Chapter 4
Shu yang
berhadapan denganku benar-benar menampilkan ekspresi yang tenang.
Seperti
yang sudah ia katakan sebelumnya, sepertinya
selama dua bulan ini ia telah banyak memikirkan berbagai hal.
Aku sendiri
merasa tidak masalah jika hal tersebut bisa mengubahnya ke arah
yang lebih baik,... Nah, mari kita dengarkan apa yang
ingin disampaikan Shu.
“Aku
sudah banyak memikirkan banyak hal...
Semakin banyak aku sendirian
setelah tidak lagi berbicara dengan kalian, aku sadar bahwa aku hanya memikirkan
diriku sendiri dan tidak benar-benar memikirkan dirimu atau Ayana sama sekali—— persis seperti
yang kamu katakan padaku di atap.”
Shu
mengalihkan pandangannya dariku dan menatap langit.
Dari
samping wajahnya, terlihat aura yang berbeda dari saat di atap, jadi sepertinya
kami tidak akan terlibat dalam pertengkaran lagi.
“Pada saat
itu aku tidak mencoba memahami maksud perkataanmu, dan aku tidak bisa mengerti sama sekali, tidak peduli
bagaimanapun aku memikirkannya... Tapi sekarang aku paham. Meski rasanya sungguh terlambat, aku
menyesal tidak bisa menyadarinya lebih awal.”
“Ya,
memang terlambat.”
“Iya...
Benar-benar merepotkan.”
Ia
berhenti berbicara sejenak, lalu bangkit berdiri menghadapku.
“Pertama-tama,
Towa, aku ingin meminta maaf padamu──permintaan maaf di rumah sakit itu saja tidak cukup.”
“Tidak,
yang itu bukanlah salahmu.”
“Tidak,
kecelakaan itu
disebabkan karena
kecerobohanku. Jadi, Towa... aku benar-benar minta
maaf.”
Ia
membungkukkan badannya dalam-dalam dengan
wajah yang serius.
Dengan
menerima permintaan maafnya, kenangan saat itu kembali muncul... Karena itu
sudah masa lalu yang berhasil dilewati, itu bukan lagi trauma, dan tidak perlu
diungkit-ungkit lagi.
Kecelakaan
itu... Memang terjadi saat aku mencoba menolong Shu yang sedang lengah.
Shu tidak
sengaja melakukannya, dan aku juga
ingin menolongnya dengan tulus.
Tapi
sepertinya Shu masih memiliki sesuatu yang ingin ia katakan.
“Towa,
kamu adalah idolaku. Kamu pintar dalam pelajaran, jago
olahraga, dan sangat baik hati serta keren... Tapi kamu tidak pernah menyombongkan diri atau memamerkan itu semua... Aku
kagum padamu, tapi pada saat yang sama, aku juga sangat iri padamu.”
“...”
Suara Shu
bergetar, tapi ia tidak menangis. Tampaknya ia berusaha keras menahan air mata
yang hampir tumpah.
“Ayana
pernah bilang padaku... Kenapa aku tertawa saat melihatmu yang putus asa karena
tidak bisa ikut pertandingan? Itu karena dari rasa iri terhadapmu...aku...aku...”
Di sini,
Shu tidak bisa lagi menahan air matanya. Ia
berusaha menutupi wajahnya dengan tangannya, membiarkan air mata besar
mengalir.
“Astaga,
kamu masih saja cengeng meski sudah menjadi anak
SMA.”
Karena tidak
tahan melihatnya, aku berdiri dan memeluknya. Sayang sekali bukan Ayana... Aku
tersenyum getir, lalu mengelus punggungnya untuk menenangkannya.
“Aku
menerima permohonan maafmu... Jadi, jangan menangis lagi karena hal ini.”
“Towa...
Aku...”
“Tolong
jangan sampai ingusmu menempel di bajuku, oke?”
Meskipun
aku berkata begitu, sepertinya sudah terlambat.
Kemejaku
sudah kotor dengan air mata dan ingus Shu... Ah~,
ibuku pasti akan bertanya apa yang terjadi.
“Meskipun
kamu berusaha terlihat dipenuhi tekad, tapi suaramu mulai bergetar, jadi aku
tahu kamu akan menangis. Kamu benar-benar sudah memikirkan
banyak hal ya.”
Mengakui
kenyataan yang tidak ingin diakui pasti membuat Shu menderita.
Dengan
merenungkan dirinya yang egois, ia akhirnya
bisa menganalisis situasi di sekitarnya dengan tenang... Dan hasil pemikirannya
itu yang membuatnya sampai pada permintaan maaf ini.
“Aku
ingin kamu memaafkanku... Tidak, bahkan
jika kamu tidak mau memaafkanku pun tidak
apa-apa. Tapi aku tetap ingin meminta maaf padamu... Pada kalian. Meskipun kamu bilang tidak perlu, rasa
penyesalan itu masih tersisa, jadi aku ingin meminta maaf padamu.”
“Ya...
Aku mengerti.”
“Dan...
Ada satu lagi yang ingin kukatakan. Aku... Menyukai saat-saat kita bertiga
bersama... Jadi, aku ingin berbicara
lagi denganmu dan Ayana...
Dan aku berharap kalian berdua bahagia.”
“...
Baiklah, aku mengerti.”
Bagaimanapun juga, ketika seseorang yang sudah
lama bersamamu pergi, itu terasa menyakitkan dan sedih... Meskipun kamu mencoba untuk tidak
memikirkannya, perasaan itu tetap akan tersisa di dalam hati.
“Terima
kasih, aku senang kamu sudah
mau membicarakannya denganku.”
“Ya...
Ya...!”
Ah, ia mulai menangis lagi.
