Chapter 3
Musim
gugur telah tiba, dan cuaca sudah mulai
dingin meskipun hanya mengenakan baju lengan pendek.
Semester
baru di universitas pun dimulai, dan aku kembali ke dalam rutinitas sehari-hariku untuk berkuliah
dan bekerja paruh waktu.
Kemudian,
pada suatu hari Minggu.
Aku dan Luna turun di stasiun di daerah yang
tidak kami kenal ketika waktunya menjelang
sore hari.
──Hei,
aku berhasil menemukannya!
'Rai-kun'! Si detektif yang memberitahuku bahwa ia
membantu pengiriman makanan di restoran keluarga di Atsugi!
Beberapa
hari yang lalu Luna meneleponku
untuk melaporkan itu.
──Aku
benar-benar ingin mengatakan sesuatu. Aku ingin bertanya kepadanya alasan mereka putus dan meminta maaf kepada Onee-chan. Setelah
itu, aku ingin ia mengucapkan
“Terima kasih selama ini”. Aku ingin ia memberinya kata-kata yang bisa
membuat Onee-chan
melangkah ke depan. Karena laghipula,
Onee-chan benar-benar menyayangi
pacarnya.
──Apa kamu sudah memberitahu kakakmu
kalau kamu berhasil menemukan keberadaan
pacarnya?
──Belum.
Aku melakukannya atas inisiatifku sendiri,
dan kurasa keadaan saat
ini lebih baik kalau dia
tidak mengetahuinya.
──Begitu
ya...
──Aku
akan pergi menemui 'Rai-kun'.
──Hah?!
──Maria sudah melarangku untuk
melakukan hal sembarangan seperti ini meski aku
sudah meminta bantuan detektif, dan juga dilarang untuk
menemuinya karena akan berbahaya.
Tapi... aku benar-benar tidak bisa memaafkannya. Aku ingin mengatakan sesuatu
sebagai pengganti Onee-chan.
──Jadi kamu sudah memutuskannya, ya?
──Ya. Karena aku sudah membayar mahal untuk meminta bantuan detektif. Aku
harus pergi menemuinya, tidak ada artinya jika aku tidak melakukannya.
──...
Oke, kalau begitu aku
juga akan ikut.
──Eh?!
Ryuuto, kau
mau ikut denganku juga?
──Karena
aku khawatir denganmu, Luna.
──... Ryuuto... Terima kasih...
Bagaimanapun
juga, orang yang akan kami
temui adalah seorang pria yang tega membuang pacarnya yang telah bersama dengannya selama
tiga tahun. Meskipun aku ikut, dia mungkin saja meledak marah, dan itu memang
menakutkan. Tapi, lebih baik daripada membiarkan Luna
pergi sendirian dan khawatir.
Jadi,
kami pergi menemui “Rai-kun” yang adalah mantan pacar kakak Luna, Hanada Raion, berusia 23 tahun.
Kami
sudah mendapat informasi dari kakak perempuan
Luna bahwa dia berasal dari Atsugi, dan kami juga
menemukan informasi tentang sekolah lamanya dari media sosial. Oleh karena itu,
biaya detektif yang diperlukan juga
tidak terlalu mahal.
Orang
tuanya bercerai saat ia masih
kecil, ayahnya meninggal segera setelah itu, dan ibunya, yang selama ini mengasuhnya, menikah
lagi setelah ia lulus
SMA dan memiliki keluarga baru.
Saat ini,
Raion tinggal di rumah pamannya, yang merupakan kakak laki-laki dari ibunya. Paman Raion menjalankan restoran Tiongkok tradisional
yang telah diwariskan dari orang tuanya, dan saat ini Raion membantu untuk mengurus pengiriman makanan di restoran tersebut.
Informasi
ini diperoleh oleh detektif dan disampaikan kepada Luna, dan aku mendengarnya darinya
saat dalam perjalanan.
“...
Sepertinya ia tidak memiliki kehidupan keluarga yang baik...”
Saat
berjalan menuju restoran Tiongkok tersebut dari stasiun, aku menyuarakan
pikiranku.
“....Tapi
itu bukan alasan untuk meninggalkan
pacarnya dengan sembarangan."
Luna
menanggapinya dengan suara keras tanpa memandangku.
Sepertinya
dia benar-benar tidak bisa memaafkan pacar kakaknya yang telah menyakiti
kakaknya yang sangat dia sayangi.
“Onee-chan
memang sering sedih setiap kali putus dengan pacarnya... Tapi baru pertama kalinya dia sampai ingin
bunuh diri.”
Tampaknya
itulah yang paling mengejutkan baginya. Luna
menggigit bibirnya.
“Sepertinya
dia sangat mempercayai pacarnya itu. Aku benar-benar tidak bisa
memaafkan 'Rai-kun' yang telah mengkhianati kepercayaan kakakku yang sangat mencintainya
dan penuh kasih sayang itu.”
Luna
memang sering melakukan tindakan ekstrem demi orang-orang terdekatnya, seperti
menyeret Sekiya-san yang
ditemuinya di jalan untuk meminta bantuan agar bisa berbaikan dengan mantan pacarnya, Yamana-san.
Aku tidak
menyangka kalau dia
benar-benar akan menyewa detektif, tapi aku yang telah memberinya ide, jadi
sekarang kami harus bertekad untuk menyelesaikannya.
Ketika
matahari mulai terbenam dan suasana mulai remang-remang, kami akhirnya tiba di
tempat tujuan.
Restoran
Tiongkok itu berada di kawasan perumahan, sekitar 20 menit berjalan dari
stasiun. Di tengah pertokoan yang tampak lesu, dengan hanya ada minimarket dan
agen properti yang masih buka, restoran ini terlihat sebagai satu-satunya toko
tradisional yang masih bertahan.
Dengan
gorden merah memudar, pintu geser kaca buram yang tebal, restoran ini terlihat
sangat kental dengan nuansa “restoran
Tiongkok tradisional”, tertata dengan sedemikian rupa
seolah-olah ini adalah lokasi syuting
drama kolosal.
Setelah kami berdiri di bayang-bayang tiang
listrik selama beberapa saat, akhirnya sebuah sepeda motor tua melaju dari
jalan raya dan berhenti di depan restoran.
Sepeda motor dengan kotak besi tua di belakangnya, seperti yang sering muncul
dalam drama klasik.
Dari sepeda
motor itu, turun seorang pria kurus yang masih mengenakan helm, lalu masuk ke
dalam restoran.
“...Itu
dia! Yang barusan itu, 'Rai-kun'! Apa kamu
melihatnya!”
“Eh?!"
Aku yang
sedang melamun, tiba-tiba dibuat terkejut saat
lenganku ditarik oleh Luna.
“Itu
dia, 'Rai-kun'! Sama persis seperti di foto!”
“Be-Begitu
ya...”
Aku kagum
dengan kemampuan pengamatannya yang bisa mengenali orang hanya dari balik helmnya saja.
Sepeda
motor yang dikendarai oleh seseorang yang diduga Hanada Raion, keluar masuk toko beberapa
kali.
Tepat
pukul 19:58, saat ia pergi meninggalkan toko, Luna
berkata,
"Kurasa
itu pengiriman terakhirnya. Restorannya
tutup jam 8 malam sesuai yang tertulis
di internet.”
“Begitu
ya...”
Ketika
sepeda motor itu kembali setelah pukul 20:00, Luna
mendekati toko. Aku juga terburu-buru mengikutinya.
“Permisi!”
Luna
menyapa dengan nada yang tidak terlalu bersahabat.
“Ya?”
Pria yang
turun dari sepeda motor itu menanggapi
dengan nada suara yang agak bingung.
“Aku adalah adik dari Shirakawa Kitty.”
“...”
Meskipun
ekspresinya tidak terlihat dengan jelas
karena masih mengenakan helm, tampaknya ia sangat terkejut dengan perkenalan Luna.
“Aku
ingin berbicara mengenai kakak perempuanku.”
Dia
terdiam sejenak, lalu melihat-lihat sekitar sebelum menjawab.
“Bisakah
kita bicara sekitar 30 menit lagi?”
“Baik.
Kamu tahu restoran keluarga di
belokan jalan besar itu, ‘kan?
Kami akan menunggu di sana.”
“...Baiklah.”
“Tolong
pastikan kamu datang
ya? Kalau kamu kabur, aku akan datang mengunjungi restoran ini lagi.”
Luna
memperingatkannya dengan tegas, lalu menatapnya dengan
tajam.
