[LN] Anti-NTR Jilid 4 Bab 4 Bahasa Indonesia

Chapter 4

 

Shu yang berhadapan denganku benar-benar menampilkan ekspresi yang tenang.

Seperti yang sudah ia katakan sebelumnya, sepertinya selama dua bulan ini ia telah banyak memikirkan berbagai hal.

Aku sendiri merasa tidak masalah jika hal tersebut bisa mengubahnya ke arah yang lebih baik,... Nah, mari kita dengarkan apa yang ingin disampaikan Shu.

Aku sudah banyak memikirkan banyak hal... Semakin banyak aku sendirian setelah tidak lagi berbicara dengan kalian, aku sadar bahwa aku hanya memikirkan diriku sendiri dan tidak benar-benar memikirkan dirimu atau Ayana sama sekali—— persis seperti yang kamu katakan padaku di atap.

Shu mengalihkan pandangannya dariku dan menatap langit.

Dari samping wajahnya, terlihat aura yang berbeda dari saat di atap, jadi sepertinya kami tidak akan terlibat dalam pertengkaran lagi.

“Pada saat itu aku tidak mencoba memahami maksud perkataanmu, dan aku tidak bisa mengerti sama sekali, tidak peduli bagaimanapun aku memikirkannya... Tapi sekarang aku paham. Meski rasanya sungguh terlambat, aku menyesal tidak bisa menyadarinya lebih awal.

Ya, memang terlambat.

Iya... Benar-benar merepotkan.

Ia berhenti berbicara sejenak, lalu bangkit berdiri menghadapku.

Pertama-tama, Towa, aku ingin meminta maaf padamu──permintaan maaf di rumah sakit itu saja tidak cukup.

Tidak, yang itu bukanlah salahmu.

Tidak, kecelakaan itu disebabkan karena kecerobohanku. Jadi, Towa... aku benar-benar minta maaf.

Ia membungkukkan badannya dalam-dalam dengan wajah yang serius.

Dengan menerima permintaan maafnya, kenangan saat itu kembali muncul... Karena itu sudah masa lalu yang berhasil dilewati, itu bukan lagi trauma, dan tidak perlu diungkit-ungkit lagi.

Kecelakaan itu... Memang terjadi saat aku mencoba menolong Shu yang sedang lengah.

Shu tidak sengaja melakukannya, dan aku juga ingin menolongnya dengan tulus.

Tapi sepertinya Shu masih memiliki sesuatu yang ingin ia katakan.

Towa, kamu adalah idolaku. Kamu pintar dalam pelajaran, jago olahraga, dan sangat baik hati serta keren... Tapi kamu tidak pernah menyombongkan diri atau memamerkan itu semua... Aku kagum padamu, tapi pada saat yang sama, aku juga sangat iri padamu.

...

Suara Shu bergetar, tapi ia tidak menangis. Tampaknya ia berusaha keras menahan air mata yang hampir tumpah.

Ayana pernah bilang padaku... Kenapa aku tertawa saat melihatmu yang putus asa karena tidak bisa ikut pertandingan? Itu karena dari rasa iri terhadapmu...aku...aku...”

Di sini, Shu tidak bisa lagi menahan air matanya. Ia berusaha menutupi wajahnya dengan tangannya, membiarkan air mata besar mengalir.

Astaga, kamu masih saja cengeng meski sudah menjadi anak SMA.

Karena tidak tahan melihatnya, aku berdiri dan memeluknya. Sayang sekali bukan Ayana... Aku tersenyum getir, lalu mengelus punggungnya untuk menenangkannya.

Aku menerima permohonan maafmu... Jadi, jangan menangis lagi karena hal ini.

Towa... Aku...

Tolong jangan sampai ingusmu menempel di bajuku, oke?

Meskipun aku berkata begitu, sepertinya sudah terlambat.

Kemejaku sudah kotor dengan air mata dan ingus Shu... Ah~, ibuku pasti akan bertanya apa yang terjadi.

Meskipun kamu berusaha terlihat dipenuhi tekad, tapi suaramu mulai bergetar, jadi aku tahu kamu akan menangis. Kamu benar-benar sudah memikirkan banyak hal ya.

Mengakui kenyataan yang tidak ingin diakui pasti membuat Shu menderita.

Dengan merenungkan dirinya yang egois, ia akhirnya bisa menganalisis situasi di sekitarnya dengan tenang... Dan hasil pemikirannya itu yang membuatnya sampai pada permintaan maaf ini.

Aku ingin kamu memaafkanku... Tidak, bahkan jika kamu tidak mau memaafkanku pun tidak apa-apa. Tapi aku tetap ingin meminta maaf padamu... Pada kalian. Meskipun kamu bilang tidak perlu, rasa penyesalan itu masih tersisa, jadi aku ingin meminta maaf padamu.

Ya... Aku mengerti.

Dan... Ada satu lagi yang ingin kukatakan. Aku... Menyukai saat-saat kita bertiga bersama... Jadi, aku ingin berbicara lagi denganmu dan Ayana... Dan aku berharap kalian berdua bahagia.

... Baiklah, aku mengerti.

Bagaimanapun juga, ketika seseorang yang sudah lama bersamamu pergi, itu terasa menyakitkan dan sedih... Meskipun kamu mencoba untuk tidak memikirkannya, perasaan itu tetap akan tersisa di dalam hati.

Terima kasih, aku senang kamu sudah mau membicarakannya denganku.

