Chapter 6 — Dan Kemudian Alisa Berpulang dengan Selamat
Setelah
Yuki mengusirnya dari kamar, Masachika pulang ke rumahnya dengan mobil Kyoutaro dan sejak saat itu ia
menghabiskan waktu dalam keadaan hampir linglung. Ia tidak menyentuh PR-nya yang biasanya ia lakukan dan tidak belajar maupun berselancar di internet. Ia hanya duduk di kamar, memandang
matahari yang condong dan tenggelam, lalu mengikuti suara panggilan ayahnya
untuk duduk di meja makan.
“Bagaimana
menurutmu? Kupikir
aku bisa membuatnya dengan cukup baik...”
“...Iya, rasanya enak.”
Kyoutaro dengan percaya diri
menyajikan makan malam tersebut, yang katanya meniru rasa dari restoran
terkenal di Inggris. Sambil perlahan memasukkan makanan ke dalam mulutnya, Masachika menjawab
dengan sedikit kata-kata. Perkataan
Yuki masih berputar-putar di dalam pikirannya.
Masalah-masalah tertunda yang
sebelumnya memenuhi pikirannya. Kondisi yang diberikan Gensei benar-benar lenyap dari pikirannya ketika
menghadapi kemarahan adiknya yang baru pertama kali ia hadapi dalam hidupnya. Bagi Masachika, kemarahan adik
perempuannya begitu mengejutkan.
(Aku tidak pernah menyangka kalau Yuki
bisa marah sampai segitunya...
meski dia bilang jangan mengasihaninya, tapi memang
benar kalau dia sudah terlalu
memaksakan dirinya,
dan kemarin dia juga menangis sesenggukan...
Aku tidak bisa menyangkal bahwa aku telah mengorbankannya...)
Masachika
menyadari bahwa perkataannya
telah melukai harga diri Yuki. Sebagai penerus keluarga Suou yang telah
menjalankan tugasnya dengan baik, wajar saja jika
tiba-tiba dia merasa kebingungan ketika mendengar
kakaknya, “Kamu sudah berusaha keras sampai saat ini. Mulai sekarang, sisanya serahkan saja padaku,”. Kalau
dipikir-pikir lagi sekarang, Masachika
benar-benar merasa begitu. Namun, dirinya masih tidak mengerti alasan mengapa
Yuki bisa marah sampai mengusirnya dari kamar. Ia
bahkan berpikir bahwa Yuki seharusnya merasa senang
karena mereka bisa tinggal bersama lagi.
(Tapi, ya, mungkin akulah yang salah jika dia marah sampai segitunya...
Tapi, aku juga telah berpikir dengan serius dan berusaha keras untuk melakukan
ini...)
Di dalam
pikirannya, rasa bersalah dan penolakan diri
kembali muncul dan menghilang silih berganti. Melihat putranya yang
jelas-jelas terlihat linglung, Kyoutaro tersenyum lembut dan
bertanya.
“Kamu kenapa?
Apa kamu bertengkar dengan Yuki?"”
“Eh?”
Masachika
mengernyitkan alisnya sedikit, dan Kyoutaro mengangguk sambil tersenyum,
seolah-olah ia sudah mengetahui jawabannya.
“Begitu
ya... Bukannya itu bagus? Daripada berusaha menelan semuanya
dan berusaha untuk akur,
terkadang lebih baik untuk meluapkan semuanya dan bertengkar sedikit agar
hubungan bisa berjalan dengan baik.”
“...Apa iya begitu? Jika bisa menghindari
pertengkaran, bukannya itu
lebih baik?”
Menanggapi
Masachika yang skeptis, Kyoutaro
berbicara dengan tenang tanpa menggurui.
“Tidak
peduli siapa pun orangnya,
jika ada dua orang dengan perasaan yang kuat, sering kali mereka akan
bertengkar hebat karena hal-hal kecil. Meskipun perasaan itu adalah cinta yang
kuat terhadap satu sama lain.”
“...Apa iya begitu?”
“Iya.
Lihat, ada pepatah yang mengatakan bahwa kebalikan dari cinta adalah
ketidakpedulian, bukan? Dan dengan seseorang
yang tidak peduli, tidak akan ada perseteruan.
Orang yang paling damai di dunia ini adalah mereka yang tidak peduli dan acuh
tak acuh terhadap segalanya.”
“Itu sih, mungkin ada benarnya juga.”
“Betul,
‘kan? Jika dipikir-pikir lagi, pertengkaran antara saudara pun
bisa dianggap sebagai bentuk ungkapan cinta, bukan?”
“Tidak,
menurutku itu agak melompat jauh.”
Sambil
memberikan komentar dengan tenang, Masachika tersenyum kecil melihat ayahnya
yang berusaha menghibur dengan menggerakkan bahunya.
“Tapi,
memang benar... ada pepatah yang mengatakan bahwa semakin sering bertengkar,
semakin dekat hubungan itu...”
“Ya, ya, yang itu. Yang pasti, sama seperti kamu yang
menyayangi Yuki, Yuki juga menyayangimu, Masachika.”
Mendengar
kata-kata itu, Masachika terkejut dan membuka matanya lebar-lebar. Kyoutaro memandang putranya dan
berkata dengan ramah.
“Jadi,
semuanya akan baik-baik saja.”
◇◇◇◇
(Sudut
Pandang Alisa)
Keesokan
harinya, pagi-pagi sekali.
Alisa
yang keluar rumah satu jam lebih awal dari
biasanya, sudah berada di depan pintu masuk gedung apartemen tempat Masachika
tinggal.
(...Tidak
apa-apa. Ini sama sekali tidak
aneh. Ya, aku hanya penasaran dengan
apa yang terjadi di rumah Yuki-san.)
Sambil
membuat alasan di dalam
pikirannya, Alisa
dengan gelisah merapikan poninya sambil memegang kaca bedak
yang diberikan Nonoa padanya dua hari lalu.
Jika terus dibiarkan, dia mungkin akan terus
begitu selama lima menit
atau bahkan sepuluh menit, tapi kemudian dia menangkap sosok yang
tampaknya merupakan penghuni apartemen di belakang
pintu masuk, dan Alisa segera menutup kaca bedak tersebut. Lalu, dengan wajah
tidak bersalah, dia menyimpannya ke dalam tas sambil berdiri di depan interkom,
mengambil napas dalam-dalam beberapa kali
sebelum menekan nomor kamar Masachika. Dengan jantung berdebar, bunyi dering
terdengar sekitar lima kali sebelum suara sambungan terdengar.
“…Alya? Selamat pagi. Ada apa?”
“Selamat
pagi, Masachika-kun. Maafkan aku karena datang tiba-tiba, ya? Aku penasaran tentang apa
yang terjadi setelah itu dua hari lalu, dan mungkin ini agak sulit dibicarakan
di sekolah, jadi jika tidak keberatan, apa aku
boleh mendengarkannya
sambil kita berangkat sekolah bersama?”
Dengan
wajah tenang, Alisa mengucapkan kalimat yang sudah dia siapkan dengan lancar. Dia melakukan gerakan kemenangan di dalam hatinya karena dia tidak salah bicara, dan menunggu
jawaban Masachika.
“Ah,
ya, tidak apa-apa... tapi aku mau sarapan
dulu, apa kamu
tidak masalah dengan itu?”
“Ara,
begitu ya? Tidak masalah, aku bisa
menunggu.”
“Ah,
begitu... kalau begitu, silakan masuk.”
Setelah
suara itu, pintu masuk terbuka. Alisa kembali melakukan gerakan kemenangan di dalam hatinya sambil
menuju ke arah pintu.