◇◇◇◇
Ia akhirnya datang ke restoran keluarga tepat
30 menit setelah kami menyuruhnya.
Karena
saat itu jam makan malam, aku dan Luna
sudah lebih dulu memesan makanan karena kami
mulai lapar. Seolah-olah
menunggu kami selesai, ia muncul di meja kami.
“.....”
Ia
berdiri di hadapan kami tanpa mengatakan apa-apa, lalu
duduk di kursi dengan ragu-ragu. Kami duduk di salah meja untuk empat orang, sementara Luna dan aku duduk bersebelahan di
satu sisi, dan dia duduk di hadapan kami, kira-kira di antara aku dan Luna.
Ia memiliki
badan yang kurus dan mungkin sedikit
lebih pendek dariku. Gaya rambutnya yang mirip jamur, sepertinya sudah lama
tidak dipotong sejak terakhir kali dipotong oleh kakaknya Luna. Karena gaya rambutnya, ia
terlihat jauh lebih muda dari usianya.
Ditambah
dengan kontur wajahnya yang putih, tanpa banyak garis wajah,
membuatnya tampak rapuh. Penampilannya yang mengenakan sweater gombrang, celana hitam, dan sepatu kets,
terlihat seperti remaja pada umumnya. ...Mungkin aku tidak boleh berkata
begitu.
Dari
informasi yang aku dengar bahwa ia
adalah seorang musisi yang disponsori oleh pacarnya, aku sempat memiliki
prasangka negatif bahwa ia terlihat pembohong. Tapi dari sikapnya yang canggung
dan pendiam, sepertinya ia adalah orang yang tampak
lebih sensitif dan pemalu.
“Namaku
Shirakawa Luna, adik dari Shirakawa Kitty. Dan ini,
pacarku...
“Aku Kashima Ryuuto.”
Saat kami
berdua memperkenalkan diri, dia mengangguk
kecil.
“...Namaku Hanada Raion.”
Saat ia memperkenalkan dirinya, Luna
menatapnya dengan tajam.
“Kalau
kamu tidak keberatan, silakan
ambil minuman dulu. Aku sudah memesan minuman dari bar minuman.”
Tetapi, ia tetap menggelengkan kepalanya.
“Tidak
usah, terima kasih."
“Kalau
begitu, mau pesan makanan lain?”
“Air
saja cukup... Soalnya aku tidak
punya uang.”
Setelah mendengar
itu, Luna menghela napas dengan lelah.
“Aku yang
akan membayarnya, jadi setidaknya
minumlah sesuatu.”
“...Terima
kasih.”
Setelah
mengatakan itu, ia bangkit dari tempat duduknya dan ketika kembali, dia membawa segelas
minuman berwarna hijau gelap seperti jus bayam. Memangnya
ada minuman yang aneh
seperti itu?
“...Itu
apa?”
Aku tidak
bisa menahan diri untuk bertanya karena
penasaran.
Raion-san melirikku sebentar sebelum
menjawab.
“Ini
campuran Coca-Cola dan soda melon. Aku sudah
menyukainya sejak dulu.”
“Ah,
begitu ya...”
Memang
dulu pernah ada minuman seperti itu, tapi di suasana tegang begini, memesan minuman
aneh dari bar minuman dan ditambah lagi memakai
uang orang lain sepertinya ia agak aneh.
Saat
Raion-san duduk di kursinya dan meneguk
minuman, Luna segera
memulai pembicaraan.
“Kenapa
kamu tiba-tiba meninggalkan Onee-chan?”
Raion-san memandang
Luna dengan terkejut.
“Ak-Aku tidak meninggalkannya!”
Ia
berkata dengan panik, lalu menyadari tatapan tajam Luna dan menundukkan matanya.
“...
Tapi, jika aku tetap di sana, aku merasa akan menjadi orang yang tidak berguna.”
“Tidak
berguna? Apa maksudmu?”
Sementara
Luna terus memperhatikannya, Raion-san mulai berbicara seperti anak
yang dimarahi.
“...
Aku akan berusia 24 tahun tahun ini. Teman-teman sekelas yang lain sudah pada menikah dan bahkan
ada yang sudah punya anak, tapi aku masih terus menjadi 'penulis lagu mandiri'
begini... Aku tahu dalam pikiranku bahwa aku tidak bisa terus menjalani hidup
seperti ini selamanya.”
Ah, jadi
ia memang sudah menyadarinya.
“Tapi
Kitty-chan selalu mendukung impianku... Dia
selalu menyemangatiku dengan mengatakan 'Rai-kun pasti bisa!'. Meskipun
dia bekerja seharian dan pulang dalam keadaan lelah, dia masih peduli padaku
dan merawatku... Padahal aku tidak melakukan apa-apa.... aku jadi merasa bersalah.”
“Jadi itulah sebabnya kamu
melarikan diri dari Onee-chan?”
“Melarikan
diri...”
Raion-san mengulangi kata-kata Luna dan
wajahnya berubah sedih.
“...
Mungkin saja iya begitu.”
Kemudian,
saat
Luna membuka mulutnya hendak
mengatakan sesuatu,
“Tapi
aku berencana untuk menjemputnya!”
Ujar Raion-san.
“Menjemputnya? Kapan?”
Luna
bertanya dengan wajah tegas.
Raion-san menundukkan kepala dan membuka
mulutnya.
“Setelah
tiga bulan... Aku belum pernah bertahan di satu pekerjaan selama tiga bulan.
Aku ingin menemuinya sebagai seorang pria dewasa yang bisa melindungi Kitty-chan.”
“...Lantas, kenapa kamu tidak mengatakannya dulu kepada Onee-chan sebelum pergi meninggalkannya? Kamu bahkan memblokir LINE-nya... Jadi dia pasti berpikir kalau kamu sudah memutuskannya.”
Raion-san mengernyitkan keningnya dengan sedih.
“...
Tapi aku tidak punya pilihan lain. Jika aku mengatakannya pada Kitty-chan, dia pasti akan berkata 'Rai-kun
juga bisa tetap seperti biasanya
kok', dan aku pasti akan kembali menggantungkan diri
padanya, dan tidak ada yang berubah dari kehidupanku yang sebelumnya.”
Mengingat
tingkah laku dan perkataan kakak perempuan Luna,
aku merasa kalau ucapannya itu
mungkin ada benarnya.
“Setiap
kali aku bilang 'aku akan
mulai bekerja', Kitty-chan
selalu mendukungku, tapi setelah mencobanya, ternyata pekerjaan tersebut tidak
cocok denganku dan langsung berhenti... Aku
sudah kebanyakan menghabiskan 'kesempatan terakhir' seperti itu, dan
jika lagi-lagi tidak bertahan, aku hanya akan mengecewakannya. Aku tidak punya lagi kewenangan
untuk berbicara tanpa hasil nyata.”
Raion-san berbicara dengan kepala
tertunduk dan terbata-bata.
“Saat
ini aku sedang bekerja di restoran pamanku... Itu adalah restoran
masakan Tiongkok yang tadi. Sekarang aku bekerja sebagai kurir, tapi putri
pamanku— yang juga sepupuku—dia bekerja di kota, dan tidak
berminat untuk melanjutkan usaha tersebut. Jadi pamanku bilang, jika aku
bekerja dengan serius, ia akan mengajariku memasak untuk bisa melanjutkan bisnis restoran. Aku memang lulusan
sekolah kuliner, tapi kenapa aku ingin jadi penulis lagu, ceritanya panjang...
Maaf, aku memang bukan pembicara yang baik. Apa kamu
mengerti?”
“Aku kurang
lebih paham.”
Selain
itu, aku juga mulai merasakan kalau ia
bukanlah orang jahat. Sikapnya yang masih
kekanakan saat bermain di bar minuman juga, mungkin menunjukkan kalau ia adalah orang yang polos.
Luna
juga tampaknya berpikir demikian, karena ekspresi marahnya perlahan-lahan
berubah menjadi ekspresi khawatir seperti orang tua yang cemas pada anaknya.
“...
Sudah berapa lama kamu bekerja
dengan pekerjaan yang sekarang?”
“Segera
setelah aku pergi dari rumah Kitty-chan...
Kurasa sudah sekitar satu setengah bulan? Masih setengah dari targetku.”
“Apa kira-kira
kamu bisa bertahan selama sisa satu
setengah bulan lagi?"
Saat
mendengarnya, aku berpikir bahwa ia harus bisa bertahan lebih lama dari itu.