Tapi
memang begitulah Shu sejak dulu... Aku dan Ayana sering kebingungan
menenangkannya.
“Aku
sudah menerima permintaan maaf Shu sekali lagi. Tapi seperti yang sudah
kukatakan sebelumnya, aku dan Ayana sudah mulai melangkah ke depan. Jadi,
jangan mengkhawatirkannya lagi──kamu juga, angkatlah kepalamu dan
hadapilah ke depan.”
“...Towa.... terima kasih.”
Tapi, aku
melanjutkan perkataanku.
“Sebenarnya,
aku tidak benar-benar tidak peduli. Meskipun kita sempat menjaga jarak, tapi
kenyataannya kita bertiga pernah menghabiskan waktu dengan konyol
bersama-sama... apa kamu masih mengingatnya, Shu? Saat kita main sepak bola
dan Ayana menendang sekuat tenaga tapi malah meleset?”
“...Tentu
saja aku ingat. Kita tertawa melihat Ayana yang guling-guling.”
“Iya
'kan? Lalu Ayana mengejar kita dengan wajah seram.”
“Pada saat
itu, Ayana larinya lebih cepat darimu,
aku jadi takut.”
“Iya,
benar itu.”
Meskipun
Shu masih menangis, aku lega melihat senyumnya sudah kembali.
Kalau
dipikir-pikir kembali, kami memang perlu berbicara seperti ini, tapi hal yang paling dibutuhkan Shu adalah waktu untuk introspeksi
diri.
“Ah,
ada satu lagi yang belum kujawab.”
“Hm?”
Aku menjauh
sejenak dari Shu, lalu mengacungkan tinjuku ke arahnya.
“Serahkan
saja soal Ayana padaku. Aku yakin kalau kita berdua bahagia. Aku akan
selalu menjaga senyumnya selamanya.”
Setelah mendengar
pernyataanku itu, Shu mengangguk.
“Ya... Aku meyakini kalau kalian berdua pasti
akan baik-baik saja. Aku akan mendukung kalian.”
Lalu,
kami saling mengenempelkan
kepalan tangan kami.
Pemandangan
ini seperti adegan berbaikan
di film remaja atau fantasi.
“Hari
ini... Terasa menyenangkan ya. Kurasa aku takkan merasa cemas lagi seperti tadi pagi.”
“Cemas?”
“Ah,
bukan apa-apa. Mau minum satu kaleng lagi?”
“Boleh.
Kali ini aku yang traktir.”
“Terima
kasih.”
Jelas
sekali bahwa tidak ada lagi dinding di antara
kami.
Meskipun masih terasa sedikit canggung,
setidaknya satu batu besar yang menghalangi jalanku sudah terangkat.
“Lalu,
Towa, apa yang mau kamu lakukan
selanjutnya?”
“Aku
memang sedang senggang, tapi kurasa aku akan pulang sekarang.”
“Begitu
ya. Kalau begitu aku juga akan pulang.”
“Apa
kamu akan berbicara dengan Ayana juga?”
“...Hei
Towa, kurasa aku memang pengecut. Hari ini aku sudah mengerahkan seluruh keberanianku untuk berbicara
denganmu, jadi aku ingin mencoba bicara lagi dengan Ayana lain kali.”
“Begitu
ya.”
Yah,
menurutku itu tidak masalah.
Memang
benar kalau Shu terlihat sangat dewasa hari
ini, tapi pada saat yang sama ia terlihat seperti
sedang
memaksakan diri... Jika ia ingin berbicara lagi dengan Ayana setelah berhasil menenangkan diri, aku juga akan membantu.
“Jika
waktunya tiba, aku
pasti akan merasa sangat
gugup dalam artian banyak hal. Soalnya
Ayana jadi semakin menarik sejak bersamamu.”
“Wah,
kamu pandai
mengatakan sesuatu yang bagus. Benar sekali, pesona Ayana memang tak
terbatas.”
“Haha,
tak kusangka kalau Towa
juga bisa bicara begitu.”
“Tentu
saja aku akan mengatakannya. Asalkan itu tentang pacarku
yang cantik, aku bisa membicarakannya sepuasnya.”
Tapi......ketika
membahas hal seperti ini, ada
sesuatu yang ingin kutanyakan juga.
“Lalu
bagaimana denganmu, Shu?
Terutama soal Iori...eh salah, maksudnya Ketua.”
“I-Iori-san...!?”
“Iya,
tadi pagi aku melihat kalian berdua berdiri berdampingan lho.”
“.....”
Setelah mendengar
itu, wajah Shu langsung memerah dan menunduk.
Walaupun
mungkin rasanya tidak sopan untuk menanyakannya
lebih jauh, tapi sebagai teman dekat, aku memang penasaran dengan hal-hal
seperti ini.
“Dengan
Iori-san... Aku sudah berbicara dengannya. Hari ini aku berani melangkah maju
dengan kemampuanku sendiri, tapi dia yang memberi kekuatan untuk berjalan ke
depan.”
“Begitu
ya.”
“...Bukan
hanya Iori-san saja. Mari juga menyapaku dan meminta maaf karena sudah mengabaikannya sampai sekarang.”
“Begitu
ya.”
Selain
soal Iori, sepertinya masalahnya dengan Mari
juga sudah selesai.
Itu bukanlah sesuatu yang perlu kutanyakan di
sini mengenai pilihan apa yang diambil Mari,
atau apa yang mereka bicarakan,... Mungkin Ayana akan menanyakannya secara
tidak langsung, tapi yang penting adalah mereka sudah menyelesaikannya.
(Tapi...
Kalau begitu, aku jadi penasaran dengan masa depan mereka berdua.)