Ya... Ya...!

Ah, ia mulai menangis lagi.

Tapi memang begitulah Shu sejak dulu... Aku dan Ayana sering kebingungan menenangkannya.

Aku sudah menerima permintaan maaf Shu sekali lagi. Tapi seperti yang sudah kukatakan sebelumnya, aku dan Ayana sudah mulai melangkah ke depan. Jadi, jangan mengkhawatirkannya lagi──kamu juga, angkatlah kepalamu dan hadapilah ke depan.

...Towa.... terima kasih.

Tapi, aku melanjutkan perkataanku.

Sebenarnya, aku tidak benar-benar tidak peduli. Meskipun kita sempat menjaga jarak, tapi kenyataannya kita bertiga pernah menghabiskan waktu dengan konyol bersama-sama... apa kamu masih mengingatnya, Shu? Saat kita main sepak bola dan Ayana menendang sekuat tenaga tapi malah meleset?

...Tentu saja aku ingat. Kita tertawa melihat Ayana yang guling-guling.

Iya 'kan? Lalu Ayana mengejar kita dengan wajah seram.

“Pada saat itu, Ayana larinya lebih cepat darimu, aku jadi takut.

Iya, benar itu.

Meskipun Shu masih menangis, aku lega melihat senyumnya sudah kembali.

Kalau dipikir-pikir kembali, kami memang perlu berbicara seperti ini, tapi hal yang paling dibutuhkan Shu adalah waktu untuk introspeksi diri.

Ah, ada satu lagi yang belum kujawab.

Hm?

Aku menjauh sejenak dari Shu, lalu mengacungkan tinjuku ke arahnya.

Serahkan saja soal Ayana padaku. Aku yakin kalau kita berdua bahagia. Aku akan selalu menjaga senyumnya selamanya.

Setelah mendengar pernyataanku itu, Shu mengangguk.

Ya... Aku meyakini kalau kalian berdua pasti akan baik-baik saja. Aku akan mendukung kalian.

Lalu, kami saling mengenempelkan kepalan tangan kami.

Pemandangan ini seperti adegan berbaikan di film remaja atau fantasi.

Hari ini... Terasa menyenangkan ya. Kurasa aku takkan merasa cemas lagi seperti tadi pagi.

“Cemas?

Ah, bukan apa-apa. Mau minum satu kaleng lagi?

Boleh. Kali ini aku yang traktir.

Terima kasih.

Jelas sekali bahwa tidak ada lagi dinding di antara kami.

Meskipun masih terasa sedikit canggung, setidaknya satu batu besar yang menghalangi jalanku sudah terangkat.

Lalu, Towa, apa yang mau kamu lakukan selanjutnya?

Aku memang sedang senggang, tapi kurasa aku akan pulang sekarang.

Begitu ya. Kalau begitu aku juga akan pulang.

Apa kamu akan berbicara dengan Ayana juga?

...Hei Towa, kurasa aku memang pengecut. Hari ini aku sudah mengerahkan seluruh keberanianku untuk berbicara denganmu, jadi aku ingin mencoba bicara lagi dengan Ayana lain kali.

Begitu ya.

Yah, menurutku itu tidak masalah.

Memang benar kalau Shu terlihat sangat dewasa hari ini, tapi pada saat yang sama ia terlihat seperti sedang memaksakan diri... Jika ia ingin berbicara lagi dengan Ayana setelah berhasil menenangkan diri, aku juga akan membantu.

“Jika waktunya tiba, aku pasti akan merasa sangat gugup dalam artian banyak hal. Soalnya Ayana jadi semakin menarik sejak bersamamu.

Wah, kamu pandai mengatakan sesuatu yang bagus. Benar sekali, pesona Ayana memang tak terbatas.

Haha, tak kusangka kalau Towa juga bisa bicara begitu.

Tentu saja aku akan mengatakannya. Asalkan itu tentang pacarku yang cantik, aku bisa membicarakannya sepuasnya.

Tapi......ketika membahas hal seperti ini, ada sesuatu yang ingin kutanyakan juga.

Lalu bagaimana denganmu, Shu? Terutama soal Iori...eh salah, maksudnya Ketua.”

I-Iori-san...!?

Iya, tadi pagi aku melihat kalian berdua berdiri berdampingan lho.

“.....”

Setelah mendengar itu, wajah Shu langsung memerah dan menunduk.

Walaupun mungkin rasanya tidak sopan untuk menanyakannya lebih jauh, tapi sebagai teman dekat, aku memang penasaran dengan hal-hal seperti ini.

Dengan Iori-san... Aku sudah berbicara dengannya. Hari ini aku berani melangkah maju dengan kemampuanku sendiri, tapi dia yang memberi kekuatan untuk berjalan ke depan.

Begitu ya.

...Bukan hanya Iori-san saja. Mari juga menyapaku dan meminta maaf karena sudah mengabaikannya sampai sekarang.

Begitu ya.

Selain soal Iori, sepertinya masalahnya dengan Mari juga sudah selesai.

Itu bukanlah sesuatu yang perlu kutanyakan di sini mengenai pilihan apa yang diambil Mari, atau apa yang mereka bicarakan,... Mungkin Ayana akan menanyakannya secara tidak langsung, tapi yang penting adalah mereka sudah menyelesaikannya.

(Tapi... Kalau begitu, aku jadi penasaran dengan masa depan mereka berdua.)

