Chapter 5
(TN:
Peringatan!! Chapter ini mengandung konten sensitif yang tidak sesuai dengan
anak yang belum dewasa!!)
Pada
malam Natal.
Aku
teringat Malam Natal di masa kelas 2
SMAku saat aku menunggu momen itu bersama Luna
di alun-alun depan Stasiun Yokosuka Chuo.
“Onee-chan,
aku penasaran apa dia akan senang...?”
Aku
meraih tangan Luna yang tampak cemas di sampingku dan mengangguk.
“Jangan
khawatir, semua akan baik-baik saja.”
“Ryuuto..."
Luna membalas genggaman tanganku dengan kuat.
“Terima
kasih. Maaf ya... Aku tuh selalu
melibatkan Ryuuto dalam
masalah keluargaku, ya? ... Saat kelas dua SMA juga.”
“Aku
juga sedang mengingat tentang saat itu.”
Malam
Natal tahun ini jatuh bertepatan pada hari Minggu, sehingga alun-alun depan stasiun dipenuhi
orang-orang menjelang akhir tahun.
Meskipun
bukan hari yang sangat dingin, saat sore tiba, hawa
dingin dari musim dingin begitu
terasa hingga membuat orang-orang berusaha menghangatkan diri
saat berlalu-lalang. Aku dan Luna yang berhenti berdiri saling mendekat, seolah
mencari kehangatan satu sama lain.
Setelah
pukul lima sore, matahari terbenam dan suasana menjadi gelap, lampu hias
dinyalakan.
Sesuai
dengan yang dikatakan Raion-san, di alun-alun depan stasiun terdapat sebuah
pohon setinggi dua atau tiga lantai gedung, yang dihiasi dengan lampu biru
seperti pohon Natal.
Di dekat
situ, pertunjukkan konser jalanan Raion-san
dimulai.
“Silakan
dengarkan, 'Christmas Eve'.”
Pada awalnya,
ia menyanyikan lagu Natal yang terkenal.
Sebagian
besar orang yang lewat tidak memperhatikan, tetapi karena pilihan lagu yang
sesuai dengan musim, ada satu atau dua orang yang berhenti sejenak untuk
mendengarkan.
Meskipun
Raion-san sudah mendapatkan izin penggunaan jalan untuk konser, dia hanya
membawa gitar dan menyanyi, jadi pertunjukkannya
tidak mengganggu lalu lintas.
Luna yang berada di sampingku tampak cemas
sejak tadi. Melihat sikapnya,
aku berpikir bahwa dia sudah tumbuh dewasa.
Malam
Natal saat kelas dua SMA. Luna yang merencanakan makan malam berharap orang
tuanya rujuk, sangat terpukul ketika ayahnya datang bersama Misuzu-san.
Pada hari
itu, sebelum melihat sosok Misuzu-san di restoran, wajah Luna tidak menunjukkan
tanda-tanda kesedihan. Dia mempercayai bahwa acara itu akan berhasil.
Setelah
mengalami kegagalan, Luna kini tahu bahwa ada kalanya harapannya tidak
terwujud.
Namun,
dia tetap berharap dan berdoa. Dengan tangan yang dingin, dia menggenggam
tanganku.
“Terima
kasih banyak... Lagu terakhir adalah lagu
yang aku tulis untuk orang yang paling kucintai.”
Aku
mengamati keramaian di alun-alun. Dan aku melihat sosok Kurose-san dan
perempuan di sebelahnya yang berada beberapa meter dari kami.
Perempuan
itu berdiri disokong Kurose-san, memandang Raion-san dengan ekspresi tidak
percaya.
“Silakan
dengarkan laguku... 'Kucing
Kecil dan Singa'.”
Saat aku mendengarkan melodi intro yang
dimainkan gitarnya, aku
berpikir sudah berapa puluh kali aku mendengar ini.
Aku masih
tidak mempercayai sudah berapa banyak waktu dan upaya yang sudah dicurahkan aku
dan Raion-san selama dua minggu terakhir demi menciptakan lagu
yang hanya dimainkan demi momen
ini.
Meskipun
bagi orang lain itu adalah lagu cinta yang biasa dan umum, aku berharap lagu
ini bisa menyentuh hati
satu-satunya pujaan cinta Raion-san,
yaitu hati si Kitty-san.
Sambil mengharapkan itu, aku mendengarkan melodi
yang sudah sering aku dengar sampai bosan.
Aku ingat
hari pertama kita bertemu
Kamu adalah kucing kecil seberat
tiga apel
Aku
adalah raja hutan yang baik hati
Kita
tertawa dan berkata, 'Ini bukan nama orang, kan?'
Bersyukur
atas keajaiban yang mempertemukan kita di kota ini.
Aku ingat
hari pertama kita bertengkar
Payung
yang kau sayangi
Hilang
setelah hujan reda
Meski aku
membelikan payung pengganti
Kamu menangis dan berkata, 'Aku
tidak mau yang itu.'
Sekarang
aku mengerti perasaan itu
Maafkan
aku saat itu
Karena
aku juga tidak mau jika bukan dirimu.
Cangkir
bergambar bunga
Gantungan
kunci perak
Sepatu
Converse
Semakin
banyak hal yang kita miliki Bersama
Hatiku
pun penuh dengan dirimu
'Kalau
bisa, lebih baik bersama,' katamu
Senyummu
saat membeli masing-masing dua barang tersebut
Selalu
teringat saat aku menutup mata.
Tapi aku pria lemah
Tertekan
dengan diriku yang tidak bisa berubah
Dengan
keinginan yang kuat untuk berubah
Aku
memunggungi senyumanmu
Namun
Seperti yang
diharapkan──
Meskipun kita terpisah, aku tetap tidak bisa berbuat apa-apa
Aku menyukaimu.