Aku
penasaran apa yang akan terjadi dengan Shu dan Iori... Aku akan
mengawasinya, dan jika terjadi sesuatu, aku akan membantu sebagai teman masa
kecilnya.
“Meski
begitu, rasanya
sudah lama ya kita berdua berjalan bersama seperti ini?”
“Iya...
Meskipun hanya dua bulan, rasanya sudah lama tidak seperti ini.”
“Benar banget.”
Kemudian
kami berjalan ...... dalam perjalanan sampai kami berpisah.
Di tempat
yang terhalang pandangan, tiba-tiba muncul sebuah sepeda motor yang membelok.
“!?”
“Towa!”
Aku terkejut
dan Shu menarikku pundakku secepat
mungkin, mencegahku tertabrak motor tersebut.
Berkat
itu, aku tidak tertabrak, tetapi pemuda di atas sepeda motor itu menundukkan
kepalanya dengan sangat menyesal dan
langsung pergi.
“Hampir
saja...”
“Seharusnya
ia tidak hanya menundukkan kepala, tapi juga harus
meminta maaf.”
Memang benar kalau tadi itu
sangat berbahaya.
Aku
sebenarnya juga sempat bereaksi, jadi tabrakan mungkin bisa dihindari... Tapi
aku diselamatkan oleh Shu.
“Haha,
kali ini aku yang diselamatkan ya?”
“'Kali
ini'? Towa, itu sama sekali tidak
lucu tahu!?”
“Maaf,
maaf. Yah, Sudah banyak waktu yang berlalu sejak saat itu, dan berkat kejadian tadi, aku bisa mengatakan ini. Alangkah
menyenangkannya kalau kita bisa
menertawakan hal-hal ini lagi saat kita membicarakan masa lalu, bukan?”
“Menertawakannya?
Kejadian tadi tidak cocok untuk dijadikan candaan
tahu!”
Memang,
menjadikannya bahan lelucon mungkin terlalu berlebihan.
Tapi setidaknya, jika suatu hari nanti kami bisa mengingat ini sambil tertawa,
itu akan menjadi hal yang bagus.
“Tapi
sungguh, jika Towa terlibat
kecelakaan di hadapanku,
aku tidak akan bisa bangkit lagi seumur hidup.”
“Maaf,
aku benar-benar minta maaf.”
“Sungguh!”
Setelah
itu, aku harus meminta maaf berkali-kali pada Shu.
Lalu,
kami berpisah di pertigaan menuju rumah masing-masing... Seperti yang
kupikirkan tadi, rasanya beban besar sudah terangkat dari pundakku.
“...Hehe.”
Aku tidak
sengaja tertawa dengan riang, hampir tidak percaya dengan diriku sendiri,
karena suasana hatiku saat ini sedang sangat
baik.
Tepat
setelah aku berpikir untuk menceritakan hal ini lagi pada Ayana nanti malam,
aku tiba-tiba terbatuk cukup keras.
“Uhuk!?
Uhuk!?”
Batukku
begitu kuat hingga membuatku berhenti berjalan dan bersandar pada tiang
listrik. Tidak
peduli seberapa banyak aku terbatuk,
rasa gatal di tenggorokanku tidak mau hilang.
“Apa
aku kena flu? ...Uhuk!?”
Tidak,
sepertinya bukan flu... Tapi batukku benar-benar tidak mau berhenti.
Aku bisa
menahannya, tapi rasa gatal di tenggorokanku membuatku harus batuk agar merasa
lega.
“Nak Towa,
apa kamu
baik-baik saja?”
“...Eh?”
Pada saat
itu, ada seseorang yang menepuk punggungku dengan lembut
dan memanggilku.
Suara
yang akrab dan panggilan itu membuatku mendongak, aku tidak menyangka akan bertemu
orang itu.
“Uhuk...
Kanzaki-san?”
“Iya,
ini aku. Nah, tenangkan dirimu dan minumlah air... Ini memang sisa minumanku,
tapi tidak usah sungkan.”
“Aku
tidak terlalu memikirkan hal itu, tapi... Terima kasih.”
Aku
menerima botol minuman dari Kanzaki-san dan meneguknya dengan rakus. Meskipun rasa gatal di
tenggorokanku belum hilang sepenuhnya, tapi air
itu sedikit membantu.
Batukku
pun perlahan mereda, dan akhirnya aku bisa bernafas lega.
“Apa
kamu lagi kena flu?”
“Tidak...
Saat berjalan, entah kenapa
tenggorokanku tiba-tiba terasa
gatal... Ah, terima kasih untuk airnya.”
“Tidak
masalah. Tapi aku kaget melihatmu batuk parah seperti itu tiba-tiba... Kamu beneran tidak apa-apa?”
“Ya,
aku baik-baik saja... Sepertinya?”
Tunggu, rasanya aku baru saja melihat ada
seseorang di belakang Kanzaki-san...
Setelah
batukku mereda, aku baru menyadari ada seorang wanita berdiri di belakangnya... dia kelihatan berada di sekitaran akhir 20-an, dan dia mempunyai wajah cantik
tapi juga terlihat dingin seperti Kanzaki-san.
“...Dia siapa?”
“Ah,
dia asistenku. Dan dia adalah penggemar berat ibumu, lho.”
“Penggemar...
Ibu?”
Penggemar
ibu? Apa maksudnya?
Aku
melihat kembali ke arah wanita
itu, dan wajahnya tampak memerah sedikit,
dia lalu membungkuk sebentar ke arahku.
“Dia
memang terlihat cuek, tapi sebenarnya pemalu. Tapi dia sangat kompeten dalam
pekerjaannya, layaknya sekretarisku.”
