Chapter 4 — Dan Kemudian, Masachika Akhirnya Mengambil Keputusan
(Sudut
Pandang Masachika)
“Apa yang
dikatakan Otou-sama memang benar. Pada akhirnya,
satu-satunya hal yang bisa aku lakukan sebagai orang yang tidak memiliki bakat
adalah... menjalankan peranku
sebagai seorang wanita.”
Nada suara
Yumi saat dia mengatakannya
sudah melampaui batas
kesedihan dan keputusasaan,
suaranya terdengar datar seolah-olah dia hanya menyampaikan fakta.
“Tapi,
aku malah menginginkan lebih dari itu dan merasa iri pada orang-orang di sekitarku...
Aku tidak bisa menjadi putri yang
baik maupun adik perempuan yang manis.”
Ada sedikit
penyesalan yang pahit dalam
suara Yumi saat dia mengatakan itu
sambil melihat foto di tangan Masachika.
“Aku
tidak bisa menjadi istri yang baik, atau ibu yang baik... dan telah menyakiti
banyak orang, termasuk dirimu.”
Namun,
nada bicaranya masih tetap
datar, menunjukkan bahwa penyesalan itu telah terkikis oleh waktu yang panjang,
menempel erat seperti
karat.
Dia pasti terus-menerus merasa menyesal selama ini. Penolakan diri yang berulang
kali suatu saat menjadi kenyataan dalam dirinya, sehingga
dia tidak lagi merasakan emosi apapun. Terus-menerus tertekan oleh rasa
bersalah, namun orang yang seharusnya dimintai maaf sudah tidak ada di
sampingnya, dan dia hanya bisa terus-menerus menyalahkan dirinya sendiri...
(Ah...
aku mengerti. Aku seharusnya, mengerti.)
Secara
mengejutkan, anehnya Masachika
bisa memahami jalan berpikir Yumi.
Dan
sekarang, setelah mengetahui semua keadaannya,
Masachika bahkan merasa kalau dirinya tidak berhak untuk
menyalahkan Yumi. Bagaimana mungkin ia bisa menyalahkannya? Sama seperti Yumi yang tidak bisa
menatap putranya yang berbakat, Masachika juga tidak bisa menatap adiknya yang
bersinar, jadi ia mengalihkan
pandangannya. Alasan hubungan Masachika dan Yuki tidak hancur adalah karena
usaha Yuki semata.
(Jika...)
Jika Masachika tidak menyerah pada hubungan keluarganya dengan Yumi, sama seperti yang dilakukan Yuki dengannya. Meskipun dirinya
mendapat perasaan iri atau ditolak, asalkan ia terus mengatakan seberapa besar ia mencintai ibunya. Ya, jika ia tidak pernah menyerah dan terus berusaha... apa yang akan terjadi?
(Kurasa aku tidak
perlu memikirkannya, ya?)
Hasilnya,
Yuki masih bisa mempertahankan hubungan ibu dan anak dengan Yumi sampai sekarang. Namun, Masachika tidak
melakukannya. Ia tidak
melakukannya.
Hanya
secara emosional, Masachika membalas penolakan yang ditunjukkan Yumi dengan
penolakan yang lebih besar, tanpa berusaha memahami alasan ibunya melakukan
itu.
Pada waktu
itu... ketika ditolak oleh Yumi, seandainya saja Masachika
bisa sedikit lebih percaya pada ibunya yang lembut.
“Maafkan
aku, karena menjadi ibu yang seperti ini.”
Setidaknya,
ia tidak perlu membuat
ibunya mengucapkan kata-kata
seperti itu.
“Ugh!”
Dadanya bergetar, tenggorokannya tercekik, dan tanpa sadar air
mata mulai mengalir deras dari kedua matanya. Masachika bahkan tidak mengetahui penyebab munculnya air mata tersebut.
Entah
karena ia merasa sedih dengan masa lalu
ibunya, atau
mungkin karena kata-kata ibunya
yang menyakitkan, atau karena penyesalan atas dirinya yang telah membuat ibunya berkata demikian. Tidak,
mungkin karena semua hal itu.
(Tidak
benar!)
Kata-kata
penolakan bergema dengan kuat di dalam kepalanya.
Masachika berusaha sekuat tenaga untuk menyangkal kata-kata penyangkalan diri
dan permintaan maaf dari ibunya yang sangat ia benci.
