Gimai Seikatsu Volume 11 Chapter 7 Bahasa Indonesia

Chapter 7 — 24 September (Jumat) Asamura Yuuta

 

Ruangan itu terlihat putih bersih tanpa akhir sejauh mata memandang.

Di tengah ruangan, ada tempat tidur putih bersih, di mana Ayase-san sedang terbaring mengenakan negligee yang juga putih bersih. Lengan dan kaki rampingnya yang berwarna kulit serta rambut pirangnya yang menyebar tampak mencolok di ruang putih itu. Aku juga ikut berbaring di sampingnya.

Seprai membentuk kerutan di bawah berat tubuh kami berdua.

Jari-jemari halus Ayase-san perlahan-lahan menyentuh dadaku.

“Yuuta…”

Namaku dipanggil dengan suara lembut bercampur desahan, dan dia mengelusku dengan hati-hati. Dalam keadaan setengah sadar, aku merasa ini seperti mimpi yang sangat tidak nyata. Kami saling mendekatkan wajah. Pipi Ayase-san sedikit memerah dan tampak lembut. Matanya yang berkaca-kaca dan bibir merahnya semakin mendekat. Seolah ingin menanggapinya, tanganku pun secara otomatis meraih tubuhnya, cukup kuat hingga negligee putihnya berkerut──.

 

◇◇◇◇

 

“──Hah!”

Aku terbangun.

Keringat dingin membasahi tubuhku dengan cukup derass. Jantungku berdetak kencang.

Rupanya itu hanya mimpi. Benar-benar cuma mimpi. Dalam kehidupan nyata, kamarku sama sekali tidak terbatas. Itu terbatas. Seharusnya ini jelas.

Tapi, begitulah.

“Jadi itu hanya mimpi, ya…”

Sayang sekali──bukan. Bukan itu. Mimpi apa sih yang aku lihat barusan?

Begitu terbangun dari mimpi, aku langsung merasakan beban berat di dalam hatiku.

Memang benar bahwa aku dan Ayase-san adalah sepasang kekasih. Dan sebagai seorang remaja laki-laki yang sehat, aku memiliki hasrat yang wajar. Jadi, wajar-wajar saja jika aku bermimpi seperti itu──.

Namun, aku tidak bisa mengabaikannya karena kepribadianku. Aku merasa bersalah karena melihat Ayase-san hanya sebagai objek dari sisi seksualnya saja. Mungkin bisa dibilang ada rasa malu.

Meskipun aku tidak melakukan hal yang buruk, jadi seharusnya aku tidak perlu khawatir. Aku ingin berpikir begitu. Namun, kenyataannya, emosi yang kurasakan justru sebaliknya.

Mimpi itu juga tidak baik. Berbeda dengan komunikasi di dunia nyata, mimpi hanya bisa bersifat satu arah. Di dalam mimpi, tidak ada cara untuk saling memahami. Selain itu, setelah terbangun, aku menyadari bahwa Ayase-san dalam mimpiku tidak sesuai dengan dirinya yang sebenarnya.

Dia adalah Ayase-san yang merupakan perwujudan dari keinginanku.

Tentu saja, aku tahu bahwa ada kebebasan dalam suatu pemikiran, tetapi tetap saja, aku merasa seperti sedang melontarkan perasaan seksualku secara sepihak kepada Ayase-san. Seolah-olah aku mengabaikan kepribadiannya. Bukan itu maksudku, aku sama sekali tidak ingin meremehkan Ayase-san.

Pada kenyataannya, jika aku mengajukan usulan tersebut, kami bisa saling memahami. Namun, meskipun itu hanya sekedar usulan, tapi tap saja…

Rintangan itu juga masih tinggi.

“Lagipula, sekarang bukan waktu yang tepat…”

Aku bergumam sendiri.

Jika berbicara tentang hal yang realistis, aku baru saja mulai menentukan arah masa depan dan mulai serius belajar untuk ujian.

Sejak hari Acara Kampus Terbuka, aku sudah memfokuskan pilihanku ke Universitas Ichinose. Ayase-san juga mendukungku ketika dia mendengar tentang jalur yang aku pilih.

Kami saling berjanji untuk belajar bersama dan saling memotivasi dalam persiapan ujian. Tidak sampai sejauh itu juga sih. Hanya sekedar, “Aku sudah memutuskan,” “Semangat ya,” dan sejenisnya.

Namun, universitas yang kami impikan sama-sama sulit, dan aku tidak ingin mengganggu konsentrasi belajar Ayase-san.

Selain itu, aku juga tidak tahu bagaimana cara mengajukan komunikasi yang bersifat seksual.

Beberapa waktu lalu, kami telah sepakat mengenai isyarat tertentu.

Dengan menyentuh betis satu sama lain, kami berusaha menyampaikan keinginan untuk berpelukan.

Lalu, bagaimana dengan langkah selanjutnya?

Jika aku ingin melangkah lebih jauh dari sekadar berpelukan, apa yang harus kukatakan kepadanya?

Apa aku harus meningkatkan frekuensi menyentuh betis? Tiga kali berarti berpelukan, empat kali berarti ciuman, lima kali berarti… tidak, tidak, kode macam apaan sih itu? Ini bukan novel mata-mata. Rasanya tidak realistis…

Masalahnya bukan hanya kesulitan dalam mengajukan saran.

Ayase-san hampir mengalami ketidakpercayaan terhadap pria, mungkin karena pengalaman buruk dengan ayahnya yang bercerai. Apa yang akan terjadi jika aku menyampaikan keinginanku untuk melakukan kontak yang lebih intim?

Bila diingat-ingat kembali sekarang, sejak aku memberitahunya bahwa aku jatuh cinta padanya lebih dari sekadar adik tiri, aku sudah sedikit memikirkan hal itu. Itulah sebabnya, meskipun kami sudah setahun berpacaran, aku tidak bisa mengajukan saran seperti itu. Sepertinya aku secara tidak sadar sudah menghindarinya.

Aku ingin melakukan lebih dari sekadar mencium denganmu.

Jika aku mengatakannya──bagaimana perasaan Ayase-san?

Kesimpulan yang kudapatkan setelah lebih dari satu tahun bersama dengannya adalah──“aku tidak tahu.”

Aku tidak tahu bagaimana menyampaikan perasaanku padanya tanpa menyakiti hatinya.

Pengalaman komunikasi tentang s*ks antara pria dan wanita sangat kurang bagiku. Kurasa itu wajar-wajar saja, karena Ayase-san adalah pacar pertamaku.

Bahkan, bukan hanya aku saja, perbedaan dalam persepsi tentang s*ks sering kali menjadi ketidakcocokan antara pasangan. Terutama di Jepang, di mana topik s*ks sering disembunyikan dan dirahasiakan karena masih dianggap tabu, sehingga masalah hubungan seksual dengan pasangan menjadi hal yang rumit.

Begitu juga yang tertulis dalam buku.

Meskipun secara umum begitu, seberapa banyak rintangan yang harus kulalui untuk memberitahu kepada Ayase-san bahwa aku ingin melangkah lebih jauh dari sekadar berpelukan dan mencium, serta untuk saling memahami dan benar-benar melakukan tindakan tersebut?

Saat ini, aku bahkan tidak bisa membayangkannya sama sekali.

Kalau dipikir-pikir lagi, wanita bernama Melissa yang kutemui di konser kemarin sangat mengesankan. Aku belum pernah bertemu wanita yang begitu terbuka membicarakan tentang s*ks. Aku mengenal wanita yang suka membicarakan candaan jorok, tapi itu sangat berbeda.

 ──Ah, jadi begitu rupanya. Alasan kenapa aku jadi bermimpi seperti ini, mungkin karena apa yang dia katakan kemarin menjadi pemicunya.

“Mencintai itu adalah tindakan yang membahagiakan. Jadi menurutku kamu tidak perlu merasa bersalah tentang itu, kan~?”

Membahagiakan──ya.

Aku yakin kalau apa yang dikatakan Melissa pasti mengandung nuansa lebih dari sekadar memuaskan hasrat seksual, tetapi sayangnya, aku hanya bisa membayangkannya saja.

Namun, kata-kata itu mungkin telah menjadi pemicu, dan imajinasiku untuk lebih dekat dengan Ayase-san kini mengendap di dalam pikiranku.

Aku menarik napas dalam-dalam.

Mengisi udara hingga memenuhi semua kata yang memenuhi kepalaku. Lalu perlahan-lahan menghembuskannya. Hingga semua pikiran yang berantakan menjadi kosong.

Tidak ada gunanya terus-menerus memikirkan hal ini saat baru bangun tidur.

Saat aku sudah merasa rileks, perutku tiba-tiba mulai keroncongan.

“……Kurasa sebaiknya sarapan dulu, ya?”

 

◇◇◇◇

 

Ketika aku meninggalkan kamar dan berjalan di koridor, aku tiba-tiba bertemu dengan Ayase-san yang keluar dari dapur.

Dia mengenakan apron di atas seragamnya.

Seketika, gerakan kami terhenti di saat yang bersamaan.

Aku jadi mengingat kembali dengan penampilan Ayase-san yang mengenakan negligee putih bersih dalam mimpiku. Nyatanya, dia terlihat rapi seperti biasanya.

“Selamat pagi, Saki.”

“Hmm. Selamat pagi, Yuuta-niisan. Aku baru mau membangunkanmu. Kita harus segera makan, nanti kita bisa terlambat ke sekolah.”

“Oh, maaf.”

Sepertinya aku terlalu tenggelam dalam pikiranku di pagi hari.

Ayahku sudah tidak ada di ruang makan. Sepertinya ia sudah pergi bekerja, karena piring-piringnya juga sudah dibersihkan.

“Hari ini juga kita dimasakkan loh.”

“Eh? Ayah yang memasaknya?”

Menu sarapannya adalah telur mata sapi, sosis, sup miso, dan nasi. Memang, ini adalah menu hidangan yang mungkin bisa dibuat oleh ayahku.

“Aku hanya membuat telur mata sapi saja. Aku khawatir akan dingin, jadi aku masak di menit-menit terakhir.”

Sepertinya Ayase-san juga merasakan kelelahan dari konser kemarin, dan ketika dia bangun, semuanya sudah siap.

Kami duduk berhadapan di meja makan dan menyatukan masing-masing kedua tangan kami.

“Selamat makan.”

Rasanya wajar jika ucapanku terdengar canggung, mengingat aku baru saja melakukan hal-hal tertentu di dalam mimpi dengan orang yang sekarang duduk di depanku.

Namun, ketika melihatnya lebih dekat, Ayase-san yang mengenakan seragam rapi terasa lebih akrab dibandingkan dengan dirinya dalam mimpi. Dia biasanya mengenakan atasan bahu terbuka, tetapi pemandangan bahu yang terbuka dalam balutan negligee jelas-jelas lebih menggoda──.

Eii, cepatlah menyingkir, dasar nafsu duniawi.