Sambil
menunggu lift, dia mengeluarkan kaca bedak
lagi untuk merapikan rambutnya. Ya, apa yang dia katakan kepada Masachika
sebelumnya hanyalah setengah dari tujuannya. Setengah lainnya adalah... dia
ingin sekali pergi ke sekolah bersama Masachika.
(Berangkat
sekolah berdampingan... bukankah itu rasanya terlihat sangat akrab dan menakjubkan?)
Sambil
menggeliatkan badannya dengan perasaan yang menggebu-gebu,
Alisa berusaha keras menahan senyumnya yang hampir muncul. Meskipun pikirannya
terasa seperti gadis remaja yang sedang kasmaran,
tentu saja ada alasan di baliknya. Semua ini bermula ketika dia mengetahui
bahwa Yuki adalah adik perempuan
Masachika.
Memang,
pada tahap dua hari yang lalu, Alisa menyadari bahwa Yuki adalah sosok yang
istimewa dan penting bagi Masachika, dan dalam hal itu, dia takkan pernah bisa
mengalahkan Yuki. Dia merasa agak terpuruk. Namun, setelah pulang ke rumah dan
tidur semalam, suara yang sama sekali berbeda bergema di kepalanya. Yaitu,
(Tapi,
toh mereka berdua cuma kakak beradik. Yuki-san tidak bisa menjadi sainganku dalam percintaan, jadi
tidak masalah, ‘kan?
Justru, dengan berkurangnya saingan, aku bisa melaju sendirian dalam perlombaan
cinta ini, dan itu sangat luar
biasa!)
Suara semacam itu muncul, menyatakan bahwa
Masachika dan Yuki saling mencintai secara diam-diam. Alisa berusaha meyakinkan
dirinya bahwa cinta pertamanya mungkin tidak akan terwujud. Suara itu cukup
untuk menghancurkan upayanya untuk menahan perasaan cinta yang dia miliki. Dia
merasa ingin menari. Dia ingin menari-nari sendirian di dalam kamarnya.
Namun...
Di sisi
lain, fakta bahwa sebagian besar hati Masachika terisi oleh Yuki, bukannya Alisa, masih tetap tidak berubah. Ketika dirinya memikirkan hal itu, suasana
hati Alisa kembali merasa suram.
Ketika dia membayangkan mata lembut Masachika dan tangannya yang tertuju pada
Yuki, dia merasa dadanya terasa sesak dan
semangatnya untuk menari menghilang. Bahkan, dia merasa bodoh karena sempat
berpikir untuk menari. Hati Masachika jelas-jelas tertuju pada Yuki. Setidaknya
saat ini, hati itu tidak akan beralih kepada Alisa...
(Tapi
pada akhirnya, itu hanya kasih sayang
antar saudara dan keluarga,
‘kan? Itu sangat berbeda dengan perasaan cinta secara romantis,
bukan? Kalau dalam masalah percintaan yang
begitu, jika tidak ada
salah paham, gadis nomor satu
bagi Masachika-kun adalah
aku....iya, ‘kan?)
Eh,
mau menari? Ayo kita menari, yeay, waktunya berpesta~~♪!
...Sepanjang hari kemarin, perasaan cintanya naik turun berulang kali antara bersemangat dan merasa sedih mirip dengan roller
coaster, dan hasilnya... Alisa kini berada dalam keadaan sedikit euforia.
Perasaan cintanya sebagai gadis kasmaran yang
terpendam di dalam hatinya berubah menjadi banyak mini-Alya
yang seolah-olah berparade dengan sorak-sorai, “Wah~, aku bebas~☆!”
(Lagipula,
ketika mendengar suaranya, sepertinya
Masachika-kun
baru saja bangun
tidur, ‘kan? Dan
hanya aku satu-satunya gadis yang pernah datang ke rumah Masachika pada jam
segini, bukan? Itu berarti, aku adalah orang yang istimewa... hehe~♪)
Hasil
dari semua ini adalah keadaan seperti sekarang. Ditambah
lagi, sepertinya contoh gadis sebelumnya yang bernama Ayano, telah dilupakan setelah dilindas
oleh parade mini-Alya.
Dengan
langkah yang seolah-olah disertai efek suara ‘Lunlun~♪’ yang tidak cocok untuk julukan putri penyendiri, Alisa masuk ke dalam lift yang
turun. Setelah memeriksa seluruh penampilannya di cermin depan, Alisa dengan
penuh percaya diri mengeluarkan sesuatu dari tasnya.
Ya, itu
adalah sarung tangan putih yang diberikan Masachika
kepadanya dua hari yang lalu. Sejujurnya, dia
tidak terlalu membutuhkan sarung tangan dengan
suhu pagi ini, tetapi itu tidak masalah. Dia mengenakan hadiah dari Masachika
dan berencana untuk segera menunjukkannya
kepada Masachika. Itulah yang
terpenting.
Sekarang,
semua persiapannya sudah
sempurna. Dia juga sudah bersemangat penuh. Dengan senyum tantangan yang
ceria, Alisa menekan bel pintu rumah Masachika—
“Iya~.
Oh, senang bertemu denganmu.”
Sang Ayah,
muncul☆.
Ekspresi
Alisa langsung menghilang seketika.
Parade mini-Alya yang sebelumnya merayap di
dalam dadanya kini terhenti dengan wajah bingung.
“Eh, ah…”
Secara
refleks, Alisa langsung
meragukan apa dirinya salah masuk unit apartemen dan
segera memeriksa nomor kamar dan papan nama. Namun, itu benar.
“??”
Dalam
sekejap, Alisa terjebak dalam kebingungan ekstrem saat Kyotarou, yang membuka
pintu depan, tersenyum sedikit canggung sambil membungkuk.
“Namaku
Kyoutaro, ayahnya Masachika.”
“Ah,
eh, aaah, maaf! Ehm, nama saya
Alisa Mikhailovna Kujo! Saya
selalu berhutang budi kepada
Masa—Kuze-kun, eh, ah, maaf karena saya datang di pagi-pagi begini!”
Sambil
membungkuk dalam-dalam, dia segera melepas sarung tangan dari kedua tangannya
dan memasukkannya ke dalam tas dengan cepat! Hmm, tidak ada yang dipakai, dan
tidak ada yang melihat. Biarkan saja seperti itu.
“Ehm,
hari ini, umm...”
Alisa
mengangkat kepala dan membuka mulutnya seolah-olah mencoba untuk mengalihkan
perhatian, tetapi kata-katanya sama sekali tidak teratur. Melihat Alisa yang
sangat jelas gelisah, Kyotarou tersenyum dengan perhatian dan sedikit bergeser
ke samping.
“Tidak
apa-apa, kok. Ayo silakan
masuk dulu.”
“Ah,
maaf, permisi...”
Dengan kepala yang tertunduk karena malu,
Alisa membungkuk-bungkuk saat melewati pintu masuk. Namun, pikirannya masih
dalam kekacauan.
(Eh, kenapa!? Kenapa
ada ayahnya!? Kenapa!?)
Kepalanya
menjadi kosong karena kejadian mendadak ‘menyapa ayah dari orang yang disukai’. Di dalam dadanya, parade mini-Alya
langsung berseru “Mundur! Mundur!!!” oleh
pemimpin parade dan mulai berhamburan. Kemudian, perasaan ceria
itu tiba-tiba mereda...dan Alisa
tiba-tiba menyadari.
(Tunggu
sebentar... bukannya ini
sangat buruk!?)
Alisa
menganalisis dirinya sendiri dengan tenang dan objektif. Dari sudut pandang
Masachika yang mengetahui semua situasi, kedatangan Alisa yang tiba-tiba di
pagi hari mungkin hanya dianggap sebagai “rekan
yang khawatir”. Namun,
bagaimana dengan Kyoutaro yang baru pertama kali bertemu dengannya?
