Chapter 3
“Kami
berdua pasti akan bahagia bersama. Itulah
keputusan kami.”
“Aku
benar-benar mencintai Towa-kun.”
Meskipun
sudah hampir dua bulan berlalu, kata-kata
tersebut masih terus terngiang-ngiang di kepalaku.
Bagiku...Sasaki
Shu, teman masa kecilku, Ayana, adalah sosok yang paling
berharga... dia sangat
berharga, sangat kusayangi, dan tak tergantikan.
Tapi
rupanya hanya aku yang merasa begitu... Perasaanku
yang secara sepihak, dan keangkuhanku yang mengira Ayana juga
menyukaiku, ternyata salah.
“Jangan
bercanda... Kenapa... Kenapa?!”
Apa yang
sudah kulakukan? Aku... Aku...!
Aku hanya
ingin Ayana selalu berada di
sisiku, dan itu sudah membuatku bahagia... Tapi ternyata perasaanku tak
tersampaikan pada Ayana, sementara dia dan Towa saling mencintai.
Ketika melihat
mereka berdua, aku terus mengumpat dalam hati.
Aku tak
bisa menerima kenyataan ini... Aku membenci, cemburu, dan terus mengeluarkan
kata-kata kotor yang menyakitkan pada mereka berdua. Betapa menyedihkan diriku.
“...
Rasanya sunyi sekali, ya.”
Aku begumam
begitu saat pulang sendirian setelah sekolah usai.
Dengan
perginya Towa dan Ayana dari sisiku, duniaku menjadi sunyi.
Setelah
ditolak Ayana, dan dihadapkan pada kenyataan oleh Towa, aku menjadi apatis, dan
menolak berinteraksi bahkan dengan Iori-san
dan Mari... Jadi aku hanya menghabiskan
waktu sendirian.
Tapi aku
bersyukur bisa menikmati kesunyian ini sendirian.
Dengan
begini, aku bisa melupakan hal-hal yang menyakitkan... Tak perlu memikirkan
apa-apa... Dan yang terpenting, ini kesempatan bagiku untuk introspeksi diri.
“Ayana
terlihat sangat... dia terlihat sangat
bahagia bersama Towa.”
Kalau
dipikir-pikir lagi apa yang terjadi selama ini,, memang benar Ayana juga
tersenyum saat bersamaku. Tapi senyum Ayana saat bersama Towa merupakan senyuman yang tulus.
Pada
akhirnya, aku hanya membesar-besarkan perasaanku sendiri.
Aku
mengira Ayana menyukaiku, padahal itu mustahil....
Ah, ternyata aku memang masih seperti anak kecil yang mudah ditipu.
“Tanpa
adanya Towa dan Ayana di sini,
rasanya begitu sunyi... Tapi memang benar, aku jadi kesepian.”
Aku
memang punya teman-teman lain yang akrab denganku. Tapi hari ini aku ingin
pulang sendiri... Haha, padahal aku sendiri yang bilang begitu, tapi ternyata
aku jadi merasa kesepian.
“...
Ah.”
Saat pemandangan rumahku sudah terlihat, aku bertemu
pandang dengan seseorang.
“Ara,
Shu-kun?”
Ternyata orang itu
adalah
Seina-san, ibu Ayana.
Memang
wajar kami sering berpapasan, karena rumah kami bersebelahan. Tapi akhir-akhir
ini aku jarang sekali bertemu dan berbicara dengannya.
Karena
aku jarang bertemu Ayana, jadi otomatis aku juga jarang berinteraksi dengan Seina-san.
Bahkan ibuku pun, sejak masalah Ayana, juga jarang bertemu dengannya.
“....”
Meski Seina-san
memanggilku dan kami bertatapan, tapi karena aku sudah jarang bertemu Ayana,
aku tak tahu harus memasang wajah dan bicara apa dengannya.
Saat aku
menunduk dan hendak berjalan melewatinya, Seina-san malah memanggilku lagi dan
mengajakku.
“Shu-kun,
bagaimana kalau kita minum teh sebentar?”
“Eh?”
Ajakan yang begitu tiba-tiba... Sejenak aku
ingin menolak dan kabur. Tapi akhirnya aku mengangguk.
Aku tidak
tahu kenapa, tapi entah mengapa aku merasa ini memang sesuatu yang perlu
kulakukan.
“Kalau
begitu, silakan masuk.”
“Permisi...”
Dipandu oleh Seina-san, aku masuk ke
ruang keluarga yang sudah akrab, lalu kami mulai minum teh berdua tanpa Ayana.
Meskipun
ini semacam acara minum teh, tapi tidak ada topik khusus yang ingin
dibicarakan. Aku hanya bisa celingukan dengan gelisah... Sampai akhirnya aku
menemukan sebuah foto.
“Ayana
dan... Towa.”
Foto itu
menampilkan Towa dan Ayana, serta Seina-san dan ibu Towa, yang tersenyum
bahagia. Semuanya tersenyum
bahagia, dan memiliki kehangatan yang membuat orang yang melihatnya pun ikutan tersenyum.
(...
Towa)
Aku memang
masih merasa iri pada Towa... Tapi entah kenapa, ketika
melihat foto yang memancarkan kehangatan itu, aku jadi merasa
tenang.
“Mereka
terlihat sangat bahagia, bukan? Aku sendiri tak menyangka akan bisa berfoto
bersama Towa-kun, dan juga Akemi, ibunya anak itu.
Padahal aku sudah melakukan hal yang sangat mengerikan padanya.”
“Hal
yang mengerikan...?”