Aku lahir
untuk melindungimu
Walaupun aku
belum bisa mengatakannya
Tapi aku
yakin bisa terus berada
di sampingmu sampai membuatmu terkejut
Wajah
tidur kecilmu yang seperti kucing
itu
Aku akan melindunginya dengan hati singa yang penakut
Mulai
sekarang, aku tidak akan pernah melepaskanmu.
Setelah lagu selesai, aku mendengar tepuk tangan yang cukup meriah.
Saat aku melihat Luna di sampingku sepanjang lagu, dia mengalirkan air matanya.
Si Onee-san
yang disokong Kurose-san juga menutupi wajahnya dengan kedua tangan sambil
menangis.
Raion-san
kemudian berkata kepadanya.
“Kitty-chan.”
Setelah
menyimpan gitarnya di dalam tas, Raion-san berjalan mendekatinya.
“Maafkan
aku karena tiba-tiba pergi meninggalkanmu.
Sejak saat itu, aku bekerja di restoran
pamanku selama tiga bulan... dengan uang yang aku dapat, aku membeli ini.”
Setelah
berkata demikian, Raion-san mengeluarkan sebuah kotak kecil dari saku mantel
dan berlutut di depan kakak itu sambil membuka tutupnya.
“Maukah kamu menikah denganku?”
Aku tidak
bisa melihatnya dengan jelas dari jarak tempat kami, tapi
pasti ada cincin di dalamnya.
Dengan
perkembangan dramatis yang tiba-tiba ini menyebabkan
lebih banyak orang berhenti dan memperhatikan keduanya dibandingkan saat pertunjukkan musik tadi.
Onee-san
menatap Raion-san sambil membiarkan air matanya terus
mengalir.
“……Ya……!”
Dia
mengangguk dengan kuat dan penuh emosi.
◇◇◇◇
Setelah
itu, kami... Onee-san,
Raion-san, Kurose-san, Luna, dan
aku, berpindah ke rumah Onee-san.
Duduk di meja di depan TV di ruang apartemen kecil, Onee-san menyampaikan perasaannya selama
tiga bulan kepada Raion-san.
“Aku
sama sekali tidak mengerti apa yang dipikirkan Rai-kun, bahkan saat kita bersama...
Seharusnya kamu bilang saja semuanya... Betapa sedihnya
aku..."
“......Maafkan
aku.”
Raion-san
mengernyitkan keningnya dan
membuka mulutnya dengan canggung.
“Saat
Kitty-chan melihat media sosial
dan mengatakan sesuatu seperti, 'Si itu akan menikah,'
rasanya itu terdengar seperti tekanan
bagiku... Aku merasa kalau aku
harus melakukan sesuatu, dan hatiku selalu gelisah... Kitty-chan adalah kakak perempuan yang baik dan mendukungku,
melakukan semua hal untukku... Aku merasa jika aku tetap di sini, aku akan
hancur, jadi kupikir satu-satunya pilihan adalah pergi.”
Ketika mendengar
penjelasan Raion-san, Onee-san mulai terisak.
“Tapi,
mulai sekarang, kita akan bersama selamanya.”
Si Onee-san
mengangkat wajahnya saat mendengar kata-kata Raion-san.
Di jari
manis tangan kirinya, terlihat berkilau cincin yang baru saja diberikan Raion-san.
“Benarkah...?
Kamu beneran berniat begitu?”
“Iya, aku
serius.”
Raion-san
berkata dengan tegas, dan air mata Onee-san akhirnya berhenti, wajahnya
dipenuhi dengan ekspresi bahagia.
“Aku sangat
mencintaimu, Rai-kun!”
“Wah!”
Onee-san
memeluk Raion-san, menempelkan dadanya yang empuk pada Raion-san, membuatnya
bingung dan memperhatikan kami.
“K-Kitty-chan!?
Karena ini di depan banyak orang, jadi tolong …”
“Tidak mau!
Aku tidak akan berhenti! Kapan kita akan menikah!?”
Begitu dia
berkata demikian, Onee-san menjauhkan tubuhnya dari Raion-san dan menatapnya
dengan mata yang berbinar-binar.
“Eh?”
Sementara Raion-san
terlihat bingung, kakak perempuan itu menepuk kedua tangannya.
“Oh ya! Aku
harus segera memberi tahu ayah dan ibuku!”
Dengan
berkata begitu, Onee-san mengambil tasnya dan berdiri.
Eh,
sekarang!?”
Luna yang
terkejut langsung berkomentar.
“Iya!
Hal-hal seperti ini lebih baik dilakukan dengan cepat!”
“Kalau kita
pergi sekarang, mungkin kita tidak bisa pulang lagi!?”
“Duhh, tidak
masalah, kita bisa menginap di suatu tempat, ‘kan! Lagipula, hari ini adalah
malam Natal, oke?”
“K-Kitty-chan,
serius!? Aku berpakaian seperti ini!?”
Raion-san
juga mulai panik melihat pakaiannya yang santai.
“Tidak
masalah, tidak masalah! Ini tentang orang tuaku, loh? Mereka tidak akan
mempermasalahkan hal-hal seperti itu!”
Melihat
penampilan Onee-san yang modis, kata-katanya tampak memiliki daya tarik yang
misterius.
Dengan
demikian, Onee-san dan Raion-san mulai bergegas untuk bersiap-siap keluar dari
rumah.
“Sampai
jumpa, terima kasih semuanya! Kami akan bahagia~♡!”
“Terima
kasih banyak, semuanya!”
Si Onee-san
melambaikan tangannya dengan aura bahagia, sementara Raion-san terus
membungkukkan badan sampai pintu tertutup.
“…Kira-kira…
apa mereka bakal baik-baik saja enggak, ya…”
Luna
bergumam dengan tatapan khawatir, dan aku tersenyum lembut untuk
menenangkannya.
“Tidak
apa-apa, mereka pasti akan baik-baik saja.”
Meskipun
tidak ada alasan yang jelas, aku merasa begitu.
