Chapter 1 — 20 Oktober (Rabu) Asamura Yuuta
Aku sudah berdiri
di depan wastafel sejak pagi, merasa gelisah dan kebingungan.
―――Ada
sesuatu yang mengganggu pikiranku, dan itu membuat suasana hatiku sedikit murung.
Ketika adik tiriku,
atau lebih tepatnya kekasihku, mengatakan hal seperti itu, rasanya sulit untuk
tidak memikirkannya.
Akan tetapi,
yahh.
Aku menatap
wajahku di cermin.
Saat aku
menggerakkan pisau cukur di sekitar mulutku yang tertutup krim cukur, busa itu
menghilang dan kulit yang halus muncul. Setelah aku mengulangi proses itu
beberapa kali dan mencukur jenggot yang tumbuh pendek, aku mencuci wajahku
dengan air mengalir. Musim ini sudah mulai membuat air keran terasa dingin.
Namun, aku tidak sampai harus mengganti dengan air hangat, karena begitulah
pagi di akhir Oktober.
“Fyuh............”
Aku menutup
keran dan mengambil handuk.
Dulu,
setelah ini, aku hanya mengelap air di kulitku dengan handuk dan selesai,
tetapi sekarang aku memutuskan untuk menggunakan toner dan lotion.
Ini disebut perawatan kulit. Meskipun aku berpura-pura tidak memerlukan
penampilan yang modis, tapi Ayase-san memberiku nasihat, “Mengabaikan kesehatan
kulit sama dengan mengabaikan kesehatan tubuh”.
Itu
merupakan pembicaraan yang lebih mendasar daripada penilaian orang lain tentang
kebersihan dan daya tarik. Pada dasarnya, kulit adalah sensor kesehatan seluruh
tubuhku, begitulah katanya. Memang, ketidaknyamanan tubuh akan terlihat di
kulit. Namun, jika kulit yang seharusnya mencerminkan kesehatan itu sendiri
sudah rusak? Jika alat pengukur rusak, maka pengukuran yang akurat tidak dapat
dilakukan—itulah logikanya. Saat aku mengangguk dan mengatakan itu kepada
Ayase-san, entah bagaimana dia tampak sedikit sungkan dan berkata, “Ji-Jika
kamu bisa memahami seperti itu, syukurlah kalau begitu.”
Jika itu
berhubungan dengan kesehatan, aku tidak keberatan untuk mencobanya, dan sejak
hari itu aku mulai cukup rajin merawat kulit, mengikuti jejak Ayase-san.
Kemudian,
aku mengingat ekspresi Ayase-san kemarin. Dia tidak terlihat pucat. Jadi,
sepertinya tubuhnya tidak dalam keadaan tidak sehat. Mungkin ada yang
mengganggu pikirannya.
Saat aku
melamun di depan cermin, mengingat kembali percakapan kemarin dengan Ayase-san,
ayahku muncul dari belakang dan bertanya, “Kamu kenapa?”
“Kenapa apanya...
tidak, bukan apa-apa, kok.”
“Begitu?
Sepertinya kamu sedang memikirkan sesuatu yang dalam.”
Sepertinya
aku terlalu jelas menunjukkan seberapa linglungnya diriku.
“Tidak. Yah,
tidak ada sesuatu yang khusus. Aku hanya melamun setelah bangun tidur.”
Setelah itu,
aku mundur dari wastafel dan berganti tempat dengan ayahku.
Saat aku
masuk ke dalam dapur, aku mulai menyiapkan sarapan. Meskipun
begitu, saat giliranku, aku tidak melakukan masakan yang rumit. Karena sudah
disiapkan dengan timer semalam, nasi sudah matang, dan sup miso hanya perlu
menambahkan satu bahan ke dalam bumbu sup miso siap pakai. Hari ini, aku
menaburkan sedikit rumput laut kering dan menuangkan air panas, semuanya selesai! Lauk pauknya hanya sisa makanan dari makan malam sebelumnya yang ada di
kulkas, jadi aku memutuskan untuk menyajikannya. Tumis manis dan pedas dari
teratai dan ubi jalar. Ini adalah cita rasa musim gugur. Buatan Akiko-san dan
rasanya enak. Dia membuatnya sebelum pergi bekerja semalam. Aku memanaskan
makanan itu dan meletakkannya di tengah meja makan.
Selanjutnya,
aku menyiapkan nori dan natto untuk tiga orang di atas meja. Apa mereka akan
memakannya atau tidak tergantung pada mereka, jadi aku tidak membuka kemasannya.
“Selamat pagi, Yuuta-niisan.”
“Ah,
selamat pagi, Saki.”
Ayase-san
sudah datang lebih dulu ke ruang
makan sebelum Ayah. Melihat dia sudah
mengganti seragam, sepertinya dia sudah bangun jauh lebih awal. Ayahku yang
agak terlambat juga masuk setelah merapikan diri. Akiko-san masih tidur di
kamar tidur karena biasanya dia pulang pagi.
Ketika kami bertiga duduk di
kursi meja makan, kami mengucapkan “itadakimasu”
dan mulai makan. Aku mencelupkan nori ke dalam piring kecil yang berisi kecap asin, kemudian membungkus sedikit
nasi dengan nori dan membawanya ke dalam mulutku. Sambil mengunyah, aku secara diam-diam mengintip
ekspresi Ayase-san. Wajahnya
tidak terlihat pucat, tetapi sepertinya dia memang sedang memikirkan sesuatu.
Ada kerutan halus di dahinya. Jika dia terus memikirkan hal itu sejak kemarin,
maka itu menjadi cukup “mengganggu.”
“Rasanya
hari ini sepi sekali ya,”
kata ayahku tiba-tiba.
Yah,
karena Ayase-san sedang berpikir, dan melihat Ayase-san membuatku juga ikut
berpikir, jadi wajar saja jika
jumlah percakapan kami menjadi berkurang.
“Ngomong-ngomong,
Yuuta, sepertinya kamu memang punya
masalah, ya? Sepertinya kamu sedang memikirkan sesuatu sejak pagi tadi. Jika kamu ada masalah, jangan ragu untuk
berkonsultasi denganku.”
Kenapa ia
hanya bertanya padaku? Ayase-san juga masih tidak
berbicara sejak tadi.
Atau
mungkin ayahku menyadari bahwa Ayase-san terlihat aneh, tetapi ia tidak ingin
terlibat dalam masalah putrinya dan tidak ingin dianggap mengganggu, mungkin.
