Gimai Seikatsu Volume 12 Chapter 1 Bahasa Indonesia

Chapter 1 — 20 Oktober (Rabu) Asamura Yuuta

 

Aku sudah berdiri di depan wastafel sejak pagi, merasa gelisah dan kebingungan.

―――Ada sesuatu yang mengganggu pikiranku, dan itu membuat suasana hatiku sedikit murung.

Ketika adik tiriku, atau lebih tepatnya kekasihku, mengatakan hal seperti itu, rasanya sulit untuk tidak memikirkannya.

Akan tetapi, yahh.

Aku menatap wajahku di cermin.

Saat aku menggerakkan pisau cukur di sekitar mulutku yang tertutup krim cukur, busa itu menghilang dan kulit yang halus muncul. Setelah aku mengulangi proses itu beberapa kali dan mencukur jenggot yang tumbuh pendek, aku mencuci wajahku dengan air mengalir. Musim ini sudah mulai membuat air keran terasa dingin. Namun, aku tidak sampai harus mengganti dengan air hangat, karena begitulah pagi di akhir Oktober.

“Fyuh............”

Aku menutup keran dan mengambil handuk.

Dulu, setelah ini, aku hanya mengelap air di kulitku dengan handuk dan selesai, tetapi sekarang aku memutuskan untuk menggunakan toner dan lotion. Ini disebut perawatan kulit. Meskipun aku berpura-pura tidak memerlukan penampilan yang modis, tapi Ayase-san memberiku nasihat, “Mengabaikan kesehatan kulit sama dengan mengabaikan kesehatan tubuh”.

Itu merupakan pembicaraan yang lebih mendasar daripada penilaian orang lain tentang kebersihan dan daya tarik. Pada dasarnya, kulit adalah sensor kesehatan seluruh tubuhku, begitulah katanya. Memang, ketidaknyamanan tubuh akan terlihat di kulit. Namun, jika kulit yang seharusnya mencerminkan kesehatan itu sendiri sudah rusak? Jika alat pengukur rusak, maka pengukuran yang akurat tidak dapat dilakukan—itulah logikanya. Saat aku mengangguk dan mengatakan itu kepada Ayase-san, entah bagaimana dia tampak sedikit sungkan dan berkata, “Ji-Jika kamu bisa memahami seperti itu, syukurlah kalau begitu.”

Jika itu berhubungan dengan kesehatan, aku tidak keberatan untuk mencobanya, dan sejak hari itu aku mulai cukup rajin merawat kulit, mengikuti jejak Ayase-san.

Kemudian, aku mengingat ekspresi Ayase-san kemarin. Dia tidak terlihat pucat. Jadi, sepertinya tubuhnya tidak dalam keadaan tidak sehat. Mungkin ada yang mengganggu pikirannya.

Saat aku melamun di depan cermin, mengingat kembali percakapan kemarin dengan Ayase-san, ayahku muncul dari belakang dan bertanya, “Kamu kenapa?”

“Kenapa apanya... tidak, bukan apa-apa, kok.”

“Begitu? Sepertinya kamu sedang memikirkan sesuatu yang dalam.”

Sepertinya aku terlalu jelas menunjukkan seberapa linglungnya diriku.

“Tidak. Yah, tidak ada sesuatu yang khusus. Aku hanya melamun setelah bangun tidur.”

Setelah itu, aku mundur dari wastafel dan berganti tempat dengan ayahku.

Saat aku masuk ke dalam dapur, aku mulai menyiapkan sarapan. Meskipun begitu, saat giliranku, aku tidak melakukan masakan yang rumit. Karena sudah disiapkan dengan timer semalam, nasi sudah matang, dan sup miso hanya perlu menambahkan satu bahan ke dalam bumbu sup miso siap pakai. Hari ini, aku menaburkan sedikit rumput laut kering dan menuangkan air panas, semuanya selesai! Lauk pauknya hanya sisa makanan dari makan malam sebelumnya yang ada di kulkas, jadi aku memutuskan untuk menyajikannya. Tumis manis dan pedas dari teratai dan ubi jalar. Ini adalah cita rasa musim gugur. Buatan Akiko-san dan rasanya enak. Dia membuatnya sebelum pergi bekerja semalam. Aku memanaskan makanan itu dan meletakkannya di tengah meja makan.

Selanjutnya, aku menyiapkan nori dan natto untuk tiga orang di atas meja. Apa mereka akan memakannya atau tidak tergantung pada mereka, jadi aku tidak membuka kemasannya.

Selamat pagi, Yuuta-niisan.”

“Ah, selamat pagi, Saki.”

Ayase-san sudah datang lebih dulu ke ruang makan sebelum Ayah. Melihat dia sudah mengganti seragam, sepertinya dia sudah bangun jauh lebih awal. Ayahku yang agak terlambat juga masuk setelah merapikan diri. Akiko-san masih tidur di kamar tidur karena biasanya dia pulang pagi.

Ketika kami bertiga duduk di kursi meja makan, kami mengucapkan “itadakimasu” dan mulai makan. Aku mencelupkan nori ke dalam piring kecil yang berisi kecap asin, kemudian membungkus sedikit nasi dengan nori dan membawanya ke dalam mulutku. Sambil mengunyah, aku secara diam-diam mengintip ekspresi Ayase-san. Wajahnya tidak terlihat pucat, tetapi sepertinya dia memang sedang memikirkan sesuatu. Ada kerutan halus di dahinya. Jika dia terus memikirkan hal itu sejak kemarin, maka itu menjadi cukup “mengganggu.”

“Rasanya hari ini sepi sekali ya,” kata ayahku tiba-tiba. 

Yah, karena Ayase-san sedang berpikir, dan melihat Ayase-san membuatku juga ikut berpikir, jadi wajar saja jika jumlah percakapan kami menjadi berkurang. 

“Ngomong-ngomong, Yuuta, sepertinya kamu memang punya masalah, ya? Sepertinya kamu sedang memikirkan sesuatu sejak pagi tadi. Jika kamu ada masalah, jangan ragu untuk berkonsultasi denganku. 

Kenapa ia hanya bertanya padaku? Ayase-san juga masih tidak berbicara sejak tadi. 