Raion-san balas mengangguk.
“...
Aku tidak tahan dimarahi.... Jika atasan menegurku, aku jadi
ingin kabur. Tapi paman dan bibi sangat baik, mereka mengajari satu per satu
hal-hal yang tidak aku ketahui tentang norma sosial, meskipun sikapku terkadang
tidak sopan. Aku benar-benar bersyukur dengan
kebaikan mereka.”
Aku
melihat senyum samar terukir di wajahnya untuk pertama kalinya, menunjukkan
bahwa ia memang baik-baik saja di sana bersama paman dan bibinya.
Tapi Luna masih tidak berhenti
menginterogasinya.
“Lalu
bagaimana jika sebelum tiga bulan berlalu,
Onee-chan sudah punya pacar baru?”
Ekspresi
Raion-san kembali menjadi sedih mendengar
pertanyaan itu.
“...
Aku memang pergi dengan niatan
untuk berpisah. Jadi, walaupun itu terjadi, aku akan menerimanya. Aku tahu aku
sudah melakukan hal yang cukup menyakitkan.”
Tampaknya
ia memang benar-benar memahaminya. Ia
tidak terlihat seperti orang yang tak tertolong seperti yang kubayangkan.
“Tapi
aku berpikir bahwa aku tidak bisa terus begini. Satu-satunya cara untuk
mengubah diriku adalah dengan melakukan ini. Jika aku tetap tinggal di sana,
aku akan terus terlalu fokus pada Kitty-chan
yang terlalu baik padaku,
dan tidak akan memikirkan masa depanku sendiri.”
Mengingat
penampilan kakak perempuan Luna
yang montok dan feminim, aku bisa memahami
perasaan Raion-san sebagai
seorang laki-laki. ... Tapi aku tidak berani
mengatakannya kepada Luna.
“...
Jadim apa kamu sudah tidak berminat lagi
menjadi penulis lagu?”
Aku pun
bertanya.
Restoran
Tiongkok itu sepertinya cukup berkembang, jadi jika ia serius meneruskan usaha
itu, sepertinya ia takkan punya waktu lagi untuk aktivitas musiknya.
Raion-san kembali menunduk sedikit saat
menjawab.
“Jika
aku benar-benar bekerja keras, aku akan menyerah. ... Tapi sebelum itu, aku
ingin membuat satu lagu terakhir yang benar-benar mencerminkan diriku saat ini,
dan dengan lagu itu, aku
ingin menjemput Kitty-chan.”
“...
Lagu itu, apa itu sudah
jadi?”
“Melodinya
sendiri sudah selesai. ... Tapi aku sama
sekali belum bisa menyelesaikan liriknya.”
Ia
berkata demikian sambil tersenyum kecut.
“Seperti
yang kamu lihat, aku memang payah dalam
menyampaikan perasaan dan pikiranku pada orang lain. Aku berpikir jika aku
menyanyikannya, aku bisa mengungkapkan apa yang ingin kukatakan lewat melodi.
Tapi... aku mempunyai banyak perasaan yang ingin kusampaikan kepada Kitty-chan
sehingga sulit untuk menuangkannya ke dalam
lirik.”
“Kamu
bukannya payah”
Pada saat
itu, Luna menyela dengan nada menenangkan.
“...Dari
tadi, aku sudah bisa mengerti sebagian besar yang ingin kamu katakan.”
“...
Itu mungkin karena kamu
menanyakan banyak hal padaku.
Tapi, kalau mengungkapkannya sendiri memang sangat sulit.”
Aku
pun sedikit tersentak ketika mendengar itu.
Kesulitan mengungkapkan sendiri adalah sesuatu yang baru-baru ini juga
kurasakan dalam hubunganku dengan Luna.
“...
Tapi setelah kamu berhassil bertahan
selama tiga bulan, aku ingin kalau Hanada-san
bisa segera menemui Onee-chan
secepat mungkin.”
Luna
berkata demikian dengan ekspresi memohon.
“...
Onee-chan terlihat sangat
terluka. Karena kamu pergi
tanpa mengatakan apa-apa...”
Setelah mendengar hal itu, ekspresi Raion-san kembali menjadi sedih.
“Aku
memang merasa bersalah. Tapi saat ini pikiranku masih terlalu dipenuhi dengan
diriku sendiri.”
Setelah mengatakan itu dan terdiam
sejenak, ia kembali bersuara.
“Aku
benar-benar sedang memikirkan
masa depanku bersama
Kitty-chan.”
Ia
menatap ke arah meja dengan ekspresi yang serius dan
berkata,
“Jika
aku meneruskan bisnis resstoran
itu, aku berharap Kitty-chan bisa ikut membantu di restoran sama seperti yang dilakukan bibiku sekarang. Tapi... jika Kitty-chan ingin tetap menjadi penata
rambut, ada banyak tempat kosong di sekitar sini yang bisa dia gunakan untuk
membuka salon sendiri. ... Untuk itu, aku harus membuat restoran ini sukses dan menghasilkan uang
untuk membiayainya.”
“.....”
Aku
terkejut karena tidak menyangka dia memiliki rencana sejauh itu, sehingga membuatku jadi terdiam.
Dari
ekspresi Luna yang ada di
sampingku, aku tahu dia juga memiliki pemikiran yang sama.
“Aku
tidak bisa mengungkapkan semua rencana itu sebelum pergi dari rumah... karena
aku tidak percaya diri dengan diriku sendiri saat ini.”
Setelah mendengar
itu, aku tersentak. Aku juga baru-baru ini memikirkan hal yang sama.
“Jadi
setelah bekerja selama tiga bulan... dan menjadi sosok yang baru, aku ingin
membuat lagu yang benar-benar mewakili perasaanku, dan menyanyikannya untuk
Kitty-chan.”
Ketika
aku dan Luna yang mendengarkan dengan
seksama, Raion-san
berbicara dengan nada tulus.
“Kitty
lebih berhak untuk bahagia dari siapa pun. Dia benar-benar wanita yang baik.
Jadi aku ingin 'menunjukkan pada Kitty bahwa aku berbeda dari mantan pacarnya
yang lain, dan akan benar-benar membuatnya bahagia'. Tapi setiap kali aku
berpikir bahwa dari sudut pandang orang luar, aku hanyalah seorang parasit
tanpa pekerjaan, dan lebih rendah dari mantan pacarnya yang punya pekerjaan sehingga aku menjadi malu.”
Berbeda
dari mantan-mantan pacarnya.
Saat
Raionne mengatakannya, aku kembali tersentak untuk kesekian kalinya.
Perasaan itu sama dengan perasaan yang kumiliki saat mulai berpacaran dengan Luna.
“Tapi
karena aku belum mencapai apa pun, aku tidak bisa mengatakan apa-apa, dan
satu-satunya jalan adalah pergi diam-diam dari rumah.”
“...
Aku paham perasaanmu, Hanada-san,”
Luna
berkata demikian.
“Memangnya menulis lirik sesulit itu ya?”
“Ya...
Seperti yang sudah aku
ceritakan tadi, aku memang lebih lemah dalam menulis
lirik dibandingkan komposisi. Dan dengan rutinitas kerja seharian dari pagi
sampai malam, tubuhku selalu
lelah saat pulang, jadi aku hanya
tidur. Kalau ada orang yang bisa diajak bicara, mungkin aku bisa lebih semangat untuk
mengerjakannya.”
“Begitu
ya..."
Luna
mengernyitkan alis dengan ekspresi kecewa. Dia pasti ingin Raion-san segera menjemput kakaknya, tapi
hatinya terasa risau.
Aku juga
merasakan hal yang sama.
──Aku
berbeda dari mantan-mantan pacarnya.
Meski ia
memiliki pemikiran itu, ia tidak bisa mewujudkannya, dan hanya bisa pergi
meninggalkan pacarnya sekaligus menyakiti hatinya.
Aku
juga...
──Aku
berbeda dari mantan-mantan pacarnya.
Empat
tahun yang lalu, saat di kamar Luna, aku memutuskan untuk tidak melakukan
tindakan s*ksual
apapun untuk menunjukkan pemikiranku secara tindakan. Aku bertekad untuk
benar-benar menghormati keinginan Luna dalam hal hubungan
fisik.
Tapi
karena itulah,
sekarang aku... menderita.
Aku ingin
melakukannya. Tapi aku tidak tahu harus berbuat apa. Aku takut mengungkapkannya...