Tidak, itu tidak sesuai dengan sifat ayahku.
“Aku
tidak mempunyai masalah apa-apa, sih, tapi...”
“Tapi?”
Daripada
itu, aku ingin mengisyaratkan pada ayahku tentang Ayase-san—
“Yuuta-niisan, padahal
sudah kubilang jangan mengkhawatirkan tentang itu.”
Ayase-san
sudah memahami apa yang ingin kukatakan dan
mendahuluiku.
Meskipun
aku khawatir, tapi kalau kamu terus bertingkah seperti
itu.... aku menatap ayahku dengan tatapan mata yang seolah-olah berkata,
“Sampaikan!” tetapi ia dengan cepat memalingkan wajahnya. ...Hm? Apa-apaan dengan reaksinya itu?
Sebelum
aku bisa memikirkan ketidaknormalan perilaku ayahku, Ayase-san menambahkan
kata-kata.
“Bagaimanapun juga, semuanya akan tenang untuk
sementara setelah bulan Oktober berakhir...”
“Setelah
bulan Oktober berakhir,” ya?
Apa yang
sebenarnya terjadi...? Hm?
“Apa kamu
sedang buru-buru hari ini, Yah?”
Padahal tadi
ia tampak seperti ingin mendengarkan keluh kesah anaknya, tapi sekarang ia malah makan dengan sangat cepat,
bukan?
“Eh...
tidak, biasa-biasa saja kok.”
Itu pasti
bohong. Ia sebelumnya makan sarapan dengan
santai. Bahkan melihat jam dinding, seharusnya masih ada waktu untuk berangkat
kerja, tetapi ia
berkata, “Oke, aku
pergi berangkat dulu”, dan berdiri dari
kursinya.
Entah
kenapa, rasanya sangat mencurigakan.
Aku
menatap punggungnya yang menghilang di balik pintu ruang makan, tetapi tiba-tiba aku
berhenti menggunakan sumpitku sejenak
dan berkata, “Oh iya, tunggu dulu, ayah.”
Sambil
berkata begitu, aku berdiri dan mengejarnya. Seolah-olah aku baru teringat
sesuatu yang harus dikatakan, padahal sebenarnya tidak ada. Aku yakin ayahku
tahu penyebab masalah Ayase-san. Insting
semacam itu terlintas di
benakku. Aku berusaha menghentikan ayahku yang sudah
hampir keluar, tetapi dengan sedikit selisih, ia lebih cepat membuka
pintu.
“Aya—”
“Aku pergi
dulu, ya, aku
sudah pergi berangkat duluan!”
Ia
berkata demikian dan menghilang di balik pintu.
Hei, ini sudah terlalu berlebihan. Aktingnya sangat buruk.
Jelas sekali ia menyembunyikan sesuatu... Baik
Ayase-san maupun ayahku, sepertinya ada sesuatu yang tidak bisa mereka katakan
padaku. Jika iya, apa yang mereka rahasiakan?
Setelah
menghela napas, aku kembali ke dalam ruang
makan.
Saat itu,
aku sudah menghapus ekspresi kecewa di wajahku.
Aku tidak ingin Ayase-san menyadari alasanku mengejar ayah.
“Apa masih sempat?”
“Ah,
ya. Aku baru mengingat ada
sesuatu yang ingin kuminta.”
Sambil
memberi alasan itu, aku merapikan sisa sarapanku.
Mungkin Ayase-san sudah menyadarinya.
Namun, jika dia bertanya, itu justru akan menjadi kesempatan untuk menyampaikan
kekhawatiranku, jadi tidak masalah. Membuat alasan atau kebohongan itu
sebaiknya dibuat dengan asumsi bahwa itu akan terungkap. Lagipula, aku bukanlah
pembohong yang cukup baik untuk menipu siapa pun. Lagipula, aku adalah putra dari ayah yang begitu.
Nah, aku
menunggu reaksi apa yang akan datang...
Akan tetapi,
Ayase-san hanya melanjutkan sarapannya
dengan diam.
Dia menggerakkan sumpitnya dengan
sangat fokus, seolah-olah merasa
ragu untuk berbicara. Sepertinya dia sedang memikirkan sesuatu, tapi jelas sekali bahwa dia tidak berniat untuk
mengatakan apa-apa. Ayase-san memang keras kepala dalam hal-hal seperti
itu.
Setelah
itu, kami menyelesaikan sarapan tanpa banyak melakukan
percakapan, dan kemudian kami keluar bersama menuju sekolah.
Ketika aku mulai menyerah karena dia sepertinya tidak ingin berbicara,
Ayase-san dengan ekspresi canggung memanggilku. “Maaf
ya, suasananya jadi buruk sejak kemarin”.
Dia
kemudian menambahkan, “Kemarin
malam, sepertinya ada sesuatu yang ingin kamu bicarakan, bukan?”
“Ah...
yah, sebenarnya ada.”
Benar sekali.
Aku ingin membahas sesuatu.
Aku
mengatur ulang dalam pikiranku tentang apa yang ingin aku bicarakan semalam.
Aku berencana untuk mendiskusikan tentang pekerjaan paruh waktu dengan
Ayase-san.
“Bagaimana
dengan pekerjaan paruh waktu kita?”
“Maksudnya bagaimana?”
“Maksudnya
apakah kita akan berhenti atau tidak. Jika berhenti, kita bisa menggunakan waktu itu untuk
belajar untuk ujian. Atau kita
bisa mengambil waktu cuti sampai
ujian selesai meskipun tidak berhenti.”
Keuntungan
dari pekerjaan paruh waktuku sekarang adalah dekat dengan rumah. Tergantung
pada universitas mana yang
akan kupilih, keuntungan itu bisa menghilang,
sehingga ada kemungkinan aku harus berhenti tergantung pada hasil ujian. Jadi,
ada pilihan untuk berhenti dari pekerjaan ini.
“Jadi,
aku penasaran, kamu akan memilih yang mana, Ayase-san?”
Aku
berbicara sambil merangkum pikiranku.
“Kurasa itu
tergantung pada Asamura-kun, mungkin.”
Ayase-san
menunjukkan sedikit keraguan sebelum mengatakannya.
Itu
adalah kata-kata yang tidak terduga. Aku tidak menyangka bahwa Ayase-san akan
menjawab pertanyaan tentang pedoman tindakannya dengan bergantung pada tindakanku.
