Chapter 2
“Towa-kun.”
“Apa?”
“Semalam,
setelah aku pulang, tidak terjadi apa-apa, ‘kan?”
“...Apa
maksudmu?”
“Aku
khawatir kalau Kanzaki-san menyerangmu secara seksual.”
“Tidak
ada yang seperti itu.”
Tiba-tiba
saja pacarku ini bicara apa, sih? Memang benar kalau semalam
Kanzaki-san menginap di rumah kami, tapi tidak ada kejadian yang bisa
menimbulkan kesalahpahaman.
Malah,
yang terjadi adalah sesuatu yang justru bertolak belakang dengan hal-hal berbau
seksual.
“...”
Selain
mimpi itu, aku juga masih mengingat
dengan jelas percakapannya dengan
Kanzaki-san.
Aku tidak
memastikan apakah itu benar atau tidak, tapi mungkin
saja Kanzaki-san, yang terhubung dengan dunia bawah tanah, pernah membantu Ayana
dalam upaya balas dendamnya.
“Hei,
Ayana...”
Aku
memanggil namanya, tapi langsung menghentikan diriku.
Pertanyaan
yang ingin kutanyakan adalah, jika Kanzaki-san membantunya, apa yang akan kamu lakukan? Tapi tentu saja, Ayana
tidak akan melakukan hal seperti itu lagi.
“Towa-kun,
hanya dengan memanggilku seperti itu, berarti ada sesuatu yang terjadi, ‘kan?”
“...Memang
benar.”
Pacarku
ini sangat memperhatikanku, jadi mana
mungkin dia tidak menangkap gumaman kecilku tadi...aku
memutuskan untuk memberitahunya dengan nada santai.
“Sebenarnya...”
Aku
menceritakan tentang siapa Kanzaki-san, posisinya, dan bagaimana dia mencoba
membantu ibu dan diriku.
“Begitu,
jadi kalian membicarakan hal itu. Aku memang pernah mendengar kalau Kanzaki-san
adalah bawahan didikan Akemi-san...”
“Haha...”
Meskipun
hubungan antara ibu dan Kanzaki-san sangatlah dekat, tapi Ibu
memang tidak suka membicarakan masa lalunya sebagai berandal, jadi pasti dia
juga tidak akan memberitahu tentang sisi gelap Kanzaki-san.
Yah,
meski begitu, aku sendiri sudah mendengar sedikit langsung dari Kanzaki-san.
“...Lalu”
Aku
melanjutkan apa yang ingin kukatakan tadi.
“Kanzaki-san
jelas-jelas memiliki kekuatan. Itu terlihat
dari pembicaraan dan auranya. Nah, Ayana, jika dia menawarkan bantuannya untuk mendukung upaya balas dendammu yang sudah hilang itu, apa yang
akan kamu lakukan?”
Sepertinya
Ayana langsung mengerti arah pembicaraanku. Dia menjawab dengan ragu-ragu.
“Dengan
asumsi bahwa aku masih tetap seperti dulu, kurasa aku pasti akan menerima
bantuannya. Aku yakin aku tidak bisa melakukannya sendiri. Meski aku yakin bisa
melakukannya, tapi aku ingin benar-benar menghancurkannya.”
Begitu
ya... Ayana pasti akan meminta bantuan Kanzaki-san.
Meskipun
masa itu sudah takkan pernah terjadi lagi, tapi aku bisa hampir yakin bahwa
Kanzaki-san adalah orang yang membantu Ayana.
“Tapi
sekarang, masa itu sudah tidak akan pernah datang lagi.”
“Tentu
saja. Aku sudah meninggalkan masa lalu dan mengucapkan
selamat tinggal pada balas dendam itu!”
Ayana
memeluk lenganku erat-erat sembari mengatakan itu.
Ekspresinya yang tersenyum lebar itu... Jika diingat-ingat lagi, dia
tidak sering menampilkan ekspresi selepas ini sebelumnya.
Meskipun
dia tersenyum, itu selalu senyum yang anggun... Sulit menjelaskannya dengan kata-kata mengenai apanya
yang berbeda, tapi memang benar bahwa senyum seperti ini belum pernah kulihat
sebelumnya.
“Aku
senang kamu
memelukku, tapi...”
“Eh?”
“Kamu tahu, ini musim panas, jadi
bisakah kamu menjauh
sedikit...”
Panas
sekali memang.
Walaupun
suhu panasnya tidak di tingkat yang sulit ditahan, tapi di
luar ruangan yang terkena sinar matahari langsung, rasanya cukup menyiksa.
Ayana
sepertinya juga merasakan hal yang sama, jadi kami sepakat untuk tetap di dalam
ruangan yang sejuk untuk bermesraan.
“Cuaca
panas ini... Benar-benar menyebalkan. Setiap tahun aku selalu berpikir begitu,
padahal tidak ada orang lain di sekitar, tapi aku malah tidak bisa bermesraan dengan Towa-kun.”
“Bukannya tidak
mungkin bisa, tapi apa boleh buat, ‘kan.”
“Hmm...
Tapi saat pelajaran olahraga mungkin bisa? Seragam olahraga yang basah oleh
keringat... Cukup menggoda, bukan?”
Ide yang
bagus! Aku hanya ingin mengatakan satu hal pada Ayana yang sepertinya sudah
mulai liar ini.
“Ayana...
Akhir-akhir ini kamu jadi
agak... liar ya.”
“Itu
semua berkatmu♪”
Hah...
Dia tersenyum manis sekali.
Pagi ini Ayana
membicarakan topik yang cukup provokatif, tapi sekarang dengan semakin
banyaknya murid lain di sekitar, sepertinya pembicaraan itu harus berakhir.
“Panasnya~”
“Bagaimana
kalau kita ke kolam renang minggu depan?”
“Setuju!
Kita harus beli baju renang dulu!”
Beberapa
siswi di depan kami membicarakan topik itu.
Memang,
di musim panas seperti ini, pergi ke pantai atau kolam renang adalah kegiatan
yang umum. Tentu saja, aku dan Ayana juga sudah berencana untuk pergi, bahkan
aku sudah berjanji akan membantunya memilih baju renang.
“Towa-kun”
“Soal
baju renang ya? Aku tidak melupakannya kok... Lagipula, aku juga ingin melihatnya.”
“Ah...
Hehe♪”
Sepertinya
Ayana juga ingat dengan janji itu.
Entah
kapan waktunya, tapi aku akan menantikan saat itu. Sambil menghela napas, aku
kembali merasakan tatapan-tatapan lain yang ditujukan pada Ayana.
(Aku
mengerti perasaan mereka sih...)
Ini bukan
pertama kalinya aku mengatakannya, tapi Ayana mempunyai
paras
cantik luar biasa, dan sangat populer.
Bahkan
sebelum kami berpacaran, dia sering sekali mendapat pernyataan cinta. Dan
sekarang, saat kebahagiaannya mulai
terpancar, pesonanya semakin bertambah, membuatnya menjadi pusat perhatian
orang-orang di sekitar kami meskipun ada aku di
sampingnya.... Apalagi dengan pakaian musim panas yang lebih
terbuka ini, itu pasti jadi salah satu alasannya.
“Seriusan,
kenapa sih Ayana bisa seimut dan secantik itu... kamu benar-benar menarik sesuai dengan seleraku.”
“Wah,
tiba-tiba memuji seperti itu... Tapi boleh, nih? Kalau dilanjutkan, aku bisa
membalasnya dua kali lipat, lho.”
“...Di
rumah saja, ya.”
“Siap
deh♪”
Dia mengangguk dengan senyuman manis dan menabrakkan bahunya sedikit ke arahku, seperti yang biasa dilakukan oleh teman sebaya. Perilakunya yang begitu
mengingatkanku pada Ayana yang
dulu.
