Chapter 5
(Sudut
Pandang Ayana)
“...Towa-kun?”
“Ayana?”
Di
sela-sela jam istirahat, aku akhirnya mencapai batas kesabaranku.
Di tengah
tatapan heran Setsuna dan
teman-temanku yang lainnya,
aku mulai membereskan barang-barangku, karena aku
tidak bisa menahan diri lagi.
“Eh,
Ayana?”
“Apa
jangan-jangan kamu akan
pergi ke rumah Yukishiro-kun?”
“Ya.”
Aku akan
membolos sekolah untuk menjenguk pacarku... Aku tahu ini tidak akan diterima
begitu saja oleh guru. Tapi
selama ini aku menjalani kehidupan sekolah dengan
patuh, jadi mungkin aku bisa membujuk guru dengan alasan yang masuk akal.
“Kamu akan bilang apa pada guru nanti?”
“Yah,
ada istilah 'berbohong demi kebaikan'.”
“Ah,
begitu ya... Kalau Ayana berbicara
dengan wajah serius, guru pasti akan percaya.”
“Iya ‘kan,
Iya ‘kan!”
“Ampun deh...
Kamu benar-benar hidup demi cinta, ya.”
“Tentu
saja, karena ini cinta!”
...Ya, perasaan cintaku pada Towa-kun tidak
terbatas.
Tapi
bukan hanya itu saja... Aku
khawatir──bukan hanya karena Towa-kun sedang
sakit demam, tapi aku juga merasakan perasaan cemas lagi.... aku merasa
takut karena seakan-akan orang yang
kucintai pergi meninggalkanku.
“Kalau
begitu, semuanya, aku permisi dulu.”
“Ya,
semangat ya.”
“Sampaikan
salamku pada Yukishiro-kun~.”
Setelah meninggalkan ruang kelas,
aku langsung menuju ruang guru.
Berbohong
demi cinta, tidak ada halangan... Tapi aku belum memikirkan alasan apa yang
akan kuberikan. Tapi saat aku masuk ke dalam
ruang guru, wali kelasku langsung
berkata begini.
“Aku
mengerti, pulanglah sana.”
“Eh?”
“Aku akan
memberimu izin
khusus kali ini. Tapi lain kali, jangan terlalu
sering melakukan ini. Bahkan jika aku bisa
fleksibel sampai batas tertentu, masih ada batasnya.”
“...Terima
kasih, Sensei.”
“Nah,
pergilah.”
Aku
meninggalkan ruang guru sembari di antar dengan
senyum lembut wali kelasku yang
mengizinkanku pergi.
....Rupanya
aku dikelilingi oleh banyak orang dewasa yang baik.
Begitu aku selesai mengganti sepatuku di pintu masuk, aku langsung
berlari dengan sekuat tenaga.
Bukan
karena perasaan yang segar, tapi karena aku tidak ingin dibebani rasa cemas
yang menghantui ini... Aku harus segera sampai di
rumah Towa-kun.
“Towa-kun...
Towa-kun...”
Kenapa...
Kenapa aku merasa cemas seperti ini?
Berbeda dengan
sekolah yang ber-AC, suhu di luar
sangatlah panas... Berlari kencang seperti ini membuatku
berkeringat dan terengah-engah.
“Hah...
Hah...”
Sambil terus
mengabaikan rasa lelah dan sesak
napasku, aku terus berlari menuju rumah Towa-kun... Saat
tiba, tubuhku sudah basah kuyup karena cucuran keringat.
Kemejaku
menempel di kulit, bahkan garis-garis pakaian dalamku mungkin terlihat... Tapi
aku tidak punya waktu untuk merasa malu, karena yang kupikirkan hanya Towa-kun.
“Ah,
aku harus menghubungi Akemi-san dulu.”
Sambil
mengatur napas, aku mengirim pesan pada Akemi-san yang sedang bekerja.
Meskipun
Akemi-san sudah pernah memberitahuku kalau
aku bisa datang kapan saja, tetap saja masih ada
etika yang harus dijaga di antara orang yang saling akrab.
Aku
membunyikan bel dan menunggu beberapa saat,
tapi Towa-kun tidak kunjung membuka pintu.
