[LN] Anti-NTR Jilid 4 Bab 3 Bahasa Indonesia

Chapter 3

 

“Kami berdua pasti akan bahagia bersama. Itulah keputusan kami.

Aku benar-benar mencintai Towa-kun.

Meskipun sudah hampir dua bulan berlalu, kata-kata tersebut masih terus terngiang-ngiang di kepalaku.

Bagiku...Sasaki Shu, teman masa kecilku, Ayana, adalah sosok yang paling berharga... dia sangat berharga, sangat kusayangi, dan tak tergantikan.

Tapi rupanya hanya aku yang merasa begitu... Perasaanku yang secara sepihak, dan keangkuhanku yang mengira Ayana juga menyukaiku, ternyata salah.

Jangan bercanda... Kenapa... Kenapa?!

Apa yang sudah kulakukan? Aku... Aku...!

Aku hanya ingin Ayana selalu berada di sisiku, dan itu sudah membuatku bahagia... Tapi ternyata perasaanku tak tersampaikan pada Ayana, sementara dia dan Towa saling mencintai.

Ketika melihat mereka berdua, aku terus mengumpat dalam hati.

Aku tak bisa menerima kenyataan ini... Aku membenci, cemburu, dan terus mengeluarkan kata-kata kotor yang menyakitkan pada mereka berdua. Betapa menyedihkan diriku.

... Rasanya sunyi sekali, ya.

Aku begumam begitu saat pulang sendirian setelah sekolah usai.

Dengan perginya Towa dan Ayana dari sisiku, duniaku menjadi sunyi.

Setelah ditolak Ayana, dan dihadapkan pada kenyataan oleh Towa, aku menjadi apatis, dan menolak berinteraksi bahkan dengan Iori-san dan Mari... Jadi aku hanya menghabiskan waktu sendirian.

Tapi aku bersyukur bisa menikmati kesunyian ini sendirian.

Dengan begini, aku bisa melupakan hal-hal yang menyakitkan... Tak perlu memikirkan apa-apa... Dan yang terpenting, ini kesempatan bagiku untuk introspeksi diri.

Ayana terlihat sangat... dia terlihat sangat bahagia bersama Towa.

Kalau dipikir-pikir lagi apa yang terjadi selama ini,, memang benar Ayana juga tersenyum saat bersamaku. Tapi senyum Ayana saat bersama Towa merupakan senyuman yang tulus.

Pada akhirnya, aku hanya membesar-besarkan perasaanku sendiri.

Aku mengira Ayana menyukaiku, padahal itu mustahil.... Ah, ternyata aku memang masih seperti anak kecil yang mudah ditipu.

Tanpa adanya Towa dan Ayana di sini, rasanya begitu sunyi... Tapi memang benar, aku jadi kesepian.

Aku memang punya teman-teman lain yang akrab denganku. Tapi hari ini aku ingin pulang sendiri... Haha, padahal aku sendiri yang bilang begitu, tapi ternyata aku jadi merasa kesepian.

... Ah.

Saat pemandangan rumahku sudah terlihat, aku bertemu pandang dengan seseorang.

Ara, Shu-kun?

Ternyata orang itu adalah Seina-san, ibu Ayana.

Memang wajar kami sering berpapasan, karena rumah kami bersebelahan. Tapi akhir-akhir ini aku jarang sekali bertemu dan berbicara dengannya.

Karena aku jarang bertemu Ayana, jadi otomatis aku juga jarang berinteraksi dengan Seina-san. Bahkan ibuku pun, sejak masalah Ayana, juga jarang bertemu dengannya.

“....

Meski Seina-san memanggilku dan kami bertatapan, tapi karena aku sudah jarang bertemu Ayana, aku tak tahu harus memasang wajah dan bicara apa dengannya.

Saat aku menunduk dan hendak berjalan melewatinya, Seina-san malah memanggilku lagi dan mengajakku.

Shu-kun, bagaimana kalau kita minum teh sebentar?

Eh?

Ajakan yang begitu tiba-tiba... Sejenak aku ingin menolak dan kabur. Tapi akhirnya aku mengangguk.

Aku tidak tahu kenapa, tapi entah mengapa aku merasa ini memang sesuatu yang perlu kulakukan.

Kalau begitu, silakan masuk.

Permisi...

Dipandu oleh Seina-san, aku masuk ke ruang keluarga yang sudah akrab, lalu kami mulai minum teh berdua tanpa Ayana.

Meskipun ini semacam acara minum teh, tapi tidak ada topik khusus yang ingin dibicarakan. Aku hanya bisa celingukan dengan gelisah... Sampai akhirnya aku menemukan sebuah foto.

Ayana dan... Towa.

Foto itu menampilkan Towa dan Ayana, serta Seina-san dan ibu Towa, yang tersenyum bahagia. Semuanya tersenyum bahagia, dan memiliki kehangatan yang membuat orang yang melihatnya pun ikutan tersenyum.

(... Towa)

Aku memang masih merasa iri pada Towa... Tapi entah kenapa, ketika melihat foto yang memancarkan kehangatan itu, aku jadi merasa tenang.

Mereka terlihat sangat bahagia, bukan? Aku sendiri tak menyangka akan bisa berfoto bersama Towa-kun, dan juga Akemi, ibunya anak itu. Padahal aku sudah melakukan hal yang sangat mengerikan padanya.”