Memberikan keputusannya untuk
melanjutkan pekerjaan paruh waktu padaku. Aku selalu berpikir bahwa Ayase Saki tidak akan mengubah tindakannya
berdasarkan tindakan orang lain, baik itu dalam
artian baik atau buruk.
Apa yang
terjadi dengan dirinya?
Namun,
tiba-tiba aku menyadari sesuatu. Ini hanya spekulasiku saja, dan aku tidak bisa menyatakan
bahwa itu tidak termasuk imajinasi yang menguntungkan bagiku...
[Tergantung
pada Asamura-kun, mungkin]
Jika kita
menginterpretasikan kata-kata Ayase-san secara standar, itu berarti jika aku
berhenti, dia juga akan berhenti, dan jika aku melanjutkan, dia juga akan ikut melanjutkan. Tidak, sebaliknya
juga mungkin. Jika aku berhenti, dia bisa melanjutkan, dan jika aku
melanjutkan, dia bisa berhenti, secara logis itu juga mungkin.
Namun,
aku dan Ayase-san tetaplah sepasang
kekasih. Oleh karena itu, jika
dipandang dari perspektif perilaku kekasih yang standar, pemikiran “aku ingin bersamamu” merupakan
hal yang wajar. Tidak, aku ingin berpikiran
begitu.
Tentu saja,
rasanya akan begitu menyedihkan jika setelah satu tahun
berpacaran, dia akan tiba-tiba
mengatakan, “Aku ingin
kita jarang bertemu, ini terlalu merepotkan”, seperti pasangan yang sudah
mengalami masa jenuh.
Kembali
ke topik. Dari sudut pandang pasangan normal,
keinginan untuk bekerja paruh waktu bersama adalah hal yang biasa. Selain itu,
ketika aku mengingat perilaku Ayase-san yang telah aku amati selama kami
bersama, aku merasa dia orang yang
cukup cemburuan. Tentu
saja, dia memiliki pandangan etika bahwa mengekspresikan kecemburuan itu tidak
baik, dan biasanya dia tidak menunjukkannya secara
jelas.
Namun, di
dalam hatinya, rasa cemburu itu pasti muncul. Kadang-kadang,
dia mengeluarkan sinyal SOS yang ingin menenangkan
perasaan cemburu yang muncul di harinya.
Objek kecemburuan itu mungkin termasuk Yomiuri-senpai, Fujinami-san, dan
mungkin juga Kozono-san. Mungkin Narasaka-san
juga termasuk di dalamnya. Yah, sebenarnya, hanya mereka
gadis yang bisa kuajak mengobrol.
Tentu
saja, itu bukan masalah hubungan sosialku yang menyedihkan. Ayase-san mungkin
tidak suka jika hanya dia yang berhenti dari pekerjaan paruh waktu, sementara
aku tetap bekerja di sana.
Jika dia berhenti, bukan hanya karena dia tidak ingin terpisah, tapi juga
karena dia tidak ingin aku bersama gadis
lain.
Namun,
dia mungkin sedikit menyadari bahwa itu berasal dari rasa cemburu, dan itulah
sebabnya dia tidak bisa mengatakannya. Dia mungkin takut bahwa dengan
mengikatku dengan kecemburuan, dia akan merampas pilihanku untuk melanjutkan pekerjaan
paruh waktu.
Mungkin itulah sebabnya dia tidak bisa
mengungkapkannya. Kata-kata yang muncul setelah konflik batin itu adalah “tergantung pada Asamura-kun”.
Aku memikirkan semua hal ini sambil berjalan, tetapi aku
terkejut ketika melihat wajah Ayase-san yang menunggu jawabanku. Mungkin waktu yang
berlalu tidak terlalu lama, tetapi tetap terasa lama untuk membuatnya
menunggu.
“Aku...
saat ini mungkin aku akan mengambil beberapa hari cuti, tapi aku tidak akan berhenti.”
“Apa kamu
beneran akan bekerja sampai detik-detik terakhir?”
“Pastinya,
setelah masuk bulan November, kurasa aku akan mengambil cuti panjang. Tapi, apa
aku akan berhenti atau tidak, aku ingin memutuskan setelah melihat hasil ujian
masuk universitas.”
“Jadi, semuanya itu tergantung universitas
mana yang kamu pilih?”
“Ya.
Jika aku masuk universitas yang lumayan jauh
hingga perlu tinggal di asrama, aku pasti
tidak bisa melanjutkannya. Namun,
meskipun menjadi mahasiswa, aku pasti akan terus pergi ke suatu toko buku.
Selama tidak terlalu sibuk atau ada ada perubahan
besar dalam lingkungan, bekerja di toko buku yang cukup besar dan dekat dengan
rumah akan lebih efisien.”
“Benar-benar
pasti, ya. Begitu.”
Ayase-san
membuka matanya lebar-lebar.
Ah, aku
mengenali tatapan ini. Di dunia ini, ada orang-orang yang bisa hidup tanpa
membaca buku. Dan bagi mereka, para pecandu huruf mungkin terlihat seperti
makhluk aneh yang menderita dari berbagai kecanduan lainnya.
Namun,
seperti yang diharapkan darinya,
Ayase-san segera menghapus tatapan terkejutnya dan berkata dengan cepat, “Iya, itu benar. Memang begitu.”
“Ya.
Jika itu Asamura-kun, kamu memang
begitu. Hmm...”
Dia
mengucapkan itu dengan suara pelan, tapi, tunggu, apakah aku baru saja
melakukan kesalahan?
Aku
sebenarnya ingin menyampaikan bahwa alasanku melanjutkan pekerjaan paruh waktu
di toko buku bukan karena hubungan romantis dengan gadis di tempat kerja, tetapi murni
karena kecintaanku pada buku.
Itu juga
merupakan bentuk komunikasi untuk
menyampaikan bahwa selain dengan
Ayase-san di luar, aku
tidak berniat melakukan lebih dari sekadar hubungan yang wajar dengan wanita
lain.
Mungkin,
apa yang terjadi sekarang adalah interaksi di mana kecanduanku pada buku dianggap melampaui batas
pemahaman Ayase-san, dan dia berpikir, “Orang
ini mungkin aneh.”
“Begitu.
Jadi begitu ya...itu khas
Asamura-kun banget...”
“Ah,
tidak. Maksudku...”