“Sudah kubilang, jika kita tidak cepat-cepat makan, kita nanti bisa terlambat.”

“Oh, maaf.”

Saat aku mencoba mengambil sosis dengan sumpit, sosis itu meluncur dan jatuh ke piring.

“Ah.”

Sepertinya kegugupanku mulai terlihat. Namun, aku tidak ingin dia menyadarinya, jadi aku mencoba bersikap biasa dan meraih sumpit lagi.

 Swoosh.

 Sosis itu meluncur jatuh lagi ke atas piring.

 “……”

Aku menahan dorongan untuk menusukkan sumpitku dan dengan hati-hati, mencoba untuk tenang, perlahan-lahan mengambil sosis dan membawanya ke mulutku.

Ngomong-ngomong, meskipun sudah setengah hari berlalu, aku masih merasa gelisah, tapi bagaimana dengan Ayase-san sendiri?

Aku mencuri pandang ke arahnya sambil mencuri pandang sekilas ke arah Ayase-san.

Swoosh.

Sosis dari sumpit Ayase-san meluncur pergi.

Aku hampir tersedak sosis yang sedang aku kunyah. Mungkin Ayase-san juga merasakan hal yang sama sepertiku.

Dia mencoba mengambilnya dengan sumpit lagi.

Swoosh. Swoosh.

Upayanya tampak sia-sia karena sosis itu terus melarikan diri.

“……Tidak, bukannya begitu, Yuuta-niisan. Ini bukan karena aku gelisah.”

“Yah, karena digoreng dengan minyak, jadi memang sulit diambil──”

Swoosh.

“Tidak…… aku juga bukan begitu.”

“Uh, uh-huh.”

Rasanya canggung sekali.

Demi menenangkan diri, aku mulai mengaduk sup miso.

Aku memasukkan sumpit ke dalam mangkuk. Ketika aku mengambil tahu dan menariknya ke atas, miso yang mengendap di dasar mangkuk bergetar seperti asap. Sup Miso yang dibuat Ayase-san memiliki ukuran tahu yang pas, tetapi yang dibuat oleh ayahku sedikit terlalu besar. Tahunya memiliki rasa yang lembut, dan itulah sebabnya cocok untuk kuah, tetapi jika dimasukkan dalam potongan 2 cm ke dalam sup miso, saat menggigitnya, mulutku penuh dengan tahu. Ke mana perginya rasa miso tadi?

Begitu ya, ternyata ukuran tahu juga penting──aku mencatatnya dalam memo masakanku.

Saat aku berpikir tentang peningkatan keterampilan memasakku, tiba-tiba Ayase-san membuka mulutnya.

“Apa yang harus kita lakukan dengan festival budaya tahun ini?”

Maksudnya? Aku bertanya dengan tatapan, tidak memahami niatnya.

“Lihat, tahun lalu kita hanya bertemu sebentar di tangga dan tidak pergi berkeliling untuk mengunjungi pertunjukan, ‘kan?”

“Begitu ya. Itu sudah setahun yang lalu.”

Kami yang khawatir akan pandangan orang-orang di sekitar, seolah-olah melakukan sesuatu yang salah, berusaha menghindari perhatian orang lain saat bertemu berduaan.

“Tahun ini, aku merasa kalau kita tidak perlu bersembunyi segala, tapi…… lihat, ibu dan ayah kita.”

“Ah,…… kalau diingat-ingat lagi, memang iya.”

Orang yang pertama kali mengatakannya adalah Akiko-san.

Kami memberi tahu tanggal perayaan festival budaya bulan ini. Setelah itu, Akiko-san mengajukan cuti untuk datang berkunjung ke festival budaya, karena dia ingin melihat putrinya tampil dengan baik tahun ini.

“Setelah tahu bahwa pertunjukan kelas kita adalah ‘Kafe Maid & Butlers Kasino’, dia jadi lebih antusias.”

“Karena pekerjaannya, dia sepertinya ingin melihat bagaimana aku melayani.”

Meskipun begitu, aku merasa kalau gaun maid putrinya bukanlah penampilan yang pantas.

“Selain itu, dia juga bilang ‘aku ingin melihat kalian berdua bersama-sama di stan simulasi’.

“Kalau ingin melihatku melayani, dia bisa datang ke tempat kerja paruh waktu kita saja.”

“Tapi dia bilang kalau itu akan mengganggu pekerjaan kita, makanya dia tidak mau.”

Kurasa itu ada benarnya juga.

Jadi yah, begitulah, itulah sebabnya Akiko-san mengajukan cuti untuk festival budaya.

Lalu, ayahku tiba-tiba berkata, “Aku juga ingin pergi,” dan akhirnya mereka berdua memutuskan untuk datang. Mereka memang pasangan yang selalu akur.

“Tahun lalu dan tahun sebelumnya mereka tidak datang, tapi sekarang karena Akiko-san bilang akan pergi, dan ayahku jadi ikutan……”

“Yah, yah. Mungkin ayah tiri juga sebenarnya peduli. Mungkin ia ingin melihat ini sebagai kesempatan yang baik.”

“Apa iya begitu?”

Aku merasa kalau ayahku hanya ingin berkencan dengan Akiko-san dengan alasan menemani anak-anaknya.

“Jadi, itu hari Sabtu, kan?”

“Iya. Aku dengar kalau katanya lebih mudah untuk mengambil cuti di minggu itu.”

Ayahku biasanya memang sudah libur pada hari Sabtu, jadi selama Akiko-san bisa mengambil cuti, mereka berdua bisa datang tanpa masalah.

“Meskipun sudah terlambat, mungkin lebih baik jika aku atau Ayase-san ada di shift pelayanan pada hari Sabtu. Mereka pasti akan merasa kecewa jika mereka sudah repot-repot datang dan tidak bisa bertemu dengan kita.”

“Atau jika mereka ingin melihat ‘kita berdua bersama’, lebih baik jika mereka datang saat kita berdua melayani, bukan?”

“Jadi, kita berdua harus mendapat shift pada hari Sabtu, ya?”

“Iya. Asamura-kun, kamu sudah mendaftar untuk shift kapan?”

“Karena aku orang yang tidak mau ambil repot, jadi aku biasanya mengambil shift sebelum dan setelah hari Sabtu. Dengan begitu, hari berikutnya bisa sepenuhnya kosong.”

Festival budaya berlangsung selama dua hari, dengan sesi pagi dan sore, jadi ada total empat shift kerja.

Dari empat shift itu, kelompok pelayanan harus bertanggung jawab atas dua shift.

“Aku sudah mendaftar untuk shift pagi pada hari Sabtu dan Minggu, tapi…… Aku akan mencoba berbicara dengan ketua apakah jadwalku bisa ditukar. Jika bisa, aku juga bisa memiliki hari Minggu sepenuhnya kosong.”

“Iya. Aku tidak tahu apakah ayahku bisa bangun pagi atau tidak.”

Kalau gitu, kurasa lebih baik jika kita mengatur jadwal untuk pagi dan sore agar bisa fleksibel.

Sambil mengingat jadwal festival budaya, aku berpikir bahwa Ayase-san mungkin sudah memikirkan ini sebelumnya. Dia bisa mengeluarkan solusi dengan cepat.

Kemudian Ayase-san menundukkan kepalanya sejenak sebelum mengangkat wajahnya.

“Jadi, jika begitu…”

Aku sudah mulai merasakan apa yang akan dia katakan.

“Iya. Ketika ayah dan Akiko-san datang dan kita berdua yang menyambut, hubungan kita pasti akan terbongkar.”

Setidaknya, teman-teman sekelas kita pasti akan mengetahuinya. Itu sudah tidak diragukan lagi.

Ayahku dan Akiko-san yang selalu bermesraan, sekarang berbicara dengan akrab kepadaku dan Ayase-san. Hanya dengan membayangkannya saja, aku yakin mereka akan menarik banyak perhatian.

Mana mungkin orang-orang bisa menganggap kami hanya sebagai kenalan biasa.

“Jadi, begini, meski aku tidak ingin menjelaskan semuanya kepada teman-teman sekelas, tapi aku rasa mereka mungkin akan mengerti sedikit. Kalau kita berdua sebenarnya saudara tiri.”

“Iya.”

Jika hanya sampai di situ, itu akan baik-baik saja, tetapi jika orang-orang mengetahui bahwa pria dan wanita yang tidak memiliki hubungan darah tinggal di rumah yang sama, pasti ada saja beberapa orang yang mulai berimajinasi. Lagi pula, secara hukum, saudara tiri bisa menikah. Sebagai orang yang sudah menerima mereka sebagai keluarga, aku berusaha untuk tidak memikirkan hal itu sebanyak mungkin.

“Jadi... aku ingin mengatakan sesuatu sebelum ini menjadi rumor.”

Iya, betul, aku balas mengangguk.

Terkadang, ada beberapa hal pribadi yang ingin kita bicarakan dengan jelas sebelum orang lain berspekulasi.

“Walaupun Maaya sudah mengetahui bahwa kita berdua sebenarnya saudara tiri, tetapi aku masih belum memberitahu ketua dan Satou-san. Jadi rasanya itu sedikit…… menggangguku.”

“Kamu ingin mengatakannya sendiri?”

Ayase-san mengangguk.

“Baiklah. Jika begitu, aku juga…… mungkin aku akan memberi tahu Yoshida.”

“Lebih baik kalau kita memberitahunya sebelum festival budaya, ‘kan?”

Aku mengangguk.

“yang begitu pasti lebih baik. Namun, menurutku ini soal waktunya saja. Kupikir kita tidak perlu memaksakan diri untuk mengatakannya.”

Jika dia memiliki kepribadian yang bisa dengan mudah mengungkapkan hal yang sudah dia sembunyikan selama hampir setahun, dia tidak akan merasa sebingung ini.

“Kalau itu mereka berdua, menurutku mereka tidak akan marah kepadamu hanya karena sudah merahasiakannya.”

“Aku tahu…… aku tahu itu, tapi…”

Aku memutuskan untuk mengalihkan topik pembicaraan, karena aku merasa jika aku terus berbicara, itu hanya akan menambah tekanan kepadanya.

“Masalahnya, masih ada hal lain juga.”

“Eh?”

Ayase-san yang sedang tenggelam dalam pikirannya mengangkat wajahnya.

“Ini adalah festival budaya terakhir di Sekolah SMA Suisei, dan ada satu orang yang mungkin akan terus mengingat dan menggoda kita sampai akhir hayat.”

“Ah…… Yomiuri-san?”

Tepat sekali. Sepertinya kami memiliki pemahaman yang sama.

“Dia mungkin akan berkata, ‘Dasar Kouhai-kun, kenapa kamu tidak mengundangku? Kamu sangat kejam. Apa ikatan kita hanya sebatas ini? Sangat menyedihkan. Jika begini, mungkin aku harus membuatmu tinggal kelas tahun depan agar bisa mengundangku ke festival budaya. Aku akan menghantuimu!’