Aku penasaran apa yang akan terjadi dengan Shu dan Iori... Aku akan mengawasinya, dan jika terjadi sesuatu, aku akan membantu sebagai teman masa kecilnya.

“Meski begitu, rasanya sudah lama ya kita berdua berjalan bersama seperti ini?

Iya... Meskipun hanya dua bulan, rasanya sudah lama tidak seperti ini.

Benar banget.

Kemudian kami berjalan ...... dalam perjalanan sampai kami berpisah.

Di tempat yang terhalang pandangan, tiba-tiba muncul sebuah sepeda motor yang membelok.

!?

Towa!

Aku terkejut dan Shu menarikku pundakku secepat mungkin, mencegahku tertabrak motor tersebut.

Berkat itu, aku tidak tertabrak, tetapi pemuda di atas sepeda motor itu menundukkan kepalanya dengan sangat menyesal dan langsung pergi.

Hampir saja...

Seharusnya ia tidak hanya menundukkan kepala, tapi juga harus meminta maaf.

Memang benar kalau tadi itu sangat berbahaya.

Aku sebenarnya juga sempat bereaksi, jadi tabrakan mungkin bisa dihindari... Tapi aku diselamatkan oleh Shu.

Haha, kali ini aku yang diselamatkan ya?

'Kali ini'? Towa, itu sama sekali tidak lucu tahu!?

Maaf, maaf. Yah,  Sudah banyak waktu yang berlalu sejak saat itu, dan berkat kejadian tadi, aku bisa mengatakan ini. Alangkah menyenangkannya kalau kita bisa menertawakan hal-hal ini lagi saat kita membicarakan masa lalu, bukan?

“Menertawakannya? Kejadian tadi tidak cocok untuk dijadikan candaan tahu!

Memang, menjadikannya bahan lelucon mungkin terlalu berlebihan. Tapi setidaknya, jika suatu hari nanti kami bisa mengingat ini sambil tertawa, itu akan menjadi hal yang bagus.

Tapi sungguh, jika Towa terlibat kecelakaan di hadapanku, aku tidak akan bisa bangkit lagi seumur hidup.

Maaf, aku benar-benar minta maaf.

Sungguh!

Setelah itu, aku harus meminta maaf berkali-kali pada Shu.

Lalu, kami berpisah di pertigaan menuju rumah masing-masing... Seperti yang kupikirkan tadi, rasanya beban besar sudah terangkat dari pundakku.

...Hehe.

Aku tidak sengaja tertawa dengan riang, hampir tidak percaya dengan diriku sendiri, karena suasana hatiku saat ini sedang sangat baik.

Tepat setelah aku berpikir untuk menceritakan hal ini lagi pada Ayana nanti malam, aku tiba-tiba terbatuk cukup keras.

Uhuk!? Uhuk!?

Batukku begitu kuat hingga membuatku berhenti berjalan dan bersandar pada tiang listrik. Tidak peduli seberapa banyak aku terbatuk, rasa gatal di tenggorokanku tidak mau hilang.

Apa aku kena flu? ...Uhuk!?

Tidak, sepertinya bukan flu... Tapi batukku benar-benar tidak mau berhenti.

Aku bisa menahannya, tapi rasa gatal di tenggorokanku membuatku harus batuk agar merasa lega.

“Nak Towa, apa kamu baik-baik saja?

...Eh?

Pada saat itu, ada seseorang yang menepuk punggungku dengan lembut dan memanggilku.

Suara yang akrab dan panggilan itu membuatku mendongak, aku tidak menyangka akan bertemu orang itu.

Uhuk... Kanzaki-san?

Iya, ini aku. Nah, tenangkan dirimu dan minumlah air... Ini memang sisa minumanku, tapi tidak usah sungkan.

“Aku tidak terlalu memikirkan hal itu, tapi... Terima kasih.

Aku menerima botol minuman dari Kanzaki-san dan meneguknya dengan rakus. Meskipun rasa gatal di tenggorokanku belum hilang sepenuhnya, tapi air itu sedikit membantu.

Batukku pun perlahan mereda, dan akhirnya aku bisa bernafas lega.

Apa kamu lagi kena flu?

Tidak... Saat berjalan, entah kenapa tenggorokanku tiba-tiba terasa gatal... Ah, terima kasih untuk airnya.

Tidak masalah. Tapi aku kaget melihatmu batuk parah seperti itu tiba-tiba... Kamu beneran tidak apa-apa?

Ya, aku baik-baik saja... Sepertinya?

Tunggu, rasanya aku baru saja melihat ada seseorang di belakang Kanzaki-san...

Setelah batukku mereda, aku baru menyadari ada seorang wanita berdiri di belakangnya... dia kelihatan berada di sekitaran akhir 20-an, dan dia mempunyai wajah cantik tapi juga terlihat dingin seperti Kanzaki-san.

...Dia siapa?

Ah, dia asistenku. Dan dia adalah penggemar berat ibumu, lho.

Penggemar... Ibu?

Penggemar ibu? Apa maksudnya?

Aku melihat kembali ke arah wanita itu, dan wajahnya tampak memerah sedikit, dia lalu membungkuk sebentar ke arahku.

Dia memang terlihat cuek, tapi sebenarnya pemalu. Tapi dia sangat kompeten dalam pekerjaannya, layaknya sekretarisku.

Begitu ya... Lebih baik aku tidak terlalu menanyakan hal ini.