Kitty-san adalah
orang yang perhatian, penuh kasih sayang, dan ekspresif sangat feminin dan
menarik, tetapi ada sisi yang sedikit kekanak-kanakan dan impulsif, membuatnya
tampak berisiko. Sementara itu, Raion-san yang tampaknya seperti anak muda yang
lembek ternyata memiliki hati yang tulus dan murni, serta pandangan objektif
yang memungkinkannya untuk berpikir jauh ke depan dan bertindak.
Mereka
berdua sangat serasi satu sama lain. Di masa depan, mereka pasti akan saling
mendukung dalam menjalani kehidupan.
Setelah Raion-san
mulai bekerja dan mendapatkan kepercayaan diri sebagai pria, ia pasti akan
melindungi Onee-san yang lembut seperti kucing kecil dengan hati yang lembut
seperti singa.
Sambil
memikirkan hal itu dengan perasaan terharu, pintu yang sudah tertutup terbuka
kembali, dan hanya Raion-san yang kembali.
“Apa ada
yang ketinggalan?”
Saat Luna
bertanya demikian, Raion-san menjawab dengan tidak jelas, “Tidak… ah, iya,” dan
kemudian duduk di depanku dengan sikap formal.
“Ryuuto-san.”
“Ya.”
“Aku sangat berterima
kasih banyak padamu!”
Raion-san
menundukkan kepala seperti sedang bersujud, dan aku merasa panik, spontan
mengangkat kepalanya.
“Eh, tolong
jangan seperti itu.”
Raion-san
meraih kedua tanganku dan mengangkat kepalanya, ia
menatapku dengan mata basah yang
hampir meneteskan air mata.
“Aku
tidak bisa menyelesaikan lagu itu sendirian. Semuanya berkat Ryuuto-san. Aku yakin Ryuto-san akan
menjadi editor yang hebat.”
“Raion-san…”
Di sisi lain,
aku merasa terharu dan tidak bisa menemukan kata-kata.
“Aku minta
maaf karena terlalu banyak menghabiskan uang untuk membeli cincin… jadi aku tidak bisa memberi apa-apa
sebagai ucapan terima kasih. Seharusnya aku menyisakannya sedikit.”
“Tidak
apa-apa, itu tidak masalah.”
Aku
menggenggam tangannya kembali dan menjawab dengan tegas.
“Hanya
dengan mendengar Raion-san mengatakan itu, aku merasa senang telah bekerja sama denganmu.”
Raion-san
menundukkan kepala sekali lagi dalam diam, lalu berdiri.
“Aku
benar-benar sangat berterima kasih.”
Setelah
mengucapkan kalimat itu, Raion-san akhirnya meninggalkan
ruangan.
“…………”
Setelah
kedua orang itu pergi, rasanya ruangan ini menjadi sedikit
lebih luas.
“…Kalau
begitu, aku juga pulang ya.”
Kurose-san
mengambil mantel dan tasnya, berdiri dari tempat tidur yang didudukinya.
“Aku
sudah ada janji untuk makan malam dengan
teman kuliah di Yokohama jam tujuh nanti.”
“Eh,
dengan cowok!?”
Kurose-san
hanya tersenyum kecut mendengar ucapan Luna
yang bersemangat.
“Tentu
saja dengan cewek. Siapa juga yang
mengajakku di hari seperti ini.”
Usai berkata
demikian, dia dengan tenang bersiap-siap dan pergi.
Luna dan
aku, yang masih
tertinggal, saling memandang di ruang apartemen kecil. Waktu menunjukkan sudah lebih dari jam enam.
“…Apa yang harus kita lakukan? Bagaiaman kalau makan… aku
mulai lapar nih.”
“Kalau
dipikir-pikir, kita belum memikirkan apa-apa, ya…”
Sebenarnya,
karena aku tidak tahu bagaimana kelanjutan antara Onee-san dan Raion-san, aku tidak bisa
merencanakan apa-apa setelahnya. Kurose-san yang sudah merencanakan dengan baik
memang pintar.
“Kita
bisa pergi makan di luar, tapi kalau kita cari restoran sekarang, mereka pasti sudah penuh dengan pemesanan.”
“Iya,
lagipula hari ini malam Natal…”
“Kalau
begitu, bagaimana kalau kita masak di sini? Mau bikin sesuatu?”
“Eh?
Ah… boleh? Terima kasih.”
Aku jauh
lebih senang dengan masakan rumahan Luna
daripada menyantap makanan di restoran yang penuh dengan pasangan sambil
memperhatikan orang-orang di sekitarku.
“Oke,
aku akan memasaknya.”
Luna
mengenakan celemek yang
sepertinya milik kakak perempuannya
dan membuka kulkas.
“Ada
telur dan… sosis. Ada nasi kemasan… hmm…”
Setelah
bergumam sebentar, Luna menatapku.
“Ryuuto, kamu lebih suka yang mana, nasi goreng
atau omurice?”
“Eh?
Kalau begitu, nasi goreng saja.”
“Kamu yakin?
Bukannya yang omurice lebih terasa seperti Natal, ‘kan?”
“Ya,
mungkin begitu.”
Aku hanya
ingin naso goreng karena itulah yang aku inginkan. Mungkin hanya
aku yang seperti itu. Mungkin ingatan tentang nasi
goreng enak yang dimakan Icchi sebelumnya masih
terbayang di kepalaku.
“Kalau
itu memang yang kamu mau, aku akan memasakkan nasi goreng.”
Luna
tersenyum dan kembali melihat ke dalam kulkas.
“Oh,
horee! Di freezer ada daun bawang
cincang! Tentu saja nasi goreng
adalah pilihan terbaik ♡!”
Dengan
begitu, menu hidangan makan malam Natal kami
adalah nasi goreng.
◇◇◇◇
Dua
piring nasi goreng yang diletakkan di meja kecil
itu ternyata adalah piring berpasangan
dengan warna yang berbeda. Telur yang sedikit kecokelatan menempel pada nasi,
terlihat lezat dan menggugah selera.
