BAGIAN 3
Ketika aku kembali ke rumah keluarga Konohana, aku duduk di kamarku dan menghadap
laptopku.
“Kantor
dan peralatannya sudah siap. Aku
juga sudah mendapatkan para insinyur yang akan menjadi karyawan perusahaanku. Aku juga sudah memiliki rencana
desain kasar untuk situs e-commerce ...... Oke, mari kita gunakan fungsi lompati waktu di sini.”
Ketika kamu
ingin memulai usaha dari awal di kehidupan nyata, pada awalnya kamu akan mengalami kesulitan dalam
pendanaan. Jika kamu terlalu
fokus pada masalah ini, kamu tidak
akan bisa menikmati interaksi dengan perusahaan lain yang merupakan inti dari
permainan manajemen.
Kurasa lebih
baik untuk memperlakukan saat ini
hanya sebagai kesempatan untuk belajar tentang manajemen selanjutnya.
(...Sebenarnya,
itu adalah masalah yang bisa diabaikan oleh siswa Akademi Kekaisaran.)
Alasan kenapa para pengusaha kesulitan dalam
mengumpulkan modal adalah karena mereka harus mencari investor. Tapi,
sepertinya di Akademi Kekaisaran,
koneksi semacam itu banyak beredar di sana-sini. Kamu
akan bisa mendapati banyak siswa yang orang tuanya memiliki
perusahaan investasi.
Layar
menampilkan tulisan “Proses
lompat waktu telah selesai.”
Dengan
demikian, perusahaanku kini telah memasuki tahun kedua sejak didirikan. Dalam
game manajemen ini, waktu akan berlalu selama tiga tahun, jadi pada akhirnya
perusahaanku akan mencapai tahun kelima.
Aku
memeriksa dengan seksama isi layanan yang dihasilkan oleh fitur lompat waktu.
“Woahh...!!”
Meski
hanya di dalam game, aku merasa sendiri ketika terharu melihat
perusahaanku berkembang dengan baik.
Saat
memeriksa data, berbagai angka ditampilkan, dari jumlah kunjungan pengguna
harian hingga jumlah iklan.
Aku juga
memeriksa desain halaman beranda,
yang menjadi halaman pertama yang diakses pengguna. Meskipun dibuat dengan
fitur lompat waktu, ternyata desainnya tidak
buruk-buruk amat.
(Mungkin
aku harus melihat-lihat
perusahaan lainnya juga)
Saat
menampilkan peta, aku bisa melihat
pemandangan kota yang di-render dari sudut atas miring. Di tengahnya terdapat
gedung bertingkat sedang, di mana sebagian adalah kantor milikku.
Sama
seperti di dunia nyata, di dalam game juga disediakan alamat untuk kantor. Saat
aku mencoba mencari perusahaan milik Taishou, kantor pusat mereka yang
berada di Prefektur Osaka ditampilkan di layar.
Karena
merasa sedikit penasaran, jadi aku
memeriksa di peta dunia nyata, dan ternyata pemandangannya hampir sama.
Sepertinya game manajemen ini berusaha mereplikasi pemandangan kota dengan seakurat mungkin.
Dengan
rasa kagum, aku memeriksa data perusahaan-perusahaan terdekat.
(... Yah,
kurasa itu wajar-wajar saja, mana mungkin aku bisa berada
di tingkat yang sama dengan mereka hanya dengan melompati waktu dua tahun.)
Semua murid lain mengelola perusahaan yang
jauh lebih besar daripada milikku. Baik modal, pendapatan, maupun jumlah
karyawan, semua jumlahnya tak sebanding.
Perbedaan
yang tampak jelas dari angka-angka itu, di satu sisi membuatku bisa memahaminya
dengan jelas, tapi di sisi lain juga terasa
sangat menakutkan.
—Tapi, tak masalah.
Pertama-tama,
aku harus berusaha menyamai mereka. Jika aku tidak
bisa melakukannya sampai setingkat itu,
aku bahkan tak layak masuk ke dalam OSIS.
Sehari
pun berlalu dalam game, dan angka-angka di perusahaan
pun berubah.
Di dunia
nyata hanya berlalu 15 menit,
tapi di game sudah satu hari. Jika harus menyusun strategi secara real-time,
pasti tidak akan sempat. Jadi, aku perlu melakukan persiapan sebelumnya.
(...Ternyata
ada NPC-nya juga ya.)