Hal yang mengerikan...?

Melihat ekspresi bingungku, Seina-san menjelaskan bahwa dulu dia pernah mengatakan hal yang sangat buruk pada Towa, sama seperti ibuku dan Kotone.

... Ngomong-ngomong soal dosa, aku juga memang pernah mengejek Towa.

Setelah mendengar cerita Seina-san, ternyata apa yang dia katakan jauh melebihi bayanganku.

Aku bahkan pernah dibilang kalau Ayana membenciku karena dia punya hubungan darah denganku.

...

Aku kehilangan kata-kata mendengar kejamnya ucapan itu.

Itu adalah kalimat yang tak akan pernah bisa kuucapkan pada keluargaku, tidak peduli sekeras apa kami bertengkar.

Tapi Ayana bahkan tega mengatakan itu...?

Dan Seina-san, yang selalu bersikap lembut padaku, ternyata pernah mengatakan hal sekeji itu pada Towa...?

Tunggu dulu sebentar, informasi ini terlalu banyak.

(Tapi... jadi begitu rupanya.)

Towa.... aku penasaran bagaimana perasaannya saat itu.

Melihat kemarahan Ayana, aku bisa membayangkan seberapa terlukanya Towa saat itu.

Towa yang terkejut saat dilarang ikut pertandingan sepak bola... Aku yang menertawakannya, itu semua benar.

(Aku... Iri pada Towa.)

Berbeda denganku, Towa bisa melakukan apa saja - olahraga, pelajaran, tampan - dan terlihat cocok bersama Ayana. Hal tersebut membuatku iri, dan sekaligus cemburu. Karena itulah aku menertawakannya... Aku senang.

Shu-kun? Kamu tidak apa-apa?

... Maafkan aku.

Aku meminta maaf karena sepertinya aku telah membuat Seina-san khawatir dengan tetap diam.

(Aku... Benar-benar manusia yang brengsek.)

Rasanya begitu menjijikkan untuk mencemooh kemalangan seseorang, bahkan jika mereka tidak menyadarinya.

Aku merasa mual kembali ketika melihat sisi buruk dan kotor diriku sendiri... Mungkin tanpa sadar, di lubuk hatiku yang terdalam, aku tidak pernah benar-benar menganggap Towa sebagai sahabatku, dan hanya memandangnya sebagai pengganggu yang ingin mendekati Ayana.

... Haha.

Ah... aku memang cowok bodoh yang tak tertolong.

Aku yang mendesak Towa saat di atap sekolah, benar-benar tidak bisa dimaafkan... Aku terlalu egois, dan tak pernah memikirkan perasaan Ayana... Semua yang dikatakan Towa memang benar.

Setelah itu, aku berpamitan dengan Seina-san dan pergi meninggalkan rumahnya.

Kenapa Seina-san memanggilku... Bukan karena ingin berdamai, tapi mungkin karena dia melihatku dengan wajah murung, jadi sebagai tetangga lama yang baik hati, dia mengkhawatirkanku.

Hah...

Sesampainya di rumah, aku langsung menuju kamarku dan merebahkan diri di atas kasur.

Kemudian, di dalam kamar yang remang-remang, yang kuingat hanyalah kenangan masa kecilku bersama Towa dan Ayana.

Towa... Kamu selalu keren.

Towa... Ia memang luar biasa.

Ia mempunyai segala yang tidak aku miliki— entah itu dalam olahraga, pelajaran, bahkan penampilannya. Tapi ia tak pernah menjadi sombong, dan terus berjuang dalam sepak bola maupun hal lain... Aku dan Ayana selalu melihatnya.

“Rasanya memang menyebalkan, tapi... Aku jadi mengerti kenapa Ayana menyukainya... Karena Towa begitu memperhatikan Ayana, dan mencintainya.

Rasanya memang menyebalkan... Tapi memang benar.

Aku memang bodoh... Tapi perasaanku pada Ayana bukan kebohongan. Tak peduli apa yang orang lain katakan, perasaan ini nyata.

Kita berdua akan bahagia, ya...

Aku bergumam saat mengulangu kata-kata Towa.

Towa yang menyatakan bahwa dirinya akan bahagia Bersama Ayana, sementara aku hanya berharap kebahagiaan datang padaku tanpa usaha... Aku memang tak tertolong.

“.....

Aku mengangkat tangan ke langit-langit, seakan ingin meraih kembali hubungan yang sudah terputus.

Sebanyak apapun aku menyesalinya, atau menengok ke masa lalu, ikatan antara aku, Towa, dan Ayana sudah tak bisa diperbaiki lagi... Mungkin merasa menyerah dan pasrah merupakan akhir yang cocok untukku.

Alasan aku bicara dengan Shu-kun kali ini, adalah karena aku ingin agar dia bisa melihat ke depan. Sama seperti yang dilakukan Towa-kun dan Ayana padaku...

Kata-kata yang diucapkan Seina-san saat kami berpisah terngiang kembali di dalam kepalaku.

Melihat ke depan... Aku mengartikannya bahwa daripada terus menunduk ke bawah, kita harus melihat ke atas dan mulai berjalan menuju masa depan.

... Benar. Terus-menerus merasa terpuruk tak akan mengubah apapun... Mungkin waktu akan menyembuhkannya, tapi aku tidak tahu butuh berapa lama. Aku merasa kalau aku akan menyesalinya jika aku memilih jalan itu... Tidak, aku pasti menyesalinya.