Apa aku boleh mengatakan hal itu, sementara aku bukanlah orang yang bisa
bertanggung jawab jika terjadi sesuatu? Pemikiranku menjadi rumit dan akhirnya
aku tidak bisa melakukan apa-apa dan hanya bisa berkeluh kesah.
Aku ingin
membantu Raion-san untuk
menyelamatkan diriku sendiri juga.
Mungkin
itulah perasaan yang kumiliki.
“Mari
kita lakukan, menulis lirik. Jika kamu
tak keberatan, aku akan ikut
membantumu.”
Tanpa disadari, aku sudah mengatakannya.
“Eh?”
“Ryuuto?”
Raion-san dan Luna melihatku dengan
terkejut.
“Aku,
meskiput terlihat begini... bekerja di bagian redaksi penerbit. Aku hanya sebagai pekerja paruh waktu,
jadi kebanyakan hanya mengerjakan pekerjaan remeh. Tapi... mungkin aku bisa memberikan beberapa saran sebagai calon editor.”
Itu
hampir seperti kebohongan, karena aku hampir tidak pernah menyentuh tugas
editorial, tapi aku mengatakannya agar Raion-san
merasa tenang.
Aku
sendiri terkejut dengan antusiasme yang muncul dalam diriku.
Tapi itu
bukan masalah orang lain.
──Mengungkapkannya sendiri... memang sangat sulit.
──Aku
tidak bisa mengungkapkan semua rencana itu sebelum pergi dari rumah... karena
aku tidak percaya diri dengan diriku sendiri saat ini.
──Aku
berbeda dari mantan-mantan pacarnya.
Perasaan
itu memang benar-benar ada dalam diriku.
Jadi aku
berharap Raion-san bisa
melaluinya dan menjadi pria yang pantas untuk menjemput kakaknya Luna. Itu adalah harapanku sebagai sesama pria dalam situasi yang sama.
“Benarkah...?
Terima kasih banyak, itu sangat membantu!”
Raion-san menatapku dengan pandangan
seperti melihat seorang penyelamat, sambil mengucapkan terima kasih.
Tanpa
perhitungan atau rencana apa pun, aku hanya mengangguk penuh semangat ke
arahnya.
──Kupikir kamu bisa menjadi seorang editor yang baik loh, Kashima-kun.
Mungkin
kata-kata yang sering diucapkan Fujinami-san
kepadaku, tanpa dasar yang jelas, memberi kepercayaan diri yang tidak
beralasan.
“Aku
berharap Raion-san bisa membuat lagu terbaik, dan satu setengah bulan kemudian, datang menemui Kitty-san dengan
bangga...”
Raion-san
mendengarkan kata-kataku dengan
pandangan serius.
“...
Terima kasih banyak! Aku akan
berusaha sebaik-baiknya!”
Ia
membalas demikian sambil
membungkuk dalam-dalam kepalanya.
◇◇◇◇
Saat kami keluar dari restoran keluarga dan hendak
melakukan perpisahan, Raion-san
tiba-tiba mengatakan sesuatu kepada kami.
“Ngomong-ngomong,
bagaimana kalian bisa tahu aku
ada di sini? Aku rasa aku belum memberitahu Kitty-chan
nama restoran pamanku.”
Setelah mendengar
itu, aku dan Luna saling berpandangan.
“...
Itu, aku punya teman yang tinggal di sekitar sini, dan kebetulan melihat Hanada-san saat datang main!”
“Be-Benar
sekali, kalau tidak salah kakakmu pernah menunjukkan foto pacarnya kepadamu, ‘kan, Luna? Itulah
sebabnya kami jadi mengetahuinya.”
“Bener
banget, bener banget!”
Kami berdua
langsung mencari-cari alasan di tempat.
“Oh,
begitu ya. Kebetulan yang menakjubkan seperti itu
beneran ada, ya.”
Raion-san berkata dengan nada terkesan sembari memasang wajah kaget.
Melihat dirinya yang tidak curiga sama sekali, aku berpikir bahwa ia
memang orang yang tulus dan polos. Sebelum bertemu dengannya, aku heran kenapa
kakak perempuan Luna membiayai pria yang
terlihat gagal, tapi sekarang aku mengerti ada sisi yang baik darinya.
Si Onee-san
juga terlihat seperti orang yang agak kekanakan dan polos, jadi mereka mungkin
pasangan yang cocok.
“Baiklah,
terima kasih banyak atas makanannya. Aku akan langsung pulang dan mulai bekerja
keras untnuk menulis liriknya.”
Setelah berkata
begitu, ia berbelok ke arah pertokoan di jalan utama dan menghilang dari pandangan kami.
Setelah tersisa hanya tinggal kami berdua, kami
berjalan dalam diam menuju stasiun.
“...”
──Raion-san ternyata orang yang lebih baik
dari yang kubayangkan, ya.
──Syukurlah, Onee-san tidak
benar-benar dicampakkan.
Aku
memikirkan kalimat mana yang paling tepat untuk memulai pembicaraan, tapi akhirnya memutuskan
untuk menunggu Luna berbicara.
Saat memeriksa waktu sebelum keluar tadi,
waktu sudah menunjukkan lewat
setengah sembilan malam.
Kami
masih bisa sempat naik kereta terakhir.
Meski mungkin aku tidak boleh mengantar Luna sampai rumah, tapi dalam situasi semacam ini kurasa dia
bisa naik taksi saja.
Kami juga
sudah selesai makan malam, jadi tidak ada lagi urusan di kota ini.
Kami
hanya bisa kembali ke Tokyo dengan kereta, dan sampai rumah mungkin sudah dini
hari.
Luna
harus bekerja di toko pakaian besok pagi.
Dengan kata
lain, kami tidak punya
pilihan lain selain harus segera pulang.
Apapun
yang aku pikirkan, hanya kesimpulan itu saja yang bisa
kudapatkan.
“...”
Aku
penasaran apa yang sedang dipikirkan Luna ketika
aku berjalan dalam diam di sampingnya.
Saat aku
berpikir begitu, Luna menoleh ke arahku, dan pandangan mata kami bertemu.
“...
Terima kasih, Ryuuto,”
Dia mengatakan itu dengan menunjukkan sedikit senyum
lembut.
“Aku
senang Ryuuto ada di sini bersamaku.”
Namun,
beberapa saat kemudian, ekspresinya tiba-tiba berubah samar.
“...
Itu yang selalu kurasakan selama empat tahun ini.”
Sambil
menghadap ke depan, Luna mengangguk meyakinkan diri sendiri.
“...
Ya. Hanya dengan adanya kamu
di sampingku saja, aku sudah sangat bersyukur. Kupikir
aku harus berterima kasih untuk itu...aku sudah berpikir demikian.”
“Luna...?”
Melihatku
yang masih belum memahami maksud perkataannya, Luna tersenyum menenangkan.
“Aku
sudah tahu dengan baik seperti apa dirimu, Ryuuto... Dan aku juga tahu bahwa tidak ada lagi hal mengejutkan yang bsia terjadi.”
Meskipun
ekspresinya menjadi tegang pada kalimat terakhir, Luna tetap mempertahankan
senyumannya.
“Tapi, aku tetap menyukaimu, jadi aku
ingin terus berada di sampingmu selamanya, Ryuuto.”
Saat aku
merasa senang mendengarnya, Luna terus
melanjutkan.
“Awalnya
aku berpikir, 'jika ada sesuatu yang ingin dilakukan, kita berdua harus
mengungkapkan perasaan masing-masing dengan jelas'. Tapi...
Jika harapanku adalah 'aku ingin pacarku memberi
kejutan', lalu aku meminta kekasihku untuk memberi
kejutan, bukannya hal itu
bukan lagi dianggap sebagai kejutan?”
“Iya juga...?”
“Di
dalam drama, kita bisa membuat karakter
pria sebanyak mungkin kalimat yang kita inginkan seperti, 'Aku berharap pacarku akan mengatakan ini padaku'...tapi pada kenyataannya tidak
bisa begitu.”
“...
Luna, apa aku... melakukan sesuatu yang salah?”
Atau
mungkin karena tidak melakukan sesuatu?
Aku
bertanya dengan cemas.
Luna
langsung menggelengkan kepalanya
dengan terkejut.
“Ah,
tidak, maaf. Itu hanya... semacam monolog untuk meyakinkan diriku sendiri. Aku
memang kurang pandai berpikir dalam diam, jadi aku mencoba menjelaskan dan menjernihkan
pikiranku.”