Di dalam dunia
game, ternyata ada juga perusahaan yang dikelola oleh NPC dan bukan dikelola oleh siswa. Sepertinya kami bisa melakukan transaksi dengan
perusahaan-perusahaan tersebut.
“Yang
pertama harus kulakukan adalah... meningkatkan jumlah pengguna.”
Saat aku memeriksa tren jumlah pengguna, pada awalnya aku bisa melihat kalau jumlah penggunanya terus
meningkat pesat, tapi kemudian menjadi
stagnan selama enam bulan terakhir.
Kurasa mengatasi
situasi stagnan ini sepertinya akan menjadi
tantanganku
berikutnya.
Situs
tempat orang bisa membeli produk atau layanan online disebut situs e-commerce
(EC). Demi meningkatkan jumlah pengguna
situs EC milikku, aku
mempunyai beberapa ide yang terlintas di pikiranku.
Sambil
meregangkan badan sebentar, aku memeriksa jam di komputer. Sekarang sudah hampir pukul 9 malam.
Setelah pukul 9, aku tak bisa bermain game lagi.
...Meskipun semangatku masih berkobar, tapi akan kusimpan untuk besok. Hari ini
cukup sampai di sini saja.
Tampaknya Hinako juga akan fokus bermain game
manajemen untuk sementara waktu demi menjaga integritasnya
sebagai Ojou-sama yang sempurna. Makanya hari ini
dia tidak datang ke kamarku. Biasanya dia ada di ranjangku saat seperti ini,
jadi aku merasa sedikit kesepian juga.
(...Mungkin
sesekali aku yang akan pergi menemuinya.)
Aku
menutup laptopku dan keluar dari kamar.
Saat aku menuju ke kamar Hinako, aku berpapasan dengan seseorang
yang kukenal.
“...Takuma-san?”
“Hm?
Oh, Itsuki-kun
ya.”
Pria
bertubuh tinggi kurus yang mengenakan setelan jas mahal itu, Takuma-san,
berbalik menghadap diriku.
Dia
membawa setumpuk dokumen di tangannya. ...Sebagai orang yang tahu sifat
aslinya, dokumen itu terlihat mencurigakan bagiku.
“Tolong
jangan terlalu waspada begitu. Apa aku pernah melakukan sesuatu padamu?”
“Tidak...
Ini lebih seperti refleks.”
“Itu bahkan membuatku semakin sedih.”
Padahal
ia tidak terlihat sedih sama sekali.
“Oh iya,
kalau dipikir-pikir, mulai hari ini kamu sudah bisa memainkan game
manajemen, ‘kan? Apa kamu berhasil mendirikan perusahaanmu sendiri?”
“Ya...
Tunggu, kok Takuma-san bisa tahu kalau aku memilih mendirikan perusahaan?”
“Entah kenapa aku merasa kalau kamu
pasti akan melakukannya.”
Ia masih
memiliki kemampuan observasi yang menakjubkan seperti biasanya.
EQ...
Atau sebutan lainnya adalah kecerdasan emosi.
Katanya Takuma-san
memiliki kecerdasan emosional yang luar biasa, dan bisa mengerti apa yang
dipikirkan orang hanya dengan melihat ekspresi wajah mereka.
“Lalu,
perusahaan apa yang kamu
dirikan, Itsuki-kun?”
“...Aku mendirikan perusahaan yang mengelola
situs belanja online khusus hadiah.”
“Oh,
begitu. Bisnis e-commerce memang bagus, karena pasar-nya masih akan terus
tumbuh. Dan staf pengajar di Akademi Kekaisaran juga
cukup memperhatikan tren, jadi sepertinya ide-mu akan mendapat apresiasi yang
baik.”
Takuma
menopang dagunya dan mengungkapkan
pendapatnya sendiri.
Sambil
mendengarkan apa yang dikatakannya,
aku mulai berpikir.
...Apa mungkin sebaiknya aku meminta
saran darinya?
Aku
memang kurang nyaman dengan Takuma-san.
Tapi ada semacam firasat samar yang muncul
di dalam diriku.
Aku
merasa aku bisa tumbuh lebih jauh
lagi jika bersama orang ini. Bahkan selama liburan musim panas, aku bisa
memutuskan prospek masa depanku berkat Takuma-san, dan karena ia mengetahui
tujuanku, aku juga merasa lebih mudah untuk berkonsultasi dengannya.
Selain itu,
Takuma-san paham betul masalah perusahaan.
Belum lama ini ia membahas tentang budaya kerja yang tidak sehat di Konoha Link
Co., Ltd, jadi jelas sekali kalau dirinya
menguasai seluk-beluk urusan perusahaan.