Setelah
dipikir-pikir lagi, aku
seharusnya menanyakan perasaan Ayase-san terlebih dahulu dengan bertanya, “Jika aku melanjutkan pekerjaan
paruh waktu, apa kamu merasa khawatir kalau aku
semakin dekat dengan gadis pekerja paruh
waktu lainnya?” Merasa
cemburu hanyalah dugaan dariku.
Aku
seharusnya menyadari bahwa berusaha menebak dan mengambil langkah pencegahan
bukanlah cara untuk menyesuaikan
perasaan. Namun, semuanya
sudah terlambat—jadi aku hanya
bisa mengungkapkan ini.
“Yah,
untuk saat ini aku berencana melanjutkannya
hingga akhir Oktober. Bagaimana denganmu, Ayase-san?”
“Aku
juga sama.”
Dan kami
berdua memutuskan untuk mencari kesempatan dan berbicara dengan manajer.
Meskipun aku merasakan ketidakpastian yang samar-samar dalam interaksiku dengan
Ayase-san, setelah itu kami hanya berbicara hal-hal sepele dan berjalan
berdampingan menuju sekolah.
◇◇◇◇
Saat
melihat sekeliling kelas, aku jadi
teringat pada puisi Basho yang berbunyi, “Apa yang
sedang dilakukan tetangga di tengah musim
gugur begini?”
Meskipun sekarang sudah memasuki waktu
istirahat, suasana di dalam ruangan
kelas terasa lebih ramai dari yang aku
bayangkan. Teman-teman sekelas yang biasanya menyebar ke berbagai sudut sekolah
kini terlihat lebih tenang dan duduk belajar.
Hal ini
tentu saja karena ujian yang semakin dekat. Ada yang membolak-balik buku
kosakata, ada yang meninjau ulang catatannya, tetapi semua tampak serius.
Bahkan siswa yang kursinya kosong pun mungkin sedang belajar di perpustakaan
atau ruang istirahat di suatu tempat di sekolah. Ini memang ciri khas sekolah
yang mempersiapkan ujian.
“Kamu
kenapa, Asamura?”
Suara
Yoshida membuatku kembali fokus.
“Ah...
tidak, aku hanya berpikir semua orang sangat rajin belajar, ya.”
“Kamu ini...
Di waktu seperti ini, kamu... Ah,
tidak, kamu memang orang seperti itu, Asamura.”
Meskipun
dia mengatakannya seperti karakter novel tertentu.
“Memangnya
apa yang kamu pikirkan tentang diriku?”
“Tenang
dan santai?”
Apa
Yoshida adalah tipe orang yang
menggunakan bahasa Jepang yang sulit seperti itu dalam percakapan sehari-hari? Lagipula, ia bukanlah Maru.
Mungkin ini adalah efek dari periode ujian. Sambil memikirkan hal-hal yang
tidak berguna, aku melanjutkan percakapan.
“Kurasa aku
itu tidak sebaik itu.”
“Aku
tidak menyangkal itu.”
“Aku
ingin ada sedikit penyangkalan.”
“Habisnya,
Asamura, kamu
terlihat seperti memperhatikan orang-orang
di sekitarmu, tetapi sebenarnya tidak. Ah salah,
aku mengoreksi perkataanku. Kamu sebenarnya memperhatikannya, tapi kamu cuma
tidak terlalu peduli.”
“Aku merasa pernah
mendengar hal yang sama dari Maru.”
Bahwa aku
terlalu sedikit menunjukkan perhatian kepada orang lain.
Tapi
tunggu sebentar. Aku juga punya alasanku sendiri.
Meskipun sekarang aku bersekolah di SMA Suisei
yang dikenal sebagai sekolah unggulan, aku tidak tumbuh dengan pujian bahwa aku
cerdas atau pintar sejak dari
taman kanak-kanak hingga SMP. Aku bahkan gagal
dalam ujian masuk SD, gagal dalam ujian masuk SMP, dan tekanan dari ibu kandungku juga cukup berat.
Demi
menjaga kesehatan mentalku,
satu-satunya cara adalah berhenti membandingkan diriku dengan orang lain.
Dengan
demikian, begitulah caraku mengembangkan kepribadianku
yang sekarang, yang tidak terlalu peduli dengan tindakan orang lain meskipun aku mengamati ekspresi wajah mereka.
Aku merasakannya juga saat pembelajaran intens
musim panas, bahwa jika aku terlalu memperhatikan orang lain, aku akan terjebak
dalam pandangan sempit dan terbelenggu oleh diriku sendiri.
Aku sekali lagi menyadari bahwa
strategi untuk mengamati orang lain sambil sebisa mungkin tidak peduli merupakan hal yang benar. Dengan
begitu, aku menceritakan hal ini kepada Yoshida sambil mengurangi bagian
pengalaman pribadiku sebanyak mungkin.
“Kedengarannya
ribet sekali, tapi kamu memang hebat ya, Asamura.”
Apa
maksudnya itu?
Aku merasa sedikit jengkel
dan beralih topik pembicaraan.
“Ngomong-ngomong,”
Aku
melihat kotak bekalku yang
kosong. Lalu, aku menatap Yoshida di depanku. Yoshida sudah lama menghabiskan
sandwich yang dibelinya dari
kantin dan sedang menyedot kopi susu.
Yoshida
menjawabku dengan tatapan “hm?” sambil mengisap sedotan.
“Oh,
aku bisa menunggunya sampai
kamu selesai minum saja.”
Aku menutup tutup kotak bekalku di hadapan
Yoshida yang sedang meminum
kopi susu.
“Terima
kasih atas makanannya.”
Aku
menyatukan kedua telapak tanganku dan memberi hormat. Berterima
kasih pada masakan. Ya, kebetulan pagi ini aku
sendiri yang bertugas menyiapkan sarapan, jadi bekal ini
juga buatanku... Dan bekal yang sama juga dibuat untuk Ayase-san. Setelah
dipikir-pikir, jika kami membandingkan isi kotak bekal, pasti akan ketahuan
bahwa yang membuatnya adalah orang yang sama. Untungnya, tidak ada teman
sekelas yang suka mengintip kotak bekal di kelas ini, jadi tidak ada yang
menduga bahwa aku dan Ayase-san tinggal di rumah yang sama (atau lebih
tepatnya, orang-orang yang dekat sampai mengintip kotak bekal, termasuk Yoshida
yang ada di depanku ini, sudah mengetahuinya saat
festival budaya).
Ya,
sebenarnya itu hanya pemikiran
yang muncul saat aku melihat sekeliling kelas.
Yoshida lalu bertanya lagi setelah menghabiskan minuman
kopi susunya.