Melihat
ekspresi bingungku, Seina-san menjelaskan bahwa dulu dia pernah mengatakan
hal yang sangat buruk pada Towa, sama seperti ibuku dan Kotone.
... Ngomong-ngomong soal dosa, aku
juga memang pernah mengejek Towa.
Setelah mendengar
cerita Seina-san, ternyata apa yang dia katakan jauh melebihi bayanganku.
“Aku
bahkan pernah dibilang kalau Ayana membenciku karena dia punya hubungan darah denganku.”
“...”
Aku
kehilangan kata-kata mendengar kejamnya ucapan itu.
Itu
adalah kalimat yang tak akan pernah bisa kuucapkan pada keluargaku, tidak
peduli sekeras apa kami bertengkar.
Tapi Ayana
bahkan tega mengatakan itu...?
Dan Seina-san,
yang selalu bersikap lembut padaku, ternyata pernah mengatakan hal sekeji itu
pada Towa...?
Tunggu dulu sebentar, informasi ini terlalu
banyak.
(Tapi... jadi begitu rupanya.)
Towa.... aku
penasaran bagaimana perasaannya saat itu.
Melihat
kemarahan Ayana, aku bisa membayangkan seberapa
terlukanya Towa saat itu.
Towa yang
terkejut saat dilarang ikut pertandingan sepak bola... Aku yang
menertawakannya, itu semua benar.
(Aku...
Iri pada Towa.)
Berbeda
denganku, Towa bisa melakukan apa saja - olahraga, pelajaran,
tampan - dan terlihat cocok
bersama Ayana. Hal tersebut
membuatku iri, dan sekaligus cemburu. Karena itulah
aku menertawakannya... Aku senang.
“Shu-kun?
Kamu tidak apa-apa?”
“...
Maafkan aku.”
Aku
meminta maaf karena sepertinya aku telah membuat Seina-san khawatir dengan tetap diam.
(Aku...
Benar-benar manusia yang brengsek.)
Rasanya
begitu menjijikkan untuk mencemooh kemalangan seseorang,
bahkan jika mereka tidak menyadarinya.
Aku merasa
mual kembali ketika melihat sisi buruk dan kotor
diriku sendiri... Mungkin tanpa sadar, di lubuk hatiku yang terdalam, aku tidak pernah benar-benar menganggap
Towa sebagai sahabatku, dan
hanya memandangnya sebagai pengganggu yang ingin mendekati Ayana.
“...
Haha.”
Ah... aku memang cowok bodoh yang tak tertolong.
Aku yang
mendesak Towa saat di atap sekolah, benar-benar tidak bisa
dimaafkan... Aku terlalu egois, dan tak pernah memikirkan perasaan Ayana...
Semua yang dikatakan Towa memang benar.
Setelah
itu, aku berpamitan dengan Seina-san dan pergi meninggalkan
rumahnya.
Kenapa Seina-san
memanggilku... Bukan karena ingin berdamai, tapi mungkin
karena dia melihatku
dengan wajah murung, jadi sebagai
tetangga lama yang baik hati, dia mengkhawatirkanku.
“Hah...”
Sesampainya
di rumah, aku langsung menuju kamarku dan
merebahkan diri di atas kasur.
Kemudian, di
dalam kamar yang remang-remang, yang kuingat hanyalah kenangan masa kecilku bersama Towa dan Ayana.
“Towa...
Kamu selalu keren.”
Towa... Ia memang luar biasa.
Ia mempunyai
segala yang tidak aku miliki— entah itu dalam
olahraga, pelajaran, bahkan penampilannya. Tapi ia tak pernah menjadi sombong,
dan terus berjuang dalam sepak bola maupun hal lain... Aku dan Ayana selalu
melihatnya.
“Rasanya
memang menyebalkan, tapi... Aku jadi mengerti kenapa Ayana menyukainya... Karena Towa begitu memperhatikan Ayana, dan
mencintainya.”
Rasanya
memang menyebalkan... Tapi memang benar.
Aku
memang bodoh... Tapi perasaanku pada Ayana bukan kebohongan. Tak peduli apa
yang orang lain katakan, perasaan ini nyata.
“Kita
berdua akan bahagia, ya...”
Aku
bergumam saat mengulangu kata-kata Towa.
Towa yang
menyatakan bahwa dirinya akan bahagia Bersama Ayana,
sementara aku hanya berharap kebahagiaan datang padaku tanpa usaha... Aku
memang tak tertolong.
“.....”
Aku
mengangkat tangan ke langit-langit, seakan ingin meraih kembali hubungan yang
sudah terputus.
Sebanyak
apapun aku menyesalinya, atau
menengok ke masa lalu, ikatan antara aku, Towa, dan Ayana sudah tak bisa
diperbaiki lagi... Mungkin merasa menyerah
dan pasrah merupakan akhir yang
cocok untukku.
“Alasan
aku bicara dengan Shu-kun kali ini, adalah karena aku ingin agar dia bisa
melihat ke depan. Sama seperti
yang dilakukan Towa-kun
dan Ayana padaku...”
Kata-kata yang diucapkan Seina-san saat kami berpisah terngiang kembali di dalam kepalaku.
Melihat ke
depan... Aku
mengartikannya bahwa
daripada terus menunduk
ke bawah, kita harus melihat ke atas dan mulai berjalan menuju masa depan.
“...
Benar. Terus-menerus merasa terpuruk
tak akan mengubah apapun... Mungkin waktu akan menyembuhkannya, tapi aku tidak tahu butuh berapa lama. Aku merasa kalau aku akan
menyesalinya jika aku memilih jalan itu...
Tidak, aku pasti menyesalinya.”