Ya—— Aku bisa menangkap maksud Ayane dari
interaksi ini.
Aku tidak
membalas dengan menabrakkan bahuku dan hanya
mengusap kepalanya pelan sebagai balasannya.
“Memang
penting untuk sering memamerkannya, ya.”
“Tentu
saja! Harus begitu, 'kan?”
Soalnya,
maksud Ayana tadi
memang untuk memamerkan dirinya padaku.
Bersikap
mesra di depan orang lain dengan Ayana
yang secantik ini memang tidak mudah... Bagaimana tidak, gadis semanis ini ada
di dekatku dan berusaha mendekat, tentu saja aku ingin membalasnya.
“Ampun deh...
Rasanya pernah ada kejadian seperti ini sebelumnya.”
“Aku
juga merasa déjà vu...”
“Eh?”
“Ara?”
Aku mendengar
suara dari belakang... Meski tanpa melihat pun aku tahu itu siapa, dan aku juga
merasa pernah mengalami hal serupa sebelumnya.
“Iori-senpai dan Mari-chan.”
Ketika Ayana memanggil nama mereka, aku ikut menoleh dan memang benar mereka
berdua ada di sana.
Senpai kami,
Honjou Iori dan kouhai
kami, Uchida Mari... Kami sudah lama berteman dengan mereka, tapi sama seperti Ayana, aura heroine mereka masih tetap kuat.
“Kalian
ini... Yah, sebaiknya jangan terlalu berisik, deh.”
“Ahaha!
Tapi bagi kami, pemandangan seperti ini memang menyenangkan untuk dilihat, kok!”
“Itu
benar sih, tapi... Melihat pasangan
seperti Yukishiro-kun dan Ayana-san
di usia SMA, mungkin bisa membuat orang jantungan, 'kan?”
“Bukannya itu
terlalu berlebihan...?”
Itu memang
terlalu berlebihan.
Setelah
berhenti sejenak dan berbincang sebentar, Iori dan Mari pun pergi meninggalkan
kami karena merasa tidak enakan sudah mengganggu kami.
“Padahal
mereka tidak perlu merasa tidak enakan begitu.”
“Ya,
memang.”
Ketika aku melihat
punggung mereka yang semakin menjauh,
aku berpikir bahwa hal ini juga
merupakan sebuah perubahan.
Akhir-akhir
ini, aku jarang melihat Shu berada di dekat mereka berdua... Tentu saja, mereka
masih mempedulikan Shu,
tapi dibandingkan dulu, Shu lebih sering menghabiskan waktunya sendiri.
Mengenai
Iori, aku melihat dia benar-benar memperhatikan Shu, dan Mari juga melakukan
hal yang sama. Tapi belakangan, aku sering melihat kalau Mari terlihat senang saat bersama
Aisaka.
“Fufufu,
akhir-akhir ini saat aku mengobrol
dengan Mari-chan, dia sering membicarakan Aisaka-kun. Dia terlihat senang saat
membicarakannya, tapi wajahnya juga memerah dan tidak mau menatapku, lucu
sekali.”
“Ah...
Dari dulu dia memang
begitu, ya. Sepertinya dia masih belum terbiasa.”
“Manis
sekali, 'kan? Dari sudut pandang kita,
hubungan mereka sudah sangat jelas, tapi Aisaka-kun masih malu-malu agar tidak
ketahuan, sementara Mari-chan takut kalau-kalau Aisaka-kun tidak menyukainya.”
Dari sudut
pandang orang luar, hubungan Arisaka dan Marin memang sangat
menarik. Aku selalu penasaran bagaimana kelanjutan hubungan mereka.
“Walaupun
aku tidak boleh berkata begini, tapi aku senang Iori-senpai dan Mari-chan juga
terlihat semakin baik.”
“Ya...
Benar sekali.”
Iori masih tetap jujur dengan perasaannya,
sementara Mari, meskipun belum menyadarinya, terlihat bahagia bersama orang
yang dia sukai... Jika dibandingkan dengan masa depan yang seharusnya mereka
jalani, keadaan mereka saat ini jauh lebih baik.
“.....”
Ya...
Semuanya berjalan terlalu lancar.
Tanpa disadari, mereka menuju masa depan yang
terbaik... Tapi terkadang, aku merasa takut jika semua ini akan hilang dari
genggamanku.
Ayana berada
di sampingku... Kekasihku yang berharga ada di sini.
Aku ingin
selalu bersamanya selamanya... Tapi jika kebahagiaan ini hilang, itu
benar-benar akan menakutkan.
“Towa-kun?
Ada apa?”
“Eh?
Ah, tidak, bukan apa-apa.”
Biasanya
Ayana peka dengan perubahan kecil
padaku, tapi kali ini dia tidak menyadarinya. Syukurlah... Ini memang keluhan
yang terlalu mewah.
“Nah,
ayo kita pergi.”
“Baik.”
Setelah
itu, kami berjalan menuju ke ryang
kelas sambil mengobrol riang, berusaha menghilangkan rasa khawatir yang sempat
muncul di dalam hatiku.
“Selamat
pagi, Ayana.”
“Selamat
pagi, Setsuna.”
Ayana langsung pergi menemui temannya,
Toudo-san, sementara di sampingku ada Aisaka,
yang bisa dibilang sempat menjadi
topik pembicaraan kami.
“Yo,
Yukishiro.”
“Yo,
Aisaka.”
Aku tetap
mengusap kepala Aisaka yang botak dan berambut pendek. Sensasi tekstur yang
menyenangkan itu membuatku tak ingin berhenti.
“Hei,
kenapa aku harus diusap oleh laki-laki?”
“Ini
teksturnya enak banget, lho. Teruslah pertahankan.”
“Kamu bilang 'teruslah pertahankan'
seolah-olah menyuruhku untuk tetap botak.”
“Bukan
begitu, kok. Tapi rambutmu memang pendek,
'kan?”
“...Ah,
iya juga.”
Tapi...
Memang terdengar mirip, ya, “teruslah
pertahankan” dan “botak”.
Setelah
sejenak menikmati tekstur kepala botak
Aisaka, aku berdiri dan berjalan ke arah toilet. Dan Aisaka
juga sepertinya ingin ikutan.
Karena kebetulan hanya ada kami berdua,
jadi topik yang biasa dibicarakan pun muncul.
“Jadi, bagaimana
hubunganmu dengan Mari akhir-akhir ini?”
“A-Apa
maksudmu dengan 'bagaimana'?!”
“...Benar-benar
reaksi yang mudah dibaca, ya.”
Aku
tersenyum melihat wajah Arisaka yang memerah sampai ke ubun-ubun.
Meskipun
aku dan Ayana mengetahui kalau Aisaka menyukai Mari, kami
jarang menanyakan langsung padanya.
“Yah,
semangat, ya.”
“...Terima
kasih.”
Entah apa
jawaban Aisaka nanti, itu sudah
bukan urusanku dan Ayana lagi...
Tapi sebagai teman, aku berharap mereka bisa memiliki hubungan yang baik.
Saat kami
kembali ke ruang kelas
setelah selesai dari toilet...
“Ah,
Yukishiro-kun!”
“...Eh?”
“Hm?”
Suara itu
berasal dari seorang pemuda... sepertinya seorang senior yang lebih tua satu
tahun dariku?
... Hmm, kira-kira ia ada keperluan apa denganku”
“Maaf
kalau aku mengagetkanmu. Namaku Bundo, anggota dari klub koran...”
Klub
koran... Gawat, itu adalah sesuatu yang sama sekali tidak kuingat saat ini.