“Begitu
ya... Lebih baik aku tidak terlalu menanyakan hal ini.”
“Memang
sebaiknya begitu.”
Sebenarnya,
aku sudah menduga kalau Kanzaki-san memang berasal dari keluarga semacam itu, dia pasti punya
semacam bawahan. Tapi, aku tak pernah menyangka kalau itu beneran ada.
“...Fyuh.”
Tapi
batuk tadi benar-benar parah.
Meskipun
aku ingin berpikir bahwa tidak ada masalah, demi
tidak membuat Ayana dan ibuku khawatir, sebaiknya aku mengukur suhu tubuhku
sebelum tidur nanti.
“Ini
namanya ciuman tidak langsung dengan Nak
Towa~♪”
“Kanzaki-san,
kamu tidak perlu mempermasalahkan
hal seperti itu, ‘kan?”
“Ah...
Ternyata Nak Towa memang tidak mempunyai perasaan apa-apa
untukku ya?”
“Tolong
jangan terlihat kecewa seperti itu.”
Aku
bingung harus bereaksi bagaimana, karena aku tidak tahu seberapa seriusnya dia. Tapi Kanzaki-san hanya
tertawa keras, lalu menepuk-nepuk punggungku, seolah-olah perhatiannya tadi
hanyalah kebohongan.
“Caramu
menghindar sudah mulai terlihat seperti Ane-san
ya... Memang khas Nak Towa banget.”
“Apa
maksudnya itu...”
“Yah,
kalau memang tidak ada apa-apa, itu juga tidak masalah. Kami sudah mau pergi,
tapi nanti kami akan mampir lagi ke sini. Oh ya, kalau bertemu di jalan jangan
sungkan untuk menyapa ya~”
“Baik~.”
Aku
melambai pada Kanzaki-san yang pergi, lalu kembali melanjutkan perjalananku.
Aku
beberapa kali berdehem
untuk memeriksa tenggorokanku, tapi ternyata sudah tidak apa-apa.
Sepertinya
memang bukan flu atau sejenisnya.
“Hm?”
Saat aku hampir sampai rumah, aku menerima
pesan dari Shu.
“Terima
kasih banyak hari ini,
Towa. Aku akan berusaha menghadapi Kotone dan Ibuku juga. Kamu adalah teman masa kecilku yang
berharga.”
“...Ia benar-benar sudah banyak berubah ya.”
Kotone
dan Hatsune-san... Mereka adalah keluarga Shu,
dan orang-orang yang bermasalah denganku.
Meskipun
urusan Shu sudah membaik, aku memang tidak bisa akrab dengan mereka. Tapi aku
akan menyampaikan agar Shu tidak memaksakan diri, dan juga tidak perlu membuat
masalah dengan keluarganya karena aku.
“Semoga
ia tidak terlalu terburu-buru... Mungkin sebaiknya aku meminta Iori untuk mengingatkannya.”
Sambil
memikirkan itu, aku akhirnya tiba
di rumah, dan ibuku menyambutku.
Ibuku
memiringkan kepalanya dengan heran, lalu tersenyum geli.
“Dari raut
wajahmu, sepertinya ada hal baik yang terjadi padamu, ya?”
“Iya...memang. Aku bisa berbaikan dengan teman
masa kecilku."
Hanya
dengan menyebut 'teman masa kecil', ibu pasti tahu siapa yang kumaksud.
Ibu
terlihat terkejut sejenak, tapi dia lalu
mengelus kepalaku dengan lembut.
“Tunggu,
kenapa ibu mengelus-elus kepalaku sih.”
“Hehe,
tidak ada salahnya, ‘kan?
Akhir-akhir ini, ada banyak
hal baik terjadi padamu, bukan? Semua itu berkat usahamu sendiri.”
“...Kupikir
aku telah bekerja sangat keras beberapa bulan terakhir ini.”
“Benar
sekali. Menurutku kamu berusaha sangat keras.”
Ibuku tidak bertanya lebih lanjut dan malah memelukku dengan erat.
...Ah,
dipeluk ibu memang selalu membuatku tenang... Anehnya,
rasanya seolah-olah seperti seluruh kelelahanku menjadi hilang.
“Tunggu
sebentar. Towa, wajahmu kok merah padam?”
“...Eh?”
Wajahku memerah...?
Apa aku merasa malu karena dipeluk ibu?
“Biar
kusentuh dahimu.”
Tangan
ibu yang menyentuh dahiku memberikan
sensasi dingin yang menyenangkan.
“Ibu...
Jangan-jangan?”
“Ya,
seperti yang kamu duga, kamu demam
tinggi. Cepat berbaring di tempat tidur.”
“...Baik.”
Aku
menghela napas panjang, lalu berjalan menuju kamarku.
Saat aku mengukur suhu tubuhku dengan termometer yang diberikan
ibu, ternyata itu bukan
sekedar demam ringan, tapi demam yang cukup tinggi. Seyelah menyadari hal itu, tubuhku
langsung gemetar.
“Brr...
Dingin.”
Tiba-tiba
tubuhku menjadi meriang, bukan
hanya rasa tidak nyaman yang membuat sekujur tubuhku kesemutan, tapi kepalaku juga terasa pusing.
“Uhuk...
Uhuk.”
Pada
akhirnya, bahkan batukku pun tidak mau berhenti... Sialan.
“Padahal
aku baru saja bicara dengan Shu dan merasa lega, tapi kenapa aku jadi sakit di
saat seperti ini?”
Aku ingin
bisa mengakhiri hari ini dengan perasaan segar seperti tadi... Tapi mau
bagaimana lagi.
“Towa,
aku masuk ya.”
“Iya.”
“Bagaimana
suhu tubuhmu?”
“Cukup
tinggi.”