“Mau
minum alkohol? Karena ini punya Onee-chan,
jadi cuma ini yang bisa kita dapatkan.”
Sembari
mengatakan itu, Luna
mengeluarkan minuman chuhai dari kulkas dan memperlihatkannya.
“Tidak,
terima kasih. Kira-kira ada teh
oolong enggak?”
Aku merasa
takut setelah melihat kakak perempuannya
yang meminum dengan cepat dan menjadi mabuk.
“Ada
botol teh hijau sih, tapi itu tidak dingin.”
“Tidak
apa-apa. Lagipula ini musim dingin.”
Dengan
begitu, aku sangat bersyukur menikmati makan malam yang agak tidak biasa ini.
“Selamat
makan… hmm, rasanya enak.”
“Syukurlah!
Rasanya tidak terlalu kuat, kan?"
“Iya, sudah pas, kok.”
“Begitu?
Aku akan mengingatnya!”
Usai
mengatakan itu, Luna
membawa sendok berwarna berbeda ke mulutnya.
Kami
berdua berada di dalam ruangan apartemen
kecil.
Ruangan
ini adalah tempat tinggal kakak perempuannya
bersama Raion-san,
sehingga terasa sangat hidup, seolah-olah aku tinggal bersama Luna…
Mau tak mau
aku jadi
dibuat menyadarinya.
Aku
gelisah dan tidak bisa berkonsentrasi pada apapun.
Kerinduan
yang dimulai dari malam di Okinawa semakin membesar menjadi keinginan yang lain
seiring dengan terpenuhinya rasa laparku.
“…Terima
kasih untuk makannya.”
Saat aku
meletakkan sendokku, Luna tampak
terkejut.
“Eh,
sudah selesai? Apa porsinya terlalu sedikit?”
“Tidak kok, tapi rasanya enak sekali.”
“Eh,
senangnya♡”
Luna
tersenyum gembira mendengar kata-kataku.
“Ryuuto.”
Saat aku
mendengar namaku dipanggil dan melihat ke samping, sendok berwarna berbeda
sudah berada di dekat mulutku.
“Aahn~♡”
Menuruti
permintaan Luna, aku membuka mulutku.
Sendok
itu menyentuh gigi dan seketika, entah kenapa,
bagian dalam hidungku terasa perih.
Aku
merasa Bahagia.
Hanya
dengan ini saja sudah
cukup untuk membuatku bahagia… tapi aku semakin menginginkan kebahagiaan yang
lebih dalam.
Aku tidak
ingin menyakiti Luna.
Aku ingin
membuatnya bahagia.
Namun,
rasanya sangat menyakitkan sampai-sampai aku tidak
bisa menahannya lagi.
“…Eh!?
Ada apa, Ryuuto…?”
Luna
terlihat terkejut.
Saat dia
melihatku tiba-tiba mulai menangis tanpa mengeluarkan suara, dia sepertinya
tidak bisa menyembunyikan ekspresi bingungnya.
Bahkan
aku sendiri tidak tahu kenapa aku menangis.
“Luna…”
Sayangnya, aku masih belum menjadi apapun.
Luna masih melangkah lebih maju dariku. Hal
itu masih belum berubah dari dulu.
Tapi
saat ini, aku merasa seperti sedang meraih sesuatu dengan tanganku.
Itu
adalah sesuatu yang kupelajari dari Raion-san dan Kujibayashi-kun. Sikap Kurose-san, punggung
Fujinami-san, dan juga pelajaran dari Kamonohashi-sensei.
Dengan
mengandalkan perasaan itu, aku ingin melangkah ke depan.
Aku pasti
akan menjadi pria yang membuat Luna
bahagia.
Oleh karena
itu, aku ingin mengatakannya.
Saat aku
berpikir seperti itu, air mata yang meluap pun keluar.
── Kebahagiaan
bukanlah sesuatu
yang harus diusahakan oleh salah satu pihak... Tapi sesuatu yang akan muncul
ketika kalian berdua saling berjalan bersama.
──Aku sudah memutuskannya. Karena kita sudah berpacaran. Bukannya itu aneh kalau hanya
aku yang terus menanggungnya,
‘kan?
Aku
merasa seolah-olah perkataan
kakak perempuan Luna dan Nisshi mendorongku dengan lembut, dan
aku pun membuka mulutku.
“……Aku
ingin menjadi editor.”
Itu
bukanlah kesadaran yang mengejutkan seperti disambar petir, melainkan perasaan
yang perlahan muncul saat aku memberikan saran melalui LINE kepada Kujibayashi-kum dan memikirkan lirik bersama Raion-san.
“Aku
akan terus berusaha untuk mewujudkannya. Aku akan mulai berpikir lebih spesifik
tentang apa yang harus kulakukan
ke depannya…”
Luna terus
mendengarkanku dengan tenang dan menatapku dengan serius.
“Tentu
saja, aku juga memikirkan masa depan, dan aku tahu sekarang adalah saat yang
tepat untuk membangun landasan supaya kita selalu bersama… Jika ada
sesuatu yang terjadi, aku sudah siap untuk mengambil tanggung jawab sepenuh
hati seperti Icchi… meskipun begitu…”
Tanpa
bisa melihat wajah Luna, aku
menatap sepiring nasi goreng yang sudah selesai aku makan.
“Karena
aku benar-benar mencintaimu, Luna…”
Aku
merasa perlu melihatnya, jadi aku berusaha menatap wajah Luna.
“Aku
ingin melakukan s*ks denganmu…”
Aku
mengeluarkan perasaanku dari dalam tenggorokanku.
“Maaf,
aku sudah tidak bisa menahan diri lagi…”
Luna
menatap wajahku dengan penuh perhatian, pandangan matanya
tampak basah.