“Takuma-san.
Apa aku boleh meminta
saranmu mengenai game manajemen ini? Ada sesuatu yang aku cemaskan mengenai apa yang harus
kulakukan untuk langkah selanjutnya.”
“Secara
khususnya, masalah apa yang sedang kamu cemaskan?”
“Sekarang
ini, setelah menggunakan fitur lompat waktu, aku sedang
memikirkan cara untuk meningkatkan jumlah pengguna. Tapi dengan anggaran yang
terbatas, aku tidak
bisa mencoba semuanya...”
“Jadi
kamu ingin tahu cara yang efektif,
begitu?”
Aku
mengangguk, lalu Takuma-san tampak
berpikir sejenak.
“Kalau
begitu, bagaimana kalau kamu
membantuku dengan pekerjaanku?
Seperti yang kau lihat, aku sedang sibuk dengan
pekerjaan kantor.”
Ia
mengangkat sedikit berkas-berkas yang dipegangnya.
“Aku merasa
tidak keberatan jika aku bisa membantu, tapi...”
“Jangan
khawatir, tugasmu hanya merapikan dokumen, jadi tidak akan sulit kok.”
Takuma-san
berbalik dan berjalan menuju suatu tempat. Aku pun
mengikutinya.
Ia
masuk ke ruang kerja kecil di lantai pertama
mansion. ...Ini pertama kalinya aku masuk ke ruangan ini.
Kalau tidak salah, menurut Shizune-san,
ini adalah ruang untuk tamu bekerja. Kupikir
ruangan ini jarang sekali digunakan, tapi ternyata memang
kadang dipakai oleh anggota keluarga yang jarang di rumah.
Takuma-san lalu menyerahkan padaku setumpuk
kertas yang berisi sekitar
50 lembar.
“Ini...
surat-surat email ya? Kenapa repot-repot harus
mencetaknya segala...”
“Demi perubahan
suasana. Akhir-akhir ini aku hanya menatap layar komputer, jadi aku merasa rindu pada kertas. Yah, pada
akhirnya aku meminta bantuanmu
karena aku tak punya waktu untuk membacanya.”
Aku juga
akhir-akhir ini hanya menatap layar komputer, jadi aku bisa sedikit
memahaminya.
Usahanya
untuk meningkatkan motivasi kerjanya mungkin merupakan kemampuan yang
dibutuhkan sebagai orang dewasa yang
bekerja.
“Tolong
pisahkan mana yang perlu aku balas dan mana yang tidak. Dan untuk yang tidak
perlu dibalas tapi isinya singkat, tolong sampaikan padaku secara lisan.
Setelah itu, kamu bisa
membuangnya.”
Takuma-san duduk di kursi kerja sambil membaca dokumen-dokumen.
Dengan
sedikit ketegangan, aku mulai menata dokumen-dokumen itu.
“Ada
surat ucapan terima kasih dari Perusahaan Arise yang mengatakan bahwa berkat Takuma-san,
negosiasi mereka jadi
berhasil.”
“Hmm.”
“Dari
Perusahaan Wiz Partners, mereka
akan mengirimkan prototipe dalam waktu dekat.”
“Mengerti.”
Takuma
menimpali laporanku saat ia mengerjakan dokumen.
“Ada
kabar dari Menteri Pertahanan, mereka menerima kontrak... Hah? Menteri
Pertahanan...!?”
“Mereka adalah
pelanggan penting kami.”
Kemunculan
nama besar yang tak terduga itu membuatku terkejut tanpa sadar.
...
Seperti yang kuduga, sepertinya
Takuma-san adalah seseorang yang bisa melakukan pekerjaannya.
Kalau
tidak, mustahil ia bisa mempunyai kenalan luas seperti ini. Jika dirinya bisa
berurusan dengan tokoh politik ternama itu berarti ia sudah cukup dipercaya
oleh pihak lain.
“...
Sudah selesai.”
“Kerja
bagus.”
Penataan
dokumen telah selesai.
Saat aku
menatap ke arah Takuma-san, rupanya
ia masih membaca dokumen yang tampak sulit.
“Pekerjaanku
masih memakan waktu sedikit lebih lama. Kalau kamu
masih mempunyai waktu luang, kamu boleh melihat-lihat dokumen di
sana. Mungkin itu bisa menjadi pelajaran.”
“E-Ehh? Apa boleh?
Apa tidak ada dokumen rahasia perusahaan atau semacamnya?”