(Tidak! Kaa-sama selalu baik! Jangan membuatnya mengatakan kalau dia menjadi ibu
seperti ini!!)
Masachika
tidak bisa mengingat sosok ibunya yang dulu karena semua itu
terhalang oleh kenangan tentang sikap canggung ibunya yang selalu mengalihkan
pandangannya.
Kenangan tentang ibunya yang
selalu menjaga Masachika dan Yuki dengan lembut
kini memenuhi pikirannya dan tak
bisa berhenti.
“Guh, ugh...!”
Ia
ingin menyangkalnya. Dirinya
ingin segera membantah kata-kata ibunya,
tetapi paru-paru dan tenggorokanku tidak mau mendengarkan.
Masachika
mengertakkan giginya dan menangis
tersedu-sedu, sementara ibunya dengan bingung terus meminta maaf berulang kali.
“Masachika-san? Maafkan aku. Maafkan aku, ya?”
Tanpa
mengetahui alasannya, Ibunya
tetap mempercayai bahwa dirinya yang salah. Masachika
masih bisa memahami bagaimana jalan pemikiran Yumi.
(Ah... persis seperti yang dikatakan Jii-chan.)
Kakek
dari pihak ayahnya, Tomohisa, pernah mengatakan bahwa
Masachika dan Yumi mirip. Sekarang, ia
bisa memahami bahwa kata-kata itu memang benar.
Mereka
berdua memang lah mirip. Mereka tersiksa oleh perasaan minder terhadap orang-orang
terdekat, berpaling dari
orang-orang yang bersinar, dan akhirnya menolak diri sendiri. Semua yang
diungkapkan Yumi terdengar tidak asing
bagi Masachika.
(Tapi, itu berbeda. Kami...tidaklah sama.)
Masachika
memiliki bakat. Oleh karena
itu, orang-orang di sekitarnya mempunyai harapan yang
tinggi kepadanya, dan ia
dikaruniai ayah yang baik hati dan adik perempuan yang selalu berada di sisinya.
Namun, Yumi berbeda.
Karena dia tidak memiliki bakat, dia dipandang sebelah mata oleh
orang-orang di sekitarnya, dan dia kehilangan
ibu dan kakak yang selalu mendukungnya. Setelah kehilangan
keluarga yang menjadi sekutunya,
orang-orang tamak yang mengincar kekayaan dan keluarga
Suou justru datang. Meski begitu, Yumi tidak pernah
melarikan diri.
(Sedangkan aku... malah melarikan diri.)
Demi
menghindari penderitaan, Masachika
melepaskan segalanya dan memilih untuk melindungi dirinya sendiri. Namun, meskipun dia mengalami banyak kesulitan dan
ketidakberuntungan, Yumi tidak pernah melarikan diri, dia tidak menyerah, dan terus
berusaha melakukan apa yang bisa dia lakukan. Meskipun begitu, upayanya tersebut tidak pernah membuahkan hasil, dan dia menjadi terpukul, hancur, dan kelelahan.
(Tidak, kami sama sekali tidak
sama...)
Sejauh
ini, sudah berapa banyak orang yang
benar-benar memahami dan menunjukkan empati terhadap penderitaan Yumi? Kyoutaro
pernah mengatakan bahwa dirinya tidak bisa mendukung Yumi.
Mungkin itu benar. Orang yang memiliki kemampuan tidak
bisa memahami penderitaan orang yang tidak mampu. Orang yang kuat tidak bisa
memahami penderitaan orang yang lemah. Jika demikian... apa Yumi sebenarnya
selalu sendirian?
(Itulah sebabnya... aku
juga tidak bisa benar-benar memahami penderitaan ibuku dalam artian yang sebenarnya.)
Karena Masachika
adalah orang yang berada di sisi yang mampu. Meskipun begitu... karena
Masachika sedikit saja merasakan empati terhadap pemikiran Yumi, pasti ada
kata-kata yang bisa diucapkannya.
Sama seperti yang dilakukan Alisa padanya ketika dirinya tenggelam dalam jurang penyesalan dan menolak seluruh
dirinya.
“Hup.”