Aku melihat Ayase-san tersenyum setengah hati ketika aku menirukan gaya berbicara Yomiuri-senpai.

“Se-Sepertinya dia tidak akan mengatakan hal seperti itu, tapi… Bagaimana kalau kita memberitahunya saat shift kita bersama hari ini?”

“Itu mungkin lebih baik.”

“Ah, tapi… jika begitu, ada kemungkinan kalau Yomiuri-san juga melihat kita bersama.”

“Kita sudah harus menyerah pada itu. Lagipula, hubungan kita sudah ketahuan.”

Yomiuri-senpai sudah mengetahui sejak awal bahwa aku dan Ayase-san adalah saudara tiri, dan bahkan dia sudah tahu bahwa kami berpacaran.

Yah, tidak ada orang lain yang perlu kita undang. Jadi kupikir persiapan untuk festival budaya sudah selesai── tapi aku baru ingat satu hal penting.

Ayase-san bergumam pelan.

“Kemudian, jika begitu, kita berdua akan memiliki waktu luang di hari Minggu, kan?”

Pada saat itulah aku akhirnya menyadarinya. Ayase-san sudah berniat untuk membahas ini sejak awal.

Aku menyeruput miso sup. Aku harus tenang dan memikirkan ini. Ini adalah hal yang penting.

Tahun ini adalah festival budaya terakhir kami di sekolah SMA. Artinya, jika kami melewatkan kesempatan ini, aku akan kehilangan kesempatan untuk berkeliling festival budaya bersama Ayase-san selamanya.

Aku menggigit tahu. Tahu besar itu masih belum menyerap rasa miso dan rasanya hambar.

Menyerah pada kencan festival budaya dengan Ayase-san… rasanya sangat disayangkan.

“Aku juga ingin berkeliling. Bersama denganmu.”

Setelah kata-kata itu keluar, aku baru menyadari kalau itu adalah ucapanku sendiri. Setelah mengatakannya, aku menyesal karena itu adalah saran yang buruk.

“Ah, tidak, ehm…”

Aku ingin mengatakannya dengan lebih baik. Langkah pertama dalam berkomunikasi adalah salah satu dari kami harus menyampaikan pendapatnya. Namun, bukannya berarti itu bisa dilakukan sembarangan.

Sangat penting untuk memikirkan cara dan nada bicara agar bisa disampaikan kepada lawan bicara…

“Aku juga──”

Aku tertegun sejenak mendengar kata-kata yang diucapkan Ayase-san.

“──aku juga sama.”

“Eh?”

“Aku juga ingin berkeliling bersama. Di festival budaya.”

“Kamu yakin?”

“Iya.”

Dia mengangguk kecil.

Ini pasti merupakan keputusan besar bagi Ayase-san.

Aku masih mengingat tentang apa yang terjadi setelah Ayase-san dan Akiko-san datang ke rumahku.

Saat aku menyarankan agar kami berpura-pura tidak saling kenal di sekolah, dia berkata, “Aku tidak masalah sama sekali.” Itu berarti dia tidak peduli tentang apa yang orang lain pikirkan tentangnya.

Namun, di sisi lain, dia juga berkata, “Aku tidak suka jika ada rumor aneh yang beredar, jadi mari kita tetap berpura-pura sebagai orang asing untuk sementara waktu,” lalu pergi pagi-pagi sendirian.

Dengan kata lain, dia tidak peduli bagaimana orang lain melihatnya, tetapi dia tidak suka jika ada rumor yang beredar.

Rasanya seperti kontradiksi──

Namun, jika dipikir-pikir lagi sekarang, aku bisa memahaminya. Ayase-san bukanlah orang yang kurang peduli pada orang lain seperti aku, tetapi sebenarnya dia sangat peka terhadap bisikan yang datang dari orang lain. Itulah sebabnya dia melindungi dirinya dan memilih dengan hati-hati orang-orang yang dia terima sebagai teman. Karena dia takut terluka.

“Kalau begitu, mari kita berkeliling bersama. Aku juga merasakan hal yang sama.”

“Syukurlah, aku senang.”

Ayase-san menghela napas dan tersenyum. Ibarat tali yang tadinya kencang telah kendor. Mungkin itu sebabnya dia sangat gugup..

“Lagipula, teman sekelas kita pasti akan tahu kalau kita adalah saudara tiri.”

Jika kami berkeliling sekolah bersama-sama setelah hubungan keluarga kami ketahuan dan beberapa rumor mulai beredar, mau bagaimana lagi.

Daripada itu, jauh lebih baik kalau kami menikmati kencan festival budaya dengan tenang seharian…

Setelah selesai sarapan, Ayase-san berkata pelan sambil membereskan peralatan makanan.

“Aku jadi sangat menantikannya.”

“Iya. Aku juga sama.”

Anehnya, hatiku sudah merasa puas hanya dengan percakapan semacam itu. Mengetahui bahwa ada masa depan yang dinanti bersama orang yang kita cintai ternyata tidak terlalu buruk.

 

◇◇◇◇

 

Jam pelajaran di sore hari terasa ceria.

Ekspresi teman-teman sekelasku yang seharusnya merupakan para calon peserta ujian terlihat sedikit lebih lembut. Itu wajar, karena pelajaran hari ini berakhir di pagi hari. Waktu sore dikhususkan untuk diskusi mengenai festival budaya yang akan datang bulan depan.

Kelompok pelayanan, kelompok kostum, kelompok dekorasi, kelompok makanan, dan lain-lain, masing-masing berkumpul di meja mereka, menunjukkan suasana yang tidak biasa. Di kelompok pelayanan, ada sekitar 15 orang, terdiri dari 8 laki-laki dan 7 perempuan, dan Ketua kelas memimpin jalannya rapat kelas.

“Ayo, ayo, ini adalah jadwal shift untuk hari acara loh~ baru saja selesai~”

Aku menerima lembaran yang dibagikan dan mencari namaku. Asamura, Asamura, Asamu… ah, ketemu, pagi dan sore hari pertama di hari Sabtu. Sesuai dengan jadwal yang kuminta.

Sekarang, jika Ayase-san ditugaskan di hari yang sama──

Dia juga ada.

Namanya juga tertera di jadwal pada hari yang sama.

Saat aku merasa lega dan mengangkat wajahku, pandangan mataku bertemu dengan Ayase-san. Dia juga tampaknya memikirkan hal yang sama dan menghela napas kecil penuh rasa lega.

Ketua mulai membagikan lembaran lainnya. Berbeda dengan yang sebelumnya, kali ini penuh dengan tulisan.

“Ini adalah rencana dan manual pelayanan untuk hari acara. Mungkin sedikit terlalu rinci, tapi ya, kalian pasti bisa menghadapinya, ‘kan?”

Anggota kelompok pelayanan menjawab dengan santai tanpa merasa terbebani. Mereka tidak meremehkan situasi ini. Semua anggota kelompok pelayanan memiliki pengalaman kerja paruh waktu.

“Terutama bagi kalian yang masih bekerja paruh waktu── kami sangat mengandalkan kalian.”

Ketua kelas melirik Ayase-san dengan kedipan mata. Menanggapi sikapnya yang konyol itu, Ayase-san menghela napas seolah berkata "Ah, iya, iya.”

“Jangan terlalu banyak berharap.”

“Duh, lagi-lagi merendah diri begitu, Saki-sensei, tolonglah sekali ini~”

“Aku bukan guru. Lagipula, aku baru bekerja sedikit lebih dari setahun. Ada orang yang memiliki pengalaman kerja paruh waktu yang lebih lama dariku…”

Ketika Ayase-san mengalihkan pandangannya, tatapan ketua kelas beralih ke arahku.

“Hmm. Ngomong-ngomong, Asamura-shi melaporkan di kolom catatan bahwa dia sudah bekerja paruh waktu di toko buku selama tiga tahun.”

──Kenapa Ayase-san dipanggil “sensei” sementara aku dipanggil “shi”?

Semua perhatian dari kelompok pelayanan tertuju padaku. Hanya Ayase-san yang tampak memiliki ekspresi “Hadeuh”. Ya, itu tidak bisa dihindari.

“Yah, kurang lebih sekitar itu.”

“Hmm, jadi, aku akan menaruh kepercayaan penuh padamu, Asamura-sama.”

──dari “shi” menjadi “sama.”

“Kalau begitu, selanjutnya kita tinggal memeriksa alur pergerakan pelanggan. Oh iya, tapi sebelum itu… O~i!”

Ketua kelas berteriak sambil melambaikan tangan, dan seorang siswi datang dari sudut kelas. Rupanya gadis yang dipanggil adalah Satou-san. Semua orang di ruangan itu terlihat bingung. Dia bukan anggota kelompok pelayanan. Jadi, ada urusan apa dia datang ke sini? Apa itu──

“Ak-Aku akan mengukur kalian semua!”

Dia memegang pita ukur di tangannya. Dalam sekejap, semua orang tertegun. Melihat reaksi itu, Satou-san tampak bingung.

“Ehm, aku bagian dari kelompok kostum, dan, aku datang karena mendengar dari ketua kelas kalau aku harus melakukan pengukuran untuk kostum hari acara…”

Semua tatapan langsung tertuju kepada ketua kelas.

“Hmm. Ryochin, ayo segera ukur saja.”

Ketua mengucapkan itu dengan tenang, seolah dia adalah seorang bangsawan.

Kemudian, aku bisa mendengar jeritan dari para gadis.

“Dasar sialan, ketua, kamu sudah merencanakan ini dari awal, ‘kan!” “Ja-Jangan sekarang! Aku baru saja makan siang!” “Setidaknya tunggu sampai minggu depan… tidak, bulan depan juga sudah cukup! Aku akan mengurusnya sebelum itu!”

Para gadis mulai merengek kepada ketua dengan cara yang emosional.

Ketua mengusap dahi dengan jari telunjuk dan ibu jarinya.

“Dengar baik-baik, hal-hal seperti ini penting untuk dicatat setiap hari Menurutmu angka mana yang akan lebih memalukan jika berat badanmu meningkat pada hari acara?”

“Kugh, hanya pada saat seperti ini kamu bicara benar!” “Memangnya kamu tidak melihat perasaan gadis-gadis ini…!”

“Ehm… ketua.”

Mau tak mau aku jadi ikut berbicara.

“Apa pengukuran ini berarti kostum akan dibuat dari awal?”

Pekerjaan kelompok kostum bukanlah membuat kostum, melainkan meminjamnya.

“Mana mungkin kita bisa membuatnya dari awal. Aku berusaha membuatnya seukuran bebas sebisa mungkin, tapi setidaknya aku ingin mengetahui ukuran minimalnya. Bahkan jika harus dipendekkan dengan klip, itu tetap diperlukan.”

“Oh, begitu…ya.”

“Jangan menyerah begitu saja pada argumen yang benar, Asamura-kun!”

“Iya, iya. Kediktatoran ketua harus ditentang!”