“Begitu...
Kalau begitu, besok kamu mendingan
istirahat di rumah saja.”
"...Sepertinya
memang begitu.”
“Tapi, bukannya itu bagus?
Ketika teman-teman sekelasmu sedang belajar, kamu bisa beristirahat dengan tenang
di rumah. Ah, tapi Ayana-chan mungkin
akan merasa kesepian dan merindukanmu.”
Meskipun
kata-kata pertama ibu ada benarnya, aku tidak ingin membuat Ayana khawatir.
Lagipula, sudah lama sekali aku tidak mengalami
demam.
“Ayana
pasti akan sulit berkonsentrasi di kelas karena memikirkanku.”
“Kamu sendiri yang sampai bilang begitu? Tapi memang benar sih, mungkin dia tidak tahan dan
meminta izin pulang di tengah pelajaran.”
“Itu sih...”
Aku tidak
bisa membantah, karena itu memang bisa terjadi. Meskipun aku tidak sakit parah,
aku akan menelepon Ayana sebelum tidur nanti, memberitahu bahwa aku sedang demam dan juga soal berbaikanku
dengan Shu.
“Bu,
aku tidak ingin menularkan demamku
padamu.”
“Orang sakit
seharusnya tidak perlu mengkhawatirkan
orang lain. Tapi memang benar juga... Aku akan kembali lagi dengan membawa bubur untukmu.”
“Terima
kasih.”
Setelah
itu, ibuku keluar dari kamarku.
Sampai
ibu kembali dengan bubur, tidak ada yang bisa
kulakukan... Bukan, lebih tepatnya aku tidak bisa melakukan apa-apa.
Selain aku kesusahan untuk tidak
nyenyak karena demam, aku juga tidak mengantuk sama sekali, membuatku merasa
terganggu.
“...Hah.”
Aku terus-menerus menghela napas berkali-kali.
Aneh sekali... ketika aku sendiri yang mengatakan itu,
sepertinya demam ini
mempengaruhi suasana hatiku.
“Towa,
boleh ibu masuk?”
“Iya.”
Ibu
kembali masuk dengan membawa bubur di
tangannya.
Ibuku
membantuku ketika melihatku yang kesulitan bangun karena badanku yang lesu... Hari
ini, ibu terlihat lebih lembut dari biasanya.
“Hei,
jangan bilang kalau kamu berpikir
ibu lebih lembut dari biasanya?”
“Ah,
ibu menyadarinya ya?”
“Tentu
saja lah, kamu ‘kan
anakku. Simpan informasi bahwa ibu selalu lembut.”
“Haha...
Iya, ibu memang selalu lembut.”
Ibuku tertawa dengan riang, lalu
bersikeras menyuapiku bubur. Meskipun
aku bilang kalau dia tidak
perlu melakukannya, tapi ibu tetap tidak mau mengalah.
Pada akhirnya,
aku memakan bubur itu dengan disuapi ibuku.
“Terima
kasih atas makanannya.”
“Sama-sama.
Mungkin kamu akan merasa lapar lagi, jadi aku akan membuat makanan yang ringan.”
“Benar-benar
terima kasih banyak.”
“Tidak
masalah... Hehe, melihatmu yang terlihat lebih lemah karena demam begini membuatku jadi gemas.”
Yah,
wajar saja karena aku
sedang demam.
Aku tidak
ingin ibu terlalu puas dengan keadaanku, tapi ibu terus memujiku dan mengelus
kepalaku sebelum keluar.
Ya ampun...
Ibuku memang sangat menyayangiku
sampai-sampai membuatku bingung.
Bingung
di sini bukan dalam arti buruk, tapi dalam arti yang baik karena dia terlalu memikirkanku.
“....Baiklah,
kurasa aku akan menelepon Ayana.”
Meskipun
badanku masih panas dan kepalaku agak pusing, setelah memakan bubur itu aku jadi merasa sedikit lebih baik.
Tapi rasa
dingin yang menyiksaku masih
terasa, jadi aku meringkuk dalam selimut saat menelepon Ayana... Tapi dia tidak
segera mengangkat meski aku sudah menunggu beberapa saat.
“Mungkin
sedang ke toilet... Yah, hal seperti ini
memang bisa terjadi.”
Pertama-tama,
aneh kalau dia selalu menjawab panggilanku hanya dengan satu panggilan.
Kepalaku
terasa berat... Mungkin sebaiknya aku tidur saja
sekarang.
Tentu saja biasanya
aku selalu ingin mendengar suara Ayana, tapi hari ini, entah karena efek demam, aku sangat merindukan suaranya
dan merasa kesepian.
“...Aku
cemas.”
Setelah mengucapkannya
dengan lantang....aku
menyadari kalau ini adalah
kecemasan yang sama seperti tadi pagi.
“Apa
ini?....Kenapa aku merasa seperti ini?”
Tubuhku menjadi semakin meriang... Apa ini benar-benar hanya demam biasa, atau ada penyakit yang
lebih serius?
“Dingin...”
Apa aku.... memang selemah ini?
Saat aku
berpikir begitu, tiba-tiba telepon dari Ayana yang kutunggu-tunggu masuk.
“Ayana...?”
“Halo,
Towa-kun? Maaf, tadi aku ke toilet jadi tidak bisa mengangkat teleponmu... Apa jangan-jangan kamu sedang tidak enak badan?'
“...Kenapa?”
“Entahlah,
aku hanya merasa begitu... Suaramu terdengar
tidak bersemangat, dan instingku mengatakan begitu.”
“Haha...
Kamu memang hebat.”
Ayana benar-benar selalu bisa menyadari apa
pun.
