Chapter 7 — 24 September (Jumat) Asamura Yuuta
Ruangan itu terlihat
putih bersih tanpa akhir sejauh mata memandang.
Di tengah
ruangan, ada tempat tidur putih bersih, di mana Ayase-san sedang terbaring
mengenakan negligee yang juga putih bersih. Lengan dan kaki rampingnya
yang berwarna kulit serta rambut pirangnya yang menyebar tampak mencolok di
ruang putih itu. Aku juga ikut berbaring di sampingnya.
Seprai
membentuk kerutan di bawah berat tubuh kami berdua.
Jari-jemari
halus Ayase-san perlahan-lahan menyentuh dadaku.
“Yuuta…”
Namaku
dipanggil dengan suara lembut bercampur desahan, dan dia mengelusku dengan
hati-hati. Dalam keadaan setengah sadar, aku merasa ini seperti mimpi yang
sangat tidak nyata. Kami saling mendekatkan wajah. Pipi Ayase-san sedikit
memerah dan tampak lembut. Matanya yang berkaca-kaca dan bibir merahnya semakin
mendekat. Seolah ingin menanggapinya, tanganku pun secara otomatis meraih
tubuhnya, cukup kuat hingga negligee putihnya berkerut──.
◇◇◇◇
“──Hah!”
Aku
terbangun.
Keringat
dingin membasahi tubuhku dengan cukup derass. Jantungku berdetak kencang.
Rupanya itu
hanya mimpi. Benar-benar cuma mimpi. Dalam kehidupan nyata, kamarku sama sekali
tidak terbatas. Itu terbatas. Seharusnya ini jelas.
Tapi,
begitulah.
“Jadi itu
hanya mimpi, ya…”
Sayang
sekali──bukan. Bukan itu. Mimpi apa sih yang
aku lihat barusan?
Begitu terbangun
dari mimpi, aku langsung merasakan beban berat di dalam hatiku.
Memang benar
bahwa aku dan Ayase-san adalah sepasang kekasih. Dan sebagai seorang remaja
laki-laki yang sehat, aku memiliki hasrat yang wajar. Jadi, wajar-wajar saja
jika aku bermimpi seperti itu──.
Namun, aku
tidak bisa mengabaikannya karena kepribadianku. Aku merasa bersalah karena melihat
Ayase-san hanya sebagai objek dari sisi seksualnya saja. Mungkin bisa dibilang
ada rasa malu.
Meskipun aku
tidak melakukan hal yang buruk, jadi seharusnya aku tidak perlu khawatir. Aku
ingin berpikir begitu. Namun, kenyataannya, emosi yang kurasakan justru
sebaliknya.
Mimpi itu
juga tidak baik. Berbeda dengan komunikasi di dunia nyata, mimpi hanya bisa
bersifat satu arah. Di dalam mimpi, tidak ada cara untuk saling memahami.
Selain itu, setelah terbangun, aku menyadari bahwa Ayase-san dalam mimpiku
tidak sesuai dengan dirinya yang sebenarnya.
Dia adalah
Ayase-san yang merupakan perwujudan dari keinginanku.
Tentu saja,
aku tahu bahwa ada kebebasan dalam suatu pemikiran, tetapi tetap saja, aku
merasa seperti sedang melontarkan perasaan seksualku secara sepihak kepada
Ayase-san. Seolah-olah aku mengabaikan kepribadiannya. Bukan itu maksudku, aku
sama sekali tidak ingin meremehkan Ayase-san.
Pada
kenyataannya, jika aku mengajukan usulan tersebut, kami bisa saling memahami.
Namun, meskipun itu hanya sekedar usulan, tapi tap saja…
Rintangan
itu juga masih tinggi.
“Lagipula,
sekarang bukan waktu yang tepat…”
Aku bergumam
sendiri.
Jika
berbicara tentang hal yang realistis, aku baru saja mulai menentukan arah masa
depan dan mulai serius belajar untuk ujian.
Sejak hari Acara
Kampus Terbuka, aku sudah memfokuskan pilihanku ke Universitas Ichinose.
Ayase-san juga mendukungku ketika dia mendengar tentang jalur yang aku pilih.
Kami saling
berjanji untuk belajar bersama dan saling memotivasi dalam persiapan ujian.
Tidak sampai sejauh itu juga sih. Hanya sekedar, “Aku sudah memutuskan,”
“Semangat ya,” dan sejenisnya.
Namun,
universitas yang kami impikan sama-sama sulit, dan aku tidak ingin mengganggu
konsentrasi belajar Ayase-san.
Selain itu,
aku juga tidak tahu bagaimana cara mengajukan komunikasi yang bersifat seksual.
Beberapa
waktu lalu, kami telah sepakat mengenai isyarat tertentu.
Dengan
menyentuh betis satu sama lain, kami berusaha menyampaikan keinginan untuk
berpelukan.
Lalu,
bagaimana dengan langkah selanjutnya?
Jika aku
ingin melangkah lebih jauh dari sekadar berpelukan, apa yang harus kukatakan
kepadanya?
Apa aku
harus meningkatkan frekuensi menyentuh betis? Tiga kali berarti berpelukan,
empat kali berarti ciuman, lima kali berarti… tidak, tidak, kode macam apaan
sih itu? Ini bukan novel mata-mata. Rasanya tidak realistis…
Masalahnya
bukan hanya kesulitan dalam mengajukan saran.
Ayase-san hampir
mengalami ketidakpercayaan terhadap pria, mungkin karena pengalaman buruk
dengan ayahnya yang bercerai. Apa yang akan terjadi jika aku menyampaikan
keinginanku untuk melakukan kontak yang lebih intim?
Bila
diingat-ingat kembali sekarang, sejak aku memberitahunya bahwa aku jatuh cinta
padanya lebih dari sekadar adik tiri, aku sudah sedikit memikirkan hal itu.
Itulah sebabnya, meskipun kami sudah setahun berpacaran, aku tidak bisa
mengajukan saran seperti itu. Sepertinya aku secara tidak sadar sudah menghindarinya.
Aku ingin
melakukan lebih dari sekadar mencium denganmu.
Jika aku
mengatakannya──bagaimana perasaan Ayase-san?
Kesimpulan
yang kudapatkan setelah lebih dari satu tahun bersama dengannya adalah──“aku
tidak tahu.”
Aku tidak
tahu bagaimana menyampaikan perasaanku padanya tanpa menyakiti hatinya.
Pengalaman
komunikasi tentang s*ks antara pria dan wanita sangat kurang bagiku. Kurasa itu
wajar-wajar saja, karena Ayase-san adalah pacar pertamaku.
Bahkan,
bukan hanya aku saja, perbedaan dalam persepsi tentang s*ks sering kali menjadi
ketidakcocokan antara pasangan. Terutama di Jepang, di mana topik s*ks sering
disembunyikan dan dirahasiakan karena masih dianggap tabu, sehingga masalah
hubungan seksual dengan pasangan menjadi hal yang rumit.
Begitu juga
yang tertulis dalam buku.
Meskipun
secara umum begitu, seberapa banyak rintangan yang harus kulalui untuk memberitahu
kepada Ayase-san bahwa aku ingin melangkah lebih jauh dari sekadar berpelukan
dan mencium, serta untuk saling memahami dan benar-benar melakukan tindakan
tersebut?
Saat ini,
aku bahkan tidak bisa membayangkannya sama sekali.
Kalau
dipikir-pikir lagi, wanita bernama Melissa yang kutemui di konser kemarin
sangat mengesankan. Aku belum pernah bertemu wanita yang begitu terbuka
membicarakan tentang s*ks. Aku mengenal wanita yang suka membicarakan candaan
jorok, tapi itu sangat berbeda.
──Ah, jadi begitu rupanya. Alasan kenapa aku jadi
bermimpi seperti ini, mungkin karena apa yang dia katakan kemarin menjadi
pemicunya.
“Mencintai
itu adalah tindakan yang membahagiakan. Jadi menurutku kamu tidak perlu merasa
bersalah tentang itu, kan~?”
Membahagiakan──ya.
Aku yakin
kalau apa yang dikatakan Melissa pasti mengandung nuansa lebih dari sekadar
memuaskan hasrat seksual, tetapi sayangnya, aku hanya bisa membayangkannya saja.
Namun,
kata-kata itu mungkin telah menjadi pemicu, dan imajinasiku untuk lebih dekat
dengan Ayase-san kini mengendap di dalam pikiranku.
Aku menarik
napas dalam-dalam.
Mengisi
udara hingga memenuhi semua kata yang memenuhi kepalaku. Lalu perlahan-lahan
menghembuskannya. Hingga semua pikiran yang berantakan menjadi kosong.
Tidak ada
gunanya terus-menerus memikirkan hal ini saat baru bangun tidur.
Saat aku sudah
merasa rileks, perutku tiba-tiba mulai keroncongan.
“……Kurasa
sebaiknya sarapan dulu, ya?”
◇◇◇◇
Ketika aku meninggalkan
kamar dan berjalan di koridor, aku tiba-tiba bertemu dengan Ayase-san yang
keluar dari dapur.
Dia
mengenakan apron di atas seragamnya.
Seketika,
gerakan kami terhenti di saat yang bersamaan.
Aku jadi
mengingat kembali dengan penampilan Ayase-san yang mengenakan negligee putih
bersih dalam mimpiku. Nyatanya, dia terlihat rapi seperti biasanya.
“Selamat
pagi, Saki.”
“Hmm.
Selamat pagi, Yuuta-niisan. Aku baru mau membangunkanmu. Kita harus segera
makan, nanti kita bisa terlambat ke sekolah.”
“Oh, maaf.”
Sepertinya
aku terlalu tenggelam dalam pikiranku di pagi hari.
Ayahku sudah
tidak ada di ruang makan. Sepertinya ia sudah pergi bekerja, karena
piring-piringnya juga sudah dibersihkan.
“Hari ini
juga kita dimasakkan loh.”
“Eh? Ayah
yang memasaknya?”
Menu
sarapannya adalah telur mata sapi, sosis, sup miso, dan nasi. Memang, ini
adalah menu hidangan yang mungkin bisa dibuat oleh ayahku.
“Aku hanya
membuat telur mata sapi saja. Aku khawatir akan dingin, jadi aku masak di menit-menit
terakhir.”
Sepertinya
Ayase-san juga merasakan kelelahan dari konser kemarin, dan ketika dia bangun,
semuanya sudah siap.
Kami duduk
berhadapan di meja makan dan menyatukan masing-masing kedua tangan kami.
“Selamat
makan.”
Rasanya
wajar jika ucapanku terdengar canggung, mengingat aku baru saja melakukan
hal-hal tertentu di dalam mimpi dengan orang yang sekarang duduk di depanku.
Namun,
ketika melihatnya lebih dekat, Ayase-san yang mengenakan seragam rapi terasa
lebih akrab dibandingkan dengan dirinya dalam mimpi. Dia biasanya mengenakan
atasan bahu terbuka, tetapi pemandangan bahu yang terbuka dalam balutan negligee
jelas-jelas lebih menggoda──.
Eii,
cepatlah menyingkir, dasar nafsu duniawi.
“Sudah
kubilang, jika kita tidak cepat-cepat makan, kita nanti bisa terlambat.”