Dia mengatakan itu sambil tersenyum
meyakinkan.
“Satu-satunya
hal yang ingin aku sampaikan
kepada Ryuuto hanyalah bagian ‘Terima kasih’ saja.”
Bangunan stasiun
sudah terlihat di depan mata.
◇◇◇◇
Walaupun beberapa
hari telah berlalu ssejak pertemuan kami dengan Raion-san, aku masih belum bisa memahami
sepenuhnya arti kata-kata Luna.
Kami
tidak bertengkar, tidak ada suasana canggung, dan kami
bahkan mengobrol seperti biasa saat perjalanan pulang dengan
kereta.
Tapi aku
merasa ada sesuatu yang mengganjal.
Jika saja
aku bisa berkonsultasi dengan Sekiya-san di
saat-saat seperti ini. Sekiya-san baru akan kembali
saat liburan musim semi. Ini bukanlah
topik yang harus kusampaikan lewat telepon atau pesan.
Setelah
dipikir-pikir lagi, aku
tidak punya orang lain yang bisa kuajak bicara tentang Luna.
Malahan, akulah yang paling sering dimintai nasihat soal
wanita oleh yang lain. Seperti Icchi
yang tiba-tiba meneleponku saat aku sedang di Okinawa.
Karena
orang-orang di sekitarku adalah teman-teman laki-laki yang kurang gaul, jadi aku dianggap yang paling bisa
diandalkan di antara mereka karena
sudah lama berpacaran.
Yang
paling tipikal dari mereka, bahkan bisa dibilang bos terakhirnya, adalah Kujibayashi-kun.
“Bagaimana
perkembanganmu dengan Kurose-san
setelah itu?”
Suatu
hari saat jam istirahat makan siang di kantin yang enak dengan menu kari katsu, aku bertanya pada Kujibayashi-kun yang makan di hadapanku.
Sebenarnya
Kujibayashi-kun sendiri tidak meminta aku
untuk memberi nasihat soal urusan Wanita, jadi ini murni
karena perhatianku.
Tapi
masalah Kurose-san ini, akulah
yang mengenalkan mereka, dan baik Kurose-san maupun Kujibayashi-kun sama-sama kurang
berpengalaman soal lawan jenis, jadi kurasa sebaiknya aku memantau
perkembangannya.
Aku tahu
betul tentang mereka berdua, dan aku tidak ingin mereka jadi saling menjauhi
hanya karena tidak saling memahami kelebihan masing-masing.
Dan aku
yakin, jika dibiarkan begitu saja,
mereka pasti akan saling menjauhi.
“...
Bagaimana apanya?”
Kujibayashi-kun
menghentikan makannya dan bertanya padaku dengan tatapan waspada dari balik
kacamatanya.
“Apa
kalian sudah bertukar pesan LINE atau apa setelah itu?”
“...
Setelah pulang, daku menerima
ucapan terima kasih darinya, jadi daku mengirimkan
pesan balasan.”
“Begitu
ya.”
Kurasa
itu sudah cukup baik, tapi mengingat perilaku
Kijibayashi-kun waktu itu, tiba-tiba aku merasa khawatir.
“...
Kalau boleh, apa kamu bisa perlihatkan
percakapan LINE-nya sebentar?”
“Tidak
masalah.”
Kujibayashi-kun lalu mengeluarkan ponselnya dari saku
dan menunjukkan percakapan LINE yang terbuka di layar.
Percakapan
terakhir tampak di sana, dengan tanggal sehari setelah pertemuan acara makan malam.
[Maria]
Terima
kasih sudah menyempatkan waktu kemarin
Aku
banyak belajar
Aku juga
harus belajar dari Kujibayashi-kun
[Kujibayashi
Haru]
Jika itu
hanya sekedar “harus
belajar’, maka kamu tidak perlu memaksakan diri
Universitas
bukan tempat pendidikan wajib
[Maria]
Ada benarnya juga...
“...!?”
Aku tidak bisa mempercayai penglihatanku karena saking terkejut
melihatnya.
Percakapan
mereka berakhir di situ.
“Hei,
apa-apaan ini, Kujibayashi-kun!?”
“Hm?”
“Kenapa
kamu membalas seperti itu!?”
Tidak,
bagaimana mungkin dia bisa membalas seperti itu kepada gadis yang disukainya!?
“Apa
kamu tidak menyukai Kurose-san?”
Kujibayashi-kun
mengerutkan alisnya seakan ia
tidak mengerti maksud ucapanku.
“Aku
tidak akan membalas orang yang tidak kusukai.”
“Tidak,
mustahil! Perasaanmu takka tersampaikan kalau hanya
segitu!”
Jelas ada
nada menyesal dan frustasi dalam balasan “Ada benarnya juga...” dari Kurose-san.
Sebagai
mahasiswa sastra, seharusnya Kujibayashi-kun
bisa memahami hal itu karena memiliki pemahaman
bacaan yang sangat baik.
Kenapa ia tidak memahaminya?
“...
Kamu tidak berniat membiarkan ini
begitu saja, kan?"
Sudah
hampir satu bulan sejak terakhir percakapan mereka.
Aku
bertanya dengan cemas, tapi Kujibayashi-kun
menatapku dengan bingung.
“Daripada
dibilang membiarkan, tapi percakapan ini sudah
diselesaikan dia sendiri, ‘kan?”
“Tidak,
yang begini tidak bisa diabaikan begitu saja.”
Kurose-san
menutup diri dari pembicaraan dan hatinya karena
dia tidak ingin terluka karena didorong pada kebenaran lagi.
“Kenapa?
Alasan 'harus belajar'
itu menunjukkan dia belum menemukan subjek yang
ingin dia pelajari. Jika dia butuh bantuan untuk menemukannya,
aku tidak keberatan membantunya. Tapi dia sendiri yang memutuskan mengakhiri percakapan
di sini
berarti itu karena kemasalannya sendiri.”
“...”
Aku paham
argumen Kujibayashi-kun, dan secara akademis itu memang benar.
Tapi hubungan antar-manusia biasa tidak sesederhana itu...
Atau
lebih tepatnya, caranya untuk menyampaikan
itu terlalu tidak terampil.
“...
Kujibayashi-kun, sebenarnya kamu ingin menjalin hubungan seperti apa dengan
Kurose-san? Hubungan murid-guru? Atau hubungan romantis?”
“...”
Pertanyaanku
membuat Kujibayashi-kun tiba-tiba mengatupkan
bibirnya dan terdiam.
“...
Jika Kujibayashi-kun punya sedikit keinginan untuk jadi teman yang lebih dekat
dengan Kurose-san, atau bahkan lebih dari itu...
sebaiknya kamu mencoba mencairkan suasana. Kalau dibiarkan seperti
ini, Kurose-san mungkin takkan pernah menghubungimu
lagi.”
Setelah
aku berkata begitu, Kujibayashi-kun menundukkan kepalanya lesu dan melihat
kembali layar percakapan LINE di ponselnya.
“...
Memang benar, jika dilihat seperti ini, caraku bicara terdengar kurang peduli.
Karena Daku hanya punya ilmu pengetahuan,
mungkin Daku terlalu bersemangat ingin
membantunya.”
“...”
Aku
mengerti perasaan Kujibayashi-kun.
Dia
memang orang yang baik, aku sangat mengetahui
itu sebagai temannya.
Hanya
saja, dia terlalu tidak terampil.
“...
Sekarang bagaimana Daku harus membalasnya?”
Kujibayashi-kun
bertanya padaku dengan sungguh-sungguh, membuatku agak tergagap.
“Hmm... kurasa kamu tidak perlu menyinggung
percakapan sebelumnya. Coba awali dengan 'Bagaimana kabarmu?' atau
semacamnya...”
“Daku
tidak akan berkata seperti itu."
“Oh,
ya sudah...”
Meskipun
itu hanya contoh, aku tidak bisa menahan senyum malu melihat minimnya sisi
kreatif dalam diriku.
“Yah,
kamu bisa
mencoba sendiri bikin balasannya. Tidak harus sempurna, yang
penting terkesan akan terus berlanjut.”
Usai mendengar
itu, Kujibayashi-kun terlihat seperti sedang menghadapi masalah rumit dalam
hidupnya.
“Dan
jika dapat balasan yang sulit dibalas, pakai saja stiker dulu.”
Itulah teknik yang kupelajari dari Luna.