Atau mungkin ayahku menyadari bahwa Ayase-san terlihat aneh, tetapi ia tidak ingin terlibat dalam masalah putrinya dan tidak ingin dianggap mengganggu, mungkin. Tidak, itu tidak sesuai dengan sifat ayahku. 

“Aku tidak mempunyai masalah apa-apa, sih, tapi...” 

“Tapi?” 

Daripada itu, aku ingin mengisyaratkan pada ayahku tentang Ayase-san— 

“Yuuta-niisan, padahal sudah kubilang jangan mengkhawatirkan tentang itu.” 

Ayase-san sudah memahami apa yang ingin kukatakan dan mendahuluiku.

Meskipun aku khawatir, tapi kalau kamu terus bertingkah seperti itu.... aku menatap ayahku dengan tatapan mata yang seolah-olah berkata, Sampaikan! tetapi ia dengan cepat memalingkan wajahnya. ...Hm? Apa-apaan dengan reaksinya itu?

Sebelum aku bisa memikirkan ketidaknormalan perilaku ayahku, Ayase-san menambahkan kata-kata. 

Bagaimanapun juga, semuanya akan tenang untuk sementara setelah bulan Oktober berakhir... 

Setelah bulan Oktober berakhir, ya?

Apa yang sebenarnya terjadi...? Hm? 

“Apa kamu sedang buru-buru hari ini, Yah? 

Padahal tadi ia tampak seperti ingin mendengarkan keluh kesah anaknya, tapi sekarang ia malah makan dengan sangat cepat, bukan? 

Eh... tidak, biasa-biasa saja kok.

Itu pasti bohong. Ia sebelumnya makan sarapan dengan santai. Bahkan melihat jam dinding, seharusnya masih ada waktu untuk berangkat kerja, tetapi ia berkata, Oke, aku pergi berangkat dulu”, dan berdiri dari kursinya. 

Entah kenapa, rasanya sangat mencurigakan. 

Aku menatap punggungnya yang menghilang di balik pintu ruang makan, tetapi tiba-tiba aku berhenti menggunakan sumpitku sejenak dan berkata, “Oh iya, tunggu dulu, ayah.

Sambil berkata begitu, aku berdiri dan mengejarnya. Seolah-olah aku baru teringat sesuatu yang harus dikatakan, padahal sebenarnya tidak ada. Aku yakin ayahku tahu penyebab masalah Ayase-san. Insting semacam itu terlintas di benakku. Aku berusaha menghentikan ayahku yang sudah hampir keluar, tetapi dengan sedikit selisih, ia lebih cepat membuka pintu. 

“Aya

“Aku pergi dulu, ya, aku sudah pergi berangkat duluan!

Ia berkata demikian dan menghilang di balik pintu. Hei, ini sudah terlalu berlebihan. Aktingnya sangat buruk. 

Jelas sekali ia menyembunyikan sesuatu... Baik Ayase-san maupun ayahku, sepertinya ada sesuatu yang tidak bisa mereka katakan padaku. Jika iya, apa yang mereka rahasiakan

Setelah menghela napas, aku kembali ke dalam ruang makan. 

Saat itu, aku sudah menghapus ekspresi kecewa di wajahku. Aku tidak ingin Ayase-san menyadari alasanku mengejar ayah. 

Apa masih sempat?

Ah, ya. Aku baru mengingat ada sesuatu yang ingin kuminta.

Sambil memberi alasan itu, aku merapikan sisa sarapanku. Mungkin Ayase-san sudah menyadarinya. Namun, jika dia bertanya, itu justru akan menjadi kesempatan untuk menyampaikan kekhawatiranku, jadi tidak masalah. Membuat alasan atau kebohongan itu sebaiknya dibuat dengan asumsi bahwa itu akan terungkap. Lagipula, aku bukanlah pembohong yang cukup baik untuk menipu siapa pun. Lagipula, aku adalah putra dari ayah yang begitu.

Nah, aku menunggu reaksi apa yang akan datang... 

Akan tetapi, Ayase-san hanya melanjutkan sarapannya dengan diam.

Dia menggerakkan sumpitnya dengan sangat fokus, seolah-olah merasa ragu untuk berbicara. Sepertinya dia sedang memikirkan sesuatu, tapi jelas sekali bahwa dia tidak berniat untuk mengatakan apa-apa. Ayase-san memang keras kepala dalam hal-hal seperti itu. 

Setelah itu, kami menyelesaikan sarapan tanpa banyak melakukan percakapan, dan kemudian kami keluar bersama menuju sekolah. Ketika aku mulai menyerah karena dia sepertinya tidak ingin berbicara, Ayase-san dengan ekspresi canggung memanggilku. Maaf ya, suasananya jadi buruk sejak kemarin.

Dia kemudian menambahkan, Kemarin malam, sepertinya ada sesuatu yang ingin kamu bicarakan, bukan?

Ah... yah, sebenarnya ada. 

Benar sekali. Aku ingin membahas sesuatu. 

Aku mengatur ulang dalam pikiranku tentang apa yang ingin aku bicarakan semalam. Aku berencana untuk mendiskusikan tentang pekerjaan paruh waktu dengan Ayase-san. 

Bagaimana dengan pekerjaan paruh waktu kita?

“Maksudnya bagaimana? 

“Maksudnya apakah kita akan berhenti atau tidak. Jika berhenti, kita bisa menggunakan waktu itu untuk belajar untuk ujian. Atau kita bisa mengambil waktu cuti sampai ujian selesai meskipun tidak berhenti. 

Keuntungan dari pekerjaan paruh waktuku sekarang adalah dekat dengan rumah. Tergantung pada universitas mana yang akan kupilih, keuntungan itu bisa menghilang, sehingga ada kemungkinan aku harus berhenti tergantung pada hasil ujian. Jadi, ada pilihan untuk berhenti dari pekerjaan ini. 

Jadi, aku penasaran, kamu akan memilih yang mana, Ayase-san? 

Aku berbicara sambil merangkum pikiranku. 

“Kurasa itu tergantung pada Asamura-kun, mungkin. 

Ayase-san menunjukkan sedikit keraguan sebelum mengatakannya. 