“Oh, maaf.”
Saat aku
mencoba mengambil sosis dengan sumpit, sosis itu meluncur dan jatuh ke piring.
“Ah.”
Sepertinya
kegugupanku mulai terlihat. Namun, aku tidak ingin dia menyadarinya, jadi aku
mencoba bersikap biasa dan meraih sumpit lagi.
Swoosh.
Sosis itu meluncur jatuh lagi ke atas piring.
“……”
Aku menahan
dorongan untuk menusukkan sumpitku dan dengan hati-hati, mencoba untuk tenang,
perlahan-lahan mengambil sosis dan membawanya ke mulutku.
Ngomong-ngomong,
meskipun sudah setengah hari berlalu, aku masih merasa gelisah, tapi bagaimana
dengan Ayase-san sendiri?
Aku mencuri
pandang ke arahnya sambil mencuri pandang sekilas ke arah Ayase-san.
Swoosh.
Sosis dari
sumpit Ayase-san meluncur pergi.
Aku hampir
tersedak sosis yang sedang aku kunyah. Mungkin Ayase-san juga merasakan hal
yang sama sepertiku.
Dia mencoba
mengambilnya dengan sumpit lagi.
Swoosh. Swoosh.
Upayanya
tampak sia-sia karena sosis itu terus melarikan diri.
“……Tidak,
bukannya begitu, Yuuta-niisan. Ini bukan karena aku gelisah.”
“Yah, karena
digoreng dengan minyak, jadi memang sulit diambil──”
Swoosh.
“Tidak…… aku
juga bukan begitu.”
“Uh, uh-huh.”
Rasanya canggung
sekali.
Demi
menenangkan diri, aku mulai mengaduk sup miso.
Aku
memasukkan sumpit ke dalam mangkuk. Ketika aku mengambil tahu dan menariknya ke
atas, miso yang mengendap di dasar mangkuk bergetar seperti asap. Sup Miso yang
dibuat Ayase-san memiliki ukuran tahu yang pas, tetapi yang dibuat oleh ayahku
sedikit terlalu besar. Tahunya memiliki rasa yang lembut, dan itulah sebabnya
cocok untuk kuah, tetapi jika dimasukkan dalam potongan 2 cm ke dalam sup miso,
saat menggigitnya, mulutku penuh dengan tahu. Ke mana perginya rasa miso tadi?
Begitu ya, ternyata
ukuran tahu juga penting──aku mencatatnya dalam
memo masakanku.
Saat aku
berpikir tentang peningkatan keterampilan memasakku, tiba-tiba Ayase-san
membuka mulutnya.
“Apa yang
harus kita lakukan dengan festival budaya tahun ini?”
Maksudnya? Aku bertanya dengan tatapan, tidak memahami niatnya.
“Lihat,
tahun lalu kita hanya bertemu sebentar di tangga dan tidak pergi berkeliling
untuk mengunjungi pertunjukan, ‘kan?”
“Begitu ya.
Itu sudah setahun yang lalu.”
Kami yang
khawatir akan pandangan orang-orang di sekitar, seolah-olah melakukan sesuatu
yang salah, berusaha menghindari perhatian orang lain saat bertemu berduaan.
“Tahun ini,
aku merasa kalau kita tidak perlu bersembunyi segala, tapi…… lihat, ibu dan
ayah kita.”
“Ah,…… kalau
diingat-ingat lagi, memang iya.”
Orang yang
pertama kali mengatakannya adalah Akiko-san.
Kami memberi
tahu tanggal perayaan festival budaya bulan ini. Setelah itu, Akiko-san
mengajukan cuti untuk datang berkunjung ke festival budaya, karena dia ingin
melihat putrinya tampil dengan baik tahun ini.
“Setelah
tahu bahwa pertunjukan kelas kita adalah ‘Kafe Maid & Butlers Kasino’,
dia jadi lebih antusias.”
“Karena
pekerjaannya, dia sepertinya ingin melihat bagaimana aku melayani.”
Meskipun
begitu, aku merasa kalau gaun maid putrinya bukanlah penampilan yang pantas.
“Selain itu,
dia juga bilang ‘aku ingin melihat kalian berdua bersama-sama di stan
simulasi’.”
“Kalau ingin
melihatku melayani, dia bisa datang ke tempat kerja paruh waktu kita saja.”
“Tapi dia
bilang kalau itu akan mengganggu pekerjaan kita, makanya dia tidak mau.”
Kurasa itu ada
benarnya juga.
Jadi yah,
begitulah, itulah sebabnya Akiko-san mengajukan cuti untuk festival budaya.
Lalu, ayahku
tiba-tiba berkata, “Aku juga ingin pergi,” dan akhirnya mereka berdua
memutuskan untuk datang. Mereka memang pasangan yang selalu akur.
“Tahun lalu
dan tahun sebelumnya mereka tidak datang, tapi sekarang karena Akiko-san bilang
akan pergi, dan ayahku jadi ikutan……”
“Yah, yah.
Mungkin ayah tiri juga sebenarnya peduli. Mungkin ia ingin melihat ini sebagai
kesempatan yang baik.”
“Apa iya
begitu?”
Aku merasa
kalau ayahku hanya ingin berkencan dengan Akiko-san dengan alasan menemani
anak-anaknya.
“Jadi, itu
hari Sabtu, kan?”
“Iya. Aku
dengar kalau katanya lebih mudah untuk mengambil cuti di minggu itu.”
Ayahku biasanya
memang sudah libur pada hari Sabtu, jadi selama Akiko-san bisa mengambil cuti,
mereka berdua bisa datang tanpa masalah.
“Meskipun sudah
terlambat, mungkin lebih baik jika aku atau Ayase-san ada di shift pelayanan
pada hari Sabtu. Mereka pasti akan merasa kecewa jika mereka sudah repot-repot datang
dan tidak bisa bertemu dengan kita.”
“Atau jika
mereka ingin melihat ‘kita berdua bersama’, lebih baik jika mereka datang saat
kita berdua melayani, bukan?”
“Jadi, kita
berdua harus mendapat shift pada hari Sabtu, ya?”
“Iya. Asamura-kun,
kamu sudah mendaftar untuk shift kapan?”
“Karena aku
orang yang tidak mau ambil repot, jadi aku biasanya mengambil shift sebelum dan
setelah hari Sabtu. Dengan begitu, hari berikutnya bisa sepenuhnya kosong.”
Festival
budaya berlangsung selama dua hari, dengan sesi pagi dan sore, jadi ada total
empat shift kerja.
Dari empat
shift itu, kelompok pelayanan harus bertanggung jawab atas dua shift.
“Aku sudah
mendaftar untuk shift pagi pada hari Sabtu dan Minggu, tapi…… Aku akan mencoba
berbicara dengan ketua apakah jadwalku bisa ditukar. Jika bisa, aku juga bisa
memiliki hari Minggu sepenuhnya kosong.”
“Iya. Aku tidak
tahu apakah ayahku bisa bangun pagi atau tidak.”
Kalau gitu, kurasa
lebih baik jika kita mengatur jadwal untuk pagi dan sore agar bisa fleksibel.
Sambil
mengingat jadwal festival budaya, aku berpikir bahwa Ayase-san mungkin sudah
memikirkan ini sebelumnya. Dia bisa mengeluarkan solusi dengan cepat.
Kemudian
Ayase-san menundukkan kepalanya sejenak sebelum mengangkat wajahnya.
“Jadi, jika
begitu…”
Aku sudah
mulai merasakan apa yang akan dia katakan.
“Iya. Ketika
ayah dan Akiko-san datang dan kita berdua yang menyambut, hubungan kita pasti
akan terbongkar.”
Setidaknya,
teman-teman sekelas kita pasti akan mengetahuinya. Itu sudah tidak diragukan
lagi.
Ayahku dan
Akiko-san yang selalu bermesraan, sekarang berbicara dengan akrab kepadaku dan
Ayase-san. Hanya dengan membayangkannya saja, aku yakin mereka akan menarik banyak
perhatian.
Mana mungkin
orang-orang bisa menganggap kami hanya sebagai kenalan biasa.
“Jadi, begini,
meski aku tidak ingin menjelaskan semuanya kepada teman-teman sekelas, tapi aku
rasa mereka mungkin akan mengerti sedikit. Kalau kita berdua sebenarnya saudara
tiri.”
“Iya.”
Jika hanya
sampai di situ, itu akan baik-baik saja, tetapi jika orang-orang mengetahui
bahwa pria dan wanita yang tidak memiliki hubungan darah tinggal di rumah yang
sama, pasti ada saja beberapa orang yang mulai berimajinasi. Lagi pula, secara
hukum, saudara tiri bisa menikah. Sebagai orang yang sudah menerima mereka
sebagai keluarga, aku berusaha untuk tidak memikirkan hal itu sebanyak mungkin.
“Jadi... aku
ingin mengatakan sesuatu sebelum ini menjadi rumor.”
Iya, betul, aku balas mengangguk.
Terkadang,
ada beberapa hal pribadi yang ingin kita bicarakan dengan jelas sebelum orang
lain berspekulasi.
“Walaupun
Maaya sudah mengetahui bahwa kita berdua sebenarnya saudara tiri, tetapi aku masih
belum memberitahu ketua dan Satou-san. Jadi rasanya itu sedikit……
menggangguku.”
“Kamu ingin
mengatakannya sendiri?”
Ayase-san
mengangguk.
“Baiklah.
Jika begitu, aku juga…… mungkin aku akan memberi tahu Yoshida.”
“Lebih baik kalau
kita memberitahunya sebelum festival budaya, ‘kan?”
Aku
mengangguk.
“yang begitu
pasti lebih baik. Namun, menurutku ini soal waktunya saja. Kupikir kita tidak
perlu memaksakan diri untuk mengatakannya.”
Jika dia
memiliki kepribadian yang bisa dengan mudah mengungkapkan hal yang sudah dia
sembunyikan selama hampir setahun, dia tidak akan merasa sebingung ini.
“Kalau itu
mereka berdua, menurutku mereka tidak akan marah kepadamu hanya karena sudah
merahasiakannya.”
“Aku tahu……
aku tahu itu, tapi…”
Aku memutuskan
untuk mengalihkan topik pembicaraan, karena aku merasa jika aku terus
berbicara, itu hanya akan menambah tekanan kepadanya.
“Masalahnya,
masih ada hal lain juga.”
“Eh?”
Ayase-san
yang sedang tenggelam dalam pikirannya mengangkat wajahnya.
“Ini adalah
festival budaya terakhir di Sekolah SMA Suisei, dan ada satu orang yang mungkin
akan terus mengingat dan menggoda kita sampai akhir hayat.”
“Ah……
Yomiuri-san?”
Tepat sekali.
Sepertinya kami memiliki pemahaman yang sama.
“Dia mungkin
akan berkata, ‘Dasar Kouhai-kun, kenapa kamu tidak mengundangku? Kamu sangat
kejam. Apa ikatan kita hanya sebatas ini? Sangat menyedihkan. Jika begini,
mungkin aku harus membuatmu tinggal kelas tahun depan agar bisa mengundangku ke
festival budaya. Aku akan menghantuimu!’”