Sejak aku masuk kuliah, cara kami berkomunikasi
jadi lebih banyak melalui DM Instagram, jadi kami agak terasing dari budaya
LINE.
Dulu ketika kami berdua masih SMA, Luna
sering menggunakan stiker lucu di LINE, dan aku masih
ingat seberapa senangnya Luna ketika aku mmbeli stiker yang sama dan menggunakannya
sesekali.
“Kurose-san
suka menggunakan stiker 'Chikyawa'
ya.”
Kurose-san dan aku saling memblokir ketika
kami masih di sekolah SMA, dan
satu-satunya cara kami berkomunikasi adalah melalui LINE, jadi kami juga
berkomunikasi melalui LINE sejak kami menghidupkan kembali hubungan kami. Saat
ini, kami terutama berkomunikasi tentang hal-hal yang berhubungan dengan
pekerjaan, tapi dia kadang-kadang mengirimiku stiker
Chikyawa.
Chikyawa adalah
karakter dari manga medsos
populer beberapa tahun terakhir ini. Manga tersebut menampilkan
karakter-karakter imut yang terinspirasi dari hewan-hewan kecil, yang berusaha
keras untuk melakukan berbagai hal, dan tidak hanya disukai oleh para penggemar
manga, tapi juga telah menjadi populer di kalangan umum.
“Kujibayashi-kun, kamu punya stempel apa
saja?”
“...Stempel
beruang cokelat, kelinci putih, manusia wajah bulat putih, atau manusia rambut
kuning?”
“Itu
sih stempel gratis bawaan LINE!”
Aku juga
tidak tahu karakter apa itu sebenarnya.
“Kalau
begitu, bagaimana jika kali ini kamu beli? Kalau kamu pakai stempel yang sama,
mungkin Kurose-san juga akan senang."
Setelah mendengar
saranku, Kujibayashi-kun menunjukkan wajah
jelas-jelas tidak suka.
“...Apa
kamu menyarankanku untuk membeli Chikyawa?”
“Kalau
sekali saja tidak ada salahnya ‘kan...”
Aku juga
awalnya merasa ada perlawanan
psikologis saat membeli stempel OsaUsa yang
disukai Luna, seolah-olah aku akan kehilangan sesuatu, jadi aku lumayan
memahami perasaannya.
“Kalau
Kurose-san sendiri memakainya, berarti dia menyukai karakternya, jadi menurutku
lebih baik beli yang itu daripada yang lain.”
“...”
Kujibayashi-kun diam-diam mengoperasikan
ponselnya.
Aku
memandang pemandangan di luar jendela di
belakangnya.
Kantin
ini terhubung dengan koperasi di lantai satu, jadi aku bisa melihat suasana di
lantai satu melalui jendela.
Di sana, aku tidak tahu mereka dari fakultas mana, tapi aku bisa
melihat sekelompok pria dan wanita yang kelihatannya
sangat populer, sedang mengobrol
dengan akrab.
Aku merassa
penasaran apakah orang-orang seperti mereka akan menganggap kalau obrolan kami ini sangat
kekanak-kanakan.
“150
yen...”
Kujibayashi-kun,
yang mungkin sedang melihat halaman pembelian koin LINE, bergumam dengan pelan.
“Dengan
150 yen, Daku bisa
mencetak 15 halaman dari buku di perpustakaan..."
“Kalau
begitu, kenapa kamu tidak meminjam buku di perpustakaan lalu mencetaknya di printer di rumah? Bukannya cara yang begitu jauh lebih hemat?”
“Namun,
perpustakaan juga memiliki koleksi buku langka
yang tidak bisa dipinjam.”
“Be-Begitu
ya...”
Aku,
sebagai mahasiswa yang tidak terlalu rajin, tidak tahu hal itu, jadi aku berani berkomentar lebih lanjut dengan mengatakan,“Kenapa kamu tidak memfotonya saja
dengan ponselmu?”, karena aku meyakini kalau Kujibayashi-kun akan membantah lagi.
Karena Kujibayashi-kun bersekolah di sekolah elit
swasta sejak SMP, kurasa keluarganya lebih berada daripada aku. Tapi ia tetap menjalani kehidupan yang hemat
meski tinggal di rumah dan berencana melanjutkan ke pascasarjana tanpa bekerja
sampingan.
“Yah,
aku tidak memaksamu untuk membelinya, tapi setidaknya itu bisa jadi
opsi jika kamu tidak percaya diri mengungkapkannya dengan kata-kata.”
Setelah
aku mengatakan itu, aku mencoba berdiri untuk membereskan nampan yang telah
habis kumakan,
“Kashima-dono”
Kujibayashi-kun yang memanggilku, berkata dengan suara kecil sambil masih menatap layar ponselnya.
“...
Sekarang Daku penasaran, bagaimana caraku menggunakan 'Chikyawa'
yang baru Daku beli dalam
percakapan...?”
◇◇◇◇
Aku
menunjukkan riwayat
percakapan masa lalu antara aku dan Luna kepada Kujibayashi-kun, dan memberikan
contoh penggunaan stiker. Ketika aku
pulang ke rumah setelah menyelesaikan kuliah dan
pekerjaan paruh waktu, Raion-san menghubungiku.
‘Aku sudah
menulis lirik untuk bagian intronya, bisakah kamu
mendengarkannya dan memberikan
pendapatmu?’
Setelah
itu, video Raion-san yang sedang menyanyi dikirimkan kepadaku.
Sepertinya
video tersebut direkam di rumah
pamannya, Raion-san duduk di atas tatami di ruang Jepang, memegang gitar dan
mulai bernyanyi.
Dalam
mimpiku~~ berkali-kali~~ aku memanggil namamu~~
Ia
menunduk melihat jemarinya yang memetik gitar, menyuarakan lagu dengan penuh
perasaan.
Aku tak
akan pernah~~ melepaskanmu~~ aku tak ingin kehilanganmu~~ untuk selamanya~~
Setiap
kali mendengar lagu jenis ini, aku selalu bertanya-tanya, seberapa tulus
seorang pria yang menulis dan menyanyikan lagu cinta seperti ini?
Aku juga
berpikir, jika ada survei yang memberikan pilihan [ya],
[tidak], atau [tidak ada pendapat] untuk pertanyaan “Apa kamu tidak ingin pernah meninggalkan pacarmu selamanya?”, aku akan memilih [ya].
Tapi aku tidak akan pernah secara sukarela mengungkapkannya kepada orang lain,
apalagi bernyanyi dengan begitu bersemangat, itu terlalu memalukan untuk membayangkannya.
Sambil
mendengarkan, aku tak bisa menghentikan pikiranku berpikir demikian, lagu Raion-san...
yah, jujur saja, terdengar klise.
Namun,
saat berbicara dengannya sebelumnya, aku merasa ia memiliki suara yang bagus.
Kemampuan menyanyinya memang tidak luar biasa, tapi cukup mahir, jadi suaranya tidak menyakitkan telinga untuk
mendengarkannya berulang kali.
Yang
paling kusukai hanyalah suaranya, sementara melodi dan liriknya terasa seperti
lagu cinta biasa yang sering didengar. Aku sendiri tidak terlalu paham musik,
jadi aku tidak bisa memberikan komentar
teknis lebih jauh.
Karena
hanya bagian intro, jadi video penampilan
nyanyiannya juga cepat selesai.
“......”
Karena
sulit untuk membalas dalam bentuk teks, jadi aku
memutuskan untuk melakukan panggilan video.
“Kerja
bagus...”
“Ah,
Ryuuto-san, terima kasih!”
Sepertinya
Raion-san mengira kalau aku sedang
memujinya, karena tatapan matanya tampak berbinar-binar di layar. Meski usianya
lebih tua dariku, ia menyapa dengan rendah hati seperti seorang junior.
Jadi, rasanya agak sulit untuk memberikan
komentar jujur.
“Pertama-tama, aku ingin menyampaikan sesuatu dulu... aku belum pernah menulis lirik atau
komposisi lagu, dan juga tidak terlalu ahli dalam musik, jadi aku benar-benar kagum dengan
orang-orang seperti Raion-san...”
“Ah,
tidak perlu begitu.”
“...
Jadi, ini hanyalah pendapatku pribadi sebagai
orang awam...”
Rasanya
sulit untuk memberitahunya....pikirku, sembari
memilah-milah kalimat yang harus kusampaikan dan melanjutkan.
“Tapi...
bukannya liriknya itu agak...
umum? Atau lebih tepatnya... meski itu tidak
buruk, tapi terkesan biasa-biasa saja...”
