Chapter 6 — 23 September (Kamis/Hari Libur) Ayase Saki
Tentu saja
aku sangat menantikan pertunjukan konser musik Melissa.
Walaupun
begitu, aku juga sangat menantikan untuk keluar dan bersenang-senang bersama
Asamura-kun.
Saat aku
melihat ke atas, langit masih tersisa biru meski matahari sudah hampir
terbenam.
Syukurlah
cuacanya cerah. Dengan hati yang berbunga-bunga, aku menuju ke tempat konser.
Saat melihat sekeliling, jalanan Shibuya sudah lebih awal mengenakan suasana
musim gugur, dan manekin di etalase toko mengenakan warna-warna tren tahun ini,
berpose untuk menarik perhatian orang-orang yang lewat.
Ketika
sedang memikirkan itu, tiba-tiba aku melihat ke sampingku. Hari ini, gaya
berpakaian Asamura-kun sangat sesuai dengan dirinya. Kombinasi jas biru muda
biasa dan celana panjang, jika aku, pasti akan menambahkan warna aksen lebih
banyak, tetapi Asamura-kun selalu memilih warna yang sedikit.
Namun,
mungkin ini hanya karena pandanganku sebagai kekasihnya, aku merasa cara dia
berpakaian yang sederhana ini cukup menawan. Rasanya sangat cocok dengan
Asamura-kun.
Kami
berjalan menyusuri jalanan sambil menikmati obrolan santai. Di antara orang-orang
yang berlalu-lalang, ada beberapa pasangan pria dan wanita yang saling
bergandeng tangan atau berpelukan, masing-masing menjaga jarak mereka sendiri.
Tidak ada pasangan yang memiliki jarak yang sama persis; ada yang berjalan
sangat dekat hingga seolah-olah tubuh mereka akan menyatu, sementara pasangan
orang tua yang tampaknya sudah berusia lebih dari tujuh puluhan berjalan
perlahan dengan tongkat, sesekali berhenti dan saling menepuk pinggang.
Masing-masing
dari mereka berjalan dengan cara mereka sendiri, tidak terlalu dekat dan tidak
terlalu jauh.
Asamura-kun
mengangkat tangan kanannya sedikit dan mengulurkan tangannya ke arahku. Aku
menyadari hal itu dan memindahkan barang-barang yang kupegang ke sisi yang
berlawanan untuk menggenggam tangannya.
Tangan kami
yang saling bergandengan bergetar lembut saat kami berjalan. Ini mungkin jarak
yang tepat antara kami saat ini.
Sekitar
sepuluh menit sebelum waktu pembukaan, kami tiba di gedung tempat konser.
“Bukankah
tempatnya yang itu?”
Kami sempat kebingungan
untuk mencari pintu masuk, tetapi aku beruntung menemukan papan tanda.
Ternyata
tempat itu berada di lantai bawah gedung di depan kami.
Tak lama
kemudian, antrean untuk menunggu pembukaan mulai terbentuk. Setelah berdiri di
belakang, kami segera bisa masuk. Dengan pamflet yang diterima di pintu masuk,
kami menuju ke tempat duduk.
◇◇◇◇
Karena ini
adalah pengalaman pertamaku menonton pertunjukan konser, jadi semuanya terasa
baru dan menarik.
Aku
membayangkan sebuah aula musik berbentuk seperti kipas dengan tangga, tetapi
ini hanyalah ruangan persegi biasa. Jarak antara penampil dan penonton cukup
dekat.
Alat musik
sudah dibawa masuk. Para anggota band sibuk menguji suara alat musik mereka. ada
tiang mikrofon di bagian tengah. Mungkin di situlah Melissa akan bernyanyi.
Saat aku
mengarahkan perharianku ke arah kursi penonton, terlihat ada kursi umum dan di
belakangnya ada kursi untuk orang-orang penting.
Aku
menemukan kursi kosong di bagian depan area yang ditentukan dan duduk bersama
Asamura-kun. Setelah duduk, aku tak bisa berhenti melihat sekeliling.
Saat aku
melihat ke arah pintu yang baru saja kami masuki, aku terkejut.
Di samping
pintu persegi panjang yang kami lewati, ada poster besar yang dipasang. Aku
menyadari bahwa itu adalah poster konser hari ini karena sama dengan sampul pamflet
yang diberikan di pintu masuk.