“Hei, Saki. Kamu juga setuju, ‘kan? Ini tidak menyenangkan, kan?”

“Yah tapi, karena jumlah kostumnya sedikit, jadi kita harus mengukur dan memutuskan siapa yang akan menggunakan kostum yang mana.”

Ayase-san dengan tenang menunjukkan pendapatnya.

“Kugh! Bahkan wanita ini juga berbicara benar.”

“Saki tidak mengerti karena dia punya tubuh model.”

“Lagipula, kami adalah wanita yang kalah oleh gravitasi…”

“Yang kalah hanya oleh nafsu makan, sih.”

Sungguh ramai sekali.

“Kita tidak diminta untuk diukur di depan para pria. Jadi kurasa lebih baik kalau kita cepat-cepat pergi ke ruang ganti dan mengukurnya. Yang begitu lebih cepat, ‘kan, ketua?”

“Kalau kamu mau memamerkan ukuranmu kepada para pria, aku tidak akan menghentikanmu.”

“Kalau itu sih aku juga tidak mau.”

Ayase-san berkata dengan tegas.

“A-Anuu…”

Satou-san dengan takut-takut membuka mulutnya sambil memainkan pita pengukurnya.

“Semua kostum pelayan yang disiapkan itu sangat lucu, jadi… jika kalian semua memakainya, kalian pasti akan terlihat sangat cantik! Jadi tidak apa-apa!”

Setelah mengatakannya, mungkin karena merasa malu, Satou-san menggunakan pita ukur sebagai perisai dan berkata pelan, “Tolong lupakan apa yang kubilang tadi…”

Aku merasa seperti mendengar suara detak jantung para gadis yang berdebar.

Gadis-gadis yang sebelumnya sangat tidak suka dan berteriak itu, satu per satu memeluk Sato-san dan mengelus kepalanya.

“Iya, iya. Ryochin memang sangat imut ya~”

“Hei, hei~ bagaimana kalau Ryouchin juga ikut bergabung dengan kelompok pelayanan? Jika Ryochin ikutan, jumlah pelanggan pasti akan meningkat dua kali lipat!”

“Ah, iya. Tapi… aku kecil dan tidak ada pakaian yang cocok, jadi… mungkin hanya bisa membantu kalian. Aku sangat senang jika kalian semua terlihat cantik.”

Gadis-gadis di sekitar Satou-san tampak terhuyung-huyunh, seolah-olah mereka mengalami pusing.

“Ah…”

“Inilah yang disebut perasaan berharga…”

“Baiklah. Mari kita pergi ke ruang ganti. Semuanya, ayo cepat diukur dan kembali, ya~!”

Ayase-san diam-diam menghela nafas saat dia mengikuti semua orang keluar kelas.

Ketua kelas yang mengamati dari jauh tampak tersenyum licik, atau mungkin itu hanya perasaanku saja.

Aku ingin berpikir kalau itu hanya perasaanku saja.

Ketua lalu bertepuk tangan dan berseru.

“Baiklah, setelah para gadis kembali, sekarang giliran para pria!”

“Eh? Apa kita juga akan diukur oleh Ryochin!?”

“Tentu saja tidak!”

Ketua menggulung manual pelayanan yang dipegangnya dan menepuk punggung Yoshida dengan lembut.

“Yoshida, aku akan mengadu kepada Makichi tentang ini!”

“To-Tolong jangan!”

Yoshida yang menjatuhkan kedua tangannya dan mulai memohon pada ketua kelas membuat para pria yang tersisa tertawa.

Sinar matahari sore sudah mulai condong, menerangi dinding belakang kelas dengan warna merah keemasan.

Ketika aku melihat ke luar jendela, langit musim panas sudah tidak terlihat sama sekali, dan awan yang mirip seperti ikan terbang menyebar di langit barat seperti tirai renda.

Aku menatap seolah-olah melihat pemandangan yang tidak biasa di dalam kelas.

Teman-teman sekelas yang bekerja menuju tujuan yang sama. Terkadang terdengar tawa. Ada yang diam-diam membuat bunga kertas untuk dipajang di dinding, sementara bendahara sedang merapikan kwitansi yang diterima saat berbelanja ke dalam buku catatan. Kadang-kadang, seseorang terlihat memainkan ponsel, mungkin sedang menghitung dengan aplikasi kalkulator. Sepertinya dia sedang bergumam sesuatu.

Siswa-siswa yang berlarian di koridor sambil membawa tirai gelap. Suara guru yang menegur mereka. Musik yang terdengar entah dari mana, mungkin dari klub orkestra atau latihan band sukarela.

Meskipun tidak ada hubungannya dengan festival budaya, anggota klub olahraga masih berlari di lapangan sekolah hari ini. Suara sorakan terdengar. Kedengarannya seperti, “Suisei, semangat!”

“Hei, Asamura. Ayo kita pergi.”

Aku menoleh ke arah suara Yoshida. Sepertinya sudah waktunya untuk mengukur ukuran kostum para pria.

“Oh, maaf. … Apa kamu yang akan melakukannya, Yoshida?”

Yoshida memegang pita ukur yang sebelumnya dipegang oleh Satou-san.

“Iya. Ayo cepat kita selesaikan!”

“Iya, iya.”

“'Iya'-nya sekali saja kali. Lah, kenapa kamu malah tertawa?”

“Tidak, bukan apa-apa.”

Hanya saja, jika mengingat diriku setahun yang dulu, aku pasti tidak akan terlibat dalam persiapan festival budaya sampai sejauh ini. Sepertinya aku sangat menantikan festival budaya terakhir yang akan kutempuh di kelas ini.

 

◇◇◇◇

 

Sepulang sekolah. Aku dan Ayase-san pergi bekerja paruh waktu bersama.

Kami berganti pakaian dari seragam sekolah ke seragam toko buku dan keluar ke area penjualan. Ayase-san dan Kozono-san bertugas di bagian kasir, sementara aku dan Yomiuri-senpai bertugas untuk menata stok majalah.

Rasanya begitu aneh karena kembali menjalani kegiatan sehari-hari seperti bekerja paruh waktu setelah menjalani aktivitas tidak biasa dalam mempersiapkan festival budaya. Seolah-olah perutku tidak bisa tenang. Aku merasa kalau masih ada suasana festival yang tersisa di dalam tubuhku.

Saat menyusun majalah untuk wanita, tulisan di sampul majalah fashion remaja menarik perhatianku.

“Musim Gugur yang Menggugah Selera: Spesial Kencan Makan Jalan! Shin Okubo VS Harajuku: Pertarungan Manisan!”

Oh, kencan makan sambil jalan, ya.

Sepertinya itu merupakan sesuatu yang tidak mungkin terjadi antara aku dan Ayase-san. Jika harus makan sambil berjalan, sepertinya lebih baik masuk ke dalam restoran untuk merasa lebih nyaman.

Pertama-tama, bermesraan di tempat umum memang tidak sesuai dengan sifatku. Meskipun aku berusaha bersikap seperti sepasang kekasih di luar rumah, membayangkan diriku berlebihan dalam berdekatan di depan umum membuatku merasakan perasaan malu yang aneh muncul.

Namun... aku berpikir.

Ayahku selalu terlihat bermesraan di ruang keluarga atau ruang makan, dan pasangan yang kulihat di depan Hachiko pada musim panas itu berpelukan di ruang publik. Ditambah lagi, saat di restoran di Singapura, aku melihat Melissa berciuman dengan pasangannya setelah mereka selesai bernyanyi.

Tindakan terbuka seperti itu mungkin adalah standar bagi pasangan, dan mungkin merasa malu adalah sesuatu yang tidak tepat.

Kira-kira, apa ada definisi umum untuk perasaan seperti ini?

Sambil merenungkan lebih mendalam mengenai batas antara ruang publik dan pribadi, tanganku terus mengisi ulang majalah di rak. Mungkin karena banyaknya pengunjung siang itu, tumpukan majalah di atas meja sudah cukup rendah.

Dari sampul yang penuh vitalitas untuk para remaja, aku beralih ke majalah wanita untuk perempuan berusia sekitar 30-an dengan warna yang lebih tenang. Biasanya, aku tidak terlalu memperhatikan tulisan di sampul, tetapi kali ini, kata-kata itu kebetulan menarik perhatianku.

Meskipun warnanya memiliki nuansa tenang, foto di sampulnya menunjukkan hasil jepretan yang cukup provokatif.

Apa mereka telanjang? Karena aku melihat pasangan pria dan wanita berpelukan sambil memperlihatkan kulit mereka. Tentu saja, ini bukan majalah dewasa, jadi bagian-bagian pentingnya tidak terlihat. Mereka tertutup oleh seprai. Namun, ini tetap merupakan snapshot yang cukup menggugah nafsu.

Kemudian, ada tulisan besar yang mencolok.

“Wajib Dibaca untuk Wanita Dewasa! Kehidupan Seksual di Musim Gugur: Cara Menggoda yang Cerdas dan Cara Dibujuk.”

 ...Eh?

Otakku seketika beku, butuh waktu bagiku untuk memproses informasi ini, dan kemudian memerlukan waktu lagi untuk memahami isinya.

Kenangan mimpiku pagi ini—gambaran Ayase-san yang mengenakan negligee putih—terhubung dengan sampul itu, membuatku semakin sulit untuk melepaskan pandangan. Apa maksudnya dengan “cara menggoda dan cara dibujuk”? Bahkan mengajaknya saja sudah di luar kemampuanku, apalagi cara dibujuk. Teknik misterius apa ini?

“Kamu terlalu banyak melihatnya loh, Kouhai-kun.”

Ketika aku berbalik dengan terkejut, aku melihat Yomiuri-senpai sudah berdiri di belakangku. Sejak kapan dia ada di sini?

Uhmm, oh iya, benar juga. Saat ini aku sedang bekerja paruh waktu, dan sedang mengisi ulang stok majalah.

Aku berdiri mematung sambil memegang majalah “Kehidupan Seksual di Musim Gugur.”

Aku buru-buru mencoba melanjutkan menumpuk majalah di rak, tetapi semua itu sudah terlambat.

“Kouhai-kun. Ingat, kita sedang bekerja di sini.”

“...Apa aku terlalu banyak melihatnya?”

“Jelas banget. Kamu melihatnya dengan serius. Meskipun dari sudut pandang Asamura-kun waktu itu hanya berlangsung sejenak, tapi kesadaranmu sudah meluncur jauh ke galaksi. Jika kamu memang penasaran, mau membelinya? Jika malu, aku bisa langsung membantumu di bagian kasir, kok.”

Yomiuri-senpai tampak seperti anak nakal yang baru menemukan mainan.