Aku melihat
Ayase-san tersenyum setengah hati ketika aku menirukan gaya berbicara Yomiuri-senpai.
“Se-Sepertinya
dia tidak akan mengatakan hal seperti itu, tapi… Bagaimana kalau kita
memberitahunya saat shift kita bersama hari ini?”
“Itu mungkin
lebih baik.”
“Ah, tapi…
jika begitu, ada kemungkinan kalau Yomiuri-san juga melihat kita bersama.”
“Kita sudah
harus menyerah pada itu. Lagipula, hubungan kita sudah ketahuan.”
Yomiuri-senpai
sudah mengetahui sejak awal bahwa aku dan Ayase-san adalah saudara tiri, dan bahkan
dia sudah tahu bahwa kami berpacaran.
Yah, tidak
ada orang lain yang perlu kita undang. Jadi kupikir persiapan untuk festival
budaya sudah selesai── tapi aku baru ingat satu hal penting.
Ayase-san
bergumam pelan.
“Kemudian,
jika begitu, kita berdua akan memiliki waktu luang di hari Minggu, kan?”
Pada saat
itulah aku akhirnya menyadarinya. Ayase-san sudah berniat untuk membahas ini
sejak awal.
Aku
menyeruput miso sup. Aku harus tenang dan memikirkan ini. Ini adalah hal yang
penting.
Tahun ini
adalah festival budaya terakhir kami di sekolah SMA. Artinya, jika kami
melewatkan kesempatan ini, aku akan kehilangan kesempatan untuk berkeliling
festival budaya bersama Ayase-san selamanya.
Aku
menggigit tahu. Tahu besar itu masih belum menyerap rasa miso dan rasanya
hambar.
Menyerah pada
kencan festival budaya dengan Ayase-san… rasanya sangat disayangkan.
“Aku juga ingin
berkeliling. Bersama denganmu.”
Setelah
kata-kata itu keluar, aku baru menyadari kalau itu adalah ucapanku sendiri. Setelah
mengatakannya, aku menyesal karena itu adalah saran yang buruk.
“Ah, tidak,
ehm…”
Aku ingin
mengatakannya dengan lebih baik. Langkah pertama dalam berkomunikasi adalah
salah satu dari kami harus menyampaikan pendapatnya. Namun, bukannya berarti
itu bisa dilakukan sembarangan.
Sangat penting
untuk memikirkan cara dan nada bicara agar bisa disampaikan kepada lawan
bicara…
“Aku juga──”
Aku tertegun
sejenak mendengar kata-kata yang diucapkan Ayase-san.
“──aku juga sama.”
“Eh?”
“Aku juga ingin
berkeliling bersama. Di festival budaya.”
“Kamu yakin?”
“Iya.”
Dia
mengangguk kecil.
Ini pasti
merupakan keputusan besar bagi Ayase-san.
Aku masih
mengingat tentang apa yang terjadi setelah Ayase-san dan Akiko-san datang ke
rumahku.
Saat aku
menyarankan agar kami berpura-pura tidak saling kenal di sekolah, dia berkata, “Aku
tidak masalah sama sekali.” Itu berarti dia tidak peduli tentang apa yang
orang lain pikirkan tentangnya.
Namun, di
sisi lain, dia juga berkata, “Aku tidak suka jika ada rumor aneh yang
beredar, jadi mari kita tetap berpura-pura sebagai orang asing untuk sementara
waktu,” lalu pergi pagi-pagi sendirian.
Dengan kata
lain, dia tidak peduli bagaimana orang lain melihatnya, tetapi dia tidak suka
jika ada rumor yang beredar.
Rasanya
seperti kontradiksi──
Namun, jika
dipikir-pikir lagi sekarang, aku bisa memahaminya. Ayase-san bukanlah orang
yang kurang peduli pada orang lain seperti aku, tetapi sebenarnya dia sangat
peka terhadap bisikan yang datang dari orang lain. Itulah sebabnya dia
melindungi dirinya dan memilih dengan hati-hati orang-orang yang dia terima
sebagai teman. Karena dia takut terluka.
“Kalau
begitu, mari kita berkeliling bersama. Aku juga merasakan hal yang sama.”
“Syukurlah,
aku senang.”
Ayase-san
menghela napas dan tersenyum. Ibarat tali yang tadinya kencang telah kendor.
Mungkin itu sebabnya dia sangat gugup..
“Lagipula,
teman sekelas kita pasti akan tahu kalau kita adalah saudara tiri.”
Jika kami berkeliling
sekolah bersama-sama setelah hubungan keluarga kami ketahuan dan beberapa rumor
mulai beredar, mau bagaimana lagi.
Daripada
itu, jauh lebih baik kalau kami menikmati kencan festival budaya dengan tenang
seharian…
Setelah
selesai sarapan, Ayase-san berkata pelan sambil membereskan peralatan makanan.
“Aku jadi sangat
menantikannya.”
“Iya. Aku
juga sama.”
Anehnya,
hatiku sudah merasa puas hanya dengan percakapan semacam itu. Mengetahui bahwa
ada masa depan yang dinanti bersama orang yang kita cintai ternyata tidak
terlalu buruk.
◇◇◇◇
Jam
pelajaran di sore hari terasa ceria.
Ekspresi
teman-teman sekelasku yang seharusnya merupakan para calon peserta ujian
terlihat sedikit lebih lembut. Itu wajar, karena pelajaran hari ini berakhir di
pagi hari. Waktu sore dikhususkan untuk diskusi mengenai festival budaya yang
akan datang bulan depan.
Kelompok
pelayanan, kelompok kostum, kelompok dekorasi, kelompok makanan, dan lain-lain,
masing-masing berkumpul di meja mereka, menunjukkan suasana yang tidak biasa.
Di kelompok pelayanan, ada sekitar 15 orang, terdiri dari 8 laki-laki dan 7
perempuan, dan Ketua kelas memimpin jalannya rapat kelas.
“Ayo, ayo,
ini adalah jadwal shift untuk hari acara loh~ baru saja selesai~”
Aku menerima
lembaran yang dibagikan dan mencari namaku. Asamura, Asamura, Asamu… ah, ketemu,
pagi dan sore hari pertama di hari Sabtu. Sesuai dengan jadwal yang kuminta.
Sekarang,
jika Ayase-san ditugaskan di hari yang sama──
Dia juga ada.
Namanya juga
tertera di jadwal pada hari yang sama.
Saat aku
merasa lega dan mengangkat wajahku, pandangan mataku bertemu dengan Ayase-san.
Dia juga tampaknya memikirkan hal yang sama dan menghela napas kecil penuh rasa
lega.
Ketua mulai
membagikan lembaran lainnya. Berbeda dengan yang sebelumnya, kali ini penuh
dengan tulisan.
“Ini adalah
rencana dan manual pelayanan untuk hari acara. Mungkin sedikit terlalu rinci,
tapi ya, kalian pasti bisa menghadapinya, ‘kan?”
Anggota
kelompok pelayanan menjawab dengan santai tanpa merasa terbebani. Mereka tidak
meremehkan situasi ini. Semua anggota kelompok pelayanan memiliki pengalaman
kerja paruh waktu.
“Terutama
bagi kalian yang masih bekerja paruh waktu── kami sangat mengandalkan kalian.”
Ketua kelas
melirik Ayase-san dengan kedipan mata. Menanggapi sikapnya yang konyol itu,
Ayase-san menghela napas seolah berkata "Ah, iya, iya.”
“Jangan
terlalu banyak berharap.”
“Duh,
lagi-lagi merendah diri begitu, Saki-sensei, tolonglah sekali ini~”
“Aku bukan
guru. Lagipula, aku baru bekerja sedikit lebih dari setahun. Ada orang yang
memiliki pengalaman kerja paruh waktu yang lebih lama dariku…”
Ketika
Ayase-san mengalihkan pandangannya, tatapan ketua kelas beralih ke arahku.
“Hmm.
Ngomong-ngomong, Asamura-shi melaporkan di kolom catatan bahwa dia sudah
bekerja paruh waktu di toko buku selama tiga tahun.”
──Kenapa
Ayase-san dipanggil “sensei” sementara aku dipanggil “shi”?
Semua perhatian
dari kelompok pelayanan tertuju padaku. Hanya Ayase-san yang tampak memiliki
ekspresi “Hadeuh”. Ya, itu tidak bisa dihindari.
“Yah, kurang
lebih sekitar itu.”
“Hmm, jadi,
aku akan menaruh kepercayaan penuh padamu, Asamura-sama.”
──dari “shi”
menjadi “sama.”
“Kalau
begitu, selanjutnya kita tinggal memeriksa alur pergerakan pelanggan. Oh iya,
tapi sebelum itu… O~i!”
Ketua kelas
berteriak sambil melambaikan tangan, dan seorang siswi datang dari sudut kelas.
Rupanya gadis yang dipanggil adalah Satou-san. Semua orang di ruangan itu
terlihat bingung. Dia bukan anggota kelompok pelayanan. Jadi, ada urusan apa
dia datang ke sini? Apa itu──
“Ak-Aku akan
mengukur kalian semua!”
Dia memegang
pita ukur di tangannya. Dalam sekejap, semua orang tertegun. Melihat reaksi
itu, Satou-san tampak bingung.
“Ehm, aku
bagian dari kelompok kostum, dan, aku datang karena mendengar dari ketua kelas
kalau aku harus melakukan pengukuran untuk kostum hari acara…”
Semua
tatapan langsung tertuju kepada ketua kelas.
“Hmm.
Ryochin, ayo segera ukur saja.”
Ketua
mengucapkan itu dengan tenang, seolah dia adalah seorang bangsawan.
Kemudian,
aku bisa mendengar jeritan dari para gadis.
“Dasar
sialan, ketua, kamu sudah merencanakan ini dari awal, ‘kan!” “Ja-Jangan
sekarang! Aku baru saja makan siang!” “Setidaknya tunggu sampai minggu depan…
tidak, bulan depan juga sudah cukup! Aku akan mengurusnya sebelum itu!”
Para gadis mulai
merengek kepada ketua dengan cara yang emosional.
Ketua
mengusap dahi dengan jari telunjuk dan ibu jarinya.
“Dengar
baik-baik, hal-hal seperti ini penting untuk dicatat setiap hari Menurutmu angka mana yang akan lebih memalukan jika berat
badanmu meningkat pada hari acara?”
“Kugh, hanya
pada saat seperti ini kamu bicara benar!” “Memangnya kamu tidak melihat
perasaan gadis-gadis ini…!”
“Ehm…
ketua.”
Mau tak mau
aku jadi ikut berbicara.
“Apa
pengukuran ini berarti kostum akan dibuat dari awal?”
Pekerjaan
kelompok kostum bukanlah membuat kostum, melainkan meminjamnya.
“Mana
mungkin kita bisa membuatnya dari awal. Aku berusaha membuatnya seukuran bebas
sebisa mungkin, tapi setidaknya aku ingin mengetahui ukuran minimalnya. Bahkan
jika harus dipendekkan dengan klip, itu tetap diperlukan.”
“Oh, begitu…ya.”
“Jangan menyerah
begitu saja pada argumen yang benar, Asamura-kun!”