Itu adalah kata-kata yang tidak terduga. Aku tidak menyangka bahwa Ayase-san akan menjawab pertanyaan tentang pedoman tindakannya dengan bergantung pada tindakanku. Memberikan keputusannya untuk melanjutkan pekerjaan paruh waktu padaku. Aku selalu berpikir bahwa Ayase Saki tidak akan mengubah tindakannya berdasarkan tindakan orang lain, baik itu dalam artian baik atau buruk. 

Apa yang terjadi dengan dirinya

Namun, tiba-tiba aku menyadari sesuatu. Ini hanya spekulasiku saja, dan aku tidak bisa menyatakan bahwa itu tidak termasuk imajinasi yang menguntungkan bagiku... 

[Tergantung pada Asamura-kun, mungkin]

Jika kita menginterpretasikan kata-kata Ayase-san secara standar, itu berarti jika aku berhenti, dia juga akan berhenti, dan jika aku melanjutkan, dia juga akan ikut melanjutkan. Tidak, sebaliknya juga mungkin. Jika aku berhenti, dia bisa melanjutkan, dan jika aku melanjutkan, dia bisa berhenti, secara logis itu juga mungkin. 

Namun, aku dan Ayase-san tetaplah sepasang kekasih. Oleh karena itu, jika dipandang dari perspektif perilaku kekasih yang standar, pemikiran aku ingin bersamamu merupakan hal yang wajar. Tidak, aku ingin berpikiran begitu. 

Tentu saja, rasanya akan begitu menyedihkan jika setelah satu tahun berpacaran, dia akan tiba-tiba mengatakan, Aku ingin kita jarang bertemu, ini terlalu merepotkan, seperti pasangan yang sudah mengalami masa jenuh.

Kembali ke topik. Dari sudut pandang pasangan normal, keinginan untuk bekerja paruh waktu bersama adalah hal yang biasa. Selain itu, ketika aku mengingat perilaku Ayase-san yang telah aku amati selama kami bersama, aku merasa dia orang yang cukup cemburuan. Tentu saja, dia memiliki pandangan etika bahwa mengekspresikan kecemburuan itu tidak baik, dan biasanya dia tidak menunjukkannya secara jelas

Namun, di dalam hatinya, rasa cemburu itu pasti muncul. Kadang-kadang, dia mengeluarkan sinyal SOS yang ingin menenangkan perasaan cemburu yang muncul di harinya. Objek kecemburuan itu mungkin termasuk Yomiuri-senpai, Fujinami-san, dan mungkin juga Kozono-san. Mungkin Narasaka-san juga termasuk di dalamnya. Yah, sebenarnya, hanya mereka gadis yang bisa kuajak mengobrol

Tentu saja, itu bukan masalah hubungan sosialku yang menyedihkan. Ayase-san mungkin tidak suka jika hanya dia yang berhenti dari pekerjaan paruh waktu, sementara aku tetap bekerja di sana. Jika dia berhenti, bukan hanya karena dia tidak ingin terpisah, tapi juga karena dia tidak ingin aku bersama gadis lain. 

Namun, dia mungkin sedikit menyadari bahwa itu berasal dari rasa cemburu, dan itulah sebabnya dia tidak bisa mengatakannya. Dia mungkin takut bahwa dengan mengikatku dengan kecemburuan, dia akan merampas pilihanku untuk melanjutkan pekerjaan paruh waktu. 

Mungkin itulah sebabnya dia tidak bisa mengungkapkannya. Kata-kata yang muncul setelah konflik batin itu adalah tergantung pada Asamura-kun.

Aku memikirkan semua hal ini sambil berjalan, tetapi aku terkejut ketika melihat wajah Ayase-san yang menunggu jawabanku. Mungkin waktu yang berlalu tidak terlalu lama, tetapi tetap terasa lama untuk membuatnya menunggu. 

Aku... saat ini mungkin aku akan mengambil beberapa hari cuti, tapi aku tidak akan berhenti.

“Apa kamu beneran akan bekerja sampai detik-detik terakhir?

Pastinya, setelah masuk bulan November, kurasa aku akan mengambil cuti panjang. Tapi, apa aku akan berhenti atau tidak, aku ingin memutuskan setelah melihat hasil ujian masuk universitas. 

Jadi, semuanya itu tergantung universitas mana yang kamu pilih?

Ya. Jika aku masuk universitas yang lumayan jauh hingga perlu tinggal di asrama, aku pasti tidak bisa melanjutkannya. Namun, meskipun menjadi mahasiswa, aku pasti akan terus pergi ke suatu toko buku. Selama tidak terlalu sibuk atau ada ada perubahan besar dalam lingkungan, bekerja di toko buku yang cukup besar dan dekat dengan rumah akan lebih efisien.

Benar-benar pasti, ya. Begitu.

Ayase-san membuka matanya lebar-lebar. 

Ah, aku mengenali tatapan ini. Di dunia ini, ada orang-orang yang bisa hidup tanpa membaca buku. Dan bagi mereka, para pecandu huruf mungkin terlihat seperti makhluk aneh yang menderita dari berbagai kecanduan lainnya. 

Namun, seperti yang diharapkan darinya, Ayase-san segera menghapus tatapan terkejutnya dan berkata dengan cepat, Iya, itu benar. Memang begitu.

Ya. Jika itu Asamura-kun, kamu memang begitu. Hmm...

Dia mengucapkan itu dengan suara pelan, tapi, tunggu, apakah aku baru saja melakukan kesalahan? 

Aku sebenarnya ingin menyampaikan bahwa alasanku melanjutkan pekerjaan paruh waktu di toko buku bukan karena hubungan romantis dengan gadis di tempat kerja, tetapi murni karena kecintaanku pada buku. 

Itu juga merupakan bentuk komunikasi untuk menyampaikan bahwa selain dengan Ayase-san di luar, aku tidak berniat melakukan lebih dari sekadar hubungan yang wajar dengan wanita lain. 

Mungkin, apa yang terjadi sekarang adalah interaksi di mana kecanduanku pada buku dianggap melampaui batas pemahaman Ayase-san, dan dia berpikir, Orang ini mungkin aneh.

Begitu. Jadi begitu ya...itu khas Asamura-kun banget...

Ah, tidak. Maksudku...