“Jadi,
ada apa, Asamura?”
“Bukan
apa-apa, aku hanya berpikir bahwa tumben sekali kamu tidak
bersama Makihara-san.”
Akhir-akhir
ini, Yoshida sering menghabiskan waktu makan siangnya di kantin Bersama pacarnya, Makihara-san. Aku merasa kalau frekuensinya semakin meningkat terutama setelah festival budaya sekolah...
“Maksudmu
Yukka? Dia bilang hari ini mau makan
bareng teman-temannya, makanya
aku makan sendirian hari ini.”
“Oh,
begitu ya.”
Namanya
memang Makihara Yuka. Jadi, itu sebabnya ia memanggilnya 'Yukka'.
Rasanya
agak sulit untuk memanggilnya seperti itu, tapi sejak
kapan Yoshida
mulai memanggilnya seperti itu? Jika aku menggantinya, rasanya mirip seperti memanggil “Sakki!”. Mengubah panggilan “Sakki” atau “Yuu-chan”.
Hmm, yup, itu mustahil. Aku
tidak bisa membayangkan diriku memanggilnya seperti itu, dan aku juga tidak
bisa membayangkan Ayase-san tersenyum saat dipanggil seperti itu.
“Aku
berencana mengajaknya kencan sepulang
sekolah besok.”
“Hee”
Aku
menahan diri untuk tidak menyatakan bahwa ia jauh lebih tenang dan santai
dibandingkan diriku.
Tapi,
begitu rupanya.
Aku melihat
sekeliling kelas sekali lagi.
Seperti yang
kuduga, Ayase-san tidak ada. Ketua kelas dan Satou-san juga tidak ada, jadi mungkin
mereka semua pergi ke kantin. Oh, tidak, Ayase-san membawa bekal, ‘kan? Jika begitu, mungkin dia di
ruang istirahat. Ada kemungkinan dia makan di sana bersama yang lain.
Di antara
teman sekelas yang lebih banyak berada di
dalam kelas dari biasanya, kursi Ayase-san yang kosong terasa
sangat mencolok. Mungkin itu karena ekspresi wajahnya yang tampak tertekan
beberapa hari ini.
Hmm.
“Aku
juga mau beli minuman dulu sebentar.”
Setelah aku mengatakan itu dan berdiri dari tempat dudukku, Yoshida
berkata, “Aku juga
mau tambah!” Jadi aku
mengulurkan telapak tanganku
dan ia secara diam-diam menempatkan koin seratus yen di tanganku. Ya sudah, apa boleh buat.
Aku
memasukkan dompet ke dalam saku
dan meninggalkan ruang kelas.
Saat
berjalan di koridor, aku melihat pohon-pohon di luar yang daunnya mulai memerah. Setelah
memastikan sekeliling ruang istirahat tidak ada orang, aku naik turun tangga
dan berjalan di koridor setiap lantai. Akhirnya, aku sampai di kantin. Saat
melihat ke rumput halaman
yang layu dari jembatan penghubung, aku
melihat seorang siswi berambut cerah duduk sendirian di tepi bangku. Bangku halaman yang biasanya ramai di
musim panas kini tampak sepi, dan hanya
ada dia saja yang di sana.
Itu
Ayase-san.
Kurasa dia
mungkin tidak menyadari bahwa aku sedang menatapnya.
Ayase-san
yang duduk di bangku itu menatap kosong ke
arah
rimbunan pohon dengan buku catatan terbuka di pangkuannya.
Dia tampak melamun, tidak menunjukkan tanda-tanda melihat catatannya.
Sudah
kuduga, dia sedang mencemaskan
sesuatu... Jika tidak, mungkin ini adalah waktu yang biasa dialami wanita
sekali sebulan. Apapun itu, aku tetap merasa khawatir.
Namun,
meskipun dia sudah bilang “jangan
khawatir,” rasanya
aneh jika aku terus bertanya apa dia baik-baik saja.
Rasanya jauh
lebih mudah jika aku bisa mempercayai perkataan
Ayase-san yang mengatakan kalau
dia baik-baik saja, tetapi penampilannya di mataku tidak menunjukkan bahwa dia
benar-benar baik-baik saja.
“Apa
yang harus kulakukan...”
Apa ada sesuatu yang bisa kulakukan
untuk membantunya?
Aku
menarik pandanganku dari sosoknya. Sambil memutar-mutar koin seratus yen yang
kupegang, aku teringat bahwa aku harus membeli “isi
ulang” untuk Yoshida. Aku berdiri di depan dua mesin penjual otomatis yang berjejer di bagian pembelian, dan membeli susu kopi. Pada saat itulah aku mendapat ide.
Aku
membuka dompetku. Langkahku berpindah ke mesin penjual sebelah.
Ini bukan
dalam kemasan, melainkan mesin minuman dalam cangkir kertas. Pandanganku
menyusuri permukaan panel. Baiklah—kira-kira, minuman apa yang
enak ya? Setelah berkeliling, mataku tertuju pada teh susu panas. Ketika aku
menekan panel, terdengar suara “gratak,” dan cangkir kertas jatuh ke
tempat penampung.
Setelah
mengambil cangkir kertas, aku berjalan perlahan ke bangku di halaman. Seperti yang
kuduga, Ayase-san merasakan langkah atau kehadiranku dan menoleh. Matanya yang tadinya melamun langsung mengenaliku dan kembali fokus. Dia sedikit terkejut dan
membuka matanya lebar-lebar.
Setelah
sampai di samping Ayase-san, aku meletakkan cangkir teh susu yang baru diseduh
di kursi kosong di sampingnya.
“Aku minta
maaf karena ini hanya demi
kepuasan diriku saja. Aku sudah berusaha untuk tidak khawatir,
tapi aku tetap tidak bisa mengabaikannya. Aku
harap kamu mengizinkanku untuk khawatir dari jarak ini.”
Karena sekarang belum memasuki musim dingin, uap dari cangkir
menghilang ke udara dalam sekejap. Meski
demikian, aku bisa merasakan kehangatan yang lembut
berasal dari situ. Ayase-san dengan lembut mengulurkan
tangannya dan mengambil cangkir itu.
“Hangatnya.”
“Karena
memang baru diseduh. Minumlah sebelum
dingin.”
Dia
mengangguk pelan.
“............
Terima kasih.”
Aku hanya
mengucapkan “ya,” dan segera
meninggalkan tempat itu. Jika dia sedang merenung, aku tidak ingin mengganggunya.
