Roshidere Jilid 9 Bab 3 Bahasa Indonesia

Chapter 3 — Dan Dirinya Tidak Bisa Menjadi Apa-Apa

 

(Sudut Pandang Yumi)

Kakakku adalah orang yang sangat berbakat. Ia merupakan orang yang biasa disebut sebagai anak jenius. Apa pun yang dirinya lakukan selalu menghasilkan hasil yang luar biasa, dan meskipun begitu, ia memiliki sifat ceria dan periang yang tidak pernah menyombongkan diri, sehingga ia bisa akrab dengan siapa saja.

Yumi! Aku memasukkan banyak es ke dalam bak mandi dan ada sesuatu yang menakjubkan terjadi! Lihat!

“Onii-sama, apa yang sedang kamu lakukan...?

Yumi! Aku bisa membuat bola lumpur yang sangat indah, ini untukmu!"

Ehh, aku tidak mau... apa itu benar-benar bola lumpur?

Sebagai adik perempuan yang berusia tiga tahun lebih muda darinya, aku sering kali diusik oleh kakakku, dan meskipun aku sering merasa terombang-ambing karena ulah jahilnya, aku sangat menyayangi kakakku. Namun, seiring bertambahnya usia, aku semakin tidak bisa menyukai kakakku dengan tulus. Karena aku dan kakakku terlalu berbeda.

Aku tidak bisa melakukan sesuatu yang bisa dilakukan kakakku. Apa yang ia pelajari dalam tiga hari, aku butuh waktu sebulan untuk mempelajarinya. Di hadapan kakakku yang dipenuhi dengan bakat, aku hanyalah orang biasa yang tidak memiliki bakat apa pun.

Sepertinya kamu tidak mengalami masalah dalam percakapan sampai batas tertentu, Naotaka.

Ya, Ayah.

Bagus, kalau begitu ikutlah bersamaku ke Amerika minggu depan. Belajarlah bahasa Inggris secara praktik.

Ayah sepertinya sudah menyadari hal itu sejak awal. Pandangan Ayah yang menghargai orang-orang berbakat selalu tertuju pada kakakku, dan tidak pernah pada diriku.

Naotaka-kun benar-benar cerdas sekali, ya. Rasanya sulit dipercaya kalau ia masih anak SD.

Ya, benar sekali. Di musim semi nanti ia akan memasuki Akademi Seirei sebagai juara satu angkatannya, kan? Kepala keluarga pasti merasa sangat bangga.

Ah, masa depan keluarga Suou sudah pasti terjamin! Ngomong-ngomong, bagaimana dengan Yumi-san…

Acara kumpul-kumpul keluarga selalu membuatku merasa tidak nyaman. Para orang dewasa memuji dan menyanjung kakakku, sementara mereka memandangku dengan tatapan mengejek. Di hadapan mereka, Ayah selalu berkata sedikit.

Yumi adalah wanita. Sebagai wanita, dia memiliki tugasnya sendiri.

Haha, itu benar sekali. Memang benar Yumi-san adalah gadis yang cantik. Dia tidak akan kesulitan mencari suami di masa depan."

Jika diingat-ingat kembali, mungkin itu adalah cara Ayah untuk melindungiku. Namun, pada saat itu, aku tidak bisa menganggapnya seperti itu.

(Apa aku hanya memiliki nilai karena aku seorang perempuan?)

Satu-satunya hal yang mendapat pujian adalah penampilan alamiku. Tidak ada yang mengharapkan aku untuk mencapai sesuatu. Sebaliknya, mereka justru berpikir bahwa aku pasti tidak bisa melakukan apa-apa.

Tidak, tidak, Yumi adalah tipe prang yang sukses di kemudian hari! Aku, sebagai kakaknya, akan menjamin itu!

Dukungan kakakku seperti itu hanya membuatku merasa lebih hina. Aku tersiksa oleh perasaan rendah diri terhadap kakakku, dan membenci diriku sendiri yang berpikir bahwa seandainya kakakku tidak ada.

Ibuku selalu berkata kepada diriku yang selalu menundukkan kepalaku dan menanggung niat jahat yang tidak berwujud.

Jangan terlalu dipikirkan, ya? Karena Yumi-chan pasti memiliki kelebihan Yumi-chan sendiri.

Walaupun ayahku orang yang tegas, tapi ibuku merupakan orang yang cukup santai dan selalu tersenyum. Meski dia adalah istri seorang diplomat, aku jarang sekali melihatnya pergi ke luar negeri bersama ayah, dan dia juga tidak aktif dalam bersosialiasi di Jepang. Dia selalu mengawasi kami, kakak beradik, dengan senyuman di rumah.

Ibu tidak mengerti bahasa Inggris. Dia bahkan sering bercanda dan tertawa bahwa, jangankan bahasa Inggris, dirinya malah masih tidak mengerti bahasa Jepang dengan baik.

