Otonari no Tenshi-sama Jilid 8.5 Bab 10 Bahasa Indonesia

Bab 10 — Rahasia Kecil Mereka Berdua

 

Mahiru duduk sendirian di dalam bak mandi, lututnya menempel ke dadanya. Termenung di dalam pikirannya, dia berjuang mati-matian menahan keinginan untuk berteriak, kewalahan dengan skenario nyata yang muncul di benaknya tentang apa yang akan segera terjadi.

Meskipun aku sendiri yang mengajukan ide ini, aku malah seperti ini.

“…Malam ini, bolehkah aku tidak pulang…?” Setelah mengumpulkan keberaniannya, Mahiru mengucapkan kata-kata tersebut pada malam terakhir festival budaya. Amane, meski ragu-ragu, tetap menyetujui permintaannya.

Berbeda dengan saat mereka berada di rumah keluarga Amane, dia telah memutuskan untuk menghabiskan malam bersama sebagai sepasang kekasih—sebuah sentimen yang tampaknya dipahami oleh Amane. Di awal-awal hubungan mereka, Amane pasti akan dengan tegas menolaknya, wajahnya memerah karena malu. Namun sekarang, ia menerima permintaannya, meski dengan sangat enggan. Hal ini menunjukkan bahwa perasaannya terhadap Mahiru semakin dalam sehingga Ia tidak bisa lagi menutup mata terhadap cinta dan hasratnya terhadap Mahiru.

Meskipun Mahiru tahu bahwa dirinya tidak begitu paham tentang hal-hal begituan, karena dia lebih cuek untuk gadis seusianya, dia bukannya tidak tahu apa-apa. Dia memahami hasrat yang bisa dimiliki pria seperti Amane dan seberapa keras ia berusaha mati-matian untuk menekan hasrat tersebut, dan menerimanya sebagai hal yang wajar. Amane mendorong hawa nafsunya kecuali cintanya pada Mahiru, tapi hal tersebut sudah di ujung tanduk. Mahiru sadar bahwa kemungkinan keintiman akan meroket begitu mereka memutuskan untuk menghabiskan malam bersama. Mahiru sadar, jika terjadi sesuatu yang memutuskan benang itu, dia akan segera menjadi makanan penutup. Walaupun demikian, kemungkinan itu adalah sesuatu yang sudah dia persiapkan, dan karena itu, dia memohon untuk menghabiskan waktu bersama Amane.

…Bukannya aku ingin bertingkah agresif atau semacamnya.

Mengingat apa yang dia katakan saja sudah membuat Mahiru merasa malu setengah mati hingga dia membenamkan mulutnya ke dalam bak mandi dan meluapkan rasa malunya dengan napasnya. Namun, ketika dia menyadari kembali kalau pernyataannya yang keterlaluan dan situasi saat ini berangsur-angsur mereda, rasa malunya semakin bertambah.

Mahiru tetap berendam di bak mandi untuk merawat tubuhnya setelah Amane keluar lebih dulu. Itu hanya rutinitasnya yang biasa, tapi dari sudut pandang Amane, sepertinya dia melakukan upaya ekstra. Meskipun mungkin terdengar seperti alasan yang tidak perlu, dia tidak meminta untuk menginap karena dia ingin melakukan aktivitas bercinta. Mahiru cuma ingin berada di sisinya dan merasakan kehangatannya, untuk menutupi kekurangan Amanenium yang dia rasakan selama festival budaya. Dia belum tentu mencari tindakan spesifik itu. Memahami bahwa ada kemungkinan besar untuk dicintai baik secara fisik maupun emosional sebagai hasil dari keintiman mereka, Mahiru bersedia menerima segala sesuatunya apa adanya.

“…Uuu,” erangnya, suaranya teredam dan bergema di kamar mandi. Terlepas dari tekadnya, rasa malu yang muncul di dalam dirinya tak terkendali. Mahiru masih sama seperti gadis lain seusianya. Bukannya dia tidak pernah mempunyai fantasi semacam itu. Dia menebak kenapa Amane kadang-kadang merasa tidak nyaman untuk menjauh saat terjadi kontak dekat. Ketika itu terjadi, dia kadang-kadang menyadari kehadiran sesuatu tertentu. Karena ini, atau mungkin berkat itu, dia samar-samar membayangkan Amane membuktikan cintanya secara fisik.

Pengetahuan Mahiru tidak mencakup informasi tentang aktivitas begituan. Pemahamannya hanya terbatas pada buku teks kesehatan dan manga shoujo yang dipinjam dari temannya, Chitose. Meskipun dia memahami mekanisme hubungan s*ksual, dia gagal membayangkan hal tersebut di dalam pikirannya. Pengetahuannya yang terbatas membuatnya membayangkan hanya disentuh, dipeluk dalam keadaan telanjang, atau dibungkus dengan seprai. Meski begitu, bagi Mahiru, bayangan itu saja sudah cukup merangsang dan membebani pikirannya. Pikiran bahwa sesuatu yang lebih hebat bisa terjadi padanya membuat jantungnya berdebar kencang tak terkendali.

Dia secara naluriah memegangi dadanya. Di luar kekenyalannya yang lembut, dia merasakan denyut yang kuat datang dari hatinya. Mahiru sadar bahwa ketegangan di hatinya setengah karena ketegangan dan setengah lagi karena antisipasi, rasa malunya masih membara di dalam dirinya.

Aku ingin menanggapinya. Ya, tapi…

Dia mengerti betul bahwa Amane adalah orang yang gampang sungkan dan berhati-hati, menghormatinya sampai-sampai tidak melakukan pendekatan fisik. Hasrat tersembunyi Amane bukan sekedar dorongan fisik namun berasal dari cinta tulusnya kepada Mahiru. Itu sebabnya Mahiru ingin meresponsnya, mempercayakan dirinya sepenuhnya padanya, dicintai baik jiwa maupun raga, untuk menjadi milik Amane seutuhnya. Tetap saja, meski begitu, dia tidak bisa mengatakan dengan pasti bahwa dia tidak memiliki perlawanan sama sekali.

…Oh, benar, aku harus segera meninggalkan kamar mandi. Jika tidak cepat-cepat, Amane-kun mungkin akan merasa canggung.

Sementara Mahiru dibuat gundah dan menggeliat di kamar mandi, Amane menunggu di ruang tamu. Dia tidak ingin membuat kekasihnya menunggu. Hatinya masih gelisah, dia meyakinkan dirinya untuk membiarkan segala sesuatunya terjadi sebagaimana mestinya dan melangkah keluar dari bak mandi.

Apapun yang terjadi, biarlah terjadi.

Setelah membiarkan tetesan yang menempel di tubuhnya diserap dengan lembut oleh handuk, Mahiru mengoleskan krim pelembab ke atas kulitnya dan melanjutkan rutinitas perawatan kulit wajahnya. Dia harus berhati-hati agar tidak terlalu antusias dalam persiapannya, agar tidak terlihat jelas, tapi mau tak mau dia harus teliti dalam memeriksa tubuhnya. Sambil memastikan tekstur kulitnya yang super lembut dan berkilau sehabis mandi, dirinya lalu melirik baju ganti di keranjang. Dia membawa dua jenis pakaian tidur.

