Gimai Seikatsu Volume 12 Prolog Bahasa Indonesia


 Mereka yang menerima sisi kekanak-kanakan mereka tanpa meninggalkannya maupun menyangkalnya disebut “orang dewasa”.

 

PrologAsamura Yuuta

 

Musim gugur hampir berakhir. Tanpa kusadari, pakaian orang-orang yang berjalan berlalu lalang telah berubah menjadi warna yang lebih berat. Setelah keluar dari toko buku tempatku bekerja, aku mengirim pesan LINE kepada Ayase-san bahwa aku akan pulang sekarang. Sejak memasuki bulan Oktober, sebagian besar persiapan makanan telah dilakukan oleh kedua orang tua kami. Namun, terkadang ada hari giliran antara aku dan Ayase-san. Hari ini aku terlambat karena ada jadwal kerja paruh waktu, sementara Ayase-san sedang libur, jadi dia yang akan menyiapkan makan malam. Besok, sebaliknya, aku yang akan bertugas memasak.

Baiklah. Aku memeriksa ponselku sekali lagi. Apa ada daftar barang yang ingin dibeli yang dikirimkan melalui pesan? Sepertinya tidak ada.

Saat aku dalam perjalanan pulang, matahari sudah terbenam, dan jalanan Shibuya mulai berkilau dengan cahaya iluminasi. Lampu jalanan yang perlahan-lahan berubah menjadi LED menerangi area sekelilingku dengan terang, dan papan iklan digital muncul dengan cerah di kegelapan. Saat melihat etalase toko yang dihias dengan warna oranye, aku jadi berpikir bahwa sebentar lagi sudah memasuki musim Halloween.

Aku melihat wajah orang-orang ketika mereka berjalan di bawah cahaya lampu tanpa tujuan. Meskipun baru saja memasuki awal minggu pada hari Selasa, aku merasakan kelelahan di wajah orang-orang yang berjalan, mungkin karena hatiku tahu bahwa kita akan segera menghadapi musim dingin yang keras.

Ketika aku berbelok di jalan kecil, gedung apartemen yang sangat kukenal muncul dalam pandanganku. Aku menghela napas lega. Setelah memastikan ada cahaya dari rumahku di atas gedung, secara alami langkahku menjadi lebih cepat.

Begitu aku membuka pintu masuk, aroma yang menyentuh hidungku membuatku mengernyit. Jangan-jangan itu ikan? Ada bau ikan bakar. Aku mengintip ke arah dapur. Ayase-san mengangkat wajahnya dan secara refleks melihat jam di ruang makan.

Selamat datang kembali, Yuta-niisan. Kupikir kamu sebentar lagi akan pulang, jadi aku sudah menunggu. Tepat sesuai perhitunganku. Aku hampir saja selesai.

Ah, ya. Aku pulang. Ikan?

Iya. Ikan sanma yang dibelikan oleh ayah Taichi.

Jadi memang bau ikan, ya.

“Berarti Ayah sudah pulang, ya.

Ketika menengok ke arah wastafel, aku menyadari kalau sepertinya Ayahku sudah selesai makan.

Ayahku yang seorang pegawai kantoran pulang tepat waktu dan bisa sampai rumah antara pukul 6:30 hingga 7 malam. Waktu perjalanan kerjanya sekitar satu jam. Jika aku selesai sekolah dan mengambil shift kerja sore, aku yang pulang lebih lambat. Karena sudah memasuki masa ujian, aku berusaha untuk tidak bekerja terlalu lama, tetapi hari ini kebetulan ada kekurangan tenaga kerja, jadi aku bekerja lebih lama dari biasanya.

Sejak masuk bulan Oktober, sepertinya ayahku sudah sedikit lebih tenang dengan pekerjaannya, dan akhir-akhir ini dirinya bisa pulang tepat waktu. Jika aku tidak melihat sosoknya, mungkin ia sudah cepat-cepat masuk ke kamar tidur. Mungkin ia khawatir suara televisi yang terdengar di ruang tamu bisa mengganggu belajarku dan Ayase-san yang merupakan peserta ujian.

“Kamu sendiri sudah makan, Saki? 

“Masih belum.

Kalau begitu.

Ya. Selain aku bisa menyuci piringnya sekaligus.

Meskipun dia mengungkapkan efisiensi... 

Aku juga ingin makan bersamamu.

Perkataan manis adik tiriku membuat sudut mulutku naik tanpa sadar.