Oleh karena itu, ada kalanya kerabat keluarga yang mengolok-oloknya di depan ayah, tetapi ibuku tetap tersenyum tanpa menghiraukannya. Ketika melihat hal itu, ada orang yang dengan jelas mengejek, Apa dia tidak mengerti sindiran?”. Suatu hari, aku bertanya kepada ibu.

“Okaa-sama, apa kamu tidak merasa kesal?"

Aku sendiri dibuat merasa kesal. Jadi, aku pikir ibu juga pasti merasa kesal. Meskipun aku bertanya seperti itu, ibuku tetap menggelengkan kepalanya dengan wajah tenang.

Tidak sama sekali, kok. Karena mereka tidak tahu bahwa aku adalah orang yang hebat.

“Orang yang.... hebat?

Ya, mereka mengucapkan hal-hal itu karena mereka tidak tahu bahwa aku adalah orang yang hebat. Tapi aku tahu bahwa aku adalah orang yang hebat. Jadi, aku tidak mempedulikan dengan apa yang dikatakan orang yang tidak tahu apa-apa.

Setelah mengatakan itu, ibuku tersenyum dengan bangga.

Aku hebat! Karena aku dipilih oleh suami yang sangat hebat, dan aku melahirkan dua anak yang cantik dan hebat! Dan Nao-kun dan Yumi-chan juga hebat! Ibu sangat mengetahui itu dengan baik. Jadi, kamu tidak perlu khawatir dengan omongan orang-orang yang tidak tahu itu, oke?”

Melihat ibuku yang mengatakan itu dengan penuh percaya diri, aku jadi berpikir bahwa mungkin ibuku adalah orang yang hebat.

Namun, aku tidak bisa berpikir seperti ibuku. Itulah sebabnya, ketika ada hal yang menyakitkan, aku selalu melarikan diri ke piano. Piano adalah satu-satunya bakatku. Ini adalah sesuatu yang bisa membuatku percaya diri, bahkan dibandingkan dengan kakakku.

Ayah tetap tidak menunjukkan perhatian padaku, tetapi ibu dan kakakku sering memuji permainan pianoku... Suatu hari, keduanya berkata.

Yumi-chan benar-benar jago piano, ya. Mungkin di masa depan dia akan menjadi pianis profesional.

Wah, bagus tuh! Yumi ‘kan cantik dan bisa mengenakan gaun dengan baik, jadi kupikir itu bagus!

Eh, ehehe, masa?

Pianis profesional. Hingga saat itu aku hanya bermain piano secara sembarangan, tetapi kata-kata itu terasa sangat menarik.

Aku takkan pernah bisa menjadi diplomat yang berkeliling dunia seperti ayahku. Namun, aku mungkin bisa menjadi pianis yang berprestasi di dunia. Jika memang begitu, aku pasti tidak akan merasa minder terhadap kakakku. Bahkan kerabatku akan berhenti mengejekku. Dengan piano, satu-satunya bakatku, aku pasti bisa──

“Aku mendengar kalau sepertinya kamu ingin menjadi pianis.

Beberapa hari kemudian, saat makan bersama, ayahku menanyakan hal itu, dan aku terkejut. Aku berpikir kalau ia mungkin akan mengatakan bahwa itu adalah pekerjaan yang tidak pantas untuk putri keturunan keluarga Suou, atau bahwa itu adalah mimpi yang tidak sesuai. Namun,

Jika ada yang kamu butuhkan, katakan saja. Jika kamu ingin belajar di luar negeri, aku akan mengatur semuanya.

Eh──

Cobalah sabanyak mungkin yang kamu bisa.

Pada saat itu, untuk pertama kalinya, aku merasa diharapkan oleh ayah. Ayahku juga mendukung mimpiku. Pasti, inilah satu-satunya jalan di mana aku bisa bersinar.

Sejak saat itu, aku terus-menerus berfokus pada piano. Melalui koneksi dan bantuan Ayah, aku mendapatkan guru yang luar biasa, meraih prestasi baik di beberapa kompetisi di dalam negeri, dan melanjutkan ke sekolah SMP khusus perempuan yang memiliki jurusan musik.

Meskipun aku bersekolah di SMP yang tidak memiliki prestasi akademis yang baik, dan kerabatku tetap mengolok-olokku lagi, tapi aku tidak lagi menundukkan wajahku dan menanggung semuanya di dalam hati seperti sebelumnya. Ternyata, ketika seseorang memiliki tempat bergantung, mereka bisa lebih tenang. Aku hebat. Suatu hari, aku akan benar-benar menjadi pianis hebat dan membuktikannya. Dengan pemikiran seperti itu, meskipun aku diolok-olok, aku bisa menerimanya dengan senyuman.

Namun... sekolah SMP yang aku masuki dipenuhi orang-orang yang juga ingin berkarir di bidang musik. Nilai-nilaiku stagnan dan tidak membaik.

