Chapter 9 — Dan Akhirnya, Mereka Berdua Saling Berhadapan
Setelah
keributan pembukaan hadiah di ruang komite kedisiplinan berakhir, Masachika dan Alisa
sedang mengerjakan beberapa
tugas administratif di ruang OSIS.
“Ketua,
aku sudah selesai memeriksa semuanya di sini.”
“Oh,
begitu ya. Kalau
begitu kamu bisa meletakkannya di sana. Aku akan melihatnya
nanti.”
“Oke.”
Selain
mereka berdua, Touya adalah satu-satunya orang yang
berada di ruang OSIS. Chisaki tampaknya masih ada urusan
dengan klub kerajinan tangan, Yuki sedang beristirahat,
dan Ayano pulang untuk merawatnya. Sementara itu, Maria sedang menuju pertemuan
dengan klub penyiaran, sehingga situasi ini cukup jarang terjadi.
“Hmm?
Kuze, bolehkah aku minta sedikit waktu?”
“Eh,
apa ada yang salah?”
“Hmm~ tidak, ini di sini..."
“...Ah,
benar juga! Ini salah, maafkan aku!”
“Ah,
ternyata benar. Tumben sekali kamu membuat
kesalahan, Kuze.”
“Ah,
maaf, aku akan memperbaikinya...”
Ketika ia membawa dokumen kembali ke
tempat duduk, Alisa menatapnya dengan sedikit khawatir. Saat Masachika membalas
dengan senyuman ringan, Touya
berkata melihat Masachika.
“Kamu tidak
perlu terburu-buru, oke? Kalian boleh selesai untuk hari ini.
Pekerjaan untuk Dek Kujou
juga bisa dilakukan besok, ‘kan?”
“Ah,
ya. Benar juga.”
“Baiklah,
jadi kita hanya perlu menunggu kakak Kujou kembali dan kemudian pulang.”
Setelah
berkata demikian, Touya
mengambil cangkir tehnya dan pindah ke tempat duduk di depan Masachika. Dengan
nada seolah ingin mengobrol, ia mulai berbicara kepada Masachika dan Alisa.
“Jadi?
Sepertinya kalian berdua tampak tidak fokus hari ini, apa ada masalah yang mengganggu kalian?”
Usai mendengar
kata-kata itu, Masachika dan Alisa secara bersamaan berhenti sejenak. Setelah
saling melirik, Masachika mengangguk samar mewakili Alisa yang tampak sedikit bermasalah.
“Yah,
begitulah... sedikit.”
“Oh,
begitu... Jika aku bisa membantu, aku siap mendengarkan. Kadang-kadang aku juga
ingin melakukan hal-hal seperti ketua, oke?”
“Apa
membantu siswa dengan masalah mereka merupakan
sesuatu yang dilakukan 'ketua'?”
“Eh?
Hmm~~... yah, ini semua tergantung
suasana hati!"
Mungkin
ada gambaran ideal tentang ketua OSIS dalam diri Touya. Dengan senyum yang
menunjukkan bahwa ia tidak terlalu mempermasalahkan hal-hal kecil, ia
melonggarkan ekspresinya dan berkata.
“Apa
pun itu, ada hal-hal yang tidak bisa dibicarakan dengan keluarga. Mungkin ada
hal yang sulit dibicarakan dengan teman sekelas juga,
‘kan? Aku tidak bermaksud memaksa,
tetapi jika ada yang ingin kalian bicarakan, aku siap mendengarkan.”
Dengan
perhatian tulus yang terpancar dari matanya, Masachika kembali bertukar pandang
dengan Alisa.
(Masalah
Alya... yah, akulah yang jadi
penyebabnya, ‘kan?)
Dirinya bisa merasakan samar-samar mengenai apa yang
mungkin dikhawatirkan Alisa, tetapi
tidak ada kepastian. Dan melihat ekspresi Alisa, sepertinya dia tidak ingin
membicarakannya di sini.
(Konsultasi
masalah, ya...)
Bagi Masachika,
berbicara tentang hal ini sebenarnya tidak masalah. Lagipula, Alisa sudah
mengetahui masalahnya, jadi berbicara di sini tidak ada salahnya... tapi
bagaimana ia mulai menjelaskannya?
(Aku
tidak terlalu ingin
menjadi penerus atau diplomat, jadi apa aku berhak merebut posisi penerus Suou
dari Yuki... mana
mungkin aku bisa jujur tentang itu.)
Kemudian, setelah
menggigit bibirnya dan
berpikir sejenak, Masachika perlahan-lahan
membuka mulutnya.