Memang sebaiknya begitu.

Sebenarnya, aku sudah menduga kalau Kanzaki-san memang berasal dari keluarga semacam itu, dia pasti punya semacam bawahan. Tapi, aku tak pernah menyangka kalau itu beneran ada.

...Fyuh.

Tapi batuk tadi benar-benar parah.

Meskipun aku ingin berpikir bahwa tidak ada masalah, demi tidak membuat Ayana dan ibuku khawatir, sebaiknya aku mengukur suhu tubuhku sebelum tidur nanti.

Ini namanya ciuman tidak langsung dengan Nak Towa~

Kanzaki-san, kamu tidak perlu mempermasalahkan hal seperti itu, kan?

Ah... Ternyata Nak Towa memang tidak mempunyai perasaan apa-apa untukku ya?

Tolong jangan terlihat kecewa seperti itu.

Aku bingung harus bereaksi bagaimana, karena aku tidak tahu seberapa seriusnya dia. Tapi Kanzaki-san hanya tertawa keras, lalu menepuk-nepuk punggungku, seolah-olah perhatiannya tadi hanyalah kebohongan.

Caramu menghindar sudah mulai terlihat seperti Ane-san ya... Memang khas Nak Towa banget.

Apa maksudnya itu...

Yah, kalau memang tidak ada apa-apa, itu juga tidak masalah. Kami sudah mau pergi, tapi nanti kami akan mampir lagi ke sini. Oh ya, kalau bertemu di jalan jangan sungkan untuk menyapa ya~

Baik~.

Aku melambai pada Kanzaki-san yang pergi, lalu kembali melanjutkan perjalananku.

Aku beberapa kali berdehem untuk memeriksa tenggorokanku, tapi ternyata sudah tidak apa-apa.

Sepertinya memang bukan flu atau sejenisnya.

Hm?

Saat aku hampir sampai rumah, aku menerima pesan dari Shu.

Terima kasih banyak hari ini, Towa. Aku akan berusaha menghadapi Kotone dan Ibuku juga. Kamu adalah teman masa kecilku yang berharga.

...Ia benar-benar sudah banyak berubah ya.

Kotone dan Hatsune-san... Mereka adalah keluarga Shu, dan orang-orang yang bermasalah denganku.

Meskipun urusan Shu sudah membaik, aku memang tidak bisa akrab dengan mereka. Tapi aku akan menyampaikan agar Shu tidak memaksakan diri, dan juga tidak perlu membuat masalah dengan keluarganya karena aku.

Semoga ia tidak terlalu terburu-buru... Mungkin sebaiknya aku meminta Iori untuk mengingatkannya.

Sambil memikirkan itu, aku akhirnya tiba di rumah, dan ibuku menyambutku.

Ibuku memiringkan kepalanya dengan heran, lalu tersenyum geli.

“Dari raut wajahmu, sepertinya ada hal baik yang terjadi padamu, ya?

Iya...memang. Aku bisa berbaikan dengan teman masa kecilku."

Hanya dengan menyebut 'teman masa kecil', ibu pasti tahu siapa yang kumaksud.

Ibu terlihat terkejut sejenak, tapi dia lalu mengelus kepalaku dengan lembut.

“Tunggu, kenapa ibu mengelus-elus kepalaku sih.

Hehe, tidak ada salahnya, ‘kan? Akhir-akhir ini, ada banyak hal baik terjadi padamu, bukan? Semua itu berkat usahamu sendiri.

“...Kupikir aku telah bekerja sangat keras beberapa bulan terakhir ini.”

“Benar sekali. Menurutku kamu berusaha sangat keras.”

Ibuku tidak bertanya lebih lanjut dan malah memelukku dengan erat.

...Ah, dipeluk ibu memang selalu membuatku tenang... Anehnya, rasanya seolah-olah seperti seluruh kelelahanku menjadi hilang.

Tunggu sebentar. Towa, wajahmu kok merah padam?

...Eh?

Wajahku memerah...?

Apa aku merasa malu karena dipeluk ibu?

Biar kusentuh dahimu.

Tangan ibu yang menyentuh dahiku memberikan sensasi dingin yang menyenangkan.

Ibu... Jangan-jangan?

Ya, seperti yang kamu duga, kamu demam tinggi. Cepat berbaring di tempat tidur.

...Baik.

Aku menghela napas panjang, lalu berjalan menuju kamarku.

Saat aku mengukur suhu tubuhku dengan termometer yang diberikan ibu, ternyata itu bukan sekedar demam ringan, tapi demam yang cukup tinggi. Seyelah menyadari hal itu, tubuhku langsung gemetar.

Brr... Dingin.

Tiba-tiba tubuhku menjadi meriang, bukan hanya rasa tidak nyaman yang membuat sekujur tubuhku kesemutan, tapi kepalaku juga terasa pusing.

Uhuk... Uhuk.

Pada akhirnya, bahkan batukku pun tidak mau berhenti... Sialan.

Padahal aku baru saja bicara dengan Shu dan merasa lega, tapi kenapa aku jadi sakit di saat seperti ini?”

Aku ingin bisa mengakhiri hari ini dengan perasaan segar seperti tadi... Tapi mau bagaimana lagi.

Towa, aku masuk ya.

Iya.

Bagaimana suhu tubuhmu?

Cukup tinggi.

Begitu... Kalau begitu, besok kamu mendingan istirahat di rumah saja.

"...Sepertinya memang begitu.