“Sekarangt
sudah terlalu terlambat, bukan?”
Yeah,
benar juga sih...
Aku merasa
malu pada diriku sendiri karena aku sempat berpikir kalau orang ini sebagai orang yang normal meski hanya
sesaat, tapi.....
ternyata aku salah. Takuma-san memang orang yang
seperti itu.
Mungkin aku
juga aneh karena sampai meminta saran darinya.
Aku pun
mengambil dokumen yang menarik perhatianku.
“Ini...”
“Itu adalah
proposal untuk perusahaan manufaktur.”
Aku masih
tidak bisa memahaminya hanya dari penjelasannya. Tapi aku merasa tidak enakan meminta Takuma-san yang sibuk untuk menjelaskan
lebih rinci, jadi aku membaca dokumennya sendiri untuk memahaminya lebih dalam.
(...
Jadi, intinya, mereka
sedang meminta kerja sama perusahaan lain untuk menyelesaikan produk mereka.)
Sepertinya
Perusahaan Elektronik Grup Konohana
sedang mengembangkan AC mewah untuk kalangan konglomerat
di luar negeri. Untuk meningkatkan kinerja yang
lebih baik, mereka ingin menggunakan komponen yang telah dikembangkan
perusahaan lain, jadi mereka meminta izin penggunaan komponen tersebut.
Jika
mereka mengizinkan kami menggunakan komponen itu, pihak perusahaan mereka
bisa mendapatkan banyak data percobaan yang berharga, yang
bisa dibagikan ke pihak mereka juga.
Jika AC itu berhasil selesai dengan
menggunakan komponen tersebut, itu juga akan meningkatkan reputasi mereka.
Tentu saja, kami juga sudah menyiapkan imbalan yang layak. Hal itu tertulis di
proposal ini. Jadi, kami menawarkan untuk berbagi data seperti ini, dan mohon
dukungannya...
“...
Apa semua usulan dari proposal
ini asli?”
“Hm?”
Tanpa
sadar, aku bertanya demikian.
Takuma-san menghentikan
pekerjaannya, lalu menatapku.
“Itu...
Aku merasa kalau beberapa
dari proposal ini terasa palsu, atau semacamnya... Aku merasa tujuan asli Takuma-san hanya ingin bertemu
langsung dengan pihak mereka.”
Di
samping proposal itu, ada juga dokumen percakapan email dengan penanggung
jawabnya. Tampaknya Takuma-san
belum pernah bertemu langsung dengan orang tersebut.
Menanggapi
pertanyaanku itu, Takuma-san
membelalakkan matannya... dan tertawa.
“Benar
sekali. Orang itu keras kepala, jadi sulit menerima
proposal tertulis. Tapi aku yakin bisa membujuknya kalau kami bertemu langsung. Itu sebabnya aku menebarkan umpan yang terlihat lezat
dulu.”
Uwah...
Ketika aku melihat
senyum licik Takuma-san, aku sedikit merinding di dalam hati.
“Bagaimana
kamu bisa tahu?”
“Eh?”
“Kamu bisa menebak pemikiranku hanya dari dokumen
sepele ini. Hebat sekali.”
“Tidak,
itu hanya firasaku saja. Karena isi proposalnya terasa sedikit kabur begitu....”
Aku tidak
begitu mengerti, tapi entah kenapa Takuma-san
memandangku dengan serius.
Tapi aku
memang tidak bisa menjelaskan perasaan ini dengan kata-kata.
“Untuk
beberapa alassan, aku hanya merasa kalau Takuma-san pasti akan melakukan itu.”
Jawabanku
memang tidak memuaskan, tapi itulah yang aku rasakan, jadi tidak ada cara lain
untuk menjelaskannya. Itu benar-benar berasal dari
firasatku saja.
Kenapa
Takuma-san mendadak jadi serius dengan
obrolan sepele semacam ini?
“...
Aku merubah pikiranku.”
Takuma-san
berkata dengan suara pelan.
“Bagaimana
kalau kamu menjadi
murid didikanku, Itsuki-kun?”
“Murid didikan?”
“Ya.
Setidaknya selama game manajemen ini. Bagaimana
kalau kamu belajar dariku?”
Itu...
“Kedengarannya
terlalu bagus untuk jadi kenyataan, sih...”
“Oke sudah
diputuskan.”
Saat aku
melihat Takuma-san tersenyum bahagia, aku merasakan sedikit perasaan tidak
enak. Apa aku bakalan baik baik saja? Apa aku baru
saja membuat kesepakatan dengan iblis?