Saat aku
menggali kembali ingatan Towa, aku sama sekali tidak mengenalnya, entah karena
memang tidak menonjol atau hanya tidak terlalu terlihat... Namun, Aisaka
tiba-tiba bersuara dan melanjutkan perkataannya.
“Ah
iya, aku pernah melihat koran yang diterbitkan sebelum liburan musim panas atau
musim dingin. Mereka membuat semacam peringkat pasangan terbaik di sekolah ini,
kan?”
“Benar,
itu dia!”
Setelah mendengar
perkataan Aisaka, Bundo-senpai langsung menyipitkan matanya
yang tertutup kacamata.
Suasana
yang tadi tenang, berubah menjadi bersemangat,
seolah-olah ia memaksa kami untuk masuk ke dalam arenannya.
“Kegiatan
kami sudah dimulai sejak tahun lalu, dan seperti yang tadi dia katakan, kami
membuat berbagai artikel,
termasuk pasangan terbaik. Sepertinya ini jarang ditemukan di tempat lain,
makanya itu cukup populer! Tentu saja kami
tidak akan menulis hal-hal yang tidak pantas, dan kami juga sudah mendapat izin
untuk memuat informasi tersebut di
koran!”
“Ka-Kamu terlalu
dekat, Senpai!”
Semangat dari senpai yang satu ini
terlalu berlebihan...!
Senior
itu berdeham untuk menenangkan dirinya.
“Jadi, itulah sebabnya kami ingin menulis
artikel tentang Yukishiro-kun dan Otonashi-san sebagai pasangan terbaik sekolah!?”
“Hei,
tenangkan dirimu, Senpai!”
Kupikir ia
sudah sedikit tenang, tapi
ternyata masih belum tenang juga!
Sambil
menenangkan senpai yang terlalu bersemangat ini, aku berpikir
dengan tenang tentang usulan senior tersebut.
Pasangan
terbaik... Yah, aku dan Ayane merasa terhormat jika dipandang demikian, tapi
mungkin itu karena kami baru saja mulai berpacaran.
“Kami
akan melakukan wawancara dengan siswa lain, dan menggabungkannya dengan
analisis kami, lalu mengumumkan peringkatnya secara adil! Meskipun begitu,
kalian berdua adalah pasangan yang sangat aku
dukung! Aku merasa ikatan kalian bahkan
lebih kuat daripada pasangan-pasangan yang sudah masuk peringkat sebelumnya!”
Sudah
kubilang, kamu terlalu dekat, senpai....Ah
sudahlah, biarkan saja.
“Selama
kalian benar-benar melakukan wawancara dan analisis, kurasa tidak masalah.
Sepertinya menarik juga."
“Kamu ini...”
“Jadi,
bagaimana menurutmu,
Yukishiro-kun?”
Aisaka
yang mengatakan kalau ini terlihat, dan
Bundo-senpai yang sepertinya sangat ingin
kami ikut serta.
Aku
memikirkan tentang apa yang harus kulakukan sambil melihat ekspresi mereka
berdua secara bergantian... Jujur saja, aku merasa agak malu jika namaku dimuat dalam artikel semacam ini. Tapi
ini juga kesempatan yang baik untuk membuat hubunganku dengan Ayane diketahui
oleh semua siswa.
Tapi aku
tidak bisa memutuskannya sendiri,
aku harus mendengar pendapat Ayane juga... Saat aku berpikir begitu, tiba-tiba
terdengar suara dari belakangku.
“Kurasa
itu ide yang bagus. Aku juga setuju.”
Bersamaan
dengan suara itu, ada tangan yang menyentuh bahuku. Saat aku
menoleh, ternyata Ayana berdiri
di sana dengan senyum lebar sembari ditemani Toudo-san.
“Ayana... Kamu yakin?”
“Tentu
saja. Di saat-saat seperti ini, kita harus
memamerkannya secara terbuka. Ah, dengan begini mereka akan tahu kalau mereka takkan bisa menghalangi hubungan
kita!”
“Wah...
Otonashi-san, kamu terlihat sangat bersemangat!”
“Tolong
sebarkan berita kemesraan
kami sebanyak mungkin!”
“Serahkan
saja padaku!”
... Hei,
pendapatku tidak didengarkan sama sekali.
Yah, jika
Ayana menyetujuinya, maka aku juga tidak masalah. Jadi aku
menyampaikan kepada Bundo-senpai kalau kami tidak
keberatan melakukannya.
“Aku
ingin menerbitkan artikel itu sebelum liburan musim panas, jadi bagaimana kalau
kita melakukan wawancara singkat sepulang sekolah besok? Kalian bisa datang
sendiri-sendiri juga tidak apa-apa, tapi kurasa lebih baik kalau bersama-sama.
Dan aku juga ingin mengambil foto kalian
berdua!”
Kacamata
Bundo-senpai sejak tadi berkilauan.
Seharusnya
itu tidak mungkin terjadi, dan tidak masuk akal juga, tapi kenapa terlihat
seperti itu... Mungkin aku memang sedang lelah.
“Baiklah, aku mengerti. Tapi, di mana
kita akan melakukannya?”
“Aku tidak
mau terlalu merepotkan waktu kalian. Jadi aku akan datang ke kelas kalian
saja, karena setelah pulang sekolah pasti tidak ada orang lain di sana.”
Itu
memang benar... Jadi kami sudah menentukan jadwal untuk besok sepulang sekolah.
Bundo-senpai pun pergi dengan wajah bersemangat dan perasaan riang,
dan kami juga harus segera kembali ke kelas karena jam pelajaran pagi akan segera dimulai.
“...?”
Setelah
masuk ke dalam ruang kelas, aku langsung
merasakan tatapan padaku begitu Ayana dan
Aisaka pergi ke kursi mereka masing-masing.
Rupanya itu
dari Shu, yang langsung mengalihkan
pandangannya seperti biasa begitu bertatapan denganku. Tapi akhir-akhir ini,
aku merasa tatapan negatif darinya sudah berkurang.
▼▽▼▽
(Sudut
Pandang Ayana)
(Towa-kun, ia tuh terlalu perhatian atau
mungkin terlalu khawatir)
Saat jam pelajaran pagi dimulai, aku
memikirkan tentang Towa-kun
sambil mendengarkan penjelasan guru.
Ia
tidak segera duduk ketika berpisah denganku dan
melihat ke arah Shu-kun, jadi aku
pun langsung memperhatikannya. Sedangkan diriku
sendiri, aku juga sudah tidak terlalu membenci
Shu-kun dan keluarganya. Tapi jika
Towa-kun lebih memperhatikan Shu-kun daripada aku, itu jadi masalah
lain...
(Bukan
berarti aku sedang khawatir atau apa, tapi... Kami sudah bersama sejak kecil, jadi
wajar saja)
Meskipun
ia memutuskan hubungan dengan kami
dengan cara itu, tapi ada banyak waktu yang menyenangkan saat kita bertiga
bersama. Bukan karena terpaksa akrab, tapi...
aku memang benar-benar menikmati saat-saat itu.
(Yah,
bagaimanapun juga, menurutku biar waktu yang akan menyelesaikannya. Dari
cerita yang kudengar, sepertinya Shu-kun
sudah mulai lebih banyak tersenyum dibandingkan sebelumnya)
Setelah
memikirkan hal itu, tiba-tiba aku tersadar.
Ternyata
aku juga masih khawatir dengan Shu-kun.
(Mungkin
ini juga merupakan tanda bahwa aku sudah lebih tenang. Dan yang terpenting, aku
bisa menghabiskan setiap hari bersama Towa-kun... Karena ia mencintaiku, jadi mana mungkin aku tidak bahagia)
Seriusan, sebenarnya, seberapa besar sih aku tergila-gila pada Towa-kun...