Salah satunya adalah piyama jenis daster selutut dengan tambahan kardigan renda, dipilih berdasarkan preferensi Amane. Dasternya membiarkan bagian tulang belikatnya terbuka, namun kainnya tidak tembus pandang dan menonjolkan garis tubuhnya dengan baik—tidak terlalu banyak, tidak terlalu sedikit. Kardigan yang dikenakan di atasnya mengatur tingkat keterbukaannya. Terbukti dari sikap Amane yang biasa bahwa Ia lebih menyukai pakaian seperti itu, lebih menyukai pakaian sederhana yang mempertahankan kesan elegan dibandingkan pakaian yang secara terang-terangan menekankan keseksian. Dengan kata lain, dia menyukai hal-hal yang rapi dan polos.

Mempertimbangkan hal itu, aku mungkin harus menyimpan yang satu ini.

Mahiru melirik sekilas ke arah beju tidur lainnya yang telah dia persiapkan, tersembunyi di bawah baju tidur lain seolah-olah untuk menyembunyikannya, dan mengarang alasan dalam pikirannya. Dia telah—untuk berjaga-jaga—mempersiapkan sesuatu ketika satu hal mengarah ke hal lain. Itu benar-benar untuk berjaga-jaga. Mahiru membelinya karena didorong oleh desakan Chitose bahwa “tidak ada ruginya memilikinya kalau-kalau ia yang memulai sesuatu.” Baju tidur lainnya—atau lebih tepatnya, lingerie—jauh lebih sensual daripada yang pertama. Itu adalah sesuatu yang takkan dipakai oleh Mahiru yang waras. Kainnya, karena tipis, transparan dan desainnya akan dengan mudah memperlihatkan apa yang seharusnya disembunyikan dengan sedikit pergeseran. Tampaknya terlalu tidak bisa diandalkan.

Dalam benak Mahiru, muncul di hadapan Amane dengan mengenakan pakaian itu akan terlihat terlalu berdampak—itu akan menimbulkan semangat dan kemungkinan besar akan membuatnya jijik. Selain itu, mengenakan pakaian memalukan seperti itu adalah hal yang tidak pernah terpikirkan Mairu. Meskipun itu adalah ide Chitose, dan Mahiru masih merasa bodoh bahkan karena membelinya, dia takut bagian dirinya mungkin akan memakainya untuk menyenangkan Amane.

A-Ayo pakai yang jenis cardigan saja hari ini…

Fakta bahwa aku bahkan membeli sesuatu seperti ini…bukannya itu membuatku sangat nakal? Sambir berusaha menjauhi pemikiran itu, Mahiru meraih baju piyama yang lebih sederhana.

 

 

Pada akhirnya, memilih daster biasa mungkin merupakan keputusan yang tepat. Amane sedang menonton TV di sofa seperti biasa, tapi ketika Mahiru mendekat dan Ia mendongak, pipinya terlalu memerah untuk dianggap sebagai kehangatan setelah mandi. Saat melihat penampilan Mahiru, Ia tampak santai, sepertinya lega karena Mahiru tidak terpengaruh oleh ide Chitose.

Namun dia yang menyemangatiku, sih.

Mahiru senang dia tidak mengenakan pakaian lain itu. Seandainya Mahiru benar-benari memakainya, Amane pasti takkan berani menatap matanya. Dia bahkan tidak memiliki kepercayaan diri untuk tampil di hadapan Amane dengan pakaian seperti itu. Tatapan Amane yang tampak antara kelegaan dan sedikit kegembiraan, bukanlah hal yang tidak menyenangkan baginya, tapi masih terasa canggung terlihat mengenakan piyama di tempat yang begitu terang. Mahiru memang sering mengenakan piyamanya di rumah keluarga Amane, tapi itu hanya pakaian biasa yang sengaja dibuat minim paparan. Itu memang memalukan, tapi pakaian ini berada pada level yang berbeda.

Ketika Mahiru merasakan kalau tatapan Amane menelusuri lekukan piyamanya, dia menyusut sedikit, tapi tidak bersembunyi, mengingat dia telah memakainya agar Amane melihatnya.

“A-Apa ini terlihat aneh?” dia bertanya, meskipun dia tahu dari reaksinya bahwa bukan itu masalahnya.

Salah mengartikan hal itu sebagai kecemasan, Amane dengan lembut menggelengkan kepalanya dan berkata, “Tidak sama sekali. Malahan itu kelihayan lucu dan cocok untukmu. Aku hanya berpikir kalau itu berbeda dari yang kamu kenakan di rumah orang tuaku.” Usai mengatakan itu, Amane terus mengamatinya, meski dengan penuh kehati-hatian.

“T-Tentu saja aku takkan memakai pakaian seperti ini di rumah orang tuamu. Tapi, erm, hanya kamu yang bisa melihatku sekarang, Amane-kun, jadi aku… berusaha sedikit lebih keras.”

Mengatakan bahwa dia memakainya untuk Amane tidak sepenuhnya benar. Dia mengakui bahwa sebagian dari dirinya ingin menyenangkan kekasihnya, untuk membangkitkan perasaannya dengan pakaian seperti itu. Pikiran itu sendiri membuatnya gelisah karena malu, tapi Amane mengalihkan pandangannya dengan malu-malu setelah mendengar perkataan Mahiru.

Mereka berdua sadar akan rasa malu mereka, tapi tidak ada kemajuan jika terus begini, jadi Mahiru dengan ragu-ragu mendekat untuk duduk di sampingnya. Sementara Amane tampak agak tegang, tapi Mahiru ingin lebih dekat dengannya, menyentuhnya, jadi dia dengan hati-hati bersandar pada tubuh Amane.

Dalam keadaan normal, jarak ini akan terasa lebih alami, namun perpaduan antara ketidakpastian dan harapan mengenai apa yang mungkin terjadi selanjutnya membuat keduanya tegang. Amane, yang jelas-jelas dalam keadaan kaku, tampak berusaha bersikap normal, menerima kedekatan Mahiru tanpa menarik diri, yang membuatnya merasa tenang.

“…Sejujurnya, aku khawatir dengan apa yang akan kulakukan jika kamu datang dengan mengenakan pakaian tidur yang sangat berani.

Peengakuan Amane yang begitu tiba-tiba membuat tubuh Mahiru merinding. Tentu saja, itu adalah reaksi yang tidak dapat dihindari.

“Sebenarnya aku sudah mempertimbangkannya.” Mahiru tidak hanya mempertimbangkannya—dia sebenarnya sudah membelinya dan membawanya sekarang juga. Tentu saja, mengakui hal semacam itu merupakan sesuatu yang tidak mampu dilakukan Mahiru.

“Mahiru…”

“Tapi, erm… A-Aku pikir jika aku terlalu…agresif dalam mengenakan pakaianku, itu mungkin akan membuatmu bergidik ngeri.”