Apa aku akan menyesali masa depan ini, atau masa depan di mana aku berjuang meskipun tak berjalan lancar? Kurasa aku tidak perlu memikirkannya terlalu jauh.

Aku menampar kedua pipiku dengan keras.

Sakit... Rasanya sangat sakit, aku seharusnya lebih berhati-hati... Ugh.

Ah, pipiku jadi merah padam.

Wajahku yang terpantul di cermin terlihat mengerikan.

Tidak peduli seberapa banyak aku melakukannya untuk menghibur diri, aku berpikir sambil tersenyum masam bahwa aku mungkin memang ceroboh.

Tapi, aku merasa jauh lebih lega.

Waktu yang kuhabiskan sendirian tanpa Towa dan Ayana, serta sedikit percakapan dengan Seina-san, membuatku jadi memikirkan banyak hal.

Aku... Ingin berbaikan. Mungkin terlihat aneh sekarang, tapi... Setidaknya, jika tak bisa berbaikan, aku ingin minta maaf pada mereka, meskipun mungkin akan ditolak lagi.

Ya... Aku harus meminta maaf.

Menertawakan Towa saat dirinya sedang cedera, memaksakan perasaanku pada Ayana—— entah dalam bentuk apa, aku harus minta maaf... Dan yang terpenting, aku harus minta maaf lagi atas kelalaianku yang menjadi akar masalah ini, meskipun aku sudah minta maaf dulu.

Setelah memutuskan itu, hatiku jadi terasa jauh lebih ringan, seakan terlahir kembali.

Tapi aku memang lemah dan penakut, jadi mungkin saja perasaan ini akan kembali suram. Tapi, tetap saja, perasaan plong ini sudah lama tak kurasakan.

Sekarang sudah sore, ibu dan Kotone juga tidak ada... meskipun aku harus keluar lagi, tapi kurasa bisa sekalian untuk menyegarkan diri.

Setelah memutuskan untuk melakukannya, aku cepat-cepat berganti pakaian dan keluar.

Tapi, baru pertama kalinya aku keluyuran sore-sore tanpa tujuan.

Kalau nanti ibu menghubungiku karena aku pulang terlambat, aku akan segera kembali.

(... Itu....)

Begitu aku mulai memasuki area perkotaan, aku melihat seseorang yang kukenal tampak mengalami masalah.

Orang tersebut adalah seseorang yang selalu memperhatikanku bahkan setelah masalah dengan Towa....dia adalah salah satu senpai dan menjabat sebagai Ketua OSIS, Honjou Iori-san.

Apa dia sedang... dirayu?

Saat aku melihatnya dihadang seorang pria berjas, aku berpikir mungkin Iori-senpai sedang digoda. Tapi setelah diperhatikan baik-baik, aku menyadari kalau sepertinya itu bukan upaya rayuan.

Namun, meskipun begitu, aku bisa melihat bahwa Iori-san tampak kesulitan, jadi aku merasa ingin membantunya dan mulai melangkah. 

(… Ingin menolongnya… ya. Meskipun orang itu adalah orang yang dekat denganku, aku selalu menghindar hingga sekarang… kenapa sekarang aku bisa seperti ini?) 

Sebelumnya, ketika Ayana digoda, aku tidak bisa berbuat apa-apa… aku bahkan pernah berusaha berpura-pura tidak melihat dan mendapat teguran dari Towa. 

Aku merasa aneh bahwa aku yang penakut dan tidak bisa berbuat apa-apa kini bergerak seperti ini, tapi kali ini, aku hanya ingin membantu Iori-san yang sedang kesulitan… dengan sepenuh hati. 

“Iori-san!”

“Eh? Shu-kun…?” 

“A-Apa…?” 

Sepertinya dia tidak menyangka aku akan muncul, matanya membulat saat aku berdiri membelakanginya untuk melindunginya.

Pria itu juga membelalakkan matanya seperti Iori-san... Tapi setelah melihatnya lebih dekat, sepertinya itu memang bukan ajakan rayuan.

Apa jangan-jangan... aku dianggap sedang merayu?

“Kalau dilihat dari sikapnya, sepertinya memang begitu.

“Umm...

Loh... Apa jangan-jangan aku terlalu cepat mengambil kesimpulan?

Meskipun aku merasa cemas dengan hal itu, setidaknya Iori-san tidak merasa terganggu. Dia perlahan menggenggam tanganku.

Memang bukan ajakan kenalan, tapi aku merasa sedikit terganggu. Untung kamu datang menyela untuk hal ini, mohon maaf ya.

...Iya. Maaf sudah mengganggumu.

Setelah melihat interaksi Iori-san dan pria itu, Iori-san mengajakku ke sebuah bangku yang agak jauh.

“Ampun deh... Tak kusangka kalau aku akan mendapat ajakan seperti itu.

“Tadi itu apaan?

Sepertinya orang dari agensi hiburan. Itu semacam perekrutan bakat.

“Ag-Agensi artis?!

Itu pasti hal yang luar biasa!

Ekspresi wajahku yang sekarang pasti terlihat sangat terkejut... Tapi aku tidak mengerti bagaimana Iori-san bisa menarik perhatian mereka. Meskipun begitu, itu bukan hal yang mengejutkan.