Tapi, bukannya itu bagus? Ketika teman-teman sekelasmu sedang belajar, kamu bisa beristirahat dengan tenang di rumah. Ah, tapi Ayana-chan mungkin akan merasa kesepian dan merindukanmu.

Meskipun kata-kata pertama ibu ada benarnya, aku tidak ingin membuat Ayana khawatir. Lagipula, sudah lama sekali aku tidak mengalami demam.

Ayana pasti akan sulit berkonsentrasi di kelas karena memikirkanku.

Kamu sendiri yang sampai bilang begitu? Tapi memang benar sih, mungkin dia tidak tahan dan meminta izin pulang di tengah pelajaran.

Itu sih...

Aku tidak bisa membantah, karena itu memang bisa terjadi. Meskipun aku tidak sakit parah, aku akan menelepon Ayana sebelum tidur nanti, memberitahu bahwa aku sedang demam dan juga soal berbaikanku dengan Shu.

“Bu, aku tidak ingin menularkan demamku padamu.

“Orang sakit seharusnya tidak perlu mengkhawatirkan orang lain. Tapi memang benar juga... Aku akan kembali lagi dengan membawa bubur untukmu.

Terima kasih.

Setelah itu, ibuku keluar dari kamarku.

Sampai ibu kembali dengan bubur, tidak ada yang bisa kulakukan... Bukan, lebih tepatnya aku tidak bisa melakukan apa-apa.

Selain aku kesusahan untuk tidak nyenyak karena demam, aku juga tidak mengantuk sama sekali, membuatku merasa terganggu.

...Hah.

Aku terus-menerus menghela napas berkali-kali.

Aneh sekali... ketika aku sendiri yang mengatakan itu, sepertinya demam ini mempengaruhi suasana hatiku.

Towa, boleh ibu masuk?

Iya.

Ibu kembali masuk dengan membawa bubur di tangannya.

Ibuku membantuku ketika melihatku yang kesulitan bangun karena badanku yang lesu... Hari ini, ibu terlihat lebih lembut dari biasanya.

Hei, jangan bilang kalau kamu berpikir ibu lebih lembut dari biasanya?

Ah, ibu menyadarinya ya?

Tentu saja lah, kamu kan anakku. Simpan informasi bahwa ibu selalu lembut.

Haha... Iya, ibu memang selalu lembut.

Ibuku tertawa dengan riang, lalu bersikeras menyuapiku bubur. Meskipun aku bilang kalau dia tidak perlu melakukannya, tapi ibu tetap tidak mau mengalah.

Pada akhirnya, aku memakan bubur itu dengan disuapi ibuku.

Terima kasih atas makanannya.

Sama-sama. Mungkin kamu akan merasa lapar lagi, jadi aku akan membuat makanan yang ringan.

Benar-benar terima kasih banyak.”

Tidak masalah... Hehe, melihatmu yang terlihat lebih lemah karena demam begini membuatku jadi gemas.

Yah, wajar saja karena aku sedang demam.

Aku tidak ingin ibu terlalu puas dengan keadaanku, tapi ibu terus memujiku dan mengelus kepalaku sebelum keluar.

Ya ampun... Ibuku memang sangat menyayangiku sampai-sampai membuatku bingung.

Bingung di sini bukan dalam arti buruk, tapi dalam arti yang baik karena dia terlalu memikirkanku.

“....Baiklah, kurasa aku akan menelepon Ayana.

Meskipun badanku masih panas dan kepalaku agak pusing, setelah memakan bubur itu aku jadi merasa sedikit lebih baik.

Tapi rasa dingin yang menyiksaku masih terasa, jadi aku meringkuk dalam selimut saat menelepon Ayana... Tapi dia tidak segera mengangkat meski aku sudah menunggu beberapa saat.

Mungkin sedang ke toilet... Yah, hal seperti ini memang bisa terjadi.

Pertama-tama, aneh kalau dia selalu menjawab panggilanku hanya dengan satu panggilan.

Kepalaku terasa berat... Mungkin sebaiknya aku tidur saja sekarang.

Tentu saja biasanya aku selalu ingin mendengar suara Ayana, tapi hari ini, entah karena efek demam, aku sangat merindukan suaranya dan merasa kesepian.

...Aku cemas.

Setelah mengucapkannya dengan lantang....aku menyadari kalau ini adalah kecemasan yang sama seperti tadi pagi.

Apa ini?....Kenapa aku merasa seperti ini?

Tubuhku menjadi semakin meriang... Apa ini benar-benar hanya demam biasa, atau ada penyakit yang lebih serius?

Dingin...

Apa aku.... memang selemah ini?

Saat aku berpikir begitu, tiba-tiba telepon dari Ayana yang kutunggu-tunggu masuk.

Ayana...?

Halo, Towa-kun? Maaf, tadi aku ke toilet jadi tidak bisa mengangkat teleponmu... Apa jangan-jangan kamu sedang tidak enak badan?'

...Kenapa?

Entahlah, aku hanya merasa begitu... Suaramu terdengar tidak bersemangat, dan instingku mengatakan begitu.

Haha... Kamu memang hebat.

Ayana benar-benar selalu bisa menyadari apa pun.

Kurasa aku merasa lega setelah kata-kata dan suaranya, tapi aku merasa sangat terkejut sehingga aku tidak hanya merasa kesepian, tapi perasaan dingin itu juga sedikit mereda.