Masachika
sekali lagi menarik napas dalam-dalam untuk mengembalikan kontrol paru-paru dan
tenggorokannya, lalu mengusap air mata dengan tisu yang diberikan Yumi, dan
mengusap hidungnya. Setelah meminum sedikit teh barley, Masachika merasa kalau pikirannya bisa menjadi sedikit
lebih jernih.
“...”
Ia menatap
ke arah angkasa dan sedikit merapikan pikirannya. Setelah itu, Masachika
perlahan-lahan mulai berbicara dengan tatapannya mengarah ke atas.
“Aku
juga... sejak meninggalkan rumah ini, aku terus-menerus
merasa menyesal.”
Masachika
merasakan tatapan Yumi yang tertuju
padanya. Namun, tanpa melakukan kontak mata dengan
ibunya, ia terus berbicara.
“Aku
melarikan diri dari rumah ini secara emosional, menyerahkan semua tanggung
jawabku kepada Yuki yang sedang sakit-sakitan... Tanpa mempunyai tujuan atau cita-cita, aku hanya menghabiskan keseharianku dengan malas, dan aku
benar-benar merasa bahwa aku adalah orang yang tidak berguna.”
Masachika
masih merasakan hal seperti
itu sampai sekarang. Mengingat kembali, ia
merasa kalau dirinya menjalani kehidupan yang dipenuhi aib.
“Diriku
yang sekarang ada karena mengorbankan Yuki. Begitu aku memikirkannya, aku tidak bisa
merasa bangga dengan apapun yang aku lakukan... Bagaimanapun juga, aku tidak bisa menerima diriku
sendiri... tapi ketika aku bercerita tentang hal ini
kepada Alya, rekanku
dalam pemilihan OSIS...”
Di situ,
Masachika mengalihkan pandangannya dan
menatap ke arah mata Yumi dan tersenyum tipis.
“Dia
marah padaku. Dia bilang, ‘jangan
menyangkal
segalanya, termasuk pertemuan kita’.”
Mata Yumi
sedikit membelalak. Sejak kapan dirinya
terakhir kali menatap ibunya dengan begitu jelas? Sambil memikirkan hal itu,
Masachika melanjutkan.
“Aku
benar-benar berpikir kalau aku menjalani kehidupan yang malas dan tidak berguna...
tapi berkat itu, aku bisa bertemu dengan beberapa
orang, dan aku menyadari bahwa itu tidak bisa
disangkal.”
Setelah
berhenti sejenak, Masachika
dengan tekad bertanya.
“Bukannya
ibu juga sama begitu?”
Mata Yumi
berkaca-kaca. Namun kali ini, dia tidak
mengalihkan pandangannya.
“Memang benar ibu tidak bisa menjadi
diplomat... tapi karena ibu tidak menyerah, sehingga
ibu bisa bertemu dengan ayah, ‘kan?”
Kemudian Masachika
tiba-tiba mengalihkan pandangannya ke udara, menghadap ke dalam dirinya sendiri, dan perlahan-lahan menyusun kata-katanya.
“Walaupun
ada banyak hal yang terjadi, tapi... kurasa aku merasa bahagia
sekarang. Itu semua berkat orang-orang hebat yang telah
kutemui hingga saat ini.”
Masachika
mengingat cinta pertamanya, Ma-chan, yang dia temui setelah meninggalkan rumah keluarga Suou. Adik perempuannya yang
berharga, Yuki, sering
datang menemuinya dengan menunjukkan berbagai ekspresi yang berbeda. Dua sahabatnya, Takeshi dan Hikaru, yang ia temui di Akademi Seirei. Senior dan junior di masa OSIS SMP, serta senior yang dapat
diandalkan di OSIS SMA. Dan masih ada banyak
orang lainnya. Dan kemudian,
rekan pentingnya, Alisa.
Berkat
mereka semua, Masachika bisa
menjalani hari-harinya dengan tawa. Meskipun dirinya
menjalani kehidupan yang malas, tidak berguna dan dipenuhi aib.... tapi itu
adalah kenyataan yang tidak bisa disangkal.
Masachika
menatap mata Yumi dengan senyuman kecil, dan dengan suara lembut, ia berkata
dengan tegas.
“Oleh karena
itu, tolong jangan meminta maaf lagi, Bu. Justru
akulah yang
seharusnya minta maaf karena terus menerus salah paham. Terima kasih telah
melahirkanku ke dunia ini... dan terima
kasih atas semua pertemuan luar biasa yang kamu
berikan padaku.”