Jangan khawatir, setiap orang pasti mengalami masa-masa sulit.

Tenang saja. Ibu sangat menyukai permainan piano Yumi-chan. Suatu saat nanti, pasti ada banyak orang yang akan merasakannya juga.

Ibu dan kakakku masih mengatakan hal yang sama seperti itu. Tapi bagi diriku yang sedang mengalami masa pemberontakan remaja pada masa itu, semuanya terasa mengganggu.

Perkataan kakakku yang semakin cemerlang hanya terdengar menyebalkan, dan dukungan ibu yang tidak memiliki dasar hanya membuatku semakin marah.

Kamu mengganggu, tolong keluar dari sini!

Saat aku bermain piano di rumah, aku sering mengusir ibuku yang selalu datang mendengarkan permainanku. Saat itu, entah kenapa, aku tidak menyukai segala hal tentang ibuku.

Karena suaminya hebat, karena anaknya hebat, apa itu berarti dia juga hebat? Bukannya itu berarti dia tidak memiliki kebanggaan lain selain menjadi istri dan ibu? Karena dia tidak punya hal yang bisa dibanggakan, dia membanggakan suami dan anaknya. Itu benar-benar membuatnya tampak seperti orang yang hanya memiliki nilai sebagai seorang wanita.

(Aku tidak ingin menjadi seperti itu)

Aku tidak ingin menjadi parasit terhadap prestasi orang lain dan meyakini diriku sebagai orang yang berharga. Aku ingin menjadi seseorang yang dianggap hebat hanya karena kemampuanku sendiri, sama seperti ayah dan kakakku. Aku meyakini kalau aku bisa melakukannya. Karena aku juga merupakan orang yang mewarisi darah Suou yang cemerlang.

Dengan keyakinan itu, aku menghabiskan hari-hariku berlatih piano dengan tekun, dan setelah satu tahun berlalu── ibu meninggal dunia.

Peristiwa itu terjadi seminggu sebelum ulang tahunku yang keempat belas. Ibuku pergi keluar sendirian untuk mencari hadiah ulang tahunku. Di tengah perjalanan, dia menjadi korban perampokan oleh dua orang yang mengendarai sepeda motor. Ketika ibu berusaha melawan, dia terjatuh dan terseret oleh sepeda motor tersebut sehingga kepalanya terbentur trotoar. Setelah menerima kabar dari polisi, aku dan kakakku segera bergegas ke rumah sakit. Ayah sedang berada di luar negeri untuk urusan pekerjaan dan tidak ada di rumah.

“O-Okaa-sama... Okaa-sama!

Meskipun aku selalu merasa terganggu olehnya. Begitu melihat ibuku terbaring di tempat tidur rumah sakit, terhubung dengan mesin, sosok ibu yang lembut langsung terbayang di kepalaku. Ibuku selalu bersikap baik padaku. Kenapa aku tidak bisa membalas kebaikannya lebih banyak? Penyesalan itu meluap-luap, dan air mataku tidak bisa berhenti mengalir.

Aku ingin meminta maaf kepada ibuku. Dan mulai sekarang, aku ingin lebih baik terhadapnya. Dengan harapan itu, aku menggenggam tangan ibu, memanggilnya berkali-kali supaya dia bangun, dan berdoa kepada Tuhan agar tidak membawa ibu pergi. Namun, dua hari kemudian, ibuku pergi selamanya tanpa pernah sadar kembali, sebelum ayah pulang.

Aku menangis sesenggukan sampai merasa sesak dan tidak bisa bernapas. Kakakku yang memelukku juga menangis sama banyaknya. Namun, hanya ayah yang tidak menangis.

Ayahku tiba di rumah sakit beberapa jam setelah ibu menghembuskan nafas terakhirnya, dan meskipun di hadapan jenazah ibu, ia tidak meneteskan air mata sedikit pun dan melanjutkan proses dengan tenang. Sebagai kepala pelayat, ayahku tidak pernah menangis saat memimpin pemakaman ibuku sebagai kepala keluarga. Melihat ayah seperti itu, aku berpikir bahwa ungkapan duka yang hanya di permukaan tidaklah perlu.

“Aku turut berbelasungkawa sedalam-dalamnya... Namun, kamu masih muda, Gensei-san. Yumi juga masih membutuhkan sosok ibu. Bagaimana menurutmu? Apa kamu ada niatan untuk menikah lagi?

Benar sekali. Sebagai diplomat, kamu membutuhkan pasangan yang dapat diandalkan, bukan? Aku memiliki seseorang yang bisa kuperkenalkan...