Padahal tadi aku masih memikirkan Shu-kun, tapi begitu sedikit saja
memikirkan Towa-kun, pikiranku langsung dipenuhi olehnya.
“...Ehehe.”
Ups,
senyum bahagiaku itu
tanpa sadar keluar.
Untung
saja guru dan teman-teman sekelas lainnya tidak
menyadari sikapku, tapi aku merasa ada tatapan sekilas... Yah, kurasa itu hanya
perasaanku saja yang merasa ada tatapan heran!
(Tapi... apa itu tatapan Setsuna?)
Pada
dasarnya isi pikiranku sudah dipenuhi dengan
Towa-kun, dan juga orang-orang penting yang baik pada kami. Tentu saja, di
dalamnya juga termasuk teman-temanku.
Aku belum
pernah bercerita pada mereka tentang sisi gelapku atau masalah yang kualami...
Tapi meskipun begitu, mereka selalu memperlakukanku dengan tulus sebagai teman.
Di antara
mereka, Setsuna adalah
teman sekelas yang paling dekat denganku. Aku yakin, jika aku bercerita tentang
masalah batinku yang kelam
padanya, dia tidak akan menjauhi atau menceramahiku.
(Selain
aku dan Towa-kun, ada juga Aisaka, Mari-chan,
Setsuna, dan
Someya-kun...
Aku dan Towa-kun memang masih menjadi perhatian utama, tapi masa depan mereka
juga membuatku khawatir)
Tentu
saja, aku juga memikirkan Shu-kun dan Iori-senpai, yang mempedulikannya.
“Baiklah,
sepertinya liburan musim panas sudah mulai dekat...
Tapi mulai sekarang, aku akan selalu mengingatkan kalian, oke? Jangan sampai bertingkah
terlalu liar, tetaplah dalam batas-batas kewajaran sebagai siswa!”
“Kami
akan bersenang-senang sepenuhnya!”
“Orang-orang
macam kamu yang paling sering membuat masalah, tah! Tolong
jaga perasaan gurumu, dong!”
Suara gelak tawa memenuhi kelas saat guru dan
teman-temanku
bercanda.
Aku juga
sedikit tersenyum, lalu melirik Towa-kun yang juga tertawa.
Senyum
yang sangat kusukai, senyum yang ingin selalu kulihat... Hei, Towa-kun?
Kamu bilang ingin agar aku selalu
tersenyum, dan ingin agar kita berdua bahagia... Bukan hanya salah satu dari
kita, tapi kita berdua.
(... Ufufufu, aku harus berhati-hati.
Jika memikirkan itu, pipiku pasti akan melempem
seperti mochi)
Pasti
senyumku saat ini jauh lebih lebar daripada sebelumnya.
Senyum
manis dan imut yang tadi bisa saja berubah
menjadi senyum aneh yang mengerikan.
Ah,
mungkin karena itulah aku
merasakan tatapan keheranan dari Setsuna?
(... Fiuh, aku harus bisa tersenyum
dengan baik sebagai pacar Towa-kun!)
Dengan mengingat itu sambil bersemangat,
aku kembali fokus mendengarkan penjelasan guru.
Setelah jam wali kelas pagi, aku tidak mendapat
komentar apa-apa dari Setsuna saat
istirahat makan siang. Tapi saat kami hendak memakan
bekal bersama, dia langsung menegurku.
“Hei,
Ayana? Meskipun
aku tidak bisa melihatnya dari tempat dudukku, tapi saat
guru lagi berbicara, wajahmu kelihatan aneh sekali, lho?”
“...
Apa maksudmu?”
“Saat
kamu
sedang memikirkan Yukishiro-kun, wajahmu selalu saja menjadi seperti itu.”
"Bagaimana
kamu bisa mengetahuinya!?”
Astaga,
ini mengejutkan sekali!
Tentu
saja aku bisa memahami apa yang sedang dipikirkan Towa-kun... Tapi bagaimana
Setsuna bisa tahu sampai sejauh itu?
Hmm, kenapa ya?
“Memangnya
kamu pikir aku sudah berapa lama menjadi temanmu?
Memang aku juga heran kenapa bisa tahu, tapi mungkin
itu karena kita selalu
bersama-sama.”
“...
Apa iya
begitu?”
“Iya,
begitulah.”
Hmm...
Tapi aku sendiri tidak bisa membaca ekspresi Setsuna
dari belakang.
Sudah jelas,
kalau
aku mengatakan hal itu, mungkin Setsuna akan kesal, jadi lebih baik
tidak usah kukatakan.
“Tapi
sudah diduga, kurasa Yukishiro-kun sendiri tidak akan bisa tahu.”
“...
Tapi Towa-kun pasti akan mengerti.”
Aku
menjawab dengan nada sedikit ketus.
Setsuna hanya terkekeh-kekeh... Tapi
sebenarnya, sejak tadi aku juga merasa ada yang mengganjal dari Setsuna, seperti ada sesuatu yang
ingin dia tanyakan padaku.
“Setsuna, apa ada sesuatu yang ingin kamu tanyakan padaku?”
“Ti-Tidak ada kok...”
“Wah,
sepertinya ada yang mau membalikkan keadaan... Ayo, ceritakan saja.”
“...
Hei, Ayana? Sudah kuduga, kamu jadi
sedikit berbeda sejak kamu mulai
berpacaran dengan Yukishiro-kun.”
Aku sama
sekali tidak peduli tentang itu sekarang, jadi biar aku yang
bertanya.
“Kamu tidak
perlu menyembunyikannya. Lalu, ada apa?”
“...
Ternyata Ayana bisa
peka terhadap hal-hal yang menyangkut diriku juga ya.”
“Yah,
kalau melihat ekspresimu yang gelisah itu, bahkan orang yang tidak terlalu
dekat denganmu pun pasti akan menyadarinya.”
Setsuna yang
sepertinya sudah pasrah,
menghela napas dan berdiri dari kursinya, dia lalu
mengajakku keluar kelas.
Aku pun ikut
berdiri, dan saat aku hendak mengikutinya, tiba-tiba Towa-kun
muncul di depanku.
“Ah...”
“Oops.”
Dengan
suara debuman pelan, aku tertarik ke dalam dada Towa-kun yang kokoh. Berbeda
denganku yang lembut, dada Towa-kun terasa begitu kuat dan tegap... Tapi
Towa-kun juga sangat menyukai
dadaku yang lembut dan kenyal
ini, jadi kami berdua memang
cocok!
“Towa-kun...”
“Maaf.
Aku tidak akan melakukan ini jika itu orang lain, tapi aku langsung tahu kalau
itu Ayana, makanya aku melakukan ini.”
“Tidak
apa-apa kok~♪”
Ah...
Towa-kun memang pangeranku.
Di tempat
umum seperti sekolah dan kelas yang dipenuhi orang, aku bisa merasakan
seluruh diri Towa-kun yang begitu kucintai... Ah, iya, aku masih ada urusan penting dengan Setsuna!
“Maaf
Towa-kun, aku harus pergi sebentar untuk bicara dengan Setsuna.”
“Dengan
Toudo-san?
Baiklah, pergilah.”
“Aku
pergi dulu ♪”
Aku dengan
berat hati meninggalkan Towa-kun dan
menuju ke tempat Setana yang memandangku dengan tatapan heran.
“Kamu ini... Yah, sudahlah.”
“Maaf
Setsuna. Jadi, apa yang ingin kamu bicarakan?”
Meskipun ada banyak siswa yang berlalu-lalang di lorong depan kelas,
tapi hanya sedikit yang benar-benar memperhatikan kami. Dan tidak ada yang
benar-benar peduli dengan isi pembicaraan kami.
Setsuna bertanya dengan sedikit
gelisah, sambil sesekali melihat-lihat ke area
sekitar.
“Yah...