Meskipun
mendengar kritikan semacam itu, Raion-san
tidak menunjukkan kekecewaan yang terlalu jelas.
“...
Begitu ya”
Ia
sedikit menundukkan kepala dan berkata dengan nada sedih,
“Aku
juga berpikir demikian, karena aku tidak bisa menemukan lirik lagi
setelah ini... Itulah sebabnya aku ingin meminta saran dari Ryuuto-san tentang apa yang harus aku lakukan.”
Meminta
saran.
Ah iya, aku memang pernah memberitahunya pada waktu itu.
Pada saat
itu aku terlalu berempati dengan
perasaan Raion-san, hanya dengan antusias menawarkan diri untuk membantu, tapi
bagaimana caranya aku harus memberi saran tentang penulisan lirik, aku
benar-benar bingung.
Aku
segera dihadapkan dengan tembok dasar seperti itu, dan aku pun mulai panik
sendirian.
“U-Umm...”
... ‘Apa yang harus kulakukan?’...?
Bagaimana
ini? Aku belum pernah menulis lirik sebelumnya, dan aku juga bukan pendengar
musik hits terkini. Jadi aku sama sekali
tidak punya ide apa-apa.
“...
Raion-san-san, lagu seperti apa yang ingin kamu buat?”
Aku
bertanya dengan pasrah, dan Raion-san-san menjawab “Hmm”.
“Aku
ingin menuangkan perasaanku kepada
Kitty-chan melalui lagu itu...
Meskipun mungkin orang lain tidak akan mengerti, setidaknya aku ingin membuat
lagu yang akan menyentuh hati
Kitty-chan.”
“Be-Begitu ya...”
Setelah
mendengar itu, tanpa prinsip atau ide apapun, aku tidak tahu harus berkata apa.
“U-um,
sebenarnya apa yang harus kulakukan...”
“Bagaimana
ya...”
“Hmm...”
Aku dan Raion-san-san
terus berbicara selama sekitar 20 menit, tapi pada akhirnya aku tidak bisa
memberinya petunjuk atau saran yang berarti, dan terpaksa harus mengakhiri
pembicaraan hari itu.
◇◇◇◇
Meskipun
masalah lirik Raion-san-san masih mengganjal di pikiranku, beberapa waktu telah
berlalu sejak hari itu.
“Kashima-kun,
Kurose-san, apa kalian senggang nanti
malam? Jika kalian tidak keberatan, aku mau mentraktir
makan malam nih.”
Di ruang
redaksi yang berhembus udara segar setelah melakukan
pengoreksian, Fujinami-san
memanggilku.
Fujinami-san sering mengajakku makan malam bersama sekali
sebulan atau dua bulan, biasanya setelah waktu
pengoreksian selesai.
“Terima
kasih banyak! Aku ikut!”
Sepertinya
Kurose-san juga tidak ada acara, jadi setelah jam kerja, kami bertiga pun
pulang bersama.
Fujinami-san mengajak kami ke sebuah kafe
restoran di dekat stasiun. Dindingnya seluruhnya terbuat dari kaca, dan meja
serta konter menggunakan kayu bermotif alami, membuat dekorasinya terlihat
elegan.
Mungkin
Fujinami-san mempertimbangkan keberadaan Kurose-san, karena biasanya kami makan di kedai izakaya biasa.
Entah kenapa, itu membuatku merasa sedikit aneh.
Karena kami
bertiga sering bertemu setiap hari, jadi tidak
ada pembicaraan khusus, kami hanya membicarakan isu terkini dan komik-komik
populer, sampai saat Fujinami-san
izin pergi ke toilet.
“...
Hei, Kashima-kun.”
Kurose-san
berbisik pelan kepadaku.
Kami
duduk di meja empat orang di dekat dinding kaca,
Kurose-san dan aku duduk saling berhadapan.
“Hei,
bisakah kamu lihat
ini sebentar?”
Kurose-san
menyodorkan ponselnya kepadaku. Dia
menyalakan layarnya dan menggesernya ke arahku.
“Apa
ini?”
Yang
terlihat di layarnya adalah
percakapan di LINE.
[Kujibayashi
Haru]
Harry
Pocchari dan Tubuh Puding Misterius
“...Hah?”
Aku cepat-cepat
memeriksa percakapan sebelumnya, tapi percakapan terakhir mereka hanya “Ada benarnya juga...” dari
Kurose-san.
Setelah
itu tidak ada apa-apa lagi.
Tentu
saja, Kurose-san juga tidak mengirim apa-apa.
“...Menurutmu
ini apaan?
Pesan ini datang dua jam yang lalu..."
Kurose-san
menatapku dengan kerutan dalam di antara alisnya.
“...Y-Yah, mungkin ia salah
memasukkannya ke memo catatan? ...”
Itu
adalah jawaban yang ingin kuberikan, meskipun terasa sulit.
Karena
pesannya terlalu aneh.
“Tapi
bahkan jika ia salah mengira itu sebagai memo, ini terlalu tidak jelas. Apa ini
lelucon? Atau semacam kuis?”
“Haha...
Mungkin ia salah mencatat judul buku yang ingin dibaca?”
“Ino
kesalahan yang terlalu besar. Terlalu konsisten untuk itu.”
“Ahaha...”
Mau tak mau
aku hanya bisa tertawa kering
sekarang.
Lalu,
tiba-tiba...
“...!?”
Percakapan
di layar itu bergerak naik dengan sendirinya. Baik aku maupun Kurose-san tidak
menyentuhnya.
Kujibayashi-kun
telah mengirimkan sesuatu secara langsung.
Itu
adalah stiker.
“...Chikyawa...?”
Ada beberapa
stiker Chikyawa yang dikirimkan
berturut-turut, mungkin sekitar tujuh. Banyak di antaranya menunjukkan ekspresi
cemas dan gelisah, seolah berkata, “Masih belum dibalas?”
“Huwaa,
mengerikan! Aku malah
sudah membaca semua pesannya!”
Kurose-san
berseru seperti berteriak.
“...Kalian
kenapa?”
Saat itu,
Fujinami-san kembali dan duduk di sampingku
seperti semula.
“...Fujinami-san,
apa kamu mengerti maksud ini?”
Aku
mengambil ponsel Kurose-san dan menunjukkan pesan ‘Harry Pocchari dan Tubuh Puding Misterius’ kepadanya.
“Ehh, apa-apaan ini, konyol
banget.”
Fujinami-san tertawa dengan nada yang mirip seperti gadis SMA.
“Ini
pasti parodi dari 'Harry Potter dan Pangeran Berdarah'. 'Tubuh Puding Misterius' yang
pasti merujuk pada 'Pocchari' itu benar-benar tidak misterius lagi dan cukup
menggelikan.”
Di tambah lagi, dirinya
langsung menganalisis dari sudut pandang editor.
“Editor
yang handal memang beda level...”
“Yah,
karena cerita Harry Potter memang dari
zamanku dari aku masih
kecil. Ku juga dulu suka membacanya.”
“Begitu
ya...”
Meskipun aku hanya bekerja paruh waktu di
bagian editorial, aku merasa
malu karena kurang wawasan di bidang ini.
“Apa
ini? Siapa yang mengirim pesan LINE ini? Ia
punya selera yang bagus lho.”
“...
Ia adalah laki-laki
kenalanku...”
“Ah,
begitu. Apa beneran cuma kenalan saja~? ...
Ah, sebaiknya aku tidak bertanya begitu. Lupakan saja."
Fujinami-san terlihat lebih ceria karena
sedang minum, tapi ia masih menjaga kesadarannya akan aturan perusahaan.
“Haaah...
Tapi, jadi anak mudah tuh memang
menyenangkan ya.”
“Fujinami-san
juga masih usia dua puluhan, ‘kan?”
“Haha,
sayangnya aku sudah tidak secemerlang kalian lagi... Bekerja di masyarakat
memang seperti itu.”
Ia
tersenyum masam lalu meneguk minuman lemon
sour-nya.
“Aku sudah
tidak punya tenaga untuk urusan cinta. Sekarang, pekerjaanku lah yang paling utama, jadi aku bahkan tidak
punya energi untuk sengaja bertemu orang lain di luar waktu kerja.”
“...
Sudah kuduga, editor memang sibuk ya?”
Setelah
mendengar celotehan Fujinami-san, Kurose-san bertanya dengan
antusias. Sebagai seseorang yang serius mengejar karir editor, masalah keseimbangan antara pekerjaan dan kehidupan pribadi
pastilah menjadi perhatiannya.