◇◇◇◇
“!!!”
“Ups.”
Setelah
keluar dari kamar Yumi, Masachika terdiam
sesaat ketika tatapan matanya bertemu dengan Kyoutaro yang
menunggu di koridor. Namun, ia segera mengatur kembali pikirannya, menutup
pintu dengan tangan belakangnya, lalu dengan sedikit canggung menyapa.
“…Jadi Ayah juga datang, ya?”
“Iya,
aku mendapat telepon dari Natsu-san.”
“Begitu ya.”
Kalau
dipikir-pikir, karena Masachika belum menghubungi keluarganya, wajar saja jika
ada seseorang yang menghubunginya. Dan merupakan hal yang wajar pula bagi
Kyoutaro untuk datang menjemput Masachika setelah menerima kabar tersebut.
“Maaf,
aku sudah membuatmu khawatir, Ayah.”
Masachika
menundukkan kepala saat berkata demikian, dan Kyoutaro tersenyum lembut seperti
biasanya.
“Tidak
masalah, kok. Lagipula, memang itulah yang dibutuhkan Masachika sekarang, ‘kan?”
Masachika
merasa tidak nyaman dengan kepercayaan dan toleransi yang ditunjukkan ayahnya. Seolah-olah bisa merasakan keadaan pikiran putranya, Kyoutaro mengangkat
bahunya dan melanjutkan.
“Tapi, karena waktunya sudah larut malam,
jadi... aku berpikir untuk menginap
semalam, bagaimana?”
“Eh,
ah...”
Masachika
memeriksa ponselnya dan melihat bahwa waktunya
sudah lewat pukul 10 malam.
Sebenarnya, ini bukan waktu yang terlalu
malam untuk pulang... sebaliknya, jika itu Masachika beberapa jam yang
lalu, ia pasti akan berusaha pulang meskipun harus memaksakan diri. Namun...
“…ya,
tidak apa-apa.”
Masachika
melirik ke arah pintu di belakangnya sebelum
mengangguk kecil. Mungkin merasakan sesuatu dari tanggapannya, Kyoutaro mengangguk
dengan senyuman lembut dan menunjuk dengan
tatapannya ke arah tangga.
“Kalau
begitu, sepertinya kamar yang pernah digunakan kamu dulu masih kosong, jadi kamu bisa menginap di sana. Aku juga
akan melakukannya.”
“Ah,
ya... kalau begitu, aku akan
menginap di sana."
“Iya,
sampai jumpa nanti.”
“…Baiklah.”
Setelah
mendengar kata-kata itu, Masachika memahami bahwa ada pembicaraan
lain setelah ini, jadi ia hanya menjawab itu dan menuju ke tangga. Ia mendengar Kyoutaro mengetuk
pintu kamar Yumi di belakangnya, tetapi ia tidak
menoleh ke belakang dan langsung menuruni tangga, di mana ia kebetulan
bertemu dengan Natsu.
“Ah,
Masachika-sama.”
“…Natsu-san.”
“Apa
pembicaraannya sudah selesai?”
“Iya,
sudah."
“Begitu
ya, kalau begitu, mari saya antar ke
kamar Anda.”
Meskipun
sebenarnya Masachika sudah tahu tempatnya tanpa perlu diarahkan, tapi dirinya
tidak mengatakan hal itu dan mengikuti Natsu.
“Kalau Anda
mengkhawatirkan kondisi Yuki-sama, Anda tidak perlu cemas. Saya dan Ayano akan merawatnya dengan
baik.”
“Terima
kasih. Mohon bantuannya.”
“Tidak
masalah, ini juga merupakan tugas pelayan.”
Sambil
berbincang seperti itu, mereka akhirnya tiba
di kamar, dan Masachika didesak
oleh Natsu untuk masuk. Begitu masuk ke dalam kamarnya yang sudah lama tidak ia gunakan, keadaan kamar tersebut... tetap
terjaga dengan rapi seperti beberapa tahun yang lalu.
“Kalau
begitu, silakan bersantai. Kamar mandi bisa digunakan kapan
saja, dan pakaian ganti yang dibawa Kyoutaro-sama juga sudah ada di sana.”
“Oh,
terima kasih banyak...”
“Anda tidak
perlu sungkan-sungkan segala. Baiklah, kalau begitu saya permisi dulu.”