Apa aku
akan menyesali masa depan ini, atau masa depan di mana aku berjuang meskipun
tak berjalan lancar? Kurasa aku tidak
perlu memikirkannya terlalu jauh.
Aku
menampar kedua pipiku dengan keras.
Sakit... Rasanya sangat sakit, aku seharusnya lebih
berhati-hati... Ugh.
“Ah,
pipiku jadi merah padam.”
Wajahku yang terpantul di cermin terlihat
mengerikan.
Tidak
peduli seberapa banyak aku melakukannya untuk menghibur diri, aku berpikir
sambil tersenyum masam bahwa aku mungkin memang ceroboh.
Tapi, aku
merasa jauh lebih lega.
Waktu
yang kuhabiskan sendirian tanpa Towa dan Ayana, serta sedikit percakapan dengan
Seina-san, membuatku jadi memikirkan banyak hal.
“Aku...
Ingin berbaikan. Mungkin terlihat aneh sekarang, tapi... Setidaknya, jika tak
bisa berbaikan, aku ingin minta maaf pada mereka, meskipun mungkin akan ditolak
lagi.”
Ya... Aku
harus meminta maaf.
Menertawakan
Towa saat dirinya sedang cedera,
memaksakan perasaanku pada Ayana——
entah dalam bentuk apa, aku harus minta maaf... Dan yang terpenting, aku harus
minta maaf lagi atas kelalaianku yang menjadi akar masalah ini, meskipun aku
sudah minta maaf dulu.
Setelah
memutuskan itu, hatiku jadi terasa jauh lebih ringan, seakan terlahir kembali.
Tapi aku
memang lemah dan penakut, jadi mungkin saja perasaan ini akan kembali
suram. Tapi, tetap saja, perasaan plong ini sudah
lama tak kurasakan.
“Sekarang sudah sore, ibu dan Kotone juga
tidak ada... meskipun aku harus
keluar lagi, tapi kurasa bisa sekalian untuk
menyegarkan diri.”
Setelah
memutuskan untuk melakukannya, aku cepat-cepat berganti
pakaian dan keluar.
Tapi, baru pertama kalinya aku keluyuran sore-sore tanpa tujuan.
Kalau
nanti ibu menghubungiku karena
aku pulang terlambat, aku akan segera kembali.
(... Itu....)
Begitu aku mulai memasuki area perkotaan, aku
melihat seseorang yang kukenal tampak mengalami
masalah.
Orang tersebut adalah seseorang yang
selalu memperhatikanku bahkan setelah masalah dengan Towa....dia adalah salah satu senpai dan menjabat sebagai
Ketua OSIS, Honjou Iori-san.
“Apa
dia sedang... dirayu?”
Saat aku melihatnya
dihadang seorang pria berjas, aku berpikir mungkin Iori-senpai sedang digoda.
Tapi setelah diperhatikan baik-baik,
aku menyadari kalau
sepertinya itu bukan upaya rayuan.
Namun,
meskipun begitu, aku bisa melihat bahwa Iori-san tampak kesulitan, jadi aku
merasa ingin membantunya dan mulai melangkah.
(… Ingin
menolongnya… ya.
Meskipun orang itu adalah orang yang dekat denganku, aku selalu menghindar
hingga sekarang… kenapa sekarang aku bisa seperti ini?)
Sebelumnya,
ketika Ayana digoda, aku tidak bisa berbuat apa-apa… aku bahkan pernah berusaha
berpura-pura tidak melihat dan mendapat teguran dari Towa.
Aku
merasa aneh bahwa aku yang penakut dan tidak bisa berbuat apa-apa kini bergerak
seperti ini, tapi kali ini, aku
hanya ingin membantu Iori-san yang sedang kesulitan… dengan sepenuh hati.
“Iori-san!”
“Eh?
Shu-kun…?”
“A-Apa…?”
Sepertinya
dia tidak menyangka aku akan muncul, matanya membulat saat aku berdiri membelakanginya untuk melindunginya.
Pria itu juga membelalakkan matanya seperti Iori-san... Tapi setelah
melihatnya lebih dekat,
sepertinya itu memang bukan
ajakan rayuan.
“Apa jangan-jangan... aku dianggap sedang merayu?”
“Kalau dilihat
dari sikapnya, sepertinya memang
begitu.”
“Umm...”
Loh...
Apa jangan-jangan aku terlalu cepat
mengambil kesimpulan?
Meskipun
aku merasa cemas dengan
hal itu, setidaknya Iori-san tidak merasa terganggu. Dia perlahan menggenggam
tanganku.
“Memang
bukan ajakan kenalan, tapi aku merasa sedikit terganggu. Untung kamu datang menyela — untuk hal ini, mohon maaf ya.”
“...Iya.
Maaf sudah mengganggumu.”
Setelah
melihat interaksi Iori-san dan pria itu, Iori-san mengajakku ke sebuah bangku
yang agak jauh.
“Ampun deh...
Tak kusangka kalau aku akan
mendapat ajakan seperti itu.”
“Tadi itu
apaan?”
“Sepertinya
orang dari agensi hiburan.
Itu semacam perekrutan bakat.”
“Ag-Agensi
artis?!”
Itu pasti
hal yang luar biasa!
Ekspresi
wajahku yang sekarang pasti terlihat sangat terkejut... Tapi
aku tidak mengerti bagaimana Iori-san bisa menarik perhatian mereka. Meskipun
begitu, itu bukan hal yang mengejutkan.
(Iori-san...