“Ryuuto…”
Dia berbisik
pelan, seolah-olah emosi yang tak tertahankan keluar begitu
saja.
“Aku
senang…”
Sembari menutup
mulutnya, Luna menunduk
dan berkata demikian.
Itu
adalah kata-kata yang mengejutkanku.
“Ryuuto mau
mengatakan hal seperti itu… rasanya seperti mimpi…”
“Eh…?”
Aku
menatap Luna dengan penuh rasa penasaran.
“Tapi
Luna,
bukannya kamu pernah bilang 'setelah sampai sejauh
ini, mungkin menikah lebih dulu juga bisa jadi pilihan', ‘kan…?”
“Secara
rasional, aku memang berpikir
begitu. Tapi… aku juga ingin bersatu dengan Ryuuto
sejak lama, dan yang terpenting…”
Dia lalu berkata sambil memerah malu.
“Aku
ingin Ryuuto
duluan yang menginginkanku. Baik saat akhir kelas 2 SMA, maupun saat di Okinawa, aku
selalu merasa seperti akulah yang
memintanya duluan… sebagai seorang gadis, itu
sedikit memalukan.”
“Luna…”
Aku tidak pernah menyangka dia akan berpikir seperti itu.
Alasanku kenapa aku tidak pernah mengajak Luna duluan adalah karena pada hari
kita mulai berpacaran, aku berjanji untuk 'menunggu sampai Luna sendiri yang menginginkannya.'
Saat
akhir kelas 2 SMA, ketika Luna memberitahuku bahwa dia 'ingin melakukannya,'
ada banyak hal terjadi dan aku
melewatkan kesempatan pertama.
Setelah
itu, aku mulai belajar untuk ujian universitas,
dan setelah itu, adik kembar Luna
lahir, dan kegiatan sehari-hari kita pun saling berseberangan.
“Aku
selalu… aku selalu ingin melakukannya. Sejak bulan Juni semasa kelas 2 SMA dulu, ketika Luna pertama kali mengundangku ke
rumah dan berkata, 'Mau mandi dulu?' sejak saat itu, aku selalu ingin melakukannya.”
Aku
menggenggam dengan kuat tangan Luna
yang terlepas dari mulutnya.
Tangan
itu terasa hangat.
“Aku
sudah menahan diri. Sebenarnya, aku sangat
ngebet… Setiap hari aku membayangkan memeluk Luna.”
Luna
menatapku dengan matanya bergetar, terlihat senang dan malu.
“Setiap kali kita berduaan, aku selalu menahan diri. Malam
di Enoshima benar-benar menyakitkan…
bahkan saat malam Natal semasa kelas 2 SMA,
jika Luna tidak demam, aku rasa aku tidak
akan bisa menahan diri… malam perjalanan sekolah, saat hanami, aku selalu berada di ambang batas.”
“Ryuuto…”
Akhirnya,
Luna meneteskan air mata dan
menggenggam tanganku dengan kuat.
“Aku
senang. Aku merasa sangat senang…”
Setelah
mengatakan itu, Luna
melepaskan genggamannya dan
memelukku.
“Ryuuto…”
Seolah-olah pelukan yang hanya menyentuh
dada kami saha tidak cukup, Luna membuka
celemeknya dan duduk di pangkuanku.
Napas
hangat Luna menyentuh leherku.
“Aku bisa
mencium aroma Ryuuto...”
Suara
dengusan
Luna menggelitik bulu-bulu
di leherku.
“Luna...”
Sambil
tertawa, aku menguatkan pelukanku di punggungnya.
“Ugh, rassanya sesak...”
Luna
mengeluarkan suara erangan seperti
mengeluh, dan aku segera melonggarkan pelukanku.
“Wah,
maaf...”
Apa dia
berpikir aku tidak tahu cara memeluk seorang gadis, dan menganggapku masih
perjaka... saat aku terjebak dalam pikiran paranoid itu.
“Tidak.”
Luna
memelukku dengan erat.
“Aku
ingin merasa lebih sesak.”
Ketika dia
mengatakan itu, dan meskipun dia berpikir dia memberikan kekuatan penuh,
pelukan lembutnya hanya terasa menyenangkan.
“Luna...”
Aku juga
memeluknya kembali lebih erat kali ini.
Dada kami saling menempel, dan payudara lembut Luna memantul
di antara kami seperti
bantal.
Ketika aku mengerahkan lebih banyak kekuatan, payudaranya yang kenyal itu terjepit
dan aku bisa merasakan tulang rusuk bagian
bawah kami saling bersentuhan.
Saat aku
sedikit melonggarkan cengkeramanku, payudara Luna segera mendapatkan kembali kekenyalannya dan menjauh dari kulitku. Merasa terpikat
oleh sensasi lembut dadanya, aku memeluknya erat-erat dan melonggarkan cengkeramanku berulang kali.
“Ryuuto……”
Nafas Luna
di leherku semakin panas. Tarikan nafasnya semakin lama menjadi semakin dangkal.
“Luna…”
Kami
memisahkan tubuh kami dan saling menatap dalam jarak dekat, dan bibir kami
bersentuhan seolah-olah kami saling menghisap.
Saat kami
berulang kali berciuman dengan canggung seperti perangko, Luna mendekatkan
mulutnya ke telingaku.
“Buka
mulutmu...”
Ketika dia
membisikkan hal itu padaku, telingaku terasa seperti terbakar.
Kupikir
aku pasti memiliki wajah yang bodoh, tapi raut wajah
Luna saat dia mendekatiku dengan bibirnya yang
setengah terbuka merupakan pemandangan paling seksi yang pernah kulihat.
Aku
berharap cuma aku
satu-satunya orang di dunia ini yang mengetahui ekspresi Luna seperti ini.
Lidah Luna
bergerak di dalam mulutku. Saat aku mencoba yang terbaik untuk mengimbangi lidahnya, Luna
dengan lembut menarik wajahnya dan mendekatkan mulutnya ke telingaku lagi.