Beberapa kerabat mulai dengan berani merekomendasikan istri kedua bahkan sebelum pemakaman ibu selesai. Ketidakpekaan mereka membuatku tidak percaya seberapa tega mereka dan merasa marah, sehingga aku memeluk foto ibuku dan menangis tersedu-sedu. Tiba-tiba, kakakku berdiri dan berjalan mendekati kerabat yang mengerumuni ayah, dan dalam sekejap.

Plakkkk!!

Suara keras daging bertemu daging menggema di ruang pemakaman, dan salah satu kerabat terjatuh dengan dramatis.

Jangan bercanda! Kalian sama sekali bukan kerabat kami! Jangan pernah tunjukkan wajah kalian lagi!!

Kakakku berteriak keras seperti itu, dan sambil membalas amplop sumbangan kepada para kerabat yang tertegun, ia secara harfiah mengusir mereka keluar dari ruang pemakaman. Ini adalah pertama kalinya aku melihat kakakku begitu marah, dan tanpa sadar, aku berhenti menangis. Kakakku kemudian memelukku dengan lembut.

Maafkan aku selama ini, Yumi. Karena mereka, kamu sudah menderita begitu lama... Seharusnya aku melakukan ini lebih cepat.

Setelah mengatakan itu dengan suara yang penuh penyesalan, kakakku berkata kepada ayah.

Ayah, mari kita putuskan hubungan kita dengan orang-orang seperti itu. Aku akan mendukung keluarga Suou dengan baik agar kita tidak perlu bergantung pada mereka.

Kakakku yang dengan percaya diri mengumumkan hal itu benar-benar tampak dapat diandalkan dan bersinar. Aku seketika yakin bahwa ia pasti akan mewarisi keluarga Suou dengan baik, seperti yang ia katakan.

(Jangan khawatir, Okaa-sama... Onii-sama dan keluarga Suou akan baik-baik saja. Aku juga pasti akan baik-baik saja selama ada Onii-sama...)

Sambil memeluk foto mendiang ibu, aku memanggilnya di dalam hatiku. Kami akan baik-baik saja, jadi tolong beristirahatlah dengan tenang. Dan itu juga merupakan janji untuk diriku sendiri bahwa aku akan bangkit bersama kakakku. Pada waktu itu, aku tidak pernah membayangkan apa yang akan terjadi selanjutnya.

“Kalau begitu, sampai jumpa lagi ya, Yumi. Aku akan pergi dulu sebentar!

Dua bulan kemudian, kakakku yang pergi menuju tempat kerja ayahku, terlibat dalam kecelakaan pesawat dan meninggal dunia.

Aku bahkan tidak bisa melihat jenazah kakakku. Peti mati yang berisi kakakku ditutup rapat, sehingga aku tidak bisa melihat ke dalamnya. Mungkin karena itulah, setelah pemakaman selesai, aku tidak bisa merasakan kenyataan bahwa kakakku telah meninggal, dan selama beberapa hari aku merasa seperti berada dalam mimpi.

Namun... suatu hari, ketika melihat sekelompok pria yang datang ke rumah, aku terbangun dari mimpi. Mereka adalah kerabat yang diusir kakakku pada hari pemakaman ibu. Kakakku... pada saat seperti ini, ketika pewaris utama keluarga Suou telah meninggal, satu-satunya alasan mereka datang adalah...

(Jika dibiarkan... rumah ini akan diambil alih oleh orang-orang itu!)

Cuma itu satu-satunya yang tidak bisa kumaafkan. Rumah yang berusaha dilindungi kakakku, tidak boleh diambil alih oleh orang-orang yang sudah menghinaku dan Ibuku. Hal itu sama sekali tidak boleh terjadi.

Didorong oleh kemarahan dan rasa tanggung jawab, setelah mereka pergi, aku pergi ke ruang kerja ayah dan menyatakan.

“Otou-sama! Aku akan menjadi diplomat! Aku akan menjadi diplomat dan mewarisi keluarga Suou menggantikan Onii-sama!

Namun, ayahku justru berkata.

Aku tidak memintamu untuk melakukan hal itu.

Dengan sikap seolah-olah tidak perlu dipertimbangkan, ia langsung menolak keputusanku.

Jangan pernah berpikir untuk menggantikan Naotaka. Hal yang aku harapkan darimu ialah aku bisa mendapat menantu yang pantas untuk keluarga Suou ini. Selama kamu bisa memenuhi itu, kamu bebas melakukan apapun sesukamu.

Dalam situasi seperti ini, apa ayah hanya mengharapkan aku menjalankan peranku sebagai seorang wanita? Begitulah pikirku. Itu membuatku merasa frustrasi... dan aku pun meninggalkan mimpiku sebagai seorang pianis.

Sekarang, setelah kehilangan itu, aku jadi menyadari dengan jelas seberapa banyak aku dilindungi oleh ibu dan kakakku. Namun, aku tidak akan lagi bergantung. Aku akan berhenti berpuas diri sebagai adik dari kakak yang cemerlang, yang tidak memiliki tanggung jawab apapun. Jika aku memaksa diriku, aku pun bisa menjadi diplomat yang hebat. Tidak, aku harus menjadi diplomat. Sekarang, setelah kakakku tiada, hanya aku yang bisa melindungi rumah ini.