Aku sedang demam... Demamnya juga cukup tinggi.

La-Lalu kenapa kamu malah menelepon!? Aku senang kamu meneleponku dan aku bisa mendengar suaramu sebelum tidur! Tapi tolong utamakan kesehatanmu dulu!!

Ah... Aku langsung tahu kalau dia benar-benar marah.

Benar juga sih.... meskipun aku hanya mengalami demam ringan, tapi kondisiku saat ini cukup parah.

Maaf... Anehnya aku merasa sangat kesepian dan cemas... Jadi aku ingin mendengar suaramu, Ayana.

...Aduh, kalau kamu bilang begitu, aku jadi tidak bisa memarahimu untuk beristirahat.

“Aku benar-benar minta maaf... Sebenarnya aku ingin bercerita banyak hal hari ini, tapi sepertinya akan kulakukan setelah sembuh.

Begitu ya... Aku penasaran...aku memang penasaran sih, tapi!

Haha, kurasa lebih baik aku istirahat saja hari ini.

Sayang sekali, tapi aku tidak bisa membuat Ayana khawatir lebih dari ini.

Aku akan beristirahat besok... Jadi Ayana, kamu tidak perlu terlalu khawatir denganku karena ini hanya demam biasa.

Meskipun hanya demam biasa, aku tetap khawatir... Setelah pulang sekolah, aku akan menjengukmu, ya? Kalau aku benar-benar tidak tahan khawatir, mungkin aku akan minta izin pulang lebih awal untuk menemuimu.

“Kamu tidak perlu...

Maafkan aku. Tapi aku yakin ibumu juga akan mengizinkanku.

...

Tentu saja aku sudah menduga Ayana akan bereaksi begini.

Tapi... Aku senang, dia memikirkanku sampai sejauh itu, dan mengutamakan diriku.

...Kurasa aku tidak boleh terlalu senang dalam masalah ini. Tapi... Aku senang, Ayana.

Hehe, aku hampir pasti akan datang, jadi nanti aku akan menghubungi Akemi-san dulu. Tapi... Kamu terlihat begitu lemah, mungkin sama seperti waktu itu... Maaf!

Waktu itu pasti maksudnya saat kecelakaan... Bagiku yang sekarang, aku pasti terlihat sangat lemah di mata Ayana.

“Kamu tidak perlu minta maaf segala. Baiklah, terima kasih untuk hari ini, Ayana.

Tentu saja, aku pasti akan datang besok! ...Ah iya.

Ya?

Kalau kamu nanti tidak bisa tidur untuk sementara atau terbangun di tengah malam, dan....jika kamu merasa kesepian, jangan ragu untuk meneleponku. Jangan khawatir, aku tidak akan merasa terganggu. Aku ingin membuatmu merasa tenang.

...

Ayana sepertinya sangat memikirkanku sampai-sampai dia tidak menggunakan bahasa kesopanan lagi.

Dia terlihat lebih cemas daripada aku yang menelepon karena merasa kesepian... Mendengar suaranya seperti ini, aku tidak bisa bilang aku merasa kesepian lagi.

“Terima kasih, Ayana… Tapi, setelah mendengar itu justru membuatku merasa jadi sungkan melakukannya.”

“Itu… mungkin benar, tapi!”

“Aku benar-benar merasa tenang dan terbantu. Sekarang aku bisa tidur dengan nyenyak.”

“Benarkah? Syukurlah kalau begitu… Tapi! Jika kamu benar-benar merasa kesepian, silakan telepon aku ya? Aku tidak akan bilang bahwa aku akan terjaga terus-menerus, tapi kalau dari Towa-kun, aku pasti akan terbangun!”

Dia jelas-jelas pasti akan terjaga, jadi itu adalah hal yang wajar untuk dipikirkan.

“Kalau begitu… sampai besok. Selamat malam, Towa-kun.”

“Selamat malam, Ayana.”

Setelah itu, panggilan telepon terputus, dan suasananya kembali menjadi hening.

Meskipun kecemasan dan kesepian yang kurasakan kembali muncul di dalam hatiku, suara Ayana yang masih terngiang di telinga sedikit mengusir perasaan itu… meskipun hanya sedikit.

“Kurasa aku akan tidur sebelum perasaan ini menghilang… hwaah.”

Dengan menyambut datangnya rasa kantuk yang ditandai dengan menguap besar, aku pun memejamkan mataku.

 

 

Sejak bereinkarnasi ke dalam dunia ini, aku benar-benar sering bermimpi.

Entah sudah berapa kali aku berpikir demikian… meskipun mungkin itu terdengar berlebihan, tapi itu memang hal yang sangat penting atau bahkan sepele yang aku ingat dalam mimpiku.

Dan sepertinya, mimpi hari ini adalah mimpi terburuk bagiku.

“Selamat tinggal, Towa-kun.”

“Selamat tinggal, Towa.”

Aku mengalami mimpi buruk di mana Ayana dan Ibuku menghilang tepat di depan.

Mereka berdua menghilang seperti asap putih dengan ekspresi sedih di wajah mereka… Ketika aku mengulurkan tangan untuk menyentuh mereka, tanganku hanya menyentuh udara dan tidak dapat menjangkau mereka.

“Towa-kun…”

“Towa…”

“Yukishiro-kun…”

“Yukishiro-senpai…”

Seina-san, Shu, Iori, Mari… dan orang-orang lain yang aku kenal di dunia ini mulai menghilang di depan mataku.