“Kalau
begitu, coba tunjukkan padaku keadaan perusahaanmu saat
ini. Meskipun sekarang di luar jam game, tapi kamu masih bisa menunjukkan layar
utamanya, 'kan?”
“...
Baik, aku mengerti. Aku akan mengambil laptopku dulu.”
Setelah
kembali ke kamarku, aku membawa laptop yang tadi kutinggalkan di meja dan
kembali menuju ruang kerja Takuma-san. Aku membuka laptop dan menunjukkan layar
beranda game itu kepadanya.
“Saat
ini begini kondisinya, dan aku ingin meningkatkan jumlah penggunanya...”
Sambil menampilkan
layar, aku mulai menjelaskan
kondisi perusahaanku saat ini.
Setelah
mendengar pemikiranku,
Takuma-san terdiam sejenak, lalu...
“Kurasa kamu
lebih baik menambah iklan daripada menambah jumlah produk.”
Ia
menyimpulkannya dengan
singkat.
“Perusahaanmu bukan yang membuat produknya
sendiri, jadi mengandalkan informasi dari mulut ke
mulut itu sia-sia. Hal ini sama
saja seperti restoran yang bilang 'kami
mengandalkan citarasa'.”
“Apa
itu contoh yang buruk...?”
“Ya,
memang sudah seharusnya mengandalkan citarasa.”
Maksudnya,
jangan berkutat pada salah satu faktor saja,
tapi aku harus bersungguh-sungguh di bidang
lain juga?
“Sebaiknya
kita tentukan dulu konsep
dunianya.”
“Konsep
dunia?”
“Kalau
perusahaan mempunyai konsep dunia sendiri, itu akan lebih mudah menyampaikan
citra ke orang lain. Seperti contoh restoran tadi,
kamu bisa mengadaptasi konsep gaya rumah
tradisional atau masa depan. Begitu konsepnya jelas, tinggal buat iklan yang
menonjolkan konsep tersebut.”
“Baik,
terima kasih atas sarannya.”
Menentukan
konsep dunia seperti apa, itulah tugasku.
Berbeda
dengan restoran, karena ini situs penjualan online, sebaiknya konsepnya lebih
universal agar bisa menjangkau banyak orang.
...Karena
ini situs belanja online, target utamanya kemungkinan besar orang dewasa yang
punya kartu kredit. Jadi, konsep seperti “pertemanan
orang dewasa” mungkin
cocok. Bukan dalam artian saling berpura-pura atau basa-basi, tapi citra orang
dewasa yang cerdas dan
profesional.
“Tapi,
nama perusahaan ini agak sederhana, ya.”
“Uhh...”
Ia
menusuk tepat ke kelemahanku.
“Yah,
nama perusahaan memang sering kali meakai
nama pendirinya. Jadi, tidak usah terlalu dipikirkan. Perusahaan kami juga
begitu, ada Toyoda-san,
Ishibashi-san, dan
lain-lain. ...Tapi, kalau perusahaan IT, bukankah sebaiknya
memilih nama yang lebih keren sedikit?”
“Itu...
karena aku tidak punya selera penamaan yang bagus...”
“Belakangan
ini ada banyak perusahaan yang
menggunakan crowdsourcing untuk mencari
nama. Soalnya manajemen itu kan tidak bisa dilakukan sendiri, jadi kamu harus banyak melibatkan orang.”
Benar
juga, persis seperti yang dikatakan Tennouji-san, permainan manajemen itu lebih
baik dilakukan dengan melibatkan banyak orang
lain. Apalagi Takuma-san yang
terlibat di banyak bidang bisnis pasti lebih mengetahuinya.
“Baiklah,
bagaimana kalau aku memberi tugas? Coba cari
tahu cara manajemen dari orang-orang
yang biasa berinteraksi denganmu dan melaporkannya padaku
sebelum hari Jumat. Kurasa berbicara dengan Hinako,
Tennouji-san, dan Miyakojima-san saja sudah lebih dari cukup.”
Bagaimana
dia bisa mengetahui orang-orang yang kukenal? Tapi, kurasa terlalu banyak memikirkannya
juga tidak ada gunanya.
“Selain itu,
aku hanya berada di mansion hanya untuk hari ini. Jadi lain kali kita bicara lewat video
call saja.”
“Baik, aku mengerti, terima kasih banyak untuk hari ini.”
“Santai
saja, kamu tidak perlu khawatir, aku
hanya berinvestasi saja kok.”
“Berinvestasi?”