Sungguh memalukan. Mungkin ini akan menjadi aib seumur hidupku. Aku tidak pernah menyangka kalau diriku sampai bisa terjebak dalam situasi memalukan, apalagi di hadapan orang ini, yang suka berbicara tentang hal-hal yang berhubungan dengan s*ks. Tidak, tidak. Sebenarnya, aku hanya terkejut dengan sampul yang provokatif itu, dan tidak ada maksud lain... meskipun itu sulit untuk kukatakan saat ini, sih.

“Senpai, aku ingin meminta pergantian di bagian kasir sekarang.”

“Ah, Erina-chan. Ya, kita bisa bergantian. Tapi, tunggu dulu sebentar sampai Kouhai-kun mulai sedikit tenang, ya.”

“Eh... memangnya ada apa dengan Asamura-senpai?”

“Bukannya ada apa-apa, tapi lebih tepatnya sih melakukan sesuatu. Namanya juga anak laki-laki di masa puber.”

“Hmm? Apa maksudnya?”

“Kamu bisa tanyakan saja secara langsung kepada Kouhai-kun tentang apa yang ingin dilakukannya.”

“Hah?”

Tidak, tolong jangan.

“Senpai... Sudah kubilang, bisakah kamu berhenti membawa pembicaraan ke arah yang tidak pantas dengan begitu natural?”

Kozono-san bertanya dengan serius, “Eh, apaan maksudnya?”

Ditatap dengan mata serius seperti itu membuatku jadi semakin malu, jadi aku berharap Kozono-san bisa berhenti menatapku dengan wajah penuh harapan.

Namun, aku juga terkejut dengan diriku sendiri. Kali ini, aku tidak bisa mengabaikan lelucon yang tidak senonoh seperti biasanya. Aku tahu penyebabnya. Karena aku jadi teringat dengan mimpi yang aku alami pagi ini. Melihat sampul majalah wanita yang provokatif juga tidak baik.

Aku sudah berusaha keras untuk melupakan mimpi aneh itu sepanjang siang karena memikirkan festival budaya, tapi sampul itu justru mengingatkanku kembali... meskipun itu mungkin hanya tuduhan palsu saja. Namun, sekali aku mengingat kesan sensual dari Ayase-san di dalam mimpiku, lelucon jorol Yomiuri-senpai terasa jauh lebih nyata dibandingkan biasanya.

Fumu. Jadi ini yang dinamakan penyakit masa pubertas, ya.”

Bukan begitu. Ini hanya karena aku sangat sensitif terhadap hal-hal seperti itu saat ini.

“Umm, Erina-chan, tolong beritahu pada Saki-chan untuk menunggu 5 menit lagi, ya.”

“Baiklah!”

Meskipun dia masih tampak kebingungan, Kozono-san segera kembali ke meja kasir.

“Baiklah, untuk saat ini, mari cepat selesaikan pengisian barang dan berganti di bagian kasir.”

“...Ya.”

Mungkin karena merasa tidak nyaman, aku bisa menyelesaikan pekerjaan dengan cepat. Saat kembali ke meja kasir, kebetulan tidak ada pelanggan, dan aku disambut oleh Kozono-san yang baru kembali, serta Ayase-san.

Ketika kami bergantian, aku berusaha menghindari Kozono-san yang tampaknya ingin masuk ke mode “kenapa~kenapa~”, dan dalam keadaan terdesak, aku malah mengalihkan pembicaraan tentang festival budaya.

Karena orang umum juga bisa ikut berpartisipasi, jadi aku mengajak mereka untuk datang jika mereka tertarik. Ayase-san yang ada di sana (yang tidak tahu situasi batinku) juga ikut berbicara.

“Oh, kafe butler dan maid, ya! Wah, kalian sudah bekerja keras, ya!”

“Yuuta-senpai, aku juga ingin pergi!”

“Ah, ... ya. Tentu saja. Silakan.”

Karena aku merasa agak bersalah, jadi aku tidak bisa menolaknya. Artinya... kedua orang ini juga akan datang ke festival sekolah kami.

“Oh. Erina-chan, akhirnya kamu memanggil Kouhai-kun dengan namanya, ya.”

Setelah dia bilang, aku baru menyadarinya.

Sambil berpikir bahwa Yomiuri-senpai sangat cepat menyadari hal itu, aku jadi teringat bahwa saat dia memberi tahu tentang pergantian kasir tadi, dia memanggilku dengan panggilan 'Asamura-senpai'.

“Aku baru menyadarinya, jika aku menambahkan 'senpai' di belakang namanya, kesadaranku akan lebih tertarik pada 'senpai' dibandingkan namanya. Dengan ini, hubungan kita jadi semakin dekat!”

Dia mengatakannya dengan bangga, tetapi sepertinya jika dia masih menganggapku sebagai 'senpai', jarak di antara kami tidak akan terlalu dekat.

Ayase-san berkata dengan wajah serius, “Bagus ya.”

Mungkin dia yang memberi saran itu...

Setelah berdiri di samping Yomiuri-senpai dan menyelesaikan tugas kasir, giliran kerjaku akhirnya selesai.

“Bukannya wajahmu terlihat sangat merah ketika kamu kembali?”

Tidak diragukan lagi bahwa misi tersulit dari pekerjaan paruh waktu hari ini adalah mengelabui Ayase-san ketika dia bertanya padaku tentang hal itu di penghujung hari.

 

◇◇◇◇

 

Aku sedang berjalan berdampingan dengan Ayase-san dalam perjalanan pulang ketika hari sudah gelap gulita.

Percakapan kami sambil berpegangan tangan sering kali membicarakan hal-hal sepele dalam kehidupan sehari-hari, namun hari ini banyak perbincangan tentang festival sekolah.

Aku tidak pernah menyangka bahwa bukan hanya orang tua kami saja, tetapi Yomiuri-senpai dan Kozono-san juga akan datang. Dan sepertinya kami harus menyambut kedatangan mereka.

“Melissa juga bilang kalau dia sepertinya bisa datang.”

“Oh, jadi jadwalnya sudah diatur dengan baik, ya?”

Ketika Ayase-san mengundangnya, sepertinya dia hanya tahu bahwa dia bisa datang selama dia masih berada di Jepang, tetapi setelah memastikan tidak ada rencana lain, dia sepertinya sudah pasti akan datang.

Jumlah orang yang harus kami sambut semakin bertambah. Sepertinya kami akan menjadi sibuk saat festival budaya nanti, pikirku, ketika ponselku berbunyi menandakan ada panggilan masuk.

Pada saat yang hampir bersamaan, ponsel Ayase-san juga berbunyi.

Ada pesan masuk di grup LINE keluarga. Rupanya itu dari ayah.

Hari ini akan pulang larut karena kerja lembur, jadi makanlah dulu, kunci pintunya dengan baik, dan tidur saja

Umm, jadi ini berarti...

Ayase-san mengangkat ponselnya dan berkata,

“Dari ayah tiri.”

“Aku juga baru melihatnya. Lalau begini, sepertinya pulangnya akan larut malam.”

“Iya.”

“Jadi, setelah pulang, cuma ada kita berdua saja, ya?”

“Iya...”

Aku baru menyadarinya sekali lagi.

Akiko-san sudah pergi bekerja sebagai bartender, sedangkan ayahku akan pulang larut malam.

Tentu saja hal seperti ini sudah pernah terjadi sebelumnya. Bahkan, setahun yang lalu, saat-saat seperti ini adalah waktu sibuk bagi ayah, dan kami sering menghabiskan malam berdua. Itulah sebabnya ayah juga mengirim pesan seperti biasa.

Namun, yang berbeda dari tahun lalu adalah──.

Hubungan antara aku dan Ayase-san.

Dalam perjalanan pulang, kami berdua mungkin sama-sama merasa tegang. Meskipun kami saling bergandeng tangan, tapi kami tidak saling bertatapan saat membuka pintu masuk, dan hanya berbicara sedikit saat memasak makan malam.

Bahkan pada saat-saat seperti ini, tanganku tetap bergerak. Mengiris kol, mengiris daun bawang, dan menuangkan saus. Ayase-san membuat sup miso dengan sisa makanan. Karena membuat nasi lagi terasa merepotkan, jadi kami menghangatkan nasi yang sudah dibekukan dan menyajikannya di mangkuk.

Setelah menyatukan kedua tangan kami dan mengucapkan “itadakimasu”, kami mulai makan dengan sumpit secara bersamaan.

Ketika aku mengangkat pandanganku, aku bisa melihat pemandangan langit malam Shibuya melalui punggung Ayase-san. Awan rendah memantulkan cahaya kota.

Sambil menatap punggung Ayase-san yang terlihat di pantulan jendela, aku mencoba menyentuh betisnya dengan ujung jariku di bawah meja.

Tepat sebelum itu, ada sesuatu yang menyentuh kakiku. Sensasi lembut yang menyentuh bagian betisku. Aku menyadari bahwa itu adalah ujung kaki Ayase-san.

Dia terus menyentuhku dengan ritmis.

Ayase-san menunjukkan wajah polos sambil mengaduk ikan makarel. Namun, ini jelas merupakan tanda yang kami sepakati.

Dan saat aku berusaha membalas isyarat tersebut, aku baru menyadari. Ya ampun. Sebelumnya, kami tidak memiliki niat tertentu saat melakukan ciuman atau pelukan. Semua itu hanya sekadar penegasan kasih sayang. Tapi sekarang, melakukan tindakan itu sepertinya tidak bisa lepas dari──kata-kata Melissa──.

Aku mencuri pandang ke arah Ayase-san.

Kira-kira, apa yang sedang dia pikirkan? Namun, hingga saat ini, wajah poker Ayase-san tetap tidak berubah. Dia terus mengaduk ikan makarel dengan tenang.

Namun, aku juga tahu bahwa aku tidak seharusnya menolak di sini. Setidaknya jika itu aku, aku akan merasa sakit hati jika aku ditolak di sini. Tentu saja, jika salah satu dari kami mengajak, kami harus merespons, atau itu akan menghilangkan semua kesepakatan yang sudah kami sepakati. Lagipula, pada awalnya aku juga berusaha mengirimkan kode kepadanya.

Sesaat, aku sempat merasa ragu. Aku membalasnya dengan menyentuhnya kembali. Apa itu aku atau Ayase-san yang menghela napas lega, atau mungkin kami berdua”

Karena cuma ada aku dan Ayase-san saja di rumah ini, jadi sebenarnya kami tidak perlu bertukar kode segala supaya tidak diketahui siapa pun──argumen yang logis ini tidak ada artinya bagiku dan Ayase-san yang tidak bisa bertindak seperti Melissa.

Tidak, mungkin ini hanya masalah kebiasaan.

Dengan suara pelan, Ayase-san berkata tanpa mengangkat wajahnya.

“Nanti saja juga tidak apa-apa, kok.”

Aku hanya bisa mengangguk dalam keheningan.

“Setelah mandi, atau waktu senggang lainnya. Karena aku ingin belajar sampai saat itu.”

Aku sangat setuju dengan usulan itu, tetapi masalahnya adalah apa aku bisa benar-benar fokus belajar dalam keadaan psikologisku saat ini. Meskipun begitu, aku──.