Karena aku
berpikir kalau ia mungkin sedang tidur, jadi aku membuka pintu dan segera menuju
kamarnya.
Aku
mengetuk pintu kamarnya dengan lembut....
dan melihat bahwa Towa-kun
memang sedang tertidur.
“...Fyuh.”
Syukurlah...
Towa-kun masih ada di
sini.
Meskipun
kondisinya sekarang tidak bisa dibilang baik, setidaknya aku merasa lega karena bisa
melihatnya.
“Benar...
Towa-kun tidak akan pergi ke mana-mana, karena ia
sudah berjanji kalau kita akan bahagia
bersama.”
Janji
yang terukir di dalam hatiku dengan Towa-kun... Selama
ada itu, aku tidak akan merasa cemas... Tapi kenapa aku masih merasa cemas,
padahal Towa-kun ada di sini?
“Aku
merasa lega melihatmu di sini... Tapi,
apa-apaan ini?”
Towa-kun...
Towa-kun...Towa-kun, Towa-kun, Towa-kun.
Terdorong
oleh kecemasan, aku masuk ke dalam kamarnya
dan duduk di samping ranjangnya, memandangi Towa-kun.
“Uhh...
Hah.”
Dia
tampak tersiksa... Melihatnya tampak kesakitan
begitu membuatku ingin menukar posisiku dengannya.
Meskipun
suaranya semalam sudah menunjukkan dia sakit parah, ternyata kondisinya lebih buruk dari yang
kubayangkan.
“...Aku...
Aku... Di mana... Aya...na”
“Ah...”
Towa-kun
memanggil namaku. Tanpa bersuara keras atau mengguncangnya, aku meraih
tangannya dan menggenggamnya erat.
“Towa-kun...
Aku di sini. Aku ada di sini.”
Aku yakin
kalau Towa-kun pasti tidak
akan marah jika aku membangunkannya... Mungkin dia akan tersenyum senang
meskipun keheranan karena aku membolos, atau
mungkin akan menyuruhku pulang karena takut tertular demam.
Tapi aku
tidak akan pernah mau pergi.
“Towa-kun...
Aku menyukaimu. Berkatmu, aku bisa meraih kebahagiaan. Dan aku ingin kita berdua bisa semakin bahagia bersama.”
Aku tidak
bisa berhenti berbicara....kata-kataku terus mengalir seolah-olah ingin menenangkan Towa-kun yang
sedang menderita karena demam.
“Kamu... sudah menyelamatkanku, Towa-kun. Mungkin kamu juga berpikir bahwa aku telah
banyak menolongmu. Tapi bagiku, kamu lah yang telah menyelamatkanku──kamu yang ada di hadapanku saat ini.”
Kenapa
aku mengatakan “kamu yang ada di hadapanku saat ini”?
Towa-kun
tetaplah Towa-kun, ia tidak
berubah dari dulu hingga sekarang. Ini bukan hal yang perlu terlalu dipikirkan.
Jadi aku
hanya ingin menyampaikan perasaanku... Bahwa aku sangat, sangat mencintaimu.
“Hehe,
memang aku selalu mengungkapkan cintaku padamu. Tapi tidak apa-apa kan, terus
menggumamkan kata-kata cinta pada orang yang kita cintai? Ah, tapi kalau aku
terlalu menjengkelkan...awawa”
Aku
menyadari sesuatu yang penting... Jika terlalu mendesak, kebaikan bisa berubah
menjadi merepotkan. Aku harus lebih berhati-hati ke depannya.
Aku
sedikit mempererat genggaman tanganku pada Towa-kun. Aku ingin menyampaikan bahwa aku ada
di sini, dan tidak akan pernah melepaskannya.
"Hei,
Towa-kun... Jika kamu sedang
mencariku, atau mencari tempat untuk pulang, kamu
tidak perlu bingung — karena
di sini adalah tempatmu... Tempatmu untuk pulang.”
Dan aku
akan selalu menunggumu, apapun yang terjadi.
Oleh karena
itu, cepatlah buka matamu... Aku ingin
kamu melihatku dengan tatapan kasih
sayangmu seperti biasa.
“...Ah.”
Meskipun
tidak ada alasan sedih mengenai
hal itu, tapi
air mata mulai menetes dari mataku.