Yang paling
menarik perhatianku adalah foto close-up Melissa dengan tatapan matanya
yang kuat. Salah satu matanya menatap tajam seolah ingin menerkamku, terlihat
melalui rambutnya yang berwarna madu yang tertiup angin. Mau tak mau aku merasa
terbebani oleh tekanan tatapannya. Bahunya yang telanjang. Rantai perak tipis
yang tergantung dari lehernya bergetar miring menuju dadanya yang kecokelatan
berkilau.
Latar
belakangnya mungkin hasil editan penggabungan, menunjukkan hutan yang rimbun.
Warna hijaunya pekat dan memberikan kesan kekuatan kehidupan tropis. Meskipun
latar belakangnya adalah alam yang kaya, ekspresi Melissa tetap hidup dan tidak
tenggelam dalam hijau di sekitarnya, menarik perhatianku. Jika dilihat lebih
dekat, ada reruntuhan kuno yang tampak terlupakan, berdiri diam di sudut
pemandangan hutan.
“Bagus ya,
itu.”
Tanpa sadar,
aku bergumam demikian.
Asamura-kun
yang duduk di sebelahku juga mengarahkan wajahnya ke arah yang sama. Sepertinya
dia juga menyadari bahwa itu adalah foto yang sama dengan yang ada di pamflet
yang diberikan di pintu masuk.
Aku membuka pamflet
yang terletak di atas lututku.
Karena
ruangan yang redup, aku menunda membaca tulisan kecil dan mulai melihat dari
sampul ke dalam.
Bagian dalamnya
juga menakjubkan.
Artikel yang
dikelilingi kotak terlihat rapi dan mudah dibaca, menunjukkan perhatian kepada
pembacanya.
Meskipun
tampak kontras dengan Melissa yang terlihat liar di sampul, pola sulur hijau
yang menghubungkan artikel dan artikel yang dikelilingi itu disusun sedemikian
rupa sehingga tidak kehilangan kesatuan dengan sampul. Mungkin ini kebetulan,
tetapi mungkin juga ada sisi halus dalam diri Melissa yang liar.
Bagian
belakang pamflet seperti kumpulan cuplikan yang menangkap kehidupan sehari-hari
Melissa. Saat aku melihat foto-foto indah itu, tiba-tiba aku merasa, “Eh?”
Tidak ada
foto yang menunjukkan dia sedang tersenyum.
Saat aku
terus membolak-balik halaman, aku sampai di halaman terakhir. Melissa yang
sedang bernyanyi dengan penuh semangat mendominasi bagian atas, sementara di
bawah ada foto grup dengan staf yang berpelukan. Hanya di foto itu, Melissa
menunjukkan senyum yang ceria. Saat itu, hatiku terasa terikat erat.
Ah, jadi
begitu maksudnya.
Melissa
tidak diterima di masyarakat Jepang karena kepekaannya yang unik dan menemukan
tempatnya di negara asing.
“Menemukan komunitas
di mana kamu bisa hidup sesukamu tanpa ada yang mengeluh”
Kata-katanya
itu kembali terngiang di benakku.
Dia pasti
telah menemukan tempat di mana dia bisa bernyanyi bersama mereka.
Pamflet yang
ada di tanganku ini terasa seperti merangkum sosok Melissa dengan begitu
ringkas. Orang yang membuat ini pasti sangat memahami Melissa dengan baik.
Selain itu,
untuk melihat kembali sejarah yang dia lalui, tanpa menggunakan foto-foto lama,
dia bisa mengekspresikan kedalaman dirinya hanya dengan foto-foto yang diambil
saat ini—rasanya seperti begitu.
Foto... ya.
Aku hampir
tidak memiliki foto diriku sendiri. Aku selalu bilang kepada orang-orang bahwa bentuk
mataku buruk dan aku tidak terlihat baik di depan kamera. Sebenarnya, hingga
saat ini, aku mempercayai pada kata-kataku sendiri.
Namun,
setelah melihat bagaimana sosok Melissa bisa diekspresikan hanya dengan
foto-foto saat ini, aku mulai berpikir bahwa mungkin aku sebenarnya takut pada
foto. Lebih tepatnya, aku takut pada kebenaran yang terpotret sekejap.
