Chapter 2
Aku masih
perjaka saat musim panas di tahun ketiga universitasku berakhir. Aku tidak pernah menyangka situasi seperti ini akan
menimpaku sejak awal liburan musim panas.
Meski
perasaanku belum sepenuhnya tertata, tapi
kehidupan sehari-hari terus berlalu.
Tidak
lama setelah kuliah dimulai, akhirnya acara makan malam keempat orang—Kujibayashi-kun, Kurose-san, aku, dan Luna— terlaksana.
Acara makan
malam tersebut dilaksanakan
pada malam Minggu di akhir September, pukul 8 malam.
Mengingat
Luna yang sibuk bekerja dan membantu
pengasuhan adik kembarnya,
menyesuaikan jadwal kami semua memakan
waktu sehingga sedikit terlambat dari yang kuduga.
Tempat
makan yang dipilih adalah restoran di dekat stasiun Ikebukuro. Sepertinya
Kurose-san yang memesankan tempat itu secara
online.
Karena Kujibayashi-kun memberitahuku kalau ia
tidak ingin langsung ke restoran sendirian, jadi kami
bertemu di depan Ikebukuro di
basement stasiun.
Saat aku
tiba 5 menit lebih awal, Luna dan
Kurose-san sudah ada di sana.
“Ah,
Ryuuto! Katanya aku boleh
langsung pulang dari kerjaanku,
jadi kami sudah sampai lebih awal.”
“Begitu,
kerja bagus.”
Saat aku
hendak mengecek ponsel untuk
mencari kabar Kujibayashi-kun, aku
merasakan kehadiran seseorang di belakangku.
Ketika aku berbalik, ternyata Kujibayashi-kun sedang
berdiri tepat di belakangku, seperti bayanganku.
“Woaaah, kamu bikin kaget saja!”
“Ah,
jangan-jangan ia orang
'Waku' itu?”
Luna yang menyadarinya
langsung bertanya padaku.
“Lebih
tepatnya 'Daku'.”
Setelah
aku membenarkannya, aku memperkenalkan Kujibayashi-kun.
“Ia adalah teman universitasku, Kujibayashi-kun.”
“Aku
sudah dengar tentangmu dari Ryuuto! Namaku Luna,
pacar Ryuuto. Senang berkenalan denganmu!”
“Kalau Kurose-san,
ini sudah pertemuan kedua kalian, ‘kan? Karena kalian satu jurusan, jadi mohon
bantuannya hari ini.”
“Tentu,
senang bertemu denganmu.”
Luna
dan Kurose-san tersenyum ramah, tapi Kujibayashi-kun
hanya...
“...”
Ia tidak
mengeluarkan sepatah kata pun, hanya menundukkan kepalanya dengan malu-malu.
“...”
Karena
suasana jadi sedikit canggung,
kami pun berjalan meninggalkan stasiun untuk menuju
restoran. Kurose-san yang sudah hafal
lokasinya, berjalan di depan bersama Luna yang mengobrol.
“Apa
si kembar Shirakawa sudah jadi lebih
tenang belakangan ini?”
“Iya,
memang. Dibandingkan dengan
dulu, aku merasa lega sekarang mereka tidak
sembarangan menangis lagi. Yah karena mereka sudah
bukan bayi lagi...”
“Sekarang
mereka sudah berusia 2 tahun 3 bulan ya. Rasanya cepat sekali.”
“Iya,
benar banget. Kalau diingat-ingat, memang
waktu itu masih masa-masa sulit. Tapi kalau dibandingkan 1 bulan lalu, 2 bulan
lalu, sekarang jauh lebih mudah.”
“Begitu
ya, ternyata memang begitu.”
“Kita berdua
‘kan dulunya adik, jadi maish tidak
paham. Tapi waktu aku menceritakannya kepada
Onee-chan, dia bilang 'Iya, memang begitu!' lalu
mengancam, 'Tapi setelah itu akan ada masa bandel yang menyebalkan, lho!'”
“...Aku
sendiri juga tidak bisa melakukan pembicaraan yang wajar seperti itu... Hanya
mendengarkan keluhan saat dia
mabuk..."
“Ah
iya, memang ada pasang surut. Apalagi Onee-chan
cenderung manja kepada Maria
sekarang. Tapi syukurlan,
dia bisa kembali bekerja seperti biasanya.”
Onee-san
sepertinya sudah mulai kembali bekerja sejak sekitar seminggu yang lalu, jadi
dia tidak lagi hidup berantakan dan semaunya seperti sebelumnya. Syukurlah.
“Iya,
benar. Ibu, Luna, aku,
dan Bibi Tae bergantian menjaganya selama 24 jam penuh selama seminggu. Itu
memang sangat berat.”
“Wah,
beneran banget! Kita
bahkan melibatkan Ryuuto juga.
Terima kasih banyak ya.”
“Itu
sangat membantu.”
Saat
mereka berdua menoleh ke arahku, aku tersenyum kecut mengingat kejadian itu.
“Ah,
aku senang bisa membantu...”
Meskipun
sebagian besar hanya sekedar menjaga, jika itu bisa memberi ketenangan, berarti
hari-hari aneh itu tidak sia-sia.