“Ya...
Terutama aku, saat ini ada banyak hal pribadi yang sedang kuurus.”
Fujinami-san menjawab sambil meletakkan gelas
di meja.
“Tapi,
karena tidak ada yang harus aku lindungi selain diriku sendiri, aku jadi
terlalu bebas dan menghabiskan terlalu banyak waktu untuk pekerjaan.”
Ada
banyak pria dan wanita berjas di dalam restoran
setelah jam 9 malam pada hari kerja. Fujinami-san yang mengenakan kaos dan jeans terlihat seperti orang dewasa dengan jiwa yang sangat
bebas.
“Tapi,
uang dan waktu bisa aku gunakan sesuka hati, dan aku bisa pindah ke kota yang
kusukai setiap dua tahun... Kurasa hidup lajang cocok untukku yang tidak ingin
terikat. Ketika aku melihat
orang yang sudah menikah, sepertinya mereka tidak bisa hidup sesuai keinginan
mereka. Aku kecanduan kerja, tapi aku menyukai pekerjaanku dan merasa sangat
terpenuhi.”
Pekerjaan...
pekerjaannya sebagai editor. Fujinami-san
yang merasa sangat puas oleh
pekerjaannya memang merupakan editor
yang sangat kompeten.
Setelah
memikirkan itu, aku jadi reringat akan saran yang tidak
bisa kuberikan dengan baik kepada Raion-san-san sebelumnya, sehingga rasa malu muncul dalam diriku.
“...
Fujinami-san, menurutmu, keterampilan apa yang dibutuhkan untuk menjadi seorang editor?”
Saat aku
bertanya, Fujinami-san menaikkan alisnya.
“Ohh, Kashima-kun,
akhirnya kamu
memutuskan untuk serius menjadi editor? Bagaimana kalau aku mempekerjakan
kamu?"
“Eh,
tidak adil!”
Ketika mendengar
itu, Kurose-san juga mengangkat alisnya. Mungkin karena dia sedang minum-minum, ekspresinya terlihat lebih
langsung dari biasanya.
“Kalau
Fujinami-san punya wewenang seperti itu, aku
ingin dijadikan editor juga!”
“Haha.
Tiba-tiba banyak yang menginginkanku. Sudah
kuduga, pria memang harus punya
kekuasaan, ya!”
Dan
begitulah, Fujinami-san mengalihkan pembicaraan, jadi
pada akhirnya aku tidak mendapatkan jawaban atas pertanyaanku.
◇◇◇◇
Keesokan
harinya, sebelum aku pergi berangkat kerja paruh waktu di bagian editorial,
aku memanggil Kujibayashi-kun di kampus.
Karena
aku hanya ada sampai kelas ketiga, aku memintanya untuk menemuiku di taman
kampus, di mana dirinya sedang
berada di perpustakaan saat kelas keempat kosong.
Taman
kampus adalah jalan penghubung di antara gedung-gedung kampus. Saat para mahasiswa yang tidak
ada kelas bercengkerama atau lalu-lalang, aku menemukan sosok Kujibayashi-kun.
Ia
duduk di bangku batu yang melingkari pohon besar di tengah taman.
“...
Umm, Kujibayashi-kun.”
Saat aku memanggilnya,
Kujibayashi-kun mengangkat wajah dari buku akademis yang
sedang dibacanya.
Meskipun
biasanya tempat ini ramai dengan mahasiswa, saat ini hanya ada beberapa orang
yang duduk berjauhan, jadi suasananya lumayan sepi.
"Kemarin,
seorang karyawan di tempat kerjaku mengajakku makan malam bersama Kurose-san... Dan saat itu, aku secara tidak sengaja melihat
pesan LINE yang dikirim Kujibayashi-kun untuk
Kurose-san...”
Sambil
berdiri di depan Kujibayashi-kun, aku mengatakannya dengan perasaan yang sulit.
“Itu
adalah sebuah insiden...”
“...”
Kujibayashi-kun
menampakkan wajah yang sedikit tegang, tapi ia
tetap diam saja. Buku di tangannya pun tertutup dengan
suara cukup kerass.
“Pertama-tama,
aku ingin bertanya, apa itu 'Harry Pocchari'?”
Ketika mendengar
pertanyaanku, Kujibayashi-kun membuka mulut dengan mata yang tertunduk.
“...Aku membutuhkan beberapa hari untuk
menemukan konten yang cukup lucu. Akhirnya aku mendapat ide yang aku percaya
sebagai karya terbaik.”
“Apa-apaan!?
Kamu bukan pembuat kartu pos, tau! Kamu
tidak perlu bersikap aneh seperti
itu saat bertukar pesan LINE dengan gadis.”
“...Tapi
jika dia mau membacanya, aku ingin membuatnya tertawa.”
“...”
Mendengar
niat tulus Kujibayashi-kun, aku jadi tak tahu harus berkata apa.
Aku juga
tahu ekspresi Kurose-san yang terlihat canggung saat menunjukkan percakapan
itu, jadi hatiku terasa sakit.
“...Dan
soal mengirim stiker bertubi-tubi setelahnya, itu juga lumayan agak bagaimana gitu...”
Saat aku
mengatakan itu, Kujibayashi-kun menatapku dengan sedikit kesal.
“Untuk
yang itu, aku hanya
meniru pacarmu.”
“...Ah,
Luna ya.”
Benar
juga, dalam percakapan LINE yang pernah kutunjukkan, Luna sering mengirim stiker
bertubi-tubi saat dia sedang bersemangat.
Dia memang sering menggunakan stiker seperti itu.
Aku
menunjukkan percakapan kami sebenarnya karena aku ingin Kujibayashi-kun melihat
tulisanku yang biasa-biasa saja tapi tidak berbahaya, dan bertanya “Apa ini cukup baik?”. Tapi
mengatakannya membuatku sedih.
“...Yah,
Luna itu perempuan dan dia mahir
bersosialisasi, jadi jika kita amatiran menirunya, bisa-bisa dia malah merasa jengkel.”
Kiriman
stiker Chikyawa yang banyak dari Kujibayashi-kun jelas berbeda dampaknya dengan
kiriman stiker Luna.
“Kurose-san,
kira-kira apa dia bisa
tidur dengan nyenyak semalam...?”
Aku turut
prihatin membayangkan perasaan Kurose-san. Aku hanya memberinya saran yang
malah membuatnya merasa takut pada laki-laki, padahal dia sudah mempunyai traumanya sendiri.
“Lalu,
apa balasan Kurose-san?”
“Tidak
ada. Hanya dibaca saja.”
“Begitu
ya...”
Aku
tersenyum masam, lalu duduk di samping Kujibayashi-kun.
“...Ayo,
buat pesan balasan untuknya. Sebaiknya cepat, sebelum terlambat.”
“...”
“Kali
ini, mari kita pikirkan Bersama-sama denganku. Kamu tidak perlu mengatakannya
langsung, jadi coba kirimkan
dulu padaku apa yang ingin kamu
katakan kepada
Kurose-san.”
“Ehh...”
Untuk
sesaat, Kujibayashi-kun menampilkan ekspresi sangat tidak suka. Tapi kemudian
ia tampak berubah pikiran, memasukkan bukunya ke tas lalu mengeluarkan ponsel
dari saku celananya.
“...Lalu,
bagaimana sebaiknya aku menuangkannya?”
“Ah,
kamu mau mendengarkanku?”
“Sepertinya
aku telah melakukan kesalahan yang besar, jadi jika ada asuransi yang
bisa aku ikuti dari sini, aku ingin mendaftarkannya.”
“Oke.”
Kujibayashi-kun
memang keras kepala soal bidang akademiknya, tapi dia sangat polos tentang
hal-hal lain. Ya, ia memang pria yang sangat murni. Baik dalam arti positif
maupun negatif.
Sejauh
ini, aspek negatifnya memang lebih menonjol, tapi aku berharap sisi positifnya
juga bisa tersampaikan sedikit demi sedikit pada
Kurose-san.
“Hmm,
baiklah...”
Sambil
memikirkan hal itu, aku kembali melihat percakapan penuh kemacetan antara Kujibayashi-kun
dan Kurose-san.
“...”
Aku
bertanya-tanya pada diriku sendiri, apa benar-benar ada asuransi yang bisa
dimasuki Kujibayashi-kun dari sini, sementara ekspresiku menjadi tegang.