Setelah dipikir-pikir lagi, aku seharusnya menanyakan perasaan Ayase-san terlebih dahulu dengan bertanya, Jika aku melanjutkan pekerjaan paruh waktu, apa kamu merasa khawatir kalau aku semakin dekat dengan gadis pekerja paruh waktu lainnya? Merasa cemburu hanyalah dugaan dariku. 

Aku seharusnya menyadari bahwa berusaha menebak dan mengambil langkah pencegahan bukanlah cara untuk menyesuaikan perasaan. Namun, semuanya sudah terlambat—jadi aku hanya bisa mengungkapkan ini. 

Yah, untuk saat ini aku berencana melanjutkannya hingga akhir Oktober. Bagaimana denganmu, Ayase-san?

Aku juga sama.

Dan kami berdua memutuskan untuk mencari kesempatan dan berbicara dengan manajer. Meskipun aku merasakan ketidakpastian yang samar-samar dalam interaksiku dengan Ayase-san, setelah itu kami hanya berbicara hal-hal sepele dan berjalan berdampingan menuju sekolah. 

 

◇◇◇◇

 

Saat melihat sekeliling kelas, aku jadi teringat pada puisi Basho yang berbunyi, “Apa yang sedang dilakukan tetangga di tengah musim gugur begini? 

Meskipun sekarang sudah memasuki waktu istirahat, suasana di dalam ruangan kelas terasa lebih ramai dari yang aku bayangkan. Teman-teman sekelas yang biasanya menyebar ke berbagai sudut sekolah kini terlihat lebih tenang dan duduk belajar.

Hal ini tentu saja karena ujian yang semakin dekat. Ada yang membolak-balik buku kosakata, ada yang meninjau ulang catatannya, tetapi semua tampak serius. Bahkan siswa yang kursinya kosong pun mungkin sedang belajar di perpustakaan atau ruang istirahat di suatu tempat di sekolah. Ini memang ciri khas sekolah yang mempersiapkan ujian. 

“Kamu kenapa, Asamura?

Suara Yoshida membuatku kembali fokus. 

Ah... tidak, aku hanya berpikir semua orang sangat rajin belajar, ya.

Kamu ini... Di waktu seperti ini, kamu... Ah, tidak, kamu memang orang seperti itu, Asamura.

Meskipun dia mengatakannya seperti karakter novel tertentu

“Memangnya apa yang kamu pikirkan tentang diriku?

Tenang dan santai?

Apa Yoshida adalah tipe orang yang menggunakan bahasa Jepang yang sulit seperti itu dalam percakapan sehari-hari? Lagipula, ia bukanlah Maru. Mungkin ini adalah efek dari periode ujian. Sambil memikirkan hal-hal yang tidak berguna, aku melanjutkan percakapan. 

“Kurasa aku itu tidak sebaik itu. 

Aku tidak menyangkal itu. 

Aku ingin ada sedikit penyangkalan. 

“Habisnya, Asamura, kamu terlihat seperti memperhatikan orang-orang di sekitarmu, tetapi sebenarnya tidak. Ah salah, aku mengoreksi perkataanku. Kamu sebenarnya memperhatikannya, tapi kamu cuma tidak terlalu peduli.”

“Aku merasa pernah mendengar hal yang sama dari Maru.

Bahwa aku terlalu sedikit menunjukkan perhatian kepada orang lain. 

Tapi tunggu sebentar. Aku juga punya alasanku sendiri. Meskipun sekarang aku bersekolah di SMA Suisei yang dikenal sebagai sekolah unggulan, aku tidak tumbuh dengan pujian bahwa aku cerdas atau pintar sejak dari taman kanak-kanak hingga SMP. Aku bahkan gagal dalam ujian masuk SD, gagal dalam ujian masuk SMP, dan tekanan dari ibu kandungku juga cukup berat. 

Demi menjaga kesehatan mentalku, satu-satunya cara adalah berhenti membandingkan diriku dengan orang lain. 

Dengan demikian, begitulah caraku mengembangkan kepribadianku yang sekarang, yang tidak terlalu peduli dengan tindakan orang lain meskipun aku mengamati ekspresi wajah mereka. Aku merasakannya juga saat pembelajaran intens musim panas, bahwa jika aku terlalu memperhatikan orang lain, aku akan terjebak dalam pandangan sempit dan terbelenggu oleh diriku sendiri.

Aku sekali lagi menyadari bahwa strategi untuk mengamati orang lain sambil sebisa mungkin tidak peduli merupakan hal yang benar. Dengan begitu, aku menceritakan hal ini kepada Yoshida sambil mengurangi bagian pengalaman pribadiku sebanyak mungkin. 

“Kedengarannya ribet sekali, tapi kamu memang hebat ya, Asamura.

Apa maksudnya itu? Aku merasa sedikit jengkel dan beralih topik pembicaraan

Ngomong-ngomong,

Aku melihat kotak bekalku yang kosong. Lalu, aku menatap Yoshida di depanku. Yoshida sudah lama menghabiskan sandwich yang dibelinya dari kantin dan sedang menyedot kopi susu

Yoshida menjawabku dengan tatapan hm? sambil mengisap sedotan. 

Oh, aku bisa menunggunya sampai kamu selesai minum saja.

Aku menutup tutup kotak bekalku di hadapan Yoshida yang sedang meminum kopi susu.

Terima kasih atas makanannya.

Aku menyatukan kedua telapak tanganku dan memberi hormat. Berterima kasih pada masakan. Ya, kebetulan pagi ini aku sendiri yang bertugas menyiapkan sarapan, jadi bekal ini juga buatanku... Dan bekal yang sama juga dibuat untuk Ayase-san. Setelah dipikir-pikir, jika kami membandingkan isi kotak bekal, pasti akan ketahuan bahwa yang membuatnya adalah orang yang sama. Untungnya, tidak ada teman sekelas yang suka mengintip kotak bekal di kelas ini, jadi tidak ada yang menduga bahwa aku dan Ayase-san tinggal di rumah yang sama (atau lebih tepatnya, orang-orang yang dekat sampai mengintip kotak bekal, termasuk Yoshida yang ada di depanku ini, sudah mengetahuinya saat festival budaya). 

Ya, sebenarnya itu hanya pemikiran yang muncul saat aku melihat sekeliling kelas. 

