Chapter 5
Keesokan
paginya, Itsuki sedang duduk di mejanya dengan ekspresi seolah-olah ia sedang
dalam suasana hati yang buruk.
Biasanya,
Amane tiba di sekolah lebih dulu, tapi hari ini sepertinya Itsuki berangkat
pagi-pagi sekali. Dilihat dari wajahnya, Ia pasti baru tiba beberapa menit
sebelumnya, lupa betapa dinginnya cuaca
di luar. Meski begitu, Amane bisa
merasakan bahwa kekesalan Itsuki sudah agak mereda dibandingkan sebelum
pertemuan orang tua-guru. Ini berarti bahwa pertemuannya tidak berakhir dengan
hasil yang paling buruk.
“Pagi,” sapa Amane. “Kamu masih terlihat jengkel di pagi-pagi begini.”
“Pagi juga. Itu hal pertama yang kamu
katakan?” jawab Itsuki.
Amane
menyapanya seperti biasa, dan Itsuki mengalihkan pandangannya dari jendela yang
selama ini ia tatap, kini menatap Amane dengan senyum kecut. Setelah mengamati
sikap Itsuki, Amane membenarkan kecurigaan yang dimilikinya, dan sambil
mengangkat bahu, menjawab, “Maksudku,
itu terlihat jelas di wajahmu. Bagaimana kemarin?"
“Hah?
Kamu benar-benar ingin tahu?”
“Bukannya
aku ingin tahu, tetapi bukannya kamu
akan merasa lebih canggung jika aku pura-pura tidak memperhatikan atau jika aku
bersikap seolah-olah aku menghindarinya? Bukankah kamu akan merasa aneh jika aku
mencoba bersikap perhatian?”
“Harus
kukatakan, aku tidak yakin bagaimana perasaanmu tentang semua itu."
“Terima
saja.”
Itsuki
lebih suka orang-orang menghadapinya
secara langsung daripada menunjukkan pertimbangan setengah hati kepadanya. Jika
seseorang mencoba bersikap hati-hati di dekatnya, kemungkinan besar itu akan
membuatnya semakin kesal. Oleh karena itu, Amane yakin lebih baik bertanya
terus terang, meskipun ia terdengar agak kasar. Melihat ekspresi sedikit lega
yang terlihat di wajah Itsuki, jelas bahwa dia telah mengambil pendekatan yang
tepat.
“Yah,
kami tidak benar-benar mendapatkan apa pun. Ia
bersikeras agar aku mendaftar di universitas yang sudah dipilihnya sendiri, jadi kami tidak bisa
sependapat. Aku dimarahi karena memilih mata kuliah untuk ujian masuk sendiri.”
“Ah...”
Amane
sebenarnya telah melakukan hal serupa, tetapi orang tuanya ingin mendukung
pilihan yang dibuatnya, dan ayah Itsuki adalah orang yang mengabaikan pilihan
Itsuki, jadi hasilnya sangat bertolak belakang. Menyadari hal ini, Amane merasa
sedikit bersalah.
“Meski
begitu, aku sudah menyerahkannya,”
kata Itsuki.
“Jadi
kamu menentangnya, ya.”
“Itu
hal terbaik yang bisa dilakukan. Jika aku menunjukkan kelemahan, maka ayahku
pasti akan memaksaku melakukan apa yang dia inginkan. Itulah sebabnya aku
berharap untuk terus maju dengan sekuat tenaga—yah, bisa dibilang itu
satu-satunya pilihan yang tersisa.”
Daripada bermuram durja, Itsuki memilih untuk
menentang ayahnya. Sambil mendesah, dia berkata, “Sungguh, ini benar-benar
menyebalkan,” tetapi matanya masih bersinar dengan secercah harapan.
“Untungnya,
Ibu benar-benar ada di pihakku. Dia memberi tahu ayahku hal-hal seperti, ‘Lihat?
Kamu tidak akan berhasil jika mencoba memaksa seseorang yang menentangmu!’ ‘Nah ‘kan? Jika kamu memaksanya
terlalu keras, dia akan mencapai titik puncaknya dan berhenti mendengarkanmu
sama sekali!’ dan ‘Sudahlah, menyerah saja!’ jadi
semuanya tidak seburuk itu,” jelas Itsuki.
“Ibumu benar-benar berbeda, ya,” kata Amane.
“Dia
berkemauan keras, tetapi dia juga lugas dan tegas. Selalu mengutarakan
pikirannya dengan jelas dan membenci segala sesuatu yang tidak masuk akal atau
tidak adil.”
Sejauh
ini, kesan Amane terhadap ibunya Itsuki
bahwa ibu itu berbicara lebih langsung daripada ibu lain yang pernah
ditemuinya. Tampaknya Itsuki—anaknya—merasakan hal yang sama.