Sementara
kami mengobrol, Kujibayashi-kun
berjalan sendirian di belakang kami, kepalanya tertunduk. Di trotoar stasiun
saat jam makan malam, ada banyak orang berlalu-lalang, membuatnya terlihat
seperti orang asing.
“...Ku-Kujibayaashi-kun!”
Aku sedikit menjauh dari Luna serta Kurose-san dan berjalan
mendekat ke sampingnya, yang agak tertinggal dari yang lain.
“Kenapa
kamu berjalan
jauh di belakang?”
“...Aku
tidak pandai mengobrol dengan
para gadis.”
“Tapi
setidaknya dekat-dekat saja. Rasanya aneh, tau?”
“Di mata
orang-orang awam, rasanya emang aneh jika sosok perjaka
sepertiku berjalan bersama para gadis yang begitu bersinar itu.”
“Tapi
orang lain tidak akan tahu kamu
perjaka atau tidak!”
“Bukankah
Dikau juga bisa melihatnya?”
“Jangan
ngomong yang aneh-aneh!”
Selagi kami berbicara hal seperti itu, kami tiba di restoran
tempat acara makan malam.
Ini
adalah izakaya bergaya Jepang tradisional, letaknya
berada di lantai 6 gedung dekat stasiun. Pencahayaan
lembut seperti lampion salju memberi suasana hangat di ruangan yang dipenuhi
bilik-bilik ala igloo di kedua sisi.
Kami
diantar ke salah satu bilik tersebut.
“Wah,
cantiknya! Kamu
memang suka tempat-tempat seperti ini ya, Maria.”
Luna berseru
takjub ketika melihat interior ruangan. Meski
tidak ada pintu, sisi-sisi bilik memberikan suasana tersembunyi.
“Aku
suka melihat-lihat restoran mewah
di Instagram. Aku punya banyak yang sudah aku tandai.”
Sambil
mengobrol, Luna dan
Kurose-san duduk berdampingan, sementara aku dan Kujibayashi-kun
duduk di hadapan mereka. Sepertinya ini memang posisi 'kencan buta' yang
lazim di kalangan orang Jepang.
““““Bersulang!””””
Begitu
minuman datang, Luna dengan
riang menyambut dan acara makan malam pun dimulai.
“Wah,
ini enak sekali!”
“Iya,
benar.”
Luna,
yang sedang bersenang-senang dengan Kurose-san sambil menikmati hidangan
pembuka tahu wijen, memandang ke arah Kujibayashi-kun.
“Aku
mendengar kalau Maria dan Kujiayashi-kun kuliah di tempat yang
berbeda tapi jurusan kalian sama,
ya?”
“Ah,
iya benar, sastra Jepang.”
Karena
Kujibayashi-kun tidak menjawab, jadi akulah
yang menjawabnya.
“Kujibayashi-kun berencana melanjutkan
sekolah pascasarjana untukg meneliti Mori Ougai, loh.”
“Wah~ hebat banget! Mori Ougai... rasa-rasanya seperti pernah dengar! Tapi dia itu siapa!?”
“Dia
sastrawan ternama pada zaman
Meiji, penulis 'Maihime' yang ada di buku pelajaran sewaktu kita masih SMA dulu.”
“Memangnya
yang begituan ada ya? Hmmm~ aku lupa soal pelajaran sewaktu SMA ketika sudah lulus.”
Aku
tersenyum masam melihat
tingkah Luna, lalu mengalihkan pembicaraan ke
Kurose-san.
“Kalau kamu bagaimana, Kurose-san? Kalau tidak salah kamu
pernah mengikuti seminar tentang sastra modern, ‘kan? Skripsian
nanti mau menulis apa?”
“Aku sih memilih Natsume Soseki.”
“Ah,
aku tahu kalau yang itu! Bukankah dia penulis
yang menulis tentang cerita kucing?
Karena penulis yang suka kucing pasti baik orangnya, jadi kurasa Soseki juga
begitu... eh, apa aku salah?”
Luna berbicara dengan wajah yang polos sehingga membuat aku dan
Kurose-san tertawa.
“Benar,
dia penulis 'Aku Kucing'.”
“Ngomong-ngomong
soal kucing, Luna,
apa kamu tempat seperti kafe kucing di
Nanja Town?”
“Eh,
aku tidak tahu! Aku mau pergi!”
“Kayaknya
hari ini sudah tutup, tapi lain kali kalau aku ke Ikebukuro kita bisa ke sana
bareng.”
“Oke,
oke! Kamu memang serba tahu ya, Maria!”
“Sewaktu
SMA dulu, aku sering ke sana bareng
Akari-chan, karena ada kerjasama dengan idola kami.”
“Ah
begitu toh!”
“Karena kamu
menyukai kucing, Luna,
jadi aku ingat ingin memberi tahu tentang itu, tapi aku selalu melupakannya.”
“Terima
kasih! Oh iya, ngomong-ngomong soal kucing, di Okinawa juga ada
kucing yang super lucu di tempat yang bernama Umikaji
Terrace...”
Luna
langsung membuka ponselnya dan mulai menunjukkan beberapa foto kepada Kurose-san. Sebagai kakak-beradik kembar yang akrab, mereka selalu punya
topik pembicaraan yang tidak ada habis-habisnya.