Aku tidak
bisa menghentikan tetesan air mata yang mengalir deras itu... Menghapusnya
dengan tangan tidak semudah itu.
Jadi,
kumohon... Bukalah matamu, Towa-kun.
Jika kamu melihatku... Aku akan berhenti
menangis.
▼▽▼▽
(Sudut
Pandang Towa)
“...?”
Rasanya seperti
ada yang memanggilku. Setelah
aku memandang ke kekosongan untuk
beberapa saat, aku kembali fokus pada layar komputer. Game yang tiba-tiba menyala...
Aku hanya membaca cerita dari 【Aku
Kehilangan Segalanya】
tanpa henti.
“...Aku benar-benar
kaget saat pertama kali memainkannya.”
Sebenarnya
ini adalah fandisc, yang menjelaskan latar belakang cerita utama secara rinci.
“Tapi,
tidak peduli seberapa sering aku melihatnnya, dia selalu
terlihat cantik ya...”
Adegan
erotis Ayana benar-benar penuh gairah, dan dialognya selalu menyentuh hati
Towa.
Jika
hanya memainkan game utamanya, Shu akan terlihat seperti direbut
sepenuhnya. Tapi dari sudut pandang yang tahu semuanya, setiap kata Ayana
hanyalah ungkapan cintanya pada Towa.
“...Entah
kenapa, rasanya tidak pas.”
Jelas sekali kalau Ayana mencintai Towa...
Tapi entah kenapa, kata-kata yang keluar dari gadis game itu membuatku merasa
janggal, seolah-olah bukan
Ayana yang kukenal.
“Ayana
yang kukenal itu seperti apaan
sih...”
Kurasa aku
terlalu menyukai game ini
dan karakternya sampai tidak bisa membedakan khayalan dan kenyataan... Tidak, tidak, aku tidak sampai separah itu!
“Fyuh,
aku harus tenang... Yah, wajar saja kan, menyebut karakter
anime atau manga sebagai 'waifu'
kita.”
...Kenapa
aku jadi panik begini?
Di layar,
Towa dan Aya-na terus memadu kasih mereka dengan
pakaian lahir mereka.
“Maaf
ya, kalian berdua... Gara-gara aku, kalian berdua
masih dalam posisi begitu.”
Mereka
berdua saling terhubung satu sama lain untuk waktu yang lama karena aku tidak
mengklik untuk melanjutkan, dan Ayana mengangkat kakinya sangat tinggi sehingga
para pesenam pun akan terkejut, jadi pasti sulit baginya untuk melakukan hal
ini setiap saat.
“Haha,
menertawakan hal semacam ini saat bermain game erotis, aku memang hebat. Aku
sungguh memiliki pandangan yang berbeda.”
Sambil menertawakan kelakuanku sendiri, aku
melanjutkan memainkan fandisc yang menggambarkan
kehidupan Ayana.
“...”
Aku
mungkin lebih fokus dari biasanya saat memainkan fandisc kali ini.
Aku
memandangi layar tanpa berkedip, tidak bisa mengalihkan pandangan.
Setiap kali
aku melihat kehidupan
yang ditempuh Ayana, aku tetap merasa kasihan padanya seperti
biasa. Tapi kali ini ada yang berbeda── aku ingin sekali menghiburnya, aku ingin berada di sampingnya untuk
membuatnya tenang.
“Aku...
Aku...”
Aku...
Apa yang sebenarnya ingin kulakukan?
Semakin
aku menelusuri jalan ceritanya,
perasaan aneh yang tadinya tidak begitu aku mengerti, mulai menjadi semakin lebih jernih.
“...Ah,
begitu ya...”
Kabut di
dalam kepalaku mulai menghilang, membuatku mengingat dengan jelas.
Ah...
Begitu rupanya.... tempat
ini memang dunia tempat aku berada, tapi bukan lagi dunia tempatku hidup.
Saat aku menyadari hal itu, semua
ingatanku kembali dengan cepat.
Dan aku
juga berpikir:
“Sebenarnya,
dunia tempat dia ada bukanlah dunia yang aku tinggali... Itu dunia yang seharusnya
tidak ada, yang tidak bisa kujangkau. Mungkin karena itulah sebabnya.... kalau aku tidak
mengingatnya, aku akan terus terjebak di sini.”