(Gadis sekelas yang
dengan percaya diri mencoba masuk ke dalam
rumah putranya yang biasanya tinggal
sendirian di pagi hari...?)
Dia tidak
perlu memikirkannya terlalu jauh. Seorang
gadis yang tanpa rasa malu menyerbu rumah seorang pria di pagi hari, jelas-jelas itu menunjukkan kurangnya norma dan
etika.
(Padahal bukan begituuuu~~~~~~~~~~~~~~!!)
Alisa mati-matian berusaha menahan
keinginan untuk menggaruk kepalanya saat dia memasukkan kakinya ke dalam sandal
yang telah disiapkan Kyoutaro
untuknya.
(Tidak!
Tidak! Bukan begituuuu! Aku
hanya pernah masuk ke rumah anak laki-laki atau rumah Masachika, dan ini adalah
pertama kalinya aku datang di pagi hari, dan aku sama sekali tidak berniat
melakukan hal aneh! Aku memang
sempat berpikir betapa indahnya jika kami bisa
bergandeng tangan saat berangkat sekolah, atau bagaimana reaksinya jika aku
memeluknya dengan alasan untuk membuatnya semangat, tapi itu hanya untuk
Masachika! Aku bukan gadis yang tidak bermoral atau tidak tahu malu!! Munyaaaa~~~~!!)
Bagi
Alisa, yang merupakan seorang perfeksionis dalam interaksinya dengan lawan
jenis sampai-sampai dia
digambarkan sebagai orang yang cerewet oleh Masachika, dicurigai tentang kesuciannya oleh ayah
dari pria yang dicintainya merupakan hal yang sangat tidak dia inginkan. Namun, dia juga merasa itu tidak pantas untuk mengatakan
ketidakbersalahannya dengan suara keras di sini. Selain itu, semakin banyak
alasan yang diberikan, semakin besar pula kecurigaan
yang muncul, dan jika dia bersikeras membantah, perasaannya terhadap Masachika
mungkin akan terungkap. Jadi—
“Silakan,
Masachika juga akan segera keluar setelah berganti
pakaian.”
“Ya,
terima kasih.”
Tidak peduli
sebanyak apapun rasa frustrasinya, saat ini Alisa hanya bisa diam.
Dengan
mengeratkan gigi belakangnya, Alisa menggerakkan jari-jarinya dengan gelisah,
mengikuti ajakan Kyotarou untuk duduk di kursi ruang tamu. Tak lama kemudian,
Masachika muncul dengan kemeja putih dan celana panjang seragam.
(Ah, aku menyukainya.)
Begitu
melihatnya, pikiran semacam itu
muncul di dalam benaknya. Para mini Alya yang sebelumnya berhamburan
kini kembali dan bersorak di dalam hatinya.
(Ia kelihatan masih
sedikit mengantuk. Oh, ada rambut acak-acakan di belakangnya. Rambutnya yang
melompat-lompat kelihatan
lucu banget♡)
Dia
merenungkan hal-hal itu dengan ceria... tetapi saat melihat Kyoutaro, dia buru-buru mengusir mini
Alya dari pikirannya. Setelah
mengatur wajahnya agar terlihat biasa, dia berusaha berbicara kepada Masachika
seperti biasanya.
“Selamat
pagi, Masachika-kun. Kamu
terlihat mengantuk lagi hari ini, ya.”
Setelah
mengucapkan itu, Alisa menyadari bahwa kalimat tersebut seharusnya diucapkan di
kelas, bukan saat dia mendatangi rumah orang di pagi hari. Apalagi, dia secara
tidak sengaja memanggilnya dengan sebutan Masachika-kun
di depan Kyoutaro.
(Aku
gagallll~~~! Dari
awal aku sudah
gagal~~~~! Ahhhhhhhh~~~~~~~~!)
Di dalam
hatinya, Alisa merasa sangat
frustrasi, tetapi kata-kata yang sudah diucapkan
tidak bisa ditarik kembali.
Dia berusaha mempertahankan wajah tenangnya, namun Masachika menjawab tanpa
terlihat terlalu peduli.
“Ah,
selamat pagi... yah, sebenarnya aku memang mengantuk. Hoammm...”
Sambil
menguap, Masachika duduk di sebelah Alisa. Tak lama kemudian, Kyoutaro datang membawa nampan dan
meletakkan satu gelas di depan Masachika dan Alisa.
“Silakan.
Aku rasa kamu tidak keberatan dengan cokelat panas, ‘kan?”
“Ah,
saya menyukainya. Terima kasih.”
“Tidak
masalah. Ngomong-ngomong, apa kamu
sudah sarapan, Kujou-san?”
“Eh,
um...”
Setelah
ditanya begitu mendadak, Alisa terdiam dan mengalihkan
pandangannya.
Sebenarnya,
Alisa masih belum sarapan. Alasannya, dia
tidak bisa memikirkan alasan yang tepat untuk keluar rumah pagi-pagi. Meskipun
dia ada tugas piket kelas, itu jelas-jelas terlalu pagi, dan alasan
pekerjaan di OSIS tidak akan berlaku karena kakak
perempuannya juga anggota OSIS. Akhirnya, Alisa hanya
meninggalkan catatan “Aku
pergi berangkat
duluan” dan
keluar rumah sebelum keluarganya bangun. Dia sempat mampir ke minimarket untuk
membeli sandwich, dan berencana memakannya di lain waktu.
(Tapi
bagaimana dengan itu? Apa jadinya
kalau aku memberitahu
ayah Masachika-kun
bahwa aku datang tanpa izin orang tuaku?? Apakah lebih baik untuk tidak
menjelaskan itu? Atau seharusnya aku bilang sudah makan? Tapi, begitu aku
terdiam, itu tidak mungkin. Tidak, tapi, hmm?)
Karena
kombinasi situasi yang tidak terduga dan kesalahan yang
menyakitkan, pikirannya tidak bisa bekerja dengan baik. Dia menyadari bahwa
pikirannya berputar tanpa arah. Sementara itu, sepertinya Kyoutaro menyadari bahwa dia belum
makan, dan ia memiringkan
kepalanya sambil tersenyum lembut.
“Jika
kamu belum makan, bagaimana kalau kamu ikut
makan bersama kami? Aku
minta maaf kalau ini hanya
sisa dari kemarin...”
“…”
Sejujurnya,
itu adalah tawaran yang sedikit... tidak, sangat menarik. Karena sejak tadi,
aroma kari yang luar biasa tercium. Dia sudah menduganya, tetapi kata “sisa” mengubah dugaan itu menjadi
kepastian. Sarapan keluarga Kuze pagi ini adalah kari buatan sendiri yang
didiamkan semalaman.
(Setelah mencium aroma ini, aku jadi tidak berminat untuk memakan
sandwich lagi...)
Aroma
kari yang sangat menggugah perut kosong Alisa membuatnya merasa bimbang, tetapi dia tidak bisa
berkata, “kalau
begitu, saya terima tawarannya”
dengan semudah itu.
“Terima
kasih. Namun, tidak perlu repot-repot.
Sebenarnya, saya sudah sedikit makan.”
Setelah
mengucapkan itu, Alisa menggangguk
dalam hati, merasa bahwa itu adalah kebohongan yang cukup baik. Meskipun dia
benar-benar belum makan
dengan baik, dia memang sudah
sedikit makan. Dengan begitu, tidak aneh jika dia terdiam saat ditanya, “Apa kamu sudah sarapan?” Selain itu, Alisa juga bisa menunjukkan bahwa dia
tidak datang tanpa izin orang tuanya. Ya, itu adalah kebohongan yang sangat
baik... Alisa memuji dirinya senditi ketika
berpikir begitu, tetapi Kyoutaro,
sebagai orang tua, tidak akan mundur hanya karena kata-kata itu.