Ketika aku
memperhatikan Kujibayashi-kun yang ada di sampingku, ia makan dalam
diam. Minumannya teh oolong, jadi tampaknya dia tidak sedang mabuk dan menjadi ceroboh.
Sepertinya
dia tidak berniat bergabung dengan obrolan Luna
dan Kurose-san, ia malah duduk bungkuk seperti “kucing”.
Lalu,
seakan-akan menyadari keadaan Kujibayashi-kun, Luna tiba-tiba ke arah kami.
“...Kalau dipikir-pikir, nama
Kujibayashi-kun thu nama yang sangat jarang
ya. Kalau Ryuuto tidak
memberitahuku, aku
pasti akan membacanya 'Kujirin'!”
Aku ingin
memprotes, ‘jadi kamu bisa
membaca 'Kuji', tapi salah
membaca 'Hayashi'
yang salah!’,
tapi aku tidak bisa menyuarakan kritik selucu itu.
Luna
memang punya selera yang unik, bahkan nama belakangku dibacanya salah
sebagai ‘Kuwashima’. Jadi, aku bisa mengerti.
“.....”
Kujibayashi-kun menghentikan tangannya yang
sedang makan, lalu mengalihkan pandangan ke atas dan bawah, tampak kebingungan.
Sepertinya dia tidak tahu harus merespons bagaimana.
“Hei,
boleh aku memanggilmu dengan panggilan 'Kujirin'?”
“...Eh?”
Ketika ditanya begitu oleh Luna, Kujibayashi-kun mulai angkat bicara untuk
pertama kalinya hari
ini.
Matanya
yang tersembunyi di balik kacamata bingkai hitam bergerak-gerak gelisah, lalu
ia membuka mulut dengan pasrah.
“...Silakan
panggil sesukamu...”
Nada
bicara Kujibayashi-kun yang
tidak lagi berbentuk bahasa formal menunjukkan ia sedang sangat gugup.
“Horeee!
Salam kenal, Kujirin!”
“...”
Kujibayashi-kun tampak tersipu. Seperti yang diharapkan dari Luna... Tapi
di satu sisi, aku juga merasa sedikit rumit ketika melihat pacarku mulai
begitu dekat dengan laki-laki lain di depanku
meskipun ia adalah temanku sendiri.
Untuk
mengubah suasana hatiku, aku
menenggak habis sisa bir tinggi yang kuminum, lalu memesan gelas kedua.
Acara
makan malam itu pun berlanjut dengan Luna
sebagai yang paling banyak bicara. Setidaknya pembicaraan tidak pernah
tersendat, tapi kesempatan Kujibayashi-kun
dan Kurose-san untuk saling berinteraksi masih sulit datang.
Kujibayashi-kun memang langsung menarik diri
ke dalam “cangkangnya” begitu tidak ada yang
mengajaknya bicara. Bahkan berempat pun sulit untuk membuat ia ikut dalam
percakapan.
Karena aku minum terlalu cepat, tidak sampai
satu jam aku sudah harus ke toilet.
“Maaf,
aku mau ke toilet dulu sebentar.”
Saat aku mengatakan itu dan beranjak
dari kursi, entah kenapa Kujibayashi-kun
juga ikut berdiri.
“Eh?
Kenapa?”
“...Daku juga, ingin... buang air kecil.”
“Oh,
kalau begitu kau duluan saja. Mungkin hanya ada satu toilet, jadi aku akan
menunggu di sini.”
Saat aku
hendak kembali ke kursi, tiba-tiba Kujibayashi-kun
mencengkeram erat lenganku. Ia menggelengkan kepala dengan wajah sangat serius.
Tampaknya ia ingin agar kami pergi bersama-sama.
Barulah
aku mengerti maksudnya. Tenyata itu bukan
karena ia ingin ke toilet, tapi karena dia tidak tahan berada sendirian di
ruangan semi-privat itu bersama dua gadis.
Mau
bagaimana lagi, kami pun akhirnya pergi ke toilet bersama. Tapi karena toiletnya hanya satu, jadi kami
menggunakannya secara bergiliran. Setelah aku selesai, aku menunggu Kujibayashi-kun di dekat pintu.
“Ngomong-ngomong,
kesempatan seperti ini bagus lho, jadi ada
baiknya kalau kamu mengobrol
lebih banyak dengan Kurose-san.
Kelihatannya kamu
tertarik padanya, ‘kan?”
Aku bisa
memahami perasaan Kujibayashi-kun,
jadi aku tidak bermaksud mengatakan sesuatu yang jahat. Hanya saja, meski kami
sama-sama kurang percaya diri, aku sudah cukup lama berpacaran dengan Luna sehingga secara mental aku sudah
cukup 'normal' sebagai seorang pria, jadi tingkah laku Kujibayashi-kun membuatku sedikit tidak
nyaman.
“...Tapi
bukankah keberadaan orang seperti Daku
yang masih perjaka pasti
sangat mengganggunya?”
“Kalau
benar-benar mengganggu, mereka tidak akan mengajak makan bersama ‘kan? Kurose-san sendiri yang menginginkan acara makan malam ini, loh? Aku
yakin kalau dia ingin berteman denganmu, Kujibayashi-kun.”
“...”
