan di pipinya semakin
dalam dan matanya melebar, seolah dipicu oleh lebih banyak emosi.
“Semua
yang kamu berikan dan lakukan padaku, membuatku bahagia… Jadi, Amane-kun,
tolong izinkan aku menerima semua perasaanmu.”
Meski
sedikit menyakitkan, jika itu adalah sesuatu yang diberikan Amane padanya, dia
bersedia menerimanya.
Amane takkan
pernah dengan sengaja membuatnya menderita. Mahiru
tahu bahwa jika ada rasa sakit yang muncul, itu adalah bagian proses yang tidak
dapat dihindari. Pola pikir ini hanyalah salah satu contoh persiapan mentalnya.
Saat
Mahiru menatapnya dengan tegas sambil tersenyum, mulut Amane bergerak-gerak
dengan canggung, seolah-olah Ia sedang berjuang dengan sesuatu. Kemudian,
setelah menelan apa yang tampaknya merupakan usahanya untuk bertahan, Ia
meletakkan telapak tangannya di dagu Mahiru, lalu mengangkatnya. Meski Mahiru
punya firasat tentang apa yang akan terjadi, saat pandangannya kabur seperti
tirai yang dibuka, dia merasa seolah-olah dia bisa melihat Amane di sisi lain,
tegang namun tidak mampu sepenuhnya menahan senyuman yang lahir dari
pengekangan dan ketidakmampuan untuk menahannya. kembali.
“…Dengan
kemampuan terbaikku, aku akan mencoba membuatnya terasa menyenangkan untukmu
juga,” Ucap Amane.
Setelah
ciuman lembut yang hanya berupa sentuhan ringan,
diikuti dengan kata-kata lembut yang diucapkan Amane, Mahiru diam-diam
menurunkan tangannya yang telah menyentuh Amane. Dirinya
yakin, baik secara jiwa maupun raga, bahwa dia
bisa mempercayakan segalanya kepada Amane.
…Semuanya
akan baik-baik saja.
Bersama pria yang ada di hadapannya,
sekarang dan seumur hidupnya, hal itu akan berlaku. Dipenuhi dengan rasa lega
dan euforia yang mendalam, Mahiru menerima tangan itu dengan lembut menjelajahi
tempat yang sebelumnya tidak pernah diizinkan disentuh oleh siapa pun. (TN: Well. Kira-kira
mereka ngapain ya? Wkwkwkwk)
✧ ₊
✦
₊ ✧
Ketika
Mahiru bangun keesokan paginya, dia segera menyadari di mana dia tidur dan
langsung mengatupkan bibirnya. Dia sengaja melakukan hal itu agar tidak
mengagetkan Amane, yang sedang tidur nyenyak di sampingnya, sambil memeluknya
erat-erat. Hampir tidak bisa menahan teriakan yang hampir keluar dari bibirnya
yang terkatup rapat, Mahiru kemudian beralih menenangkan jantungnya yang
berdebar kencang, baru saja kelelahan karena keributan di pagi hari, dan
menatap ke arah kekasihnya, yang matanya masih tertutup.
Ruangan tersebut terlihat
remang-remang, sebagian karena tirai ditutup, menandakan hari masih pagi dan
matahari baru saja mulai muncul setiap harinya. Cahaya dari lampu samping, yang
lupa dimatikan, tampak sangat terang hingga menyilaukan.
Dalam cahaya
lembut, Amane tertidur dengan ekspresi damai di wajahnya. Ia terlihat lebih
polos dan menawan dari biasanya, memancarkan rasa kepuasan yang mendalam, dan
hanya dengan melihatnya seperti ini saja sudah membuat Mahiru tersenyum. Ia merangkul Mahiru dalam pelukannya dengan
ekspresi kepuasan mutlak, mengingatkannya
pada seorang anak kecil yang memegang boneka beruang saat mereka tidur.
Kepolosan kekanak-kanakan ini sangat kontras dengan kejadian malam sebelumnya.
Dia manis
sekali, piker Mahiru. Namun, gambaran ini membuat
pikirannya melayang kembali ke kejadian tadi malam, dan sekali lagi, Mahiru
mendapati dirinya mengerucutkan bibirnya erat-erat. Tadi malam… itu bisa saja berbahaya.