Kurasa
aku merasa lega setelah
kata-kata dan suaranya, tapi aku merasa sangat terkejut sehingga aku tidak
hanya merasa kesepian, tapi perasaan dingin itu juga sedikit mereda.
“Aku
sedang demam... Demamnya juga cukup
tinggi.”
“La-Lalu kenapa kamu malah menelepon!? Aku senang kamu meneleponku dan aku bisa mendengar suaramu
sebelum tidur! Tapi tolong utamakan kesehatanmu dulu!!”
Ah... Aku langsung tahu kalau dia benar-benar marah.
Benar juga
sih.... meskipun aku hanya mengalami demam ringan, tapi kondisiku saat ini cukup parah.
“Maaf...
Anehnya aku merasa sangat kesepian dan
cemas... Jadi aku ingin
mendengar suaramu, Ayana.”
“...Aduh,
kalau kamu
bilang begitu, aku jadi tidak bisa memarahimu untuk beristirahat.”
“Aku
benar-benar minta maaf... Sebenarnya aku ingin bercerita banyak
hal hari ini, tapi sepertinya akan kulakukan setelah sembuh.”
“Begitu
ya... Aku penasaran...aku memang penasaran
sih, tapi!”
“Haha,
kurasa lebih baik aku istirahat saja
hari ini.”
Sayang
sekali, tapi aku tidak bisa membuat Ayana khawatir lebih dari ini.
“Aku
akan beristirahat besok... Jadi Ayana, kamu tidak perlu terlalu khawatir denganku karena ini hanya demam biasa.”
“Meskipun
hanya demam biasa,
aku tetap khawatir... Setelah pulang sekolah, aku akan menjengukmu, ya? Kalau
aku benar-benar tidak tahan khawatir, mungkin aku akan minta izin pulang lebih
awal untuk menemuimu.”
“Kamu tidak
perlu...”
“Maafkan
aku. Tapi aku yakin ibumu juga akan mengizinkanku.”
“...”
Tentu
saja aku sudah menduga Ayana akan bereaksi begini.
Tapi...
Aku senang, dia memikirkanku sampai sejauh itu, dan mengutamakan diriku.
“...Kurasa
aku tidak boleh terlalu senang dalam masalah ini.
Tapi... Aku senang, Ayana.”
“Hehe,
aku hampir pasti akan datang, jadi nanti aku akan menghubungi Akemi-san dulu. Tapi... Kamu terlihat begitu lemah, mungkin sama seperti waktu itu... Maaf!”
Waktu itu
pasti maksudnya saat kecelakaan... Bagiku yang sekarang, aku pasti terlihat
sangat lemah di mata Ayana.
“Kamu tidak
perlu minta maaf segala.
Baiklah, terima kasih untuk hari ini, Ayana.”
“Tentu
saja, aku pasti akan datang besok! ...Ah iya.”
“Ya?”
“Kalau kamu nanti tidak bisa tidur untuk sementara atau
terbangun di tengah malam, dan....jika
kamu merasa kesepian, jangan ragu untuk meneleponku. Jangan khawatir, aku tidak akan
merasa terganggu. Aku ingin membuatmu merasa tenang.”
“...”
Ayana
sepertinya sangat memikirkanku
sampai-sampai dia tidak menggunakan bahasa kesopanan lagi.
Dia
terlihat lebih cemas daripada aku yang menelepon karena merasa kesepian...
Mendengar suaranya seperti ini, aku tidak bisa bilang aku merasa kesepian lagi.
“Terima
kasih, Ayana… Tapi, setelah mendengar itu justru membuatku merasa jadi sungkan
melakukannya.”
“Itu… mungkin
benar, tapi!”
“Aku
benar-benar merasa tenang dan terbantu. Sekarang aku bisa tidur dengan nyenyak.”
“Benarkah?
Syukurlah kalau begitu… Tapi! Jika kamu benar-benar merasa kesepian, silakan
telepon aku ya? Aku tidak akan bilang bahwa aku akan terjaga terus-menerus,
tapi kalau dari Towa-kun, aku pasti akan terbangun!”
Dia
jelas-jelas pasti akan terjaga, jadi itu adalah hal yang wajar untuk
dipikirkan.
“Kalau
begitu… sampai besok. Selamat malam, Towa-kun.”
“Selamat
malam, Ayana.”
Setelah itu,
panggilan telepon terputus, dan suasananya kembali menjadi hening.
Meskipun
kecemasan dan kesepian yang kurasakan kembali muncul di dalam hatiku, suara
Ayana yang masih terngiang di telinga sedikit mengusir perasaan itu… meskipun
hanya sedikit.
“Kurasa aku
akan tidur sebelum perasaan ini menghilang… hwaah.”
Dengan
menyambut datangnya rasa kantuk yang ditandai dengan menguap besar, aku pun memejamkan
mataku.
▼▽▼▽
Sejak bereinkarnasi
ke dalam dunia ini, aku benar-benar sering bermimpi.
Entah sudah
berapa kali aku berpikir demikian… meskipun mungkin itu terdengar berlebihan,
tapi itu memang hal yang sangat penting atau bahkan sepele yang aku ingat dalam
mimpiku.
Dan
sepertinya, mimpi hari ini adalah mimpi terburuk bagiku.
“Selamat
tinggal, Towa-kun.”
“Selamat
tinggal, Towa.”
Aku
mengalami mimpi buruk di mana Ayana dan Ibuku menghilang tepat di depan.
Mereka
berdua menghilang seperti asap putih dengan ekspresi sedih di wajah mereka…
Ketika aku mengulurkan tangan untuk menyentuh mereka, tanganku hanya menyentuh
udara dan tidak dapat menjangkau mereka.