Saat aku mengatakan hal itu dengan
tegas, kali ini Kujibayashi-kun
hanya terdiam dengan wajah memerah. Seberapa polos dirinya.
“Tapi,
seorang gadis cantik seperti dirinya
bisa menerima seseorang sepertiku...”
“Sudah
kubilang dia tidak bisa melihatnya!”
“Tapi
aku bisa melihatnya...”
“Makanya,
jangan pakai perkataan aneh
begitu!”
Setelah
mengatakannya, aku tiba-tiba mendapat
ide.
“...Oh iya, bagaimana kalau kamu coba melepas kacamatamu?”
Ketika mendengar
usulanku, Kujibayasshi-kun mengerutkan kening dengan
bingung.
“...Apa
yang kamu katakan?”
“Kujibayashi-kun, matamu lumayan rabun, ‘kan? Kalau kamu melepas kacamatamu, kurasa
kamu takkan bisa melihat Kurose-san sebagai gadis cantik lagi, jadi kamu bisa lebih nyaman bicara
dengannya.”
“...”
Kujibayashi-kun tampak kebingungan, tapi sepertinya tak ada ide
lain yang lebih baik, jadi ia menuruti saranku dan melepas kacamatanya, lalu
menyimpannya di saku.
“...Bisakah
daku memegang bahumu untuk berjalan
kembali ke tempat duduk? Karena penglihatan daku sangat
kabur.”
“Eh,
se-separah itu!? Kacamatamu minus berapa?”
“Nilai
terakhir yang diukur adalah 0,02 di mata kiri...”
“Separah itu!?”
Sebagai
orang yang belum pernah melakukan koreksi penglihatan, aku tersentak. Rupanya
pemandangan di hadapan Kujibayashi-kun
jauh berbeda dengan yang kulihat.
Pada akhirnya,
aku membantu Kujibayashi-kun
yang tidak memakai kacamata untuk kembali ke tempat duduk kami di ruang semi-privasi.
“Kujirin!?”
Luna
membelalakkan matanya saat melihat kami kembali.
“Kacamatamu
kenapa?”
“Sepertinya
itu terjatuh dan rusak.”
“Apa kamu
baik-baik saja? Lho kok, wajahmu jadi kelihatan bagus
banget!?"
Dia
berseru dengan bersemangat, lalu mengguncang-guncang bahu Kurose-san.
“Hei,
Maria!? Kamu juga
setuju, ‘kan?”
Luna
menatap muka Kurose-san dengan tatapan yang seperti
menyiratkan sesuatu, dan Kurose-san
tampaknya menangkap isyarat itu, lalu tersenyum sedikit geli.
“...Orang
tidak hanya dinilai dari wajahnya saja, tau.”
Meski
begitu, ekspresi Kurose-san
menunjukkan dia tidak memandang buruk Kujibayashi-kun
yang tidak memakai kacamata.
Efek dari
tidak memakai kacamata juga terlihat pada Kujibayashi-kun
sendiri. Saat dia menjawab pertanyaan, pandangannya cenderung menunduk, namun
kini dia lebih sering menatap Kurose-san
secara alami.
Meski demikian, Luna
masih tetapp mendominasi pembicaraan, bahkan berkali-kali
memuji Kujibayashi-kun
sebagai “benar-benar ganteng!”, membuatku kembali merasa kurang
nyaman.
Saat aku
pergi ke toilet untuk kedua kalinya, kali ini Kujibayashi-kun tidak ikut. Sepertinya dia
sudah cukup nyaman dengan Luna,
jadi memilih tinggal bersama mereka bertiga daripada ikut bersamaku lagi.
Setelah
selesai dan keluar dari bilik, tiba-tiba Luna
sudah berdiri di sana.
“Ah,
Ryuuto!”
Luna
mendekatiku di lorong sempit yang menuju toilet, seolah-olah dia sedang menungguku.
Setelah berhasil memastikan bahwa toilet masih
terpisah antara laki-laki
dan perempuan, aku bingung kenapa dia di sini.
“Aku
berpikir membiarkan mereka berdua sebentar, makanya aku juga ke sini.”
Dia
berbisik, lalu menatapku dengan kepala sedikit miring.
“Kamu kenapa, Ryuuto?
Sejak tadi kelihatannya tidak bersemangat, ada apa?”
“Bukan
apa-apa...”
Meski
awalnya menjawab singkat, karena pengaruh alkohol, akhirnya aku tak bisa
menahan diri untuk tidak berbicara.
“...Hanya
saja, kurasa Luna terlalu
akrab dengan Kujibayashi-kun,
memanggilnya dengan nama panggilan dan memuji dia tampan terus.”
“Eh?”
Luna
membelalakkan mata dengan kaget.
“...Apa
jangan-jangan, kamu cemburu?”
Karena
suasananya begitu canggung,
aku jadi tidak
bisa menjawabnya, tapi Luna langsung berseri-seri.
“Wah,
senang sekali! Ternyata kamu
masih cemburu padaku!”
“...”
Bagaimanapun, berbeda denganku, masa
depan Kujibayashi-kun sudah hampir pasti, dia
rajin, dan tampan... Memikirkan itu saja membuatku malu untuk mengakui perasaan
tidak nyaman ini pada temanku sendiri.