“Kendurkan
tenagamu...”
Ketika
aku melakukan apa yang diperintahkan, aku dimabukkan oleh perasaan lidah yang
panas dan basah menari-nari di dalam mulutku
seolah-olah saling melebur menjadi satu.
Rasanya
begitu nikmat.
Aku ingin
merasakan Luna lebih banyak lagi.
Pantat Luna semakin panas di pahaku. Pinggulnya bergerak-gerak seakan-akan
menggesek-gesekkan bagian itu ke selangkanganku.
“Luna…”
Aku
semakin terangsang sampai-sampai membuatku
hampir menjadi gila dan memasukkan
tanganku ke dalam
kerah gaunnya.
Hari ini, Luna memakai
gaun rajutan model one-piece berwarna
putih dengan bukaan besar berbentuk
V di bagian dadanya. Bagian
dada dan belahan dadanya terbuka seluruhnya, dan aku bisa melihat pakaian dalam
yang dia kenakan di baliknya, yang menurutku adalah kamisol.
Luna
tertawa ketika aku mencoba
melepaskan kerah gaun rajutan itu
dari bahunya, yang hanya berhenti di
tulang bahunya .
“Ini
akan melar, jadi bisakah kamu melepaskannya ke
atas?”
“Eh, ah,
maaf…!”
Pastinya,
jika direntangkan, kerahnya tidak akan berhenti di bahu. Aku merasa malu karena terlalu mementingkan diriku
sendiri sehingga aku bahkan tidak menyadarinya, atau karena aku tidak punya
banyak pengalaman dalam menanggalkan pakaian gadis.
Gaun
rajutan itu panjangnya kira-kira
sekitar paha, dan saat dia bergerak mengangkangiku,
sebagian besar paha Luna sudah hampir terlihat jelas.
Ketika
dia menarik ujungnya untuk memperlihatkan celana dalam
putihnya, aku merasa sangat terangsang sampai-sampai aku mengira kalau pinggulku terbakar, padahal ini
bukan pertama kalinya aku melihat penampilannya yang mengenakan celana dalam saja.
Sembari mengenakan
celana dalam putih dan kamisol hitam, Luna
memelukku dengan lembut, menghalangi pandanganku.
“Aku
akan melepas pakaianmu juga ya, Ryuuto.”
Sambil
berbisik di telingaku, Luna
menyelipkan tangannya di antara sweter dan celana dalamku.
Ketika dia menanggalkan
baju bagian atasku,
aku tiba-tiba menyadarinya.
“Ah,
apa aku perlu.... mandi dulu?”
Saat aku
menanyakan pertanyaan itu, Luna memiringkan kepalanya dan menatapku dengan senyuman menggoda.
“...Kamu sendiri inginnya gimana, Ryuuto?”
Bibirnya
yang selalu berwarna cerah,
kini berubah menjadi warna pink lembut setelah ciuman panjang itu menghilangkan
riasannya . Menurutku, garis-garis kabur dari bibirnya yang lembut dan basah itu sangat menggoda.
“Kita
tidak ada pelajaran olahraga hari ini, jadi
menurutku kamu tidak berbau keringat.”
Setelah mengatakan
itu, Luna tersenyum main-main namun provokatif.
Kemudian,
aku jadi teringat kalimat yang pernah kudengar di kamarnya empat
setengah tahun lalu.
──Apa kamu tidak perlu mandi dulu, Ryuuto?
──Hari ini ada pelajaran olahraga dan mungkin
aku sedikit berkeringat, jadi rasanya sedikit memalukan...
Sambil
mengatakan itu, pemandangan dia yang melepas
pita seragamnya dan menyentuh kancingnya, begitu
mengejutkanku waktu itu sehingga kenangan tersebut masih sangat membekas dalam pikiranku.
Tapi kupikir mungkin itu adalah pengalaman
istimewa bagi diriku sendiri.
Namun
ternyata, Luna juga masih mengingat dengan apa yang dia katakan saat itu. Aku merasa senang tentang hal itu.
“…Aku
ingin tetap melakukannya seperti
ini.”
Luna
menertawakanku saat aku menjawab dengan tergesa-gesa.
“Oke~♡”
Kedua
lengannya yang lentur dan lembut melingkari leherku seperti ular.
Namun pda saat
itu, dia dengan cepat bergerak menjauh.
“Aku
akan mengunci pintunya sebentar.”
Setelah
mengatakan itu, Luna bangkit dan pergi menuju pintu. Setelah suara kunci
diputar, aku juga
mendengar suara deruan rantai
yang dipasang.
“...Sekarang,
biarpun Onee-chan berubah pikiran dan kembali,
mereka tidak akan bisa masuk!”
Ketika Luna
kembali padaku, dia tertawa dan naik ke pangkuanku lagi.
“Hmm~mm...”
Dia tertawa
geli saat aku membenamkan wajahku di dada kamisolnya.
“Ryuuto, kamu imut banget seperti
bayi~♡”
Ketika
aku terus-menerus menempelkan wajahku ke dalam belahan
payudaranya, Luna tertawa dan memeluk kepalaku.
“Tolong
dilepas dengan benar, ya.”
Luna
berkata sambil terkikik seolah-olah
dia merasa geli.
“U-Umm……”
Aku menarik
kamisolnya ke atas dengan ujung jariku yang lamban.
Bra putih
yang serasi dengan celana dalamnya muncul dari baliknya. Penampilannya yang hanya
dibalut pakaian dalam berwarna putih sama bermartabatnya dengan dewi dari
mitologi Yunani.
Aku
melingkarkan tanganku ke belakang punggungnya dan mencoba melepas
bra yang menopang kedua tonjolan bulatnya.
“…Hm?”
Aku
mencoba melepaskan kaitannya dengan mengandalkan sensasi
di tanganku, tapi itu tidak berhasil dengan baik.
“L-Loh?”