Bukan hanya orang-orangnya saja… tapi, rumah tempat di mana aku tinggal sekarang ini juga… kota ini juga menghilang dari pandanganku.

“Apa-apaan ini…”

Pemandangan di depanku tanpa ampun melukai hatiku, membuat lubang besar di dalamnya.

Aku hanya ingin menyentuh sesuatu, jadi aku mengulurkan tangan… tetapi seolah-olah semua itu menolak, semuanya menghilang.

“Ayana… Ibu… semuanya…?”

Dan kemudian tidak ada satu pun yang tersisa… semuanya menghilang.

Semua yang telah aku bangun, semua yang telah aku dapatkan… aku merasa seolah-olah semua hal berharga itu dirampas tanpa ampun… dengan perasaan terburuk itu, aku menyambut pagi.

“Hah!?”

Saat aku membuka mata, aku disambut oleh langit-langit kamarku.

Matahari sudah terbit dan aku bisa mendengar kicauan burung di luar jendela... Perlahan-lahan aku terbangun dan menyadari bahwa aku berkeringat deras sejak malam.

...Rasanya menjijikkan.

Bajuku menempel dengan lengket di kulitku, membuatku merasa tidak nyaman... Dan bukan hanya itu saja, tubuhku terasa jauh lebih berat dibandingkan kemarin.

Termometer...

Aku mengambil termometer yang diletakkan di samping bantal, lalu mengukur suhu tubuhku... Ternyata demamku masih cukup tinggi, membuatku hanya bisa tertawa miris.

“Bukannya ini lebih parah dari kemarin... Pantas saja aku merasa begitu tidak enak.

Selain keringat malam, kulitku juga lengket, mungkin karena kemarin aku tidak mandi...

Aku ingin mandi... Tapi bahkan untuk melakukan itu saja tubuhku terasa begitu berat.

Meskipun begitu, aku tetap ingin mengatasi rasa haus, jadi aku keluar kamar menuju ruang tengah sambil menahan rasa dingin.

Selamat pagi, Ibu...

Selamat pagi, Towa... Astaga, wajahmu pucat sekali!

Iya... Sepertinya demamku jadi lebih parah dari kemarin.

Ibuku datang dengan wajah cemas, tapi aku menahan agar dia tidak mendekat, takut terrular demamku.

(... Itu Ibu)

Melihat wajah Ibu di depanku membuatku merasa sangat lega.

Mungkin karena aku mengingat mimpi buruk sialan itu, aku sangat senang melihat ibuku di hadapanku sampai-sampai aku merasa ingin menangis...walaupun tidak ada air mata yang keluar sama sekali.

Meskipun kamu khawatir kalau aku tertular, sebagai ibu, mana mungkin aku bisa diam saja melihat anakku dalam kondisi seperti ini?

Ah...

Ibu meletakkan tangannya di dahiku.

Sentuhan tangan dinginnya yang menyenangkan membuat kesadaranku hampir hilang, tapi aku berusaha bertahan.

“Ayo kita ke rumah sakit. Meskipun hanya demam biasa, aku ingin memastikannya.

... Baik.

Ibu segera menelepon tempat kerjanya untuk izin terlambat bekerja, lalu kami berangkat ke rumah sakit dengan mobilnya.

Hasilnya, memang hanya demam biasa.

Meskipun hanya demam, tingkat keparahannya bisa berbeda-beda orang. Sepertinya kali ini aku terkena demam yang cukup parah... Aku benar-benar sedang apes.

Towa, kalau terjadi sesuatu, segera hubungi aku ya? Sebenarnya aku ingin merawatmu seharian penuh.

“Sudah kubilang kalau aku tidak apa-apa. Kalau begitu, semoga sukses dengan pekerjaanmu, Bu.

... Baiklah. Aku berangkat dulu.

Saat kami kembali pulang dari rumah sakit, Ibu menawarkan untuk merawatku, tapi aku menolaknya.

Jika aku masih anak TK arau SD, aku akan memakluminya, tapi aku sudah SMA, loh? Rasanya begitu memalukan kalau Ibu harus merawatku terus-menerus, meskipun ini demam yang parah.

... Towa... Towa...?

“Hati-hati di jalan ya, Ibu.

Uuh... Baiklah, aku berangkat dulu...

Setelah berhasil mengantarkan Ibuku pergi bekerja, aku segera kembali ke kamar dan berbaring.

...Hm?

Saat berbaring dan mengambil ponselku, aku melihat ada pesan dari Ayana, berisi sapaan pagi dan menanyakan kabarku.

Cukup lama juga dia mengirim pesan ini... Aku harus membalasnya.

Aku hanya membalas bahwa aku tidak apa-apa, supaya dia tidak terlalu khawatir. Aku tidak ingin membuatnya cemas lebih dari ini dengan memberitahu kondisiku yang memburuk.

...Fyuh.

Tanpa menunggu balasan dari Ayana, aku memejamkan mataku.

Kondisi badanku benar-benar tidak enak... aku sangat mengantuk... Lemas... Saat mencoba tidur lagi, rasa cemas itu muncul lagi di dadaku.

Seolah-olah ada yang berbisik dari dalam, mengatakan bahwa aku tidak boleh tidur... Tapi aku tidak bisa melawan kantuk kesadaranku perlahan menghilang, dan aku mendengar suara sesuatu yang runtuh.

 

 

...?