“Menurutku
orang tuaku tidak seperti keluarga pada umumnya,”
Itsuki memulai. “Bukannya
ibuku tidak peduli dengan masa depanku, tetapi dia sangat santai. Dia pada
dasarnya membiarkanku melakukan apa pun selama itu adalah sesuatu yang
benar-benar ingin kulakukan.”
“Yah,
kamu mendapat persetujuannya, jadi bukankah itu hal yang bagus untukmu?” jawab Amane.
“Sebagai
gantinya, dia berkata, 'Bekerjalah sekeras mungkin untuk memastikan kamu
lulus. Karena kamu menginginkan ini, jangan kembali menangis kepada kami nanti.
Selalu bertanggung jawab atas apa yang kamu katakan.'”
“...Ma-Maksudku, itu luar biasa,
menurutku. Ya...”
Dia cukup
pandai berkata-kata, pikir Amane, tetapi karena dia
menjadi sumber motivasi bagi Itsuki, dirinya
menahan diri untuk tidak berkomentar apa pun.
“Tepat
sekali. Jadi aku hanya harus bekerja keras. Hanya itu saja,” kata Itsuki.
“Kita
berdua hanya harus melakukan yang terbaik."
Tahun
depan, mereka berdua akan menjadi pelajar
yang mengikuti ujian masuk universitas. Ketika semuanya sudah dikatakan dan
dilakukan, yang bisa mereka lakukan hanyalah berusaha lebih keras dan melakukan
yang terbaik bersama-sama.
“Kamu sudah memutuskan apa yang ingin
kau lakukan, kan?” tanya
Itsuki.
“Kurang
lebih. Aku belum punya rencana spesifik, tapi aku punya
bidang yang ingin kutekuni. Selain itu, aku hanya ingin bisa berdiri sendiri.
Aku akan menemukan apa yang ingin kulakukan setelah itu, dan jika aku tidak
bisa menjadikannya sebagai karier, aku selalu bisa menjadikannya sebagai hobi.”
“Memiliki
tujuan yang jelas itu bagus. Aku yakin kamu
sangat termotivasi karena kamu
ingin menghabiskan lebih banyak waktu dengan Shiina-san, ya?”
“Diamlah.”
“Heh
heh heh, mungkin kalian akan benar-benar tinggal bersama di universitas.”
“Hei,
ayolah.”
Sekarang
setelah Itsuki bersemangat dan mulai menggodanya sekali lagi, pipi Amane mulai
menegang. Pada saat itu, seseorang dengan suara tenang terdengar menimpali.
“Hei
Itsuki, teruslah menggoda Fujimiya seperti itu dan ia mungkin akan membuatmu merasakan getahmu sendiri.”
Berbalik
ke arah suara itu berasal, tatapan
mata Amane bertemu dengan Yuuta. Ia
memasang ekspresi lembut seperti biasa di wajahnya saat menaruh ransel yang dibawanya.
“Oh,
Yuuta? Selamat pagi,” kata Itsuki.
“Selamat
pagi, kalian berdua,” jawab Yuuta.
“Selamat
pagi,” sapa Amane.
Tenang
seperti biasa, Yuuta dengan lembut menegur Itsuki dengan berkata, “Santai saja,
Bung,” sebelum menjatuhkan ranselnya ke kursinya dan kembali bergabung dengan
mereka. “Ngomong-ngomong, apa yang membuatmu membicarakan itu?”
“Ahh,
kita sedang membicarakan tentang pertemuan
kemarin,” Amane menjelaskan. “Kita sedang membicarakan
tentang rencana masa depan kita ketika orang ini memutuskan untuk mencampuri
urusan orang lain.”
“Bukannya itu agak kasar!?” seru Itsuki.
“Kamu selalu
meledek Fujimiya di setiap kesempatan, Itsuki. Kamu pantas mendapatkannya,” imbuh
Yuuta.
“Kamu sama sekali tidak berniat
memihakku, kan?”
“Tidak.”
Yuuta menggelengkan kepalanya dengan santai, seolah-olah ia baru saja mendengar
hal yang paling jelas di dunia. Itsuki, berpura-pura sangat terguncang,
terhuyung mundur, tetapi Amane dan Yuuta tahu dia hanya berpura-pura. Mereka
saling bertukar pandang dan membiarkan dia melakukan tugasnya.
“Semua
orang terus membicarakan pertemuan
akhir-akhir ini, bukan?”
“Ya.
Kurasa itu pengingat yang menyakitkan bahwa ujian kita sudah semakin dekat.”
“Bagaimana
kalian bisa bersikap begitu kejam?” seru Itsuki, dengan cepat pulih dari
keputusasaannya yang dramatis. Nada suaranya yang sedikit kesal tidak
menunjukkan kemarahan yang sebenarnya saat dia bergabung kembali dengan
percakapan Amane dan Yuuta. Ini semua adalah bagian dari olok-olok mereka yang
menyenangkan, sesuatu yang mereka bertiga pahami dengan sangat baik.