Sebenarnya ini masih terlalu dini bagiku, tapi...”
“Ya?”
“Aku
penasaran, bagaimana caranya... supaya
bisa memiliki hubungan yang saling percaya seperti kamu dan Yukishiro?”
“Jadi maksudmu...Ah,
begitu rupanya...”
“Aku akan
sangat terbantu jika kamu tidak bertanya
lebih dalam... Ah, dan kalau misalnya aku mulai berpacaran, apa ada saran yang
harus kuingat?”
Wah, wah, hmm,
jadi begitu rupanya... Aku paham maksudnya.
Aku
memang bukan orang yang terlalu lamban untuk mengerti apa yang sedang dia
pikirkan, dan aku juga tahu siapa yang sedang ada di pikirannya saat wajahnya
memerah.
Aku
melirik sekilas ke arah Someya-kun yang sedang mengobrol
dengan teman-teman, lalu mulai berbicara dengan nada menasihati.
“Hubungan
saling percaya antara aku dan Towa-kun itu... Kalau membahasnya, bisa-bisa
waktu istirahat makan siang tidak akan cukup. Jadi lebih baik kita simpan dulu
pembicaraan itu.”
“Ah,
oke, disimpan dulu.”
Aku
mengangguk, lalu melanjutkan sambil membayangkan Towa-kun.
“Kamu
mengatakan kalau bagaimana bisa seperti aku dan Towa-kun, jadi aku akan
mengatakan jawabannya, oke? Intinya, aku sangat mempercayai
Towa-kun, dan Towa-kun juga mempercayaiku.”
“Saling
percaya...”
Menurutku,
hal itu memang penting bagi setiap pasangan... Bahkan bagi suami-istri
sekalipun, untuk bisa mempertahankan hubungan dalam jangka panjang, yang
dibutuhkan adalah saling memahami dan mencintai satu sama lain.
“Berusahalah
agar tidak hanya kamu saja yang
mempercayai pasanganmu, tapi pasanganmu juga harus bisa mempercayaimu. Caranya,
yang paling penting adalah, jangan pernah melakukan hal-hal yang bisa
menimbulkan kesalahpahaman.”
“Kesalahpahaman?”
“Ya,
bahkan kesalahpahaman kecil pun bisa merusak hubungan dengan parah. Jadi aku
tidak akan pernah melakukan hal-hal yang bisa menimbulkan kesalahpahaman...
Misalnya, terlalu dekat dengan laki-laki lain, atau... pergi berdua saja dengan orang
lain.”
“Begitu
ya...”
“Yah,
seberapa dekat kita dengan orang lain itu memang masalah kadarnya. Tapi aku
tidak mau hubunganku dengan Towa-kun menjadi dingin hanya karena kesalahpahaman
kecil.”
“...Aku
memang belum punya pacar, jadi aku masih tidak
mengerti. Tapi aku juga tidak mau melakukan hal-hal yang bisa menimbulkan kesalahpahaman.”
Itu
benar... Untuk bisa menjadi sepasang kekasih, hubungan pertemanan harus
berkembang menjadi lebih dalam. Meskipun lebih dalam daripada pertemanan, tapi
hubungan itu juga bisa rapuh dan mudah hancur karena hal-hal kecil... karena aku pernah berusaha
menghancurkannya.
“Pasti
akan terpikirkan 'Dia tidak mungkin melakukan itu' atau 'Kalau
terjadi yang terburuk bagaimana'. Tapi justru karena itu, aku tidak ingin
Towa-kun sampai berpikir seperti itu tentangku... Cara berpikir seperti itu bisa
mengubah banyak hal, lho.”
“...
Begitu ya.”
Meskipun
ini hanya menyangkut hubunganku dan
Towa-kun, aku tidak bisa menjamin bagaimana orang lain akan memikirkannya. Tapi
secara pribadi, aku pikir itu cara berpikir yang sangat bagus.
“Dan
tentu saja! Towa-kun juga...”
“Pasti
memikirkanmu sama seperti kamu
memikirkannya, ‘kan? Itu
sudah jelas, kamu tidak
perlu memberitahuku. Malahan,
hanya dengan melihat Yukishiro sehari-hari, aku sudah tahu.”
“...Ugh,
aku ingin mengatakannya sendiri.”
Dasar Setsuna... Padahal aku sudah siap untuk mengatakan
itu dengan bangga!
“Pacar, ya... Yah, aku tidak sampai mengidolakannya sih, tapi ada orang yang
menyenangkan untuk diajak bersama. Mungkin suatu saat nanti.”
“Semangat
terus ya. Kalau ada apa-apa, aku siap
membantumu.”
“Terima
kasih.”
Aku
tersenyum ketika melihat wajah Setsuna
yang memerah karena malu. Kurasa mungkin
ada baiknya juga aku menambahkan nasihat sedikit
lagi.
“Setsuna.”
“Ap-Apa?”
Merasakan
nada seriusku, Setsuna pun
sedikit menegakkan ekspresinya.
“Memang
ini bukan hal yang sering terjadi, tapi di dunia ini ada orang-orang yang ingin
menghancurkan kebahagiaan orang lain. Ada yang mencoba menyela hanya karena
tertarik dengan pacar orang lain. Jadi, meskipun kamu melihat pemandangan yang sulit
dipercaya, cobalah dulu bicara dengan pasanganmu untuk memastikan. Baru setelah
itu, kamu bisa menilainya dan bertindak.”
“Ayana... Kamu benar. Pada akhirnya, ini adalah hubungan kami
berdua, jadi kami tidak boleh membiarkan orang lain
mempengaruhinya. Kalau aku punya pacar suatu hari nanti, aku akan benar-benar
mempercayainya.”
“Hehe,
itu semangat yang bagus.”
Lebih
baik aku tidak usah menggodanya dengan bertanya siapa yang dia maksud.
(Yah, meski begitu...)
Orang-orang
berbahaya yang kuceritakan pada Setsuna tadi memang banyak berkeliaran
di dunia ini.
Bahkan
aku sendiri pernah melakukan sesuatu yang mirip, berusaha menghancurkan
hubungan Shu-kun dengan gadis-gadis yang dekat
dengannya.
Aku tidak
berniat menjadikannya sebagai bahan
lelucon, tapi aku sudah melangkah maju
bersama Towa-kun, dengan membawa masa lalu itu.
“Istirahat
makan siang... Tinggal 15 menit lagi ya. Rasanya kita sudah cukup banyak
bicara.”
“Memang...
Tapi masih ada satu hal lagi yang ingin kutanyakan...”
“Mau tanya
apa lagi?”
“Ah...umm... Itu... Begini...”
“???”
Oh?
Tingkah
malu-malunya ini... Aku belum pernah
melihatnya sebelumnya.
Sebenarnya
apa yang ingin Setsuna
tanyakan padaku?
Dia
adalah teman berharga bagiku, dan aku senang dia mau berkonsultasi denganku.
Jadi, sebisa mungkin aku akan menjawabnya agar bisa membantunya.
“...
Kamu bilang kalau aku boleh
tanya apa saja, ‘kan?”
“Tentu
saja.”
Sambil
terus celingukan ke sana-kemari, Setsuna
akhirnya membuka suara.
Isi dari pertanyaannya memang cukup
memalukan untuk didengar.
“...
Bagaimana rasanya... berhubungan intim?”
Saat
mendengar pertanyaan Setsuna, aku
hampir saja tertawa, tapi aku berusaha menjaga ekspresi wajahku dan menjawab
dengan penuh tanggung jawab.
“Maksudmu
s*ks?”
“Kenapa kamu malah menjawabnya dengan sangat blak-blakan!?”
“Yah,
memang itu istilahnya, bukan kata yang memalukan... Setidaknya secara teknis.”