Setelah
mengucapkan itu, Natsu keluar dari kamar, dan Masachika yang ditinggalkan
kembali melihat sekeliling ruangan.
“...”
Dinding
dan furniturnya memiliki warna yang tenang. Di dalam
rak bukunya tidak
ada buku cerita atau komik, melainkan berbagai jenis bahan ajar. Kamar ini sama
sekali tidak mencerminkan sifat anak-anak dan tidak
ada permainan sama sekali. Kamar Masachika yang sekarang
jauh lebih mencerminkan sifat anak-anak.
“…Aku penasaran apa yang dia pikirkan ketika membiarkannya begitu saja?”
Dengan
dekorasi seperti ini, seharusnya bisa dimanfaatkan sebagai kamar tamu. Namun,
bahan ajar untuk siswa SD dan SMP yang tersisa di rak buku, serta sebuah tangga
kecil yang diletakkan di depannya, menunjukkan bahwa kamar ini tidak digunakan
dengan cara seperti itu.
“Mungkin
ini sengaja disiapkan untuk jaga-jaga
jika Yuki memiliki anak suatu saat nanti?”
Masachika
duduk di tepi tempat tidur sambil
mengucapkan dugaan yang bahkan sama sekali ia percayai.
Secara emosional, dirinya merasa
ingin berbaring, tetapi ia ragu untuk bersantai sepenuhnya. Masachika masih belum merasakan bahwa ini adalah kamarnya
sendiri.
(Asli deh, itu adalah perkembangan yang sangat
cepat...)
Dirinya menghadiri pesta ulang tahun Alisa, menyapa orang tua Alisa. Dan kemudian, secara tak terduga, ia mengungkapkan
masa lalunya kepada Alisa, dan
setelah itu mengunjungi rumah keluarga
Suou, di mana ia berbicara empat mata
dengan ibunya setelah beberapa tahun, dan sekarang dirinya menginap di rumah Suou.
“Jika
aku bilang ini kepada diriku sendiri pagi tadi, aku pasti
tidak akan mempercayainya...”
Bagaimanapun juga, Masachika
masih merasakan kalau semua kejadian itu
sedikit tidak nyata hingga sekarang.
Kepala Masachika terasa panas, dan seluruh tubuhnya bergetar tidak nyaman. Apa
ini karena dirinya
menangis, atau karena perkembangan yang mengejutkan ini membuat otaknya
kelebihan beban?
“Kurasa itu
tidak mengherankan, karena semua itu terjadi dalam
beberapa jam saja....”
Setelah
bergumam seperti itu, Masachika membiarkan rasa lelah yang mengendap di kepalanya
menguasai dirinya dan terjatuh ke belakang di atas tempat tidur.
Meskipun
terlihat seperti ‘kamar
di mana waktu berhenti’, tampaknya kamar ini sudah
dibersihkan dengan baik, tanpa debu yang beterbangan. Dengan selimut yang
lembut dan kasur yang sedikit keras di bawahnya, tubuh Masachika terasa nyaman.
“.....”
Sentuhan
seprai yang dingin di lehernya terasa begitu
menyenangkan. Sambil meresapi sensasi itu, Masachika menatap langit-langit yang
sudah dikenalnya sejak kecil.
“Aku benar-benar
sudah kembali ke sini...”
Aroma
yang familiar. Pemandangan yang dikenal. Sentuhan yang diingat. Semua itu
dirasakannya dengan seluruh tubuh Masachika,
dan perasaan itu perlahan-lahan meresap ke dalam pikirannya.
Sungguh,
hanya dalam beberapa jam, situasinya telah berubah begitu banyak.
(Tapi...)
Itu
berarti, jika dilihat dari sudut pandang sebaliknya.
Seandainya
saja Masachika mempunyai
keberanian untuk melangkah maju,
hanya dalam beberapa jam, ia bisa mengubah situasi hingga sejauh ini.
Bahkan
dengan ibunya, yang menurutnya akan terus berseteru dengannya, ia bisa
memperbaiki hubungan itu dalam waktu kurang dari setengah hari jika dirinya mau.
“Tidak...
dibilang memperbaiki mungkin terlalu
berlebihan.”