“Baiklah...”

Aku tidak punya pilihan lain selain menjawab begitu.

Setelah menyelesaikan mencuci piring, kami berdua masuk ke kamar masing-masing.

Bagaimanapun juga, kami adalah siswa yang sedang mempersiapkan ujian masuk universitas. Rencana belajar hari ini adalah matematika. Aku membuka buku teks dan buku soal, dan bertanya-tanya, apa aku benar-benar bisa melupakan segala hal tentang Ayase-san dan berkonsentrasi penuh untuk belajar...

Yah, aku sudah pernah mengerjakan buku soal ini, dan aku hanya berfokus pada soal-soal yang tidak bisa kupecahkan sebelumnya, jadi seharusnya tidak terlalu sulit──.

 ... Suara alarm membuatku terkejut dan mengangkat wajahku.

Aku terkejut. Meskipun beberapa menit pertama terasa kabur, ketika aku mulai memantapkan diri dan membaca soal pertanyaan, otakku secara otomatis menjadi fokus. Aku tidak menyangka bisa mengusir pikiran itu begitu mudahnya. Entah kenapa, aku merasa bersalah kepada Ayase-san. Kalau diingat-ingat lagi, sejak kecil, ketika ayah membawaku ke perpustakaan dan aku menemukan buku, aku selalu menjadi orang yang tidak kembali ke dalam kenyataan saat terlalu fokus pada buku.

Tidak, mungkin sebaliknya. Mungkin aku adalah tipe orang yang melarikan diri ke dunia buku saat mengalami stres. Lah, ini sih gawat. Jika aku sudah menganggapnya sebagai stres atau pikiran negatif, itu jauh dari apa yang disebut Melissa sebagai “tindakan membahagiakan.”

 ... Mungkin sudah saatnya untuk mandi.

Karena aku merasa terjebak dalam jurang pemikiran yang tidak ada jawabannya, aku memutuskan untuk segera mandi.

Setelah memanggil Ayase-san, aku mandi, dan setelah itu, aku meminum teh barley di ruang makan.

Aku sudah memberitahunya bahwa aku sudah selesai mandi, jadi aku melihat Ayase-san berjalan melewati koridor menuju kamar mandi seolah-olah dia menggantikanku.

Aku melihat jam yang tergantung di dinding.

Sekarang sudah pukul 10 malam. Ayahku masih belum pulang ke rumah. Sepertinya ayah akan pulang setelah tengah malam.

Aku kembali ke dalam kamarku dan membaca buku. Akhir-akhir ini, aku lebih sibuk belajar sehingga banyak buku yang belum terbaca.

Pengantar Ilmu Data Sosial

Ini adalah buku tebal dengan judul yang serius. Penulisnya adalah Mori Shigemichi. Dengan kata lain, penulisnya adalah profesor yang bersama Kudou-sensei. Ketika aku mencari di rak toko buku tempatku bekerja, aku menemukannya. Namun, meskipun disebut sebagai pengantar, sepertinya isinya ditujukan untuk mahasiswa, dan kontennya lumayan sulit. Mungkin karena itu, mataku sering meluncur dan tiba-tiba aku menyadari bahwa aku telah mengangkat wajahku dari buku dan melamun. Ternyata, tidak peduli dalam keadaan apa pun, hanya memiliki buku tidak cukup untuk mengalihkan perhatian. Pada dasarnya, aku hanyalah orang yang biasa saja...

Kemudian, aku mendengar suara ketukan dari pintu kamarku.

“Boleh aku masuk?”

Aku pergi ke pintu dengan suara sedikit goyah saat mendengar suara Ayase-san, dan menyapanya setelah mengatakan 'Silakan saja'.

 

◇◇◇◇

 

Ayase-san berdiri di sana sambil membawa cangkir di kedua tangannya setelah mandi.

Dia belum mengenakan piyamanya, hanya T-shirt dan hot pants, pakaian sehari-harinya. Meskipun bajunya membiarkan kedua bahunya terbuka, dia mengenakan jaket tipis berwarna abu-abu di atasnya agar tidak kedinginan. Rambut panjangnya tampaknya sudah dikeringkan, tetapi masih sedikit lembap.

Ayase-san berkata sembari mengangkat cangkir di kedua tangannya.

“Ehmm, aku sudah menyeduh ini. Mau meminumnya?”

Di dalam cangkir itu terdapat cairan berwarna amber yang bergoyang.

“Teh hitam?”

“Ya. Karena ini sebelum tidur, jadi aku memilih yang tanpa kafein. Umm... kalau tidak keberatan, aku juga ingin berbicara denganmu sebentar...”

Setelah mengucapkan terima kasih dan menerima cangkirnya, aku mengisyaratkan agar dia masuk ke dalam ruangan. Setelah Ayase-san masuk ke dalam kamar, aku menutup pintu. Dia langsung duduk di dekat tempat tidur.

“Padahal kamu bisa menggunakan kursi itu.”

“Itu milik Asamura-kun, ‘kan? Aku baik-baik saja duduk di sini.”

Mungkin karena dia merasa sungkan, tapi rasanya tidak enakan jika hanya aku yang menggunakan kursi yang nyaman.

Dan aku juga tidak melewatkan saat Ayase-san memanggilku dengan panggilan “Asamura-kun.”

Kurasa itu wajar saja. Alasan menggunakan isyarat untuk mendapatkan persetujuan adalah kesepakatan kami untuk menjaga perasaan bahwa ada kalanya kami ingin bertindak sebagai sepasang kekasih bahkan di dalam rumah. Jika Ayase-san memelukku sambil memanggilku Yuta-niisan di sini, itu akan menjadi situasi yang lebih berbahaya, di mana kami berperan sebagai kakak laki-laki dan adik tiri sambil mengonfirmasi perasaan cinta di antara kami.

“Kalau gitu, aku juga akan duduk di situ.”

Sambil mengatakan itu, aku duduk di samping Ayase-san.

“Jadi, apa yang ingin kamu bicarakan?”

“Hmm. Ini bukan pembicaraan yang penting, sih.”

Sambil berkata demikian, Ayase-san mengeluarkan ponselnya dari saku jaket yang dia kenakan.

“Apa kamu masih ingat desainer yang kita temui di konser tempo hari?”

“Oh, maksudmu Akihiro-san?”

“Ya, Akihiro Ruka-san.”

Aku ingat. Karena nama kanjinya adalah “Ruri-iro no Kajin”, jadi aku mengingatnya sebagai “Gadis Cantik Berwarna Biru” di dalam pikiranku.

“Semenjak konser itu, aku sering melihat akun Instagramnya dan mencari informasi tentang karyanya. Setelah aku mencari tahu, ternyata pekerjaan utama Ruka-san adalah 'desainer tata ruang.'”

 Desain ruang....? Apa itu?

“Ya, kamu pasti tidak mengetahuinya. Pada awalnya aku juga tidak mengetahuinya. Tapi sepertinya ada pekerjaan seperti itu.”

Menurut penjelasan Ayase-san, sepertinya── itu adalah pekerjaan yang merancang ruang itu sendiri.

“Apa yang harus diletakkan di mana dan bagaimana? Bagaimana perasaan orang-orang yang masuk ke dalam ruangan itu? Misalnya, jika itu ruang tamu, kamu ingin membuatnya lebih terasa nyaman, dan untuk tempat kerja, kamu ingin ruangan tersebut tampak rapi tanpa terlihat berantakan, jadi warna apa yang harus digunakan untuk interiornya dan penataan meja seperti apa yang harus dimiliki? Sepertinya itu adalah pekerjaan yang memikirkan hal semacam itu.”

“Jadi begitu...ya”

Rasanya seperti aku bisa memahaminya, tetapi juga tidak.

“Bukan hanya itu saja, sepertinya dia juga menangani desain logo dan desain brosur. Di konser Melissa, dia menangani desain seluruh venue hingga brosur secara keseluruhan.”

Hanya mendengarnya saja sudah terasa berat.

“Terus, ini akun Instagramnya.”

Sambil berkata demikian, dia mengoperasikan ponselnya dan menunjukkan beberapa contoh sambil berkata, “Seperti ini.”

Foto-foto di postingan Instagramnya adalah seni yang sedikit berbeda dari brosur yang dibuat Ruka-san.

“Pola cair... jadi ini sesuatu yang disebut Fluid Art, ya?”

Banyak orang mungkin mengenal pola marmer. Marmer adalah istilah untuk batu pualam, tetapi pada marmer, kita bisa melihat pola yang berkelok-kelok seperti saat cat air larut dalam air. Pola-pola seperti itu sengaja dibuat dengan melarutkan cat dan menetapkannya pada media. Fluid Art juga dapat menghasilkan gelembung kecil di dalam pola cair tersebut, sehingga sering disebut sebagai seni gelembung. Karena ada banyak gelembung, orang-orang dengan fobia terhadap kumpulan mungkin merasa tidak nyaman.

“Kamu tahu tentang ini, Asamura-kun?”

“Aku tidak terlalu paham tentang seninya. Hanya pengetahuan umumnya saja.”

Di akun Instagram Ruka-san, selain Fluid Art, ada juga foto seni tiga dimensi yang dibuat dengan menggabungkan benda-benda kecil yang dekat.

Meskipun aku tidak punya selera artistik, aku ingin berempati dengan perasaan Ayase-san yang menyukainya, jadi aku mencoba melihatnya secara positif...dan kemudian, dengan kata-kataku sendiri, aku memberitahunya apa yang menurutku bagus.

Cantik dan halus.

Itu sudah pasti.

Sama seperti yang kupelajari juga saat memilih pakaian bahwa ketika Ayase-san bertanya tentang pendapatku mengenai seni seperti ini, aku tidak perlu mencari “jawaban yang benar”. Ayase-san tidak ingin tahu mana yang bagus dan mana yang jelek.

Jadi, aku hanya menceritakan apa yang kulihat apa adanya.

Fluid Art tidak dibuat dengan mengontrol garis yang berkelok-kelok dan gelembung secara ketat.

Jika memang demikian, seharusnya mereka bisa langsung melukis tanpa harus mengalirkan cat. Garis dan gelembung itu berada di tempat yang tepat di kanvas karena perpaduan kebetulan dan kepastian.

Alasan mengapa pola tersebut digolongkan sebagai seni adalah karena pola yang dihasilkan dinilai “indah”, maka pengerjaannya melibatkan perbaikan pola tersebut.

Misalnya saja, ada karya yang di mana sisi kiri dan kanan kanvas diwarnai dengan pola berkelok-kelok berwarna biru dan merah. Jika diperhatikan lebih dekat, hanya pola merah yang memiliki gelembung. Aku tidak tahu apa makna yang terkandung di dalamnya. Mungkin saja itu tidak ada artinya sama sekali.

Namun, aku tertarik dengan alur pemikiran Akihiro Ruka-san yang memutuskan untuk menyelesaikan karyanya dengan itu.