Meskipun dia menahan diri karena alasan yang disebutkan di atas, Mahiru sempat memikirkan apa Amane mungkin berharap dia mengenakan sesuatu yang lebih provokatif. Namun, dia merasa terlalu malu untuk mengenakan pakaian yang mencolok dan sugestif saat pertama kali mereka bersama. Dia bergumam, “Aku yakin akan hal itu,” sambil mengingat piyamanya—bukan, lingerie—masih bukan, benda yang nyaris tidak menyembunyikan apa pun yang dia sembunyikan di bawah pakaian gantinya.

Amane, membayangkan apa yang dimaksudnya, wajahnya semakin memerah. “…Aku takkan bergidik ngeri dengan hal itu. Aku justru senang ketika mengetahui kalau kamu memakainya hanya untukku, Mahiru.”

“A-Aku takkan memakainya, oke?”

“Kamu takkan memakainya?”

“Kamu ingin aku memakainya? Mendengar sedikit kekecewaan dalam suaranya, mau tak mau membuat Mahiru bertanya.

…Kupikir itu mungkin terlalu merangsang bagi Amane-kun.

Selain jumlah kainnya yang minim, yang paling mencolok adalah desainnya yang sengaja menampilkan area yang biasanya tertutup. Itu adalah jenis benda yang bisa membuat seseorang pingsan saat mereka melihatnya. Amane mungkin membayangkan sesuatu yang tipis dan berenda, dan meskipun Mahiru juga menganggap barang-barang seperti itu bersifat cabul, apa yang dibawanya bahkan lebih berani—barang itu dirancang khusus agar mudah memamerkan kulitnya. Kemungkinan besar hal itu bahkan lebih parah dari apa yang dibayangkan Amane.

“Tidak, yah, suatu hari nanti…aku ingin melihatnya. Jika kamu merasa waktunya sudah tepat, Mahiru, silakan tunjukkan padaku,” jawabnya.

“Kalau begitu… suatu hari nanti, oke?”

“Ya, suatu hari nanti… Kita tidak perlu terburu-buru untuk saat ini.”

Meski lega karena Amane punya keinginan untuk melihatnya namun mundur begitu saja, Mahiru juga merasa dilema. Dia menghargai sikap Amane dalam menghormati keinginannya, tapi mau tak mau dia melontarkan tatapan bertanya-tanya apa itu benar-benar tidak masalah bagi seorang pria sejati. Saat Amane memiringkan kepalanya sebagai jawaban, Mahiru hanya menjawab, “Bukan apa-apa.”

Amane lalu tersenyum lembut, sambil menggenggam tangan Mahiru ke telapak tangannya yang besar. Meskipun dia mengetahui kalau itu cara Amane untuk menenangkannya, mengingat situasinya, dia masih merasa tegang untuk sesaat. Namun, kehangatan lembut segera meluluhkan kekakuannya. Tindakannya itu merupakan pesan diam yang memberitahu Mahiru untuk tidak terlalu khawatir tentang hal itu, menghangatkan hatinya dan membawa senyuman lembut di bibirnya.

Jantungnya terus berdebar kencang, tapi tidak sakit lagi. Itu adalah sensasi lembut yang, meski sedikit menyempit, menimbulkan perpaduan antara rasa manis dan kebahagiaan. Anehnya, meski memiliki pikiran yang jernih, ada perasaan yang bertentangan dengan hal itu. Mahiru tenggelam dalam euforia, pikirannya mulai mencair. Tapi lebih dari segalanya, dia sangat merasakan kepedulian Amane padanya, dan dengan perasaan bahagia itu, dia menyandarkan kepalanya ke tubuh Amane.

Pandangannya tertuju pada televisi yang terus menyampaikan berita dengan suara monoton. Layar tersebut menampilkan presentasi yang jelas dan berbeda tentang peristiwa terkini yang terjadi di sekitar mereka. Namun, tidak ada satupun yang benar-benar masuk ke dalam kepalanya, kemungkinan karena kehadiran di sampingnya. Amane juga dengan sangat lembut mendekat ke arah Mahiru, tidak terlalu condong, melainkan pelukan yang halus dan hampir penuh kasih sayang. Mereka mendengarkan suara mantap pembawa berita, menghabiskan waktu dengan tenang.

Hati mereka yang tadinya gelisah menemukan ritme yang menenangkan, dengan nyaman berdetak satu sama lain ke dalam keadaan menenangkan. Merasakan detak jantungnya kembali ke kecepatan yang biasa, Mahiru merasa tenang dengan panas tubuh Amane dan sentuhan jari-jarinya. Kemudian, dia menyadari adanya perubahan halus pada cara jari-jemari Amane ketika menyentuhnya. Sentuhan yang dulunya menenangkan dan menyelimuti, kini secara halus berubah menjadi sesuatu yang berbeda. Dia tidak hanya menahan tangannya di tangannya—jari-jarinya menyelinap di antara jari-jari Mahiru seolah mencarinya, menangkap tangannya. Sikap ini bukan berarti tidak melepaskan, melainkan tidak ingin berpisah. Mahiru diam-diam membalas tangannya dengan erat.

Kurasa sudah waktunya. Ayo kita tidur.”

Tergerak oleh nada lembut dari kata-katanya yang lembut, Mahiru diam-diam menggenggam tangan Amane sekali lagi.

 

 

Tanpa didesak maupun dipandu Amane, Mahiru dengan lembut terus memegang tangannya dan memasuki kamar tidurnya, dipandu oleh kemauannya sendiri. Terlepas dari tekadnya, Mahiru masih merasakan ketegangan dan rasa malu yang meningkat, jadi untuk mengalihkan perhatiannya, dia melihat sekeliling kamarnya, yang biasanya tidak terlalu dia perhatikan.

Sejak mengenal Mahiru, Amane sedikit demi sedikit mulai merapikan kamarnya dengan benar. Mungkin karena kurangnya banyak barang, ruangan itu sangat bersih dan rapi. Kepribadiannya tampak tercermin dalam dekorasi minimalis. Satu-satunya barang yang menonjol adalah sebuah boneka yang diletakkan di meja belajar/kerjanya dan sesuatu yang menarik perhatian Mahiru di musim semi: sebuah bantal ‘jahat’ yang sangat nyaman hingga memanjakan siapa pun yang duduk di atasnya. Boneka itu adalah piala usaha, yang dimenangkan oleh Mahiru setelah beberapa kali mencoba selama kencan Golden Week mereka. Di tengah suasana ruangan yang sederhana, boneka itu terlihat menawan—sangat bersih dan dirawat dengan hati-hati.

“…Sepertinya kamu sangat merawat bonekamu, ya.”

“Ya, aku hanay membersihkannya sedikit supaya tidak berdebu. Aku tidak tidur sambil memeluknya seperti kamu, Mahiru.”

“A-Apa kamu sedang mengejekku?”

Amane mungkin mengacu pada boneka beruang yang ia hadiahkan untuk ulang tahun Mahiru. Memang benar, dia bisa tidur nyenyak sambil memeluknya setiap malam dan merawatnya dengan baik, tapi jika fakta itu ditunjukkan seperti ini sungguh memalukan. Rasanya seperti dia bersikap kekanak-kanakan meskipun dia adalah seorang gadis SMA.