(Iori-san... Dia memang gadis yang sangat cantik)

Ya, Iori-san memang benar-benar cantik. Wajahnya begitu rupawan, tubuhnya juga sempurna, tidak ada yang bisa mengeluh tentang penampilannya. Dan bukan hanya itu, kepribadiannya juga baik.

“Fufufu, kenapa kamu terus memandangiku seperti itu?

...Tidak, hanya saja Iori-san pantas mendapat tawaran itu.

Itu pujian yang sangat menyenangkan... Hmm~?

“Ap-Apa?”

Iori-san menatapku lekat-lekat, seolah sedang memikirkan sesuatu.

Sebagai orang yang pemalu, aku jadi gugup dengan jarak kami yang begitu dekat. Aku bahkan tidak bisa menatap matanya.

Maaf sudah menatapmu terus. Tapi... Akhir-akhir ini kita jarang bicara, jadi aku merasa ada yang berbeda darimu, Shu-kun.

Berbeda...?

Apa ada sesuatu di dalam diriku yang berubah...?

Aku sendiri tidak terlalu mengerti, tapi ada satu hal yang terlintas di pikiranku mungkin karena aku ingin meminta maaf pada Towa dan Ayana, dan ingin melangkah maju, sehingga perasaanku jadi lebih ringan.

“Aku penasaran apa ada sesuatu yang terjadi....itu mungkin jadi pertanyaan yang bodoh, ya. Aku yakin pasti ada sesuatu yang menyebabkan kamu berubah, Shu-kun.”

“Memang ada sesuatu yang terjadi, tapi aku tidak tahu apa itu yang jadi penyebabnya....”

“Aku jadi penasaran... Aku ingin kamu menceritakannya padaku.

Iori-san semakin mendekatkan wajahnya.

Iori-san... Jika aku sedikit saja mendekat, bisa-bisa terjadi hal yang buruk! Tapi aku senang Iori-san peduli padaku.

...Umm, Iori-san

Ya, apa?

“Apa kamu...mau mendengarkan ceritaku?

Aku ingin setidaknya dia mendengarkanku... Meskipun aku sudah memikirkan apa yang akan terjadi ke depan, aku tetap ingin ada seseorang yang mendengarkanku.

Aku memang memintamu untuk memberitahuku, tapi aku tidak bermaksud memaksamu. Jika Shu-kun bersedia, aku ingin kamu memberitahuku... Boleh?

Ya.

Lalu aku mulai menceritakannya. Bagaimana tindakan-tindakan masa laluku telah merusak hubungan pertemanan kami, menciptakan jurang yang tak mungkin ditutup lagi... Tapi aku berpikir, kalau kami tidak boleh terus begini, jadi meskipun aku mungkin tidak akan dimaafkan, aku ingin meminta maaf... Dan aku ingin bangkit dan melangkah maju.

Aku belum melakukan apa-apa... Tapi sejak aku memutuskan untuk melakukannya, hatiku terasa lebih ringan. Padahal aku belum berbicara dengan Towa maupun Ayana, tapi aku sudah memantapkan niatku... Jadi mungkin perubahan yang Iori-san rasakan ada di sini.

.........

Ya... Aku tahu itu terlalu optimistis, merasa lega padahal belum bertindak apa-apa. Tapi bagiku, perubahan ini sangat besar... Iori-san?

“........”

Aku pikir Iori-san terus diam mendengarkanku, tapi sepertinya tidak. Saat kulihat, matanya terbelalak, seolah-olah meragukan apakah aku benar-benar Sasaki Shu.

Iori-san...?

Ah, maaf.

Iori-san seolah tersadar, berkedip beberapa kali, masih menatapku dengan matanya yang indah.

Aku terkejut melihat Shu-kun begitu serius. Bukan berarti aku meremehkanmuhanya saja, rasanya kamu sedikit berubah, rasanya seperti seorang kakak perempuan yang melihat adiknya tumbuh.

Kakak perempuan...? Yah, Iori-san memang lebih tua dariku, sih.

Itu memang mengejutkan sekali. Selama ini Shu-kun tidak pernah menyatakan pendapatmu dengan begitu tegas, 'kan? Aku bahkan berpikir mungkin ucapanmu waktu itu di atap kepada Yukishiro-kun hanyalah omong kosong.

"Eh...?

Tu-Tunggu sebentar.... di atap dengan Towa...?

Aku merasa sangat mengenali apa yang sedang dibicarakan, dan percakapan itu terus terbayang di benakku.

Jangan-jangan... Iori-san tahu tentang percakapan itu?

Aku merasa malu karena baru mengetahui fakta yang tidak kuketahui sebelumnya, tapi pada saat yang sama aku juga merasa sangat menyedihkan.

Ah...

Sebenarnya, pada waktu itu aku secara tidak sengaja mendengarnya. Aku melihat Shu-kun dan Yukishiro-kun berjalan menuju atap, jadi aku penasaran apa yang akan kalian berdua bicarakan.

... Begitu ya.

Gawat... Rasanya sangat memalukan.

Tidak, sebenarnya merasa malu karena hal itu didengar orang lain memang salah. Itu hanya menunjukkan betapa tidak berhargatnya aku sebagai manusia dan sebagai laki-laki.

(... Tapi rasanya sangat aneh, meskipun waktu itu aku tidak bisa menerimanya, sekarang aku bisa mengingat hal itu dengan tenang.)