“Tapi
kan, setelah kacamatanya dilepas, ternyata bentuk matanya dalam, hidungnya
mancung, wajahnya terlihat rapi sekali. Kamu
juga setuju kan, Ryuuto?”
“...”
Memang
aku juga berpikir begitu, karena itulah aku merasa tidak nyaman. Karena aku
tahu sendiri wajahku tidak bisa dibilang tampan, jadi saat pacarku memuji-muji
penampilan pria lain dengan antusias, meski ia teman dekatku, rasanya... tidak
enak.
Ini
pertama kalinya Luna begitu
terbuka memuji penampilan laki-laki selain aku, jadi rasanya seperti perasaan
baru yang asing.
Sementara
aku tenggelam dalam pikiranku, tiba-tiba Luna
menatapku dan berkata,
“Tapi,
menurutku Ryuuto yang paling keren kok.”
“Eh...!?”
“Kenapa
kamu terlihat kaget begitu? Memang ada
orang-orang yang kupikir ganteng, tapi itu berbeda dengan
menyukai seseorang sebagai laki-laki kan? Orang
yang kusukai lah yang
paling keren bagiku.”
“...”
Kalau itu
benar, aku senang sekali. Tapi kenyataan bahwa aku harus membiarkan pacarku
sendiri yang mengatakannya membuatku merasa rendah diri.
“Aku
juga memuji-muji Kujirin karena ada alasannya. Aku ingin Maria juga menyukainya, kan biasanya
cewek jadi tertarik sama cowok yang dipuji temannya.”
Kalau
dipikir-pikir, aku memang pernah
dengar penjelasan seperti itu sebelumnya. Sepertinya itu dari Yamana-san atau
Tanikita-san, salah satu dari teman
perempuan yang dekat denganku.
“Lagipula,
wajar saja kalau aku dekat dengannya, ‘kan? Karena
ia teman berharga Ryuuto. Sebagai pacarmu, aku juga ingin berteman baik dengannya.”
Cara
berpikir orang normies seperti
itu memang tidak terlalu kupahami, tapi secara umum bisa dimengerti.
“Nah,
kalau Maria juga mulai menjadi akrab dengannya, mungkin
suatu hari mereka bisa pacaran... Ah, mungkin terlalu cepat sih, tapi ada kemungkinan kalau Kujirin
bisa jadi adik ipar
kita nanti, ‘kan?”
“I-Itu sih terlalu
cepat, tau...”
“Masa?”
“Habisnya, mereka berdua belum sampai ke tahap itu
sama sekali."
Jika
Kujibayashi-kun sampai mendengar obrolan seperti ini,
dengan sifatnya yang polos, bisa-bisa ia langsung jadi panik.
Pada saat
itu, ada orang yang datang ke toilet, jadi kami berdua kembali ke tempat duduk.
Tak disangka-sangka, ternyata Kujibayashi-kun sedang berbicara dengan lancar
bersama Kurose-san.
“...Apa kamu mengetahui bahwa Natsume Soseki
dan Mori Ogai pernah tinggal di rumah yang sama di Sendagi pada waktu yang berbeda?”
Sejenak
aku berpikir, mungkin itu karena efek
melepas kacamatanya? Tapi tidak, ini sama seperti
saat Kujibayashi-kun
membahas Mori Ogai. Sepertinya Luna
yang pergi meninggalkan mereka berdua,
membuat Kujibayashi-kun jadi
merasa canggung dan berusaha membicarakan pengetahuannya.
“Ruangan
semi-privasi sekarang ini disebut meniru model 'Kamakura', tapi Natsume
Soseki adalah salah satu penulis yang dekat dengan Kamakura.”
“Penulis
Kamakura...?”
“Istilah
itu digunakan untuk merujuk pada para sastrawan yang memiliki kaitan dengan
Kamakura. Soseki memilih Kamakura sebagai tempat penyembuhan bagi dirinya dan
istrinya, dan sering mengunjunginya.”
“Ah,
jadi 'Kamakura' itu nama tempat ya.”
Kurose-san hanya bisa menimpali seadanya,
berusaha mengikuti pembicaraan Kujibayashi-kun.
“Novel 'Gerbang'
merupakan salah satu karya awal Soseki, juga
menampilkan Kamakura Utara. Dan dalam novel 'Kokoro', karya terkenalnya di masa
akhir, adegan pertemuan 'Sensei'
dan 'Aku' berlatar Pantai Kamakura.”
“Begitu
ya...”
“Hah?
Apa sih yang kalian bicarakan? Kok bahasanya aneh gitu?”
Luna
muncul dan ikut nimbrung, membuat wajah Kurose-san
tampak lega.
“Dasar Luna, penggalan novel 'Kokoro' kan pernah ada di buku pelajaran Bahasa
Jepang SMA, tau?”
“Ah
iya ya, kayaknya aku pernah membacanya... Tapi apa isinya memang begitu ya?”
“Ya, wajar
saja kalau kamu melupakannya.”
Kujibayashi-kun juga tampak lebih santai
berbicara dengan Luna
dibandingkan dengan Kurose-san. Jadi
ia menoleh ke arah Luna dan mulai berbicara.
“Bagian
yang sering dikutip di buku pelajaran itu biasanya 'Sensei dan Surat Wasiat' di akhir cerita,
jadi adegan awalnya jarang sekali dibahas.”