Ketika
aku membalasnya dengan keheranan, Takuma-san mengangguk dan berkata,
“Ya,
aku berinvestasi pada
bakatmu.”
Lalu
Takuma membawa tumpukan berkas dan keluar dari ruang kerja.
Aku juga
keluar dari ruangan dan berjalan kembali ke kamarku, merenungkan kembali perkataan Takuma-san sebelumnya.
...Bakat?
Apa
maksudnya aku punya bakat?
Aku
memikirkannya sejenak, tapi aku segera
menepis pikiran tersebut. Seperti yang tadi kupikirkan, terlalu banyak
memikirkan hal itu juga tidak ada gunanya. Sekarang yang penting adalah
menyelesaikan tugas yang diberikan Takuma-san.
Saat aku semakin mendekati kamarku, aku bisa melihat bayang-bayang seseorang di
depan pintu.
Rupanya itu
Hinako.
Ah iya, kalau dipikir-pikir,
sebenarnya alasanku keluar kamar tadi adalah untuk menemui Hinako.
Hinako
sekarang ada di depan kamarku... sepertinya dia sedang
berusaha merapikan rambutnya dengan sungguh-sungguh.
...Apa
yang sedang dia lakukan?
“Hinako?”
“Eh!? It-Itsuki...?”
Hinako
berbalik dengan terkejut.
Tumben
sekali, jarang-jarang aku bisa melihat Hinako segugup ini.
“Ka-Kamu dari mana saja selama ini...?”
“Tadi
aku sedang mengobrol sebentar
dengan Takuma-san.”
“Ugh...”
Sepertinya
Hinako masih merasa tidak nyaman dengan Takuma-san.
“Hinako
juga hari ini fokus bermain game manajemen, ya.”
“...Iya.
Sebenarnya aku ingin menyelesaikannya
lebih cepat, tapi... aku dipanggil
oleh Papa.”
“Dipanggil
Kagen-san? Apa itu soal game manajemen?”
“Ya.
Sebagai putri pewaris Keluarga Konohana, aku disuruh mendapatkan
hasil yang pantas.”
Hinako
tampak murung.
Aku
berniat segera mengerjakan tugas yang diberikan Takuma-san padaku, tapi Hinako sepertinya sedang kelelahan, jadi kurasa lebih baik tidak membahas game
manajemen hari ini.
Suasana
hening muncul ketika percakapan terhenti,
Hinako tampak gelisah, memandang
ke kiri dan kanan.
“Umm...
Mau masuk ke kamarku dulu?”
“...Ya,
ma-mau.”
Hinako
mengangguk kecil dengan pipi yang sedikit
memerah.
Dalam
suasana yang agak aneh ini, aku membawa Hinako
masuk ke dalam kamarku.
◇◇◇◇
(Sudut
Pandang Hinako)
Setelah memasuki kamar Itsuki, Hinako melihat-lihat suasana
kamar seperti biasanya.
Mungkin Itsuki tidak menyadari kebiasaannya ini.
(Ah...
Tempat pensilnya bertambah)
Karena Hinako sering mengunjungi kamar Itsuki, jadi dia langsung menyadari perubahan di kamar tersebut, di sana ada tempat pensil hitam baru di
atas meja.
Hinako
suka datang ke kamar Itsuki.
Awalnya
kamar ini terkesan rapi, tanpa ada banyak
barang-barang yang tak
berguna, memberi kesan seakan-akan kamar ini hanyalah
tempat tinggal sementara. Tapi setiap hari, kamar ini semakin diwarnai oleh Itsuki. Peralatan tulis bertambah,
sandal bertambah, jam dinding bertambah, komputer bertambah... Rasanya seolah-olah Itsuki semakin
menjadi penghuni rumah ini, dan hal tersebut
membuatnya senang.
Biasanya Hinako akan langsung berbaring di tempat tidur Itsuki
serasaya menikmati rasa aman di hatinya. Tapi...
(Jangan... Jangan seperti biasa lagi!!)
Tiba-tiba
keringat mengalir di dahinya.
(Sudah kuduga... Aku tidak bisa melakukannya dengan tenang
seperti dulu!!)
Hinako tidak
bisa mengendalikan debaran hatinya.
Bahkan sebenarnya, kemarin dia juga sama
sekali tidak bisa tidur nyenyak di tempat tidur Itsuki.
Meski dia berbaring di sana, dia tetap terjaga dan hanya mendengarkan percakapan antara Itsuki dan Shizune.