Ini
mungkin untuk menyadarkanku bahwa reinkarnasi tidak mungkin terjadi di dunia
nyata...
Yah,
mungkin aku terlalu banyak berpikir. Mungkin juga aku bisa kembali jika waktu
berlalu. Tapi aku tidak punya cara untuk memastikannya — karena aku sudah memutuskan
untuk hidup di dunia seberang sana.
“Towa-kun...
Aku ada di sini.”
“Ayana?”
Suara
Ayana terdengar di ruangan yang hanya berisi diriku. Mendengar suaranya yang hampir
menangis, aku langsung ingin kembali. Aku
langsung berdiri.
“...Ayana.”
Game
berhenti tepat di adegan Ayana mengungkapkan kekecewaannya. Di layar, Ayana yang basah kuyup
terlihat sedih, menyentuh hati semua pemain. Aku menyentuh pipinya di layar,
seolah-olah ingin mengusapnya.
Tentu
saja terasa keras, tapi entah kenapa rasanya seperti biasa aku menyentuhnya.
“Ayana...
Aku tidak akan pernah membiarkanmu berwajah sedih seperti itu. Walaupun aku
tidak bisa menghiburmu yang ada di sana, aku akan terus melindungi Ayana yang
telah kutemui dan berjanji untuk berbagi masa depan.”
Ya, ini
tekadku yang tak tergoyahkan... Perasaanku.
“Hei
Towa, aku tidak bisa menghibur Ayana di sana. Kalau begitu, siapa lagi yang
bisa menghiburnya? Hanya kamu,
Yukishiro Towa.”
Aku tahu
ini sia-sia... Tapi aku tidak bisa diam saja. Aku harus melindungi Ayana yang
aku cintai... Jadi hanya Yukishiro Towa di dunia sana yang bisa menghibur Ayana
yang menangis ini.
“Nah....kurasa sudah saatnya aku kembali.”
Ah, tapi
aku ‘kan sedang demam parah... Mungkin tidak apa-apa
tinggal di sini sampai sembuh?
“Haha,
jika itu demi bisa bertemu Ayana, aku rela
menderita seperti ini. Malah, aku menginginkannya. Baiklah, aku akan kembali,
Ayana.”
Begitu
aku keluar dari ruangan ini, aku akan bisa kembali ke dunia sana. Saat aku hendak berjalan menuju
pintu tanpa keraguan, aku merasa layar komputer menampilkan sesuatu yang
berbeda, dan menoleh.
“...Eh?”
Itu bergerak...
Game itu terlihat bergerak sendiri.
Dan
adegan yang belum pernah kulihat—
Towa sedang memeluk dan menghibur Ayana yang menangis.
“...Ternyata
aku tidak perlu khawatir, ya?”
Setelah
mengalami pengalaman aneh seperti reinkarnasi, keajaiban sekecil ini sudah
seharusnya terjadi.
Aku
memperhatikan dengan seksama dua orang yang berpelukan itu, lalu membuka mata.
▼▽▼▽
“...Ayana?”
“Sshhh...
Sshh...”
Begitu aku membuka mataku, aku menyadari kalau Ayana ada di sampingku. Dengan kepala yang masih pusing,
aku menoleh ke samping dan melihat Ayana tertidur di tepi ranjang, menggenggam
tanganku erat. Sepertinya
dialah yang menarikku kembali dari dunia sana.
“Tapi...
Siapa gadis itu sebenarnya—”
Kouhai
perempuan yang muncul di dunia sana, yang mirip Ayana... Aku tidak bisa
mengingatnya dengan jelas.
Tidak
hanya wajahnya yang mirip Ayana, tapi juga cara bicaranya dan auranya. Jika itu
hanya khayalanku, atau keinginanku untuk ada orang seperti itu di sampingku,
itu hanya menunjukkan seberapa besar
aku mencintai Ayana.
“Sekarang
sudah siang, ya.”
Perutku
juga lapar... Ah, itu berarti
Ayana membolos sekolah untuk datang kemari. Meskipun aku
sedikit terkejut, tapi aku juga senang, jadi aku tidak akan memarahinya.