“Iya, iya. Kediktatoran
ketua harus ditentang!”
“Hei, Saki.
Kamu juga setuju, ‘kan? Ini tidak menyenangkan, kan?”
“Yah tapi,
karena jumlah kostumnya sedikit, jadi kita harus mengukur dan memutuskan siapa
yang akan menggunakan kostum yang mana.”
Ayase-san
dengan tenang menunjukkan pendapatnya.
“Kugh!
Bahkan wanita ini juga berbicara benar.”
“Saki tidak
mengerti karena dia punya tubuh model.”
“Lagipula,
kami adalah wanita yang kalah oleh gravitasi…”
“Yang kalah
hanya oleh nafsu makan, sih.”
Sungguh ramai
sekali.
“Kita tidak
diminta untuk diukur di depan para pria. Jadi kurasa lebih baik kalau kita cepat-cepat
pergi ke ruang ganti dan mengukurnya. Yang begitu lebih cepat, ‘kan, ketua?”
“Kalau kamu
mau memamerkan ukuranmu kepada para pria, aku tidak akan menghentikanmu.”
“Kalau itu
sih aku juga tidak mau.”
Ayase-san
berkata dengan tegas.
“A-Anuu…”
Satou-san dengan
takut-takut membuka mulutnya sambil memainkan pita pengukurnya.
“Semua
kostum pelayan yang disiapkan itu sangat lucu, jadi… jika kalian semua
memakainya, kalian pasti akan terlihat sangat cantik! Jadi tidak apa-apa!”
Setelah
mengatakannya, mungkin karena merasa malu, Satou-san menggunakan pita ukur
sebagai perisai dan berkata pelan, “Tolong lupakan apa yang kubilang tadi…”
Aku merasa
seperti mendengar suara detak jantung para gadis yang berdebar.
Gadis-gadis
yang sebelumnya sangat tidak suka dan berteriak itu, satu per satu memeluk
Sato-san dan mengelus kepalanya.
“Iya, iya.
Ryochin memang sangat imut ya~”
“Hei, hei~
bagaimana kalau Ryouchin juga ikut bergabung dengan kelompok pelayanan? Jika
Ryochin ikutan, jumlah pelanggan pasti akan meningkat dua kali lipat!”
“Ah, iya.
Tapi… aku kecil dan tidak ada pakaian yang cocok, jadi… mungkin hanya bisa
membantu kalian. Aku sangat senang jika kalian semua terlihat cantik.”
Gadis-gadis
di sekitar Satou-san tampak terhuyung-huyunh, seolah-olah mereka mengalami
pusing.
“Ah…”
“Inilah yang
disebut perasaan berharga…”
“Baiklah.
Mari kita pergi ke ruang ganti. Semuanya, ayo cepat diukur dan kembali, ya~!”
Ayase-san
diam-diam menghela nafas saat dia mengikuti semua orang keluar kelas.
Ketua kelas
yang mengamati dari jauh tampak tersenyum licik, atau mungkin itu hanya
perasaanku saja.
Aku ingin
berpikir kalau itu hanya perasaanku saja.
Ketua lalu
bertepuk tangan dan berseru.
“Baiklah,
setelah para gadis kembali, sekarang giliran para pria!”
“Eh? Apa
kita juga akan diukur oleh Ryochin!?”
“Tentu saja
tidak!”
Ketua
menggulung manual pelayanan yang dipegangnya dan menepuk punggung Yoshida
dengan lembut.
“Yoshida,
aku akan mengadu kepada Makichi tentang ini!”
“To-Tolong
jangan!”
Yoshida yang
menjatuhkan kedua tangannya dan mulai memohon pada ketua kelas membuat para
pria yang tersisa tertawa.
Sinar
matahari sore sudah mulai condong, menerangi dinding belakang kelas dengan
warna merah keemasan.
Ketika aku melihat
ke luar jendela, langit musim panas sudah tidak terlihat sama sekali, dan awan yang
mirip seperti ikan terbang menyebar di langit barat seperti tirai renda.
Aku menatap
seolah-olah melihat pemandangan yang tidak biasa di dalam kelas.
Teman-teman
sekelas yang bekerja menuju tujuan yang sama. Terkadang terdengar tawa. Ada
yang diam-diam membuat bunga kertas untuk dipajang di dinding, sementara
bendahara sedang merapikan kwitansi yang diterima saat berbelanja ke dalam buku
catatan. Kadang-kadang, seseorang terlihat memainkan ponsel, mungkin sedang
menghitung dengan aplikasi kalkulator. Sepertinya dia sedang bergumam sesuatu.
Siswa-siswa
yang berlarian di koridor sambil membawa tirai gelap. Suara guru yang menegur
mereka. Musik yang terdengar entah dari mana, mungkin dari klub orkestra atau
latihan band sukarela.
Meskipun
tidak ada hubungannya dengan festival budaya, anggota klub olahraga masih
berlari di lapangan sekolah hari ini. Suara sorakan terdengar. Kedengarannya seperti,
“Suisei, semangat!”
“Hei,
Asamura. Ayo kita pergi.”
Aku menoleh
ke arah suara Yoshida. Sepertinya sudah waktunya untuk mengukur ukuran kostum para
pria.
“Oh, maaf. …
Apa kamu yang akan melakukannya, Yoshida?”
Yoshida
memegang pita ukur yang sebelumnya dipegang oleh Satou-san.
“Iya. Ayo
cepat kita selesaikan!”
“Iya, iya.”
“'Iya'-nya
sekali saja kali. Lah, kenapa kamu malah tertawa?”
“Tidak,
bukan apa-apa.”
Hanya saja,
jika mengingat diriku setahun yang dulu, aku pasti tidak akan terlibat dalam
persiapan festival budaya sampai sejauh ini. Sepertinya aku sangat menantikan
festival budaya terakhir yang akan kutempuh di kelas ini.
◇◇◇◇
Sepulang
sekolah. Aku dan Ayase-san pergi bekerja paruh waktu bersama.
Kami
berganti pakaian dari seragam sekolah ke seragam toko buku dan keluar ke area
penjualan. Ayase-san dan Kozono-san bertugas di bagian kasir, sementara aku dan
Yomiuri-senpai bertugas untuk menata stok majalah.
Rasanya
begitu aneh karena kembali menjalani kegiatan sehari-hari seperti bekerja paruh
waktu setelah menjalani aktivitas tidak biasa dalam mempersiapkan festival
budaya. Seolah-olah perutku tidak bisa tenang. Aku merasa kalau masih ada suasana
festival yang tersisa di dalam tubuhku.
Saat
menyusun majalah untuk wanita, tulisan di sampul majalah fashion remaja menarik
perhatianku.
“Musim Gugur
yang Menggugah Selera: Spesial Kencan Makan Jalan! Shin Okubo VS Harajuku:
Pertarungan Manisan!”
Oh, kencan makan
sambil jalan, ya.
Sepertinya
itu merupakan sesuatu yang tidak mungkin terjadi antara aku dan Ayase-san. Jika
harus makan sambil berjalan, sepertinya lebih baik masuk ke dalam restoran
untuk merasa lebih nyaman.
Pertama-tama,
bermesraan di tempat umum memang tidak sesuai dengan sifatku. Meskipun aku
berusaha bersikap seperti sepasang kekasih di luar rumah, membayangkan diriku
berlebihan dalam berdekatan di depan umum membuatku merasakan perasaan malu yang
aneh muncul.
Namun... aku berpikir.
Ayahku selalu
terlihat bermesraan di ruang keluarga atau ruang makan, dan pasangan yang
kulihat di depan Hachiko pada musim panas itu berpelukan di ruang publik. Ditambah
lagi, saat di restoran di Singapura, aku melihat Melissa berciuman dengan
pasangannya setelah mereka selesai bernyanyi.
Tindakan
terbuka seperti itu mungkin adalah standar bagi pasangan, dan mungkin merasa
malu adalah sesuatu yang tidak tepat.
Kira-kira,
apa ada definisi umum untuk perasaan seperti ini?
Sambil
merenungkan lebih mendalam mengenai batas antara ruang publik dan pribadi,
tanganku terus mengisi ulang majalah di rak. Mungkin karena banyaknya
pengunjung siang itu, tumpukan majalah di atas meja sudah cukup rendah.
Dari sampul
yang penuh vitalitas untuk para remaja, aku beralih ke majalah wanita untuk
perempuan berusia sekitar 30-an dengan warna yang lebih tenang. Biasanya, aku
tidak terlalu memperhatikan tulisan di sampul, tetapi kali ini, kata-kata itu
kebetulan menarik perhatianku.
Meskipun
warnanya memiliki nuansa tenang, foto di sampulnya menunjukkan hasil jepretan
yang cukup provokatif.
Apa mereka
telanjang? Karena aku melihat pasangan pria dan wanita berpelukan sambil
memperlihatkan kulit mereka. Tentu saja, ini bukan majalah dewasa, jadi
bagian-bagian pentingnya tidak terlihat. Mereka tertutup oleh seprai. Namun,
ini tetap merupakan snapshot yang cukup menggugah nafsu.
Kemudian, ada
tulisan besar yang mencolok.
“Wajib
Dibaca untuk Wanita Dewasa! Kehidupan Seksual di Musim Gugur: Cara Menggoda
yang Cerdas dan Cara Dibujuk.”
...Eh?
Otakku seketika
beku, butuh waktu bagiku untuk memproses informasi ini, dan kemudian memerlukan
waktu lagi untuk memahami isinya.
Kenangan
mimpiku pagi ini—gambaran Ayase-san yang mengenakan negligee putih—terhubung
dengan sampul itu, membuatku semakin sulit untuk melepaskan pandangan. Apa
maksudnya dengan “cara menggoda dan cara dibujuk”? Bahkan mengajaknya
saja sudah di luar kemampuanku, apalagi cara dibujuk. Teknik misterius apa ini?
“Kamu
terlalu banyak melihatnya loh, Kouhai-kun.”
Ketika aku
berbalik dengan terkejut, aku melihat Yomiuri-senpai sudah berdiri di
belakangku. Sejak kapan dia ada di sini?
Uhmm, oh
iya, benar juga. Saat ini aku sedang bekerja paruh waktu, dan sedang mengisi
ulang stok majalah.
Aku berdiri
mematung sambil memegang majalah “Kehidupan Seksual di Musim Gugur.”
Aku
buru-buru mencoba melanjutkan menumpuk majalah di rak, tetapi semua itu sudah
terlambat.
“Kouhai-kun.
Ingat, kita sedang bekerja di sini.”
“...Apa aku
terlalu banyak melihatnya?”
“Jelas
banget. Kamu melihatnya dengan serius. Meskipun dari sudut pandang Asamura-kun
waktu itu hanya berlangsung sejenak, tapi kesadaranmu sudah meluncur jauh ke
galaksi. Jika kamu memang penasaran, mau membelinya? Jika malu, aku bisa
langsung membantumu di bagian kasir, kok.”
Yomiuri-senpai
tampak seperti anak nakal yang baru menemukan mainan.