“Towa-kun…”
“Towa…”
“Yukishiro-kun…”
“Yukishiro-senpai…”
Seina-san,
Shu, Iori, Mari… dan orang-orang lain yang aku kenal di dunia ini mulai
menghilang di depan mataku.
Bukan hanya
orang-orangnya saja… tapi, rumah tempat di mana aku tinggal sekarang ini juga…
kota ini juga menghilang dari pandanganku.
“Apa-apaan
ini…”
Pemandangan
di depanku tanpa ampun melukai hatiku, membuat lubang besar di dalamnya.
Aku hanya
ingin menyentuh sesuatu, jadi aku mengulurkan tangan… tetapi seolah-olah semua
itu menolak, semuanya menghilang.
“Ayana… Ibu…
semuanya…?”
Dan kemudian
tidak ada satu pun yang tersisa… semuanya menghilang.
Semua yang
telah aku bangun, semua yang telah aku dapatkan… aku merasa seolah-olah semua
hal berharga itu dirampas tanpa ampun… dengan perasaan terburuk itu, aku
menyambut pagi.
“Hah!?”
Saat aku
membuka mata, aku disambut oleh langit-langit kamarku.
Matahari
sudah terbit dan aku bisa mendengar kicauan burung di luar jendela...
Perlahan-lahan aku terbangun dan menyadari bahwa aku berkeringat deras sejak
malam.
“...Rasanya menjijikkan.”
Bajuku menempel dengan lengket di kulitku,
membuatku merasa tidak nyaman... Dan bukan
hanya itu saja, tubuhku
terasa jauh lebih berat dibandingkan kemarin.
“Termometer...”
Aku
mengambil termometer yang diletakkan di samping bantal, lalu mengukur suhu
tubuhku... Ternyata demamku masih
cukup tinggi, membuatku hanya bisa tertawa miris.
“Bukannya
ini lebih parah dari kemarin... Pantas saja aku merasa
begitu tidak enak.”
Selain
keringat malam, kulitku juga lengket, mungkin karena kemarin aku tidak mandi...
Aku ingin
mandi... Tapi bahkan untuk melakukan itu
saja tubuhku terasa begitu berat.
Meskipun
begitu, aku tetap ingin mengatasi rasa haus, jadi aku keluar kamar menuju ruang
tengah sambil menahan rasa dingin.
“Selamat
pagi, Ibu...”
“Selamat
pagi, Towa... Astaga, wajahmu pucat sekali!”
“Iya...
Sepertinya demamku jadi lebih
parah dari kemarin.”
Ibuku datang dengan wajah cemas, tapi
aku menahan agar dia tidak mendekat, takut terrular
demamku.
(... Itu
Ibu)
Melihat wajah Ibu di depanku membuatku merasa
sangat lega.
Mungkin
karena aku mengingat mimpi buruk sialan
itu, aku sangat senang melihat ibuku di hadapanku sampai-sampai aku merasa ingin
menangis...walaupun tidak ada air mata yang keluar sama sekali.
“Meskipun
kamu khawatir kalau aku tertular, sebagai
ibu, mana mungkin aku bisa diam saja melihat anakku dalam kondisi seperti ini?”
“Ah...”
Ibu
meletakkan tangannya di dahiku.
Sentuhan
tangan dinginnya yang menyenangkan membuat kesadaranku hampir hilang, tapi aku
berusaha bertahan.
“Ayo kita
ke rumah sakit. Meskipun hanya demam
biasa, aku ingin memastikannya.”
“...
Baik.”
Ibu
segera menelepon tempat kerjanya
untuk izin terlambat bekerja,
lalu kami berangkat ke rumah sakit dengan mobilnya.
Hasilnya,
memang hanya demam biasa.
Meskipun
hanya demam, tingkat keparahannya bisa
berbeda-beda orang. Sepertinya kali ini aku terkena demam yang cukup parah... Aku benar-benar sedang apes.
“Towa,
kalau terjadi sesuatu, segera hubungi aku ya? Sebenarnya aku ingin merawatmu
seharian penuh.”
“Sudah
kubilang kalau aku tidak apa-apa. Kalau begitu, semoga sukses dengan pekerjaanmu,
Bu.”
“...
Baiklah. Aku berangkat dulu.”
Saat kami kembali pulang dari rumah sakit,
Ibu menawarkan untuk merawatku, tapi aku menolaknya.
Jika
aku masih anak TK arau SD,
aku akan memakluminya, tapi aku sudah
SMA, loh? Rasanya begitu memalukan kalau Ibu harus
merawatku terus-menerus, meskipun ini demam yang
parah.
“...
Towa... Towa...?”
“Hati-hati
di jalan ya, Ibu.”
“Uuh...
Baiklah, aku berangkat dulu...”
Setelah berhasil mengantarkan Ibuku pergi bekerja, aku segera kembali ke kamar dan
berbaring.
“...Hm?”
Saat
berbaring dan mengambil ponselku,
aku melihat ada pesan dari Ayana, berisi sapaan pagi dan menanyakan kabarku.
“Cukup
lama juga dia mengirim pesan ini... Aku harus membalasnya.”
Aku hanya
membalas bahwa aku tidak apa-apa, supaya
dia tidak terlalu khawatir. Aku tidak ingin membuatnya cemas lebih dari ini
dengan memberitahu kondisiku yang memburuk.
“...Fyuh.”
Tanpa menunggu
balasan dari Ayana, aku memejamkan mataku.
Kondisi
badanku benar-benar tidak enak... aku sangat mengantuk... Lemas... Saat
mencoba tidur lagi, rasa cemas itu muncul lagi di dadaku.