Sementara
itu, dari jarak yang agak jauh, Chitose dan yang lainnya berkomentar, “Mungkin Ikkun benar-benar
menikmati diperlakukan seperti itu?”
dan “Ia benar-benar memancarkan aura
itu, bukan?” Amane
hanya berharap mereka setidaknya cukup tenang sehingga Itsuki tidak
mendengarnya.
“Kadowaki,
pertemuanmu diadakan lusa nanti, ‘kan?”
Amane bertanya.
“Ya. Aku
sangat senang adikku tidak
bersamaku hari itu.”
“Aku
yakin mereka ingin ikut—!” timpal Itsuki.
“Ahaha…
aku benar-benar menolak membiarkan hal itu terjadi.”
Amane
belum pernah bertemu langsung dengan saudara perempuan Yuuta, tapi Ia sudah
cukup banyak mendengar dari orang lain tentang betapa kuatnya kepribadian
mereka, Sebagai anak tunggal, Ia merasa sedikit bersimpati terhadap Yuuta.
Ia
benar-benar mengalami kesulitan.
“Kadowaki,
apa kamu sudah memutuskan jalur
kariermu?”
“Ya, aku
bermaksud mendapatkan beasiswa olahraga. Kalau tidak berhasil, aku akan
mendaftar lewat jalur penerimaan biasa.”
“Kamu berhasil menorehkan prestasi di
turnamen terakhirmu… Itu sangat mungkin untukmu, Yuuta,” jawab Itsuki.
Bahkan
sebagai pelajar kelass 2, Yuuta telah meraih hasil
yang luar biasa di berbagai turnamen, dan Amane bahkan telah melihatnya di atas
panggung pada upacara penghargaan beberapa kali. Tidak diragukan lagi bahwa Yuuta memiliki
potensi untuk mendapatkan tempat bergengsi yang ditujunya. Selain itu, Yuuta
tidak hanya unggul dalam olahraga, tetapi ia juga memiliki nilai yang sangat
baik, yang memberinya banyak pilihan untuk dipilih.
“Kuharap aku berhasil, tetapi
sebenarnya ada beberapa orang lain yang selevel denganku. Aku harus terus
meningkatkan kemampuanku.”
“Yuuta,
kamu benar-benar meremehkan dirimu sendiri, ya?”
“Meremehkan?
Bukannya itu keahlian Fujimiya?”
“Oi!”
“Hahaha, cuma
bercanda kok.”
“Lihat,
bahkan Yuuta menganggap itu keeahlianmu.”
“Cerewet ah.”
Amane
sendiri mengakui bahwa ia memiliki kecenderungan untuk meremehkan dirinya
sendiri, tetapi dibandingkan sebelumnya, ia kini telah memperoleh lebih banyak
kepercayaan diri. Bahkan di saat-saat ia merasa tidak yakin pada dirinya
sendiri, Amane kini dapat mengenalinya dan memiliki pola pikir yang positif. Ia
telah bekerja sangat keras untuk meningkatkan dirinya dan telah mengatasi
banyak tantangan pribadi.
Karena
ejekan mereka hanyalah bentuk candaan yang menyenangkan, Amane hanya
berpura-pura sedikit kesal.
“Tapi tetap tidak dapat disangkal bahwa aku
masih memiliki jalan panjang yang harus ditempuh,”
lanjut Yuuta. “Pelatihku
mengatakan kalau aku masih memiliki banyak potensi dan ruang
untuk berkembang, jadi aku harus terus bekerja keras, baik dalam olahraga
maupun studiku.”
“Tim
lari memang memiliki jagoan yang pekerja keras.”
“Jika
aku tidak terus memberikan yang terbaik, posisiku sebagai jagoan akan diambil
dariku dalam waktu singkat. Aku tidak akan pernah melepaskan posisi ini, tidak
sampai aku pensiun. Sebagai kapten tim, aku ingin berdiri dengan bangga saat
memimpin para anggota.”
“Oh iya, benar, kamu kaptennya... Itu pasti sulit.”
Ia
pasti lebih sibuk sekarang, pikir Amane, mengingat bahwa
Yuuta telah menjadi kapten tim tepat setelah liburan musim panas. Namun, Yuuta
tidak menunjukkan tanda-tanda akan menyusulnya dan dengan santai berkata, “Yah, semua orang sudah mampu,
jadi tidak banyak yang perlu kulakukan”,
terdengar sama sekali tidak peduli. “Kazuya adalah wakil kapten, dan pelatih
kami juga selalu ada untuk kami. Aku merasa
senang memiliki anggota klub yang dapat diandalkan—terkadang aku merasa bersalah karena tidak
melakukan banyak hal sendiri.”
“Mereka
pasti tumbuh dengan mengikuti contoh kapten mereka yang pekerja keras,”
komentar Itsuki.
“Benar,
kan?”