Sungguh
memalukan. Mungkin ini akan menjadi aib seumur hidupku. Aku tidak pernah
menyangka kalau diriku sampai bisa terjebak dalam situasi memalukan, apalagi di
hadapan orang ini, yang suka berbicara tentang hal-hal yang berhubungan dengan
s*ks. Tidak, tidak. Sebenarnya, aku hanya terkejut dengan sampul yang
provokatif itu, dan tidak ada maksud lain... meskipun itu sulit untuk kukatakan
saat ini, sih.
“Senpai, aku
ingin meminta pergantian di bagian kasir sekarang.”
“Ah,
Erina-chan. Ya, kita bisa bergantian. Tapi, tunggu dulu sebentar sampai Kouhai-kun
mulai sedikit tenang, ya.”
“Eh... memangnya
ada apa dengan Asamura-senpai?”
“Bukannya
ada apa-apa, tapi lebih tepatnya sih melakukan sesuatu. Namanya juga anak
laki-laki di masa puber.”
“Hmm? Apa
maksudnya?”
“Kamu bisa tanyakan
saja secara langsung kepada Kouhai-kun tentang apa yang ingin dilakukannya.”
“Hah?”
Tidak,
tolong jangan.
“Senpai... Sudah
kubilang, bisakah kamu berhenti membawa pembicaraan ke arah yang tidak pantas
dengan begitu natural?”
Kozono-san
bertanya dengan serius, “Eh, apaan maksudnya?”
Ditatap
dengan mata serius seperti itu membuatku jadi semakin malu, jadi aku berharap
Kozono-san bisa berhenti menatapku dengan wajah penuh harapan.
Namun, aku
juga terkejut dengan diriku sendiri. Kali ini, aku tidak bisa mengabaikan
lelucon yang tidak senonoh seperti biasanya. Aku tahu penyebabnya. Karena aku
jadi teringat dengan mimpi yang aku alami pagi ini. Melihat sampul majalah
wanita yang provokatif juga tidak baik.
Aku sudah
berusaha keras untuk melupakan mimpi aneh itu sepanjang siang karena memikirkan
festival budaya, tapi sampul itu justru mengingatkanku kembali... meskipun itu
mungkin hanya tuduhan palsu saja. Namun, sekali aku mengingat kesan sensual
dari Ayase-san di dalam mimpiku, lelucon jorol Yomiuri-senpai terasa jauh lebih
nyata dibandingkan biasanya.
“Fumu.
Jadi ini yang dinamakan penyakit masa pubertas, ya.”
Bukan
begitu. Ini hanya karena aku sangat sensitif terhadap hal-hal seperti itu saat
ini.
“Umm,
Erina-chan, tolong beritahu pada Saki-chan untuk menunggu 5 menit lagi, ya.”
“Baiklah!”
Meskipun dia
masih tampak kebingungan, Kozono-san segera kembali ke meja kasir.
“Baiklah, untuk
saat ini, mari cepat selesaikan pengisian barang dan berganti di bagian kasir.”
“...Ya.”
Mungkin
karena merasa tidak nyaman, aku bisa menyelesaikan pekerjaan dengan cepat. Saat
kembali ke meja kasir, kebetulan tidak ada pelanggan, dan aku disambut oleh
Kozono-san yang baru kembali, serta Ayase-san.
Ketika kami bergantian,
aku berusaha menghindari Kozono-san yang tampaknya ingin masuk ke mode “kenapa~kenapa~”,
dan dalam keadaan terdesak, aku malah mengalihkan pembicaraan tentang festival
budaya.
Karena orang
umum juga bisa ikut berpartisipasi, jadi aku mengajak mereka untuk datang jika
mereka tertarik. Ayase-san yang ada di sana (yang tidak tahu situasi batinku)
juga ikut berbicara.
“Oh, kafe butler
dan maid, ya! Wah, kalian sudah bekerja keras, ya!”
“Yuuta-senpai,
aku juga ingin pergi!”
“Ah, ... ya.
Tentu saja. Silakan.”
Karena aku
merasa agak bersalah, jadi aku tidak bisa menolaknya. Artinya... kedua orang
ini juga akan datang ke festival sekolah kami.
“Oh.
Erina-chan, akhirnya kamu memanggil Kouhai-kun dengan namanya, ya.”
Setelah dia
bilang, aku baru menyadarinya.
Sambil
berpikir bahwa Yomiuri-senpai sangat cepat menyadari hal itu, aku jadi teringat
bahwa saat dia memberi tahu tentang pergantian kasir tadi, dia memanggilku
dengan panggilan 'Asamura-senpai'.
“Aku baru
menyadarinya, jika aku menambahkan 'senpai' di belakang namanya,
kesadaranku akan lebih tertarik pada 'senpai' dibandingkan namanya. Dengan ini,
hubungan kita jadi semakin dekat!”
Dia
mengatakannya dengan bangga, tetapi sepertinya jika dia masih menganggapku
sebagai 'senpai', jarak di antara kami tidak akan terlalu dekat.
Ayase-san
berkata dengan wajah serius, “Bagus ya.”
Mungkin dia
yang memberi saran itu...
Setelah
berdiri di samping Yomiuri-senpai dan menyelesaikan tugas kasir, giliran
kerjaku akhirnya selesai.
“Bukannya
wajahmu terlihat sangat merah ketika kamu kembali?”
Tidak diragukan
lagi bahwa misi tersulit dari pekerjaan paruh waktu hari ini adalah mengelabui
Ayase-san ketika dia bertanya padaku tentang hal itu di penghujung hari.
◇◇◇◇
Aku sedang
berjalan berdampingan dengan Ayase-san dalam perjalanan pulang ketika hari
sudah gelap gulita.
Percakapan
kami sambil berpegangan tangan sering kali membicarakan hal-hal sepele dalam
kehidupan sehari-hari, namun hari ini banyak perbincangan tentang festival
sekolah.
Aku tidak
pernah menyangka bahwa bukan hanya orang tua kami saja, tetapi Yomiuri-senpai
dan Kozono-san juga akan datang. Dan sepertinya kami harus menyambut kedatangan
mereka.
“Melissa
juga bilang kalau dia sepertinya bisa datang.”
“Oh, jadi
jadwalnya sudah diatur dengan baik, ya?”
Ketika
Ayase-san mengundangnya, sepertinya dia hanya tahu bahwa dia bisa datang selama
dia masih berada di Jepang, tetapi setelah memastikan tidak ada rencana lain,
dia sepertinya sudah pasti akan datang.
Jumlah orang
yang harus kami sambut semakin bertambah. Sepertinya kami akan menjadi sibuk
saat festival budaya nanti, pikirku, ketika ponselku berbunyi menandakan
ada panggilan masuk.
Pada saat
yang hampir bersamaan, ponsel Ayase-san juga berbunyi.
Ada pesan
masuk di grup LINE keluarga. Rupanya itu dari ayah.
【Hari ini
akan pulang larut karena kerja lembur, jadi makanlah dulu, kunci pintunya
dengan baik, dan tidur saja】
Umm, jadi
ini berarti...
Ayase-san
mengangkat ponselnya dan berkata,
“Dari ayah
tiri.”
“Aku juga
baru melihatnya. Lalau begini, sepertinya pulangnya akan larut malam.”
“Iya.”
“Jadi,
setelah pulang, cuma ada kita berdua saja, ya?”
“Iya...”
Aku baru
menyadarinya sekali lagi.
Akiko-san
sudah pergi bekerja sebagai bartender, sedangkan ayahku akan pulang larut malam.
Tentu saja
hal seperti ini sudah pernah terjadi sebelumnya. Bahkan, setahun yang lalu,
saat-saat seperti ini adalah waktu sibuk bagi ayah, dan kami sering
menghabiskan malam berdua. Itulah sebabnya ayah juga mengirim pesan seperti
biasa.
Namun, yang
berbeda dari tahun lalu adalah──.
Hubungan
antara aku dan Ayase-san.
Dalam
perjalanan pulang, kami berdua mungkin sama-sama merasa tegang. Meskipun kami
saling bergandeng tangan, tapi kami tidak saling bertatapan saat membuka pintu
masuk, dan hanya berbicara sedikit saat memasak makan malam.
Bahkan pada
saat-saat seperti ini, tanganku tetap bergerak. Mengiris kol, mengiris daun bawang,
dan menuangkan saus. Ayase-san membuat sup miso dengan sisa makanan. Karena membuat
nasi lagi terasa merepotkan, jadi kami menghangatkan nasi yang sudah dibekukan
dan menyajikannya di mangkuk.
Setelah
menyatukan kedua tangan kami dan mengucapkan “itadakimasu”, kami mulai
makan dengan sumpit secara bersamaan.
Ketika aku
mengangkat pandanganku, aku bisa melihat pemandangan langit malam Shibuya
melalui punggung Ayase-san. Awan rendah memantulkan cahaya kota.
Sambil
menatap punggung Ayase-san yang terlihat di pantulan jendela, aku mencoba
menyentuh betisnya dengan ujung jariku di bawah meja.
Tepat
sebelum itu, ada sesuatu yang menyentuh kakiku. Sensasi lembut yang menyentuh
bagian betisku. Aku menyadari bahwa itu adalah ujung kaki Ayase-san.
Dia terus
menyentuhku dengan ritmis.
Ayase-san menunjukkan
wajah polos sambil mengaduk ikan makarel. Namun, ini jelas merupakan tanda yang
kami sepakati.
Dan saat aku
berusaha membalas isyarat tersebut, aku baru menyadari. Ya ampun. Sebelumnya, kami
tidak memiliki niat tertentu saat melakukan ciuman atau pelukan. Semua itu
hanya sekadar penegasan kasih sayang. Tapi sekarang, melakukan tindakan itu
sepertinya tidak bisa lepas dari──kata-kata Melissa──.
Aku mencuri
pandang ke arah Ayase-san.
Kira-kira,
apa yang sedang dia pikirkan? Namun, hingga saat ini, wajah poker Ayase-san
tetap tidak berubah. Dia terus mengaduk ikan makarel dengan tenang.
Namun, aku
juga tahu bahwa aku tidak seharusnya menolak di sini. Setidaknya jika itu aku,
aku akan merasa sakit hati jika aku ditolak di sini. Tentu saja, jika salah
satu dari kami mengajak, kami harus merespons, atau itu akan menghilangkan
semua kesepakatan yang sudah kami sepakati. Lagipula, pada awalnya aku juga
berusaha mengirimkan kode kepadanya.
Sesaat, aku
sempat merasa ragu. Aku membalasnya dengan menyentuhnya kembali. Apa itu aku
atau Ayase-san yang menghela napas lega, atau mungkin kami berdua”
Karena cuma
ada aku dan Ayase-san saja di rumah ini, jadi sebenarnya kami tidak perlu
bertukar kode segala supaya tidak diketahui siapa pun──argumen yang logis ini
tidak ada artinya bagiku dan Ayase-san yang tidak bisa bertindak seperti
Melissa.
Tidak,
mungkin ini hanya masalah kebiasaan.
Dengan suara
pelan, Ayase-san berkata tanpa mengangkat wajahnya.
“Nanti saja
juga tidak apa-apa, kok.”
Aku hanya
bisa mengangguk dalam keheningan.
“Setelah
mandi, atau waktu senggang lainnya. Karena aku ingin belajar sampai saat itu.”