Saat aku sedang berpikir begitu, Iori-san perlahan menggenggam tanganku dengan lembut.

Kehangatan saat dia menggenggam tanganku dengan kedua tangannya membuatku merasa terlindungi oleh kebaikan hati Iori-san.

Aku merasa tenang... dan nyaman.

Waktu itu, aku merasa kasihan melihat Shu-kun... Aku berpikir itu sangat menyedihkan.

Mendengar kata-kata Iori-san, aku hanya bisa tersenyum pahit. Itu memang perasaan yang aku rasakan sendiri... Aku menerima semua itu dengan lapang dada. Tapi dalam kata-kata Iori-san, aku merasakan kelembutannya dan perhatiannya padaku.

Tapi aku tidak pernah berpikir untuk meninggalkanmu atau tidak peduli. Karena waktu yang kita habiskan bersama itu nyata, 'kan? Apa kamu tidak menikmati waktu yang kita habiskan bersama?

Tentu saja tidak!

Aku langsung menyangkalnya.

Meskipun Iori-san terkadang memaksaku melakukan hal-hal yang tidak aku inginkan, atau membawaku ke ruang OSIS tanpa persetujuanku... Ah, kalau dipikir-pikir, itu memang sedikit aneh. Tapi aku sama sekali tidak pernah merasa benci menghabiskan waktu dengan Iori-san.

“Aku merasa senang jika kamu sampai menyangkalnya. Tapi setelah memikirkan banyak hal, aku merasa Shu-kun membutuhkan waktu untuk berpikir sendiri... Penting bagimu untuk menyadari sendiri bahwa ini tidak bisa terus berlanjut.

... Ternyata memakan waktu lama ya.

Benar. Sama seperti aku, bahkan Uchida-san pun mengkhawatirkanmu, loh?

“Bahkan Mari juga...

Begitu... Mari juga ya.

Sama seperti Iori-san, Mari adalah kouhai yang bisa menjadi akrab denganku berkat Ayana. Jika dipikir-pikir, Mari sering memanggilku, tapi aku terus mengabaikan gadis yang baik hati itu.

... Aku juga akan meminta maaf pada Mari. Pasti, aku pasti akan minta maaf kepadanya.

Ya, kurasa itu yang terbaik.

Sepertinya aku harus meminta maaf banyak orang, tapi aku tidak bisa lari.

Aku harus menghadapi dengan tulus orang-orang yang sudah aku lukai karena kesalahanku.

“Fufufu, ekspresimu benar-benar terlihat lebih bersemangat ya.

Eh? Masa?

Ya, menurutku begitu. Lho, ternyata kamu bisa membuat wajah yang manis juga ya.

Aduh!

Aku memegangi dahiku yang terkena jitakan darinya.

Yah... memang sedikit sakit, tapi tampaknya pukulan terakhir Iori-san ini memberi dorongan semangat yang besar untukku.

Iori-san

Apa?

Terima kasih. Terima kasih sudah mau mendengarkan... Dan maaf, aku juga sudah membuat Iori-san khawatir.

... Kamu memang benar-benar berubah ya, Shu-kun.

Ini adalah ucapan terima kasih karena dia sudah mau mendengarkanku, dan juga permintaan maaf karena sudah membuatnya khawatir.

Aku benar-benar senang bisa bertemu Iori-san hari ini... Tapi aku tidak menyangka akan mengalami kejadian tak terduga.

... Eh?

Bagus, bagus, kamu sudah dewasa.

Tu-Tunggu...

Dia tiba-tiba meletakkan tangannya di belakang kepalaku, lalu menarikku ke dalam pelukannya.

Merasakan kelembutan di wajahku membuatku berdebar-debar, dan kepalaku terasa melayang-layang... Setelah melepaskanku, Iori-san tertawa kecil, sepertinya dia sengaja melakukannya.

Aku tidak akan berkata bahwa semuanya baik-baik saja. Tapi aku bangga melihat Shu-un yang sudah berusaha menatap masa depan. Jadi, tetaplah berjuang ya.

Ah... Baik!

“Jadi... Shu-kun?

Ya?

Maukah kamu... Membantu pekerjaan OSIS lagi?

Aku pun menyampaikan bahwa aku akan dengan senang hati membantu.

Begitulah hari yang telah memberikan banyak perubahan padaku berlalu... Hei, Towa dan Ayana juga.

Aku ingin berbicara dengan kalian, walau hanya sedikit.

Dan aku ingin meminta maaf.

 

(Sudut Pandang Towa)

Beberapa hari telah berlalu setelah wawancara kami dengan Bundou-senpai, dan cuacanya sedikit lebih panas lagi.

Meskipun di pagi hari seperti ini, peningkatan suhu dapat terasa, dan aku khawatir dengan malam yang pengap nanti.

... Aku tidak ingin terlalu banyak menyalakan AC.

Aku tahu kalau keadaan sekarang memang tidak bisa seperti itu, tapi aku kadang lupa mematikan AC dan pernah kedinginan saat tidur... Yah, aku hanya perlu lebih berhati-hati saja.

Nah, ayo berangkat ke sekolah.

Ibuku sudah berangkat kerja, jadi aku mengunci pintu rumah dengan baik sebelum pergi.