“Memujiku takkan membuat kalian mendapat hadiah,
lho.”
“Hanya
berpikir untuk mencoba membuatmu tersipu,” canda Itsuki.
Yuuta
sama sekali tidak emosian
oleh seringai menggoda Itsuki dan hanya menatapnya dengan senyum yang sama
cerahnya.
“Benarkah?
Kalau begitu mungkin aku akan mencoba membuatmu tersipu juga, Itsuki. Hei,
Fujimiya, beberapa hari yang lalu Itsuki sebenarnya—”
“Aku benar-benar minta maaf. Aku merasa kapok.”
Amane
tidak percaya betapa cepatnya Itsuki mengubah nada bicaranya. Melihatnya
meminta maaf dengan sungguh-sungguh, Amane menyadari bahwa Itsuki pasti telah
melakukan sesuatu yang tidak ingin diketahui orang lain. Sayangnya, pembicaraan
itu keluar jalur sebelum Amane bisa mendapatkan detailnya, tetapi apa pun itu,
jelas bahwa itu dapat digunakan sebagai senjata ampuh untuk melawan Itsuki.
“Apa
yang kamu lakukan? Atau coba lakukan?”
tanya Amane.
“Bukan
apa-apa— asal jangan
tanya saja.”
“Ahahaha. Karena Itsuki memohon dengan
matanya untuk meminta maaf, aku akan mengampuninya
kali ini.”
“Kadowaki,
apa kamu benar-benar orang yang paling menguasai Itsuki...?”
Tidak ada
sarkasme di balik senyum riang Yuuta.
Kadowaki
bisa menjadi sekutu yang kuat untuk mengendalikan Itsuki.
Meskipun Amane membayangkan bahwa dirinya
sendiri akan merasa canggung jika ia mengetahuinya, Amane yakin akan
kekuatannya. Dirinya lalu
mengalihkan pandangannya ke Yuuta, yang senyumnya masih bersinar cerah.
✧ ₊
✦
₊ ✧
Pertemuan
orang tua dan guru Mahiru dijadwalkan agak terlambat, jadi Amane menghabiskan
waktu dengan belajar di perpustakaan. Ketika dirinya
menerima pesan dari Mahiru yang mengatakan bahwa pertemuan itu sudah selesai,
ia menuju ke tempat pertemuan mereka di dekat loker sepatu.
Sekali
lagi, Amane mengambil cuti dari pekerjaan paruh waktunya
hari ini. Ia tidak
ingin membiarkan Mahiru pulang sendirian.
Saat
cahaya senja masuk melalui jendela di
sampingnya, Amane berjalan melewati gedung sekolah yang sekarang sudah cukup
sepi, dan segera tiba di pintu masuk. Mahiru sudah sampai di sana sebelum dirinya tiba, sudah berganti pakaian dengan
sepatu pantofelnya. Dia berdiri di sana dengan smartphone
di tangannya.
Melalui
pintu yang terbuka, rona kemerahan dari matahari yang terbenam, menyinari
rambut pirang Mahiru dengan jelas. Tanpa ada siswa lain di sekitarnya, sosoknya
yang berdiri tampak agak kesepian.
“Kerja
bagus.” Karena ingin mengatakan sesuatu, Amane
memanggil Mahiru. Dia menatap
ponselnya, tapi segera mengangkat kepalanya dan memberikan senyum lembut.
“Terima
kasih sudah menunggu. Maafkan aku karena membuatmu menunggu.”
Saat
Mahiru bergegas menghampirinya dan berhenti di tepi jalan yang masih
memungkinkan untuk berjalan dengan sepatu luar ruangan, Amane merasa
seolah-olah ia hampir bisa melihat ekor yang bergoyang di belakangnya. Meskipun
ia hampir mengeluarkan suara geli, Amane pikir
itu mungkin terlihat aneh, jadi ia menyamarkannya dengan bersenandung dan
dengan lembut menepuk-nepuk rambutnya yang lembut.
“Tidak masalah. Aku tetap tinggal karena aku menginginkan begitu.
Sebenarnya, itu seharusnya kalimatku. Di sini pasti dingin.”
“Kamu masih sama seperti biasanya,
Amane-kun. Menyalahkan
dirimu sendiri agar tidak membuatku
merasa bersalah.”
“Jangan
membuatku merasa bersalah.”
“Hehe,
aku bisa membacamu seperti buku, Amane-kun. Karena itu, aku ingin mengucapkan
terima kasih.”
“Jangan
terlalu dipikirkan.” Meskipun ia senang bahwa Mahiru memahami jalan pikirannya,
itu juga merepotkan karena ia bisa mengetahui semuanya. Kali ini, perasaan malu
yang menang.
Namun,
tampaknya Mahiru telah mengetahui hal itu. Sebuah tawa kecil yang lembut dan
geli keluar dari bibirnya. Merasa malu, Amane berbalik dan membuka loker
sepatunya.