Ironisnya,
ketika momen itu diabadikan, hal tersebut seolah-olah membuktikan bahwa momen
itu tidak abadi...
Aku menghela
napas pelan.
Aku tidak
menyangka kalau aku bisa berpikir sejauh ini hanya dari satu pamflet yang
dibagikan di konser. Semuanya dikarenakan pamflet ini—
“Desainnya sangat
stylish. Keren dan bagus, ya.”
Kupikir aku
mengucapkan pemikiran jujurku untuk diriku sendiri, tetapi aku terkejut ketika
mendengar seseorang mengucapkan terima kasih padaku. Aku segera menoleh ke arah
suara tersebut. Seorang wanita yang duduk tepat di belakangku berkata sambil
tersenyum malu-malu.
“Poster itu,
akulah yang membuatnya.”
Dia
memperkenalkan dirinya sebagai “Akihiro Ruka”, mengaku bahwa dia adalah
teman Melissa dan seorang desainer.
Dengan kata
lain, dia adalah orang yang mengemas sosok Melissa dalam pamflet tipis ini.
Setelah memikirkan
hal itu, aku jadi ingin tahu seberapa benar perasaanku terhadap pamflet ini,
dan ingin berbicara sedikit dengannya.
Namun, saat
aku bertekad untuk berbicara dengannya, Ruka-san justru dipanggil oleh
seseorang dan berdiri meninggalkan tempat duduknya. Ditambah lagi, waktu untuk
pertunjukan Melissa sudah dekat.
Dengan perasaan
penuh keengganan, aku mengalihkan pandangan kembali ke panggung.
Pertunjukan
konsernya sudah dimulai.
◇◇◇◇
Melissa yang
telah tiba di tengah panggung mulai menyanyikan lagu pertama dengan tenang. Dia
memegang gitar, sama seperti saat aku melihatnya di restoran di Singapura dulu.
Seraya memetik sinar gitar dan duduk di atas bangku yang sudah disediakan,
Melissa terlihat seperti sedang menatap jauh ke depan.
Suara indahnya
menyebar, membuat penonton semakin terfokus, dan semua orang mendengarkan
dengan penuh perhatian.
Kesannya
seperti perpaduan antara musik etnis dan rock—itu adalah kesan yang sama ketika
aku pertama kali mendengarnya. Aku tidak tahu seberapa tepat pendapatku sebagai
orang awam dalam musik.
Meskipun
lagu pembuka terasa lembut, dia mulai menyanyikan lagu-lagu yang lebih ceria
dan upbeat secara bertahap. Lagu-lagu tersebut lebih mendekati citra
dirinya saat berbicara.
Sebagian
besar lagu yang diciptakan Melissa bisa didengarkan di YouTube. Liriknya
semuanya dalam bahasa Inggris, tetapi karena aku sudah mendengarnya beberapa
kali, saat intro mulai terdengar, aku langsung ingat, “Oh, lagu ini, ya.”
Pembicaraannya
cukup terbatas. Dia mulai dengan menyapa, kemudian memperkenalkan anggota band
di tengah pertunjukan... tapi itu saja. Mungkin ini disebabkan oleh fakta bahwa
percakapan Melissa hampir seluruhnya dalam bahasa Inggris, sementara sebagian
besar penonton adalah orang Jepang. Dengan kemampuan bahasanya, aku rasa dia
bisa berbicara dalam bahasa Jepang, tetapi mungkin dia merasa tidak bisa
mengekspresikan dirinya sebaik dalam bahasa Inggris.
Saat aku
terbuai oleh suara nyanyiannya yang menyenangkan, waktu berlalu begitu cepat.
Pertunjukan konser
selama dua jam itu mendekati klimaks.
Melissa
menghadap ke arah penonton dan mengumumkan dalam bahasa Inggris bahwa lagu
berikutnya adalah yang terakhir.
Musik mulai
mengalun.
──Ah, ini.
Lagu favoritku.
Aku langsung
mengenalinya dari intro. Ini adalah lagu dengan jumlah tayangan terbanyak di
antara lagu-lagu yang diunggah. Ini adalah lagu yang paling sering aku
dengarkan. “But I was free born”. Kata-kata yang menjadi judul lagu
tersebut tampaknya diambil dari sebuah kutipan terkenal, dan sebagian dari
kata-kata itu juga menjadi judul film. Judul filmnya mungkin “Born Free”.