Biasanya aku berangkat bersama Ayana, tapi semalam dia menghubungiku untuk memberitahuku kalau hari ini dia akan berangkat dengan Toudo-san.

Kadang-kadang berangkat sendiri juga tidak buruk ya.

Karena Ayana sering di sampingku, ketenangan ini terasa cukup menyegarkan.

Berangkat sekolah sendirian... Tunggu, apa aku pernah melakukannya di kehidupan sebelumnya juga?

Lagi-lagi, begitu mengatakannya aku kembali memikirkannya.

Dulu saat aku berjalan sendirian di jalan menuju sekolah... Bukan sesuatu yang harus kuingat-ingat sekarang, apalagi sengaja mengingatnya, tapi karena ini masa lalu, aku jadi memikirkannya lagi.

Tiba-tiba aku menoleh ke belakang... Karena aku merasa seolah-olah ada yang menarik tubuhku.

...Apaan sih?

Pasti sekarang wajahku terlihat sangat kesal.

Meskipun tidak sampai merasa terganggu, tapi perasaan yang agak ganjil ini ingin segera kuatasi... Aku tidak mau menghabiskan hari dengan perasaan seperti ini.

Kalau saat seperti ini... jika Ayana ada di sampingku.”

...Apa aku memang selalu mengeluh seperti ini?

Tidak, tidak! Kalau aku terus-terusan berwajah seperti ini, hari yang seharusnya menyenangkan jadi terasa suram, dan yang paling penting, aku tidak ingin membuat Ayana khawatir... Semangatlah, Towa.

Hah...!

Aku menampar kedua pipiku dengan cukup keras.

Sakit... rasanya sangat sakit... Benar-benar sakit... Rasanya perih.

Apa aku terlalu berlebihan...?

Mungkin aku terlalu keras dalam menyemangati diri sendiri... Semoga tidak sampai bengkak, tapi memang agak keterlaluan ya?

“Kamu tidak apa-apa?

Apa ada sesuatu yang membuatmu kesal?

Ah... Tidak, maaf.”

Aku mengira kalau tidak ada orang di sekitarku, tapi ternyata ada kakek dan nenek yang sedang berjalan-jalan di dekat sini.

Mereka tidak merasa jijik melihat tingkahku yang aneh, malah khawatir kalau ada sesuatu yang membuatku kesal, dan kebaikan mereka itu membuatku hampir terharu. Aku pun pergi dari sana sambil tersenyum, mengatakan bahwa aku baik-baik saja.

...Haha, jadi ini yang dimaksud Ayana dengan perasaan cemas itu ya

Jika aku mengungkapkan perasaan cemas seperti ini, aku bisa memahami perasaannya yang ingin memelukku dengan erat ketika berada di sampingku... sampai sejauh itu.

Aku tidak tahu apa yang membuatku cemas... mungkin suara dari kehidupan sebelumnya? Haha.

Bagi aku sekarang, kehidupan sebelumnya sepertinya tidak ada hubungannya.

Tidak ada yang mengatakan bahwa di dunia ini tidak ada tempat untukmu, atau bahwa aku telah merampas Ayana dari Towa yang asli... dan sebagainya.

Kamu terlalu banyak memikirkannya, kamu sudah menjadi Towa— Yukishiro Towa yang telah menyelamatkan Ayana sekarang. Dan Ayana yang diselamatkan olehmu, yang kini mencintaimu, adalah Ayana milikmu sendiri.

Itu terdengar panjang, dan aku tersenyum pahit seolah mendengar kata-kata yang bisa membuatku merasa begitu.

Jika hanya sekali dalam mimpi aku bertemu dengan Towa yang asli... jika ia mengatakan itu, maka tidak ada alasan bagiku untuk merasa cemas.

Namun, meskipun begitu, langkahku terasa ringan karena aku merasa ingin melihat wajah Ayana sekarang juga.

Ini adalah olahraga... ya, aku meyakinkan diriku sendiri bahwa ini adalah olahraga, dan aku bergegas menuju sekolah.

...Oh?

Saat berjalan dan memasuki gerbang sekolah, aku melihat anggota OSIS sedang melakukan kegiatan penyambutan.

Di sana tentu saja ada Ketua OSIS Iori, tapi pandangan mataku tertuju pada Shu yang berdiri di sampingnya.

Selamat pagi.

Selamat pagi!

Suara Shu yang bersemangat terdengar sampai ke tempatku, dan Shu yang berdiri di samping Iori terlihat... Entah bagaimana, tapi wajahnya tampak cerah.

Pada saat itu Mari, yang berjalan di depanku, menghampiri mereka dan mulai berbincang dengan Iori.

...Tuh anak.

Shu menundukkan kepalanya kepada Mari, dan Mari terlihat panik namun tetap membalas lambaian tangannya... Melihat interaksi mereka, ada banyak kemungkinan yang terlintas di pikiranku, tapi sudah lama aku tidak melihat Shu dikelilingi oleh teman-temannya seperti itu.

(...Jadi begitu, Iori memang seperti itu ya.)

Iori yang memperhatikan interaksi Shu dan Mari memiliki tatapan yang sangat lembut. Aku tahu itu karena tatapan itu sangat mirip dengan cara Ayana menatapku.

“Meski aku merasa sangat penasaran, tapi aku ikut bersyukur untukmu, Shu.

Sambil merasa senang karena Shu yang biasanya murung kini telah kembali tersenyum, aku pun berjalan menuju kelas.