Yoshida lalu bertanya lagi setelah menghabiskan minuman kopi susunya

Jadi, ada apa, Asamura?

“Bukan apa-apa, aku hanya berpikir bahwa tumben sekali kamu tidak bersama Makihara-san.

Akhir-akhir ini, Yoshida sering menghabiskan waktu makan siangnya di kantin Bersama pacarnya, Makihara-san. Aku merasa kalau frekuensinya semakin meningkat terutama setelah festival budaya sekolah... 

“Maksudmu Yukka? Dia bilang hari ini mau makan bareng teman-temannya, makanya aku makan sendirian hari ini.

Oh, begitu ya.

Namanya memang Makihara Yuka. Jadi, itu sebabnya ia memanggilnya 'Yukka'

Rasanya agak sulit untuk memanggilnya seperti itu, tapi sejak kapan Yoshida mulai memanggilnya seperti itu? Jika aku menggantinya, rasanya mirip seperti memanggil Sakki!”. Mengubah panggilan “Sakki” atau Yuu-chan

Hmm, yup, itu mustahil. Aku tidak bisa membayangkan diriku memanggilnya seperti itu, dan aku juga tidak bisa membayangkan Ayase-san tersenyum saat dipanggil seperti itu. 

“Aku berencana mengajaknya kencan sepulang sekolah besok.

“Hee”

Aku menahan diri untuk tidak menyatakan bahwa ia jauh lebih tenang dan santai dibandingkan diriku. 

Tapi, begitu rupanya.

Aku melihat sekeliling kelas sekali lagi. 

Seperti yang kuduga, Ayase-san tidak ada. Ketua kelas dan Satou-san juga tidak ada, jadi mungkin mereka semua pergi ke kantin. Oh, tidak, Ayase-san membawa bekal, kan? Jika begitu, mungkin dia di ruang istirahat. Ada kemungkinan dia makan di sana bersama yang lain. 

Di antara teman sekelas yang lebih banyak berada di dalam kelas dari biasanya, kursi Ayase-san yang kosong terasa sangat mencolok. Mungkin itu karena ekspresi wajahnya yang tampak tertekan beberapa hari ini. 

Hmm. 

“Aku juga mau beli minuman dulu sebentar. 

Setelah aku mengatakan itu dan berdiri dari tempat dudukku, Yoshida berkata, Aku juga mau tambah!” Jadi aku mengulurkan telapak tanganku dan ia secara diam-diam menempatkan koin seratus yen di tanganku. Ya sudah, apa boleh buat

Aku memasukkan dompet ke dalam saku dan meninggalkan ruang kelas. 

Saat berjalan di koridor, aku melihat pohon-pohon di luar yang daunnya mulai memerah. Setelah memastikan sekeliling ruang istirahat tidak ada orang, aku naik turun tangga dan berjalan di koridor setiap lantai. Akhirnya, aku sampai di kantin. Saat melihat ke rumput halaman yang layu dari jembatan penghubung, aku melihat seorang siswi berambut cerah duduk sendirian di tepi bangku. Bangku halaman yang biasanya ramai di musim panas kini tampak sepi, dan hanya ada dia saja yang di sana. 

Itu Ayase-san. 

Kurasa dia mungkin tidak menyadari bahwa aku sedang menatapnya. 

Ayase-san yang duduk di bangku itu menatap kosong ke arah rimbunan pohon dengan buku catatan terbuka di pangkuannya. Dia tampak melamun, tidak menunjukkan tanda-tanda melihat catatannya. 

Sudah kuduga, dia sedang mencemaskan sesuatu... Jika tidak, mungkin ini adalah waktu yang biasa dialami wanita sekali sebulan. Apapun itu, aku tetap merasa khawatir. 

Namun, meskipun dia sudah bilang jangan khawatir, rasanya aneh jika aku terus bertanya apa dia baik-baik saja. 

Rasanya jauh lebih mudah jika aku bisa mempercayai perkataan Ayase-san yang mengatakan kalau dia baik-baik saja, tetapi penampilannya di mataku tidak menunjukkan bahwa dia benar-benar baik-baik saja. 

Apa yang harus kulakukan...

Apa ada sesuatu yang bisa kulakukan untuk membantunya?

Aku menarik pandanganku dari sosoknya. Sambil memutar-mutar koin seratus yen yang kupegang, aku teringat bahwa aku harus membeli “isi ulang” untuk Yoshida. Aku berdiri di depan dua mesin penjual otomatis yang berjejer di bagian pembelian, dan membeli susu kopi. Pada saat itulah aku mendapat ide. 

Aku membuka dompetku. Langkahku berpindah ke mesin penjual sebelah. 

Ini bukan dalam kemasan, melainkan mesin minuman dalam cangkir kertas. Pandanganku menyusuri permukaan panel. Baiklahkira-kira, minuman apa yang enak ya? Setelah berkeliling, mataku tertuju pada teh susu panas. Ketika aku menekan panel, terdengar suara gratak, dan cangkir kertas jatuh ke tempat penampung. 

Setelah mengambil cangkir kertas, aku berjalan perlahan ke bangku di halaman. Seperti yang kuduga, Ayase-san merasakan langkah atau kehadiranku dan menoleh. Matanya yang tadinya melamun langsung mengenaliku dan kembali fokus. Dia sedikit terkejut dan membuka matanya lebar-lebar. 

Setelah sampai di samping Ayase-san, aku meletakkan cangkir teh susu yang baru diseduh di kursi kosong di sampingnya. 

“Aku minta maaf karena ini hanya demi kepuasan diriku saja. Aku sudah berusaha untuk tidak khawatir, tapi aku tetap tidak bisa mengabaikannya. Aku harap kamu mengizinkanku untuk khawatir dari jarak ini.

Karena sekarang belum memasuki musim dingin, uap dari cangkir menghilang ke udara dalam sekejap. Meski demikian, aku bisa merasakan kehangatan yang lembut berasal dari situ. Ayase-san dengan lembut mengulurkan tangannya dan mengambil cangkir itu. 

Hangatnya.

Karena memang baru diseduh. Minumlah sebelum dingin.

Dia mengangguk pelan. 

............ Terima kasih.