“Wah,
keren banget kamu bisa tahu soal itu!”
Sepertinya
karena respon Luna yang
cekatan, penjelasan Kujibayashi-kun
tak mau berhenti.
“Jadi,
Natsume Soseki...”
Melihat
ekspresi Kurose-san yang
tampak bosan, aku memutuskan untuk tidak menanggapi lagi dan hanya mengamati.
“Ah,
sebentar lagi waktunya untuk pesanan terakhir,
apa ada yang mau dipesan lagi?”
Aku
memanfaatkan kesempatan untuk berbicara dengannya, dan akhirnya mampu memaksa Kujibayashi-kun untuk menghentikan sesi
ceramahnya.
“Ah, kalau begitu aku mau pesan
dessert saja deh! Nah, kalau kamu mau pesen apa, Maria?”
“Hmm,
kue teh hijau kayaknya enak tuh.”
“Iya
bener! Wah, ada mochi juga ya! Khas Jepang banget!”
Luna
dan Kurose-san mulai
membicarakan menu dessert dengan bersemangat.
Tapi di
tengah-tengah itu...
“Ngomong-ngomong
soal mochi...”
Tiba-tiba
Kujibayashi-kun ikut menyela pembicaraan para gadis.
“Itu
adalah salah satu makanan kesukaan Natsume Soseki yang gemar memakan makanan manis.”
“Hee~ apa
iya?”
Luna
yang baik hati menimpali dengan antusias,
mengalihkan perhatiannya dari menu.
“Terutama
mochi dari toko lama di Ginza, 'Kuya', yang sering diceritakan dalam karyanya
'Aku Kucing' itu...”
“Wah,
begitu ya!”
Aduh,
hentikan Kujibayashi-kun!
Jangan buat suasananya jadi seperti acara kuis pengetahuan umum lagi!
Aku
menangis dalam hati. Aku ingin mendukung percintaan temanku, tapi ini sama
sekali tidak membantu. Bahkan aku sebagai pria, apalagi Kurose-san yang baru pertama kali bertemu,
pasti juga jadi agak canggung dengan situasi ini. Fakta bahwa Kujibayashi-kun terus berbicara tentang Mori
Ogai selama dua jam tadi juga menjadi masuk akal.
Pada awalnya
ia selalu diam, tapi sekali topiknya sudah di bidang kepakarannya, dia jadi tak bisa berhenti. Pemandangan
itu seperti melihat diriku di masa lalu, sehingga itu
membuatku sedih.
Aku ingin
ia menyadari ekspresi Kurose-san yang tampak terpaku itu.
Saat aku
hendak mencoba menghentikan Kujibayashi-kun...
“...Hm?”
Ada sesuatu yang mengenai lututku, membuatku refleks menghindar.
Tapi benda itu terus mengikuti dan mengenai lututku.
Aku
mengintip ke bawah meja, dan ternyata itu adalah jari kaki Luna.
“...!”
Dia melepas salah satu sandalnya dan
menggunakan jari-jari kakinya yang telanjang untuk menyolek-nyolek lututku.
Saat aku menatap ke arah Luna, dia
melontarkan senyuman nakal, seolah-olah dia sengaja
melakukannya.
Lalu, dia
dengan mahir menggerakkan jari-jari kakinya untuk menggelitik lututku.
“...Hei...!”
Aku
hampir saja dibuat tertawa karena geli, tapi Luna meletakkan jari telunjuk di
bibirnya, memberi isyarat “Ssshht” sembari
mengalihkan pandangannya ke arah Kurose-san dan Kujibayashi-kun yang sedang berbicara.
Sepertinya
dia ingin memintaku untuk tetap diam karena mereka sedang
bicara.
“Soal
makanan kesukaan Soseki, ada cerita terkenalnya saat dia menemukan selai
stroberi di Inggris...”
Pihak yang
berbicara hanyalah Kujibayashi-kun, tapi pandangannya lurus ke
arah Kurose-san, dan
Kurose-san juga mendengarkan dengan
seksama.
Sementara
itu, di sampingnya, aku mendapat siksaan dari jari-jari kaki Luna di lututku.
“.....”
Sanksi
hukuman macam apa ini.... tidak, aku bahkan tidak bisa membedakan apa ini hukuman
atau hadiah.
Melihatku
yang terus saja terdiam, Luna perlahan menggerakkan jari-jari
kakinya menaiki paha.
“...!?”
Bukannya itu
terlalu berlebihan...? Karena
terlalu panik, jadi aku berusaha
mendengar percakapan Kurose-san
dan Kujibayashi-kun demi mengalihkan perhatianku dari jari kaki Luna.
“...Jadi,
sepertinya itu semua hal yang sudah kamu
ketahui dengan baik jika kamu sebagai
pakar Soseki...”
Setelah mendengar
perkataan Kujibayashi-kun, Kurose-san menunduk dengan
ekspresi tertekan dan murung.
Ketika aku
ikutan menunduk, pandanganku tertuju pada jari-jemari kaki Luna yang putih dengan cat kuku
merah menyala.
“...Itu sama sekali tidak benar. Aku
bahkan tidak tahu hal-hal yang kamu
sebutkan tadi. Aku memang kurang belajar...”