“Sedikit?
Itu tidak boleh. Anak-anak muda
harus makan dengan baik di pagi hari.”
“Ah,
tidak, sungguh, Anda tidak
perlu khawatir...”
“Kamu tidak
perlu merasa sungkan-sungkan begitu.
Lagipula, kami juga akan makan sebentar lagi, jadi tidak enakan jika menunggu terlalu lama.
Semakin banyak orang, makanannya juga akan lebih menyenangkan, jadi makanlah
sebanyak yang kamu bisa, ya?”
“Ah,
ehmm...”
Karena
dia sudah mengatakan bahwa dia sedikit makan, sekarang dia tidak bisa
mengatakan “Aku sudah membeli
sandwich” lagi. Di
hadapan aroma kari yang sangat menggoda,
kendali diri Alisa mulai goyah──
“Kalau
begitu... ya, baiklah.”
Saat dia
menyadarinya, dia
sudah mengangguk. Kyoutaro pun
tersenyum puas.
“Jangan
khawatir, lauknya
kari, kok. Kamu
bebas mengmbil sebanyak yang kamu mau dan makanlah dengan
cepat. Oh, apa kamu tidak keberatan memakan kari di pagi hari?”
Mendengar
pertanyaan itu, Alisa dalam hati berpikir, “Oh,
jadi memang kari, ya”
dan mengangguk.
“Tidak
masalah. Saya suka kari.”
“Kalau
begitu, baguslah. Oh, ngomong-ngomong...”
Di saat
itu, Kyoutaro bertanya dengan nada santai.
“Apa
kamu tidak masalah dengan makanan pedas?”
Seketika,
perasaan tidak enak mulai
muncul di dalam hati Alisa. Itu
adalah firasat buruk yang membuat naluri bertahan hidupnya bergetar.
(Ah, ada.
Meskipun masih jauh... ada sesuatu.)
Sejak
hari di mana dirinya
memakan ramen super pedas bersama Yuki dan Masachika, Alisa telah
secara teratur mencoba makanan pedas untuk meningkatkan ketahanannya terhadap rasa pedas. Dia akhirnya bisa
merasakan kehadiran makanan pedas itu. Jika dia lengah, makanan itu bisa
menghancurkan kesadarannya dalam sekejap dan bahkan membawa jiwanya pergi. Dia
merasakan kehadiran sosok maut yang membawa sabit merah besar dan kalung
terbuat dari banyak cabai habanero.
(Gawat... Jika aku bisa merasakan
kehadiran itu pada tahap ini, hal itu
benar-benar berbahaya berdasarkan pengalamanku...)
Namun,
meskipun nalurinya sudah memperingatinya dengan keras, jawaban
Alisa sudah ditentukan selama Masachika ada di sini. Untuk apa dirinya berusaha keras meningkatkan ketahanan terhadap
makanan pedas? Tentu saja, untuk saat ini!
“…Tidak
masalah. Saya suka makanan pedas.”
Dengan
tangan yang digenggam erat di atas lututnya,
Alisa menjawab dengan senyuman penuh tekad, dan Kyoutaro pun tersenyum lega.
“Begitu
ya. Kari kali ini rasanya
sedikit lebih pedas, tapi kalau begitu, syukurlah.”
Alisa merasa
sedikit lega ketika mendengar kata ‘sedikit’ dari Kyoutaro. Meski begitu, demi
jaga-jaga, dia bertanya dengan santai.
“Apa
ayah Masachika-kun juga… menyukai makanan pedas sama seperti Masachika-kun?”
“Hm?
Tidak, aku tidak begitu menyukainya…”
“Oh,
begitu ya.”
Setelah
mendengar jawaban itu, Alisa akhirnya merasa lega. Tidak mengherankan...karena dia sebenarnya tidak mengetahui
bahwa Kyotauro
bukanlah penggemar makanan pedas dan hanya
memiliki lidah yang tidak peka.
Sebenarnya,
selera Kyoutaro
sedikit berbeda dari orang pada umumnya, dan dia memiliki toleransi yang jauh
lebih tinggi terhadap rasa manis, asin, asam, dan pahit. Makanan penutup yang
sangat manis yang membuat orang lain meringis hanya dengan satu gigitan, atau
teh yang sangat pahit yang bahkan bisa membuat seorang komedian muntah, bisa
dia nikmati dengan cukup baik. Hal ini juga berlaku untuk rasa pedas dan bahkan
bau yang menyengat, di mana dirinya
bisa memakan makanan pedas atau berbau
menyengat dengan komentar seperti “Wow,
ini luar biasa”.
Rentang toleransi yang luas terhadap makanan ini sebenarnya menjadi keunggulan
bagi seorang diplomat, karena ia bisa menikmati berbagai masakan lokal tanpa
kesulitan. Namun, sifat lidahnya yang tidak peka itu menjadi jebakan besar bagi
Alisa saat ini.
(Ternyata
kehadiran dewa kematian
tadi hanya perasaanku saja… mungkin aku terlalu sensitif. Tapi memang benar.
Jika benar-benar pedas, Masachika pasti akan memberi tahu seperti sebelumnya.)
Melihat
Masachika yang diam-diam menikmati minuman cokelatnya,
Alisa pun ikut meminum cokelat dan semakin mengendurkan kewaspadaannya. Namun
sayangnya, Masachika sebenarnya masih terpengaruh oleh kejadian kemarin dan pemikirannya tidak sepenuhnya hadir di
sini. Ditambah lagi, ia juga kurang tidur dan baru bangun, jadi pikirannya
tidak berjalan dengan baik. Alisa yang ditawari kari oleh ayahnya hampir tidak
tertangkap oleh pikirannya.
“Kalau
begitu, ayo datanglah ke sini dan ambil nasi
serta kari sebanyak yang kamu mau?”
“Terima
kasih. Baiklah, saya akan ambil sedikit…”
“Yuk,
Masachika juga.”
“Hm?
Ah…”
Akibatnya,
Alisa melangkah ke dapur tanpa kewaspadaan.
(Ah, ketika berjalan semakin
dekat, baunya benar-benar enak. Mungkin agak khas, tapi apa ini masakan otentik
dengan berbagai rempah?)
Dengan
aroma kari yang menggugah selera, Alisa mengikuti saran Kyoutaro… meskipun dia sedikit
menahan diri karena sudah berkata “sudah
makan sedikit”,
dia hanya mengambil nasi setengah mangkuk ke piringnya. Saat Alisa membuka tutup panci kari dan
aroma yang menyengat terbangun, dia menyipitkan matanya──
(Hah?)
Dia
merasakan kehadiran sosok dewa kematian.
Itu bukan perasaannya saja.
Jelas-jelas, kehadirannya semakin mendekat. Meskipun masih berada di luar
jangkauan, Alisa bisa
merasakan tatapan yang menatap lehernya.
(Eh,
tidak mungkin, ‘kan?
Padahal ini terlihat sangat
lezat… dan sepertinya tidak ada bahan merah yang mencolok, ‘kan?)
Di dalam
panci, terlihat kari yang sedikit lebih gelap dengan kekentalan tinggi. Tidak
ada benda berbahaya yang terlihat jelas. Namun… mungkin semua itu sudah larut
dalam kari.
“!!!”
Sebuah
getaran ketakutan menjalar di tubuhnya. Namun, nasinya sudah diambil. Suara sendok yang
diletakkan oleh Masachika yang juga mengambil nasi terdengar di belakangnya.
Tidak ada waktu lagi untuk ragu.
(Jika aku
bisa mengurangi jumlah kari sebanyak
mungkin tanpa terlihat mencurigakan…)
Alisa dengan
hati-hati membalikkan sendok, menuangkan kari ke atas
piringnya.