Aku hanya mengucapkan ya, dan segera meninggalkan tempat itu. Jika dia sedang merenung, aku tidak ingin mengganggunya

Saat dalam perjalanan kembali ke ruang kelas, aku merenungkan tindakanku. Jika Ayase-san berada di dalam kelas, semua orang pasti mendengar ucapanku. Saat melihat secara objektif, aku merasa sangat malu. Rasanya sangat berlebihan. Aku berharap bisa menemukan kata-kata yang lebih lembut dan melakukan sesi merenung dalam pikiranku. 

Tapi yah, itulah perasaanku yang sebenarnya. Karena aku tidak bisa berpura-pura tidak melihatnya, jadi mau bagaimana lagi. Menurutku cuma itu satu-satunya yang bisa dilakukan. 

Setelah kembali ke dalam kelas, aku menyerahkan kopi susu kepada Yoshida. 

Terima kasih! Teernyata lumayan lama ya. 

Oh, ya, ada banyak hal.

“Masa? Lalu, minumanmu sendiri mana? 

Karena itu hanya alasan, sebenarnya aku tidak benar-benar ingin membeli minuman. 

“Aku lupa membelinya. 

Apa sih yang sedang kamu lakukan?”

Benar sekali. Detail kebohonganku terlalu naif.

Aku sempat bertukar kontak mata dengan Ayase-san saat dia kembali ke kelas saat bel tanda masuk berbunyi. Dia memberi anggukan kecil, dan aku juga membalas dengan senyuman tipis. Semoga ini bisa membuatnya sedikit lebih bersemangat.

 

◇◇◇◇

 

Apakah Anda ingin menggunakan penutup?

Suara manisnya yang ceria bertanya, dan wajah seorang wanita tua yang berada di depan antrean pun tampak melunak. 

Ya, tolong. Aku ingin memberikannya sebagai hadiah untuk cucuku.

Buku dengan sampul lembut itu merupakan buku yang penjualannya sedang meroket belakangan ini. Buku ini juga mendapatkan penghargaan dari para staf toko. Karena protagonisnya seorang pelajar, mungkin cucunya juga masih anak SMP atau SMA. 

Mendengar tentang hadiah, dia segera menunjukkan penutup merah yang cantik untuk hadiah dan bertanya apa dia ingin menggunakan penutup berbayar. Wanita tua yang kelihatannya berusia 70-an itu menunjukkan ekspresi ragu, tetapi dia menjawab, Karena ini bukan hari istimewa, jadi yang biasa saja sudah cukup.

Baiklah.

Setelah menjawab dengan senyuman, dia mengembalikan penutup contoh dan memilih penutup biasa. Pada saat itu, dia dengan cerdas menghindari warna gelap dari penutup gratis dan memilih pola yang cerah. Aku yang melihat dari pinggir memberi jempol dalam hati, menilai keputusannya yang bagus. 

Sambil memindai kode batang dan memberi tahu harganya, dia membalik buku yang diterima dan dengan cepat memasang penutupnya. Setelah menyelesaikan pembayaran, dia menyerahkan buku dengan senyuman. 

Terima kasih sudah membeli.

Wanita tua itu tersenyum anggun dan sedikit membungkuk sebelum pergi dari depan kasir. Dia juga membalas dengan Terima kasih banyak ke arahnya

Setelah itu, dia berhasil melayani beberapa pelanggan yang mengantri, dan akhirnya antrean pun habis

“Fyuh...

Seetelah dia menghela napas lega, seorang wanita dari kasir sebelah memanggilnya

Kerja bagus.

Sepertinya sudah saatnya kita istirahat sejenak, kan, Senpai~? 

“Kurasa memang sudah waktunya. Lagipula, sekarang pelanggannya sedang sedikit.

Wanita di kasir sebelah itu tentu saja adalah Ayase-san. 

Ah. Kira-kira kapan ya, mesin kasir mandiri yang terkenal itu akan diperkenalkan? Sudah sangat merepotkan.

Kozono-san, kamu sudah semakin mahir dalam melayani pelanggan." 

“Tolong jangan bilang begitu. Jika kamu terus memujiku seperti itu, kerjaan akan datang bertubi-tubi. Aku baru saja mendapatkan lencana pelatihan. 

Sudah lebih dari tiga bulan yang lalu Kozono-san mulai bekerja, dan bulan lalu dia melepas lencana pelatihannya. Dengan sifatnya yang ramah, tingkat pelayanannya sudah tinggi, dan karena rasa ingin tahunya yang besar, dia sering mengamati area penjualan. Kemampuan memasang penutup bukunya juga meningkat, dan sekarang dia bisa memperhatikan hal-hal kecil. 

Kalau begitu, aku akan masuk ke bagian kasir. Lagipula, aku baru saja selesai merapikan rak.

Setelah selesai merapikan buku pengganti, aku berencana untuk berganti tempat dengan Kozono-san. 

Namun— entah kenapa, aku mendapat tatapan tajam.

Jadi, jika aku beristirahat, bukannya kalian berdua akan asyik bekerja di kasir? Jadi begitu cara mainnya, ya?

Eh... tapi aku hanya melakukan pekerjaan.

Ini bagian dari pekerjaan, kan?

Ayase-san juga berkata begitu. 

Kemudian, seolah-olah baru teringat sesuatu, dia melanjutkan, Karena kami juga calon peserta ujian, jadi kurasa kami akan semakin sering menyerahkan tugas kepada Kozono-san ke depannya. Jadi, sekarang kamu bisa istirahat. 

Apa yang dia katakan memang benar, jadi aku ikut mengangguk. 

Benar juga. Dengan begini, aku bisa merasa tenang untuk beristirahat saat ada situasi mendesak.

Kozono-san mengembungkan pipinya. 

Ah! Kalian memanfaatkanku untuk bermesra-mesraan!

Memanfaatkan...? 

““Tapi ini pekerjaan, kan?”” 

Kami berdua menjawab dengan serempak. 

Senpai, kalian tidak sengaja melakukan ini, kan?

Sambil melihat ke arah Kozono-san, yang sedang beristirahat sejenak dengan ekspresi wajah tidak puas, aku memanggil pelanggan yang sudah tiba di depan kasir.

Silakan, di sini.

Senyum, senyum. 