“Aku
tahu... Tapi tetap saja! Dasar Ayana,
sejak berpacaran dengan Yukishiro,
kamu jadi terlalu mesum!"
Sebenarnya
anak ini bicara apa sih... Bukannya hal itu
merupakan hal baru bagiku, kok.
Tapi
memang pemandangan yang cukup aneh.
Penampilanku
memang tidak terlalu mencolok dibanding Setsuna,
tapi justru Setsuna yang
terlihat lebih malu-malu, padahal topiknya adalah hal-hal erotis.
“Maaf
sudah menjawab dengan blak-blakan. Tapi soal ini, aku tidak bisa banyak
berkomentar. Ini masalah yang cukup sensitif, dan juga ada kaitannya dengan
Towa-kun!”
“...
Kamu benar. Akulah yang seharusnya meminta maaf.”
“Tapi!”
Sedikit
saja tidak apa-apa, pikirku, lalu aku berbisik
pelan untuk menggambarkan suasana dan perasaan yang
kurasakan. Karena tidak bisa didengar orang lain, Setsuna langsung memerah seperti
kepiting rebus dan menjauh dariku.
“...
Ternyata Ayana yang
anggun ini juga bisa begitu ya.”
“Aku
memang tidak tahu apakah aku ini 'anggun', tapi senang rasanya diinginkan oleh
seseorang yang kamu cintai. Tentu saja aku juga menginginkannya~♪.”
“O-Ohh....”
Aku
berkedip nakal saat mengatakannya, lalu Setsuna
bertepuk tangan dengan kagum.
Karena waktu istirahat makan siang sudah
hampir habis, jadi kami berdua pun bergegas kembali ke kelas.
Tapi sebelum masuk, Setsuna
bertanya lagi padaku.
“Omong-omong,
kalau ada perempuan yang berusaha merebut Yukishiro darimu, apa yang akan kamu lakukan, Ayana?”
“Akan
kubunuh.”
... Ups, perkataan itu secara refleks keluar dari mulutku. Aku
harus belajar untuk tidak mengatakan hal-hal seperti itu.
“Kamu cuma bercanda, ‘kan?”
“Duhh, tentu
saja aku hanya bercanda. Mana mungkin aku
melakukan hal semacam itu.”
“Ah,
syukurlah... beneran hanya
bercanda, kan?”
Hei Setsuna, kenapa kamu terlihat begitu lega?
Meskipun
dulu aku pernah membenci seseorang, tapi aku tidak mungkin melakukan hal bodoh
seperti itu.
“...
Tapi tatapanmu tadi terlihat serius
lho.”
“Eh?”
“Bukan
apa-apa, lupakan saja!”
Jangan
menatapku seolah-olah aku ini semacam monster.
Karena
waktunya sudah hampir habis, jadi kami buru-buru masuk ke dalam kelas.
“...
Terima kasih, Ayane.”
“Aku senang
bisa membantu.”
Pada awalnya
kami membicarakan hal yang serius, lalu di pertengahan sedikit menyinggung
topik yang agak erotis, dan di akhir kembali ke topik yang serius. Tapi aku akan merasa senang jika itu bisa bermanfaat
bagi Setsuna.
Dengan
ini, sesi konsultasi kecil dari Setsuna
pun berakhir.
Dan esok
harinya, saat sepulang sekolah, giliran aku dan Towa-kun yang akan diwawancarai
oleh anggota klub koran, Bundou-senpai.
▼▽▼▽
(Sudut
Pandang Towa)
“Baiklah,
akhirnya waktunya pun tiba!”
“......”
“...
Hei Towa-kun, bukannya ia terlalu berisik,
ya?”
Ayolah
Ayane, tidak perlu mengatakannya dengan begitu blak-blakan.
(Tapi ya benar juga... Dia
memang berisik sekali. Mungkin karena terlalu berisik, dia sengaja memilih
tempat yang sepi?)
Kurasa
pikiranku tidaklah salah.
Tapi...
Saat berhadapan dengan Bundou-senpai
ini, aku merasakan aura jurnalis yang sangat kuat darinya.
“Maafkan
aku soal keberisikanku, sifat itu
memang susah untuk diperbaiki. Nah, kalau begitu langsung saja kita mulai
wawancaranya!”
Dan
dimulailah wawancara oleh Bundou-senpai.
Berbeda
denganku yang merasa gugup, Ayana
justru terlihat sangat bersemangat sejak pagi, dan sekarang antusiasmenya tampak meluap-luap.
“Baiklah,
pertama-tama, Otonashi-san,
bagaimana pendapatmu tentang Yukishiro-kun?”
“Dia
orang yang paling kucintai. Dia bagaikan pangeran. Aku tidak ingin berpisah
dengannya. Kalau bisa, aku ingin segera menikah dengannya sekarang juga.
Towa-kun sangat tampan, jadi aku ingin mengurungnya agar tidak terlihat oleh
perempuan lain.”
“Me-Mengurung...?”
“Itu
hanya bercanda, kok."
Bundou-senpai mencatat dengan penuh
semangat semua jawaban mengalir dari Ayana.
Meskipun
kata ‘mengurung’ itu sempat membuatnya terkejut, tapi selain itu, Bundou-senpai terus tersenyum lebar
dan mencatat dengan kecepatan yang hampir tak terlihat. Hei, apa-apaan dengan mereka berdua ini... Bukannya mereka sedikit
menakutkan?
“Jadi
intinya, kamu
benar-benar sangat
mencintai Yukishiro-kun, ya. Selama
ini aku sudah mewawancarai beberapa pasangan, dan memang sering mendengar
mereka saling mengungkapkan perasaan. Tapi ungkapan perasaanmu terasa lebih
dalam dari yang pernah kudengar.”
“Tentu
saja! Karena ini tentang Towa-kun
dan aku!”
“Haha!
Memang benar dugaanku! Meskipun mungkin terkesan terlalu berlebihan, tapi
sebagai pewawancara, aku memang ingin melihat hal seperti ini!”
Sejak tadi
mereka berdua terus mengobrol tanpa henti.
Tapi
meskipun begitu, melihat Ayana
yang begitu bersemangat dan bahagia, aku juga ikutan
merasa senang.
“Yukishiro-kun
yang dengan lembut memperhatikan Otonashi-san
yang berbicara dengan riang... Aku ingin sekali memotret pemandangan ini,
boleh?”
“Tentu saja, tidak masalah.”
“Aku
juga tidak keberatan.”
Tapi, saat
aku melihat semua ini, entah kenapa aku seperti teringat dengan kenangan kehidupanku di masa lalu.
Setidaknya
di kehidupanku
sebelumnya, aku sama sekali tidak punya pacar. Dan seandainya pun ada,
interaksi seperti ini pasti tidak akan terjadi... Lagipula, bertemu orang
seperti Bundou-senpai
juga bukan hal yang biasa.
(...
Kenapa?)
Tiba-tiba aku
sedikit mengerutkan keningku.
Ketika
memikirkan kehidupan sebelumnya, entah kenapa hal itu terus mengganggu
pikiranku... Padahal Ayana ada di
sampingku, dan kami sedang diwawancarai Bundou-senpai,
tapi pikiranku justru tertuju ke sana.
(... Aku
sudah memutuskan untuk hidup sebagai Towa.
Aku sudah menemukan
jawabanku sendiri, dan dengan kemauanku sendiri aku jatuh cinta pada Ayana... Lalu kenapa sekarang kenangan
masa lalu itu tiba-tiba muncul?)
Bukan
dalam bentuk kilasan-kilasan adegan, tapi lebih seperti... Aku tidak bisa
menjelaskannya dengan kata-kata.
“Yukishiro-kun, ayo lebih tersenyum lagi!”