Dalam banyak adegan di manga shoujo,
kamar lawan jenis sering dianggap
sebagai tempat yang istimewa.
Dan Hinako
mulai memahami perasaan itu sekarang.
Ada
ketegangan misterius yang memberitahunya
bahwa dia tidak boleh melakukan sesuatu
yang aneh.
“Boleh
aku memakai laptopku dulu? Soalnya ada sesuatu
yang mau kucatat...”
“I-Iya,
boleh...”
Ketika
Hinako mengangguk, Itsuki
langsung menghadap ke arah layar laptopnya.
Hinako
duduk di tepi ranjang, memperhatikan profil Itsuki
yang serius. ...Sosok Itsuki yang
sedang berusaha sekuat tenaga selalu terlihat keren.
Lalu tiba-tiba, Itsuki
menoleh ke arahnya.
Apa Itsuki menyadari kalau sedari tadi dia menatapnya lekat-lekat? Karena merasa panik, Hinako buru-buru langsung mengalihkan pandangannya.
Dia bisa mendengar
suara ketikan keyboard.
Hinako
kembali memandang Itsuki, dan
kali ini pandangan mereka saling bertemu.
“...Ke-Kenapa dari tadi kamu terus melirik-lirik kemari?”
“Tidak,
kupikir aku akan menggendongmu ke kamarmu jika kamu tertidur.”
“Menggendong...?”
“Iya.
Aku sudah pernah melakukannya beberapa kali, ‘kan?”
Kalau
dipikir-pikir lagi, sepertinya memang pernah....
...Kalau aku memintanya, apa hari ini aku juga akan digendong lagi?
Hinako
memandangi Itsuki yang
mengetik dengan serius.
(Tidak
boleh... Akhir-akhir ini aku langsung ingin bersikap manja padanya.)
Meski dirinya bersikap manja, Hinako berpikir kalau Itsuki pasti
tidak akan membencinya.
Pertama-tama,
bagaimana pendapat Itsuki mengenari dirinya? Karena merasa penasaran, Hinako pun mulai membuka mulutnya.
“...Itsuki, bagaimana pendapatmu....mengenai aku?”
“Hm?”
Itsuki
menatapnya dengan membelalakkan matanya.
(Tu-Tunggu, bukannya itu terlalu blak-blakkan...!)
Hinako langsung
menanyakan apa yang dia pikirkan.
“Ma-Maksudku...
Bagaimana menurutmu tentang aku yang ceroboh ini...?”
Saat Hinako
menggantinya dengan pertanyaan yang berbeda, Itsuki tampak memikirkannya agak mendalam.
“Hinako
memang kadang-kadang khawatir soal itu, ya.”
“Mm...”
“Tapi seperti yang sudah kubilang sebelumnya, aku sama sekali tidak
keberatan. Justru aku merasa terhormat bisa mendukungmu yang selalu berusaha
keras...”
Itsuki
berkata demikian dengan ekspresi malu-malu.
Wajah
Hinako seperti akan meleleh, jadi dia
menutupi pipinya dengan telapak tangannya.
Itsuki memang
pernah mengatakan hal itu sebelumnya. ... Pada saat itulah Hinako mencoba mengubah orang yang
membangunkannya di pagi
hari dari Itsuki menjadi Shizune. Ternyata sejak saat itu, dia sudah mulai memandang Itsuki sebagai lawan jenis. Karena Hinako merasa malu kalau penampilannya yang
baru bangun tidur dilihat oleh Itsuki.
Itsuki
sepertinya memang suka merawat orang lain.
Karena kepribadian Itsuki yang seperti itu, jadi Hinako tahu kalau ia tidak akan kecewa melihat sosok
aslinya berapa kalipun. Tapi tetap saja,
kadang-kadang Hinako ingin memastikannya.
(...Perasaan cinta tuh memang aneh, ya)
Kepercayaannya
kepada Itsuki tidak pernah goyah. Tapi
akhir-akhir ini, Hinako justru merasa sering cemas
dibandingkan sebelumnya.
Dibutuhkan
sedikit keberanikan untuk bersikap apa adanya dan menjadi diri sendiri.
Tapi
kalau Itsuki tidak menerima dirinya apa
adanya, jarak di antara mereka takkan
semakin dekat.
“Boleh
aku tidur.... di
ranjangmu? Mungkin aku akan ketiduran...”
“Ah,
iya. Aku akan belajar, jadi kamu
bebas melakukan apapun di sini seperti biasa, Hnako.”
Hinako
berbaring di tempat tidur Itsuki.