Seolah-olah ada yang berbisik dari dalam,
mengatakan bahwa aku tidak
boleh tidur... Tapi aku tidak bisa melawan kantuk —
kesadaranku perlahan menghilang, dan aku mendengar suara sesuatu yang runtuh.
▼▽▼▽
“...?”
Pemuda
itu tiba-tiba terbangun.
“Lho...
Kok aku bisa...”
Setelah dirinya tersadar, ia merasa kebingungan saat mengetahui kalau dirinya
berbaring di atas meja, tapi segera menyadari bahwa ini bukan hal yang aneh.
“...Apa aku ketiduran?”
Di
depannya ada layar komputer
yang masih menyala, menunjukkan jejak dia sedang berselancar di internet.
Dirinya kagum bisa tertidur dalam
posisi seperti itu, tapi di sisi lain ia
juga menghela napas besar karena
khawatir tagihan listriknya akan naik.
“Rasanya...
Tidak bisa tenang sama sekali.”
Ia
bergumam. Ada perasaan janggal yang tidak bisa menghilang dalam dirinya.
Tempat
ini adalah rumahnya, kamarnya, lingkungan yang sudah ia kenal dengan baik, dan
ingatannya juga mengatakan tidak ada yang salah.
“Yah,
itu pasti akan hilang dengan
sendirinya.”
Dengan
begitu, keseharian pemuda itu
dimulai, dan berlalu dengan cepat.
Ia
terus memikirkannya sepanjang hari...
Memikirkan perasaan janggal itu.
Tapi pada akhirnya, perasaan janggal itu tidak hilang sama
sekali, membuatnya tidak bisa berkonsentrasi sama sekali.
“Senpai?
Kamu kenapa?”
“Ah!”
Dia
terlalu fokus pada pikirannya, sampai-sampai ia
lupa ada seseorang di dekatnya.
“Dari
tadi kamu melamun terus, tau! Aku
memanggilmu tapi kamu tidak
menyahut sama sekali.
Sebenarnya ada apa? Aku jadi penasaran.”
“...Maaf.
Tidak ada apa-apa, kok.”
Gadis itu
adalah junior dari pemuda itu.
Dia memiliki
rambut hitam panjang, wajahnya
yang cantik, dan tubuh yang proporsional... Terutama bagian dada yang cukup
menonjol, membuat pemuda itu khawatir jika dia mulai bertingkah nakal.
(Kenapa
dia selalu mencari-cari perhatianku segala?)
Pemuda itu
bahkan bertanya-tanya apa ia benar-benar mengenal gadis ini.
Tapi
entah kenapa, keberadaannya di sini juga tidak terlalu aneh baginya.
“......”
“A-Apa?
Kenapa kamu
menatapku terus? Anu...”
“......”
“I-Ini
memalukan... Tapi kalau yang melakukannya itu
Senpai, aku akan memaafkanmu!”
Ditatap
intens oleh pemuda itu, gadis itu mulai salah tingkah dan menggerakkan
tubuhnya.
Bahkan
tingkah lakunya yang seperti itu terlihat manis, seolah menambah keanggunannya,
membuat pemuda itu semakin yakin bahwa gadis ini adalah tipe yang tidak akan
disia-siakan oleh pria manapun.
(Dia
mirip seseorang... Kira-kira siapa
ya?)
Pemuda itu
tidak bisa berhenti memikirkan apakah ada orang lain yang secantik ini.
Rasanya
ada seseorang yang selalu ada di sampingnya, yang ingin ia jaga selamanya.
(Aku...
Aku...)
Siapa
yang ingin ia jaga...?
Siapa
yang selalu berada di sampingnya...?
“Senpai?”
'Towa-kun?'
Mata
pemuda itu terbelalak saat gadis di depannya bertumpang tindih dengan gambaran orang lain.
Ia
hampir mengulurkan tangan, tapi berhenti dan hanya meminta maaf pada gadis yang
terlihat khawatir itu.
“Hari
ini Senpai aneh ya. Sebaiknya Senpai beristirahat saja dulu sebentar.”
“...Mungkin.
Maaf, ya."
“Tidak
apa-apa. Istirahatlah jika bisa, dan jangan sungkan minta bantuan saat
kesulitan. Lagipula, begitulah
seharusnya hubungan di
antara kita, ‘kan?”
“...Kamu—”
“Jadi,
kembalilah... Aku akan selalu menunggumu.”
Dengan
kata-kata penuh makna itu, pemuda itu berpisah dengan gadis itu.
Setelah
menyelesaikan semua urusannya, pemudia
kembali ke kamar tempat dirinya
bangun tadi.
“...”
Pemuda itu
mengingat kembali suara yang didengarnya saat berbicara dengan juniornya tadi.
“Towa...?”
Towa... Ia mengenal nama itu.
Bukan
karena mengenal orang dengan nama itu, tapi karena nama karakter dalam game
yang disukainya.
“...Kalau tidak salah ada di sekitar sini.”
Karena pemuda itu tinggal sendiri, tidak ada yang
perlu disembunyikan, jadi ia dengan mudah menemukan benda-benda yang dimaksud
di dekat komputernya.
“'Aku telah kehilangan segalanya'...
Dan juga fandisc-nya.”
Itu
adalah eroge yang sangat disukainya.
Terlalu
indah untuk disebut sekadar eroge, cerita dan karakter-karakternya sangat
menarik baginya. Terutama Ayana, sang heroine, yang sangat disukainya sampai ia
berkali-kali memainkan game utama dan fandisc-nya.
“Towa...
Dan Ayana.”
Saat
menyebut nama Towa dan Ayana, karakter dalam game itu, pemuda itu merasa ada sesuatu yang pas.
Seolah
ada yang mendorongnya, pemuda itu kembali menjalankan game tersebut.