Saat dalam perjalanan kembali ke ruang kelas,
aku merenungkan tindakanku. Jika Ayase-san berada di dalam kelas, semua orang pasti
mendengar ucapanku. Saat melihat secara objektif, aku merasa sangat malu.
Rasanya sangat berlebihan. Aku berharap bisa menemukan kata-kata yang lebih
lembut dan melakukan sesi merenung
dalam pikiranku.
Tapi yah, itulah perasaanku yang
sebenarnya. Karena aku tidak bisa berpura-pura tidak melihatnya, jadi mau bagaimana lagi. Menurutku cuma itu satu-satunya yang
bisa dilakukan.
Setelah
kembali ke dalam kelas,
aku menyerahkan kopi susu kepada
Yoshida.
“Terima
kasih! Teernyata lumayan lama ya.”
“Oh,
ya, ada banyak hal.”
“Masa?
Lalu, minumanmu sendiri
mana?”
Karena
itu hanya alasan, sebenarnya aku tidak benar-benar ingin membeli minuman.
“Aku lupa membelinya.”
“Apa sih yang sedang kamu lakukan?”
Benar sekali. Detail kebohonganku terlalu naif.
Aku
sempat bertukar kontak mata dengan Ayase-san saat
dia kembali ke kelas saat bel tanda masuk berbunyi. Dia memberi anggukan kecil,
dan aku juga membalas dengan senyuman tipis. Semoga ini bisa membuatnya sedikit
lebih bersemangat.
◇◇◇◇
“Apakah
Anda ingin menggunakan penutup?”
Suara
manisnya yang ceria bertanya, dan wajah seorang wanita tua yang berada di depan
antrean pun tampak melunak.
“Ya,
tolong. Aku ingin memberikannya sebagai
hadiah untuk cucuku.”
Buku
dengan sampul lembut itu merupakan
buku yang penjualannya sedang meroket belakangan ini. Buku ini juga mendapatkan
penghargaan dari para staf toko. Karena protagonisnya seorang pelajar, mungkin
cucunya juga masih anak SMP atau
SMA.
Mendengar
tentang hadiah, dia segera menunjukkan penutup merah yang cantik untuk hadiah
dan bertanya apa dia ingin menggunakan penutup berbayar. Wanita tua yang kelihatannya berusia 70-an
itu menunjukkan ekspresi ragu, tetapi dia menjawab,
“Karena ini bukan hari istimewa,
jadi yang biasa saja sudah cukup.”
“Baiklah.”
Setelah
menjawab dengan senyuman, dia mengembalikan penutup contoh dan memilih penutup
biasa. Pada saat itu, dia dengan cerdas
menghindari warna gelap dari penutup gratis dan memilih pola yang cerah. Aku
yang melihat dari pinggir
memberi jempol dalam hati, menilai keputusannya
yang bagus.
Sambil
memindai kode batang dan memberi tahu harganya, dia
membalik buku yang diterima dan dengan cepat memasang penutupnya. Setelah
menyelesaikan pembayaran, dia
menyerahkan buku dengan senyuman.
“Terima
kasih sudah membeli.”
Wanita tua itu tersenyum anggun dan sedikit
membungkuk sebelum pergi dari depan kasir. Dia juga membalas dengan “Terima kasih banyak” ke arahnya.
Setelah
itu, dia berhasil melayani beberapa
pelanggan yang mengantri, dan akhirnya antrean pun habis.
“Fyuh...”
Seetelah dia
menghela napas lega, seorang wanita dari kasir sebelah memanggilnya.
“Kerja
bagus.”
“Sepertinya
sudah saatnya kita istirahat sejenak, ‘kan,
Senpai~?”
“Kurasa
memang sudah waktunya. Lagipula,
sekarang pelanggannya
sedang sedikit.”
Wanita di
kasir sebelah itu tentu saja adalah Ayase-san.
“Ah.
Kira-kira kapan ya, mesin kasir mandiri yang
terkenal itu akan diperkenalkan? Sudah sangat merepotkan.”
“Kozono-san,
kamu sudah semakin mahir dalam melayani pelanggan."
“Tolong jangan
bilang begitu. Jika kamu terus memujiku seperti
itu, kerjaan akan datang bertubi-tubi. Aku baru saja mendapatkan
lencana pelatihan.”
Sudah
lebih dari tiga bulan yang lalu Kozono-san mulai
bekerja, dan bulan lalu dia melepas
lencana pelatihannya. Dengan
sifatnya yang ramah, tingkat pelayanannya sudah tinggi, dan karena rasa ingin
tahunya yang besar, dia sering mengamati area penjualan. Kemampuan memasang
penutup bukunya juga meningkat, dan sekarang dia bisa memperhatikan hal-hal kecil.
“Kalau
begitu, aku akan masuk ke bagian kasir.
Lagipula, aku baru saja selesai merapikan
rak.”
Setelah
selesai merapikan buku pengganti, aku berencana untuk berganti tempat dengan
Kozono-san.
Namun— entah kenapa, aku mendapat tatapan tajam.
“Jadi,
jika aku beristirahat,
bukannya kalian berdua akan asyik bekerja
di kasir? Jadi begitu cara mainnya, ya?”
“Eh...
tapi aku hanya melakukan
pekerjaan.”
“Ini
bagian dari pekerjaan, kan?”
Ayase-san
juga berkata begitu.
Kemudian,
seolah-olah baru teringat sesuatu, dia melanjutkan, “Karena
kami juga calon peserta
ujian, jadi kurasa kami akan
semakin sering menyerahkan tugas kepada Kozono-san ke depannya. Jadi, sekarang
kamu bisa istirahat.”
Apa yang
dia katakan memang benar, jadi aku ikut
mengangguk.
“Benar
juga. Dengan begini, aku bisa merasa tenang untuk beristirahat
saat ada situasi mendesak.”
Kozono-san
mengembungkan pipinya.
“Ah!
Kalian memanfaatkanku untuk bermesra-mesraan!”
Memanfaatkan...?
““Tapi ini
pekerjaan, kan?””
Kami berdua menjawab
dengan serempak.
“Senpai,
kalian tidak sengaja melakukan ini, kan?”
Sambil melihat ke arah Kozono-san, yang sedang beristirahat sejenak dengan ekspresi
wajah tidak puas, aku memanggil pelanggan yang sudah tiba di depan kasir.
“Silakan,
di sini.”