Dia memang gadis yang
sangat cantik)
Ya,
Iori-san memang benar-benar cantik. Wajahnya begitu
rupawan, tubuhnya juga sempurna, tidak ada yang bisa
mengeluh tentang penampilannya. Dan bukan hanya itu, kepribadiannya juga baik.
“Fufufu,
kenapa kamu terus
memandangiku seperti itu?”
“...Tidak,
hanya saja Iori-san pantas mendapat tawaran itu.”
“Itu
pujian yang sangat menyenangkan... Hmm~?”
“Ap-Apa?”
Iori-san
menatapku lekat-lekat, seolah sedang memikirkan sesuatu.
Sebagai
orang yang pemalu, aku jadi gugup dengan jarak kami yang begitu dekat. Aku bahkan tidak bisa
menatap matanya.
“Maaf
sudah menatapmu terus. Tapi... Akhir-akhir ini kita jarang bicara, jadi aku
merasa ada yang berbeda darimu, Shu-kun.”
“Berbeda...?”
Apa ada sesuatu di dalam diriku yang
berubah...?
Aku sendiri
tidak terlalu mengerti, tapi ada satu hal yang terlintas di pikiranku — mungkin karena aku ingin meminta
maaf pada Towa dan Ayana, dan ingin melangkah maju, sehingga perasaanku jadi lebih ringan.
“Aku
penasaran apa ada sesuatu yang terjadi....itu mungkin jadi pertanyaan yang
bodoh, ya. Aku yakin pasti ada sesuatu yang menyebabkan kamu berubah, Shu-kun.”
“Memang ada
sesuatu yang terjadi, tapi aku tidak tahu apa itu yang jadi penyebabnya....”
“Aku jadi
penasaran... Aku ingin kamu
menceritakannya padaku.”
Iori-san
semakin mendekatkan wajahnya.
Iori-san...
Jika aku sedikit saja mendekat, bisa-bisa terjadi hal yang buruk! Tapi aku
senang Iori-san peduli padaku.
“...Umm, Iori-san”
“Ya,
apa?”
“Apa
kamu...mau mendengarkan ceritaku?”
Aku ingin
setidaknya dia
mendengarkanku... Meskipun aku sudah memikirkan apa yang akan terjadi ke depan,
aku tetap ingin ada seseorang yang mendengarkanku.
“Aku
memang memintamu untuk memberitahuku, tapi aku tidak bermaksud memaksamu. Jika
Shu-kun bersedia, aku ingin kamu memberitahuku... Boleh?”
“Ya.”
Lalu aku mulai menceritakannya. Bagaimana
tindakan-tindakan masa laluku telah merusak hubungan pertemanan kami,
menciptakan jurang yang tak mungkin ditutup lagi... Tapi aku berpikir, kalau kami tidak boleh terus begini, jadi
meskipun aku mungkin tidak akan dimaafkan, aku ingin meminta maaf... Dan aku
ingin bangkit dan melangkah maju.
“Aku
belum melakukan apa-apa... Tapi sejak aku memutuskan untuk melakukannya, hatiku
terasa lebih ringan. Padahal aku belum berbicara dengan Towa maupun Ayana, tapi aku sudah
memantapkan niatku... Jadi mungkin perubahan yang Iori-san rasakan ada di sini.”
“.........”
“Ya...
Aku tahu itu terlalu optimistis, merasa lega padahal belum bertindak apa-apa.
Tapi bagiku, perubahan ini sangat besar... Iori-san?”
“........”
Aku pikir
Iori-san terus diam mendengarkanku, tapi sepertinya tidak. Saat kulihat,
matanya terbelalak, seolah-olah meragukan apakah aku benar-benar Sasaki Shu.
“Iori-san...?”
“Ah,
maaf.”
Iori-san
seolah tersadar, berkedip beberapa kali, masih menatapku dengan matanya yang
indah.
“Aku
terkejut melihat Shu-kun begitu serius. Bukan berarti aku meremehkanmu —hanya saja, rasanya kamu sedikit berubah, rasanya seperti seorang kakak perempuan yang melihat adiknya tumbuh.”
“Kakak
perempuan...? Yah, Iori-san memang lebih tua dariku, sih.”
“Itu
memang mengejutkan sekali. Selama ini Shu-kun tidak pernah menyatakan
pendapatmu dengan begitu tegas, 'kan? Aku bahkan berpikir mungkin ucapanmu
waktu itu di atap kepada Yukishiro-kun
hanyalah omong kosong.”
"Eh...?”
Tu-Tunggu
sebentar.... di atap
dengan Towa...?”
Aku
merasa sangat mengenali apa yang sedang dibicarakan, dan percakapan itu terus
terbayang di benakku.
Jangan-jangan...
Iori-san tahu tentang percakapan itu?
Aku
merasa malu karena baru mengetahui fakta yang tidak kuketahui sebelumnya, tapi
pada saat yang sama aku juga merasa sangat menyedihkan.
“Ah...”
“Sebenarnya,
pada waktu itu aku secara tidak sengaja
mendengarnya. Aku melihat Shu-kun dan Yukishiro-kun
berjalan menuju atap, jadi aku penasaran apa yang akan kalian berdua bicarakan.”
“...
Begitu ya.”
Gawat... Rasanya sangat memalukan.
Tidak,
sebenarnya merasa malu karena hal itu didengar orang lain memang salah. Itu
hanya menunjukkan betapa tidak berhargatnya aku sebagai manusia dan sebagai
laki-laki.
(... Tapi
rasanya sangat aneh,
meskipun waktu itu aku tidak bisa menerimanya, sekarang aku bisa mengingat hal
itu dengan tenang.)