“Ayana
pasti belum makan siang, ya?”
Sebaiknya
aku membangunkannya dan menyuruhnya makan. Tapi tiba-tiba aku sadar, rasa sakit
dan lemasku tadi sudah hilang tanpa bekas.
Meskipun
masih sedikit lelah, tapi aku merasa sudah pulih hampir sepenuhnya.
“Hm...
Hmm?”
“Oh,
kamu sudah bangun rupanya, anak
nakal.”
Aku berkata demikian sambil tertawa dan Ayana mengucek matanya. Begitu
menyadari aku sudah bangun, matanya perlahan terbuka... Tapi dia tidak langsung
memelukku, hanya berhenti tepat di depanku, seolah menahan diri.
“Ah,
untung saja... Towa-kun kan sedang sakit, jadi aku harus menahan diri untuk
tidak langsung memelukmu.”
“Aku
sih tidak keberatan. Anehnya, aku sudah merasa jauh lebih baik... Tapi lebih
baik kamu tidak memelukku, nanti demamku akan
menular.”
Ah, aku
merasa lega. Tidak ada
lagi rasa sakit, kecemasan, atau kesepian... Rasanya
seolah-olah seperti aku baru
saja terlepas dari mimpi buruk. Dan sekarang, ada yang ingin
kukatakan dengan jelas setelah merasa tenang.
“Aku
pulang, Ayana.”
Diucapkan
di sini pun, “Aku
pulang” mungkin hanya akan membuat Ayana
bingung. Tapi Ayana tersenyum dan berkata,
“Selamat
datang kembali, Towa-kun.”
Ketika mendengar
itu, aku pun membalas dengan senyum.
“Kamu belum makan siang, ‘kan?”
“Iya, aku
sangat lapar.”
“Baiklah,
aku akan segera membuatkan sesuatu.”
“Kamu membawa
bekal?”
“Tidak,
aku berencana membuatnya di sini, jadi sekalian
untukku juga.”
“Oh,
begitu ya.”
Yah, aku sih merasa senang dengan itu!
Setelah
menghabiskan makan siang yang dibuatkan Ayana, aku mandi untuk menghilangkan
keringat. Dan
ternyata, Ayana juga ikut mandi.
“Sebenarnya
aku berlari dari sekolah... Walaupun keringatku sudah kering, aku juga ingin
mandi.”
Jadi
Ayana begitu khawatir sampai-sampai dia berlari kemari. Setelah
memeriksanya lagi, sepertinya suhu badanku sudah normal lagi,
dan aku juga tidak merasa sakit seperti tadi. Tapi aku sudah memutuskan untuk
beristirahat total hari ini.
“Ketika aku
berbaring di sini, teman-teman sekelas pasti sedang belajar.
Memang paling mengantuk di jam segini.”
“Benar.
Wah, kita ini memang beruntung ya.”
“Kalau
ada Ayana di sampingku di ranjang ini, semuanya akan
lebih sempurna lagi.”
Ya, itu
satu-satunya yang masih kurang.
Ranjang
itu memang untuk tidur, jadi rasanya nyaman berbaring di sana. Dan akan lebih membahagiakan
lagi jika bisa memeluk gadis yang kusayangi di sana...Ah, sayang sekali.
“...”
“Ayana-san?”
Kenapa
dia memandangiku tajam begitu?
Ayana
mendekat dengan wajah serius, lalu menarik selimut, sepertinya ingin ikut
berbaring. Tentu saja aku mencegahnya.
“Apa
yang kamu lakukan?”
“Kamu bilang kalau semuanya akan lebih sempurna kalau
aku berbaring di sini bersamamu, ‘kan?
Jadi aku ingin tidur bersamamu.”
“Maaf,
aku bicara sembarangan. Ingat, aku sedang demam.”
Aku sudah
berkali-kali mengingatkan, tapi Ayana masih terlihat ingin sekali masuk ke
dalam selimutku. Akhirnya setelah beberapa saat, dia menyerah.
Karena
aku tidak mengantuk, aku mengobrol dengan Ayana. Ini kesempatan yang baik untuk
menceritakan hal-hal yang tidak bisa kubicarakan kemarin.