Demi tidak melarikan diri lagi, aku berhenti bermain piano sepenuhnya dan mengalihkan semua waktu yang sebelumnya kuhabiskan untuk piano ke dalam belajar. Aku beralih dari jurusan musik ke jurusan akademik, dan setiap hari aku belajar dengan giat. Berkat usaha itu, aku berhasil lulus ujian masuk eksternal ke dalam Divisi SMA Akademi Seirei yang pernah dihadiri kakakku.

Aku berhasil... aku berhasil!

Aku merasa bisa melakukannya, dan dengan rasa pencapaian itu, aku merasakan harapan yang samar... tapi semua itu hanya berlangsung sebentar. Karena segera setelah masuk, dalam ujian kemampuan akademik, aku langsung dihadapkan pada kenyataan.

Aku berada di peringkat keempat dari bawah. Itulah peringkatku. Ujian itu tidak menguntungkan bagi siswa baru dari luar yang belum memahami pola soal, karena itu ujian di awal masuk. Meskipun aku mencoba meyakinkan diriku sendiri, begitu pelajaran dimulai, aku tidak bisa mengelak dari kenyataan itu. Meskipun aku berada di antara siswa baru dari luar yang sama, cuma aku satu-satunya orang yang tidak bisa mengikuti pelajaran.

(Kenapa? Padahal aku sudah mengikuti ujian yang sama dan lulus. Kenapa ada perbedaan yang begitu besar...?)

Dan kemudian, aku menyadari. Dalam ujian masuk Akademi Seirei, selain ujian tertulis, ada juga wawancara. Itulah jawabannya.

(Ah, jadi begitu ya. Aku bisa lulus karena... aku adalah putri keluarga Suou...)

Pada akhirnya, aku tidak bisa lulus dalam ujian masuk hanya dengan upayaku sendiri.

Setelah menyadari hal itu, setiap hariku terasa menyedihkan. Aku merasa jauh lebih rendah dibandingkan siswa-siswa di sekitarku. Selain itu, kakakku yang aktif sebagai ketua OSIS dalam divisi SMP Akademi Seirei menjadi terkenal di seluruh sekolah, dan setelah orang-orang mengetahui bahwa aku adalah adik perempuannya, perhatian yang tidak aku inginkan mulai mengarah padaku.

Aku sangat berterima kasih kepada kakakmu──

Kalian berdua tidak terlalu mirip, ya? Ah, aku tidak bermaksud mengatakan hal buruk──

Yumi-san, kalau kamu ada waktu, maukah kamu pergi bersamaku──

Orang-orang yang membicarakan kehebatan kakakku. Orang-orang yang membandingkanku dengan kakakku. Orang-orang yang mencoba mendekatiku sebagai satu-satunya pewaris tunggal keluarga Suou. Semua itu terlihat seperti orang-orang yang memiliki niat jahat, dan aku pun melarikan diri. Aku melarikan diri, dan tiba-tiba mendapati diriku berada di depan ruang musik.

Ah……

Lalu, aku mulai melihat ada piano. Piano yang tidak pernah kumainkan lagi sejak kehilangan kakakku. Dulu, aku selalu bermain piano setiap kali aku mengalami kesulitan.

......

Padahal, aku sudah memutuskan untuk tidak melarikan diri lagi. Aku duduk di depan piano seolah-olah tertarik, dan mulai menekan tutsnya. Saat aku mulai memainkannya, sosok ibu dan kakakku yang pernah memuji permainan pianoku muncul kembali dalam ingatanku, dan aku pun menangis. Dengan air mata yang mengalir deras, aku terus menekan tuts piano, dan ketika selesai memainkan satu lagu, aku mendengar tepuk tangan dari seberang piano dan langsung mengangkat wajahku.

Eh!? Uwa!?

Tampaknya, orang yang bertepuk tangan itu baru menyadari bahwa aku sedang menangis. Dengan ekspresi wajah yang terkejut, ia berhenti bertepuk tangan, lalu ia dengan panik mengeluarkan saputangan dari saku celananya, ia mengernyit sedikit pada saputangan yang ia keluarkan, kemudian ia mengambil tisu dari saku sebelahnya.

Ehm, ini, kalau kamu tidak keberatan, silakan pakai ini...

Siswa laki-laki itu menawarkan sekantong tisu dengan gugup, dan aku langsung menundukkan wajahku setelah tertangkap basah sedang menangis.

Ah, tidak, maafkan aku! Sebenarnya, aku tidak bermaksud mengganggu... Aku cuma kebetulan lewat dan sangat terkesan dengan permainanmu...