Saat aku sedang berpikir begitu, Iori-san
perlahan menggenggam tanganku dengan lembut.
Kehangatan
saat dia menggenggam tanganku dengan
kedua tangannya membuatku merasa terlindungi oleh kebaikan hati Iori-san.
Aku
merasa tenang... dan nyaman.
“Waktu
itu, aku merasa kasihan melihat Shu-kun... Aku berpikir itu sangat menyedihkan.”
Mendengar
kata-kata Iori-san, aku hanya bisa tersenyum pahit. Itu memang perasaan yang
aku rasakan sendiri... Aku menerima semua itu dengan lapang dada. Tapi dalam
kata-kata Iori-san, aku merasakan kelembutannya dan perhatiannya padaku.
“Tapi
aku tidak pernah berpikir untuk meninggalkanmu atau tidak peduli. Karena waktu
yang kita habiskan bersama itu nyata, 'kan? Apa kamu tidak menikmati waktu yang kita
habiskan bersama?”
“Tentu
saja tidak!”
Aku
langsung menyangkalnya.
Meskipun
Iori-san terkadang memaksaku melakukan hal-hal yang tidak aku inginkan, atau
membawaku ke ruang OSIS tanpa persetujuanku... Ah, kalau dipikir-pikir, itu
memang sedikit aneh. Tapi aku sama sekali tidak pernah merasa benci menghabiskan waktu dengan
Iori-san.
“Aku merasa senang
jika kamu sampai menyangkalnya.
Tapi setelah memikirkan banyak hal, aku merasa Shu-kun membutuhkan waktu untuk berpikir
sendiri... Penting bagimu untuk
menyadari sendiri bahwa ini tidak bisa terus berlanjut.”
“...
Ternyata memakan waktu lama ya.”
“Benar.
Sama seperti aku, bahkan Uchida-san pun
mengkhawatirkanmu, loh?”
“Bahkan Mari juga...”
Begitu...
Mari juga ya.
Sama
seperti Iori-san, Mari adalah kouhai yang bisa menjadi akrab denganku berkat Ayana.
Jika dipikir-pikir, Mari sering
memanggilku, tapi aku terus mengabaikan gadis yang baik hati itu.
“...
Aku juga akan meminta maaf pada Mari.
Pasti, aku pasti akan minta maaf kepadanya.”
“Ya,
kurasa itu yang terbaik.”
Sepertinya
aku harus meminta maaf banyak orang, tapi aku tidak bisa lari.
Aku harus
menghadapi dengan tulus orang-orang yang sudah
aku lukai karena kesalahanku.
“Fufufu,
ekspresimu benar-benar terlihat lebih bersemangat ya.”
“Eh?
Masa?”
“Ya,
menurutku begitu. Lho, ternyata kamu bisa membuat wajah yang manis juga ya.”
“Aduh!”
Aku
memegangi dahiku yang terkena jitakan darinya.
Yah...
memang sedikit sakit, tapi tampaknya pukulan terakhir Iori-san ini memberi
dorongan semangat yang besar untukku.
“Iori-san”
“Apa?”
“Terima
kasih. Terima kasih sudah mau mendengarkan... Dan maaf, aku juga sudah membuat
Iori-san khawatir.”
“...
Kamu memang benar-benar berubah ya, Shu-kun.”
Ini
adalah ucapan terima kasih karena dia sudah mau mendengarkanku, dan juga
permintaan maaf karena sudah membuatnya khawatir.
Aku
benar-benar senang bisa bertemu Iori-san hari ini... Tapi aku tidak menyangka
akan mengalami kejadian tak terduga.
“...
Eh?”
“Bagus, bagus, kamu sudah dewasa.”
“Tu-Tunggu...”
Dia tiba-tiba meletakkan tangannya di belakang
kepalaku, lalu menarikku ke dalam pelukannya.
Merasakan
kelembutan di wajahku membuatku berdebar-debar, dan kepalaku terasa
melayang-layang... Setelah melepaskanku, Iori-san tertawa kecil, sepertinya dia
sengaja melakukannya.
“Aku
tidak akan berkata bahwa semuanya baik-baik saja. Tapi aku bangga melihat Shu-un yang sudah berusaha menatap
masa depan. Jadi, tetaplah berjuang ya.”
“Ah...
Baik!”
“Jadi...
Shu-kun?”
“Ya?”
“Maukah
kamu... Membantu pekerjaan OSIS lagi?”
Aku pun
menyampaikan bahwa aku akan dengan senang hati membantu.
Begitulah
hari yang telah memberikan banyak perubahan padaku berlalu... Hei, Towa dan Ayana
juga.
Aku ingin
berbicara dengan kalian, walau hanya sedikit.
Dan aku
ingin meminta maaf.
▼▽▼▽
(Sudut
Pandang Towa)
Beberapa
hari telah berlalu setelah wawancara kami dengan Bundou-senpai, dan cuacanya sedikit lebih panas lagi.
Meskipun
di pagi hari seperti ini, peningkatan suhu dapat terasa, dan aku khawatir dengan malam yang pengap nanti.
“...
Aku tidak ingin terlalu banyak menyalakan AC.”
Aku tahu kalau keadaan sekarang memang tidak bisa
seperti itu, tapi aku kadang lupa mematikan AC dan pernah kedinginan saat
tidur... Yah, aku hanya perlu lebih berhati-hati saja.
“Nah,
ayo berangkat ke sekolah.”
Ibuku sudah berangkat kerja, jadi aku
mengunci pintu rumah dengan baik sebelum pergi.