“Misalnya, menurutku dia seharusnya bisa menambahkan lebih banyak bagian biru, atau sebaliknya. Tapi, Akihiro-san memutuskan untuk seperti ini, ‘kan? Dia membuatnya terlihat seimbang di kiri dan kanan. Namun, gelembungnya hanya dimasukkan di bagian merah sebelah kiri. Aku tidak tahu apakah ada makna di balik itu atau tidak, tetapi aku tertarik dengan kesadaran Akihiro-san yang memutuskan untuk melakukannya seperti itu.”

“Jadi begitu ya.”

“Hal itu menjadi menarik karena rasanya seperti api biru di sebelah kanan dan api merah di sebelah kiri sedang bertarung.”

“Jadi, Asamura-kun melihat ini sebagai pola api, ya?”

“Mungkin aku terlalu analitis?”

Melihat sesuatu apa adanya ternyata cukup sulit.

“Hmm, dari sudut pandangku, hal itu memang terasa agak rasional. Tapi──”

Ada jeda seolah-olah dia mencari kata-kata yang tepat untuk menanggapi kekhawatiranku bahwa pendapatku terlalu analitis.

“Aku merasa pendapat Asamura-kun itu menarik, dan aku merasa senang karena kamu berusaha memberitahu dari sudut pandangmu.”

“Yahh.”

Aku senang mendengarnya mengatakan hal itu.

“Jika Asamura-kun berpikir demikian dalam waktu singkat, maka itu bisa dianggap sebagai pendapat Asamura-kun. Dan, ya...”

Ayase-san kemudian berkata bahwa dirinya mulai tertarik pada hal ini.

“Kamu ingin mencoba membuatnya?”

“Yah, bisa dibilang begitu.”

Sambil menatap Instagram, aku teringat dan bertanya pada Ayase-san.

“Ayase-san, kamu tidak menggunakan Instagram, ‘kan?”

“Ya. Aku tidak suka foto.”

“Oh iya, benar juga. Kalau tidak salah kamu pernah bilang begitu.”

Aku jadi teringat bahwa Ayase-san tidak suka difoto. Itulah sebabnya dia hanya menunjukkan foto-foto masa kecilnya sebelum pertemuan pertama kami.

“Tapi sebenarnya, aku tidak membenci foto itu sendiri. Aku hanya tidak suka jika diriku terlihat di dalam foto.”

Ehm...

“Boleh aku bertanya, apa maksudnya?”

Ayase-san mengangguk diam. Kemudian dia mulai berbicara pelan-pelan.

“Bangunan tua... menurutku bangunan tua itu luar biasa. Apa pun yang kita lakukan, pasti tidak akan bertahan selama itu, kan?”

“Dalam artian materialnya, mungkin itu benar.”

Aku berpikir bahwa ini adalah salah satu kelemahanku, tetapi aku tidak bisa berhenti bicara. Ketika orang lain berbicara, aku sering kali tidak bisa menahan diri untuk memberikan pendapat dari sudut pandang yang berbeda, yang hanya membingungkan mereka dan tidak ada manfaatnya.

“Eh, apa maksudmu?”

Tuh, kan?

“Oh, maaf. Aku tidak bermaksud menyangkal pembicaraan tentang bangunan, tetapi karena aku suka buku, aku jadi berpikir seperti ini. Maksudku, buku, atau lebih tepatnya, catatannya masih tetap ada, ‘kan?”

“Oh, ah...”

“Tablet tanah liat dari Mesopotamia, papirus dari Mesir... Tablet tanah liat itu bahkan dikatakan ada sebelum 3000 SM, kan?”

“Iya, benar juga. Jika dipikir-pikir lagi itu memang benar.”

Yah, karena Ayase-san memang lebih berpetahuan tentang sejarah, jadi sebagai pengetahuan umum, ini mungkin sudah terlambat.

“5000 tahun yang lalu, yaa. Begitu ya, benar juga. Meski aku tahu itu, tetapi aku belum pernah memikirkan hal itu dengan cara seperti ini.”

“Nah, terlepas dari ceritaku. Memang benar kalau bangunan-bangunan tua akan tetap ada selama tidak dibangun kembali. Ketika berpikir bahwa, ‘Ah, rupanya dulu ada orang yang tinggal di sini ya’, itu membuatku merasa sedikit aneh.”

Ayase-san mengangguk.

“Jadi, ketika aku melihat bangunan seperti itu, aku merasa ada sesuatu yang luar biasa di masa lalu, dan aku merasa seolah-olah itu telah dilestarikan dan terhenti oleh waktu.”

Ketika perjalanan ke rumah keluarga besar Ayahku di Nagano.

Aku ingat bagaimana Ayase-san menemukan bangunan tua yang berdiri di sepanjang jalan dan mengikutinya dengan mata berbinar.

“Kemudian, aku berpikir. Jika hanya dari segi teori, foto juga seharusnya sama, ‘kan?”

Jika itu berarti bahwa sebuah foto akan mengabadikan momen indah untuk selamanya, mungkin itu benar.

“Tapi, kamu tidak suka foto?”

Ayase-san mengangguk.

“Kemampuan untuk menyimpan, itu berarti juga bisa menyimpan hal-hal yang tidak diinginkan, ‘kan? Meskipun itu... sesuatu yang jelek dan tidak menyenangkan.”

Perkataan Ayase-san yang diucapkan dengan susah payah membuatku terkejut.

Dengan kata lain, bagi Ayase-san, foto adalah...

“Aku tidak suka jika diriku disimpan dalam foto. Terutama... sebelum aku bertemu Asamura-kun, aku tidak ingin diriku disimpan. Jika diriku yang saat itu abadi dan terlihat oleh orang lain, lebih baik kalau aku tidak ada foto sama sekali. Itulah yang kupikirkan.”

“Hal seperti itu...”

Saat aku hendak mengatakan bahwa itu tidak mungkin──.

“Baru-baru ini, aku diberitahu oleh Maaya.”

“Oleh Narasaka-san?”

“Dia bilang, ‘Aku tetap menyukainya meskipun kamu tetap seperti itu,’ Yah, aku pikir dia masih bisa dengan santainya mengucapkan hal yang memalukan. Tapi, entah kenapa setelah mendengar itu, aku merasa beban di pundakku sedikit berkurang.”

Kurasa aku secara tidak sadar tahu bahwa diriku yang kaku itu tidak benar...imbuh Ayase-san. Jadi, itulah sebabnya dia tidak ingin mengabadikannya dia dalam foto. Namun, setelah mendengar kata-kata Narasaka-san, sedikit demi sedikit perasaannya mulai berubah.

“Mungkin aku tidak perlu menyangkal diriku yang dulu.”

“Aku juga merasa kalau Ayase-san yang dulu saat kita baru pertama kali bertemu itu keren, kok.”

Kata-kata itu dimaksudkan untuk menyetujui pendapat Narasaka, tetapi Ayase-san tercekat dan tersipu malu.

“Di-Dilarang mengucapkan kalimat yang memalukan!”

“Padahal itu hanya pendapat biasa."

“Jangan mengatakan hal yang sama seperti Maaya juga dong... Jadi, itu sebabnya... aku jadi merasa kalau aku sudah tidak terlalu enggan untuk mengabadikannya dalam foto. Itu juga yang membuatku melihat Instagram Ruka-san dan mulai berpikir bahwa hal-hal seperti ini juga bagus...”

“Jadi, kamu sudah tidak membenci foto lagi?”

“Mungkin itu lebih baik daripada sebelumnya. Yah, kesampingkan itu, hanya membicarakan diriku terus rasanya jadi aneh. Tolong ceritakan tentang dirimu juga, Asamura-kun.”

Setelah mengatakan itu, dia menyerahkan kendali percakapan.

“Meski kamu bilang begitu...”

Karena kami sering bertemu satu sama lain setiap hari, jadi aku tidak bisa memikirkan hal baru yang bisa diceritakan. Aku sudah menceritakan tentang pengalamanku ketika mengunjungi acara kampus terbuka.

“Tapi, aku masih belum mendengar alasan mengapa kamu tertarik dengan kuliahnya Profesor Mori, kok?”

“Jadi aku belum mengatakannya, ya?”

Setelah dia mengangguk, aku mengingat kembali awal mula—percakapanku dengan Profesor Mori yang membuatku berpikir bahwa Fakultas Ilmu Data Sosial itu menarik, dan mulai bercerita.

Setelah mendengarkan ceritaku, Ayase-san memberi komentarnya.

“Rasanya memang menarik karena memandang perceraian sebagai fenomena sosial. ‘Aturan yang menggerakkan masyarakat besar di balik kelompok besar’ ya.”

“Seandainya saja kalau memang ada hal yang seperti itu. Namun, memang benar bahwa ada perubahan dalam masyarakat."

Ayase-san terkejut setelah mendengar kata-kataku.

“Jadi Asamura-kun berpikir bahwa perubahan itu pasti terjadi... begitu, ya?”

“Iya, kurasa begitu. Aku lebih suka berpikir bahwa tidak ada sesuatu yang tidak berubah.”

“Dan itu adalah hal positif bagimu ya, Asamura-kun?”

Aku tidak bisa menangkap maksud dari ucapannya dan hanya mengangguk samar.

“Iya. Karena jika ada perubahan, kita bisa melihat hal-hal baru yang sebelumnya belum pernah kita lihat.”

“Aku sendiri merasa takut dengan perubahan. Aku berharap hal-hal baik bisa tetap ada, dan mungkin aku masih berpikir seperti itu.”

“Jadi, itulah sebabnya kamu senang melihat bangunan tua yang masih ada?”

“Iya, aku rasa begitu. Bangunan bersejarah itu merepresentasikan keindahan dan kemegahan yang dirasakan orang-orang pada masa itu. Itu masih tetap bertahan selamanya. Walaupun orang-orang yang membangunnya sudah hilang dalam arus sejarah, tetapi bangunan itu tetap bertahan lama.”

Saat Ayase-san berbicara demikian, raut wajahnya tampak seperti sedang berada di alam mimpi.

“Aku tahu bahwa kebahagiaan tidak akan bertahan selamanya. Itulah sebabnya aku merasa terpesona oleh reruntuhan dan bangunan tua, seolah-olah hal-hal baik itu terperangkap dalam waktu.”

Aku mengangguk.

“Jadi, fluid art juga sama, ya?”

“Eh?”

“Aku berpikir bahwa itu adalah seni yang mengabadikan keindahan sekejap yang muncul dalam pola cat yang mengalir dan berubah.”

“Hmm, benar juga. Mungkin... itulah sebabnya aku jadi tertarik.”

“Yah, meskipun tidak selalu seperti itu. Tapi, aku berpikir mungkin seperti itulah saat mendengar perkataanmu tadi.”

“Jadi kamu tidak takut dengan perubahan ya, Asamura-kun...”

Aku menggelengkan kepala. Itu sedikit berbeda.