“Hmm...
Aku merasa kalau ini tidak sopan jika
aku menanyakan hal semacam ini kepada Ketua.”
“Oh,
memangnya kenapa?”
“Ketua,
umm... Kamu tidak benar-benar ingin mengincar posisi ketua OSIS, tapi kamu berusaha untuk menjadi ketua OSIS karena ingin
menarik perhatian Sarashina-senpai,
bukan?”
“Hmm?
Yah... begitulah. Iya.”
Masachika
melanjutkan ketika Touya
mengangguk sambil melihat sedikit ke atas.
“Aku
sebenarnya tidak bermaksud menyalahkanmu, tetapi...”
Setelah
pernyataan itu, Masachika bertanya.
“Apa kamu tidak pernah merasa
bersalah terhadap kandidat lain... orang yang benar-benar ingin menjadi ketua OSIS
dan berjuang untuk itu?”
“...Hmm.”
Setelah mendengar
pertanyaan Masachika, Touya
perlahan menyilangkan lengan dan bersandar di kursi, ia lalu mengangkat alisnya seraya berkata.
“Entah
kenapa, sepertinya ketika kamu masuk ke OSIS... tidak, mungkin sebelum itu, kita pernah membahas hal yang
serupa. Apa motivasi untuk bergabung dengan OSIS itu murni atau tidak.”
“Ah,
iya... kita pernah membahas itu. Pada saat
itu ada Masha-san juga.”
“Yah,
itu tidak masalah. Hmm, tentang rasa bersalah. Hmm...”
Ia
memutar kepalanya dan berpikir sejenak... Touya
kemudian tersenyum pahit.
“Ya, maaf,
tapi sejujurnya, saat aku berhasil terpilih, aku tidak
memikirkan hal itu sama sekali.
Aku penuh dengan rasa pencapaian dan kebahagiaan... Sebelumnya, aku juga hanya
berlari tanpa henti... Jadi, aku tidak benar-benar memikirkan kandidat lain.”
“Ah~...
begitu ya.”
“Tapi
aku mengerti apa yang ingin kamu sampaikan, Kuze. Menjadi ketua OSIS... tidak,
menjadi anggota Raikoukai adalah sesuatu yang sangat
diinginkan oleh orang-orang yang menginginkannya, bahkan bisa dibilang mereka
akan mempertaruhkan hidup mereka untuk itu. Jadi, aku tidak bisa sepenuhnya
tidak merasa apa-apa tentang aku yang mendapatkan posisi itu meskipun aku tidak
terlalu tertarik pada Raikoukai.”
Mendengar
kata-kata Touya, Alisa
yang berada di sebelah Masachika
mengerutkan alisnya dan duduk tegak. Namun, Touya
tampaknya tidak menyadarinya dan melanjutkan.
“Memang,
bagiku, posisi ketua OSIS itu...
bukanlah tujuannya, tetapi untuk menarik
perhatian Chisaki... tidak, itu tidak benar.”
Setelah jeda
sejenak, Touya mengalihkan pandangannya ke langit-langit dan menyipitkan
matanya seolah menghadap ke dalam dirinya.
“Aku yang dulu... terus mencari kesempatan untuk
berubah. Merasa rendah diri, dan bahkan
tidak bisa menyukai diriku sendiri.
Aku benar-benar membenci diri sendiri dan ingin berubah. Dan kesempatan itu,
bagiku, adalah perasaan cintaku
pada Chisaki.”
Mendengar
pengakuan jujur Touya, Masachika
dan Alisa membuka mata mereka lebar-lebar secara bersamaan.
“Kalau
dipikir-pikir lagi, pada
saat itu aku mungkin tidak mempercayai bahwa cinta ini bisa terwujud...
Tapi aku butuh kesempatan untuk berubah. Jadi, meskipun aku tahu itu adalah
cinta yang tidak mungkin, aku memberanikan diri
pada kesempatan itu. Kurasa alasanku berani mengakui cintaku kepada Chisaki, yang hampir
tidak aku kenal, mungkin juga demi
memutuskan jalan mundurku.”
“Eh,
kamu sampai melakukan itu, Ketua?”
“Iya,
dan setelah itu, aku langsung pergi bergabung dengan OSIS. Yah, itu karena Chisaki
memberi syarat seperti itu... Haha, akibatnya, di jalan pulang, tangan dan kakiku
bergetar tanpa henti. Aku masih mengingatnya dengan jelas.”