Tentu
saja, yang dia maksud adalah perilaku Amane tadi malam. Mereka telah mengungkap
banyak aspek dari satu sama lain yang sebelumnya tidak diketahui, dan saling
mengajari dalam prosesnya. Hasilnya, Mahiru mendapatkan pemahaman yang lebih
dalam tentang aktivitas begituan,
dan berhasil menemukan sisi baru dari Amane yang belum pernah dilihatnya
sebelumnya. Misalnya, Amane jauh
lebih terampil dan tanggap daripada yang dibayangkan Mahiru, namun kehati-hatiannya pada
saat-saat penting masih tetap ada. Tapi bukan itu saja. Dia juga menyadari
bahwa tingkat hasrat yang terus-menerus ditahannya jauh lebih besar daripada
yang Mahiru duga. Hanya mengingat kejadian malam
itu—bagaimana tatapannya, jari-jarinya, dan bibirnya menjelajahi dirinya dengan
perpaduan kelembutan dan ketelitian—menyebabkan pipinya memerah sekali lagi.
Ketika melirik
ke bawah selimut yang menyembunyikan tubuhnya, Mahiru mengangkat kain itu untuk
melihat bahwa pakaian yang dia kenakan telah kembali ke tempat semula. Lebih
tepatnya, mereka sengaja dipindahkan kembali ke tempat yang seharusnya. Namun,
kain halus itu sekarang sudah keriput, dan bekas-bekas baru yang tidak ada
sebelum dia tinggal, telah tertanam dengan penuh kasih di kulit aslinya.
Tanda-tanda ini dengan mudah terlihat melalui celah di dasternya—yang merupakan
bukti jelas akan dorongan hati dan sikap posesif Amane, serta pengingat yang jelas
akan keintiman mereka pada malam sebelumnya. Meskipun menyadari fakta itu lagi-lagi membuat Mahiru merassa malu,
dia tidak bisa menyalahkannya, karena itu menandakan betapa Amane sangat
menginginkannya.
Sejujurnya…
Dengan
sengaja menghela nafas hangat, Mahiru membenamkan wajahnya
di dada Amane, menutupi dirinya dalam pelukan Amane. Sampai saat ini,
sentuhannya telah menutupi pakaiannya, jadi dia tidak menyadarinya, tapi
kemarin dia menemukan bahwa tubuhnya lebih kencang dan kuat dari yang terlihat.
Mahiru bisa merasakannya secara langsung
melalui kontak fisik mereka. Otot-otot yang dia telusuri, ternyata sangat
kencang, menambah daya tarik aneh pada kulitnya yang berkeringat dan memerah,
dan sangat maskulin, cukup untuk menggerakkan hatinya. Itu sebabnya posisinya
saat ini cukup memalukan, tapi kebahagiaan yang dibawanya menutupi rasa
malunya, membuatnya meringkuk begitu dekat seperti ini.
Amane-kun, ia
sangat…jantan.
Walaupun
Mahiru sudah mengetahui hal ini, perilaku sopan Amane
agak menutupi fakta ini. Akibatnya, dia diajari secara menyeluruh, baik secara
fisik maupun emosional, bahwa Amane hanya berusaha keras menyembunyikan
hasratnya yang sebenarnya. Sekarang, merasakan tangan yang melingkari
punggungnya, yang telah menyentuhnya tanpa henti, anehnya tubuhnya mulai terasa
panas.
Dengan
pikirannya yang kembali ke masa kini, Mahiru menyadari bahwa dia terjebak
antara rasa malu yang luar biasa yang mendesaknya untuk melarikan diri dan
keinginan untuk tetap berada dalam pelukan kekasihnya, menikmati momen-momen
bahagia. Jika Amane sudah bangun, mereka mungkin akan berpelukan sebentar,
menikmati waktu bersama. Namun sayangnya, ia
masih tidur nyenyak. Terlebih lagi, cahaya yang merembes melalui celah tirai
semakin terang, menandakan bahwa sudah waktunya untuk memulai rutinitas pagi
mereka.