──Aku terlahir bebas.
Setelah
meletakkan gitarnya, Melissa mulai menyanyi dengan memegang mikrofon
seolah-olah berpegang pada sesuatu yang sangat berharga. Aku menyadari itu
adalah ekspresi yang kulihat di pamflet.
Temponya sedikit
lebih cepat dari versi yang aku dengar di YouTube.
Atau
mungkin, bukannya semakin lama lagunya jadi semakin cepat? Sepertinya dia
semakin cepat sedikit demi sedikit dibandingkan saat awal menyanyi. Para musisi
yang bermain bersamanya tampak sedikit terkejut. Namun, mereka tidak panik.
Mereka terus memainkan musik sesuai dengan tempo Melissa.
Dengan lirik
yang menggambarkan pelarian dari keadaan yang terkurung, cara nyanyinya yang
mendesak seolah-olah dia sedang melarikan diri dari sesuatu.
Ketika rasa
kecepatan semakin meningkat, Melissa melepaskan mikrofon dari dudukannya. Dia
menggenggamnya dengan kedua tangan, seolah-olah memegang harta yang sangat
berharga.
Ketika masuk
ke bagian interlude, para pemain musik mulai menurunkan tempo kembali ke yang
semula.
Dengan
kembalinya tempo awal, aku merasakan bahwa Melissa melakukan itu untuk
menyampaikan rasa pelarian dalam liriknya, dan para anggota band menyesuaikan
diri dengan tempo tersebut.
Selama
interlude, Melissa membiarkan kedua tangannya terkulai dan menundukkan
wajahnya. Dia terlihat seperti boneka yang kehabisan baterai. Melihat Melissa
yang lesu, aku merasa cemas, apakah dia jatuh karena tidak bisa melarikan diri,
atau apakah dia sudah berhasil melarikan diri dan kini merasa lega untuk
beristirahat—aku merasa tegang antara dua kemungkinan itu.
Meskipun aku
seharusnya tahu liriknya, aku hanya bisa menyaksikan saat tubuh Melissa
mengekspresikan dirinya.
Melissa
perlahan-lahan mengangkat tubuhnya.
Setelah
interlude berakhir, lagu dimulai lagi.
Melissa
mengangkat wajahnya, menggenggam mikrofon kembali, dan menyanyikan bagian
paduan suara terakhir.
Dalam
sorotan lampu, Melissa bersinar cerah dengan tangan yang diangkat tinggi—.
Saat
tangannya terulur sepenuhnya, dia menggenggam sesuatu seolah-olah berhasil
meraihnya dan menariknya ke dada.
Dia menyanyikan
akhir lagu dengan suara yang lantang. Wajahnya menunjukkan ekspresi
kegembiraan.
Setelah
selesai menyanyi, dia menghela napas besar dan membungkuk ke arah penonton.
Aku merasa
seolah-olah panas dari dalam tubuhku tiba-tiba meningkat.
Entah
mengapa, mataku tiba-tiba terasa hangat. Aku merasa seperti kalau aku ingin
menangis.
Saat aku
mencoba bertepuk tangan dan mengangkat tangan, aku secara tidak sengaja
menyentuh tangan seseorang, tetapi aku tetap bertepuk tangan dengan kedua
tanganku berulang kali. Terdengar tepuk tangan dan sorakan yang meriah dari
seluruh arena.
Melissa menanggapinya
dengan mengangkat kedua tangannya ke arah penonton yang bersemangat.
Dengan
ekspresi seolah-olah dia telah berhasil melakukan sesuatu.
“Melissa!”
Salah satu
pria di belakang yang sedang bermain musik berteriak dengan nada seolah-olah
seorang guru yang memarahi murid. Hah? Sepertinya dia sedang dimarahi? Anggota
band lainnya tampak tersenyum geli. Melissa menjulurkan lidahnya ke arah
pemilik suara dan meminta maaf seolah-olah sedang berdoa. Dia tampak seperti
anak nakal.
Setelah itu,
dia membungkuk lagi ke arah penonton sebelum menghilang ke sisi panggung.
Tepuk tangan
tak kunjung reda. Ada banyak dari mereka yang meminta encore.