Touya berkata
demikian sambil tersenyum seolah-olah sedang mengenang masa lalu.
“Tapi,
berkat itu, aku benar-benar memutuskan jalan mundurku... Sejak saat itu, aku hanya
melihat ke depan dan terus berlari. Jika aku melihat ke belakang, aku ingin
berhenti, dan jika aku melihat sekeliling, aku merasa seolah-olah sedang
ditertawakan.”
Mungkin itu benar adanya. Touya
berdiri sendiri dan mulai berlari sendirian. Tentu saja, ada orang-orang
seperti ketua OSIS dan wakil ketua saat itu yang mendukungnya, tetapi... lebih
dari itu, tidak sulit untuk membayangkan bahwa ia lebih sering menghadapi
tatapan aneh dan ejekan.
“Sambil
terus berlari... sedikit demi sedikit, aku bisa berubah. Aku sangat senang
bahwa upayaku terbayar dengan hasil
terpilih, dan yang paling penting, aku sangat senang bisa menyukai diri
sendiri. Memang, aku tidak sepenuhnya bebas dari rasa bersalah karena
mendapatkan posisi ketua OSIS dengan alasan egois seperti ini... tetapi, lebih
dari rasa bersalah itu, aku telah mendapatkan banyak hal.”
Dengan
ekspresi yang cerah, Touya
tersenyum kepada Masachika dan Alisa.
“Setidaknya...
jika aku tidak mencalonkan diri dengan alasan rasa bersalah itu, aku akan
kehilangan kesempatan untuk berubah dan tetap menjadi diriku yang membenci diri
sendiri seperti dulu. Jadi, aku tidak menyesali keputusan untuk mencalonkan
diri dan aku bangga menjadi ketua OSIS.”
Setelah
mengatakan itu dengan senyuman yang percaya diri, Touya menatap Masachika dan berkata.
“Kuze,
aku tidak tahu apa yang sedang kamu khawatirkan saat ini. Namun, dari sudut
pandangku, kamu sedikit... terlalu memperhatikan orang-orang di sekitarmu. Itu pasti
merupakan suatu kebajikan, tetapi jika itu membuatmu berhenti dan menyesal, itu
akan menjadi masalah untukmu. Dan orang-orang yang kamu pedulikan tidak akan bertanggung jawab
atas keputusanmu untuk berhenti.”
Perkataan
Touya yang tegas namun lembut
membuat Masachika terbelalak. Melihat reaksinya,
Touya melanjutkan dengan lembut.
“Bukannya
itu tidak ada salahnya? Sesekali mengabaikan gangguan dari sekitar dan
mencoba berlari untuk dirimu
sendiri. Jangan terlalu khawatir tentang penyesalan di masa depan, dan fokuslah
pada harapan di masa depan. Siapa tahu, kamu mungkin bisa mencapai masa depan
tanpa penyesalan.”
Setelah
mengatakan itu, Touya
mengeluarkan suara “Yah” dan
tersenyum lebar.
“Jika
kamu berhenti, tidak ada yang akan bertanggung jawab... tapi karena aku sudah
mendorongmu seperti ini, kali
ini aku akan mengambil sedikit tanggung jawab. Jika setelah berlari kamu merasa
menyesal, aku akan mendengarkan keluhanmu.”
“Jadi
hanya mendengarkan keluhan saja, ya?”
“Tentu
saja, itu sangat bisa
diandalkan, bukan?"
“Wah,
sangat bisa diandalkan.”
Masachika
mengucapkan itu dengan nada suara datar sambil
tersenyum lemah. Setelah bertukar senyuman dengan Touya, Masachika kemudian mengubah
ekspresinya dan membungkuk dalam-dalam.
“Terima
kasih, Ketua... itu sangat membantu dan memberi semangat.”
“Terima
kasih. Itu pembicaraan yang
sangat baik.”
“Oh,
benarkah? Kalau begitu, aku senang.”
Touya tersenyum lebar kepada kedua
juniornya yang membungkuk. Saat itu, suara ketukan terdengar, dan guru
pembimbing kelas 2
menjulurkan wajahnya dari pintu.
“Kenzaki-kun,
bisa kemari dulu sebentar?”
“Ah,
iya. Ada apa?”
Touya dipanggil oleh guru dan keluar
dari ruangan. Di dalam ruangan OSIS
yang tiba-tiba menjadi sepi, Alisa mulai
bergumam pada dirinya sendiri.
“Meskipun
tidak ada alasan yang mulia... tidak ada salahnya
untuk mengejar posisi ketua OSIS demi diri sendiri.”