“Buat apa aku mengejekmu? Rasanya terlalu imut untuk diejek. Aku merasa senang kamu begitu menghargainya.” Setelah dibalas dengan sangat serius, Mahiru mendapati dirinya tidak bisa menolak.

“…Aku selalu menghargai apa yang kuterima darimu, Amane-kun.”

“Terima kasih… kamu tidak membawanya hari ini, kan? Maksudku, Kuma-san.”

“Erm, itu karena…kamu akan bersamaku malam ini, Amane-kun.

…Ya.

Hari ini, teman tidurnya yang biasa, boneka beruangnya, dibiarkan menjaga benteng. Untuk malam ini, Amane akan mengambil peran itu. Apa Mahiru ingin menggunakannya sebagai bantal tubuh atau menjadi bantal tubuh masih belum pasti, tapi bagaimanapun juga, mereka punya niat untuk saling membelai demi berbagi kehangatan satu sama lain.

Dadanya mulai terasa sedikit sakit saat menyadari bahwa dia sebenarnya ada di kamar Amane, dia sedikit mengecil. Lalu, entah kenapa, Amane diam-diam menutupi boneka kucing itu dengan selimut. Mahiru tahu dari mana asal selimut itu karena selimut itu disampirkan di atas kursi, tapi tindakan Amane membuatnya bingung, dan rasa gugupnya pun hilang sejenak.

…Apa ada yang salah?

“Y-Yah, aku merasa tidak bisa tenang saat dia memperhatikanku… Itu saja.”

Mahiru terkikik. “Jadi kamu juga mempedulikan hal itu ya, Amane-kun?”

Cerewet.”

“Tapi menurutku itu agak lucu?”

“Kamu sendiri tidak berhak bicara begitu, selalu memeluk Kuma-san saat tidur.”

“Kita sudah selesai membicarakan itu tadi, ‘kan? Duhh!”

Amane tertawa terkekeh karena merasa geli dengan ekspresi cemberut Mahiru. Sebagai tanggapan, Mahiru dengan ringan menampar sisi tubuhnya dengan tangannya yang bebas, tetapi Amane tidak tampak terganggu. Sebaliknya, ia memandangnya dengan geli dan kasih sayang, membuat Mahiru merasa geli di bawah tatapan hangatnya. Terlihat seperti ini adalah bagian yang paling memalukan bagi Mahiru. Itu adalah cara lain mengenai bagaimana Amane memanjakannya.

Amane tampak siap menerima apa pun yang dilemparnya ke arahnya. Sedikit frustrasi, Mahiru menyipitkan matanya dan menatap Amane, yang tidak terpengaruh oleh tatapannya, dan memasang senyuman lembut di bibirnya. Lalu, Ia dengan lembut mencegat tinju kecil Mahiru, yang merupakan alat 'menyerang', dan menangkapnya dengan telapak tangannya yang besar. Tidak ada kekuatan dalam genggamannya. Yang ada hanyalah jalinan jari, seolah-olah bergandengan tangan. Hanya gerakan sederhana ini yang menguras seluruh tenaga Mahiru. Seolah sudah pasrah pada nasibnya, Mahiru secara alami dituntun ke tempat tidur oleh Amane. Meskipun Mahiru tidak menolaknya, duduk di tempat tidur membuat jantungnya berdebar kencang, saat dia memikirkan apa yang akan segera terjadi.

…Apa yang ingin kamu lakukan, Amane-kun? Mahiru mendongak, merasakan Amane melepaskan tangannya, dan mendapati dirinya dipeluk dalam pelukan Amane sebelum dia bisa melihat sekilas wajahnya.

 “…Apa boleh... kita, uh…melanjutkan apa yang kita tinggalkan sebelumnya…di kamar mandi?”

Mengangkat kepalanya dari dada Amane dan mendongak ke atas, Mahiru mendapati dirinya menatap mata Amane yang dalam dan seperti obsidian. Meski mereka tampak tenang, ada nada mendesak di dalam diri mereka, seolah-olah ia menjadi tidak sabar. Hampir terpesona oleh tatapannya, Mahiru berhasil mengucapkan “Y-Ya” dengan terbata-bata, sementara pikirannya berpacu dengan panik. Jawabannya yang agak bingung adalah reaksi terhadap perubahan tak terduga dalam sikap pria itu.

Amane, entah sadar atau tidak akan gejolak batinn Mahiru, tersenyum lembut. Kehangatan dalam senyuman Amane membuat Mahiru merasa pusing, dan pada saat itu juga, ujung jarinya yang kasar mengangkat dagu Mahiru, dan Ia membungkuk untuk menciumnya.

Ah… Dia tidak diberi waktu untuk bereaksi.

Bibir Amane yang sedikit lebih kencang dari bibirnya, menyentuh bibir Mahiru dengan lembut. Sepertinya Amane juga baru-baru ini merawat bibirnya, karena bibirnya penuh dan halus—tidak kering atau pecah-pecah sama sekali. Mereka berhasil menenangkan Mahiru dengan belaian yang menenangkan. Kehangatan yang dia rasakan dari kekasihnya jauh lebih kuat daripada kehangatannya sendiri. Amane, memahami bahwa Mahiru baru saja terbiasa dicium, menempelkan bibirnya ke bibir Mahiru dengan lembut, menggosoknya perlahan untuk meredakan ketegangannya. Mahiru merasakan emosi yang tidak terlalu memalukan tetapi membawa kegelisahan yang tak terlukiskan, tanpa sedikitpun rasa tidak nyaman. Semakin lama mereka berciuman, semakin banyak kekuatannya yang hilang, seolah-olah ditarik keluar, menyebabkan dia semakin bersandar pada tubuh Amane. Mahiru mungkin tiba-tiba terjatuh ke belakang jika Amane tidak mendukungnya.

Sedikit kekasaran bibirnya saat Amane menciumnya menggoda dengan cara yang tak terlukiskan, dan Mahiru terkikik tanpa sengaja. Amane, yang memulai ciuman itu, juga terkekeh melihat reaksi Mahiru. Lalu, dengan lembut serta perlahan, Ia memperdalam ciumannya, menikmati bibir manis Mahiru. Lidahnya yang hangat dan agak kasar menyelinap ke dalam, dengan hati-hati namun penuh semangat menjelajahi apa yang ada di dalamnya. Meskipun Mahiru sudah mempunyai pengalaman, ciuman semacam ini merupakan ciuman yang belum biasa dia lakukan. Tetap saja, dia ingin menerima kehangatan Amane dan merasa semua yang Ia lakukan begitu nyaman sehingga Mahiru, sebaliknya, mulai mencari Amane semakin sering seolah-olah menanggapi rayuannya. Kehangatan mereka menyatu melalui bibir mereka, menyadari bahkan napas mereka pun menjadi sama panasnya. Menjalin napas dan lidah mereka, mereka terus menikmati kehangatan satu sama lain tanpa henti.