Aku tidak tahu seberapa banyak kakak beradik di luar sana yang ingin makan bersama. Mungkin ada banyak adik perempuan yang lebih memilih tidak mau makan bersama kakak laki-laki mereka. Mungkin ada, tetapi aku sendiri senang bisa berbagi meja makan dengan Saki, yang merupakan adik tiriku sekaligus pacarku―――aku memutuskan hanya memanggilnya dengan sebutan itu di dalam rumah.

Setelah menyajikan nasi putih dari rice cooker ke dalam mangkuk dan menyiapkan sup miso, kami mulai menyantap makan malam yang agak terlambat.

Topik pembicaraan di meja makan sering kali tentang berbagai kejadian di sekolah, tetapi yang menarik adalah, meskipun aku dan Ayase-san berada di kelas yang sama sehingga kehidupan sehari-hari di sekolah terasa sama, ternyata ada kejadian yang tidak kami ketahui satu sama lain.

Topik pembahasan kami ialah tentang teman sekelas kami yang bernama Katou. Dia adalah orang yang pergi ke kantin saat jam istirahat dan membeli minuman bersoda satu liter, hanya untuk menyelesaikan makan siangnya dengan itu... 

Baru-baru ini, ia mulai pacaran dengan seorang gadis dari kelas 3-5. Katanya mereka makan bersama, dengan bekal.

“Hee.”

Begitu rupanya. Aku tidak menyadarinya karena ia terus menghilang dari kelas seperti sebelumnya, tetapi perilakunya setelah itu memang berbeda. Tanpa kusadari. Dan jelas, aku tidak pernah menyangka kalau Ayase-san menunjukkan minat pada cerita cinta seperti ini sebelumnya.

Ah, aku juga tidak menyadarinya sendiri. Satou-san dan ketua kelas yang bilang. Ah iya, kamu tidak tertarik pada cerita orang lain ‘kan, ya? Maaf. 

Ya, aku memang tidak tertarik pada siapa yang pacaran dengan siapa... tapi, apa kamu mau kita makan siang bersama juga?

Artinya, aku ingin mengatakan apa dia menyiratkan hal semacam itu. Namun, semuanya percuma juga setelah festival budaya. 

Ah, tidak... tapi tidak apa-apa. 

“Begitu ya. Tapi yah, jika kamu merasa seperti itu, kamu bisa bilang kapan saja. 

Ya, mungkin nanti...

Tapi, Katou, ya... tak kusangka ia sudah tumbuh besar.

Kenapa kamu malah berbicara seperti orang tuanya?

Jika kita bisa saling tersenyum, topik semacam ini sama sekali tidaklah buruk. Meskipun aku tidak ingin menyebarkan gosip.

Namun, aneh rasanya ada dunia yang tidak aku ketahui meskipun aku seharusnya ada di sana. Hal tersebut membuatku terkejut setiap saat. Tapi, aku juga berpikir bahwa kesenangan seperti ini akan segera berakhir. Tahun depan, kehidupan sekolah di mana kita tidak saling mengenal akan dimulai. Asalkan kami tidak gagal ujian. Ayase-san berencana masuk universitas perempuan, jadi itu adalah dunia yang tidak bisa aku bayangkan karena aku sudah berada di sekolah campuran sejak taman kanak-kanak.

Ketika aku mengangkat topik itu, Ayase-san sedikit memiringkan kepalanya dan berkata, 

“Bukannya itu sama saja?

“Apa iya?

“Memangnya ada banyak perbedaan antara sekolah khusus laki-laki dan sekolah campuran? 

Aku tidak tahu karena aku selalu di sekolah campuran... tapi aku pernah mendengar bahwa itu berbeda.

“Apa bedanya?

“Itu adalah sesuatu yang tidak ingin kubicarakan saat makan.

Ketika suatu tempat cuma berisi laki-laki, entah bagaimana... mereka menjadi bodoh. 

Ah... yah, kupikir ada beberapa hal yang lebih baik tidak diketahui.

Mungkin.

Setelah kami melakukan percakapan yang biasa ditemukan dalam novel horor klasik, aku tiba-tiba teringat bahwa Halloween sudah dekat. Mungkin karena aku melihat banyak dekorasi labu dalam perjalanan pulang. Itu berarti bulan Oktober akan segera berakhir. Artinya, waktu ujian tinggal kurang dari tiga bulan lagi. Aku harus memutuskan apa akan terus bekerja paruh waktu atau tidak. Ini bukan hanya untukku, tetapi juga untuk Ayase-san.

Ehm, begini.

Hmm? Ayase-san mengangkat pandangannya sambil mengambil ikan sanma yang sudah dipotong dengan sumpit. 

“Aku bisa membicarakannya setelah kamu memakannya, jadi tidak apa-apa.