Aku kembali berpikir, tetapi tidak ada yang tahu sampai kapan aku bisa melanjutkan pekerjaan paruh waktu ini—aku juga tidak tahu. Aku akan berusaha sebaik mungkin. 

Saat waktu pulang tiba, aku selesai berganti pakaian di ruang ganti dan menuju ke kantor manajer toko. Saat kami berdua, aku dan Ayase-san, pergi untuk mengucapkan selamat tinggal, manajer sedang menanyakan harapan jadwal kepada para pekerja paruh waktu yang ada di kantor untuk membuat jadwal bulan depan. 

Ada dua mahasiswa dan Kozono-san di sana. Dua mahasiswa itu menjawab bahwa mereka ingin jadwal yang sama seperti bulan ini. 

Kozono-san juga menjawab hal yang sama, tetapi semangatnya tampak jauh lebih besar daripada mahasiswa itu, dengan mengangkat tinjunya dan berkata, Bulan depan, saya akan bekerja lebih banyak~~! Pak manajer hanya tersenyum dan berkata, Baiklah. Semangat ya. Sepertinya beliau cukup berharap banyak padanya. 

Setelah itu, manajer mengalihkan perhatiannya ke arah kami yang baru masuk ke dalam ruangan kantornya

Kalau kalian bagaimana?

Aku dan Ayase-san saling bertukar pandang sekilas. Aku menggerakkan bibirku, menyampaikan bahwa dia bisa menyerahkan semuanya padaku. Setelah mengangguk, aku mulai berbicara.

“Mengenai hal itu, seperti yang sudah pernah saya bicarakan sebelumnya. Umm...

Oh, jadi kamu masih belum memutuskan apa kamu akan berhenti atau tidak, kan?

Aku mengangguk dan dengan ragu menambahkan. “Saya ingin mengambil cuti dari pekerjaan di toko buku sampai ujian selesai pada bulan November. Artinya, aku berencana untuk berhenti bekerja di toko buku sampai akhir bulan Oktober. 

Saya juga ingin melakukan hal yang sama.

Ayase-san menambahkan jawabannya sendiri di sampingku. 

Karena pak manajer tahu bahwa kami adalah saudara tiri, ia sepertinya tidak meragukan alasan kami menolak shift untuk ujian. Selain itu, kami sudah memberi tahu kemungkinan itu, jadi sepertinya ia sudah mengambil tindakan cepat untuk merekrut pekerja baru dan melatih karyawan baru saat ini. Sambil memberitahu kami untuk merasa tenang, dia mengangguk dengan santai dan berkata, “Aku mengerti.”

Tanggapan Pak Manajer sangat kontras dengan ekspresi terkejut Kozono-san yang terlihat di seberang. Kalau dipikir-pikir lagi, satu-satunya orang yang kuberitahu bahwa aku mungkin takkan bekerja paruh waktu lagi hanyalah Yomiuri-senpai, yang juga sesama pekerja paruh waktu di toko. Lebih tepatnya, bukan hanya memberitahu, tetapi seolah-olah aku dipaksa untuk mengaku... tapi itu terlepas dari masalah tersebut. 

Saat ini, aku akan menyampaikan keinginanku kepada pak manajer. 

“Apa boleh jika saya memberikan jawaban tentang apa saya akan berhenti atau tidak setelah melihat hasil ujian? Saya memahami bahwa itu permintaan yang egois...”

Tentu saja, pada saat itu, ada kemungkinan bahwa posisi pekerja paruh waktu sudah terisi dan ia akan memberitahu bahwa ia tidak membutuhkannya. Tapi kupikir itu wajar. Ayase-san juga mengangguk seolah setuju, Pak manajer pasti mengerti bahwa ini adalah pilihan kami berdua saat ini. 

Pak manajer berkata dengan senyum, “Jika bisa, aku akan merasa senang jika kalian berdua mau kembali.” Setelah itu, ia menoleh ke arah Kozono-san. 

“Karena anak baru yang besar ini juga sudah tumbuh dengan baik. Tidak masalah. Kalian berdua bisa mempersiapkan ujian masuk kalian dengan baik.”

“Eh, apa anak baru yang besar itu maksudnya aku?”

Kozono-san yang terkejut semakin membelalak ketika mendengar kata-kata manajer. 

Manajer mengangguk dengan wajah serius. 

Aku juga setuju. 

“Jika itu Kozono-san, pastinya.”

“Ya. Aku bisa mempercayakannya.”

Ayase-san juga memberi dukungan. 

“Jika kamu bisa melakukan sama seperti hari ini, maka itu saja sudah cukup. Kamu lebih bisa diandalkan daripada kami.”

“Kamu tidak perlu berlebihan memujiku! Lagipula, bukannya itu beban yang terlalu berat bagi diriku yang baru saja melepas lencana pelatihan?”

Itu sama sekali tidak benar. Aku sudah menghabiskan waktu tiga tahun bekerja paruh waktu di toko buku ini sejak masuk SMA, dan di antara pekerja paruh waktu yang masuk selama itu, tidak diragukan lagi bahwa Kozono-san adalah seorang pegawai toko buku yang luar biasa. Belakangan ini, dia bahkan mulai membuat poster tangan sendiri. Pada awalnya, Kozono-san tidak terlihat seperti seseorang yang menyukai buku, tetapi sekarang dia membaca buku-buku yang laris sehingga bisa melakukan promosi dengan baik. Aku merasa dia adalah staf yang sangat dapat dipercaya. 

“Kamu tidak perlu merendah begitu, Kozono-kun, kamu sudah bekerja dengan baik, jadi aku rasa kamu bisa melakukannya. 

Wajahnya berubah masam setelah diberitahu oleh Pak manajer, tapi sudut mulutnya sedikit terangkat. 

Rasanya sangat menggembirakan ketika usaha kita diakui. 

Sambil mengawasi Kozono-san, kami mengumumkan bahwa shift kami telah selesai dan keluar dari kantor. 

Begitu kami keluar meninggalkan kantor manajer, terdengar suara keras saat pintu dibuka kembali. 

Senpai!

Baik Aku dan Ayase-san berbalik. Dari suaranya, kami tahu kalau itu adalah Kozono-san. 

Dia terlihat terengah-engah. Aku berpikir mungkin dia melupakan sesuatu, tetapi sepertinya bukan itu alasannya. 