✧ ₊
✦
₊ ✧
“…Bagaimana
hasilnya?”
Setelah
berjalan pulang dengan santai, Amane ragu-ragu sejenak sebelum bertanya pada
Mahiru. Dia segera mengerti apa yang
dimaksud Amane dan mengeluarkan suara “Hmm” yang sedikit bermasalah dia
sudah menghadapinya dengan caranya sendiri, yang tercermin dari sikap cerianya.
“Cukup
sulit untuk menggambarkan bagaimana kelanjutannya. Mengenai ketidakhadiran
orang tuaku,
tampaknya para guru akhirnya menyadari ketidakmungkinan tersebut selama satu
setengah tahun terakhir guru menerima jawabanku, meskipun bukannya tanpa
cemberut.”
“Sungguh,
mereka tidak bisa disalahkan.”
“Pada
kenyataannya, aku sudah tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Aku sudah berasumsi
bahwa mereka tidak akan hadir.” Mahiru mengatakannya dengan nada datar dan
menunduk, mendesah lelah seolah berkata, ‘Ya ampun’. “Sejujurnya, rasanya agak canggung jika kamu mengkhawatirkan hal ini. Sudah
terlambat untuk mengubah apa pun sekarang. Meskipun aku memberi tahu mereka
sebelumnya, rapat itu berlangsung dengan suasana yang suram… Itu malah
membuatku merasa malu.”
“Karena itu topik yang sensitif, jadi
kupikir mereka hanya tidak yakin bagaimana cara mengungkitnya.”
“Aku
mengerti itu, tetapi melihat mereka mencoba bertele-tele
menghindari masalah itu tidak menyenangkan, terutama ketika aku tidak
benar-benar peduli dengan situasinya.”
“Meski
begitu, guru-guru kita pasti khawatir. Apa ada masalah yang muncul selama pertemuan itu sendiri?”
“Yah, aku
sudah bekerja cukup keras. Mereka sama sekali tidak peduli dengan akademisku.
Karena nilai dan perilakuku juga
bukan masalah, mereka mengatakan bahwa aku
seharusnya dapat dengan mudah mendaftar di universitas pilihanku, mengingat persyaratan masuknya.
Idealnya, aku lebih
suka mendapatkan rekomendasi untuk penerimaan awal, tetapi jika itu tidak
berjalan dengan baik, aku
berencana untuk mendaftar seperti biasa.”
Guru
mereka memiliki penilaian yang adil. Jika Mahiru dianggap sebagai siswa
bermasalah, maka sebagian besar siswa juga akan berpikir demikian. Jika ada
satu hal yang patut dibicarakan, maka
Mahiru tidak menjadi bagian dari klub mana pun, dan hal tersebut merupakan sesuatu
yang pernah dialami Amane juga, Namun, karena Mahiru secara
aktif mengikuti ujian praktik untuk mengejar kualifikasinya, sepertinya hal itu
bukanlah sebuah kelemahan besar.
Yang
membuat Amane penasaran adalah jalan yang ingin diambil Mahiru, sebuah topik
yang mereka berdua diskusikan secara serius sampai sekarang.
“Kamu mau masuk ke universitas mana,
Mahiru?”
“Idealnya,
aku ingin mendaftar di universitas yang sama yang kamu tuju. Meski begitu, kita
akan berada di fakultas yang
berbeda,” jawab Mahiru dengan santai, membuat Amane tertegun. Sambil tersenyum tipis, Mahiru menambahkan, “Ah,
Aku tidak memilih ini hanya karena aku ingin bersamamu, Amane-kun. Aku sendiri
yang membuat keputusan. Aku tidak akan memilih kampusku
berdasarkan asmara saja.”
“Ya.
Aku tahu kamu tidak akan membiarkan orang lain menentukan masa depanmu, Mahiru.”
Dia
terkikik, “Aku tidak
akan bertindak sejauh itu…tetapi sebenarnya ada beberapa hal yang membuatku ragu-ragu.”
“Misalnya?”
“Misalnya saja, um, katakanlah kita berdua
diterima di universitas pilihan kita ... Lokasi apartemen
kita saat ini mungkin sedikit merepotkan. Artinya, kampus akan cukup jauh dari
sini. Tapi aku cukup menyukai tempat
ini, mengingat daerahnya.”
“Hmm, ya,
mungkin butuh waktu lebih dari satu jam untuk sampai ke sana sekali jalan,”
Amane setuju. “Meski jaraknya tidak
terlalu buruk, tetapi perjalanan yang lebih singkat pasti akan membuat
segalanya lebih mudah.”
Universitas
pilihan mereka terletak di dalam 23 distrik di Tokyo, tetapi karena mereka
tinggal di luar distrik dan harus berjalan cukup jauh ke stasiun terdekat,
perjalanan pulang pergi dari tempat tinggal mereka saat ini akan memakan banyak
waktu.