Menanggapi hal
itu, Melissa muncul kembali dari sisi panggung.
Lagu
terakhir adalah sebuah lagu yang tenang. Rasanya agak kuno dan sepertinya aku
belum pernah mendengarnya. Mungkin ini adalah karya orisinal baru,
pikirku... tapi, tak disangka , ada seseorang yang mengetahui lagu ini.
“Ini lagu 'Fly
Me To The Moon'...”
Asamura-kun
di sebelahku berbisik pelan. Tanpa sadar aku langsung bertanya, “Kamu tahu ini?”
Supaya tidak
mengganggu orang-orang di sekitarnya, Asamura-kun mendekatkan bibirnya ke
telingaku dan memberitahuku dengan suara berbisik. Ini adalah lagu jazz yang
terkenal, katanya.
Fly Me To
The Moon──Bawa aku sampai ke bulan.
Judul
aslinya adalah 'In Other Words'. Lagu ini dibuat lebih dari setengah
abad yang lalu. Asamura-kun memberitahuku sedikit pengetahuannya tentang lagu
itu. Ini adalah lagu pertama yang berhasil membawa manusia melarikan diri dari
belenggu gravitasi dan mencapai bulan.
Kata-kata
yang diucapkan Asamura-kun mengalir ke dalam diriku dari dekat wajahku. Dalam
momen itu, aku baru menyadari bahwa tangan yang tadi bersentuhan denganku
adalah miliknya. Napasnya menyentuh pipiku bersamaan dengan kata-katanya.
Di atas
panggung, Melissa menyanyi dengan suara lembut dan penuh rasa.
Bagian akhir
dari bagian refrainnya adalah bahasa Inggris yang bisa dipahami siapa
pun. Karena itu adalah kata “I love you”.
Tanpa kusadari,
wajah Asamura-kun sudah menghadap ke depan dan menatap Melissa di atas panggung,
sementara aku sendiri justru tidak bisa mendengarkan lagu Melissa. Kalimat “I
love you” adalah bagian dari lirik, dan apa yang dibicarakan Asamura-kun
adalah pengetahuannya, jadi ia tidak sedang membisikkan kata cinta di dekat
telingaku, tapi, maafkan aku, Melissa. Semua itu bercampur aduk dalam pikiranku.
Oh iya, kalau diingat-ingat lagi, tangan itu cukup kasar. Lagipula, itu tangan
seorang anak laki-laki. Berbeda dengan tangan seorang gadis... Duh, bukan itu
maksudku. Eiii, pergi menjauh sana, dasar nafsu duniawi.
Sebelum aku
menyadarinya, Melissa sudah membungkuk ke arah penonton, dan dari kerumunan
terdengar tepuk tangan yang gemuruh. Aku terburu-buru bertepuk tangan.
Dengan
begitu, konser selama dua jam itu pun selesai.
◇◇◇◇
Setelah aku
diam-diam menarik napas dalam-dalam beberapa kali dan akhirnya detak jantungku
mulai tenang, seseorang dari panitia datang dan berkata, “Setelah ini, Melissa
akan datang untuk menyapa.”
“Eh... apa
yang harus kita lakukan?”
Aku
berkonsultasi dengan Asamura-kun.
“Mari kita
tunggu sebentar. Lagi pula, kita sudah datang jauh-jauh kemari, kamu pasti
ingin menyapanya, ‘kan?”
“Terima kasih.”
Tidak lama
kemudian, Melissa pun datang. Berbeda dengan penampilannya saat di atas
panggung tadi, wajahnya tampak sangat santai.
Saat kami
mengantri untuk berjabat tangan dan menyapanya, di depan kami ada Ruka-san.
Setelah
punggungku didorong oleh Ruka-san, aku berhadapan dengan Melissa. Begitu
melihatnya, emosi yang kurasakan saat melihat penampilannya di panggung kembali
muncul, dan aku hanya bisa memujinya dengan suara pelan.
“Eh... itu
sangat bagus.”
“Hmm. Terima
kasih.”
Setelah
kata-kata pertamaku keluar, semua perasaan yang kurasakan saat melihat
pertunjukan konsernya mengalir keluar begitu saja.
Mungkin
karena hanya ada teman dekat dan staf di sekitar, atau mungkin karena kami
adalah orang terakhir dalam antrean, Melissa mendengarkan dengan tenang semua
komentarku yang penuh semangat.