Senyum,
senyum.
Aku
kembali berpikir, tetapi tidak ada yang tahu sampai kapan aku bisa melanjutkan
pekerjaan paruh waktu ini—aku juga tidak tahu. Aku akan berusaha sebaik
mungkin.
Saat
waktu pulang tiba, aku selesai berganti pakaian di ruang ganti dan menuju ke
kantor manajer toko. Saat kami berdua, aku dan Ayase-san, pergi untuk
mengucapkan selamat tinggal, manajer sedang menanyakan harapan jadwal kepada
para pekerja paruh waktu yang ada di kantor untuk membuat jadwal bulan depan.
Ada dua mahasiswa
dan Kozono-san di sana. Dua mahasiswa itu menjawab bahwa mereka ingin jadwal
yang sama seperti bulan ini.
Kozono-san
juga menjawab hal yang sama, tetapi semangatnya tampak jauh lebih besar
daripada mahasiswa itu, dengan mengangkat tinjunya dan berkata, “Bulan depan, saya akan bekerja lebih banyak~~!” Pak manajer hanya tersenyum dan berkata, “Baiklah. Semangat ya.” Sepertinya beliau cukup berharap banyak
padanya.
Setelah
itu, manajer mengalihkan perhatiannya
ke arah kami yang baru masuk ke dalam
ruangan kantornya.
“Kalau kalian bagaimana?”
Aku dan
Ayase-san saling bertukar pandang sekilas.
Aku menggerakkan bibirku, menyampaikan bahwa dia
bisa menyerahkan semuanya padaku. Setelah mengangguk, aku mulai
berbicara.
“Mengenai
hal itu, seperti yang sudah pernah saya
bicarakan sebelumnya. Umm...”
“Oh,
jadi kamu masih belum memutuskan apa kamu
akan berhenti atau tidak, ‘kan?”
Aku
mengangguk dan dengan ragu menambahkan. “Saya
ingin mengambil cuti dari pekerjaan di toko buku sampai ujian selesai pada
bulan November.” Artinya,
aku berencana untuk berhenti bekerja di toko buku sampai akhir bulan
Oktober.
“Saya
juga ingin melakukan hal yang sama.”
Ayase-san menambahkan
jawabannya sendiri di sampingku.
Karena pak manajer
tahu bahwa kami adalah saudara tiri, ia sepertinya tidak meragukan alasan kami
menolak shift untuk ujian. Selain itu, kami sudah memberi tahu kemungkinan itu,
jadi sepertinya ia sudah mengambil tindakan cepat untuk merekrut pekerja baru
dan melatih karyawan baru saat ini. Sambil memberitahu kami untuk merasa
tenang, dia mengangguk dengan santai dan berkata, “Aku mengerti.”
Tanggapan
Pak Manajer sangat kontras dengan ekspresi terkejut Kozono-san yang terlihat di
seberang. Kalau dipikir-pikir lagi, satu-satunya orang yang kuberitahu bahwa
aku mungkin takkan bekerja paruh waktu lagi hanyalah Yomiuri-senpai, yang juga
sesama pekerja paruh waktu di toko. Lebih tepatnya, bukan hanya memberitahu,
tetapi seolah-olah aku dipaksa untuk mengaku... tapi itu terlepas dari masalah
tersebut.
Saat ini,
aku akan menyampaikan keinginanku kepada pak manajer.
“Apa boleh
jika saya memberikan jawaban tentang apa saya akan berhenti atau tidak setelah
melihat hasil ujian? Saya memahami bahwa itu permintaan yang egois...”
Tentu saja,
pada saat itu, ada kemungkinan bahwa posisi pekerja paruh waktu sudah terisi
dan ia akan memberitahu bahwa ia tidak membutuhkannya. Tapi kupikir itu wajar.
Ayase-san juga mengangguk seolah setuju, Pak manajer pasti mengerti bahwa ini
adalah pilihan kami berdua saat ini.
Pak manajer
berkata dengan senyum, “Jika bisa, aku akan merasa senang jika kalian berdua
mau kembali.” Setelah itu, ia menoleh ke arah Kozono-san.
“Karena anak
baru yang besar ini juga sudah tumbuh dengan baik. Tidak masalah. Kalian berdua
bisa mempersiapkan ujian masuk kalian dengan baik.”
“Eh, apa
anak baru yang besar itu maksudnya aku?”
Kozono-san
yang terkejut semakin membelalak ketika mendengar kata-kata manajer.
Manajer
mengangguk dengan wajah serius.
Aku juga
setuju.
“Jika itu
Kozono-san, pastinya.”
“Ya. Aku
bisa mempercayakannya.”
Ayase-san
juga memberi dukungan.
“Jika kamu bisa
melakukan sama seperti hari ini, maka itu saja sudah cukup. Kamu lebih bisa
diandalkan daripada kami.”
“Kamu tidak
perlu berlebihan memujiku! Lagipula, bukannya itu beban yang terlalu berat bagi
diriku yang baru saja melepas lencana pelatihan?”
Itu sama
sekali tidak benar. Aku sudah menghabiskan waktu tiga tahun bekerja paruh waktu
di toko buku ini sejak masuk SMA, dan di antara pekerja paruh waktu yang masuk
selama itu, tidak diragukan lagi bahwa Kozono-san adalah seorang pegawai toko
buku yang luar biasa. Belakangan ini, dia bahkan mulai membuat poster tangan
sendiri. Pada awalnya, Kozono-san tidak terlihat seperti
seseorang yang menyukai buku,
tetapi sekarang dia membaca buku-buku yang laris sehingga bisa melakukan
promosi dengan baik. Aku merasa dia adalah staf yang sangat dapat
dipercaya.
“Kamu tidak
perlu merendah begitu,
Kozono-kun, kamu sudah bekerja dengan baik, jadi aku rasa kamu bisa
melakukannya.”
Wajahnya
berubah masam setelah diberitahu oleh Pak manajer,
tapi sudut mulutnya sedikit terangkat.
Rasanya sangat menggembirakan
ketika usaha kita diakui.
Sambil
mengawasi Kozono-san, kami mengumumkan bahwa shift kami telah selesai dan
keluar dari kantor.
Begitu kami keluar meninggalkan kantor manajer, terdengar suara keras saat
pintu dibuka kembali.
“Senpai!”
Baik Aku
dan Ayase-san berbalik. Dari suaranya, kami tahu kalau
itu adalah Kozono-san.