Aku sangat
setuju dengan usulan itu, tetapi masalahnya adalah apa aku bisa benar-benar
fokus belajar dalam keadaan psikologisku saat ini. Meskipun begitu, aku──.
“Baiklah...”
Aku tidak
punya pilihan lain selain menjawab begitu.
Setelah
menyelesaikan mencuci piring, kami berdua masuk ke kamar masing-masing.
Bagaimanapun
juga, kami adalah siswa yang sedang mempersiapkan ujian masuk universitas.
Rencana belajar hari ini adalah matematika. Aku membuka buku teks dan buku
soal, dan bertanya-tanya, apa aku benar-benar bisa melupakan segala hal tentang
Ayase-san dan berkonsentrasi penuh untuk belajar...
Yah, aku
sudah pernah mengerjakan buku soal ini, dan aku hanya berfokus pada soal-soal
yang tidak bisa kupecahkan sebelumnya, jadi seharusnya tidak terlalu sulit──.
... Suara alarm membuatku terkejut dan
mengangkat wajahku.
Aku
terkejut. Meskipun beberapa menit pertama terasa kabur, ketika aku mulai memantapkan
diri dan membaca soal pertanyaan, otakku secara otomatis menjadi fokus. Aku
tidak menyangka bisa mengusir pikiran itu begitu mudahnya. Entah kenapa, aku
merasa bersalah kepada Ayase-san. Kalau diingat-ingat lagi, sejak kecil, ketika
ayah membawaku ke perpustakaan dan aku menemukan buku, aku selalu menjadi orang
yang tidak kembali ke dalam kenyataan saat terlalu fokus pada buku.
Tidak,
mungkin sebaliknya. Mungkin aku adalah tipe orang yang melarikan diri ke dunia
buku saat mengalami stres. Lah, ini sih gawat. Jika aku sudah menganggapnya
sebagai stres atau pikiran negatif, itu jauh dari apa yang disebut Melissa sebagai
“tindakan membahagiakan.”
... Mungkin sudah saatnya untuk mandi.
Karena aku
merasa terjebak dalam jurang pemikiran yang tidak ada jawabannya, aku
memutuskan untuk segera mandi.
Setelah
memanggil Ayase-san, aku mandi, dan setelah itu, aku meminum teh barley di
ruang makan.
Aku sudah
memberitahunya bahwa aku sudah selesai mandi, jadi aku melihat Ayase-san
berjalan melewati koridor menuju kamar mandi seolah-olah dia menggantikanku.
Aku melihat
jam yang tergantung di dinding.
Sekarang sudah
pukul 10 malam. Ayahku masih belum pulang ke rumah. Sepertinya ayah akan pulang
setelah tengah malam.
Aku kembali
ke dalam kamarku dan membaca buku. Akhir-akhir ini, aku lebih sibuk belajar
sehingga banyak buku yang belum terbaca.
『Pengantar
Ilmu Data Sosial』
Ini adalah
buku tebal dengan judul yang serius. Penulisnya adalah Mori Shigemichi. Dengan
kata lain, penulisnya adalah profesor yang bersama Kudou-sensei. Ketika aku
mencari di rak toko buku tempatku bekerja, aku menemukannya. Namun, meskipun
disebut sebagai pengantar, sepertinya isinya ditujukan untuk mahasiswa, dan
kontennya lumayan sulit. Mungkin karena itu, mataku sering meluncur dan
tiba-tiba aku menyadari bahwa aku telah mengangkat wajahku dari buku dan
melamun. Ternyata, tidak peduli dalam keadaan apa pun, hanya memiliki buku
tidak cukup untuk mengalihkan perhatian. Pada dasarnya, aku hanyalah orang yang
biasa saja...
Kemudian,
aku mendengar suara ketukan dari pintu kamarku.
“Boleh aku
masuk?”
Aku pergi ke
pintu dengan suara sedikit goyah saat mendengar suara Ayase-san, dan menyapanya
setelah mengatakan 'Silakan saja'.
◇◇◇◇
Ayase-san
berdiri di sana sambil membawa cangkir di kedua tangannya setelah mandi.
Dia belum
mengenakan piyamanya, hanya T-shirt dan hot pants, pakaian
sehari-harinya. Meskipun bajunya membiarkan kedua bahunya terbuka, dia
mengenakan jaket tipis berwarna abu-abu di atasnya agar tidak kedinginan.
Rambut panjangnya tampaknya sudah dikeringkan, tetapi masih sedikit lembap.
Ayase-san
berkata sembari mengangkat cangkir di kedua tangannya.
“Ehmm, aku
sudah menyeduh ini. Mau meminumnya?”
Di dalam
cangkir itu terdapat cairan berwarna amber yang bergoyang.
“Teh hitam?”
“Ya. Karena
ini sebelum tidur, jadi aku memilih yang tanpa kafein. Umm... kalau tidak
keberatan, aku juga ingin berbicara denganmu sebentar...”
Setelah
mengucapkan terima kasih dan menerima cangkirnya, aku mengisyaratkan agar dia
masuk ke dalam ruangan. Setelah Ayase-san masuk ke dalam kamar, aku menutup
pintu. Dia langsung duduk di dekat tempat tidur.
“Padahal
kamu bisa menggunakan kursi itu.”
“Itu milik
Asamura-kun, ‘kan? Aku baik-baik saja duduk di sini.”
Mungkin
karena dia merasa sungkan, tapi rasanya tidak enakan jika hanya aku yang
menggunakan kursi yang nyaman.
Dan aku juga
tidak melewatkan saat Ayase-san memanggilku dengan panggilan “Asamura-kun.”
Kurasa itu
wajar saja. Alasan menggunakan isyarat untuk mendapatkan persetujuan adalah
kesepakatan kami untuk menjaga perasaan bahwa ada kalanya kami ingin bertindak
sebagai sepasang kekasih bahkan di dalam rumah. Jika Ayase-san memelukku sambil
memanggilku Yuta-niisan di sini, itu akan menjadi situasi yang lebih berbahaya,
di mana kami berperan sebagai kakak laki-laki dan adik tiri sambil
mengonfirmasi perasaan cinta di antara kami.
“Kalau gitu,
aku juga akan duduk di situ.”
Sambil
mengatakan itu, aku duduk di samping Ayase-san.
“Jadi, apa
yang ingin kamu bicarakan?”
“Hmm. Ini
bukan pembicaraan yang penting, sih.”
Sambil
berkata demikian, Ayase-san mengeluarkan ponselnya dari saku jaket yang dia
kenakan.
“Apa kamu
masih ingat desainer yang kita temui di konser tempo hari?”
“Oh,
maksudmu Akihiro-san?”
“Ya, Akihiro
Ruka-san.”
Aku ingat. Karena
nama kanjinya adalah “Ruri-iro no Kajin”, jadi aku mengingatnya sebagai “Gadis
Cantik Berwarna Biru” di dalam pikiranku.
“Semenjak
konser itu, aku sering melihat akun Instagramnya dan mencari informasi tentang
karyanya. Setelah aku mencari tahu, ternyata pekerjaan utama Ruka-san adalah 'desainer
tata ruang.'”
Desain ruang....? Apa itu?
“Ya, kamu pasti
tidak mengetahuinya. Pada awalnya aku juga tidak mengetahuinya. Tapi sepertinya
ada pekerjaan seperti itu.”
Menurut
penjelasan Ayase-san, sepertinya── itu adalah pekerjaan yang merancang ruang
itu sendiri.
“Apa yang
harus diletakkan di mana dan bagaimana? Bagaimana perasaan orang-orang yang
masuk ke dalam ruangan itu? Misalnya, jika itu ruang tamu, kamu ingin
membuatnya lebih terasa nyaman, dan untuk tempat kerja, kamu ingin ruangan
tersebut tampak rapi tanpa terlihat berantakan, jadi warna apa yang harus
digunakan untuk interiornya dan penataan meja seperti apa yang harus dimiliki? Sepertinya
itu adalah pekerjaan yang memikirkan hal semacam itu.”
“Jadi begitu...ya”
Rasanya
seperti aku bisa memahaminya, tetapi juga tidak.
“Bukan hanya
itu saja, sepertinya dia juga menangani desain logo dan desain brosur. Di
konser Melissa, dia menangani desain seluruh venue hingga brosur secara
keseluruhan.”
Hanya mendengarnya
saja sudah terasa berat.
“Terus, ini akun
Instagramnya.”
Sambil
berkata demikian, dia mengoperasikan ponselnya dan menunjukkan beberapa contoh
sambil berkata, “Seperti ini.”
Foto-foto di
postingan Instagramnya adalah seni yang sedikit berbeda dari brosur yang dibuat
Ruka-san.
“Pola
cair... jadi ini sesuatu yang disebut Fluid Art, ya?”
Banyak orang
mungkin mengenal pola marmer. Marmer adalah istilah untuk batu pualam, tetapi
pada marmer, kita bisa melihat pola yang berkelok-kelok seperti saat cat air
larut dalam air. Pola-pola seperti itu sengaja dibuat dengan melarutkan cat dan
menetapkannya pada media. Fluid Art juga dapat menghasilkan gelembung kecil di
dalam pola cair tersebut, sehingga sering disebut sebagai seni gelembung.
Karena ada banyak gelembung, orang-orang dengan fobia terhadap kumpulan mungkin
merasa tidak nyaman.
“Kamu tahu
tentang ini, Asamura-kun?”
“Aku tidak
terlalu paham tentang seninya. Hanya pengetahuan umumnya saja.”
Di akun
Instagram Ruka-san, selain Fluid Art, ada juga foto seni tiga dimensi yang
dibuat dengan menggabungkan benda-benda kecil yang dekat.
Meskipun aku
tidak punya selera artistik, aku ingin berempati dengan perasaan Ayase-san yang
menyukainya, jadi aku mencoba melihatnya secara positif...dan kemudian, dengan
kata-kataku sendiri, aku memberitahunya apa yang menurutku bagus.
Cantik dan
halus.
Itu sudah pasti.
Sama seperti
yang kupelajari juga saat memilih pakaian bahwa ketika Ayase-san bertanya
tentang pendapatku mengenai seni seperti ini, aku tidak perlu mencari “jawaban
yang benar”. Ayase-san tidak ingin tahu mana yang bagus dan mana yang jelek.
Jadi, aku
hanya menceritakan apa yang kulihat apa adanya.
Fluid Art
tidak dibuat dengan mengontrol garis yang berkelok-kelok dan gelembung secara
ketat.
Jika memang
demikian, seharusnya mereka bisa langsung melukis tanpa harus mengalirkan cat.
Garis dan gelembung itu berada di tempat yang tepat di kanvas karena perpaduan
kebetulan dan kepastian.
Alasan
mengapa pola tersebut digolongkan sebagai seni adalah karena pola yang
dihasilkan dinilai “indah”, maka pengerjaannya melibatkan perbaikan pola
tersebut.
Misalnya
saja, ada karya yang di mana sisi kiri dan kanan kanvas diwarnai dengan pola
berkelok-kelok berwarna biru dan merah. Jika diperhatikan lebih dekat, hanya
pola merah yang memiliki gelembung. Aku tidak tahu apa makna yang terkandung di
dalamnya. Mungkin saja itu tidak ada artinya sama sekali.