Ruka-san
menggoda Melissa yang tampak malu mendengar komentarku yang antusias.
Seiring
berjalannya alur pembicaraan, muncul topik tentang betapa aku memuji pamflet
dan poster yang dibuat oleh Ruka-san. Ya, itulah yang ingin kubicarakan
sebelumnya. Dalam pamflet tersebut, ada gambar bangunan reruntuhan tua yang
tersembunyi di tengah hutan hijau. Aku bertanya kepada Ruka-san, itu situs
peninggalan mana dan di mana. Ruka-san membalas dengan pertanyaan.
“Menurutmu
itu di mana?”
Aku kembali
melihat pamflet tersebut, lalu mencoba merangkum apa yang membuatku penasaran
tentang pamflet itu dan membicarakannya.
Mungkin
karena aku baru saja berbicara dengan semangat tentang pendapatku mengenai musik
Melissa, pikiranku terasa lebih tajam dari biasanya.
Pamflet itu
menggambarkan dari mana asal musik Melissa.
Bagi
Melissa, Jepang adalah tempat yang sulit untuk dia tinggali. Oleh karena itu,
dia melakukan perjalanan untuk mencari tempat di mana dia bisa hidup sesuai
keinginannya tanpa ada yang mengeluh. Tempat yang dia temukan sekarang mungkin
adalah tempat di mana dia bisa merasa lebih nyaman dibandingkan di Jepang.
Dia akhirnya
terlepas dari belenggu di tempat yang membiarkannya sendiri. Perasaan kebebasan
yang dia rasakan saat itu tercermin dalam lirik dan lagu Melissa—aku pikir
begitu.
Mungkin
suara alat musik etnis dari Asia Selatan juga berkontribusi sedikit terhadap
itu.
Dari situlah
musiknya dimulai.
BORN FREE. Semua orang dilahirkan bebas. Namun, ada hal-hal yang
membelenggu seseorang.
Musik
Melissa dimulai dari memutuskan belenggu itu.
Aku melirik pamflet
di tanganku. Ya, musiknya berasal dari tanah Asia Selatan ini.
Namun, itu
hanya latar belakang, tatapannya mengarah ke arah kita.
Aku datang
dari sini. Dan sekarang aku akan pergi ke sana. Tunggu aku──dengan tatapan
menantang di matanya, atau dengan semangat seolah-olah siap memangsa jika ada
celah.
“Aku merasa
poster itu mengatakan hal semacam itu. Jadi... tempatnya, mungkin situs peninggalan
di suatu tempat di Asia Selatan?”
Ternyata jawabanku
setengah benar dan setengah salah.
Tempatnya
sih benar. Katanya itu adalah hutan di Asia Selatan yang pernah dikunjungi
Ruka-san. Namun, itu bukan situs peninggalan, melainkan reruntuhan yang berusia
beberapa puluh tahun. Artinya, bangunannya belum terlalu tua.
“Aku tidak
punya waktu dan uang untuk membawanya ke lokasi syuting,” katanya dengan nada
santai.
Kemudian,
Ruka-san menceritakan kesulitan saat mengambil foto untuk poster. Dia menceritakannya
sebagai lelucon, tetapi pasti dia benar-benar mengalami kesulitan.
Berkat
perhatian Melissa, aku bisa menerima kartu nama dari Ruka-san.
Dia
sepertinya memposting beberapa hobi karya seninya di Instagram. Aku mencatat
dalam pikiranku untuk melihatnya nanti.
Saat itu,
aku tiba-tiba menyadari. Meskipun konser Melissa adalah tujuan utama kami, tapi
ini juga merupakan kencan konser kami. Aku jadi malah meninggalkan Asamura-kun
sendirian.
Ruka-san
juga menyadari hal itu dan membantu mengalihkan perhatian.
Namun, meskipun sebelumnya aku sudah pernah
mengatakan kepadanya bahwa aku memiliki batas waktu pulang, Melissa masih tidak
mempercayai pada kata-kata kami yang berniat akan langsung pulang setelah ini.
“Hei, Saki.
Eh, jadi kalian beneran tidak berhubungan s*ks?”
“Jangan
tanyakan itu!”