“Kalau
begitu, apa topik pembahasan skripsianmu tentang Soseki?”
“...Aku
ingin membahas kemungkinan pernikahan kembali 'Istri' dan 'Aku' setelah Sensei meninggal di dalam novel 'Kokoro'. Tapi aku bahkan lupa kalau
latar ceritanya di Kamakura...”
Mendengar
itu, Kujibayashi-kun
hanya bergumam “Hmm”.
Aku
terpaksa batuk-batuk untuk menyamarkan suara “Nngh” yang keluar dari mulutku karena jari-jemari Luna semakin mendekati
selangkanganku.
“...Jika
memang begitu masalahnya,
apa kamu sudah membaca buku karya
Ishihara Chiaki?”
“Eh?”
“Belum
ya? Kalau begitu, apa referensi awal yang kamu
pakai?”
“Eh...
memangnya ada orang lain yang sudah meneliti
topik yang sama? Aku hanya merasa begitu setelah membaca 'Kokoro', lalu ingin menulis
alasannya...”
“Itu
hanya 'esai'. Jika tidak ada penelitian terdahulu, itu bukan 'skripsi'.”
Kata-kata
Kujibayashi-kun yang lugas membuat Kurose-san nampak panik.
Aku sendiri sedang berkeringat dingin karena
takut kalau tingkah laku Luna di
bawah meja ini akan ketahuan oleh Kurose-san
dan Kujibayashi-kun.
“Tapi,
aku kan hanya mahasiswa biasa, tidak punya niatan
untuk melanjutkan kuliah S2 apalagi kemampuan seperti itu...
Pasti tidak akan bisa mengalahkan hasil penelitian para ahli. Nanti kalau semua
sudah diteliti orang, aku tidak akan bisa menulis karya ilmiah lagi, dong?”
“Tidak
juga,”
Kujibayashi-kun menyela dengan tegas.
Jempol
kaki Luna merayap di pangkal pahaku,
membuat bulu kudukku merinding dan susah payah menahan gejolak dalam diriku.
“Makna
menulis itu terletak di dalam
dirimu sendiri. Meskipun topik dan
sumbernya sama, tapi karena ditulis oleh orang yang
berbeda, analisis dan kesimpulannya pasti akan berbeda.”
Setelah mendengar
itu, Kurose-san
menundukkan kepalanya.
“...Baiklah,
aku akan mencoba
baca karya Ishihara Chiaki itu.”
“Sejauh
yang kuingat, hanya itu penulis yang
terpikirkan. Tapi mungkin masih ada lagi yang lain. Aku sendiri bukan pakar Soseki.”
Saat aku
mengangkat wajah, Luna masih
menatapku dengan senyum nakal.
“...”
Kenapa kamu begitu nakal sih!? Padahal ada
Kurose-san dan Kujibayashi-kun di sini.
Aku
memperhatikan kondoso Kurose-san yang menunduk di sudut
pandanganku, sementara di depanku Luna
terus menggodaku dengan senyum menggoda, membuatku tidak berdaya dan
terangsang.
◇◇◇◇
Setelah acara makan malam selesai, kami berempat berpisah
di depan gerbang tiket stasiun.
Karena
aku, Luna dan Kurose-san pulang satu
arah, jadi hanya Kujibayashi-kun yang berpisah dengan kami di
Ikebukuro.
“...Bagaimana
menurutmu tentang Kujibayashi-kun?”
Aku
bertanya ragu-ragu kepada Kurose-san di dalam kereta yang cukup ramai.
“...Yah...”
Kurose-san tampak murung. Mungkin ada kaitannya dengan fakta bahwa dia biasanya
peminum yang kuat, tapi hari ini dia hanya
minum sekitar dua gelas.
“Seperti
yang diharapkan dari Mahasiswa Houou... Seperti yang kupikir
sebelumnya... Kayaknya kami enggak akan bisa jadi teman bicara
yang baik..."
“Tidak,
itu sama sekali tidak benar, kok.”
Aku
segera menyela.
“Biasanya
kami juga enggak
membicarakan hal-hal berat kok. Seperti 'Ramennya enak sekali!' atau waktu aku
salah memesan 'Bawang putih ekstra ekstra', eh ternyata mereka tambah satu kali
lebih banyak dari 'ekstra'!”
Aku
sendiri juga tidak yakin apakah maksudku akan tersampaikan, tapi memang
percakapan biasaku dengan
Kujibayashi-kun seperti itu.
Aku tidak
mengerti kenapa saat di depan Kurose-san ia
malah jadi begitu.
Atau lebih tepatnya, karena aku mengerti, itulah yang membuatku resah.
Aku juga merasa kalau pertama kali bertemu
seseorang tapi malah
diajak membahas Mori Ogai selama dua jam, pasti tidak akan menjadi akrab.
“...Pokoknya terima kasih banyak untuk hari ini. Sampai jumpa
lagi,”
Kurose-san masih terlihat lesu saat kami
berpisah di stasiun A.
Aku seharusnya turun di stasiun yang sama dengannya, tapi aku harus mengantar Luna pulang dulu
ke rumahnya.
Ketika kami
berjalan di stasiun A yang masih ramai dengan orang-orang
mabuk, aku menggenggam tangan Luna.
“Luna,
soal tadi..."