(Mungkin sebanyak ini…?)
Kemudian,
ketika rasio nasi dan kari mencapai lima banding tiga, dia cepat-cepat mundur
dengan wajah tidak bersalah.
(Bagus!
Aku bisa mendapatkan lebih banyak nasi! Dengan ini pasti aman!)
Dengan
puas berpikir begitu, Alisa menunggu Masachika dan Kyoutaro datang. Tak lama kemudian,
Masachika datang, dan beberapa detik kemudian, Kyoutaro kembali dengan membawa piring kari.
“Ah, tunggu
sebentar.”
Kyoutaro meletakkan piring di meja
dan segera kembali ke dapur… membawa panci.
(…Hm?)
Dihantui
oleh firasat buruk, Kyoutaro berkata sambil tersenyum lembut.
“Karena
tinggal sisa sedikit, bagaimana kalau
kalian berdua memakannya sedikit lagi?”
Dia
melihat piring Alisa dan membuat ekspresi “oh”. Dalam
benak Alisa, muncul kata-kata “Oh
tidak, aku ketahuan”.
"Kujou-san,
karimu kelihatan sedikit ya. Kamu tidak perlu sungkan-sungkan.”
“Oh,
saya sudah cukup dengan segini──”
Alisa
berusaha menolak, tetapi Kyoutaro
dengan santai menyendok sisa terakhir dari panci ke piring Alisa, kemudian ke
piring Masachika.
(Ah…!)
Akibatnya,
yang tersisa di depan Alisa adalah piring nasi kari dengan rasio tiga banding
empat. Karena dia mengurangi jumlah kari dengan hati-hati, malah membuat
porsinya menjadi lebih banyak. Seandainya Alisa mengambilnya dengan rasio satu
banding satu dari awal, mungkin sisa yang ada bisa diambil oleh Kyoutaro.
(Ah, itu semakin dekat… sosok itu semakin
dekat dari tadi…)
Alisa bisa
merasakan kehadiran sosok dewa kematian
beberapa meter di belakangnya. Namun, meskipun dia bisa merasakannya, itu sudah
tidak ada artinya. Dalam keadaan seperti ini, tidak ada jalan lain selain
bersiap dan menghadapi.
(Ti-Tidak apa-apa… Jika aku siap
menghadapi guncangan, seharusnya aku tidak akan tersapu dalam satu serangan…
jika terdesak, masih ada minuman cokelat.)
Kyoutaro juga sudah menyiapkan air putih, tetapi air kurang efektif
melawan makanan pedas. Cokelat yang masih tersisa setengah ini adalah item
pemulihan yang pasti dan berharga. Dia justru menyesal sudah meminum
setengahnya sebelum makan.
(Semuanya akan baik-baik saja!
Jumlah karinya
juga setengah porsi! Dengan setengahnya, aku pasti
bisa!!)
Dengan
logika yang tampaknya masuk akal tetapi sebenarnya tidak, Alisa berusaha
membangkitkan semangatnya dan memperkuat pertahanannya dalam pikirannya, lalu
dia menyatukan kedua tangannya.
“““Itadakimasu.”””
Kemudian,
saat dia akhirnya mengambil kari dengan sendok, dia langsung memasukkannya ke
mulut. Segera setelah itu── rasa saus manis dan pedas menyebar di mulutnya.
(Eh? Rasanya tidak pedas? Malahan manis dan enak…?)
Rasa yang
jauh dari harapan. Dia melihat sosok dewa
kematian yang dirasakannya di belakangnya berbalik dan
pergi.
(Ah,
syukurlah. Ternyata aku terlalu waspada. Lihat, si Dewa Kematian itu
menjauh──)
Namun,
tiba-tiba sosok itu berbalik ke arahnya dan berlari
kembali!
(Eh,
ah──)
Dari
balik rasa manis, muncul api yang menyala. Dalam sekejap, Alisa lengah dan
menurunkan pertahanannya, saat sabit sosok maut yang siap menyerang menghampiri
lehernya!!
“ーーーー!!!”
Dalam
sekejap, Alisa kehilangan kesadarannya dalam satu serangan── tetapi.
(Fuhmnnn!)
Entah
bagaimana Alisa berhasil bertahan. Di depan Masachika, orang
yang dia sukai, dan ayahnya, Kyoutaro. Fakta itu berhasil menjaga
kesadarannya di ambang batas. Namun, mungkin itu adalah hal yang tidak
beruntung bagi Alisa.
(Sa-Sakit! Rasanya sakit bangettttt!
Pedassssss sekaliiiiiii!?)
Otaknya
hanya bisa merasakan itu. Tidak, sinyal otaknya
dipenuhi dengan rasa sakit.
Setelah berhasil melewati guncangan awal, bukan
berarti semuanya menjadi lebih mudah. Seperti efek racun yang berbahaya,
kerusakan terus menumpuk secara konsisten.
(Tidak, aku tidak
bisa memakannya!
Aku harus mencari perlindungan di nasi…!!)
Dalam
rasa sakit yang tak tertahankan, Alisa secara refleks mengulurkan sendok ke
nasi putih… tetapi tiba-tiba tangannya berhenti.
(Bodoh!
Kenapa aku harus
menghabiskan nasi berharga di awal seperti ini! Tidak apa-apa, rasa pedas ini pasti akan mereda nanti! Aku
harus bertahan di sini!!)
Setelah
melewati beberapa situasi sulit, Alisa sedikit memahami cara menghadapi makanan
pedas. Dia tidak gampang menyerah dengan langsung
melarikan diri ke nasi putih,
tetapi fokus pada merasakan semua rasa bahan yang ada.
Dengan
begitu, dia bisa merasakan umami daging, serta manisnya sayuran dan nasi,
meskipun rasanya jauh! Semua itu terhalang oleh lautan lava yang ada di depan!
Akibatnya, rassa daging
sapi, sayuran, dan nasi tidak mendekat sama sekali!
“Ugh.”
Dia
berhasil menelan makanan di mulutnya, tetapi bara api yang tersisa sudah cukup
membuat mulutnya panas dan sakit. Tanpa bisa menahan diri, Alisa meraih cokelat dan memasukkannya
ke mulutnya, tetapi rasa pedas itu sama sekali tidak mereda. Dia mencoba
mengatasi dengan banyak air, memiringkan gelasnya… dan akhirnya rasa pedas itu
sedikit berkurang. Namun, saat dia merasa lega, gelasnya sudah kosong.
(Ah──
bodoh, bodoh, apa siih yang sudah
aku lakukan! Menghabiskan semua cokelat berharga hanya dalam satu suapan!
Bagaimana aku bisa melewati ini selanjutnya!)
Meskipun Alisa terus mencela dirinya sendiri, tapi nasi sudah menjadi bubur.
Satu-satunya zona aman yang tersisa hanyalah nasi putih yang terasa tidak cukup
dibandingkan dengan jumlah kari.
(In-Ini mungkin… tidak baik…)
Dari segi porsi, itu mungkin setengah porsi,
tetapi dengan satu sendok seperti ini, masa depannya tampak sangat suram. Alisa hanya bisa melihat masa depan di
mana dia kehabisan tenaga dan jiwanya diambil oleh sosok Dewa kematian. Dia merasakan sosok maut
itu menunggu di belakangnya seakan bertanya,
“Apa masih belum~?”
“Kujou-san, ehm, apa jangan-jangan rasanya
tidak cocok dengan seleramu?”
“!!!”
Namun, pada saat itu, sebuah suara penuh
kekhawatiran memanggil dari
kursi di depannya, dan Alisa tanpa sadar mengangkat wajahnya yang tadinya
tertunduk. Pandangan matanya langsung
bertemu dengan tatapan Kyoutaro
yang penuh perhatian di balik kacamatanya.