Rasanya memalukan
jika ketahukan kalau aku tidak
terbiasa dengan hal ini...Aku mulai merasa sangat cemas hingga ujung
jariku menjadi kusut.
“Ufufu”
Luna
tertawa, mengangkat pinggulnya, dan membalikkan badannya ke arahku.
“Ini~♡”
Punggungnya yang cantik dan ramping yang
meruncing hingga ke pinggang. Sembari mengaguminya,
aku berhassil melepas kaitan bra nya dengan aman.
“...Luna?”
Saat aku
memanggilnya, yang masih tidak
melihat ke arahku setelah beberapa lama,
Luna hanya memalingkan wajahnya ke arahku,
“Aku malu...”
Katanya
dengan rona merah menghiasi pipinya.
Gerakan
itu menyulutkan nafsuku,
dan aku menyelinap ke depannya.
Dia mengangkat
bra-nya, yang telah terlepas dari pengait dan tali bahunya, dengan kedua
tangannya, dan terkekeh Ketika pandangan
matanya bertemu dengan mataku.
“...Sebenarnya,
aku seharusnya menunjukkannya padamu empat setengah tahun yang lalu.”
Dia
tersenyum malu-malu dan berkata begitu.
“Jika
hal ini terjadi pada waktu itu, aku mungkin takkan merasa malu sama sekali.”
“...Kenapa
kamu begitu malu sekarang?”
Luna
tersenyum dan menjawab kata-kataku yang
melontarkan pertanyaan setengah polos.
“...Itu
karena, aku benar-benar jatuh cinta
padamu.”
Luna
tersenyum penuh cinta dan
memeluk leherku dengan manis.
Luna
dengan lembut mendorong bra yang jatuh ke pangkuannya ke samping dengan
tangannya.
Payudara Luna
yang juga telanjang bulat,
menempel di dadaku yang telanjang,
seolah menghisapnya dengan lembut.
Aku tak
pernah menyangka di dunia ini ada
perasaan yang menyenangkan semacam ini.
“Ryuuto~...”
Suara
manis Luna seakan-akan meleleh
di telingaku.
Setiap
sudut hati dan otakku
dipenuhi dengan keberadaan Luna.
Semua
momen yang kulalui bersama Luna selama
ini dikenang dengan penuh kasih sayang.
Jika aku
menerima ajakan Luna untuk berhubungan badan
di kamarnya ketika aku pertama kali
mengunjunginya semasa kelas 2 SMA-ku dulu, aku yakin kalau aku takkan mampu mencapai perasaan
memuaskan ini.
Karena
merasa tidak cukup kalau hanya dada kami saja yang saling bersentuhan, jadi aku
menyentuh payudara Luna
dengan tanganku sendiri.
“Ehm~mm...”
Luna memejamkan matanya dan mengeluarkan suara erangan menggoda.
Aku
menelusuri bagian tengahnya dengan ibu jariku, merasakan tonjolan berat itu
dengan satu tangan.
“Auh……”
Sembari melengkungkan
punggungnya, Luna mengeluarkan suara merintih dan menggerakkan pinggulnya.
Bokong Luna
yang hangat dan lembab terasa nyaman di atas
pen*sku yang keras.
“Ryuuto……”
Luna
meraih ritsleting celanaku.
“Ryuuto juga, ayo dilepas.”
Dengan napas
yang terengah-engah, dia menurunkan ritsletingku. Aku lalu melepas celanaku sendiri.
“Lepaskan
yang ini juga.”
Luna
meletakkan tangannya di kancutku,
meskipun dia sendiri masih memakai celana
dalamnya.
Dan
selangkah di depan Luna, aku harus memperlihatkan tubuh
telanjangku di bawah
lampu neon.
“...Lu-Luna. Bisakah kamu tidak terlalu
sering melihatnya...?”
Luna
menatapku dengan serius, jadi aku merasa malu dan menyembunyikannya dengan
tanganku.
Luna
menatapku yang seperti itu dengan
senyum menawan.
“Kalau aku tidak melihatnya, aku tidak bisa membelainya, ‘kan?”
Membelainya...
jadi dia mau membelainya, ya... Aku merasa sangat malu... Aku memang malu tapi itu membuatku semakin terangsang.
...Tapi
itu tetap saja memalukan.
Aku yakin
Luna tahu tentang juniornya para pria.... jadi aku menunduk karena merasa malu, dan Luna
mendekatkan mulutnya di dekat telingaku.
“...Itu
adalah hal paling gagah yang pernah kulihat~♡”
Itulah
yang dia bisikkan padaku.
“Luna…”
Perasaan
batinku terasa puas
dan tubuhku terangsang.
“Tunggu
sebentar, Luna...”
Saat aku
hendak mengangkat pinggulku untuk menyiapkan alat kontrasepsi,
“Ya, yang satu ini, ‘kan?”
Dan
kemudian, Luna menyerahkannya padaku.
“...Eh,
apa kamu sudah menyiapkannya juga, Luna?”
Aku tahu kalau itu milik Luna karena jenisnya berbeda dengan yang selalu
kubawa.
Luna lalu tersenyum lembut.
“Aku
sudah menyiapkannya sejak lama. Untuk berjaga-jaga jika kamu mengajakku untuk melakukannya
kapan saja.”
“Luna…”
“Ah, tapi
tunggu sebentar.”
Saat dia mengatakan itu, Luna tersenyum
penuh arti.
“...Apa kamu mau menikmati hasil latihanku yang tidak bisa aku lakukan tempo hari di Okinawa?”
Setelah mengatakan
itu, Luna meletakkan satu sisi rambutnya ke belakang telinga dan membenamkan
wajahnya di antara selangkanganku.
◇◇◇◇
Kenikmatan
mempesona yang kurasakan di dalam tubuh Luna jauh melebihi ratusan atau
ribuan kali lipat fantasiku sebelumnya.