Namun, aku
tertarik dengan alur pemikiran Akihiro Ruka-san yang memutuskan untuk
menyelesaikan karyanya dengan itu.
“Misalnya, menurutku
dia seharusnya bisa menambahkan lebih banyak bagian biru, atau sebaliknya.
Tapi, Akihiro-san memutuskan untuk seperti ini, ‘kan? Dia membuatnya terlihat
seimbang di kiri dan kanan. Namun, gelembungnya hanya dimasukkan di bagian
merah sebelah kiri. Aku tidak tahu apakah ada makna di balik itu atau tidak,
tetapi aku tertarik dengan kesadaran Akihiro-san yang memutuskan untuk
melakukannya seperti itu.”
“Jadi begitu
ya.”
“Hal itu
menjadi menarik karena rasanya seperti api biru di sebelah kanan dan api merah
di sebelah kiri sedang bertarung.”
“Jadi,
Asamura-kun melihat ini sebagai pola api, ya?”
“Mungkin aku
terlalu analitis?”
Melihat
sesuatu apa adanya ternyata cukup sulit.
“Hmm, dari
sudut pandangku, hal itu memang terasa agak rasional. Tapi──”
Ada jeda
seolah-olah dia mencari kata-kata yang tepat untuk menanggapi kekhawatiranku
bahwa pendapatku terlalu analitis.
“Aku merasa
pendapat Asamura-kun itu menarik, dan aku merasa senang karena kamu berusaha memberitahu
dari sudut pandangmu.”
“Yahh.”
Aku senang
mendengarnya mengatakan hal itu.
“Jika
Asamura-kun berpikir demikian dalam waktu singkat, maka itu bisa dianggap
sebagai pendapat Asamura-kun. Dan, ya...”
Ayase-san kemudian
berkata bahwa dirinya mulai tertarik pada hal ini.
“Kamu ingin
mencoba membuatnya?”
“Yah, bisa
dibilang begitu.”
Sambil
menatap Instagram, aku teringat dan bertanya pada Ayase-san.
“Ayase-san,
kamu tidak menggunakan Instagram, ‘kan?”
“Ya. Aku
tidak suka foto.”
“Oh iya,
benar juga. Kalau tidak salah kamu pernah bilang begitu.”
Aku jadi teringat
bahwa Ayase-san tidak suka difoto. Itulah sebabnya dia hanya menunjukkan
foto-foto masa kecilnya sebelum pertemuan pertama kami.
“Tapi
sebenarnya, aku tidak membenci foto itu sendiri. Aku hanya tidak suka jika
diriku terlihat di dalam foto.”
Ehm...
“Boleh aku
bertanya, apa maksudnya?”
Ayase-san
mengangguk diam. Kemudian dia mulai berbicara pelan-pelan.
“Bangunan
tua... menurutku bangunan tua itu luar biasa. Apa pun yang kita lakukan, pasti tidak
akan bertahan selama itu, kan?”
“Dalam artian
materialnya, mungkin itu benar.”
Aku berpikir
bahwa ini adalah salah satu kelemahanku, tetapi aku tidak bisa berhenti bicara.
Ketika orang lain berbicara, aku sering kali tidak bisa menahan diri untuk
memberikan pendapat dari sudut pandang yang berbeda, yang hanya membingungkan
mereka dan tidak ada manfaatnya.
“Eh, apa maksudmu?”
Tuh, kan?
“Oh, maaf.
Aku tidak bermaksud menyangkal pembicaraan tentang bangunan, tetapi karena aku
suka buku, aku jadi berpikir seperti ini. Maksudku, buku, atau lebih tepatnya,
catatannya masih tetap ada, ‘kan?”
“Oh, ah...”
“Tablet
tanah liat dari Mesopotamia, papirus dari Mesir... Tablet tanah liat itu bahkan
dikatakan ada sebelum 3000 SM, kan?”
“Iya, benar
juga. Jika dipikir-pikir lagi itu memang benar.”
Yah, karena Ayase-san
memang lebih berpetahuan tentang sejarah, jadi sebagai pengetahuan umum, ini
mungkin sudah terlambat.
“5000 tahun
yang lalu, yaa. Begitu ya, benar juga. Meski aku tahu itu, tetapi aku belum
pernah memikirkan hal itu dengan cara seperti ini.”
“Nah,
terlepas dari ceritaku. Memang benar kalau bangunan-bangunan tua akan tetap ada
selama tidak dibangun kembali. Ketika berpikir bahwa, ‘Ah, rupanya dulu ada
orang yang tinggal di sini ya’, itu membuatku merasa sedikit aneh.”
Ayase-san
mengangguk.
“Jadi,
ketika aku melihat bangunan seperti itu, aku merasa ada sesuatu yang luar biasa
di masa lalu, dan aku merasa seolah-olah itu telah dilestarikan dan terhenti
oleh waktu.”
Ketika
perjalanan ke rumah keluarga besar Ayahku di Nagano.
Aku ingat
bagaimana Ayase-san menemukan bangunan tua yang berdiri di sepanjang jalan dan
mengikutinya dengan mata berbinar.
“Kemudian,
aku berpikir. Jika hanya dari segi teori, foto juga seharusnya sama, ‘kan?”
Jika itu
berarti bahwa sebuah foto akan mengabadikan momen indah untuk selamanya,
mungkin itu benar.
“Tapi, kamu
tidak suka foto?”
Ayase-san
mengangguk.
“Kemampuan
untuk menyimpan, itu berarti juga bisa menyimpan hal-hal yang tidak diinginkan,
‘kan? Meskipun itu... sesuatu yang jelek dan tidak menyenangkan.”
Perkataan
Ayase-san yang diucapkan dengan susah payah membuatku terkejut.
Dengan kata
lain, bagi Ayase-san, foto adalah...
“Aku tidak
suka jika diriku disimpan dalam foto. Terutama... sebelum aku bertemu
Asamura-kun, aku tidak ingin diriku disimpan. Jika diriku yang saat itu abadi
dan terlihat oleh orang lain, lebih baik kalau aku tidak ada foto sama sekali. Itulah
yang kupikirkan.”
“Hal seperti
itu...”
Saat aku
hendak mengatakan bahwa itu tidak mungkin──.
“Baru-baru
ini, aku diberitahu oleh Maaya.”
“Oleh Narasaka-san?”
“Dia bilang,
‘Aku tetap menyukainya meskipun kamu tetap seperti itu,’ Yah, aku pikir
dia masih bisa dengan santainya mengucapkan hal yang memalukan. Tapi, entah
kenapa setelah mendengar itu, aku merasa beban di pundakku sedikit berkurang.”
Kurasa aku
secara tidak sadar tahu bahwa diriku yang kaku itu tidak benar...imbuh Ayase-san. Jadi, itulah sebabnya dia tidak ingin
mengabadikannya dia dalam foto. Namun, setelah mendengar kata-kata Narasaka-san,
sedikit demi sedikit perasaannya mulai berubah.
“Mungkin aku
tidak perlu menyangkal diriku yang dulu.”
“Aku juga
merasa kalau Ayase-san yang dulu saat kita baru pertama kali bertemu itu keren,
kok.”
Kata-kata
itu dimaksudkan untuk menyetujui pendapat Narasaka, tetapi Ayase-san tercekat
dan tersipu malu.
“Di-Dilarang
mengucapkan kalimat yang memalukan!”
“Padahal itu
hanya pendapat biasa."
“Jangan mengatakan
hal yang sama seperti Maaya juga dong... Jadi, itu sebabnya... aku jadi merasa kalau
aku sudah tidak terlalu enggan untuk mengabadikannya dalam foto. Itu juga yang
membuatku melihat Instagram Ruka-san dan mulai berpikir bahwa hal-hal seperti
ini juga bagus...”
“Jadi, kamu sudah
tidak membenci foto lagi?”
“Mungkin itu
lebih baik daripada sebelumnya. Yah, kesampingkan itu, hanya membicarakan
diriku terus rasanya jadi aneh. Tolong ceritakan tentang dirimu juga,
Asamura-kun.”
Setelah
mengatakan itu, dia menyerahkan kendali percakapan.
“Meski kamu
bilang begitu...”
Karena kami sering
bertemu satu sama lain setiap hari, jadi aku tidak bisa memikirkan hal baru yang
bisa diceritakan. Aku sudah menceritakan tentang pengalamanku ketika
mengunjungi acara kampus terbuka.
“Tapi, aku masih
belum mendengar alasan mengapa kamu tertarik dengan kuliahnya Profesor Mori, kok?”
“Jadi aku
belum mengatakannya, ya?”
Setelah dia
mengangguk, aku mengingat kembali awal mula—percakapanku dengan Profesor Mori
yang membuatku berpikir bahwa Fakultas Ilmu Data Sosial itu menarik, dan mulai
bercerita.
Setelah
mendengarkan ceritaku, Ayase-san memberi komentarnya.
“Rasanya memang
menarik karena memandang perceraian sebagai fenomena sosial. ‘Aturan yang
menggerakkan masyarakat besar di balik kelompok besar’ ya.”
“Seandainya
saja kalau memang ada hal yang seperti itu. Namun, memang benar bahwa ada
perubahan dalam masyarakat."
Ayase-san
terkejut setelah mendengar kata-kataku.
“Jadi
Asamura-kun berpikir bahwa perubahan itu pasti terjadi... begitu, ya?”
“Iya, kurasa
begitu. Aku lebih suka berpikir bahwa tidak ada sesuatu yang tidak berubah.”
“Dan itu
adalah hal positif bagimu ya, Asamura-kun?”
Aku tidak
bisa menangkap maksud dari ucapannya dan hanya mengangguk samar.
“Iya. Karena
jika ada perubahan, kita bisa melihat hal-hal baru yang sebelumnya belum pernah
kita lihat.”
“Aku sendiri
merasa takut dengan perubahan. Aku berharap hal-hal baik bisa tetap ada, dan
mungkin aku masih berpikir seperti itu.”
“Jadi,
itulah sebabnya kamu senang melihat bangunan tua yang masih ada?”
“Iya, aku
rasa begitu. Bangunan bersejarah itu merepresentasikan keindahan dan kemegahan
yang dirasakan orang-orang pada masa itu. Itu masih tetap bertahan selamanya. Walaupun
orang-orang yang membangunnya sudah hilang dalam arus sejarah, tetapi bangunan
itu tetap bertahan lama.”
Saat
Ayase-san berbicara demikian, raut wajahnya tampak seperti sedang berada di alam
mimpi.
“Aku tahu
bahwa kebahagiaan tidak akan bertahan selamanya. Itulah sebabnya aku merasa
terpesona oleh reruntuhan dan bangunan tua, seolah-olah hal-hal baik itu
terperangkap dalam waktu.”
Aku
mengangguk.
“Jadi, fluid
art juga sama, ya?”
“Eh?”
“Aku
berpikir bahwa itu adalah seni yang mengabadikan keindahan sekejap yang muncul
dalam pola cat yang mengalir dan berubah.”
“Hmm, benar
juga. Mungkin... itulah sebabnya aku jadi tertarik.”
“Yah,
meskipun tidak selalu seperti itu. Tapi, aku berpikir mungkin seperti itulah
saat mendengar perkataanmu tadi.”