Biasanya
aku berangkat bersama Ayana, tapi semalam dia menghubungiku untuk memberitahuku kalau hari ini
dia akan berangkat dengan Toudo-san.
“Kadang-kadang
berangkat sendiri juga tidak buruk ya.”
Karena Ayana
sering di sampingku, ketenangan ini terasa cukup menyegarkan.
“Berangkat
sekolah sendirian... Tunggu, apa aku pernah
melakukannya di kehidupan sebelumnya juga?”
Lagi-lagi,
begitu mengatakannya aku kembali memikirkannya.
Dulu saat
aku berjalan sendirian di jalan
menuju sekolah... Bukan sesuatu yang harus kuingat-ingat sekarang, apalagi
sengaja mengingatnya, tapi karena ini masa lalu, aku jadi memikirkannya lagi.
Tiba-tiba
aku menoleh ke belakang... Karena aku merasa seolah-olah ada yang menarik
tubuhku.
“...Apaan sih?”
Pasti
sekarang wajahku terlihat sangat kesal.
Meskipun
tidak sampai merasa terganggu, tapi perasaan yang agak ganjil ini ingin segera
kuatasi... Aku tidak mau menghabiskan hari dengan perasaan seperti ini.
“Kalau
saat seperti ini... jika Ayana ada di sampingku.”
...Apa
aku memang selalu mengeluh seperti ini?
Tidak,
tidak! Kalau aku terus-terusan berwajah seperti ini, hari yang seharusnya
menyenangkan jadi terasa suram, dan yang paling penting, aku tidak ingin
membuat Ayana
khawatir... Semangatlah, Towa.
“Hah...!”
Aku
menampar kedua pipiku dengan cukup keras.
Sakit... rasanya sangat sakit... Benar-benar
sakit... Rasanya perih.
“Apa
aku terlalu berlebihan...?”
Mungkin
aku terlalu keras dalam menyemangati diri sendiri... Semoga tidak sampai
bengkak, tapi memang agak keterlaluan ya?
“Kamu
tidak apa-apa?”
“Apa
ada sesuatu yang membuatmu kesal?”
“Ah...
Tidak, maaf.”
Aku mengira kalau tidak ada orang di sekitarku, tapi ternyata ada kakek
dan nenek yang sedang berjalan-jalan di dekat sini.
Mereka
tidak merasa jijik melihat tingkahku yang aneh, malah khawatir kalau ada
sesuatu yang membuatku kesal, dan kebaikan mereka itu membuatku hampir terharu.
Aku pun pergi dari sana sambil tersenyum, mengatakan bahwa aku baik-baik saja.
“...Haha,
jadi ini yang dimaksud Ayana
dengan perasaan cemas itu ya”
Jika aku
mengungkapkan perasaan cemas seperti ini, aku bisa memahami perasaannya yang ingin memelukku dengan erat ketika
berada di sampingku... sampai sejauh itu.
“Aku
tidak tahu apa yang membuatku
cemas... mungkin suara
dari kehidupan sebelumnya? Haha.”
Bagi aku
sekarang, kehidupan sebelumnya sepertinya tidak ada hubungannya.
Tidak ada
yang mengatakan bahwa di dunia ini tidak ada tempat untukmu, atau bahwa aku telah merampas Ayana dari Towa yang asli... dan sebagainya.
“Kamu terlalu banyak memikirkannya, kamu sudah menjadi Towa— Yukishiro Towa yang telah menyelamatkan
Ayana sekarang. Dan Ayana yang diselamatkan olehmu, yang kini mencintaimu,
adalah Ayana milikmu sendiri.”
Itu
terdengar panjang, dan aku tersenyum pahit seolah mendengar kata-kata yang bisa
membuatku merasa begitu.
Jika
hanya sekali dalam mimpi aku bertemu dengan Towa
yang asli... jika ia mengatakan itu, maka
tidak ada alasan bagiku untuk merasa cemas.
Namun,
meskipun begitu, langkahku terasa ringan karena aku merasa
ingin melihat wajah Ayana sekarang juga.
Ini
adalah olahraga... ya, aku meyakinkan diriku sendiri bahwa ini adalah olahraga,
dan aku bergegas menuju sekolah.
“...Oh?”
Saat berjalan dan memasuki gerbang sekolah,
aku melihat anggota OSIS sedang
melakukan kegiatan penyambutan.
Di sana
tentu saja ada Ketua OSIS Iori,
tapi pandangan mataku tertuju pada Shu yang
berdiri di sampingnya.
“Selamat
pagi.”
“Selamat
pagi!”
Suara Shu
yang bersemangat terdengar sampai ke tempatku, dan Shu yang berdiri di samping
Iori terlihat... Entah bagaimana, tapi wajahnya tampak cerah.
Pada saat
itu Mari, yang berjalan di depanku,
menghampiri mereka dan mulai berbincang dengan Iori.
“...Tuh anak.”
Shu
menundukkan kepalanya kepada Mari, dan Mari terlihat panik namun tetap
membalas lambaian tangannya... Melihat interaksi mereka, ada banyak kemungkinan
yang terlintas di pikiranku, tapi sudah lama aku tidak melihat Shu dikelilingi
oleh teman-temannya seperti itu.
(...Jadi
begitu, Iori memang seperti itu ya.)
Iori yang
memperhatikan interaksi Shu dan Mari
memiliki tatapan yang sangat lembut. Aku tahu itu karena tatapan itu sangat
mirip dengan cara Ayana
menatapku.
“Meski aku
merasa sangat penasaran, tapi aku ikut bersyukur untukmu,
Shu.”
Sambil
merasa senang karena Shu yang biasanya murung kini telah kembali tersenyum, aku
pun berjalan menuju kelas.