Luna
membelaiku seolah-olah dia sedang membelai anak
kesayangannya sendiri, dan aku berkali-kali
menyelesaikannya di dalam dirinya.
Sejujurnya,
aku tidak yakin apakah aku bisa memuaskannya.
Meski
begitu, dia terlihat merasa nikmat sepanjang waktu dan terus-menerus mengeluarkan suara erangan yang merdu. Air mancur,
yang meluap dengan aliran nektar yang tak ada habisnya, tidak pernah
kering sampai akhir.
Pemandangan Luna yang telanjang benar-benar cantik.
Tubuhnya yang menggambarkan lengkungan
halus seperti lukisan Venus itu, di mana pun terlihat lembut, dan kulitnya
halus serta segar seolah bisa menarik perhatian.
Tentu
saja, aku sudah mengetahui sebagian dari itu.
Namun,
pada malam natal, empat setengah tahun telah berlalu sejak
hari itu... Hari dimana
aku mengungkapkan perasaanku
dan dia mengajakku ke dalam rumahnya yang sepi.
Tanpa
diduga, di dalam ruangan apartemen
kecil tempat tinggal kakak perempuannya.
Untuk
pertama kalinya, aku akhirnya
mengetahui segalanya tentang Luna.
◇◇◇◇
Setelah selesai bermain-main, kami berdua masuk
ke dalam bak mandi bersama.
Dengan mengisi air panas di unit kamar mandi yang sempit, tidak ada ruang untuk
berdiri secara vertikal, jadi kami berbaris secara horizontal, bersandar pada pinggiran bak mandi.
“Lucu sekali, kita
hampir keluar dari bak”
Luna
tertawa ketika menyadari
kalau tubuh bagian bawah kami saja yang terendam di dalam bak mandi.
Rambut
panjangnya yang sudah dicuci diikat dengan penjepit rambut, dan rambut bagian belakangnya yang basah
menempel di leher putihnya, wajahnya yang tanpa riasan terlihat sangat
menggemaskan.
“Rasanya
seperti dalam posisi penguburan berjongkok, ya.”
“Apa
itu?”
“Penguburan berjongkok, kamu
tidak tahu?”
“Memangnya
itu apaan?”
“Itu
adalah cara penguburan kuno. Bukannya itu pernah
dibahas di dalam
pelajaran sejarah?”
“Uwahhh,
lulusan perguruan tinggi sedang mengejekku!
Kusso~~!”
“Ahaha.
Lagian, aku masih belum lulus, sih.”
“...Tapi,
setidaknya kamu sudah
lulus dalam satu hal, ‘kan?”
Luna
menatapku dengan seringai nakal
sekaligus menggoda, dan aku memalingkan wajahku dengan malu karena saking bahagianya.
“...Iya,
benar.”
“Ahaha.
Kenapa kamu berbicara seperti itu? Sama seperti
aku saja.”
“Eh?
Apa-apaan itu maksudnya?”
“Kadang-kadang
aku melakukannya. Seperti dengan Nikoru.”
“Oh,
mungkin karena itu.”
“Hah?”
“Itu karena
pengaruhmu, Luna.”
Aku mulai
memahaminya sendiri dan menjelaskannya kepada Luna,
yang memasang ekspresi bingung
di wajahnya.
“Kalimat
dan cara berbicara kita tuh biasanya mirip dengan orang-orang terdekat kita, ‘kan?”
“Begitu
ya~”
Luna juga
ikut mengangguk seolah mengerti.
“Kita berdua jadi semakin mirip, ya.”
“Kedepannya
kita akan semakin mirip.”
Aku
menimpali perkataannya.
“Karena kita
berdua akan selalu bersama.”
Aku
merasa kalau aku telah mengatakan sesuatu
yang agak norak, jadi aku khawatir dan berharap Luna
akan mengatakan sesuatu. Lalu, aku menyadari ada yang aneh pada Luna.
“...Ada
apa?”
Air mata
mengalir dari mata Luna. Karena
kami sedang mandi, aku sempat berpikir itu mungkin air atau keringatnya, tapi melihat matanya dan
hidungnya yang merah, aku tahu dia sedang menangis.
“...Ini
pertama kalinya aku dibilang seperti itu setelah selesai melakukan s*ks dengan seorang pria.”
Setelah
mengusap hidungnya, Luna menunduk dan berkata.
“Sebelum melakukannya, mereka selalu mengucapkan kata-kata
penuh gairah atau manis, tapi... satu-satunya orang yang bisa mengobrol
dengan begitu menyenangkannya setelah selesai
hanya kamu saja, Ryuuto.”
Dia
bergumam dan terlihat serius, seolah-olah mengingat masa lalu.
“Karena ‘Pria
akan merasa lelah
setelah selesai,’ jadi mereka tidak mau berbicara denganku... mereka bahkan tidak mau menatap mataku.”
Aku
bertanya-tanya mengapa aku begitu terpesona oleh tatapan
sedih di wajahnya, sehingga aku merasa
seakan-akan aku terhisap ke dalamnya? Meski kami baru saja
berpelukan, mau tak mau aku ingin
memeluknya lagi.
“Selama
ini, aku selalu berpikir 'Pria memang seperti itu'... jadi aku pikir
Ryuuto juga akan begitu. Tapi, Ryuuto berbeda. Kamu adalah satu-satunya pria yang memperlakukanku begitu.”
Setelah
mengatakan itu, Luna
menatapku yang ada di sebelahnya.
“Kenapa?
Kenapa Ryuuto begitu baik?”
Aku dengan
lembut menyeka bekas
air mata di pipinya dengan ujung jari yang basah. Dengan malu-malu, aku menjawabnya.
“Karena
aku 'benar-benar mencintaimu.'”
Dan kemudian, dalam posisi seperti penguburan berjongkok di bak
mandi yang sempit, kami kembali berpelukan.
Dalam
pelukanku, Luna kembali
sedikit menangis.