Aku
tersenyum miris, memberi isyarat kalau aku merasa kebingungan. Luna membalas dengan senyum nakal
seperti tadi.
“Apa kamu
menikmatinya?”
“...”
Aku tidak
bisa menjawab karena terlalu malu.
Luna kemudian menyandarkan dahinya di
bahuku.
“...Habisnya,
karena Ryuuto
cemburu. Aku ingin menunjukkan di depan mereka kalau
aku paling menyukaimu, tau?”
Saat dia
menatapku dengan pandangan memelas, aku bisa merasakan kembali sensasi
jari-jari kakinya yang menggoda di pangkal pahaku.
“Luna...”
Aku teringat ketika kami
berjalan di depan stasiun
pada hari melihat bunga sakura di akhir kelas 2
SMA dan menemukan love hotel di dekat
stasiun A.
Kalau
tidak salah, istirahat sebentar di sana hampir seharga 10.000 yen. Memang harganya masih terasa mahal, mungkin
bahkan harganya sudah naik lagi sekarang. Tapi setidaknya sekarang kami mampu
membayarnya.
Sayangnya,
selama ini kami memang belum pernah merasakan suasana yang mengarah ke sana,
jadi aku tidak tahu harus memulai pembicaraan bagaimana.
Aku ingin melakukannya.
Tapi aku
tidak bisa mengatakannya.
Hal itu
karena aku dulu pernah berjanji “aku akan
menunggu sampai Luna sendiri yang menginginkannya”.
Dan aku tidak cukup percaya diri untuk menuntut keinginanku sendiri.
Sungguh
memalukan.
Kalau
saja aku bisa mengalami pengalaman
pertamaku di Okinawa dulu, mungkin aku
bisa sedikit berubah. Tapi aku menyesali kesempatan yang sudah terlewat.
“......”
Aku tidak berhak mengomentari Kujibayashi-kun karena aku sendiri juga masih begini.
Saat kami berdua terus berjalan,
kami semakin meninggalkan daerah ramai dan masuk ke kawasan perumahan yang
sepi.
Gairah
yang kurasakan tadi sepertinya hanya bisa kulampiaskan sendiri nanti.
“...Bagaimana
dengan kabar kakakmu sejak itu?”
Aku yang
sudah menyerah, mencoba membuka pembicaraan.
Luna
terlihat kaget saat mendadak mengubah topik pembicaraan,
lalu tersenyum canggung.
“Yah,
setidaknya dia sudah kembali seperti biasa. Tapi, setiap kali aku meneleponnya, dia masih sering menangis, jadi
kayaknya dia masih belum
bisa bangkit sepenuhnya...”
Setelah mengatakan
itu, dia menundukkan dagu, menatap aspal yang ada di bawah.
“...Memang
tidak bisa dimaafkan. Kenapa sih laki-laki selalu begitu.”
Nada
bicara yang penuh kesal itu sempat membuatku kaget, karena sekilas kupikir dia
mengatakan itu padaku.
“Kalau
punya keluhan, harusnya ia bilang saja.
Meskipun putus, setidaknya ia bisa mengucapkan
alasannya dan pergi dengan pantas. Tapi ia malah
diam-diam pergi dan bahkan memblokir
Line, itu tidak punya empati sama sekali pada orang yang pernah dicintainya.”
“...Iya,
benar...”
Untuk
bagian akhir jelas tidak ada hubungannya denganku, jadi aku hanya mengangguk
kaku.
“Meskipun
Onee-chan masih mencintainya, tapi aku malah kesal setengah
mati pada pacarnya, 'Rai-kun'. Tiap hari marah, rasanya mau meledak.”
Nada
bicara rendah itu terdengar murni marah. Wajar, karena ini menyangkut kakaknya yang sangat disayanginya. Aku
memperhatikan wajahnya yang tertimpa cahaya lampu jalan, berpikir ini pertama
kalinya aku melihat Luna semarah
ini sejak SMA.
Kejadian itu
saat hari Valentine, sewaktu dia salah paham kalau
Kurose-san memberi cokelat untukku...
Sepertinya Luna hanya
akan marah soal keluarganya.
“...Aku penasaran kenapa
'Rai-kun' tiba-tiba menghilang dari hadapan
Onee-chan.”
Tiba-tiba
Luna bergumam.
“Kalau
tahu alasannya, mungkin Onee-chan
bisa melangkah lebih maju. Aku mau memarahinya
menggantikan Onee-chan, tapi tidak bisa karena tidak tahu
keberadaannya.”
“Iya...
Kalau ia tidak punya pekerjaan tetap, susah
melacaknya di tempat kerja. Kecuali kalau pakai jasa detektif...”
Aku hanya
menjawabnya dengan jawaban secara
umum tanpa ada maksud
apa-apa.
Tapi Luna di sampingku tiba-tiba
tersentak, lalu berhenti berjalan seolah-olah
dia baru saja mendapat pencerahan.
“Itu
dia!”
Luna berseru
dengan ceria.
“Eh!?”
Dia
menatapku dengan sorot mata berbinar.
“Terima
kasih, Ryuuto! Aku pasti akan menemukan pacar Onee-chan!”
Luna
dengan bersemangat menyatakan hal itu
di jalan kawasan pemukiman yang gelap.