Saat memasuki ruang kelas, Ayana segera menghampiriku.
“Selamat
pagi, Towa-kun—”
“Ayana.”
Aku
langsung memeluknya begitu dia mendekat.
Sentuhannya yang lembut dan kehangatannya... Setelah merasakan hal itu dari Ayana, kecemasan yang baru saja
kurasakan seketika menghilang begitu saja.
Tapi...
Aku ingat kalau ini di dalam kelas yang penuh dengan teman-teman sekelas, jadi
aku melepaskan pelukanku sambil meminta maaf, lalu berjalan menuju tempat
dudukku.
“Towa-kun,
kamu kenapa?”
“Ah~...”
Meskipun
ada suara-suara berisik dari para siswi, rasanya
jelas saja seolah-olah aku telah mengakui sesuatu dengan
tingkahku yang tiba-tiba itu.
“Yah,
tidak ada apa-apa kok. Sebenarnya tadi aku merasa cemas karena Ayana tidak ada di sampingku, jadi aku
refleks memelukmu seperti itu.”
“Ara...
Fufu♪ Kamu benar-benar jadi seperti aku yang dulu.”
“Aku
tidak tahu apa perasaan cemasku
sama besarnya, tapi kalau memang merasa
seperti itu, aku juga ingin melakukan hal yang sama.”
“Itu
perkembangan yang bagus♪ Bukan hanya aku saja,
tapi Towa-kun juga harus semakin bergantung padaku.”
Terlalu
bergantung memang tidak baik, tapi dia yang berusaha melimpahiku dengan cinta
sebesar ini... Aku hanya bisa mengucapkan 'luar biasa'.
“Ngomong-ngomong,
Towa-kun, apa kamu tadi melihat Shu-kun?”
“Iya,
aku melihatnya. Ternyata dia sudah kembali tersenyum... Dan Mari juga ada bersamanya. Sudah lama
aku tidak melihat mereka bertiga tertawa bersama.”
“Begitu
ya. Aku sempat melihat
Iori-senpai menundukkan kepalanya sedikit ke
arahku, dan Shu-kun juga sempat bertatapan mata denganku dan terlihat gugup... Tapi jelas-jelas ada perubahan dari sebelumnya.”
Sepertinya
Ayana juga menyadari perubahan pada Shu.
Memang
ada masa lalu yang kelam, tapi aku dan Ayana
juga tidak bisa lepas dari memikirkan Shu... Jika Shu bisa terus melihat ke
depan, itu pasti akan membahagiakan kami sebagai teman masa kecilnya.
Seperti yang
sudah aku katakan berkali-kali, aku dan Ayana sudah melewati masa lalu itu...
Jadi kami tidak punya rasa benci atau dendam, kami hanya
ingin agar Shu juga bisa melihat ke depan, ke masa depan.
“Ah,
Towa-kun.”
“Ya?”
“Kaum masih merasa cemas, kan?
Bagaimana kalau kita pergi ke ruang kelas kosong dan aku akan menenangkanmu dengan menghiburmu?”
“Ahaha,
aku sudah tidak apa-apa kok. Terima
kasih, Ayana.”
“...Yah,
sebenarnya ada sedikit bagian diriku yang berharap
juga sih.”
Ayana menjulurkan lidahnya sambil
mengakui hal itu.
Tentu
saja aku juga memiliki keinginan untuk berduaan saja dengan Ayana, tapi sungguh, aku sudah tidak
apa-apa.
“Ngomong-ngomong,
hari ini kan kamu ada janji main dengan Toudo-san
setelah pulang sekolah, ‘kan?”
“Kami memang
sudah membuat janji itu, sih... Tapi
kalau Towa-kun merasa kesepian atau cemas, aku akan membatalkannya!”
Aku tidak
selemah itu tahu!
Aku
meletakkan tanganku di bahu Ayana
yang berbicara dengan napas memburu, lalu meyakinkannya bahwa aku baik-baik
saja, dan Ayana pun dengan enggan menyerah.
Tapi
begitu ya... Berarti aku akan sendirian
sepulang sekolah nanti.
“Uuu...
Towa-kun terlihat kesepian! Kalau begitu—”
“Aku
sudah bilang kalau aku
tidak apa-apa!”
Aku
memeluk Ayana
erat-erat saat dia bersiap untuk membatalkan janjinya dengan Toudo-san.
“Ukh...!
Aku akan membatalkannya... Demi Towa-kun!”
“Jangan
terburu-buru begitu! Aku
tidak selemah itu... Tidak lemah!”
“Kalian
berdua sedang ngapain sih?”
Nah,
akhirnya Toudo-san pun
datang dengan tatapan heran.
Pada
akhirnya, Ayana
menyetujui keinginanku untuk menjaga keseimbangan antara waktu berdua dengannya
dan waktu bersama teman-teman, meskipun dia terlihat sangat enggan.
“Kalian
berdua... Apa yang terjadi kalau
salah satu dari kalian hilang?”
“Jangan
buat lelucon murahan seperti itu, Setsuna.”
“Maafkan
akuuuu!”
Meskipun
jelas kalau itu hanyalah candaan
dari Toudo-san, tapi suara Ayana terdengar sangat mengintimidasi.
Dan
karena Ayana menoleh,
bukan hanya Toudo-san,
tapi semua teman sekelas yang ada di depan Ayana
pun memekik kaget... Hei Ayana,
kira-kira wajah seperti apa yang kamu tunjukkan
kepada mereka?
“Ah,
Ayana...?”