Meskipun
mereka tidak akan kehilangan banyak waktu dibandingkan dengan mereka yang
melakukan perjalanan dari prefektur lain, mereka tetap ingin meminimalkan waktu
perjalanan mereka sebanyak mungkin. Semakin pendek waktu perjalanan, semakin
banyak energi yang mereka miliki untuk belajar. Tinggal lebih dekat akan memberikan
rasa kemudahan dan ketenangan pikiran yang lebih besar.
“Kemudian
lagi, jika kita tinggal di asrama mahasiswa, aku tidak
akan bisa bertemu denganmu sesering mungkin, Mahiru. Ditambah lagi, aku tidak terlalu suka berbagi
tempat tinggal dengan orang lain. Aku tidak suka berbagi kamar mandi dan
toilet, dan aku tidak suka terlalu banyak kebisingan. Tidak sesuai dengan seleraku.”
“Aku juga merasakan hal yang sama,”
jawab Mahiru. “Aku akan merasa kesepian jika tidak bisa bertemu denganmu,
Amane-kun.”
“Jadi, itu
hanya membuat kita pindah ke apartemen yang berbeda bersama-sama... Mahiru, apa
aku egois karena tidak ingin berpisah denganmu?”
Terlepas
dari kenyataan bahwa mereka berpacaran dan tinggal bersebelahan, Amane pada
dasarnya menentang ide berpisah karena universitas. Mahiru menggelengkan
kepalanya dengan lembut, membuat rambutnya yang pirang berombak sedikit, dan
tersipu malu. Sepertinya dia juga
merasakan hal yang sama.
“U-Um,
aku sebenarnya juga memikirkan hal yang sama... aku juga ingin tetap berada di sisimu
sebisa mungkin.”
“Tentu,
itu membuatku bahagia.”
Jika kita
akhirnya pindah, lebih baik kita berdiskusi dengan orang tuaku terlebih dahulu,
pikir Amane, bersikap realistis. Dirinya
sangat senang bahwa Mahiru tidak ingin berpisah dengannya.
Karena ia
telah memberi tahu orang tuanya bahwa ia akan kuliah di universitas lokal dan
mereka telah setuju untuk tetap tinggal sendiri, Amane berpikir bahwa
mendapatkan izin untuk pindah tidak akan terlalu sulit selama harga sewanya
tetap sama. Namun, ia khawatir apakah mereka bisa menemukan tempat dengan harga
sewa yang sama, keamanan yang baik, dan ruang yang cukup-bahkan jika ia
berkompromi dengan ukuran kamar. Dan bahkan jika mereka memilih lokasi yang
sedikit lebih jauh dari universitas untuk menghemat biaya, masih ada perbedaan
yang signifikan antara tinggal di dalam dan di luar 23 distrik di Tokyo.
Mempertimbangkan
faktor-faktor ini, Amane menyadari bahwa pindah tempat
bukanlah hal yang mudah.
Lalu, apa
yang harus dilakukan...? Mengeluarkan erangan penuh
pertimbangan, ia mendekatkan tangannya ke mulutnya. Mahiru menatapnya dengan
ekspresi khawatir.
Melihat
raut wajahnya, sebuah ide tiba-tiba muncul di benaknya.
“Rasanya akan jauh lebih mudah jika
kita tinggal bersama,” ucap Amane.
“Hah-?”
Amane
mendengar suara terkejut
Mahiru, tapi ia terus berbicara. “Kalau kita tinggal bersama, kita bisa menekan
biaya sewa. Selain itu, akan lebih mudah bagiku untuk berjalan bersamamu ke dan
dari universitas.”
Itu
adalah ide yang sangat sederhana: menyewa apartemen yang lebih besar
bersama-sama pasti akan membuat biaya utilitas dan biaya lainnya lebih murah
dibandingkan dengan menyewa dua apartemen yang terpisah. Itu bukan ide yang buruk
sama sekali. Bahkan, Amane merasa bahwa orang tuanya mungkin akan setuju-jika
tidak langsung mendukung-ide untuk berbagi tempat tinggal dengan Mahiru.
Saat
Amane dengan santai memeriksa harga sewa properti di dekat universitas yang
mereka inginkan di ponselnya dan melakukan beberapa perhitungan, Mahiru
menjawab dengan samar-samar, “... Yah, ya, kurasa begitu,” tidak sepenuhnya menolak maupun segera setuju.
“Mahiru?”
Tapi
menurutku itu ide yang bagus.
Ekspresi
Mahiru tegang dan jauh dari kata ceria, malah melukiskan perasaan grogi dan malu.
“Jadi,
kamu benar-benar tidak keberatan tinggal bersamaku, Amane-kun?”
Menanggapi
kata-kata yang dibisikkan Mahiru, Amane menjatuhkan ponselnya ke pahanya.