Kalau
menerima diri apa adanya merupakan hal yang penting dalam hubungan cinta normal... Lalu bagaimana
dengan dirinya yang sudah diterima apa adanya sejak awal?
Mungkin
Hinako sedang menjalani kehidupan cinta
yang cukup rumit.
Saat dia mulai setengah mengantuk memikirkan hal
itu...
“Hmm?
Rupanya dari Tennouji-san.”
Telinga
Hinako langsung bergerak.
Itsuki
langsung mengangkat ponselnya. Sepertinya ia menerima panggilan telepon.
“Halo, Tomonari-san?”
Terdengar
suara Tennouji-san bergema di
ruangan yang sunyi.
“Tennouji-san,
ada apa?”
“Bukan
apa-apa. Kupikir kamu mungkin sedang mengalami kesulitan soal
game manajemen, jadi
aku ingin menawarkan bantuan.”
Hinako perlahan-lahan bangkit dari tempat tidur.
Panggilan
telepon pada jam segini...?
Hinako
menatap tajam ke arah Itsuki, tapi
sepertinya Itsuki tidak menyadarinya sama sekali.
“Terima
kasih atas perhatiannya. Tapi aku baik-baik saja,
semuanba sudah beres kok.”
“Jadi begitu ya... Tapi tetap saja, aku
khawatir. Mengingat kepribadian
Tomonari-san, kupikir kamu akan terlalu memaksa diri.”
“Aku
akan lebih berhati-hati...”
Memang, bagian itu juga harus diperhatikan.
“Istirahat
juga penting, lho. Bagaimana kalau, misalnya Minggu depan kita...”
Tennouji-san
berbicara dengan ragu-ragu.
Kemudian
pada saat itu, Hinako menarik napas perlahan,
“—Tomonari-kun. Bagaimana kalau Minggu
depan kita pergi belanja?”
“Hah?
Suara itu... Ko-Konohana
Hinako!?”
Hinako
berbicara dengan suara yang lebih keras dari biasanya — supaya rival di ujung telepon bisa mendengarnya.
Itsuki melonjak
kaget.
“Atau
kalau kau mau, kita nonton film juga boleh, lho?”
“Eh,
film...!? Tomonari-san!? Bisakah kamu menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi!?”
Wajah Itsuki langsung dipenuhi dengan keringat dingin yang
membasahi mukanya.
“A-Ah,
tidak! Sebenarnya aku sedang membicarakan tentang game manajemen dengan Konohana-san!”
“Benarkah?
Bukannya tadi kalian sedang
merencanakan kencan biasa di hari libur!?”
“Ah,
ma-maaf, kayaknya sinyal jadi buruk jadi aku harus menutupnya, ya!”
“He-Hei—“
Itsuki
buru-buru menutup teleponnya dengan panik.
Meskipun dia bisa mendesaknya lebih jauh lagi... Tapi Hinako memutuskan untuk membiarkannya
sampai di sini saja.
“...........Hinako?”
Itsuki
menatap Hinako dengan waspada, seolah-olah ia
melihat ranjau darat yang baru saja diinjak.
“Jadi...
Kamu mau menonton film?”
“...Tapi
hari itu aku harus menghadiri acara makan malam, jadi aku tidak bisa melakukan apa-apa.”
Seolah
bertanya 'Lalu tadi itu apaan?'
raut wajah Itsuki menunjukkan kebingungan.
Hinako
sendiri juga tidak tahu. Dirinya juga tidak yakin.
Tapi, perasaannya menjadiiiiiiii sangat campur aduk saat melihat Itsuki mengobrol dengan Tennouji.
“...Aku
mau tidur.”
“Eh?”
Hinako
kembali berbaring di ranjang, membuat Itsuki
semakin kebingungan.
Satu-satunya
yang bisa terdengar hanyalah
suara jarum jam yang berdetak.
“Anu,
Hinako. Ini sudah waktunya mandi, lho...”
“Gendong
aku.”
“...”
“Gendong
aku.”
Meski Itsuki bingung, tapi Hinako mengabaikannya.
Akhirnya, Itsuki
menggendong Hinako dalam gendongan ala putri dan membawanya ke kamarnya.
Saat
tubuhnya terangkat dalam dekapan lengan Itsuki
yang ternyata kuat di balik pakaiannya,
wajah Hinako menunjukkan ekspresi berseri-seri dengan bangga.
Rasakan
itu, Tennouji Mirei.
Inilah yang dinamakan jarak
fisik yang sesungguhnya.