Ruka-san
dengan cepat menepak belakang kepala Melissa seolah-olah sedang melakukan
komedi, tetapi aku tidak punya waktu untuk tertawa.
“Ti-Ti-Tidak, kami tidak melakukannya!”
Apa sih yang
ditanyakan sama orang ini?
Aku
merasakan kalau detak jantungku mulai berdetak dua kali lipat lebih cepat. Aku
pikir aku sudah sangat bersemangat dengan suara Melissa, tetapi saat ini adalah
momen paling mendebarkan. Ya ampun. Apalagi, aku bahkan kembali teringat saat
tanganku bersentuhan dengan tangan Asamura-kun saat mendengarkan konser tradi.
Kemudian,
saat encore Melissa, suara Asamura-kun terdengar di dekat telingaku, bercampur
dengan desahan. Suaranya seperti musik penyembuhan. Aku tiba-tiba teringat
tentang suara ASMR yang pernah diajarkan Maaya padaku. Suara ASMR dari Asamura
Yuuta seolah-olah terulang kembali dengan sangat hidup dalam pikiranku.
Tepat pada
saat itu, Melissa berkata.
“──Tapi,
mencintai satu sama lain adalah tindakan yang membahagiakan. Aku merasa kalau
kamu tidak perlu merasa bersalah tentang itu~”
Melissa
menyatakan bahwa itu adalah tindakan yang wajar dalam kehidupan sehari-hari,
yang berarti dalam kehidupan percintaan, mendengarkan suara penyembuhan Asamura
Yuuta ASMR di telingaku sambil melakukan tindakan bahagia adalah hal yang sudah
sewajarnya───
“Ayase-san?”
“Hyai!?”
Jantungku
berdegup sangat kencang saat namaku dipanggil tepat di telingaku.
“Oh, maaf. Kamu
kelihatannya sedikit melamun tadi, tapi... ayo, kita harus segera pulang
sekarang.”
“Be-Benar
juga!”
Aku hampir
tidak bisa mengucapkannya.
“Umm, kalau
begitu kami pulang duluan.”
“Kalau ada
konser lagi, silakan datang lagi. Jangan lupa di YouTube juga!”
Saat itu,
aku sudah mulai sedikit tenang.
“Aku akan menontonnya.”
Betul, aku
harus menjawabnya dengan tegas.
◇◇◇◇
Dalam perjalanan
pulang ke rumah.
Baik aku
maupun Asamura-kun berjalan diam-diam tanpa berbicara.
Aku bahkan
lupa untuk bergandengan tangan, dan sebenarnya aku merasa lega tidak harus
bergandeng tangan.
Bagaimna
jadinya kalau kami bergandengan tangan? Jika aku melakukan hal seperti itu, aku
pasti akan teringat pada perasaan tangan Asamura-kun saat kami bersentuhan.
Suara
bisikan di telingaku akan terulang kembali.
Apa yang
harus aku lakukan? Hanya dengan kehadiran Asamura-kun di sampingku saja sudah membuatku
merasa gelisah. Jantungku terus-menerus berdetak dengan sangat cepat. Ini benar-benar
aneh.
Hasrat
duniawi terus berputar-putar di dalam kepalaku.
Aku
mengamati perasaanku yang dilanda kekacauan dan bertanya-tanya, apakah Ayase
Saki adalah orang yang seperti ini? Aku menjadi bingung dengan diriku
sendiri.
Seperti
ini──seperti ini...
Wajah Maaya
yang tersenyum cerah kembali muncul di benakku.
‘Kamu menjadi
bodoh dalam artian yang baik!'
Ti-Tidak! Mana
mungkin aku menjadi bodoh seperti itu... mungkin.
Aku perlu menenangkan diri. Aku harus melihat
diriku secara objektif.
Mungkin
setelah berhenti menulis diari, aku tidak bisa melihat diriku sendiri secara
objektif lagi.
Apa aku
perlu memulainya lagi? Lagipula, aku sudah tidak peduli jika Asamura-kun
mengetahui isi hatiku.
Bahkan jika
aku mengetahui bahwa chibi Ayase Saki sedang melakukan tarian angsa di danau hasrat
duniawi, aku sama sekali tidak masalah jika itu diketahui Asamura-kun.
...Tidak, mungkin itu akan menjadi masalah dalam
artian yang lain.