Ketika pikirannya serasa berada di awan, Mahiru merasa kalau tubuhnya sangat sensitif terhadap setiap rangsangan. Setiap belaian tangan Amane di punggungnya, yang dimaksudkan untuk menopangnya, mengirimkan sensasi tak dikenal mengalir ke seluruh tubuhnya seperti kejutan listrik statis. Apa Amane sudah terbiasa melakukan ini? Atau apa ia menahan diri sampai sekarang? Bagi Mahiru, jawabannya tidak jelas. Saat ciuman mereka semakin memanas, begitu juga reaksi Mahiru—bukan hanya napas, tetapi juga erangan lembut mulai keluar dari bibirnya. Nada tinggi. Sedikit serak. Sesuatu antara suara dan nafas. Mahiru sendiri tidak mengerti dari mana suara seperti itu berasal. Suaranya bukan satu-satunya hal yang tampak meleleh; seluruh tubuhnya terasa seperti hancur, menyerah sepenuhnya pada Amane.

Saat Mahiru menanggapi ciuman itu dengan suara yang begitu manis sampai-sampai membuatnya hampir tidak percaya kalau itu adalah suara desahannya sendiri, Amane dengan lembut menggerakkan tangannya. Ketika tangannya menelusuri garis pinggang Mahiru yang tersembunyi di bawah daster membuat tubuhnya menggigil sejenak, tapi dia tidak punya niat untuk menghentikan Amane. Perasaan telapak tangannya yang perlahan meluncur ke atas membuat tulang punggungnya merinding, tapi saat mereka berciuman, sensasi itu dengan cepat diliputi oleh sensasi yang berbeda.

――Jika begini terus, kami akan

Jika Mahiru membiarkan Amane melakukan apa yang diinginkannya, dia bahkan tidak perlu memikirkannya—tujuan yang akan mereka tuju sudah jelas. Mahiru tidak punya niatan untuk menolaknya. Namun secara refleks, tubuhnya bergetar hebat, dan Amane dengan cepat menarik tangannya dari tubuhnya. Tidak hanya itu, Amane juga mengakhiri ciuman mereka saat ia memasang ekspresi yang diwarnai nafsu dan rasa bersalah. Ketika melihat ekspresi kekasihnya yang seperti itu, Mahiru secara naluriah membenamkan wajahnya di dada Amane, menangkap tangan yang selalu berusaha memprioritaskan dirinya di atas dirinya sendiri.

“…Erm, aku tidak bermaksud menarik kembali apa yang kukatakan sebelumnya…saat aku meminta untuk menginap,” Mahiru menjelaskan, karena Amane pasti salah mengira rasa menggigilnya sebagai rasa takut atau penolakan.

Tidak, bukan begitu.

Mengatakan dia tidak takut sama sekali adalah sebuah kebohongan. Membiarkan seseorang menyentuhnya untuk pertama kalinya, mengalami sensasi yang tidak diketahui, menerima keinginan orang lain… hal semacam itu tentu saja akan membuat takut sebagian besar orang yang menerimanya. Dan memang demikian. Mempercayakan tubuhnya pada orang lain berarti membuat diri rentan terhadap apa pun yang mungkin terjadi. Meski begitu, Mahiru telah memutuskan untuk menerima Amane. Menatapnya dari dalam pelukannya, dia melihat keterkejutan bercampur dengan ekspresi sebelumnya. Pada akhirnya, dia hendak mundur sendiri. Tidak peduli seberapa terangsangnya Amane, seberapa besar Ia menginginkan Mahiru, Ia menghormati Mahiru dan bersedia menunggu sampai Mahiru siap.

Bagaimana mungkin dia bisa menolak Amane, yang selalu baik hati dan tidak mampu mengutamakan dirinya sendiri? Kehangatannya, hatinya, penampilannya, segalanya tentang dirinya. Mahiru ingin menerimanya secara keseluruhan dan menjadikan itu miliknya. Dia ingin Amane memahami bahwa keinginan untuk memiliki orang lain bukanlah keinginan egoiosnya sendiri. Di tengah rasa malunya, namun dengan tekad yang tak tergoyahkan, Mahiru menatap Amane melalui matanya yang sedikit dibasahi oleh intensitas ciuman mereka. Dia menghela nafas, menyebabkan tubuhnya gemetar karena khawatir dia telah membuatnya marah. Tapi kemudian Amane mengacak-acak rambutnya, menarik napas dalam-dalam beberapa kali seolah ingin menenangkan diri, dan kembali menatapnya. Di pantulan mata obsidiannya, api berkobar terlalu ganas untuk ditutupi, bercampur dengan kilatan dingin seperti besi.

“Um, baiklah aku…”

“Y-Ya?”

“Mengenai perasaanku, aku ingin menjadikanmu milikku, Mahiru.”

…Ya.

Pasti itulah yang sebenarnya dirasakan Amane. Meskipun terasa tidak pantas, mengalihkan pandangannya sedikit ke bawah mengungkapkan sesuatu yang berbicara lebih fasih daripada kata-kata.

“…Tapi, kamu tahu sendiri, erm…Aku belum cukup umur untuk mengambil tanggung jawab, dan jika ada sesuatu yang terjadi, kamulah yang paling terkena dampaknya. Yah, tentu saja aku akan bertanggung jawab jika terjadi sesuatu, tapi bukan berarti aku bisa menjanjikan hubungan yang pasti secara hukum dalam waktu dekat.” Mahiru tidak terlalu bodoh atau dongo sehingga tidak memahami kata-katanya. “Aku mencintaimu, Mahiru, dan itulah sebabnya aku ingin mengutamakanmu. Begitu kamu berhasil menemukan sesuatu yang ingin kamu lakukan atau pelajari di masa depan, aku tidak ingin mengganggu tujuan tersebut. Kita akan menghabiskan banyak waktu bersama mulai sekarang, dan mempertimbangkan hal itu, menurutku hidupmu tidak boleh ditentukan oleh emosi dan nafsu sesaat seperti saat ini.

Aku mengerti.

“Aku sepenuhnya siap untuk menghabiskan sisa hidupku bersamamu, Mahiru. Hanya saja, aku…”

“Kamu tidak perlu mengatakan apa pun lagi,” sela Mahiru.

Dia mengerti bahkan tanpa dia melanjutkan.

Sejujurnya, ia selalu begitu…

Amane selalu bertindak demi kepentingan terbaiknya, dalam segala hal. Meski begitu, Mahiru juga bukannya tidak menyadari hal itu. Dia tahu bahwa tindakan cinta dapat menghasilkan kehidupan baru, dan tidak ada kontrasepsi yang benar-benar aman. Bahkan dengan sangat hati-hati, selalu ada kemungkinan pembuahan, dan jika itu terjadi, Mahiru akan menjalani kehidupan sembari mengandung saat dirinya masih menjadi pelajar. Hal ini dapat menyebabkan beberapa bentuk hukuman dari sekolah, atau bahkan jika tidak, dia mungkin akan dikritik karena tidak bertanggung jawab. Terlebih lagi, masalah tersebut belum selesai begitu anak itu lahir—anak itu masih harus dibesarkan. Gagasan untuk melahirkan anak lain seperti Mahiru ke dunia ini, dan menjadi pihak yang bersalah dalam hal ini, adalah sesuatu yang sama sekali tidak diinginkannya.