“Aku juga takut. Ayah dan ibu kandungku dulunya juga akur. Tapi, jika kebahagiaan tidak berlangsung selamanya, maka ketidakbahagiaan juga tidak akan berlangsung selamanya.”

“Itu sih... secara logika memang benar.”

“Sebelum aku menemukan buku, aku merasa seolah-olah neraka akan berlangsung selamanya. Bagi anak-anak, jangankan seminggu, bahkan waktu satu hari saja terasa sangat lama. Jika ayah dan orang itu bertengkar sejak mereka tiba di rumah sampai malam, itu terasa seperti selamanya bagi seorang anak.”

“Ah... mungkin itulah sebabnya ibuku tidak ingin menunjukkan hal-hal seperti itu padaku waktu dulu.”

“Mungkin saja. Ayahku memang tipe yang tidak peka. Meskipun belakangan ini ia jadi sedikit lebih baik setelah dipengaruhi oleh Akiko-san. Makanya, mereka tidak perlu repot-repot keluar rumah hanya untuk bertengkar, tapi sering berdebat di ruang tamu. Pada saat itu, aku tidak punya hobi membaca, jadi satu-satunya tempat untuk melarikan diri adalah televisi. Televisinya ada di ruang tamu, dan tentu saja ayah dan orang itu juga ada di sana.”

Dengan kata lain, setelah aku tiba di rumah, aku harus terus melihat ayah dan orang itu bertengkar. Atau mungkin saat aku sedang belajar? Tapi, saat itu aku tidak begitu pandai belajar, jadi waktu yang dihabiskan di meja juga terasa menyakitkan.

“Itulah sebabnya, ketika aku menemukan buku, aku merasa terselamatkan karena itu menjadi pelarian bagiku. Berkat itu, nilai-nilaiku perlahan meningkat, jadi belajar juga menjadi tempat untuk melarikan diri. Dan aku belajar bahwa melalui buku, dunia bisa berubah. Bahwa hal baik maupun hal buruk tidak akan berlangsung selamanya.”

“Jadi, hal itu menjadi penyelamatan bagi Asamura-kun, ya?”

“Ya, aku pikir begitu. Itulah sebabnya aku jadi tertarik pada penyebab dan situasi yang membawa perubahan.”

Apa yang menyebabkan terjadinya perubahan?

Jika aku bisa mengetahuinya, aku bisa mempersiapkan diri untuk perubahan yang akan datang—meskipun itu bukan alasan utama aku memilih jurusan yang aku inginkan, tapi mungkin ada hal-hal seperti itu yang tertanam di dalam pikiran bawah sadarku.

“Aku merasa bahwa keadaan kita berdua mirip, tapi meskipun begitu, kepribadian yang muncul dari sana mungkin cukup berbeda. Aku ingin hal-hal baik berlangsung selamanya, sedangkan Asamura-kun berpikir bahwa meskipun hal baik berakhir, itu akan datang lagi suatu saat nanti.”

“Mungkin itu benar. Jadi, demi memastikan hal baik berikutnya datang, mungkin aku berusaha mencari tahu apa yang menjadi penyebab perubahan itu.”

Meskipun percakapan kami terdengar seperti pembicaraan yang cukup sulit, tapi sebenarnya itu hal yang sederhana. Ayase-san ingin bukti bahwa kebahagiaan memang ada di sana, sementara aku sedang mencari pola untuk bisa bahagia. Hanya itu saja.

“Rasanya cukup berbeda.”

“Yah, rasanya akan merepotkan kalau tidak begitu. Itulah sebabnya dunia ini terasa menarik karena setiap orang berbeda-beda. Hanya saja, aku sudah menerima bahwa aku memiliki kepribadian seperti ini, tapi kupikir jika aku berada di hadapan diriku sendiri, itu pasti akan sangat menyebalkan.”

“Apa itu berarti kamu membenci dirimu sendiri?”

“Dalam arti tertentu, mungkin saja begitu. Habisnya, orang yang berpikir bahwa hal baik juga akan berakhir itu terdengar sombong dan menyebalkan, bukan? Misalnya saja orang seperti Maru, Aku merasa beruntung karena masih ada yang mau bersamaku.”

Saat aku mengucapkan itu dengan nada mengejek, Ayase-san yang duduk di sampingku meletakkan cangkir yang dipegangnya di meja rendah di samping tempat tidur. Lalu, dia meletakkan tangannya di leherku. Dia memelukku dengan lembut, mengelilingi tubuhku dengan kedua tangannya.

“Jangan bilang begitu. Maru-kun tidak mungkin berpikir seperti itu. Karena, aku juga...”

“Ayase-san.”

Ketika dia mengatakan bahwa itu salah, aku meletakkan cangkir yang aku pegang dengan cara yang sama.

Lalu, aku memperbaiki kata-kataku.

“Saki.”

“Ya.”

Perlahan-lahan, aku mengelilingi pinggangnya dan menariknya lebih dekat. Lipatan selimut di tempat kami duduk berkerut erat, berubah bentuk sedikit demi sedikit setiap kali posisi pinggang kami bergeser. Sambil berpikir itu seperti seni fluid, aku menutup mata dan menyatukan bibir kami.

Saat kami saling berpelukan, ketegangan perlahan-lahan mulai mengendur.

Setelah kami berciuman sekali lagi, aku kembali memeluknya. Ada bagian dari diriku yang ingin terus seperti ini, tetapi di sisi lain, aku merasa tidak bisa menahan diri. Aku sedikit melonggarkan pelukan dan mendekatkan mulutku ke telinganya.

“Boleh kita melangkah lebih jauh?”

Mengucapkan itu membutuhkan keberanian. Aku khawatir kalau dia tidak akan suka. Meskipun kami adalah sepasang kekasih, bukannya berarti kami selalu menginginkan hal yang sama pada waktu yang sama. Namun, jika salah satu dari kami tidak melangkah maju, kami tidak akan pernah tahu.

“Iya, boleh... karena, aku juga merasakan hal yang sama.”

Saat aku mendengar suaranya yang manis, aku berusaha sekuat tenaga untuk tidak mengencangkan pelukanku. Tubuh Ayase-san yang ada di dalam pelukanku terasa lembut, dan aku takut jika aku menekannya terlalu keras, dia akan hancur.

Aroma sabun atau sampo sehabis mandi tercium dari rambutnya, dan wangi yang menyenangkan sudah tercium sejak beberapa saat yang lalu. Ketika aku mencoba mengingat di mana aku pernah mencium aroma ini, aku teringat bahwa itu berasal dari Ayase-san yang duduk di sampingku selama pertunjukan konser. Wajah kami begitu dekat sehingga kami bisa mendengar napas satu sama lain, dan suara kami bergetar.

“Boleh aku menyentuhmu?”

“Boleh, kok. Aku juga boleh, ‘kan?”

“Ya.”

Meskipun percakapan kami terdengar agak formal, aku berpikir bahwa ini memang mencerminkan seberapa tidak terbiasa kami dengan hal-hal seperti ini.

Sambil masih saling berdekapan, kami perlahan-lahan memasukkan tangan kami ke dalam pakaian dan saling menyentuh kulit kami satu sama lain.

Kehangatan tangan yang menyentuh dan kehangatan di tempat yang tersentuh. Itu membuatku merasa bahagia dan juga terasa nyaman.

“Aku ingin terus seperti ini selamanya.”

Itulah harapan yang diinginkan Ayase-san. Keabadian.

“Tapi, Asamura-kun tahu bahwa itu tidak akan terjadi.”

“Maaf.”

“Sudah kubilang kamu tidak perlu minta maaf. Karena... sebagai gantinya, kamu berpikir seperti ini.”

Sebelum dia mengucapkannya, aku sudah mengatakannya.

“Jika kamu mau, aku akan selalu melakukan ini sebanyak yang kamu inginkan.”

Aku perlahan-lahan membelai kulitnya yang lembut. Telapak tangannya yang melingkar di punggungku menjelajahi sekitar tulang belikatku, menikmati sensasi yang menyedot. Aku merasakan tekanan lembut di area dadaku dari tubuhnya saat aku menariknya mendekay.

Tangannya juga bergerak dengan hati-hati, menelusuri permukaan kulitku, seolah-olah ingin memastikan bentuk tubuhku. Tangannya terasa hangat, nyaman, dan panas dari tempat yang tersentuh mulai menyebar ke seluruh tubuhku, seolah-olah membuatku seperti akan meleleh.

“Asamura-kun.”

Sekarang, aku yang berbisik, “Bukan begitu, ‘kan.”

“Yuuta.”

“Saki.”

Seluruh saraf di tubuhku terasa tajam seperti jarum, berkonsentrasi untuk menangkap setiap informasi tanpa terlewat, dan karena itulah aku menyadarinya. Suara kunci yang berputar di pintu masuk──.

Kami berdua dibuat terkejut dan langsung berhenti bergerak.

“Aku pulang……”

Aku mendengar suara pelan ayahku, seolah-olah ia tidak mengharapkan jawaban, dan aku buru-buru menjauhkan tubuhku.

Ketika aku melihat jam di dekatku, waktunya sudah lewat tengah malam.

Kami berdua belum saling menyentuh lebih dari itu. Hanya dengan saling menyentuh kulit secara langsung saja sudah merupakan pengalaman yang belum pernah kualami, dan memuaskan hatiku. Ada rasa penyesalan yang tidak bisa dihindari, tetapi mengingat situasinya, aku segera merapikan pakaianku dan membuka pintu menuju ruang tamu.

Aku harus mengulur waktu sampai Saki bisa kembali ke kamarnya.

“Se-Selamat datang kembali!"

“Ah, kamu masih bangun, ya. Aku baru saja pulang tadi.”

Sambil mengatakan terima kasih atas kerja kerasnya, aku bertanya apakah ia ingin makan malam. Seperti yang sudah kuduga, Ayahku menjawab bahwa dirinya sudah selesai makan.

Sambil menghalangi agar tidak terlihat dari arah lorong, aku segera mendorong ayahku untuk mencuci tangan di kamar mandi.

“Mau minum teh?”

“Ah, kalau bisa, iya tolong.”

“Baiklah.”

Sambil menjawab begitu, aku diam-diam mengintip ke dalam kamarku, dan tidak ada lagi sosok Ayase-san di sana. Seprai yang berkerut sudah diperbaiki kembali dengan rapi. Hanya ada dua cangkir di kamar yang menjadi bukti apa yang terjadi.

Aku membawa cangkir itu ke wastafel dan mencucinya sambil merebus air untuk ayahku.

Walaupun keabadian telah berakhir, tapi...

Pada saat itu, aku merasakan bahwa ini juga merupakan awal yang baru bagi hubungan kami.

 

 

 

Sebelumnya  |  Daftar isi  |  Selanjutnya

close

Posting Komentar

Budayakan berkomentar supaya yang ngerjain project-nya tambah semangat

Lebih baru Lebih lama