“Ah,
maaf!”
Sepertinya
aku terlalu larut dalam pikiranku sendiri.
Ini
kesempatan untuk difoto bersama Ayana
untuk dimuat di koran, jadi aku
tidak boleh pasang wajah murung.
“Bagus...
Bagus sekali kalian berdua!”
Bundou-senpai terus memotret kami
dengan semangat. Berkat kemampuan menyemangatinya yang hebat, aku dan Ayana tak henti-hentinya tersenyum.
“Towa-kun,
bisa kita foto dengan pose berpelukan?”
“Baiklah.”
Sembari mengikuti
permintaan Ayana, aku lalu merangkul bahunya.
Sepertinya
ini adalah momen yang dinanti-nanti Bundou-senpai,
karena setelah ini dia mengambil foto terakhir.
“Towa-kun...”
“Ya?”
“Maaf...
Sebenarnya dari tadi aku menahan diri.”
“...
Ah, begitu rupanya. Pergilah.”
Ayana segera keluar dari ruang kelas seraya mengatakan kalau dirinya akan segera kembali.
“Dia kenapa?”
“Seharusnya
kamu bisa menebaknya, Senpai."
Meski begitu, sepertinya ia masih tidak
mengerti, tapi setelah kubilang kalau dia
ke toilet, Bundou-senpai
langsung membungkuk minta maaf dan memintaku untuk tidak bertanya padanya.
“...
Ternyata aku masih kurang peka dalam hal-hal seperti ini.”
“Yah,
tidak usah terlalu dipikirkan juga.”
“Apakah
nanti, saat aku juga punya pacar, aku akan jadi lebih peka?”
“Mungkin
tergantung orangnya. Kalau kasusku,
mungkin karena aku sudah lama bersama Ayana.”
Kadang
memang perlu dijelaskan langsung kalau ingin menyampaikan maksud tertentu.
“Ah,
tapi hari ini benar-benar berharga. Aku terlalu fokus mendengarkan penjelasan Otonashi-san
sampai lupa bertanya padamu juga."
“Tapi
aku senang melihat Ayana terlihat
begitu senang.”
“Begitu,
ya! Kalau begitu, biar kuperiksa sekali lagi pendapatmu, Yukishiro-kun.
Bagaimana perasaanmu terhadap Otonashi-san?”
“Dia
orang yang berharga bagiku, aku ingin selalu
bersamanya.”
“Bagus!
Aku akan menggunakan kata-kata itu.”
... Yah,
meskipun itu rasanya sedikit memalukan juga.
Kemudian, setelah
Ayana kembali, kami pamit kepada Bundou-senpai dan bersiap untuk
pulang. Tapi di tengah perjalanan, Ayana
bilang ingin pergi ke suatu tempat, lalu menarik tanganku.
Ternyata
tempat yang dia tuju
adalah taman... Tempat yang akrab dan penuh kenangan bagi kami berdua.
“Kenapa
ke sini?”
“Entahlah...
Aku hanya tiba-tiba ingin bermesraan
dengan Towa-kun di sini."
Ayana kemudian mengajakku ke
tempat yang teduh di bawah pohon.
Pasangan
yang berduaan di bawah naungan pohon...
Pasti akan terjadi sesuatu, kan? Aku sedikit lelah memikirkan hal-hal yang
tidak-tidak.
Atau lebih
tepatnya, setelah menghadapi Bundou-senpai dan sesi pemotretan
yang tidak biasa aku lakukan, wajar saja kalau
aku merasa sedikit lelah.
“Ei!”
“Whoa.”
Ayana
memelukku dengan suara yang manis.
Tidak
hanya menenggelamkan wajahnya di dadaku, tapi juga menempelkan badannya padaku dan melingkarkan
kakinya di kakiku.
Pose yang
biasa ditemui di komik-komik erotis, dan memang membuatku berdebar. Tapi lebih
dari itu, keberadaan Ayana yang
begitu dekat justru memberiku ketenangan, seolah menghapus segala kelelahan
hari ini.
“Sekarang masih
belum terlalu sore, jadi masih terdengar suara anak-anak bermain, ya.”
“Benar...
Kita ini anak SMA yang nakal, ya.”
“Ya,
aku dan Towa-kun memang anak SMA yang
nakal♪”
Memang
masih belum jam 5 sore, jadi di taman masih ada anak-anak yang sedang bermain,
serta orang tua yang menemani mereka, bahkan ada juga pasangan lansia yang
sedang berjalan-jalan. Di tengah semua itu, kami berdua malah bersembunyi di
balik pohon.
“Wawancara
tadi benar-benar menyenangkan. Aku baru pertama kali mengungkapkan rasa cintaku
kepada Towa-kun pada orang yang
baru kukenal.”
“Itu
menunjukkan seberapa besar kamu mempercayai Bundou-senpai, ‘kan?”
“Ia
memang tulus saat mewawancarai kita. Dan orang berisik seperti dia itu bukan
orang jahat, kok... Lihat, ia pasti akan langsung ketahuan kalau berbohong.”
“Ah,
benar juga.”
Aku bisa
membayangkan dengan jelas bagaimana ekspresi Bundou-senpai
jika ketahuan berbohong.
Ayana terkekeh geli, lalu mengangkat
wajahnya mendekati wajahku....
Aku pun membalas dengan menciumnya lembut.
Kami
saling mencium, lalu menjauh, lalu kembali mencium... Sementara Ayana semakin merapatkan dirinya,
menuntut kehangatan dan kelembutan dariku.
“Bermesraan
di tempat teduh memang selalu bikin
berdebar-debar, ya♪”
“...”
Ayana kemudian tersenyum,
tapi.... itu bukan sekedar senyuman biasa. Itu adalah senyum seorang
wanita yang menginginkanku.
Suara-suara
di sekitar kami seakan menjauh... Semakin aku
ingin mencintai gadis ini dengan sepenuh hati, semakin aku hanya bisa melihat Ayana—— seolah-olah saya telah jatuh di
bawah pesona succubus dari manga.
Ah, tapi
aku memang belum pernah terkena pesona semacam itu.
(Tunggu, adegan ini... Ah, begitu
rupanya.)
Setelah
dipikir-pikir, tempat di taman ini adalah tempat di mana Shu memergoki Towa dan Ayane melakukan
sesuatu.
Jadi bisa
dibilang, tempat ini penuh dengan kenangan dan takdir yang bercampur aduk.
Meskipun
kami terus berciuman sampai Ayane puas... tapi aku merasa sedikit kasihan pada
diriku sendiri— meski
tidak ada yang bisa melihat kami,
aku akhirnya menikmati sensasinya sedikit saja.
“Hehe♪
Aku deg-degan karena takut ketahuan. Awalnya hanya kecupan ringan, tapi
akhirnya jadi ciuman yang dalam~♪”
Ayane
menjilat sisa air liur yang menetes
di sudut bibirnya.
Jujur
saja, aku heran kami bisa menahan diri sampai sejauh ini... Yah, mungkin itu
karena kesabaran kami.
“Kalau gitu,
Ayana, ayo kuantar pulang...”
Aku merasa
kalau kami lebih baik jangan
terlalu berlama-lama di sini... Tidak, bukan itu
alasannya. Tapi kalau terus bersama Ayana,
aku mungkin tidak bisa menahan diri lagi.
“Ayana...?”
Namun,
Ayana tetap memelukku tanpa menjawab.
Apa dia
merindukan perpisahan ini, atau berusaha mengatakan
bahwa dia ingin melanjutkan ini... Melihat sikap Ayana, sepertinya ada perasaan
itu, tetapi juga tidak sepenuhnya.
“Towa-kun...
entah kenapa, aku sama
sekali tidak paham.”
“Apanya yang tidak paham?”