…Apa itu—
Apa aku baru saja…menyarankan agar kita hidup bersama?
Setelah
menyebutkannya dengan santai, Amane tidak terlalu memikirkan arti dari
kata-katanya sendiri. Tetap saja, itulah makna
tersirat dibalik kata-katanya, dan Mahiru juga dengan
jelas menafsirkannya seperti itu.
Begitu Amane menyadarinya, pikirannya dengan
cepat menjadi kacau balau. Sambil dipenuhi rasa malu, frustrasi
karena kurangnya kesadarannya, dan rasa bersalah karena membingungkan Mahiru,
Amane buru-buru melambaikan tangannya untuk mencoba menjelaskan. membereskan
semuanya.
“Ma-Maaf! Aku benar-benar egois,
bukan!?” seru Amane. “Kamu juga membutuhkan ruang
pribadimu, dan ini bukan sesuatu yang bisa aku putuskan sendiri! masa depan
kita, dan, ya, kamu tahu,
kita mungkin akan lebih bahagia jika tetap bersama, dan dengan begitu, kita
bisa lebih fokus lagi pada kehidupan kampus kita… Um, m-maaf.”
Menyadari
bahwa Ia telah mengambil keputusan sendiri tanpa mengonfirmasi keinginan
Mahiru, Amane dengan putus asa mencoba menyampaikan permintaan maafnya kepada
Mahiru dengan gerakan panik. Namun, setelah melihat reaksinya, mata Mahiru
sedikit melembut.
Bukannya
marah, dia malah terlihat lebih terperangah.
“Saat
kamu meminta maaf seperti itu, sepertinya aku menentang gagasan itu,” balas Mahiru.
“Bu-Bukan
itu maksudku. Um, aku tidak bisa menyangkal bahwa aku mengatakan sesuatu yang
egois.”
“Ketika
kamu mengatakan 'egois', apa kamu menyiratkan bahwa kamu mengabaikan
keinginanku demi kenyamananmu sendiri?”
“Tepat.”
“…Jika
demikian, maka itu tidak egois .”
Amane berpikir ia pasti salah dengar.
Respons
Mahiru terlalu menguntungkan—terlalu menguntungkan—baginya sehingga Amane
bahkan meragukan telinganya sendiri. Saat Ia dengan cepat menatap ke arah
Mahiru, pipinya semerah mungkin mata, seolah menunggu jawabannya penuh harap.
Amane
tidak terlalu bodoh untuk salah mengira ini sebagai penolakan. Menyadari bahwa
Mahiru ingin menghabiskan waktu bersama, tinggal di bawah satu atap, membuatnya
merasa seolah-olah ada api yang menyala di dalam dadanya. bergegas ke matanya.
“Aku boleh…menerima ajakanmu itu, kan?” Mahiru
bertanya dengan lembut.
“…Ya.”
Jantung
Amane berdebar kencang, bunyi gedebuk keras bergema di sekujur tubuhnya saat Ia
memproses apa yang dikatan Mahiru. Mahiru telah berbicara dengan rasa malu yang
meningkat, menyuarakan kata-katanya dengan cara yang sopan. Amane menjawab
pelan dengan anggukan kepala.
“Itu
membuatku sangat senang.”
“Aku
juga.”
Tak
peduli berapa banyak waktu yang ia habiskan bersama Mahiru, tak peduli seberapa
dekat mereka, ia masih tak bisa menghilangkan rasa canggung yang ia rasakan
saat ini. Hal itu wajar saja, mengingat mereka baru saja mengukuhkan keinginan
mereka untuk hidup bersama. Untuk saat ini, Mahiru mengunjungi dan menghabiskan
sebagian besar waktunya bersamanya, tetapi hidup bersama berada pada tingkat
yang sama sekali berbeda.
Terlepas
dari semua penolakannya ketika Itsuki menggodanya tentang hidup bersama, Amane
secara tidak sadar telah mengharapkannya. Setelah menyadari fakta itu, rasa
malu yang luar biasa muncul dalam dirinya. Namun di saat yang sama, kegembiraannya karena Mahiru menerima keinginannya
menghapus rasa malu tersebut,
dan hanya menyisakan kegembiraan yang murni.
Mahiru
dengan malu-malu menatap Amane. Dia
tersenyum polos yang diwarnai dengan rasa malu.
“Aku
sudah sangat senang, itu berarti kita bisa saling menyapa setiap hari,
mengucapkan selamat malam satu sama lain sebelum tidur, dan pergi bersama dari
rumah yang sama. Membayangkannya saja sudah terasa begitu indah. Itu membuatku sangat bahagia.”
Saat
Mahiru tertawa puas, kata-katanya mencerminkan emosinya dengan sempurna, Amane
terpikat oleh ekspresinya yang malu-malu, namun puas. Tapi kemudian, dia
sepertinya menyadari sesuatu dan menatap Amane dengan sedikit khawatir.