Masachika
pun belum sepenuhnya menghilangkan rasa tidak nyaman terhadap Yumi. Kata-kata
permohonan maaf dan terima kasih sebelumnya tidaklah bohong... tidak,
seharusnya tidak, meskipun ia memaafkan ibunya secara mental, tapi hatinya tidak serta merta
mengikuti. Kesan buruk yang terlanjur tertanam selama bertahun-tahun terhadap
ibunya tidak akan mudah hilang.
Dan Yumi
pun pasti belum sepenuhnya bebas dari rasa bersalahnya terhadap Masachika.
Meskipun orang lain mengatakan tidak perlu meminta maaf lagi, dia bukan tipe
orang yang bisa langsung berkata, “Oh,
begitu? Baiklah, mulai sekarang aku akan bersikap biasa saja.” Sebaliknya, dia mungkin
berpikir, “Apa yang sudah aku lakukan kepada orang
yang begitu baik ini?”
Karena Masachika pun demikian.
(Kurasa, aku hanya bisa berharap
kepada ayahku untuk bagian itu...)
Memikirkan
ayahnya yang mungkin sedang berbicara dengan ibunya, Masachika merenungkan hal
itu dan kemudian memejamkan
matanya.
◇◇◇◇
(Sudut
Pandang Kyoutaro)
“Begitu, ya...jadi
Masachika...”
Kyoutaro
mengangguk perlahan setelah mendengar dari Yumi tentang percakapannya dengan
Masachika. Di seberang meja, wajah Yumi tertunduk saat dia berbicara dengan
nada mengejek diri sendiri.
“Sungguh,
ia sangat baik dan cerdas... kurasa
semua berkat Kyoutaro-san yang telah membesarkannya dengan baik, bukan....?”
“Haha,
apa iya begitu? Kamu tahu sendiri, ‘kan?
Aku ini orang yang membiarkan anak-anakku
tumbuh sendiri.”
Berkebalikan
dengan suara Yumi yang suram,
Kyoutaro justru menjawab
dengan tawa ringan.
“Bagiku,
peran orang tua hanya perlu mengawasi
dan mendukung anak. Tugas orang tua hanyalah bertanggung jawab ketika anak
membuat masalah. Aku mempercayainya begitu. Jika Masachika tumbuh
menjadi anak yang baik, itu karena Masachika sendiri dan... orang-orang yang
ditemuinya.”
“…Benarkah? Tidak, mungkin memang begitu...
termasuk Yuki-san juga...”
Yumi
terdiam sejenak, lalu mengangkat wajahnya dan melihat ke luar jendela.
“Sungguh...
mengapa aku tidak bisa berpikir seperti Okaa-sama...”
Sambil
menatap masa lalu yang jauh, Yumi mengeluarkan bisikan penuh penyesalan.
“Aku dikaruniai
anak-anak yang begitu luar biasa... merasa bangga menjadi ibu mereka dan
bahagia melihat pertumbuhan mereka. Mengapa hal sesederhana itu tidak bisa aku
lakukan...”
Setelah Yumi
terdiam, Kyoutaro berkata dengan jelas dan penuh
keyakinan.
“Sekarang
pun, masih belum terlambat.”
“…Apa...iya begitu?”
“Iya.
Bahkan Masachika sudah memaafkanmu, Yumi-san. Selain itu, tidak perlu
diragukan lagi bahwa Yuki mencintaimu, ‘kan?”
“Tapi…”
Yumi
terdiam sejenak setelah mendengar hal itu dan
melirik wajah Kyoutaro. Menyadari maksudnya dengan tepat, Kyoutaro tersenyum
lembut.
“Aku
tidak pernah sekali pun membencimu, Yumi-san.”
Kemudian,
ia menggenggam tangan Yumi yang ada di atas lututnya dan menatap matanya saat
berbicara.
“Selain
itu, Yumi-san selalu mengatakan
bahwa aku orang yang hebat... tapi itu sama sekali tidak
benar. Aku hanya sedikit lebih baik dalam belajar dibandingkan orang lain, hanya itu saja. Itulah sebabnya aku berusaha keras menjadi pria yang pantas untuk Yumi-san...
hanya itu saja.”
“Pria
yang pantas untukku? Aku bukanlah orang yang
seperti itu... keluargaku mungkin hebat, tapi aku sendiri tidak ada
apa-apanya...”