“Aku
mencoba membuat ulang kari pedas yang terkenal di Inggris… mungkin rasanya terlalu pedas? Jika tidak bisa
dimakan, kamu tidak
perlu memaksakan diri…”
Setelah dikatakan
seperti itu, mana mungkin Alisa bisa meletakkan sendoknya dan
berkata, “Baiklah,
aku akan menerima tawaranmu.”
“Tidak perlu, tidak apa-apa. Rasanya enak.”
Alisa
tersenyum lebar dan menjawab demikian. Bagaimanapun juga, Kyoutaro mungkin salah paham dan
mengira bahwa dia adalah gadis nakal yang dengan santainya mendatangi rumah
pria pagi-pagi. Jadi, Alisa tidak mau menambah kesalahpahaman dengan
dianggap sebagai gadis tidak sopan karena meninggalkan makanan setelah satu
suapan. Lagi pula, ia mungkin menjadi calon ayah mertuanya di masa depan──
(Apa sih yang sedang aku pikirkan! Pergi
jauh-jauh sana!
Huss, huss!)
Sambil
mengusir mini-Alya yang
muncul dari dalam hatinya, Alisa berusaha mempertahankan senyumannya.
Sebenarnya,
Kyoutaro sama sekali tidak berpikir
bahwa Alisa adalah gadis nakal. Dirinya
sudah mendengar cerita tentang Alisa dari Masachika dan Yuki sebelumnya, dan
dua hari yang lalu, ia mendengar dari Masachika bahwa berkat Alisa, ia
mendapatkan keberanian untuk mengunjungi keluarga Suou. Jadi, Kyoutaro memahami bahwa Alisa datang karena mengkhawatirkan keadaan Masachika, dan berpikir, “Dia gadis yang jauh lebih
baik dari yang aku dengar”.
“Benarkah?
Kamu tidak perlu memaksakan diri, oke?”
“Terima
kasih. Tapi, saya sungguh tidak
apa-apa.”
Seolah-olah ingin membuktikan
kata-katanya, Alisa mengambil kari dan memasukkannya ke mulutnya. Begitu dia
melakukannya, rasa manis muncul terlebih dahulu… kemudian nyala api yang berkobar! Kekuatan yang luar biasa
menyerbu mulutnya! Kombinasi maut sudah pasti masuk!
(Me-Mereka berdua bisa memakan ini dengan tenang!?)
Sambil
berusaha mempertahankan ekspresi wajah datar, Alisa mengamati Kyoutaro di depannya dan Masachika di
sampingnya.
“Ya.
Kurasa rasanya semakin dalam setelah
aku meninggalkannya semalaman. Iya ‘kan,
Masachika?”
“Eh?
Ah… mungkin iya begitu.”
“Dasar Masachika,
kamu masih mengantuk, ya? Apa kamu tidak tidur nyenyak semalam?”
“Uh?
Ah, ya…”
(Me-Mereka bisa memakannya dengan biasa
saja…)
Kyoutaro yang menikmati makanannya
dengan baik, dan Masachika yang tampak sedikit bingung sambil makan dengan
diam. Alisa merasakan ada yang tidak beres dengan mereka berdua dan merasa
ketakutan.
(Apa!?
Masachika-kun dalam keadaan
setengah tertidur!? Sambil makan kari sepedas ini!? Apa saraf lidahnya sudah mati!?)
Dia
merasa seolah-olah rekannya telah
melampaui batas suka pedas, dan Alisa tidak bisa menahan diri untuk melihat
mereka dengan tatapan aneh. Dia kemudian menggelengkan kepala dan menundukkan
pandangannya ke piringnya, berpikir tentang strateginya.
(Mengandalkan
nasi juga… ada batasnya. Tapi, saat pertama kali aku memakan kari ini, kesan pertamanya manis…)
Kalau
begitu, dia tidak punya pilihan lain selain bergantung pada itu dan terus maju.
Dia harus melarikan diri dari sosok Dewa
Kematian yang terus menghantui
lehernya dengan sabit, berpikir, “Eh,
orang ini lebih tangguh
dari yang kuduga?” Ini adalah satu-satunya cara
untuk bertahan hidup!
(Ayo, lakukannnnnnnnnnnnn!)
Sembari
menyemangati dirinya sendiri di dalam hati, Alisa menusukkan
sendok ke nasi kari dan segera membawanya ke mulut. Dan sebelum rasa manis
pertama menghilang, dia mengambil suapan berikutnya, dan suapan selanjutnya.
Rasa manis mulai memudar, tetapi dia tidak bisa berhenti. Dia terus maju dengan
semangat! Garis finish sudah dekat! Namun…
(Ah, mustahil…)
Sosok Dewa kematian di sini memanggil
rekan-rekannya. Dengan serempak, mereka menggunakan sabit yang saling
bersilangan dari kiri dan kanan, menggerogoti lehernya.
(Aduh,
ini sih…)
Sambil
merasakan bahwa kesadarannya yang perlahan-lahan dicabut,
Alisa dengan keras kepala membawa suapan terakhir ke mulutnya. Dia berhasil
menyelesaikan makanannya, tetapi…
Apa yang
keluar dari mulutnya bukanlah kata-kata penuh pencapaian atau ucapan terima
kasih yang penuh semangat.
【Aku akan mati…】
Itu
adalah keluhan dalam bahasa Rusia, seolah-olah jiwanya sedang melayang.
◇◇◇◇
(Sudut
Pandang Masachika)
“Umm, Alya? Kamu baik-baik saja?”
“……”
Ketika
mereka keluar dari rumah bersama
dan menuju lift, Masachika memanggil Alisa.
Kemarin,
dirinya terus memikirkan Yuki bahkan
setelah masuk ke tempat tidur, dan tanpa sadar tertidur entah kapan, hingga
pagi tiba, dan ia makan dengan bingung… saat itu, terdengar keluhan menyedihkan
dalam bahasa Rusia dari samping, yang membuat kesadarannya perlahan terbangun.
Ketika Masachika menoleh, ia melihat wajah yang
pernah dilihat sebelumnya. Ia
menyadari bahwa Alisa baru saja menghabiskan kari pedas yang dibuat Kyoutaro kemarin, dan segera
menyiapkan susu untuknya. Namun, sejak saat itu, Alisa terus diam. Dia terlihat
kehabisan energi… atau lebih tepatnya, seolah-olah jiwanya telah dicabut,
dengan ekspresi kosong yang aneh.
(Ah~~ aku seharusnya tidak mengatakan
ini karena aku juga sedang bingung, tapi tolong
hentikan, Ayah… atau seharusnya jangan beri dia
kari pedas seperti itu.)
Sambil
menyadari bahwa dirinya sedang
melampiaskan kemarahan, Massachika
mengutuk ayahnya yang menyarankan kari pedas kepada Alisa dalam hati.
“Maafkan
aku! Aku benar-benar minta maaf! Ternyata, kamu memang merasa sungkan padaku…”
Setelah
Alisa selesai makan dan pingsan di tempat,
Kyoutaro terus-menerus meminta maaf.
Sebenarnya, ayahnya yang dengan santainya menyebut “itu” sebagai
kari pedas yang sedikit menggoda, pasti tidak bermaksud buruk sama sekali. Masachika sudah terbiasa menerima makanan
aneh dan camilan unik sebagai oleh-oleh, jadi ia sangat memahami situasi
tersebut. Namun, seharusnya ayahnya menyadari bahwa selera makannya berbeda
dari orang lain dan seharusnya lebih berhati-hati.
(Tidak,
justru karena ia berbeda… ia tanpa sadar mencari orang yang bisa merasakan hal
yang sama setelah makan makanan yang sama… bukan?)