“Jadi,
aku berbicara dengan Shu. Ia
terlihat sangat bahagia.”
“Begitu
ya... Hehe, Shu-kun.”
“Sepertinya
ia sudah bisa melangkah ke depan... Dan ia bilang ingin bicara denganmu lagi
lain kali.”
“Tidak
masalah kalau sekarang juga.”
“Tapi,
ia bahkan membutuhkan banyaka keberanian
untuk berbicara denganku...
Mungkin ia membutuhkan waktu sedikit lebih lama denganmu, Ayana.”
“Benar juga... Kurasa aku harus menunggu
dengan sabar.”
Jelas
sekali Ayana menyambut dengan senang perubahan Shu. Meskipun mungkin tidak bisa
kembali seperti dulu, tapi kemajuan ini sudah lebih dari cukup, karena kami
baik-baik saja.
“Ini
semua berkat Towa-kun. Karena Towa-kun ada di sini, masa depan yang bahagia
menanti... Apa Towa-kun sebenarnya penyihir atau semacamnya?”
“Jangan
bicara omong kosong. Aku bukan penyihir... Aku hanya manusia yang berjuang
sekuat tenaga demi orang yang kusayangi.”
“...Itulah yang membuatmu luar biasa.”
“Ya, kamu
juga sama begitu, k’an?”
“Yah...
Hehe♪”
“Haha.”
Aku masih berbaring, sementara Ayana duduk
di lantai di samping ranjangku. Meskipun kami berusaha menjaga
jarak karena ingin saling memeluk atau lebih dekat, tapi Ayana tetap mendekat seraya mengatakan kalau dirinya tidak bisa menahan diri
lagi.
“Selama
tidak ada kontak langsung, tidak apa-apa kan? Jadi, di sini saja.”
Hei,
Ayana, itu juga tidak bagus. Ayana
duduk persis di samping ranjangku, memandangiku lekat-lekat.
“...Tapi perkataan 'kontak
langsung' itu terdengar agak vulgar ya.”
“Iya, ‘kan?
Hei Towa-kun, cepatlah sembuh ya? Terus terang saja, aku ingin melakukan 'hal
itu' denganmu.”
“Kamu mengatakannya
dengan blak-blakan.”
“Tentu saja,
karena sudah tidak perlu malu-malu lagi di antara kita, ‘kan?”
Benar
juga... Aku mengulurkan tangan dari dalam selimut untuk mengusap kepala Ayana,
lalu menyentuh pipinya.
“Aku
suka saat kamu
menyentuhku seperti ini. Hanya ingin merasakan keberadaan orang lain, tanpa
berpikir apa-apa.”
“Iya,
hanya dengan begini saja aku sudah bahagia... aku
ingin cepat sembuh supaya aku bisa melakukan 'begituan' denganmu sepuasnya.”
“Ayo
lakukan! Jadi cepatlah sembuh, oke?”
Aku ingin
sedikit menggoda Ayana dengan membahas 'hal itu', tapi ternyata kami sudah
tidak canggung maupun malu lagi.
“Ayana.”
“Ya?”
“Tadi...
Aku berada di dunia yang berbeda dari sini.”
“Dunia
yang berbeda? Aku sangat penasaran, tolong ceritakan padaku.”
Ketimbang
bereaksi kebingungan atau tidak mempercayainyam Ayana justru memintaku untuk menceritakan
tentang dunia yang berbeda itu.
Biasanya,
orang-orang akan bingung atau heran
mendengar cerita tiba-tiba tentang dunia lain. Tapi Ayana mendengarkanku dengan
serius.
Aku
menceritakan apa yang terjadi sebelum aku sadar.
“Di
dunia itu, aku bukan Towa... Dan Ayana juga tidak ada. Tidak ada seorang pun
yang kukenal di dunia ini. Aku menjalani kehidupan
yang normal di dunia sana.....tapi aku menyadari ada sesuatu yang hilang.”
“...”
“Yah,
wajar saja... Di sana, memang ada tempat yang penting untukku, tapi Ayana tidak
ada di sana.”
Mungkin
itu dunia yang mirip denganku, tapi tetap berbeda.
“Aku terus bertanya-tanya apanya yang hilang...