Sejak kehilangan ibu dan kakakku, ini adalah pertama kalinya aku dipuji karena permainan pianoku. Ketika aku tanpa sadar mengangkat wajahku, laki-laki yang mengenakan kacamata itu berkata dengan tatapan bingung yang mengembara kemana-mana.

Ehmm, namaku Kuze Kyoutaro. Kalau kamu? Siapa namamu?

......Suou, Yumi.

Suou-san, ya. Suou-san... ah, sepertinya aku pernah mendengar nama itu di suatu tempat...

Apa ia akan membicarakan kakakku lagi? Pikirku sambil menggigit bibirku. Namun, entah ia salah paham mengenai sesuatu, siswa laki-laki di depanku itu langsung melambaikan tangannya dengan panik.

Tidak, aku minta maaf! Aku berasal dari keluarga kalangan menengah, jadi aku tidak terlalu tahu tentang orang-orang terkenal dari kalangan atas! Kalau nama keluarganya sama dengan nama perusahaan besar, mungkin aku bisa mengetahuinya....”

Mungkin ia pernah memiliki pengalaman dimarahi sebelumnya dengan kalimat, “Memangnya kamu tidak tahu keluargaku?!”, karena ia berusaha menjelaskan dengan panik, dan aku merasa lucu melihatnya, sehingga aku sedikit tersenyum. Saat ia melihatku bereaksi seperti itu, ia juga tersenyum dengan canggung.

Dan begitulah pertemuanku dengan Kyoutaro-san.

Sejak saat itu, aku dan Kyoutaro-san sering bertemu di ruang musik.

“Meskipun kedengarannya seperti menyombongkan diri, aku sebenarnya memiliki nilai yang bagus... Ayahku begitu bersemangat dan bilang, 'Kamu pasti bisa masuk ke Akademi Seirei!' dan memaksaku mengikuti ujian masuk. Setelah aku berhasil diterima, ternyata semuanya adalah orang-orang kaya, kan? Entah kenapa, aku merasa kalau pembicaraanku tidak bisa nyambung dengan mereka~... yah, aku sendiri juga salah sih karena tidak mencari informasi sebelumnya~”

Aku dan Kyoutaro-san, dalam artian yang berbeda, merasa terasing di dalam akademi. Aku merasa nyaman menghabiskan waktu bersamanya, dan aku bisa melupakan tekanan yang kurasakan di dalam kelas. Bahkan setelah ia mengetahui tentang diriku, sikapnya tetap sama...

“Begitu ya...jadi, kamu sudah berusaha keras untuk kakakmu, ya. Kamu hebat sekali.

Ia berkata begitu dan memujiku dengan tulus dari lubuk hatinya──

 

◇◇◇◇

 

“Tolong tunggu dulu sebentar, bu.

Ada apa?

Seriusan, aku benar-benar minta maaf. Aku berniat mendengarkan sampai akhir tanpa menyela, tapi...

?

......Mendengar kisah percintaan orang tuaku sendiri, rasanya sungguh berat, ya.

......

 

◇◇◇◇

 

Pada musim dingin kelas satu SMA, Kyoutaro-san mengungkapkan perasaannya padaku, dan kami pun mulai berpacaran. Saat itu, Kyoutaro-san juga sudah memahami semua keadaan keluargaku, dan ia ingin meminta izin untuk bertemu ayahku.

Senang bertemu dengan Anda,  nama saya Kuze Kyoutaro. Saya telah berpacaran dengan Yumi-san sejak bulan lalu.

Kyoutaro-san juga memberitahu ayahku dengan jujur bahwa dirinya berasal dari keluarga kalangan menengah. Setelah mendengarkan semua penjelasannya, ayahku berkata padaku.

Yumi, aku ingin berbicara berduaan dengannya. Silakan keluar dulu dari ruangan sebentar.

Kemudian, aku pun diminta keluar dari ruangan, dan hingga saat ini aku asih tidak tahu apa yang dibicarakan di sana. Namun, aku yakin kalau ayahku meminta Kyoutaro-san untuk menjadi seorang diplomat. Ayahku mungkin sudah menyerah pada diriku yang hanya seorang biasa, dan memilih Kyoutaro-san yang cemerlang. Buktinya, sejak saat itu, Kyoutaro-san membuang mimpinya untuk menjadi polisi dan mulai belajar untuk menjadi diplomat. Meskipun aku menyadari bahwa ayahku telah menyerah padaku, aku tetap tidak berniat untuk menyerah mewarisi keluarga Suou sebagai pengganti kakakku.

“Menurutku itu bagus. Mari kita belajar bersama dan sama-sama menjadi diplomat!

Kyoutaro-san tidak menolak keinginanku, dan kami berdua berjanji untuk mengejar cita-cita menjadi diplomat.