Bahkan di
hari liburnya, Mahiru tidak ingin menghentikan rutinitasnya. Karena aktivitas
mereka pada malam sebelumnya tidak terlalu membebani tubuhnya, Mahiru merasa tidak apa-apa untuk
memulai harinya. Setelah menghabiskan beberapa waktu melamun, terbungkus dalam
aroma dan kehangatan orang yang dicintainya, Mahiru dengan lembut memutuskan
untuk melepaskan diri dari pelukan Amane yang santai.
Setelah
aku berpakaian, ayo siapkan sarapan, Mahiru
memutuskan. Dia tentu saja tidak mengambil keputusan itu karena teringat
kejadian tadi malam menyebabkan dia mengerang malu, hampir menggeliat di tempat
tidur. Sama sekali tidak bukan karena itu.
Mahiru
dengan hati-hati bangkit dari tempat tidur, berusaha untuk tidak
membangunkannya. Sambil berusaha menghaluskan kerutan yang terbentuk di baju tidurnya tanpa merusak kainnya,
dia melihat sekeliling ruangan untuk mencari jam. Kemudian, ketika melihat
tumpukan selimut di atas meja, dia tidak bisa menahan tawa sejenak.
Setelah mengenakan
sandalnya dengan tenang, Mahiru mendekati meja dan melepaskan boneka kucing
yang dengan nyaman terjerat dalam selimut sepanjang malam. Mata bulat dan polos
boneka itu tampak tidak menyadari kejadian malam sebelumnya.
Mahiru lalu dengan lembut mengangkat
kucing malang yang kehilangan kehadiran tuannya sepanjang malam. Dia meletakkannya
di samping Amane, yang tidak menyadari semuanya saat Ia tetap tertidur lelap,
bernapas dengan tenang. Mahiru melakukan itu untuk memastikan kalau Amane tidak akan merasa kesepian atau
bingung saat bangun dan mendapati keberadaannya tidak ada. Pemandangan kekasihnya tidur dengan
tenang di samping boneka itu sungguh menawan.
Sisa-sisa
ekspresi intens dan tajam serta tatapan panas yang tak bisa disembunyikan dari
tadi malam tidak bisa ditemukan lagi.
Sekarang, Ia tampil seperti biasanya, namun, setelah mengenal Amane sejak tadi
malam, Ia tampak lebih muda dan lebih disayangi Amane daripada sebelumnya.
Mahiru berpikir bahwa dia akan mengambil foto secara diam-diam nanti, sesuatu
yang mungkin akan ditolak dengan lembut oleh Amane jika Ia mendengarnya.
Berlutut di samping tempat tidur, dia dengan lembut mencium pipi Amane yang
masih tertidur sebelum berdiri.
Ayo
siapkan sarapan. Favorit Amane-kun—dashimaki tamago.
Kira-kira, apa begini perasaan seorang
istri yang menantikan suaminya bangun? Mahiru
kemudian bertanya pada dirinya sendiri, sebuah pemikiran yang dia anggap
terlalu dini dan memalukan untuk dipertimbangkan. Dengan langkah cepat, Mahiru
keluar dari kamar tidurnya dan
berjalan ke kamar mandi.
Sebelumnya | Daftar isi | Selanjutnya
TN:
Pertama-tama, Mimin Kareha mau minta maaf karena baru update Tenshi-sama lagi
setelah 2 bulan lebih, selain karena ada kegiatan sendiri di RL dan harus
ngegarap novel lain (Ya tahu sendiri penerjemah lain, si Maomao, tambah LN baru
tapi ditinggal terus wkwkwk), mood buat ngegarap Tenshi-sama susah dapetnya
karena mungkin mimin sudah jenuh sama jalan ceritanya yang dipenuhi gula dan
lurus-lurus saja tanpa bisa melihat kapan tamatnya LN ini.
Tapi
mimin bakal usahain bakal terus ngegarap Tenshi-sama sampe mengejar versi
terbarunya. Sekian itu saja dari mimin Kareha, karena mimin enggak tahu mau
ngomong apa lagi :D.