Dia
terlihat terengah-engah. Aku berpikir mungkin dia melupakan sesuatu, tetapi sepertinya bukan
itu alasannya.
“Yuuta-senpai, apa kamu benar-benar
akan berhenti bekerja?”
“Bukan
berhenti sih. Karena sudah memasuki masa
ujian, aku hanya berpikir untuk mengurangi jam kerja mulai bulan November.”
“Tapi,
tergantung hasil ujian, mungkin kamu bisa berhenti sepenuhnya, kan?”
“Ah...
itu, tergantung universitas yang diterima. Mungkin aku takkan berada di Shibuya
juga.”
Jika aku
diterima di Universitas Ichinose yang
menjadi pilihan pertamaku, kurasa aku masih bisa pulang pergi dari
rumah, tetapi memikirkan perjalanannya
yang memakan waktu sekitar dua jam, sepertinya tidak realistis untuk kembali ke
Shibuya setelah pulang kuliah
di hari kerja cuma untuk memulai shift kerja paruh
waktu. Aku juga tidak tahu seberapa sibuknya kehidupan universitas
nanti.
“Kalau
begitu...”
Kozono-san
yang datang ke depan kami mengangkat smartphone-nya dan berkata,
“Aku
merasa sangat kesepian jika
hubungan kita terputus seperti ini, jadi mari kita terhubung di LINE. Secara
pribadi.”
Saat
kemah siang hari di musim
panas, kami sempat membuat grup sementara dengan Yomiuri-senpai, tetapi kami
belum saling mendaftar akun LINE secara
pribadi.
Sambil
menggerakkan smartphone-nya, Kozono-san mengalihkan pandangannya dariku ke
Ayase-san.
“Jika
kamu khawatir tentang perselingkuhan, kita bisa membuat grup bertiga termasuk
Ayase-senpai.”
“Kalau
begitu, bukannya kamu tidak perlu membuat grup baru dan cukup
menggunakan grup yang ada Yomiuri-san juga?”
“Karena
aku hanya perlu menghubungi Yuuta-senpai,
jadi tidak enak rasanya mengganggu smartphone
orang dewasa yang sibuk. Ini adalah tawaran yang sangat adil, dan sepertinya
Ayase-senpai tidak suka yang tidak adil, kan? Jadi, sebaliknya, jika ini adil,
kamu tidak bisa menolak, ‘kan?”
Ayase-san
terdiam sejenak. Mungkin ini adalah pertama kalinya aku melihat Ayase-san
tertekan oleh Kozono-san.
“Kamu
sudah mendapatkan ide yang tidak perlu, ya....”
“Karena
aku pendatang baru yang besar. Hehe.”
Kozono-san memiliki ekspresi puas di
wajahnya saat dia membusungkan dadanya, menatap dengan cara yang membuat seseorang merasa seperti
sedang dipandang rendah meskipun tinggi badannya kecil.
Mungkin itu provokasi yang sangat
menyakitkan, karena Ayase-san tampak lebih frustrasi dari sebelumnya.
...Namun,
pembicaraan ini tentang membuat grup, kenapa aku tidak disebut sama
sekali?
Tapi yah, tidak masalah sih.
Mungkin
dia menangkap gerakanku di sudut pandangnya
saat aku mengangkat bahu, Ayase-san tiba-tiba teringat.
“....Maaf,
itu hanya bercanda. Ya, memang tidak ada alasan untuk menolaknya.”
“Hehe!
Jadi, ayo, Yuuta-senpai!
Ayase-senpai!”
“Iya,
iya.”
Karena
Ayase-san tidak keberatan, aku pun tidak punya alasan untuk menolaknya, dan kami langsung membuat grup
LINE. Nama grup yang aku buat sederhana, yaitu nama toko buku tempat kami
bekerja + nama peserta, tetapi Kozono-san tampak tidak puas. Padahal kupikir itu sudah cukup
jelas dan bagus.
“Tapi,
Yuuta-senpai, sepertinya kamu tidak
peduli dengan hal-hal seperti ini, ya?”
Aku
membuatnya karena diminta, tetapi... Apa seharusnya aku lebih mempedulikannya?
“Asamura-kun
memang tidak terlalu peduli...”
Ayase-san
berkata pelan.
“Masa?”
“Ya,
mungkin?”
“Habisnya,
Asamura-kun, grup dari kolam renang musim panas setahun yang lalu juga masih tetap sama, kan?”
Setahun
yang lalu. Mungkin saat aku diundang ke dalam
obrolan grup Narasaka-san.
Saat itu, memang kami membuat grup setelahnya. Aku hampir tidak menggunakannya,
jadi aku bahkan lupa sudah masuk ke dalam grup,
tetapi aku tidak ingat keluar dari grup itu.
“Ya,
aku takkan bermasalah jika pun ada.”
Ayase-san
menghela napas.
“Setahun
ini, ada anak-anak yang sudah keluar karena grupnya tidak
aktif.”
“Jadi begitu,
ya.”
“Yuuta-senpai....jangan-jangan.”
“Ya. Benar sekali. Ia
tipe orang yang seperti itu. Tidak menolak siapa pun yang datang, tapi tidak mengejar siapa pun yang pergi.”
Setelah
menatapku, dia tiba-tiba mengalihkan pandangannya. Setelah itu, dia
terus-menerus memainkan smartphone-nya tanpa mengangkat pandangan.
Jika dia
tampak tidak suka atau terpaksa bertahan, aku mungkin akan mengakhiri
pembicaraan dan berkata “sampai jumpa nanti”, tetapi ekspresi Ayase-san saat
itu tidak menunjukkan kedua hal tersebut.
“Ayase-senpai,
jika perutmu sakit, tidak apa-apa untuk melakukannya nanti, oke?”
“...............
tidak apa-apa, aku baik-baik saja.”
Dia
menunjukkan ekspresi yang cukup canggung sampai-sampai
membuat Kozono-san khawatir. Mungkin dia tidak merasa
sakit perut atau tidak enak badan.
Pada saat
itu, ekspresi yang ditunjukkan
Ayase-san terlihat seperti...
Seolah-olah merasa bersalah.
Atau
mungkin, cara terbaik untuk menggambarkannya ialah
dia terlihat tidak bisa tenang, dan aku pun tidak tahu harus
bagaimana menghadapinya.
(Sudah
kuduga, ternyata tebakanku benar)
Akhir-akhir
ini, Ayase-san tampaknya terus memikirkan sesuatu.