Namun... ketika kami berdua belajar bersama, mau tak mau aku dibuat menyadari bahwa kami berdua sangat berbeda dalam hal kemampuan. Meskipun kami belajar bersama, aku selalu merasa kalau hanya Kyoutaro-san saja yang mengajariku dan seolah-olah aku hanya menghambatnya. Meskipun begitu, aku tidak bisa berhenti dan terus berjuang untuk belajar, tetapi... pada akhirnya, aku tidak bisa lulus ujian penerimaan diplomat. Cuma Kyoutaro-san saja yang berhasil.

Selamat atas keberhasilanmu! Seperti yang kuduga, Kyoutaro-san memang hebat.

Di permukaan, aku memang merayakan keberhasilannya dengan jujur. Namun, jika dipikirkan kembali, sejak saat itu aku mulai merasakan rasa minder yang samar terhadap Kyoutaro-san. Namun, aku tidak bisa menunjukkan perasaan itu. Kyoutaro-san tetap baik padaku, dan yang terpenting, ia memilih untuk meninggalkan mimpinya demi masa depan bersamaku dan menjadi diplomat. Itulah sebabnya...

Apa yang sudah kamu pelajari dengan susah payah tidaklah sia-sia, Yumi-san. Mungkin kamu tidak bisa menjadi diplomat, tapi mulai sekarang, sebagai istri diplomat... aku ingin kamu mendukungku.

Aku menerima lamaran darinya sambil menekan perasaan gelapku jauh ke dalam hatiku.

Setelah itu, kehidupan pernikahanku dengan Kyoutaro-san berjalan dengan bahagia. Namun, seperti yang dikatakan Kyoutaro-san, aku merasa kesulitan untuk mendukungnya sebagai istri diplomat. Karena ketika aku berinteraksi dengan diplomat lain, rasa minderku semakin terpicu, dan itu terasa menyakitkan. Oleh karena itu, ketika aku hamil, aku mengatakan kepadanya kalau aku ingin kembali ke Jepang, tempat di mana aku dulu tinggal. Meskipun itu adalah keinginanku yang egois, Kyoutaro-san dengan lembut mengizinkanku seperti biasanya, Tidak apa-apa. Kebaikannya itu membuatku merasa sedikit menyedihkan.

Namun, setelah kedua anak kami lahir, waktu yang tenang mengalir sejenak. Kedua anak kami sangatkah lucu, dan meskipun dibantu oleh Natsu-san, mengasuh mereka benar-benar sulit, tapi ada kepuasan tersendiri. Perasaan bahwa aku menjalankan peranku sebagai seorang ibu mengurangi rasa minderku terhadap Kyoutaro-san... Namun, itu hanya sampai anak-anak kami mulai menunjukkan bakat mereka.

Masachika-san? Kamu sudah bisa membaca buku-buku yang sulit seperti itu?

Hmm? Iya.”

Kedua anakku memiliki mata yang sangat mirip dengan kakakku dan termasuk dalam kategori orang-orang jenius. Setelah menyadari itu, perhatian ayahku terhadap mereka berdua sangat luar biasa, sama seperti yang pernah ia lakukan kepada kakakku... Tidak, ia bahkan memberikan pendidikan yang sangat istimewa dibandingkan dengan kakakku yang dulu.

Putriku mungkin memiliki sifat yang mudah bosan, karena dia sering kali melarikan diri di tengah jalan... tetapi putraku menyerap pendidikan dari ayahku dengan kecepatan yang luar biasa, sampai-sampai ia disebut sebagai anak ajaib.

...

Suami yang cemerlang dan anak-anak berbakat yang jenius. Di rumah ini, satu-satunya orang yang tidak mendapat perhatian dari ayahku ialah... hanya aku. Suami dan anak-anakku memiliki masa depan yang gemilang. Mereka akan bersinar di panggung besar, dihormati dan dipuji oleh banyak orang. Dan aku akan menjalani kehidupan hanya dengan mengamati mereka dari pinggir panggung. Masa depan semacam itu bisa terlihat jelas di depan mataku.

(Kenapa aku tidak bisa berdiri di atas panggung?)

Perasaan minder yang terpendam di dalam hatiku semakin membesar, dan aku menyadari bahwa aku semakin tidak bisa mengendalikannya hari demi hari.

Kenapa cuma aku yang seperti ini? Tidak peduli seberapa keras aku berusaha, aku tidak bisa menjadi seperti kakakku. Meskipun aku sudah rajin belajar sejak kelas dua SMP, aku tidak bisa menjadi diplomat, sementara suamiku mulai belajar dari musim dingin kelas 1 SMA dan dirinya bisa langsung lulus ujian penerimaan. Dan kedua anak kami sepertinya memiliki bakat yang bahkan lebih unggul daripada suami dan kakakku.

(Kenapa? Rasanya tidak adil.)

Suara itu muncul di dalam benakku, dan aku segera menggelengkan kepala dengan panik.