“Haha,
hanya Yumi-san yang berpikiran
seperti itu. Dulu, ada banyak
pria di sekolah yang sangat
ingin mendekatimu, Yumi-san.”
“Itu
karena aku adalah satu-satunya pewaris tunggal keluarga
Suou...”
“Hanya
sebagian kecil dari mereka yang mengincar itu. Yumi-san mungkin tidak menyadarinya, tetapi bagiku saat itu, Yumi-san adalah sosok gadis yang tidak terjangkau.”
Setidaknya
bagi Kyoutaro, itulah kenyataannya.
Ia
bertemu dengan gadis yang menangis sambil bermain piano di ruang musik, dan
langsung terpesona pada pandangan pertama.
Namun, setelah bertanya kepada orang-orang di sekitarnya, Kyoutaro menyadari bahwa gadis itu adalah
sosok yang sama sekali tidak sebanding dengannya.
Putri
sulung dari keluarga Suou yang terkemuka.
Sesuai dengan namanya, dia mempunyai perilaku yang terpelajar, anggun, dan elegan. Tubuhnya yang feminin dan kecantikan yang
penuh nuansa melankolis membuat
banyak pria terpesona, dan banyak dari mereka merasakan keinginan untuk
melindungi dan menguasainya. Dan Kyoutaro adalah satu-satunya pria di antara
mereka yang tidak memiliki apa-apa.
“Saat
itu, aku hanyalah anak laki-laki dari keluarga menengah yang hanya berprestasi
baik di sekolah... tanpa memiliki status maupun kekayaan,
dengan penampilan biasa-biasa saja, dan
tidak pandai berolahraga. Aku bahkan tidak
mempunyai keahlian yang bisa dibanggakan, sehingga aku sama sekali tidak
sebanding denganmu, Yumi-san. Aku ingin menjadi diplomat agar bisa sedikit lebih
sebanding dengan Yumi-san...”
Sebenarnya,
dirinya berharap bisa bergabung dengan
organisasi Raikoukai yang sama
dengan Gensei. Namun, tujuan itu tidak
tercapai. Jadi, bagi Kyoutaro, menjadi diplomat adalah usaha minimal supaya dirinya bisa berdiri di samping Yumi.
“Jadi,
Yumi-san, kamu tidak perlu merasa bersalah
tentang hal itu. Lagipula, aku melakukan semua itu
karena aku ingin menikah denganmu.”
“Kyo-Kyoutaro-san...”
Kyoutaro
berlutut di hadapan Yumi
yang terkejut dan terdiam. Di bawah
cahaya rembulan, ia menatap Yumi dengan
serius dan membuka mulutnya.
“Yumi-san,
aku—”
◇◇◇◇
(Sudut
Pandang Masachika)
Tok,
tok, tok
“!!!”
Masachika
tiba-tiba terbangun saat
mendengar suara ketukan dan menyadari bahwa dirinya
telah tertidur. Merasa canggung dan malu karena tertidur di tempat ini, ia
segera bangkit dan menjawab, “Ya.”
“Ayah masuk
ya.”
Setelah
mengatakan itu, Kyoutaro masuk ke dalam ruangan dan melihat
Masachika yang duduk di tepi tempat tidur, serta selimut yang tertekan di
belakangnya... tanpa mengucapkan apa-apa, ia duduk di kursi di depan meja
belajar Masachika.
“Aku
sudah mendengar semuanya dari
Yumi-san. Terima kasih banyak sudah
memaafkan Ibumu.”
“…Tidak
apa-apa."
Setelah
menjawab dengan singkat,
Masachika berpikir sejenak sebelum melanjutkan.
“…Yah,
setelah berbicara, aku menyadari bahwa ibu juga… sama seperti aku, dia hanya manusia biasa. Mungkin kedengarannya aneh, tapi memang begitulah.”
Masachika
menatap langit-langit kamarnya,
mengenang hari-hari yang dihabiskannya di rumah ini, dan menyipitkan matanya.
“Tidak
peduli mereka orang seperti apa, jika diajak bicara, kita semua pasti bisa saling mengerti...
seharusnya aku sudah menyadari hal itu.”
Hal
inilah yang diajarkan kakeknya, Gensei,
supaya bisa menjadi diplomat di masa depan.
Mengapa Masachika berpikir kalau ibunya tidak termasuk dalam
kategori itu?