“Ah—Apa aku perlu, um, mungkin, menyapa
Shihoko-san dan Shuuto-san? Kamu
adalah putra mereka yang berharga, tidak benar untuk memutuskan hal ini tanpa
persetujuan mereka...”
“Hmm,
baiklah, kamu ada benarnya. Aku rasa ayah dan ibu akan senang dengan hal itu.
Kalau memang begitu, apa aku juga harus menyapa Koyuki-san...?”
Orang tua
kandung Mahiru, terutama ayahnya, massih
menjadi misteri, dan ibunya tampak tidak tertarik padanya.
Amane sengaja menghindari menyebutkan mereka untuk menghindari penurunan
suasana hatinya. Untungnya, ia tidak menyadari pilihan kata-katanya yang
cermat. Jika terpaksa, Amane siap untuk menghubungi Asahi dan menyatakan
keinginannya untuk membawa Mahiru pergi. Ia ingin Mahiru hanya memusatkan
perhatiannya pada hal-hal yang menyenangkan.
“Aku
yakin Koyuki-san sangat mengkhawatirkanmu, dan aku hanya bisa membayangkan dia akan cemas jika kau tinggal
bersama pria yang tidak dia kenal
dengan baik. Kita mungkin harus menyapanya lebih cepat daripada nanti.”
“Ak-Aku juga ingin pergi. Aku ingin
bertemu dengannya lagi dan memperkenalkanmu, dan mengobrol dengannya dengan
menceritakan semua tentang kita... Jadi kita harus meluangkan waktu untuk itu.”
“Y-Ya,
ayo kita lakukan.”
Mereka
terus berbicara tentang rencana mereka untuk sementara waktu, tetapi jelas
mereka terlalu terburu-buru karena mereka bahkan belum diterima di universitas.
Menyadari bahwa diskusi
mereka terlalu dini, mereka berdua tidak bisa
menahan diri untuk tidak menertawakan semangat dan asumsi mereka sendiri yang
terburu-buru.
Meski
begitu, fakta bahwa mereka telah membuat janji yang kuat untuk masa depan sudah
cukup untuk memenuhi hati mereka berdua dengan harapan yang besar dan
kebahagiaan yang luar biasa.
“Kita
berdua harus memberikan usaha terbaik pada ujian masuk kita, bukan?”
“Ya, aku
pasti akan berusaha sekuat tenaga untuk lulus. Ada banyak hal yang harus
dilakukan.”
“Tapi
kamu baru saja menambah beban kerjamu sendiri.”
“Yah, karena ini sesuatu yang aku pilih sendiri sambil memikirkan ujian masuk
dan sejenisnya, jadi aku akan mengambil tanggung jawab penuh dan menyelesaikannya
sampai aku mencapai tujuanku, dan aku juga tidak akan mengendurkan
pelajaranku.”
Mengenai
pekerjaan paruh waktunya, Amane sudah menerimanya sebagai sesuatu yang harus ia
perjuangkan secara seimbang dengan tanggung jawabnya yang lain. Ia tidak
berniat menggunakannya sebagai alasan untuk bermalas-malasan. Amane memilih jalan ini karena meyakini ia bisa mengatasinya.
“Karena
ini adalah keputusanmu, Amane-kun, aku tidak akan berkomentar,” kata Mahiru.
“Yang bisa kulakukan
hanyalah mendukungmu dan membantumu dari hari ke hari.”
“Tidak,
Mahiru, kamu harus memprioritaskan kebutuhanmu sendiri terlebih dahulu. Hal-hal
yang kulakukan hanyalah demi keuntunganku
sendiri.”
“Yah,
itulah yang ingin aku lakukan. Aku akan terus melakukannya dengan alasan yang
masuk akal,” Mahiru bersikeras
“... Kamu
benar-benar tidak akan bergeming dengan hal itu, ya?”
“Hehe,
memang seperti itulah aku.”
“Tentu
saja.”
Selama
setahun terakhir, baik Mahiru maupun Amane perlahan-lahan mulai mengetahui dan
memahami kepribadian satu sama lain. Mereka tahu bahwa begitu salah satu dari
mereka membuat keputusan, mereka tidak akan mundur dengan mudah. Mereka berdua
saling menghargai satu sama lain, dan sikap saling menghormati pilihan
masing-masing sangat penting— inilah
rahasia untuk keberlangsungan pasangan
secara harmonis. Saat ia menyadari hal ini sekali lagi, Amane menggenggam
tangan Mahiru, yang mendekat dan merapatkan tubuhnya.
...
Kesempatan untuk berbicara, ya?
Amane
teringat percakapan mereka sebelumnya, dan ia merenungkan kata-kata itu dalam
hati. Ia memutuskan bahwa setelah Mahiru pulang, ia akan menyelesaikan
penulisan email setengah jadi yang tersimpan di dalam folder drafnya.