Tidak pantas bagi seorang ibu untuk tidak merasa senang dengan bakat anaknya, apalagi bahkan merasa cemburu. Itu sama sekali tidak boleh terjadi. Suara itu bukanlah suara hatiku. Itu hanya sedikit godaan setan.

Aku meyakinkan diriku sendiri dan kembali menekan perasaan itu ke dalam hatiku. Namun....

“Kaa-sama! Mulai hari ini katanya aku bisa mempelajari materi pelajaran SMP!

“Kaa-sama! Hari ini aku mendapatkan sabuk hitam di karate!

Setiap kali putraku dengan ceria melaporkan pencapaiannya, perasaan menyedihkan dan minder di dalam hatiku semakin membesar, dan aku merasa sangat tersiksa. Aku memalingkan pandanganku supaya perasaan itu tidak sengaja dilampiaskan kepada anakku. Dan tanpa disadari, perasaan yang tidak bisa kutunjukan kepada anak-anakku mulai kutunjukan kepada suamiku.

“Lagi-lagi bekerja!? Kamu sama sekali tidak pernah pulang ke rumah!

“Aku benar-benar minta maaf, sebenarnya aku ingin lebih banyak menghabiskan waktu dengan keluarga...

Ahhh, kamu selalu bilang begitu! Memangnya kamu pikir hanya dengan meminta maaf saja sudah cukup!?

Kenapa ia meminta maaf? Padahal akulah yang salah, dan semua ini hanyalah pelampiasan yang tidak masuk akal. Suamiku tidak ada di sampingku karena ia sibuk dengan pekerjaannya sebagai diplomat. Ia menjadi diplomat demi diriku, dan tetap tinggal di Jepang adalah keinginanku sendiri. Suamiku sama sekali tidak salah. Kenapa ia tidak marah? Kebaikannya itu justru membuatku merasa lebih menyedihkan.

Rasanya begitu menyakitkan dan membuatku tidak berdaya, sehingga aku kembali melarikan diri ke piano.

“Kaa-sama, luar biasa sekali! Keren!

“Ayo mainkan lagi! Ayo mainkan lagi!

Saat aku bermain piano dan menerima pujian polos dari anak-anakku, perasaan minderku jadi sedikit memudar. Aku merasa bahwa ini adalah satu-satunya kelebihanku.

(Seandainya saja... Onii-sama tidak meninggal saat itu...)

Aku sempat membayangkan apa yang akan terjadi jika aku terus mengejar impianku untuk menjadi pianis? Mungkin aku tidak bisa menjadi pianis dunia seperti yang aku impikan saat itu. Namun, aku mungkin bisa menjadi pianis terkenal yang mampu menginspirasi banyak orang.

(Cuma bercanda... )

Semua itu hanyalah anggapan yang tidak berarti, sebuah imajinasi tanpa jawaban yang benar. Meskipun begitu, cuma itu satu-satunya mimpi berharga bagiku. Mungkin aku juga bisa menjadi seseorang yang dihormati oleh orang lain. Mungkin aku juga bisa menjadi orang yang berdiri di panggung. Sebuah mimpi yang manis dan lembut...

Namun, itu semua hanyalah ilusi belaka. Pada hari itu, saat aku mendengar putraku memainkan piano untukku, aku terpaksa menyadari kenyataan itu.

Jika ada yang kamu butuhkan, katakan saja. Jika kamu ingin belajar di luar negeri, aku akan mengatur semuanya.

Eh──

Cobalah sebanyak mungkin yang kamu bisa.

Akhirnya aku mengerti. Kalimat yang pernah dikatakan ayahku pada waktu itu bukanlah harapan, melainkan rasa kasihan kepada putrinya yang bermimpi manis tanpa menyadari kenyataan.

Ayahku sama sekali tidak mengharapkan apa-apa dariku. Aku hanyalah orang biasa yang tidak bisa menjadi apa-apa. Sejak lahir, aku adalah manusia yang tidak bisa menjadi siapa-siapa.

Aku tidak ingin mengetahui fakta ini. Namun, mengapa aku harus dihadapkan pada kenyataan seperti ini? Mengapa aku dibuat merasa begitu menyedihkan? Dengan senyuman polos seperti itu. Sama seperti kakakku, yang memujiku, dengan mata yang sama...!!

“Sudah cukup, hentikan itu!!

Selama beberapa saat, aku tidak menyadari bahwa teriakan itu keluar dari mulutku sendiri. Namun, ketika aku melihat wajah putraku yang kaku, aku menyadari kenyataan itu... dan begitu aku menyadarinya, semuanya sudah terlambat.

 

 

Sebelumnya  |  Daftar isi  |  Selanjutnya

close

Posting Komentar

Budayakan berkomentar supaya yang ngerjain project-nya tambah semangat

Lebih baru Lebih lama