Saat
berpikir seperti itu, lift tiba, dan Masachika masuk bersama Alisa, mengenakan
masker sebagai tindakan pencegahan karena baru saja berhubungan dengan pasien
flu. Mereka turun ke lantai satu, keluar dari pintu masuk apartemen, dan mulai berjalan menuju
sekolah ketika Alisa membuka mulutnya.
“…Masachika-kun, apa kamu selalu memakan makanan seperti itu?”
“Eh?
Tidak, tidak selalu… maksudku, kamu sering melihatku membawa bekal, ‘kan? Biasanya sih biasa saja.
Yang kemarin itu, yah, ayahku kebetulan sedang bersemangat…"
“Oh,
begitu…”
“Maaf
ya? Ayahku memang sedikit berbeda dalam selera makannya… Ia benar-benar tidak bermaksud
buruk.”
“Uuh,
tidak apa-apa. Ini hanya karena latihanku saja
yang kurang…”
“Latihan?
Apa maksudmu…”
Ketika mendengar
Alisa mulai mengatakan hal yang serupa
seperti Ayano, Masachika berpikir bahwa dia sudah cukup parah. Lalu ia mulai
merenungkan mengapa Alisa datang ke rumahnya, mengingat kembali kejadian
sebelumnya.
‘Selamat
pagi, Masachika-kun.
Maafkan aku karena datang
tiba-tiba,
ya? Aku penasaran tentang apa yang terjadi setelah itu dua hari lalu, dan
mungkin ini agak sulit dibicarakan di sekolah, jadi jika tidak keberatan, apa aku boleh
mendengarkannya
sambil kita berangkat sekolah bersama?’
(Ah~~ benar juga. Jadi, itu sebabnya dia
datang…)
Masachika
kembali mengingat bahwa Alisa datang
untuk mendengar tentang apa yang terjadi di rumah Suou, dan ia berpikir tentang
seberapa banyak yang harus diceritakannya.
Akhirnya, dia memutuskan untuk mengaburkan detail tentang konflik dengan ibunya
dan fokus pada diskusi dengan Gensei.
“Umm~,
Alya. Tentang apa yang terjadi di
rumah Suou dua hari yang lalu dan kemarin…”
“!!”
Begitu mendengar
kata-kata Masachika, Alisa langsung terbangun dan memperbaiki posisinya.
Tampaknya dia siap untuk mendengarkan, jadi Masachika mulai bercerita. Dirinya menjelaskan bahwa ia telah
berdamai dengan ibunya yang sebelumnya berselisih
dengannya, dan bernegosiasi dengan Gensei agar dirinya bisa kembali menjadi pewaris
keluarga Suou. Hasilnya… ia diberi
syarat untuk menjadi ketua OSIS.
“…Begitu, ya.”
"Maaf
ya? Meskipun ini adalah pemilihan OSIS
kita berdua, aku dengan sembarangan memanfaatkannya seperti ini. Tidak perlu
dikatakan lagi, aku
tidak berniat memintamu supaya kita bertukar
posisi dengan calon ketua dan wakil ketua OSIS. Yah, si kakek bangka itu… akan kutaklukkan dengan cara
apapun.”
Bagian
terakhir itu sedikit bohong. Untuk saat ini, Masachika
sama sekali tidak memiliki cara untuk meyakinkan kakeknya, Gensei. Sejujurnya, ia tidak yakin bisa
mendapatkan lebih banyak konsesi dari kakek itu. Namun, tidak diragukan lagi
bahwa Masachika benar-benar tidak berniat untuk menggeser Alisa dari posisi
ketua OSIS.
Dengan
kata-kata Masachika yang mencampuradukkan antara kejujuran dan kebohongan,
Alisa mengangguk setengah hati sambil ragu-ragu berkata.
“Uuh,
yah, baiklah, umm…
tapi, aku ingin bertanya satu hal.”
“Hmm?”
Melihat Alisa berhenti dengan ekspresi
serius di wajahnya, Masachika juga berhenti dan menoleh. Alisa kemudian
bertanya dengan ekspresi campur aduk.
“Apa
kamu sudah membicarakan soal kembali ke keluarga Suou dengan Yuki-san?”
Begitu nendengar
nama Yuki yang tiba-tiba disebut,
Masachika sedikit terkejut sebelum menjawab.
“Tidak, yah… aku sudah membicarakannya, tapi
hanya sebagai laporan setelah kejadian.”
“…Apa Yuki-san tidak marah?”
Masachika
terdiam sejenak dengan
pertanyaan Alisa yang tepat sasaran. Melihat reaksi Masachika, Alisa berbisik, “Sudah kuduga, pasti begitu”.
“Aku
tahu kamu tidak bermaksud buruk, Masachika-kun…
tapi, aku rasa itu akan terjadi.”
“…Yah,
kurasa aku juga salah karena melanjutkan
pembicaraan tentang mengambil alih posisi pewaris
tanpa memberitahu Yuki dulu.”
“Itu
memang benar sih, tapi…”
“Tapi?”
“Eh,
umm…”
Alisa
terdiam, tampak ragu-ragu saat menatap Masachika. Masachika kemudian berkata kepadanya.
“Jangan
khawatir, katakan apa yang kamu pikirkan.
Aku akan menerima apapun yang kamu ucapkan.”
Setelah Masachika menghadapinya dengan serius, Alisa mulai berpikir sebelum
berbicara.
“Jadi,
maksudku… tentang tanggung jawab sebagai pewaris keluarga Suou? Aku merasa kamu
selalu berbicara tentang menjadi diplomat seolah-olah
itu adalah beban yang berat…”
“…Itu sih, nyatanya itu memang
beban. Tidak ada yang ingin melakukannya dengan senang hati.”
“Itu cuma
berlaku untukmu, ‘kan?”
Setelah
mendengar pernyataan itu, Masachika terdiam sejenak, tapi ia segera menggelengkan kepalanya sambil berkata, “Tidak, tidak”.
“Bahkan Yuki
juga tidak ingin melakukan itu. Sejujurnya, aku belum pernah mendengar dia
mengatakan ingin menjadi diplomat.”
Yuki sering membicarakan tentang
berbagai impiannya sejak
kecil, tetapi anehnya, dia tidak pernah menyatakan ingin menjadi diplomat. Oleh karena itu, Masachika beranggapan
bahwa Yuki terpaksa berusaha untuk menjadi seperti itu… namun, Alisa
menggelengkan kepala dengan skeptis.
“Meskipun begitu… bukan berarti dia tidak ada niatan sama sekali,
‘kan? Jika dia melakukan sesuatu
dengan bangga dan kemudian dikatakan, 'Karena
itu kelihatan sulit, jadi biar aku saja yang
melakukannya untukmu,'… itu pasti akan membuatnya
kesal, bukan?”
Masachika menjadi terdiam setelah mendengar
kata-kata Alisa. Dirinya
menyadari bahwa Yuki sebenarnya ingin menjadi diplomat dan kepala keluarga Suou
dengan sepenuh hati. Pemikiran itu sama sekali tidak terlintas dalam benaknya.
“Setidaknya,
jika aku berada di posisinya… meskipun itu bukan sesuatu yang aku inginkan,
jika aku sudah memutuskan untuk melakukannya, aku ingin menyelesaikannya
meskipun sulit. Dan jika seseorang yang menganggap tanggung jawab itu berat
mengatakan mereka akan mengambilnya… aku akan berpikir, 'Apa aku benar-benar bisa mempercayakan
ini kepada seseorang yang tidak ingin melakukannya?'
Dan juga, 'Apa aku tipe orang
yang akan memaksakan ini kepada orang yang tidak mau melakukannya?'”