Yuuta-senpai, apa kamu benar-benar akan berhenti bekerja?

Bukan berhenti sih. Karena sudah memasuki masa ujian, aku hanya berpikir untuk mengurangi jam kerja mulai bulan November.

Tapi, tergantung hasil ujian, mungkin kamu bisa berhenti sepenuhnya, kan?

Ah... itu, tergantung universitas yang diterima. Mungkin aku takkan berada di Shibuya juga.

Jika aku diterima di Universitas Ichinose yang menjadi pilihan pertamaku, kurasa aku masih bisa pulang pergi dari rumah, tetapi memikirkan perjalanannya yang memakan waktu sekitar dua jam, sepertinya tidak realistis untuk kembali ke Shibuya setelah pulang kuliah di hari kerja cuma untuk memulai shift kerja paruh waktu. Aku juga tidak tahu seberapa sibuknya kehidupan universitas nanti. 

Kalau begitu...

Kozono-san yang datang ke depan kami mengangkat smartphone-nya dan berkata, 

Aku merasa sangat kesepian jika hubungan kita terputus seperti ini, jadi mari kita terhubung di LINE. Secara pribadi.

Saat kemah siang hari di musim panas, kami sempat membuat grup sementara dengan Yomiuri-senpai, tetapi kami belum saling mendaftar akun LINE secara pribadi.

Sambil menggerakkan smartphone-nya, Kozono-san mengalihkan pandangannya dariku ke Ayase-san. 

Jika kamu khawatir tentang perselingkuhan, kita bisa membuat grup bertiga termasuk Ayase-senpai.

Kalau begitu, bukannya kamu tidak perlu membuat grup baru dan cukup menggunakan grup yang ada Yomiuri-san juga?”

Karena aku hanya perlu menghubungi Yuuta-senpai, jadi tidak enak rasanya mengganggu smartphone orang dewasa yang sibuk. Ini adalah tawaran yang sangat adil, dan sepertinya Ayase-senpai tidak suka yang tidak adil, kan? Jadi, sebaliknya, jika ini adil, kamu tidak bisa menolak, kan?

Ayase-san terdiam sejenak. Mungkin ini adalah pertama kalinya aku melihat Ayase-san tertekan oleh Kozono-san. 

Kamu sudah mendapatkan ide yang tidak perlu, ya....”

Karena aku pendatang baru yang besar. Hehe.

Kozono-san memiliki ekspresi puas di wajahnya saat dia membusungkan dadanya, menatap dengan cara yang membuat seseorang merasa seperti sedang dipandang rendah meskipun tinggi badannya kecil. 

Mungkin itu provokasi yang sangat menyakitkan, karena Ayase-san tampak lebih frustrasi dari sebelumnya. 

...Namun, pembicaraan ini tentang membuat grup, kenapa aku tidak disebut sama sekali? 

Tapi yah, tidak masalah sih

Mungkin dia menangkap gerakanku di sudut pandangnya saat aku mengangkat bahu, Ayase-san tiba-tiba teringat. 

....Maaf, itu hanya bercanda. Ya, memang tidak ada alasan untuk menolaknya. 

Hehe! Jadi, ayo, Yuuta-senpai! Ayase-senpai!

“Iya, iya.

Karena Ayase-san tidak keberatan, aku pun tidak punya alasan untuk menolaknya, dan kami langsung membuat grup LINE. Nama grup yang aku buat sederhana, yaitu nama toko buku tempat kami bekerja + nama peserta, tetapi Kozono-san tampak tidak puas. Padahal kupikir itu sudah cukup jelas dan bagus

Tapi, Yuuta-senpai, sepertinya kamu tidak peduli dengan hal-hal seperti ini, ya?

Aku membuatnya karena diminta, tetapi... Apa seharusnya aku lebih mempedulikannya

Asamura-kun memang tidak terlalu peduli...

Ayase-san berkata pelan. 

“Masa?

Ya, mungkin?

“Habisnya, Asamura-kun, grup dari kolam renang musim panas setahun yang lalu juga masih tetap sama, kan?

Setahun yang lalu. Mungkin saat aku diundang ke dalam obrolan grup Narasaka-san. Saat itu, memang kami membuat grup setelahnya. Aku hampir tidak menggunakannya, jadi aku bahkan lupa sudah masuk ke dalam grup, tetapi aku tidak ingat keluar dari grup itu. 

Ya, aku takkan bermasalah jika pun ada.

Ayase-san menghela napas. 

Setahun ini, ada anak-anak yang sudah keluar karena grupnya tidak aktif.

“Jadi begitu, ya.

Yuuta-senpai....jangan-jangan.

Ya. Benar sekali. Ia tipe orang yang seperti itu. Tidak menolak siapa pun yang datang, tapi tidak mengejar siapa pun yang pergi.

Setelah menatapku, dia tiba-tiba mengalihkan pandangannya. Setelah itu, dia terus-menerus memainkan smartphone-nya tanpa mengangkat pandangan. 

Jika dia tampak tidak suka atau terpaksa bertahan, aku mungkin akan mengakhiri pembicaraan dan berkata sampai jumpa nanti, tetapi ekspresi Ayase-san saat itu tidak menunjukkan kedua hal tersebut. 

Ayase-senpai, jika perutmu sakit, tidak apa-apa untuk melakukannya nanti, oke?

............... tidak apa-apa, aku baik-baik saja.

Dia menunjukkan ekspresi yang cukup canggung sampai-sampai membuat Kozono-san khawatir. Mungkin dia tidak merasa sakit perut atau tidak enak badan. 

Pada saat itu, ekspresi yang ditunjukkan Ayase-san terlihat seperti... 

Seolah-olah merasa bersalah. 

Atau mungkin, cara terbaik untuk menggambarkannya ialah dia terlihat tidak bisa tenang, dan aku pun tidak tahu harus bagaimana menghadapinya. 

(Sudah kuduga, ternyata tebakanku benar)

Akhir-akhir ini, Ayase-san tampaknya terus memikirkan sesuatu.

 

 

 

Sebelumnya  |  Daftar isi  |  Selanjutnya

close

Posting Komentar

Budayakan berkomentar supaya yang ngerjain project-nya tambah semangat

Lebih baru Lebih lama