Sungguh, aku benar-benar wanita yang sangat beruntung.

Amane sudah mempertimbangkan segalanya, dan meski dihadapkan pada kesempatan dan godaan untuk melepaskan hasratnya yang telah lama terpendam, Ia tetap memutuskan untuk memilih masa depannya. SSeraya merasa sangat bersyukur atas keputusannya, Mahiru dengan lembut mengulurkan tangannya ke pipi Amane.

“Amane-kun, aku mengerti seberapa besar kamu menghormatiku, dan kamu sangat mencintaiku. Dihargai sebesar ini olehmu…Aku merasa sangat-sangat bahagia.”

Dadanya bergejolak karena kehangatan.

Setelah merasa sangat dicintai, dihormati, dan disayangi, Mahiru menyadari seberapa besar perasaan Amane. Meskipun dirinya dipenuhi dengan kebahagiaan sejak mereka mulai resmi berpacaran, selalu ada celah kecil yang tidak dapat diisi di dalam hatinya. Sekarang, akhirnya, kehadiran Amane telah mengisi ruang kosong itu sepenuhnya. Hatinya, yang tadinya kosong, kini terisi penuh oleh Amane. Mahiru merasakan kebahagiaan yang luar biasa ini dengan hati dan tubuhnya, sedemikian rupa sehingga dia merasa seperti dia akan menangis karena bahagia. Tidak berusaha menahan gelombang kebahagiaan ini, Mahiru membiarkan seluruh emosinya mengalir ke dalam senyuman dan menempelkan bibirnya ke bibir Amane dalam ciuman lembut.

“…Aku mencintaimu, Amane-kun…dari lubuk hatiku yang terdalam!”

Mahiru yakin bahwa saat ini, dia adalah orang yang paling bahagia dan paling puas di dunia. Saat dMahiru merasa begitu kewalahan karena diliputi banyak emosi sampai-sampai dia hampir menangis, Amane memberikan ciuman lembut padanya. Ciumannya, bagaikan pancaran sinar matahari lembut yang menyinari jiwa dan raga, terasa menenangkan dan menyejukkan. Amane kemudian dengan lembut memeluk Mahiru dalam pelukannya.

“Bisakah kamu menunggu sampai aku siap mengambil tanggung jawab?”

Apa maksudnya? Amane dengan suaranya yang sedikit bergetar, menahan dirinya untuk masa depan mereka bersama. Cara Ia memandang Mahiru dengan tatapan penuh cinta, dipenuhi dengan sedikit ketidaksabaran dan sedikit rasa frustrasi, membuat Mahiru mudah menebak seberapa besar Ia menahan diri. Bukti terbesarnya dirasakan dalam kontak dekat mereka. Perwujudan dari dorongan hatinya yang tertahan hampir menekannya ke arahnya, seolah-olah untuk mengomunikasikan tekadnya.

Mahiru melirik sekilas ke bawah dan tersipu ketika sesuatu memasuki bidang penglihatannya. Namun, dengan tekad Amane yang sangat jelas, pemandangan itu sama sekali tidak menyenangkan. Dengan anggukan malu-malu sebagai pengakuan pada dirinya sendiri, Mahiru bersandar lebih dekat ke arah Amane yang selalu bertahan dan tabah sekali lagi. Saat Mahiru menyentuh dada Amane yang kokoh, dia merasakan detak jantungnya yang berdebar kencang, yang membuat denyut nadinya bertambah cepat seolah-olah dalam semacam resonansi simpatik.

“Kalau begitu, aku akan membiarkan diriku disayangi sampai waktunya tiba.”

Aku merasa sangat, sangat bahagia. Mahiru tersenyum pada Amane dengan ekspresi puas, dan Ia balas mengangguk ke arahnya dengan ekspresi puas sebelum dengan lembut memeluknya dengan lembut.

“Aku akan memastikan untuk menyayangimu.”

Bgitu mendengar bisikan Amane, Mahiru menutup matanya, penuh dengan antisipasi yang manis dan lembut. Mereka berpelukan dalam diam, detak jantung mereka menyatu menjadi ritme yang tersinkronisasi. Sensasi menenangkan ini membuatnya merasa seolah-olah mereka sedang melebur satu sama lain.

Nee.

Saat Mahiru tertatih-tatih di ambang tidur, terhibur oleh sinar matahari yang lembut, dia samar-samar mendengar suara memanggilnya. Ya? dia menjawab dengan lembut.

“Bolehkah aku menanyakan sesuatu yang memalukan?”

Melihat Amane menggumamkan kata-katanya seolah-olah Ia merasa sulit mengucapkannya, Mahiru tidak bisa menahan tawa, merasa penasaran mengapa Ia merasa ragu-ragu sekarang.

“Silahkan saja. Sebagai orang yang sangat kucintai, aku akan menerima sisi kerenmu, sisi memalukanmu, dan setiap permintaanmu.”

Mahiru siap menghadapi apa pun dan menyukai segala hal tentang dirinya.

Aku penasaran hal ‘memalukan’ apa yang ingin dia tanyakan. Mahiru memiringkan kepalanya ke dalam pikirannya saat dia penuh rasa ingin tahu, bersiap menerima apa pun yang terjadi. Lalu, meski terlihat ragu-ragu, Amane menggerakkan bibirnya dan mendekatkannya ke leher Mahiru. Meskipun Mahiru sedikit gemetar karena kontak yang tiba-tiba itu, tidak ada rasa sakit, hanya kehangatan nafasnya. Mahiru kemudian merilekskan tubuhnya yang tegang sejenak.

“…Baiklah, um… Bolehkah aku menyentuhmu? …Sedikit saja,” Amane bertanya ragu-ragu.

Mahiru berkedip beberapa kali sejenak karena terkejut. Suaranya tenang dan serak, tapi tidak salah lagi ada gairah dalam permintaannya. Amane sepertinya menyadari kalau Mahiru mungkin enggan menerimanya sepenuhnya dengan seluruh tubuhnya. Mempertimbangkan itu, maksud pertanyaannya sebenarnya adalah… Wajahnya langsung memerah setelah menyadari makna tersirat dari kata-katanya. Rasa malunya belum hilang, Mahiru menatapnya sebentar, lalu menurunkan pandangannya lagi. “… T-Tolong, lakukan dengan lembut.”

Mahiru senang disentuh oleh Amane. Meskipun itu mungkin memberikan sensasi yang belum pernah dia alami sebelumnya, dirinya tidak berniat menolak sentuhannya. Selama Amane yang mengajarinya, dia yakin itu tidak akan membawa hal buruk. Selain itu, mereka telah berjanji—untuk merasakan pengalaman pertama mereka bersama. Mana mungkin dia akan menolak saat pertama kali Amane menawarinya.