Dengan
pemikiran Alisa yang mendalam, Masachika sama sekali tidak bisa berkata apa-apa. Menganggap tanggung jawab
keluarga Suou hanya sebagai beban adalah penghinaan bagi Yuki yang sudah memikul tanggung jawab itu selama ini. Hal itu sama sekali tidak
pernah terbayang olehnya.
“Tentu
saja, itu semua hanya imajinasiku, oke?
Hanya Yuki-san yang
tahu bagaimana perasaannya yang sebenarnya…”
“Ah…
tapi, aku mengerti sekarang.”
Sekarang,
Masachika baru menyadari
betapa egois dan sombongnya tindakannya. Setelah menyadarinya, ia perlahan
berbisik seolah penuh penyesalan.
“Aku…
aku ingin membebaskannya.”
Masachika
teringat Yuki yang menangis di atas tempat tidur seperti anak kecil. Memikirkan
betapa banyak beban yang telah ditanggung oleh tubuh kecilnya, dia merasa air
mata hampir keluar. Meskipun Yuki telah mendapatkan tubuh yang sehat dan bisa
pergi ke mana saja, dia masih terikat di rumah itu. Masachika ingin membebaskan
adiknya dari semua itu, dengan sepenuh hati.
“Ya,
aku mengerti bahwa kamu sangat mempedulikan
Yuki-san, Masachika-kun.”
Alisa
mendekat dan dengan lembut menyentuh lengan kanan Masachika seolah-olah menunjukkan kekhawatirannya.
Sambil melihat tangan itu, Masachika mulai berbicara perlahan.
“Tapi,
memang benar… bagi diriku, itu seharusnya adalah tanggung jawab yang harus aku
ambil sendiri, tetapi… bagi Yuki,
rassanya itu seperti menolak semua usaha
yang telah dia lakukan selama beberapa tahun terakhir… dan keinginanku untuk
membebaskannya, pada akhirnya, hanyalah keegoisanku…”
“…Jangan
terlalu berpikir buruk, ya? Aku meyakini kalau Yuki-san pasti tahu bahwa kamu tidak
memiliki niat jahat.”
Perkataan
Alisa mengingatkan Masachika pada kata-kata
Kyoutaro kemarin dan tersenyum pahit.
“Haha,
kemarin ayahku juga
mengatakan hal yang mirip… Ia
bilang, kita berdua saling peduli satu sama lain, jadi aku tidak perlu khawatir.”
Masachika
menggumamkan itu tanpa mengarahkannya pada Alisa, lalu tiba-tiba ia mengangkat
wajahnya dan tersenyum.
“Maaf,
aku sedikit terjebak dalam pemikiran negatif. Tapi, terima kasih. Itu sangat
membantu.”
“…Begitu?”
“Ya…
Ayo kita pergi.”
Masachika
berbalik dan mulai berjalan kembali ke sekolah. Tiba-tiba, lengan kirinya dirangkul oleh seseorang dari belakang dan menariknya lebih dekat.
“Eh…?”
Saat
Massachika terkejut dengan sentuhan hangat yang tiba-tiba
itu, dan sebuah bisikan lembut terdengar saat seseorang lewat di sampingnya.
【Karena aku
juga peduli padamu】
Tak lama
setelah itu, lengan yang memeluknya lansung dilepaskan,
dan orang itu berjalan pergi dengan cepat. Masachika berdiri tertegun sejenak,
mengamati sosok yang pergi, lalu menggosok-gosok lengan yang baru saja dipeluk
dengan canggung.
(…Apa dia mencoba untuk
menghiburku?)
Alisa
berjalan pergi tanpa menoleh seolah-olah tidak terjadi apa-apa. Dengan
jelas terlihat bahwa dia ingin mengatakan, “Jangan
tanya apa-apa!”
Masachika tersenyum melihat punggungnya dan berbisik.
【Иятоже】【Aku
juga…】
Kemudian,
sambil tersenyum kecil keppada rekannya
yang jelas-jelas tidak akan menoleh, Masachika
menghapus senyum itu dan
menunduk, melanjutkan langkah dan pikirannya.
(Mengambil
alih tanggung jawab keluarga Suou… bukannya itu
hal yang baik untuknya? Lalu, apa yang harus aku lakukan—)
Sementara
itu, Alisa yang berjalan di depan juga tenggelam dalam pemikirannya sendiri.
(Jika aku
menyerah untuk menjadi ketua OSIS… apa Masachika-kun bisa kembali ke dalam keluarga Suou?)
Itulah
syarat yang diajukan oleh kakek Masachika, Gensei.
Sebuah tujuan yang harus dicapai agar Masachika bisa mengakhiri penyesalannya
dan mewujudkan harapannya. Jika demikian, Alisa tentu ingin membantu. Namun…
(Tapi,
aku ingin menjadi ketua OSIS… Namun, apakah aku berhak menghalangi jalan Masachika-kun hanya karena keinginan pribadiku? Jika ini menyangkut masalah keluarganya, seharusnya
aku memprioritaskan itu…)
Alisa
berusaha menjadi ketua OSIS karena dia selalu ingin berada di posisi teratas.
Selain itu, dia ingin banyak orang mengakui bahwa cara hidupnya tidak salah.
Ditambah lagi, saat ini ada keinginan untuk memenuhi harapan orang-orang yang
mendukungnya, seperti Masachika dan Sayaka. Namun, apa itu benar-benar sesuatu
yang harus diprioritaskan lebih dari keinginan Masachika?
(Meskipun aku bisa menjadi wakil ketua… tidak, tapi
tetap saja…)
Sambil
merenung, Alisa secara mekanis melangkah menuju sekolah. Dengan jarak tertentu,
Alisa dan Masachika berjalan sedikit menunduk dan diam menuju sekolah. Mereka
berdua yang tenggelam dalam pikiran mereka
masing-masing, tidak menyadari bahwa seiring mendekatnya mereka
ke Akademi Seirei, semakin banyak tatapan
siswa lain yang tertuju pada pasangan aneh ini.
“Eh,
bukannya mereka berdua itu Kujou-san dan Kuze-san,
‘kan?”
“Benar,
apa mereka berdua pergi ke sekolah bersama…?”
“Tapi
sepertinya suasananya tidak seperti itu…”
“Hmmm? Hei, bukannya mereka berdua....”
“Eh?
Oh, pasangan dalam pemilihan. Mereka bersama sejak pagi… ah, apa jangan-jangan mereka berpacaran?”
“Tidak,
tapi rasanya… agak aneh, ya? Mereka sama sekali tidak
berbicara, dan jarak di antara
mereka juga aneh.”
“Apa
mereka sedang bertengkar…? Tidak, jika begitu,
mereka pasti sudah pergi lebih awal, ‘kan?”
“Eh,
jangan-jangan… mereka hanya kebetulan berangkat bersamaan dan sebenarnya tidak
saling menyadarinya?”
“Mustahil.
Mana mungkin mereka tidak menyadari
pada jarak segitu. …Tapi, apa yang sebenarnya terjadi?”
“Itu masih misteri…”
Sementara
mereka menarik perhatian siswa lain dengan tatapan aneh, Alisa dan Masachika
sama sekali tidak menyadari hal itu saat mereka melewati gerbang sekolah. Dan
dengan perhatian yang sangat besar dari orang-orang
di sekitar, mereka langsung menuju kotak sepatu di pintu masuk.
Setelah mengganti sepatu, mereka menuju kelas 1-B… Namun, saat membuka pintu
geser, Alisa tiba-tiba berhenti.
“Ups,
ada apa? Alya?”
Masachika
yang mengikuti di belakang hampir menginjak tumit Alisa dan terpaksa berhenti.
Dirinya mengintip ke dalam kelas di atas
kepala Alisa dan terkejut melihat pemandangan tak terduga di dalamnya.
“Apa-apaan itu!?”