Siapa yang ingin ada di sampingku? Saat memikirkan itu, aku teringat apa yang
telah kulupakan. Dan aku sadar, dunia yang harus kuhidupi, dunia yang ingin
kuhidupi, adalah tempat di mana Ayana berada.”
“Towa-kun...”
Aku
menyembunyakan kenyataan bahwa aku adalah seorang reinkarnasi. Tapi aku sudah menjadi Yukishiro
Towa, dan memutuskan untuk hidup di dunia ini.
Aku
adalah Towa, bukan siapa-siapa lagi.
Bukan
dengan meyakinkan diriku, tapi karena aku memang Towa yang hidup di dunia ini.
“...Hehe,
hei Towa-kun.”
“Ya?”
“Aku...
Menyukai Towa-kun yang ada sekarang. Sama seperti Towa-kun yang berubah, aku
juga berubah — Aku
menyukai Towa-kun yang ada di sini bersamaku saat ini. Bukan yang lain, tapi
Towa-kun yang selalu ada untukku, yang selalu menggenggam tanganku dan
mengatakan 'Aku menyukaimu'.”
Kali ini
giliran Ayana yang mengusap pipiku.
Aku
menikmati sentuhan kasih sayang dan dedikasinya, menyerahkan diriku pada
cintanya, meskipun sedikit geli. Sambil
menikmati sentuhannya, aku mendengarkan kata-katanya.
“Aku
tahu kalau kadang-kadang Towa-kun merasa bersalah akan
sesuatu.”
“...!”
“Tentu
saja, karena itu Towa-kun. Aku yang sangat mencintaimu tidak mungkin tidak
menyadarinya. Meskipun hanya sedikit perasaan janggal.”
“Be-Begitu
ya.”
“Tapi!
Itu tidak masalah, karena aku sangat menyukai Towa-kun yang sekarang— Hei Towa-kun, apa kamu menyukai dunia ini?”
Setelah dia
menanyakan itu, aku mengangguk dengan kuat tanpa ragu.
“Aku
tidak bisa melupakan dunia ini lagi. Jadi, aku ingin tetap di sini... Ayana,
bisakah kau tetap di sampingku?”
“Tentu
saja~♪ Sekali lagi, mohon bantuannya
ya?”
“Baik!
Terima kasih, Ayana.”
Ah... Entah sudaha seberapa banyak
kebahagiaan yang diberikan gadis ini padaku. Entah berapa kali sebelumnya aku
pernah merasa seolah terbebas dari beban. Tapi kali ini, rasanya jauh lebih
luar biasa.
Mimpi
itu... Mungkin mimpi itu adalah ujian untuk menyadarkanku apa yang paling
berharga bagiku. Mungkin
aku berpikir terlalu banyak, tapi setidaknya kini aku merasa benar-benar
menjadi bagian dari dunia ini.
“Hei,
Towa-kun!”
“Ya?”
“Kalau
dipikir-pikir, kita sudah lebih akrab dari pasangan pengantin baru! Setelah
lulus SMA, kita harus langsung menikah! Atau mungkin bisa juga menikah saat
masih kuliah!?”
“W-Whoa, tenanglah dulu Ayana!”
Dengan
antusiasme yang berlebihan, Ayana hampir saja melompat ke arahku. Aku berusaha
menahannya, tapi itu membuatku sedikit tidak enak badan lagi.
“Maaf,
maaf, maaf, maaf!”
“Haha...
Ayo, tenang sedikit ya?”
Sambil tersenyum
melihat Ayana yang meminta maaf berulang-ulang, aku mengucapkan terima kasih
padanya.
“Terima
kasih, Ayana... Terima kasih sudah menemukanku.”
Dan Ayana
pun membalas,
“Justru
akulah yang harusnya berterima kasih, Towa-kun♪”
Kami
sudah sering mengucapkan kata-kata itu satu sama lain.
Tapi
tidak peduli berapa kali, aku tetap merasakan seberapa
berharganya Ayana bagiku.
Dan aku
percaya kalau Ayana juga merasakan hal yang
sama... Itulah
kebahagiaan yang sesungguhnya.
(Aku...
Akan hidup di sini.)
Aku akan hidup
di dunia ini, bersama gadis yang tersenyum di sampingku.