Hanya jawaban lembut itulah yang bisa diucapkan Mahiru di tengah rasa malunya, yang membuat Amane tertawa senang. Selanjutnya, Amane menarik tangannya, dan jatuh ke tempat tidur, melayang di atas tubuhnya. Dengan lampu yang menerangi sosoknya dari belakang, Ia menatap Mahiru dengan sungguh-sungguh. Penampilannya lembut, penuh kasih, kerinduan, dan memohon. Di kedalaman mata obsidiannya, panas mendidih yang tak terbantahkan berkedip-kedip, dan hanya berada di bawah tatapannya saja sudah membuatnya merasa sangat panas hingga ke inti tubuhnya, seperti tubuhnya dilalap api. Detak jantungnya jauh lebih cepat dari biasanya, hampir terasa seperti bukan detak jantungnya sendiri. Telapak tangannya, yang selalu lembut dan ragu-ragu, kini menelusuri tubuhnya dengan niat ragu-ragu namun jelas. Meski begitu, Mahiru merasa tidak takut sama sekali.

“…Um, jika kamu tidak menyukainya, atau jika itu menyakitkan, tolong beri tahu aku. Aku akan segera berhenti,” kata Amane.

Mungkin khawatir dengan ketegangan sesaat di tubuhnya, Amane menatap tajam ke arah mata Mahiru sebelum menyentuh kulitnya secara langsung. Amane telah membuat pernyataan itu dengan sangat serius. Perbedaan antara keseksian Mahiru sebelumnya dan tatapannya yang sekarang sungguh-sungguh dan penuh perhatian begitu mencolok hingga Mahiru tidak bisa tidak menyadarinya.

“…Bukannya menurutmu, sebagai seorang wanita, aku akan lebih bahagia jika kamu melakukan apa yang kamu mau?”

“I-Itu mungkin benar, ya. Tapi aku tidak ingin memaksamu melakukan apa pun.”

Merasa tersentuh oleh kata-kata Amane yang terus-menerus menunjukkan kepeduliannya, Mahiru diam-diam tersenyum dan mengulurkan tangan ke arah Amane. Saat Mahiru meletakkan tangannya di pipinya yang tersipu, mungkin karena perpaduan antara kegugupan dan kegembiraan, kemerahan di pipinya semakin dalam dan matanya melebar, seolah dipicu oleh lebih banyak emosi.

“Semua yang kamu berikan dan lakukan padaku, membuatku bahagia… Jadi, Amane-kun, tolong izinkan aku menerima semua perasaanmu.”

Meski sedikit menyakitkan, jika itu adalah sesuatu yang diberikan Amane padanya, dia bersedia menerimanya.

Amane takkan pernah dengan sengaja membuatnya menderita. Mahiru tahu bahwa jika ada rasa sakit yang muncul, itu adalah bagian proses yang tidak dapat dihindari. Pola pikir ini hanyalah salah satu contoh persiapan mentalnya.

Saat Mahiru menatapnya dengan tegas sambil tersenyum, mulut Amane bergerak-gerak dengan canggung, seolah-olah Ia sedang berjuang dengan sesuatu. Kemudian, setelah menelan apa yang tampaknya merupakan usahanya untuk bertahan, Ia meletakkan telapak tangannya di dagu Mahiru, lalu mengangkatnya. Meski Mahiru punya firasat tentang apa yang akan terjadi, saat pandangannya kabur seperti tirai yang dibuka, dia merasa seolah-olah dia bisa melihat Amane di sisi lain, tegang namun tidak mampu sepenuhnya menahan senyuman yang lahir dari pengekangan dan ketidakmampuan untuk menahannya. kembali.

“…Dengan kemampuan terbaikku, aku akan mencoba membuatnya terasa menyenangkan untukmu juga,” Ucap Amane.

Setelah ciuman lembut yang hanya berupa sentuhan ringan, diikuti dengan kata-kata lembut yang diucapkan Amane, Mahiru diam-diam menurunkan tangannya yang telah menyentuh Amane. Dirinya yakin, baik secara jiwa maupun raga, bahwa dia bisa mempercayakan segalanya kepada Amane.

…Semuanya akan baik-baik saja.

Bersama pria yang ada di hadapannya, sekarang dan seumur hidupnya, hal itu akan berlaku. Dipenuhi dengan rasa lega dan euforia yang mendalam, Mahiru menerima tangan itu dengan lembut menjelajahi tempat yang sebelumnya tidak pernah diizinkan disentuh oleh siapa pun. (TN: Well. Kira-kira mereka ngapain ya? Wkwkwkwk)

 

 

Ketika Mahiru bangun keesokan paginya, dia segera menyadari di mana dia tidur dan langsung mengatupkan bibirnya. Dia sengaja melakukan hal itu agar tidak mengagetkan Amane, yang sedang tidur nyenyak di sampingnya, sambil memeluknya erat-erat. Hampir tidak bisa menahan teriakan yang hampir keluar dari bibirnya yang terkatup rapat, Mahiru kemudian beralih menenangkan jantungnya yang berdebar kencang, baru saja kelelahan karena keributan di pagi hari, dan menatap ke arah kekasihnya, yang matanya masih tertutup.

Ruangan tersebut terlihat remang-remang, sebagian karena tirai ditutup, menandakan hari masih pagi dan matahari baru saja mulai muncul setiap harinya. Cahaya dari lampu samping, yang lupa dimatikan, tampak sangat terang hingga menyilaukan.

Dalam cahaya lembut, Amane tertidur dengan ekspresi damai di wajahnya. Ia terlihat lebih polos dan menawan dari biasanya, memancarkan rasa kepuasan yang mendalam, dan hanya dengan melihatnya seperti ini saja sudah membuat Mahiru tersenyum. Ia merangkul Mahiru dalam pelukannya dengan ekspresi kepuasan mutlak, mengingatkannya pada seorang anak kecil yang memegang boneka beruang saat mereka tidur. Kepolosan kekanak-kanakan ini sangat kontras dengan kejadian malam sebelumnya.

Dia manis sekali, piker Mahiru. Namun, gambaran ini membuat pikirannya melayang kembali ke kejadian tadi malam, dan sekali lagi, Mahiru mendapati dirinya mengerucutkan bibirnya erat-erat. Tadi malamitu bisa saja berbahaya.

Tentu saja, yang dia maksud adalah perilaku Amane tadi malam. Mereka telah mengungkap banyak aspek dari satu sama lain yang sebelumnya tidak diketahui, dan saling mengajari dalam prosesnya. Hasilnya, Mahiru mendapatkan pemahaman yang lebih dalam tentang aktivitas begituan, dan berhasil menemukan sisi baru dari Amane yang belum pernah dilihatnya sebelumnya. Misalnya, Amane jauh lebih terampil dan tanggap daripada yang dibayangkan Mahiru, namun kehati-hatiannya pada saat-saat penting masih tetap ada. Tapi bukan itu saja. Dia juga menyadari bahwa tingkat hasrat yang terus-menerus ditahannya jauh lebih besar daripada yang Mahiru duga. Hanya mengingat kejadian malam itu—bagaimana tatapannya, jari-jarinya, dan bibirnya menjelajahi dirinya dengan perpaduan kelembutan dan ketelitian—menyebabkan pipinya memerah sekali lagi.