“...
Aku merasa cemas.”
“Cemas?”
Ayana
mengangguk dan menjelaskan mengapa dia merasa seperti itu.
“AAku
tidak tahu... tetapi tiba-tiba aku selalu
merasakan perasaan itu. Seolah-olah Towa-kun
akan pergi jauh dari sini... rasa cemas itu menyelimuti hatiku.”
“.........”
Ini bukan
pertama kalinya Ayana mengajukan pertanyaan seperti ini.
Karena
dia sendiri telah menyimpan kegelapan dalam hatinya, mungkin karena kebahagiaan
dalam kehidupan sehari-hari saat ini, dia jadi berpikir seperti itu.
Dengan
tekad untuk menenangkan Ayana yang tidak mau melepaskanku, aku memeluknya lebih
erat dan mendekatkan wajahku ke telinganya untuk berbisik.
“Aku
tidak akan pergi ke mana pun, tidak peduli apa yang terjadi—aku mengerti perasaan cemas itu
karena tidak ada yang perlu dikhawatirkan sekarang. Terkadang, aku juga merasa takut seperti ada
malaikat maut yang mengintai di belakang tanpa suara saat aku sedang mencuci rambutku di kamar mandi.”
“...
Haha, apa-apaan itu?”
Sebenarnya,
jika aku melihat hal-hal yang berhubungan
dengan hantu, aku bisa
jadi seperti ini, kan?
Namun,
karena Ayana tertawa kecil, sepertinya lelucon ini tidak buruk... tetapi
memang, setelah melihat sesuatu yang menakutkan, mandi atau melihat cermin di
wastafel itu benar-benar menakutkan.
“Aku
pasti tidak akan pergi. Sebenarnya, aku
tidak ingin pergi... jadi, jika Ayana merasa cemas, panggil saja namaku. Aku pasti akan menjawabnya.”
“...
Ya!”
Senyuman manis Ayana menghilangkan
kecemasanku... dan memberiku keberanian seolah-olah aku
bisa melakukan apapun untuknya.
Artinya,
apapun yang terjadi, aku bisa berlari ke sisinya... itulah yang kuyakini.
“Tapi...”
“Ya?”
“Aku juga
merasakan hal yang sama, tapi
menurutku Ayana juga harus belajar
sedikit lebih menahan diri di luar.”
“Itu...
tetapi aku masih dalam masa yang sulit
untuk menahan diri!”
Aku hanya
bisa tersenyum pahit mendengar itu.
“Ayana,
dan juga Towa-kun. Harap jaga kesopanan di luar, ya?”
“...
Ya.”
“........”
Ini
adalah kata-kata dari Seina-san
yang keluar menjemput Ayana saat aku
mengantarnya pulang ke rumah.
Baik aku
maupun Ayana merasa wajah kami memerah dan bertanya-tanya bagaimana dia tahu,
dan kami benar-benar bertekad untuk lebih berhati-hati di luar.
Sampai
akhir... atau lebih
tepatnya, ketika aku sedikit menjauh dari tempat itu, aku menyadari bahwa Ayana
mulai berdebat dengan Seina-san.
"Di
saat-saat seperti ini, seharusnya ibu tidak
perlu memberi komentar
segala!”
“Ara,
sebagai orang dewasa, kita harus memberi peringatan, ‘kan?”
"Di
situ, tolong pikirkan situasinya,
oke...!”
“Itu
sih tidak mungkin. Karena itu lebih menark... oh, maaf, aku tidak sengaja mengungkapkan
perasaanku yang sebenarnya.”
“Kiiiiii!!”
Karena
aku tahu bagaimana wajah mereka sebelumnya, aku sangat penasaran dengan
ekspresi mereka saat berdebat, tetapi aku tidak bisa berlama-lama, jadi aku
tidak menoleh... meskipun aku sangat
ingin melihatnya!
Setelah
itu, tanpa mampir ke mana pun, aku langsung pulang
dan melihat ibuku sudah pulang lebih dulu.
“Selamat
datang kembali, Towa.”
“Aku
pulang, bu.”
Ternyata,
ibuku sudah pulang sekitar sepuluh menit yang lalu dan menunggu di depan pintu
sambil bersih-bersih di depan pintu masuk,
berpikir bahwa aku mungkin akan segera pulang.
“Karena
aku bersama Ayana, mungkin aku akan pulang lebih lambat, ‘kan?”
“Hmph! Jangan meremehkan instingku.
Aku sudah tahu semuanya, termasuk itu!”
“...
Oh, begitu.”
Iya,
insting ibuku memang cukup tajam... meskipun aku ingin bilang itu agak
berlebihan, tapi aku mengurungkan
niatku untuk mengatakannya.
“Towa.”
“Ya?”
“Terima
kasih telah pulang dengan senyuman hari ini. Melihatmu yang seperti itu saja sudah membuat semua kelelahanku jadi hilang.”
“...
Ibu.”
“Dan
ditambah lagi aku bisa minum sake lebih banyak!”
Bagaimana
pun, itu pasti adalah perasaanmu
yang sebenarnya, kan...?
Setelah
tiba-tiba berbicara emosional, dia malah
mengalihkan topik ini... tapi, karena ini tentang ibuku, aku tidak bisa mengatakan
hal buruk, jadi aku hanya diam.
Tunggu
sebentar?
Mungkin
aku juga bisa sedikit mengacaukan situasi ini, sesekali?
“...
Baiklah.”
“Towa?
Ada apa?”
Aku
memeluk ibuku dari belakang sambil mengaitkan lenganku dan berbisik.
“Ibu...
terima kasih banyak untuk semuanya. Aku sangat menyayangimu.”
Meskipun
aku bilang mengacaukan, cara ini juga lebih lembut.
Ucapan
terima kasih kepada keluarga tidak akan pernah merugikan, dan meskipun ada
sedikit niat nakal, kata-kata ini berasal dari rasa syukurku kepada ibuku.
“T-Towa...!”
“Ah.”
Oh iya, benar juga!
Ibu
memang orang yang sangat tegas dan bisa diandalkan, tetapi ketika berhubungan
denganku, dia bisa menjadi sangat emosional...
Tanpa
menyadari niatku, ibuku tampak sangat terharu, bahkan sampai menangis dan
memelukku dengan erat.
“...
Ibu, mungkin sudah saatnya berhenti menangis.”
“Tidak!
Aku ingin lebih seperti ini dengan Towa!”
“Memangnya
kamu anak kecil...”
“Babuuu!”
“Itu sih sudah mitip seperti bayi.”
Ini bukan
sesuatu yang bisa dilihat orang-orang di sekitar...
Akhirnya,
ibuku terus menangis sampai dia berhenti, tetapi saat aku merasakan kehangatan
seorang ibu seperti ini, aku mulai berpikir.
(Bukan
hanya Ayana... tapi ada
orang-orang penting di dalam dunia ini yang tidak boleh membuat mereka merasa cemas.)
Bukan
hanya pacarku saja... tapi ibuku juga sama.
Bukan hal
yang buruk karena mempunyai banyak orang yang ingin aku
lindungi, yang ingin aku dekatkan, dan yang tidak ingin membuat mereka merasa cemas,....bukan?
Itu
berarti aku sangat menghargai tempat di mana aku hidup sekarang.
“Towa,
aku bahagia bisa menjadi ibumu.”
“...
Ya.”
Hah...
Ibu, kenapa kamu harus membuatku terharu lebih lagi?
Karena
percakapan ini, selama makan malam dan waktu lain yang kami habiskan bersama,
ibuku terus tersenyum bahagia.
Sudah
jelas... ini adalah sesuatu yang harus aku jaga terus, ‘kan?
Aku
bersumpah pada diriku sendiri seperti itu.