Saat memasuki ruang kelas, Ayana segera menghampiriku.

Selamat pagi, Towa-kun—

Ayana.

Aku langsung memeluknya begitu dia mendekat.

Sentuhannya yang lembut dan kehangatannya... Setelah merasakan hal itu dari Ayana, kecemasan yang baru saja kurasakan seketika menghilang begitu saja.

Tapi... Aku ingat kalau ini di dalam kelas yang penuh dengan teman-teman sekelas, jadi aku melepaskan pelukanku sambil meminta maaf, lalu berjalan menuju tempat dudukku.

Towa-kun, kamu kenapa?

Ah~...

Meskipun ada suara-suara berisik dari para siswi, rasanya jelas saja seolah-olah aku telah mengakui sesuatu dengan tingkahku yang tiba-tiba itu.

Yah, tidak ada apa-apa kok. Sebenarnya tadi aku merasa cemas karena Ayana tidak ada di sampingku, jadi aku refleks memelukmu seperti itu.”

“Ara... Fufu♪ Kamu benar-benar jadi seperti aku yang dulu.

Aku tidak tahu apa perasaan cemasku sama besarnya, tapi kalau memang merasa seperti itu, aku juga ingin melakukan hal yang sama.

Itu perkembangan yang bagus♪ Bukan hanya aku saja, tapi Towa-kun juga harus semakin bergantung padaku.

Terlalu bergantung memang tidak baik, tapi dia yang berusaha melimpahiku dengan cinta sebesar ini... Aku hanya bisa mengucapkan 'luar biasa'.

Ngomong-ngomong, Towa-kun, apa kamu tadi melihat Shu-kun?

Iya, aku melihatnya. Ternyata dia sudah kembali tersenyum... Dan Mari juga ada bersamanya. Sudah lama aku tidak melihat mereka bertiga tertawa bersama.

Begitu ya. Aku sempat melihat Iori-senpai menundukkan kepalanya sedikit ke arahku, dan Shu-kun juga sempat bertatapan mata denganku dan terlihat gugup... Tapi jelas-jelas ada perubahan dari sebelumnya.

Sepertinya Ayana juga menyadari perubahan pada Shu.

Memang ada masa lalu yang kelam, tapi aku dan Ayana juga tidak bisa lepas dari memikirkan Shu... Jika Shu bisa terus melihat ke depan, itu pasti akan membahagiakan kami sebagai teman masa kecilnya.

Seperti yang sudah aku katakan berkali-kali, aku dan Ayana sudah melewati masa lalu itu... Jadi kami tidak punya rasa benci atau dendam, kami hanya ingin agar Shu juga bisa melihat ke depan, ke masa depan.

Ah, Towa-kun.”

Ya?

Kaum masih merasa cemas, kan? Bagaimana kalau kita pergi ke ruang kelas kosong dan aku akan menenangkanmu dengan menghiburmu?

Ahaha, aku sudah tidak apa-apa kok. Terima kasih, Ayana.

...Yah, sebenarnya ada sedikit bagian diriku yang berharap juga sih.

Ayana menjulurkan lidahnya sambil mengakui hal itu.

Tentu saja aku juga memiliki keinginan untuk berduaan saja dengan Ayana, tapi sungguh, aku sudah tidak apa-apa.

Ngomong-ngomong, hari ini kan kamu ada janji main dengan Toudo-san setelah pulang sekolah, ‘kan?”

“Kami memang sudah membuat janji itu, sih... Tapi kalau Towa-kun merasa kesepian atau cemas, aku akan membatalkannya!

Aku tidak selemah itu tahu!

Aku meletakkan tanganku di bahu Ayana yang berbicara dengan napas memburu, lalu meyakinkannya bahwa aku baik-baik saja, dan Ayana pun dengan enggan menyerah.

Tapi begitu ya... Berarti aku akan sendirian sepulang sekolah nanti.

Uuu... Towa-kun terlihat kesepian! Kalau begitu—

Aku sudah bilang kalau aku tidak apa-apa!

Aku memeluk Ayana erat-erat saat dia bersiap untuk membatalkan janjinya dengan Toudo-san.

Ukh...! Aku akan membatalkannya... Demi Towa-kun!

“Jangan terburu-buru begitu! Aku tidak selemah itu... Tidak lemah!

Kalian berdua sedang ngapain sih?

Nah, akhirnya Toudo-san pun datang dengan tatapan heran.

Pada akhirnya, Ayana menyetujui keinginanku untuk menjaga keseimbangan antara waktu berdua dengannya dan waktu bersama teman-teman, meskipun dia terlihat sangat enggan.

Kalian berdua... Apa yang terjadi kalau salah satu dari kalian hilang?

Jangan buat lelucon murahan seperti itu, Setsuna.

Maafkan akuuuu!

Meskipun jelas kalau itu hanyalah candaan dari Toudo-san, tapi suara Ayana terdengar sangat mengintimidasi.

Dan karena Ayana menoleh, bukan hanya Toudo-san, tapi semua teman sekelas yang ada di depan Ayana pun memekik kaget... Hei Ayana, kira-kira wajah seperti apa yang kamu tunjukkan kepada mereka?

Ah, Ayana...?

Ya, ada apa ya~

Ayana yang berbalik menghadapku terlihat sangat manis... yup, dia benar-benar sangat manis.