Pemuda itu tiba-tiba terbangun.

Lho... Kok aku bisa...

Setelah dirinya tersadar, ia merasa kebingungan saat mengetahui kalau dirinya berbaring di atas meja, tapi segera menyadari bahwa ini bukan hal yang aneh.

...Apa aku ketiduran?”

Di depannya ada layar komputer yang masih menyala, menunjukkan jejak dia sedang berselancar di internet.

Dirinya kagum bisa tertidur dalam posisi seperti itu, tapi di sisi lain ia juga menghela napas besar karena khawatir tagihan listriknya akan naik.

Rasanya... Tidak bisa tenang sama sekali.

Ia bergumam. Ada perasaan janggal yang tidak bisa menghilang dalam dirinya.

Tempat ini adalah rumahnya, kamarnya, lingkungan yang sudah ia kenal dengan baik, dan ingatannya juga mengatakan tidak ada yang salah.

Yah, itu pasti akan hilang dengan sendirinya.

Dengan begitu, keseharian pemuda itu dimulai, dan berlalu dengan cepat.

Ia terus memikirkannya sepanjang hari... Memikirkan perasaan janggal itu.

Tapi pada akhirnya, perasaan janggal itu tidak hilang sama sekali, membuatnya tidak bisa berkonsentrasi sama sekali.

Senpai? Kamu kenapa?

Ah!

Dia terlalu fokus pada pikirannya, sampai-sampai ia lupa ada seseorang di dekatnya.

Dari tadi kamu melamun terus, tau! Aku memanggilmu tapi kamu tidak menyahut sama sekali. Sebenarnya ada apa? Aku jadi penasaran.”

...Maaf. Tidak ada apa-apa, kok.

Gadis itu adalah junior dari pemuda itu.

Dia memiliki rambut hitam panjang, wajahnya yang cantik, dan tubuh yang proporsional... Terutama bagian dada yang cukup menonjol, membuat pemuda itu khawatir jika dia mulai bertingkah nakal.

(Kenapa dia selalu mencari-cari perhatianku segala?)

Pemuda itu bahkan bertanya-tanya apa ia benar-benar mengenal gadis ini.

Tapi entah kenapa, keberadaannya di sini juga tidak terlalu aneh baginya.

......

A-Apa? Kenapa kamu menatapku terus? Anu...

......

I-Ini memalukan... Tapi kalau yang melakukannya itu Senpai, aku akan memaafkanmu!

Ditatap intens oleh pemuda itu, gadis itu mulai salah tingkah dan menggerakkan tubuhnya.

Bahkan tingkah lakunya yang seperti itu terlihat manis, seolah menambah keanggunannya, membuat pemuda itu semakin yakin bahwa gadis ini adalah tipe yang tidak akan disia-siakan oleh pria manapun.

(Dia mirip seseorang... Kira-kira siapa ya?)

Pemuda itu tidak bisa berhenti memikirkan apakah ada orang lain yang secantik ini.

Rasanya ada seseorang yang selalu ada di sampingnya, yang ingin ia jaga selamanya.

(Aku... Aku...)

Siapa yang ingin ia jaga...?

Siapa yang selalu berada di sampingnya...?

Senpai?

'Towa-kun?'

Mata pemuda itu terbelalak saat gadis di depannya bertumpang tindih dengan gambaran orang lain.

Ia hampir mengulurkan tangan, tapi berhenti dan hanya meminta maaf pada gadis yang terlihat khawatir itu.

Hari ini Senpai aneh ya. Sebaiknya Senpai beristirahat saja dulu sebentar.

...Mungkin. Maaf, ya."

Tidak apa-apa. Istirahatlah jika bisa, dan jangan sungkan minta bantuan saat kesulitan. Lagipula, begitulah seharusnya hubungan di antara kita, ‘kan?

...Kamu—”

Jadi, kembalilah... Aku akan selalu menunggumu.

Dengan kata-kata penuh makna itu, pemuda itu berpisah dengan gadis itu.

Setelah menyelesaikan semua urusannya, pemudia kembali ke kamar tempat dirinya bangun tadi.

...

Pemuda itu mengingat kembali suara yang didengarnya saat berbicara dengan juniornya tadi.

Towa...?

Towa... Ia mengenal nama itu.

Bukan karena mengenal orang dengan nama itu, tapi karena nama karakter dalam game yang disukainya.

...Kalau tidak salah ada di sekitar sini.

Karena pemuda itu tinggal sendiri, tidak ada yang perlu disembunyikan, jadi ia dengan mudah menemukan benda-benda yang dimaksud di dekat komputernya.

'Aku telah kehilangan segalanya'... Dan juga fandisc-nya.

Itu adalah eroge yang sangat disukainya.

Terlalu indah untuk disebut sekadar eroge, cerita dan karakter-karakternya sangat menarik baginya. Terutama Ayana, sang heroine, yang sangat disukainya sampai ia berkali-kali memainkan game utama dan fandisc-nya.

Towa... Dan Ayana.

Saat menyebut nama Towa dan Ayana, karakter dalam game itu, pemuda itu merasa ada sesuatu yang pas.

Seolah ada yang mendorongnya, pemuda itu kembali menjalankan game tersebut.

 

 

Sebelumnya  |  Daftar isi  |  Selanjutnya

close

Posting Komentar

Budayakan berkomentar supaya yang ngerjain project-nya tambah semangat

Lebih baru Lebih lama