(Tidak, aku bahkan tidak pernah ada niatan untuk
berdamai sejak awal,
aku hanya mengabaikan opsi untuk berdiskusi.)
Namun,
jika dipikir-pikir lagi semacam itu...
bagaimana dengan kakeknya, Gensei?
Jika mengikuti logika itu, seharusnya ada ruang untuk berdiskusi dengan
kakeknya yang terlihat
sangat kaku dan rasional dari sudut pandang Masachika.
(Lah, jika cuma berdiskusi, itu masih belum cukup, ya...)
Bagaimanapun juga, Masachika sekarang sedang berpikir untuk
bernegosiasi dengan Gensei
dan berusaha mendapatkan konsesi.
“…Ayah.”
“Hmm?”
“Dari
sudut pandang Ayah... Jii-sama itu orang yang seperti apa?”
Menanggapi
pertanyaan tiba-tiba Masachika, Kyoutaro tidak langsung bertanya balik,
melainkan ia berpikir
sejenak sebelum menjawab dengan jelas.
“Seseorang yang memiliki keyakinan,
mungkin.”
Setelah
mengatakan itu, Kyoutaro
melanjutkan perlahan seolah-olah ingin
memastikannya.
“Bagi
ayah mertua, kemakmuran dan keberlangsungan keluarga ini adalah hal yang terpenting... ia terus
berjalan dengan tekad seperti itu dan menjadikan hal itu sebagai
misinya.”
Itu
adalah sesuatu yang bisa dipahami Masachika... atau lebih tepatnya, itu adalah
kesan yang dimiliki Masachika.
Hanya saja, dalam kasus Masachika, ada kesan negatif yang menyertai, yaitu “seorang rasionalis dingin yang lebih mengutamakan menjaga
keyakinannya”.
Seolah-olah bisa membaca pikiran Masachika,
Kyoutaro sedikit menurunkan alisnya dan berkata.
“Jangan
salah paham dulu... bukan berarti Ayah mertua tidak mencintai keluarganya, oke? Ia hanya memikirkan keluarganya dengan
cara yang berbeda... jika tidak, ia tidak akan membiarkan Yuki sering datang ke
rumah kita, ‘kan?”
“…”
Masachika
juga sempat berpikir demikian. Meski Masachika dilarang menyebut dirinya sebagai kakak laki-laki Yuki, Gensei diam-diam mengizinkan Yuki
memperlakukan Masachika sebagai kakak laki-lakinya. Masachika berpikir kalau itu adalah sikap yang cukup lembut dari seorang kakek seperti itu.
(Tapi...)
Mungkin itu
hanyalah bagian dari ‘permen’ dalam istilah [permen dan cambuk] untuk menjaga motivasi Yuki.
Pikiran sinis itu muncul di dalam benaknya secara
refleks, tetapi Masachika menahan diri sejenak. Ini adalah kata-kata dari
ayahnya sendiri. Dirinya harus
membuang prasangka itu dan menerimanya saja untuk saat ini.
“Tapi,
meskipun begitu... pada akhirnya, yang terpenting adalah nama keluarga, ‘kan?”
“…Yah, itu
benar, sih. Aku
tidak bisa menyangkalnya.”
“Begitu ya.”
Masachika
mengangguk atas persetujuan Kyoutaro. Ia
tidak merasa kecewa. Justru sebaliknya. Keadaan seperti itu justru lebih
menguntungkan bagi Masachika saat ini.
“Ayah.”
“Hmm?”
“Aku—”
Kemudian,
Masachika mengambil keputusan dan menyampaikan keinginannya kepada ayahnya. Apa
yang ingin dirinya lakukan
ke depannya. Apa yang dirinya
pikirkan.
Sebuah keputusan
penting yang akan sangat mempengaruhi kehidupan anaknya di masa depan. Kyoutaro
mendengarkan dengan tenang hingga akhir.
“Bagaimana
menurutmu?”
Setelah
menceritakan segalanya, Masachika menatap ayahnya dengan penuh kecemasan dan
ketegangan. Menanggapi hal itu, Kyoutaro berkata,
“Ya,
menurutku itu bagus. Kamu tidak perlu mengkhawatirkan tentang ayah, jadi kamu bebas
melakukan apapun
sesuai keinginanmu.”
Ia
tersenyum lembut dan mengangguk seperti biasanya.