Ketika melirik ke bawah selimut yang menyembunyikan tubuhnya, Mahiru mengangkat kain itu untuk melihat bahwa pakaian yang dia kenakan telah kembali ke tempat semula. Lebih tepatnya, mereka sengaja dipindahkan kembali ke tempat yang seharusnya. Namun, kain halus itu sekarang sudah keriput, dan bekas-bekas baru yang tidak ada sebelum dia tinggal, telah tertanam dengan penuh kasih di kulit aslinya. Tanda-tanda ini dengan mudah terlihat melalui celah di dasternya—yang merupakan bukti jelas akan dorongan hati dan sikap posesif Amane, serta pengingat yang jelas akan keintiman mereka pada malam sebelumnya. Meskipun menyadari fakta itu lagi-lagi membuat Mahiru merassa malu, dia tidak bisa menyalahkannya, karena itu menandakan betapa Amane sangat menginginkannya.

Sejujurnya…

Dengan sengaja menghela nafas hangat, Mahiru membenamkan wajahnya di dada Amane, menutupi dirinya dalam pelukan Amane. Sampai saat ini, sentuhannya telah menutupi pakaiannya, jadi dia tidak menyadarinya, tapi kemarin dia menemukan bahwa tubuhnya lebih kencang dan kuat dari yang terlihat. Mahiru bisa merasakannya secara langsung melalui kontak fisik mereka. Otot-otot yang dia telusuri, ternyata sangat kencang, menambah daya tarik aneh pada kulitnya yang berkeringat dan memerah, dan sangat maskulin, cukup untuk menggerakkan hatinya. Itu sebabnya posisinya saat ini cukup memalukan, tapi kebahagiaan yang dibawanya menutupi rasa malunya, membuatnya meringkuk begitu dekat seperti ini.

Amane-kun, ia sangat…jantan.

Walaupun Mahiru sudah mengetahui hal ini, perilaku sopan Amane agak menutupi fakta ini. Akibatnya, dia diajari secara menyeluruh, baik secara fisik maupun emosional, bahwa Amane hanya berusaha keras menyembunyikan hasratnya yang sebenarnya. Sekarang, merasakan tangan yang melingkari punggungnya, yang telah menyentuhnya tanpa henti, anehnya tubuhnya mulai terasa panas.

Dengan pikirannya yang kembali ke masa kini, Mahiru menyadari bahwa dia terjebak antara rasa malu yang luar biasa yang mendesaknya untuk melarikan diri dan keinginan untuk tetap berada dalam pelukan kekasihnya, menikmati momen-momen bahagia. Jika Amane sudah bangun, mereka mungkin akan berpelukan sebentar, menikmati waktu bersama. Namun sayangnya, ia masih tidur nyenyak. Terlebih lagi, cahaya yang merembes melalui celah tirai semakin terang, menandakan bahwa sudah waktunya untuk memulai rutinitas pagi mereka.

Bahkan di hari liburnya, Mahiru tidak ingin menghentikan rutinitasnya. Karena aktivitas mereka pada malam sebelumnya tidak terlalu membebani tubuhnya, Mahiru merasa tidak apa-apa untuk memulai harinya. Setelah menghabiskan beberapa waktu melamun, terbungkus dalam aroma dan kehangatan orang yang dicintainya, Mahiru dengan lembut memutuskan untuk melepaskan diri dari pelukan Amane yang santai.

Setelah aku berpakaian, ayo siapkan sarapan, Mahiru memutuskan. Dia tentu saja tidak mengambil keputusan itu karena teringat kejadian tadi malam menyebabkan dia mengerang malu, hampir menggeliat di tempat tidur. Sama sekali tidak bukan karena itu.

Mahiru dengan hati-hati bangkit dari tempat tidur, berusaha untuk tidak membangunkannya. Sambil berusaha menghaluskan kerutan yang terbentuk di baju tidurnya tanpa merusak kainnya, dia melihat sekeliling ruangan untuk mencari jam. Kemudian, ketika melihat tumpukan selimut di atas meja, dia tidak bisa menahan tawa sejenak.

Setelah mengenakan sandalnya dengan tenang, Mahiru mendekati meja dan melepaskan boneka kucing yang dengan nyaman terjerat dalam selimut sepanjang malam. Mata bulat dan polos boneka itu tampak tidak menyadari kejadian malam sebelumnya.

Mahiru lalu dengan lembut mengangkat kucing malang yang kehilangan kehadiran tuannya sepanjang malam. Dia meletakkannya di samping Amane, yang tidak menyadari semuanya saat Ia tetap tertidur lelap, bernapas dengan tenang. Mahiru melakukan itu untuk memastikan kalau Amane tidak akan merasa kesepian atau bingung saat bangun dan mendapati keberadaannya tidak ada. Pemandangan kekasihnya tidur dengan tenang di samping boneka itu sungguh menawan.

Sisa-sisa ekspresi intens dan tajam serta tatapan panas yang tak bisa disembunyikan dari tadi malam tidak bisa ditemukan lagi. Sekarang, Ia tampil seperti biasanya, namun, setelah mengenal Amane sejak tadi malam, Ia tampak lebih muda dan lebih disayangi Amane daripada sebelumnya. Mahiru berpikir bahwa dia akan mengambil foto secara diam-diam nanti, sesuatu yang mungkin akan ditolak dengan lembut oleh Amane jika Ia mendengarnya. Berlutut di samping tempat tidur, dia dengan lembut mencium pipi Amane yang masih tertidur sebelum berdiri.

Ayo siapkan sarapan. Favorit Amane-kun—dashimaki tamago.

Kira-kira, apa begini perasaan seorang istri yang menantikan suaminya bangun? Mahiru kemudian bertanya pada dirinya sendiri, sebuah pemikiran yang dia anggap terlalu dini dan memalukan untuk dipertimbangkan. Dengan langkah cepat, Mahiru keluar dari kamar tidurnya dan berjalan ke kamar mandi.

 

 

 

Sebelumnya  |  Daftar isi  |  Selanjutnya

TN: Pertama-tama, Mimin Kareha mau minta maaf karena baru update Tenshi-sama lagi setelah 2 bulan lebih, selain karena ada kegiatan sendiri di RL dan harus ngegarap novel lain (Ya tahu sendiri penerjemah lain, si Maomao, tambah LN baru tapi ditinggal terus wkwkwk), mood buat ngegarap Tenshi-sama susah dapetnya karena mungkin mimin sudah jenuh sama jalan ceritanya yang dipenuhi gula dan lurus-lurus saja tanpa bisa melihat kapan tamatnya LN ini.

Tapi mimin bakal usahain bakal terus ngegarap Tenshi-sama sampe mengejar versi terbarunya. Sekian itu saja dari mimin Kareha, karena mimin enggak tahu mau ngomong apa lagi :D.

close

Posting Komentar

Budayakan berkomentar supaya yang ngerjain project-nya tambah semangat

Lebih baru Lebih lama