“Ya,
ada apa ya~♪”
Ayana yang berbalik menghadapku
terlihat sangat manis... yup, dia benar-benar
sangat manis.
Di
belakang Ayana,
teman-teman sekelas lainnya
bertepuk tangan seolah-olah aku adalah pahlawan yang mengalahkan raja iblis, bahkan ada juga yang sampai bersujud.
Aku benar-benar ingin tahu wajah seperti apa yang ditunjukkan Ayana tadi!
“Fufu♪”
“Hiii!?”
“Ampuni hamba, ampun!”
“Tolong
selamatkan nyawaku!”
Teman-teman
sekelas yang ketakutan melihat senyum Ayana...
Pada akhirnya, aku tak pernah tahu wajah seperti apa yang diperlihatkan Ayana.
▼▽▼▽
“Kalau
begitu, Towa-kun, nanti malam aku pasti akan menghubungimu ya.”
“Oke.
Bersenang-senanglah.”
“Baik!”
Setelah waktunya pulang sekolah, Ayana pergi meninggalkan ruang bersama Toudo-san, sementara aku juga tidak
ada urusan khusus, jadi aku segera keluar dari kelas.
Dan saat
aku sampai di loker sepatu, tiba-tiba ada yang memanggilku.
“Towa!”
“...Shu?”
Ya, orang yang memanggilku adalah Shu.
Sebenarnya
sepanjang hari ini aku sempat
berpapasan dengannya beberapa kali,
jadi aku merasa penasaran apa yang ia inginkan.
“Ada apa—”
“Wah,
Yukishiro-kun! Kita bertemu lagi!”
Saat aku
baru mau bertanya, tiba-tiba Bundou-senpai muncul di antara kami.
Kemunculannya
yang tiba-tiba membuat aku dan Shu sama-sama terkejut. Bundou-senpai melihat kami berdua lalu berkata
dengan terburu-buru.
“Ah,
maaf, apa aku mengganggu? Sebenarnya tidak ada urusan penting, tapi melihat
Yukishiro-kun, aku jadi ingin menyapanya.”
“Haa, begitu.”
“Berkat
kerja samamu dan Otonashi-san,
kami bisa menyelesaikan artikel yang luar biasa. Nanti akan ada penilaian ketat
untuk menentukan peringkatnya, jadi jangan lupa untuk berharap yang terbaik!”
“Baiklah.”
“Kalau
begitu, sampai jumpa! Adios!”
...Orang ini mirip seperti badai.
Aku
melihat Bundo-senpai yang
berjalan menuju ruang klub, lalu aku dan Shu saling berhadapan lagi.
“Anu...
Maaf ya.”
“Tidak
apa-apa... Aku juga minta maaf tiba-tiba.”
“Lalu..."
“Anu...
Sekarang aku—”
“Wah,
Shu-kun dan Yukishiro-kun?"
“Lagi-lagi!”
“Lagi!?”
“Eh?
Apa? Apaan sih maksudnya?”
Orang yang
memanggil kami selanjutnya adalah Iori.
Karena
aku dan Shu sama-sama memberi tanggapan, Iori terlihat sangat gugup,
bolak-balik memandang kami berdua dengan bingung.
Iori kemdian terdiam sebentar, tapi sepertinya
dia menyadari bahwa aku dan Shu sedang berhadapan di sini, jadi sebaiknya dia
tidak mengganggu.
“Begitu
ya, kalau begitu aku permisi saja. Shu-kun, semangat ya.”
“Ah...
Baik.”
(...Sebenarnya
apa yang terjadi sih?)
Aku
penasaran... Sangat penasaran.
Setelah
melambai pada Shu, Iori juga melambai ke arahku sambil mengedipkan mata — sikapnya benar-benar seperti
wanita yang bisa diandalkan.
“...Selanjutnya?”
“Sepertinya
tidak ada lagi yang akan datang.”
“.....”
“.....”
“Kalau
begitu, ayo pergi.”
“Terima
kasih.”
Meskipun
tiba-tiba, akhirnya tidak ada yang mengganggu kami berdua lagi.
Jika
dipikir-pikir, suasananya seperti sedang melakukan pengakuan cinta, tapi...
Berada di sini bersama Shu juga tidak buruk.
Rasanya malah seperti mengenang masa lalu saat
kami masih bermain dengan polos.
Kami
berdua keluar dari sekolah dan pergi ke taman —
bukan taman yang pernah dikunjungi
aku dan Ayana, tapi
tempat lain.
“Ini.”
“Ah,
terima kasih...”
Karena
kurasa suasananya terasa hambar, jadi aku
membeli minuman kaleng dari mesin penjual otomatis dan memberikannya pada Shu.
Meskipun
kami berdua terlihat tenang, tapi jelas ada sedikit ketegangan di antara kami, jadi sebaiknya kami
mulai dengan rileks dulu.
Setelah
menghabiskan isi kaleng minuman itu setengah-setengah, kami duduk di ayunan
yang tidak ada yang menggunakannya.
“Kamu...
Ekspresimu sudah jauh lebih baik ya?”
“Benarkah?
Yah... Aku senang kamu bilang
begitu. Aku punya banyak waktu untuk berpikir, dan juga sempat berbicara dengan Iori-senpai.”
“Begitu
ya.”
“Ya...”
Lalu Shu
menatapku dan berkata,
“Towa,
aku ingin berbicara
denganmu... Tentang masa lalu kita, dan juga tentang apa yang kupikirkan ke
depannya.”
“Baiklah.
Kalau begitu, ayo kita bicarakan.”
Dan
dimulailah pembicaraan antara aku dan Shu setelah sekian lama.