Di belakang Ayana, teman-teman sekelas lainnya bertepuk tangan seolah-olah aku adalah pahlawan yang mengalahkan raja iblis, bahkan ada juga yang sampai bersujud. Aku benar-benar ingin tahu wajah seperti apa yang ditunjukkan Ayana tadi!

Fufu♪

Hiii!?

Ampuni hamba, ampun!

Tolong selamatkan nyawaku!

Teman-teman sekelas yang ketakutan melihat senyum Ayana... Pada akhirnya, aku tak pernah tahu wajah seperti apa yang diperlihatkan Ayana.

 

 

Kalau begitu, Towa-kun, nanti malam aku pasti akan menghubungimu ya.

Oke. Bersenang-senanglah.

Baik!

Setelah waktunya pulang sekolah, Ayana pergi meninggalkan ruang bersama Toudo-san, sementara aku juga tidak ada urusan khusus, jadi aku segera keluar dari kelas.

Dan saat aku sampai di loker sepatu, tiba-tiba ada yang memanggilku.

Towa!

...Shu?

Ya, orang yang memanggilku adalah Shu.

Sebenarnya sepanjang hari ini aku sempat berpapasan dengannya beberapa kali, jadi aku merasa penasaran apa yang ia inginkan.

“Ada apa—

Wah, Yukishiro-kun! Kita bertemu lagi!

Saat aku baru mau bertanya, tiba-tiba Bundou-senpai muncul di antara kami.

Kemunculannya yang tiba-tiba membuat aku dan Shu sama-sama terkejut. Bundou-senpai melihat kami berdua lalu berkata dengan terburu-buru.

Ah, maaf, apa aku mengganggu? Sebenarnya tidak ada urusan penting, tapi melihat Yukishiro-kun, aku jadi ingin menyapanya.

Haa, begitu.

Berkat kerja samamu dan Otonashi-san, kami bisa menyelesaikan artikel yang luar biasa. Nanti akan ada penilaian ketat untuk menentukan peringkatnya, jadi jangan lupa untuk berharap yang terbaik!

Baiklah.

Kalau begitu, sampai jumpa! Adios!

...Orang ini mirip seperti badai.

Aku melihat Bundo-senpai yang berjalan menuju ruang klub, lalu aku dan Shu saling berhadapan lagi.

Anu... Maaf ya.

Tidak apa-apa... Aku juga minta maaf tiba-tiba.

Lalu..."

Anu... Sekarang aku—

Wah, Shu-kun dan Yukishiro-kun?"

Lagi-lagi!

Lagi!?

Eh? Apa? Apaan sih maksudnya?

Orang yang memanggil kami selanjutnya adalah Iori.

Karena aku dan Shu sama-sama memberi tanggapan, Iori terlihat sangat gugup, bolak-balik memandang kami berdua dengan bingung.

Iori kemdian terdiam sebentar, tapi sepertinya dia menyadari bahwa aku dan Shu sedang berhadapan di sini, jadi sebaiknya dia tidak mengganggu.

Begitu ya, kalau begitu aku permisi saja. Shu-kun, semangat ya.

Ah... Baik.

(...Sebenarnya apa yang terjadi sih?)

Aku penasaran... Sangat penasaran.

Setelah melambai pada Shu, Iori juga melambai ke arahku sambil mengedipkan mata sikapnya benar-benar seperti wanita yang bisa diandalkan.

...Selanjutnya?

Sepertinya tidak ada lagi yang akan datang.

.....

.....

Kalau begitu, ayo pergi.

Terima kasih.

Meskipun tiba-tiba, akhirnya tidak ada yang mengganggu kami berdua lagi.

Jika dipikir-pikir, suasananya seperti sedang melakukan pengakuan cinta, tapi... Berada di sini bersama Shu juga tidak buruk.

Rasanya malah seperti mengenang masa lalu saat kami masih bermain dengan polos.

Kami berdua keluar dari sekolah dan pergi ke taman bukan taman yang pernah dikunjungi aku dan Ayana, tapi tempat lain.

Ini.

Ah, terima kasih...

Karena kurasa suasananya terasa hambar, jadi aku membeli minuman kaleng dari mesin penjual otomatis dan memberikannya pada Shu.

Meskipun kami berdua terlihat tenang, tapi jelas ada sedikit ketegangan di antara kami, jadi sebaiknya kami mulai dengan rileks dulu.

Setelah menghabiskan isi kaleng minuman itu setengah-setengah, kami duduk di ayunan yang tidak ada yang menggunakannya.

Kamu... Ekspresimu sudah jauh lebih baik ya?

Benarkah? Yah... Aku senang kamu bilang begitu. Aku punya banyak waktu untuk berpikir, dan juga sempat berbicara dengan Iori-senpai.

Begitu ya.

Ya...

Lalu Shu menatapku dan berkata,

Towa, aku ingin berbicara denganmu... Tentang masa lalu kita, dan juga tentang apa yang kupikirkan ke depannya.

Baiklah. Kalau begitu, ayo kita bicarakan.

Dan dimulailah pembicaraan antara aku dan Shu setelah sekian lama.

 

 

Sebelumnya  |  Daftar isi  |  Selanjutnya

close

Posting Komentar

Budayakan berkomentar supaya yang ngerjain project-nya tambah semangat

Lebih baru Lebih lama