“Jadi kamu tidak
takut dengan perubahan ya, Asamura-kun...”
Aku
menggelengkan kepala. Itu sedikit berbeda.
“Aku juga
takut. Ayah dan ibu kandungku dulunya juga akur. Tapi, jika kebahagiaan tidak
berlangsung selamanya, maka ketidakbahagiaan juga tidak akan berlangsung
selamanya.”
“Itu sih...
secara logika memang benar.”
“Sebelum aku
menemukan buku, aku merasa seolah-olah neraka akan berlangsung selamanya. Bagi
anak-anak, jangankan seminggu, bahkan waktu satu hari saja terasa sangat lama.
Jika ayah dan orang itu bertengkar sejak mereka tiba di rumah sampai malam, itu
terasa seperti selamanya bagi seorang anak.”
“Ah...
mungkin itulah sebabnya ibuku tidak ingin menunjukkan hal-hal seperti itu
padaku waktu dulu.”
“Mungkin saja.
Ayahku memang tipe yang tidak peka. Meskipun belakangan ini ia jadi sedikit
lebih baik setelah dipengaruhi oleh Akiko-san. Makanya, mereka tidak perlu
repot-repot keluar rumah hanya untuk bertengkar, tapi sering berdebat di ruang
tamu. Pada saat itu, aku tidak punya hobi membaca, jadi satu-satunya tempat
untuk melarikan diri adalah televisi. Televisinya ada di ruang tamu, dan tentu
saja ayah dan orang itu juga ada di sana.”
Dengan kata
lain, setelah aku tiba di rumah, aku harus terus melihat ayah dan orang itu
bertengkar. Atau mungkin saat aku sedang belajar? Tapi, saat itu aku tidak
begitu pandai belajar, jadi waktu yang dihabiskan di meja juga terasa
menyakitkan.
“Itulah
sebabnya, ketika aku menemukan buku, aku merasa terselamatkan karena itu
menjadi pelarian bagiku. Berkat itu, nilai-nilaiku perlahan meningkat, jadi
belajar juga menjadi tempat untuk melarikan diri. Dan aku belajar bahwa melalui
buku, dunia bisa berubah. Bahwa hal baik maupun hal buruk tidak akan
berlangsung selamanya.”
“Jadi, hal
itu menjadi penyelamatan bagi Asamura-kun, ya?”
“Ya, aku
pikir begitu. Itulah sebabnya aku jadi tertarik pada penyebab dan situasi yang
membawa perubahan.”
Apa yang
menyebabkan terjadinya perubahan?
Jika aku
bisa mengetahuinya, aku bisa mempersiapkan diri untuk perubahan yang akan
datang—meskipun itu bukan alasan utama aku memilih jurusan yang aku inginkan,
tapi mungkin ada hal-hal seperti itu yang tertanam di dalam pikiran bawah
sadarku.
“Aku merasa bahwa
keadaan kita berdua mirip, tapi meskipun begitu, kepribadian yang muncul dari
sana mungkin cukup berbeda. Aku ingin hal-hal baik berlangsung selamanya,
sedangkan Asamura-kun berpikir bahwa meskipun hal baik berakhir, itu akan
datang lagi suatu saat nanti.”
“Mungkin itu
benar. Jadi, demi memastikan hal baik berikutnya datang, mungkin aku berusaha
mencari tahu apa yang menjadi penyebab perubahan itu.”
Meskipun percakapan
kami terdengar seperti pembicaraan yang cukup sulit, tapi sebenarnya itu hal
yang sederhana. Ayase-san ingin bukti bahwa kebahagiaan memang ada di sana,
sementara aku sedang mencari pola untuk bisa bahagia. Hanya itu saja.
“Rasanya
cukup berbeda.”
“Yah, rasanya
akan merepotkan kalau tidak begitu. Itulah sebabnya dunia ini terasa menarik
karena setiap orang berbeda-beda. Hanya saja, aku sudah menerima bahwa aku
memiliki kepribadian seperti ini, tapi kupikir jika aku berada di hadapan
diriku sendiri, itu pasti akan sangat menyebalkan.”
“Apa itu
berarti kamu membenci dirimu sendiri?”
“Dalam arti
tertentu, mungkin saja begitu. Habisnya, orang yang berpikir bahwa hal baik
juga akan berakhir itu terdengar sombong dan menyebalkan, bukan? Misalnya saja
orang seperti Maru, Aku merasa beruntung karena masih ada yang mau bersamaku.”
Saat aku
mengucapkan itu dengan nada mengejek, Ayase-san yang duduk di sampingku
meletakkan cangkir yang dipegangnya di meja rendah di samping tempat tidur.
Lalu, dia meletakkan tangannya di leherku. Dia memelukku dengan lembut,
mengelilingi tubuhku dengan kedua tangannya.
“Jangan
bilang begitu. Maru-kun tidak mungkin berpikir seperti itu. Karena, aku juga...”
“Ayase-san.”
Ketika dia
mengatakan bahwa itu salah, aku meletakkan cangkir yang aku pegang dengan cara
yang sama.
Lalu, aku
memperbaiki kata-kataku.
“Saki.”
“Ya.”
Perlahan-lahan,
aku mengelilingi pinggangnya dan menariknya lebih dekat. Lipatan selimut di
tempat kami duduk berkerut erat, berubah bentuk sedikit demi sedikit setiap
kali posisi pinggang kami bergeser. Sambil berpikir itu seperti seni fluid, aku
menutup mata dan menyatukan bibir kami.
Saat kami
saling berpelukan, ketegangan perlahan-lahan mulai mengendur.
Setelah kami
berciuman sekali lagi, aku kembali memeluknya. Ada bagian dari diriku yang
ingin terus seperti ini, tetapi di sisi lain, aku merasa tidak bisa menahan
diri. Aku sedikit melonggarkan pelukan dan mendekatkan mulutku ke telinganya.
“Boleh kita melangkah lebih jauh?”
Mengucapkan
itu membutuhkan keberanian. Aku khawatir kalau dia tidak akan suka. Meskipun
kami adalah sepasang kekasih, bukannya berarti kami selalu menginginkan hal
yang sama pada waktu yang sama. Namun, jika salah satu dari kami tidak
melangkah maju, kami tidak akan pernah tahu.
“Iya, boleh...
karena, aku juga merasakan hal yang sama.”
Saat aku
mendengar suaranya yang manis, aku berusaha sekuat tenaga untuk tidak
mengencangkan pelukanku. Tubuh Ayase-san yang ada di dalam pelukanku terasa
lembut, dan aku takut jika aku menekannya terlalu keras, dia akan hancur.
Aroma sabun
atau sampo sehabis mandi tercium dari rambutnya, dan wangi yang menyenangkan
sudah tercium sejak beberapa saat yang lalu. Ketika aku mencoba mengingat di
mana aku pernah mencium aroma ini, aku teringat bahwa itu berasal dari
Ayase-san yang duduk di sampingku selama pertunjukan konser. Wajah kami begitu
dekat sehingga kami bisa mendengar napas satu sama lain, dan suara kami
bergetar.
“Boleh aku
menyentuhmu?”
“Boleh, kok.
Aku juga boleh, ‘kan?”
“Ya.”
Meskipun
percakapan kami terdengar agak formal, aku berpikir bahwa ini memang
mencerminkan seberapa tidak terbiasa kami dengan hal-hal seperti ini.
Sambil masih
saling berdekapan, kami perlahan-lahan memasukkan tangan kami ke dalam pakaian
dan saling menyentuh kulit kami satu sama lain.
Kehangatan
tangan yang menyentuh dan kehangatan di tempat yang tersentuh. Itu membuatku
merasa bahagia dan juga terasa nyaman.
“Aku ingin
terus seperti ini selamanya.”
Itulah
harapan yang diinginkan Ayase-san. Keabadian.
“Tapi,
Asamura-kun tahu bahwa itu tidak akan terjadi.”
“Maaf.”
“Sudah
kubilang kamu tidak perlu minta maaf. Karena... sebagai gantinya, kamu berpikir
seperti ini.”
Sebelum dia
mengucapkannya, aku sudah mengatakannya.
“Jika kamu
mau, aku akan selalu melakukan ini sebanyak yang kamu inginkan.”
Aku
perlahan-lahan membelai kulitnya yang lembut. Telapak tangannya yang melingkar
di punggungku menjelajahi sekitar tulang belikatku, menikmati sensasi yang
menyedot. Aku merasakan tekanan lembut di area dadaku dari tubuhnya saat aku
menariknya mendekay.
Tangannya
juga bergerak dengan hati-hati, menelusuri permukaan kulitku, seolah-olah ingin
memastikan bentuk tubuhku. Tangannya terasa hangat, nyaman, dan panas dari
tempat yang tersentuh mulai menyebar ke seluruh tubuhku, seolah-olah membuatku
seperti akan meleleh.
“Asamura-kun.”
Sekarang,
aku yang berbisik, “Bukan begitu, ‘kan.”
“Yuuta.”
“Saki.”
Seluruh
saraf di tubuhku terasa tajam seperti jarum, berkonsentrasi untuk menangkap
setiap informasi tanpa terlewat, dan karena itulah aku menyadarinya. Suara
kunci yang berputar di pintu masuk──.
Kami berdua
dibuat terkejut dan langsung berhenti bergerak.
“Aku
pulang……”
Aku
mendengar suara pelan ayahku, seolah-olah ia tidak mengharapkan jawaban, dan
aku buru-buru menjauhkan tubuhku.
Ketika aku melihat
jam di dekatku, waktunya sudah lewat tengah malam.
Kami berdua belum
saling menyentuh lebih dari itu. Hanya dengan saling menyentuh kulit secara
langsung saja sudah merupakan pengalaman yang belum pernah kualami, dan memuaskan
hatiku. Ada rasa penyesalan yang tidak bisa dihindari, tetapi mengingat
situasinya, aku segera merapikan pakaianku dan membuka pintu menuju ruang tamu.
Aku harus
mengulur waktu sampai Saki bisa kembali ke kamarnya.
“Se-Selamat
datang kembali!"
“Ah, kamu masih
bangun, ya. Aku baru saja pulang tadi.”
Sambil
mengatakan terima kasih atas kerja kerasnya, aku bertanya apakah ia ingin makan
malam. Seperti yang sudah kuduga, Ayahku menjawab bahwa dirinya sudah selesai
makan.
Sambil
menghalangi agar tidak terlihat dari arah lorong, aku segera mendorong ayahku
untuk mencuci tangan di kamar mandi.
“Mau minum teh?”
“Ah, kalau
bisa, iya tolong.”
“Baiklah.”
Sambil
menjawab begitu, aku diam-diam mengintip ke dalam kamarku, dan tidak ada lagi
sosok Ayase-san di sana. Seprai yang berkerut sudah diperbaiki kembali dengan
rapi. Hanya ada dua cangkir di kamar yang menjadi bukti apa yang terjadi.
Aku membawa
cangkir itu ke wastafel dan mencucinya sambil merebus air untuk ayahku.
Walaupun
keabadian telah berakhir, tapi...
Pada saat
itu, aku merasakan bahwa ini juga merupakan awal yang baru bagi hubungan kami.