Ya.

Dia langsung memasukkan sumpit ke dalam mulutnya. Sambil menunggu waktu mengunyahnya selesai, beberapa saat kemudian Ayase-san membuka mulutnya. 

Ada apa?

Yah, aku hanya berpikir bahwa bulan Oktober akan segera berakhir.

Jadi, bagaimana dengan pekerjaan paruh waktu kita?

Ketika aku mencoba untuk mengungkapkan hal itu, aku menyadarinya. Ada yang aneh dengan Ayase-san.

Dia tidak terlihat marah... tetapi lebih mirip seperti tegang. Wajahnya terlihat sedikit murung, yang jarang terjadi padanya. Dia tampak tegang dan bersiap-siap. 

Eh... Apa aku mengatakan sesuatu yang salah? 

Aku mencoba mengingatnya kembali, tapi aku tidak mengingat hal lain selain mengatakan bahwa bulan Oktober akan segera berakhir. Apa maksudnya ini? Mungkin ungkapan bahwa waktu ujian sudah semakin dekat merupakan hal yang tabu bagi pelajar peserta ujian, tetapi menurutku, Ayase-san bukanlah tipe orang yang akan panik karena hal itu. Dia jauh lebih rajin belajar untuk ujian dibandingkan diriku.

Tentu saja, rasa cemas tidak akan hilang begitu saja hanya dengan kata-kata penghibur seperti semuanya baik-baik saja dari orang lain. Namun............ aku terus memikirkannya. Dan kemudian aku menyadari bahwa mengharapkan orang lain untuk mengerti niatku tanpa berkata-kata bukanlah cara yang tepat dalam hubunganku dengan Ayase-san. Seharusnya kami berusaha untuk memiliki hubungan di mana kami bisa saling menyampaikan apa yang ingin dikatakan.

Mengharapkan orang lain untuk mengerti niat hati adalah sesuatu yang tidak bisa diterima di antara kami. Lagipula, aku memang kurang memiliki kemampuan untuk membaca suasana. Wajah Maru yang ahli dalam permainan psikologis dan Narasaka-san yang mahir dalam memperhatikan orang lain muncul sejenak di pikiranku. Baik aku maupun Ayase-san bukan tipe orang seperti itu.

Itulah sebabnya, aku mengungkapkan apa yang ada di pikiranku dengan jujur.

“Apa ada sesuatu yang terjadi?

Ayase-san yang semula diam-diam menyantap ikan sanma dengan ekspresi datar, langsung menatapku ketika mendengar kata-kataku. Dengan ekspresi kosong, dia menjawab dengan nada dingin, “Tidak ada apa-apa, jadi tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Lalu dia kembali menyantap ikan sanma. Datar dan tanpa ekspresi. Melihat sosok Ayase-san yang terkesan dingin begitu, aku merasa nostalgia, mengingat kembali saat pertama kali kami bertemu.

Namun, Ayase-san kemudian memaksakan senyum yang tampak dipaksakan.

Maaf ya. Ini bukan masalah besar, tapi ada sesuatu yang menggangguku, dan itu membuatku sedikit merasa murung. Tapi itu bukan salah Yuuta-niisan, jadi aku berharap kalau kamu tidak terlalu memikirkannya.

Aku merasa bahwa cara dia segera menyadari sikapnya dan berusaha untuk memperbaikinya menunjukkan sisi yang berbeda dibandingkan saat kami baru pertama kali bertemu. Meskipun dia sedang menyimpan sesuatu, setidaknya dia berusaha untuk menunjukkan perasaan persahabatan di permukaan. Itu menunjukkan bahwa Ayase-san tidak terlalu acuh dengan apa yang kupikirkan.

Namun, justru karena itulah aku menjadi khawatir. Pada saat itu, aku seharusnya melanjutkan percakapan dengan Ayase-san sedikit lebih lama.

Komunikasi merupakan kombinasi dari kualitas dan kuantitas. Keyakinan bahwa kami bisa saling memahami adalah jebakan. Bahkan pasangan suami istri yang telah lama bersama selama bertahun-tahun, jika kuantitas komunikasi mereka tidak mencukupi, maka kepercayaan yang mereka miliki akan mulai runtuh.

Seharusnya aku sudah mengetahui itu dari keruntuhan hubungan antara ayahku dan ibu kandungku...... Kurasa, mungkin aku sudah terlalu lengah.

 


Sebelumnya  |  Daftar isi  |  Selanjutnya

close

Posting Komentar

Budayakan berkomentar supaya yang ngerjain project-nya tambah semangat

Lebih baru Lebih lama