“…Ah,
benar juga.”
Masachika juga mengangguk ketika mendengar kata-kata
Alisa. Dan
kemudian, mereka berdua saling bertatapan dan tersenyum
diam-diam.
“…Sepertinya kekhawatiranmu sudah hilang, ya.”
“Kamu
juga ‘kan,
Alya?”
“Iya.”
Sambil tersenyum kecil, Alisa menatap ke depan dan
membuka mulut dengan ekspresi tegas.
“Aku
ingin menjadi ketua OSIS untuk diriku
sendiri dan bukan untuk orang lain.”
Seolah-olah sedang memastikan hatinya, Alisa
perlahan merangkai kata-katanya.
“Aku
tidak ingin bergabung dengan Raikoukai. Aku tidak mempunyai alasan khusus untuk menjadi ketua OSIS. Dan aku
tidak memiliki hal tertentu yang ingin aku lakukan setelah menjadi ketua OSIS.”
Setelah
mengakui itu dengan jelas, Alisa menyatakan dengan tegas.
“Tapi,
itu tidak masalah. Aku akan mengejar posisi ketua OSIS karena itu diperlukan
dalam hidupku. Aku tidak akan menyerahkan posisi itu kepada Yuki-san maupun kamu.”
Di sana,
tidak ada sedikit pun keraguan atau
kebimbangan. Masachika menatap wajah samping Alisa yang
tampak sedikit silau, lalu menghadap ke depan dan berkata.
“Aku... aku ingin kembali menjadi penerus
keluarga Suou untuk mengubah diriku.”
Masachika
bisa merasakan tatapan Alisa di pipinya. Namun, tanpa
menoleh, ia
berbicara dengan jujur sambil menghadapi perasaannya
sendiri.
“Mungkina
sebagian alasan dari itu untuk membebaskan Yuki, tetapi
pada akhirnya, itu semua hanya demi
diriku sendiri. Aku ingin mendapatkan kembali kebanggaanku dan belajar menyukai
diriku sendiri...”
Setelah
jeda sejenak, Masachika mengumumkan dengan tekad.
“Aku
akan merebut posisi penerus keluarga Suou dari Yuki.”
Dan
kemudian, ruangan OSIS dipenuhi dengan keheningan. Pernyataan keduanya larut di
udara, dan ketika gema itu sepenuhnya hilang, Alisa kembali angkat bicara.
“Jadi,
jalanmu sudah diputuskan.”
“…Iya.”
Masachika
mengangguk pada kata-kata Alisa, tetapi ia sedikit menundukkan kepalanya.
“Tapi,
yah...”
“Apa? Memangnya
masih ada sesuatu lagi?”
“Ah,
tidak...”
Masachika
menghindar sejenak, lalu berpikir, “Kurasa tidak
ada gunanya mengelak,” dan
menghela napas.
“Pada
akhirnya, aku hanya berpikir bagaimana meyakinkan Jii-sama...Meskipun
aku sudah mengambil keputusan, tetapi ia sudah bilang kalau ia tidak mengakui pemilihanku
sebagai wakil ketua...”
Alisa
berkata perlahan kepada Masachika yang menggaruk kepalanya dengan bingung.
“Jika
tidak bisa meyakinkannya dengan alasan yang logis... bukannya kamu masih memiliki pilihan
lain dengan berbicara jujur?”
“Eh?”
“Jika
logika tidak berhasil... kita harus menghadapi dengan hati. Jika kamu berbicara
jujur tentang perasaanmu seperti ketua yang tadi, mungkin beliau akan mengerti.”
“Eh~~~? Hmm~~...”
Masachika
mengeluarkan suara skeptis sambil memutar tubuhnya, terpengaruh oleh harapan
Alisa yang rapuh. Dalam benaknya, ia kembali
teringat kata-kata Kyoutaro yang diucapkan beberapa hari
lalu.
‘Bukan
berarti Ayah mertua
tidak mencintai keluarganya, oke? Ia hanya memikirkan keluarganya
dengan caranya sendiri.’
(…Apa iya begitu? Jika
hanya ada secercah harapan... mungkin aku bisa mencobanya?)
Bahwa
kepala keluarga Suou yang dikenal berdarah dingin
juga memiliki perasaan terhadap keluarganya. Ada kemungkinan untuk mendengarkan
kata-kata tulus dari keluarga dan tergerak.
(Tapi, aku tidak bisa memikirkan cara
lain.)
Masachika
merasa tidak mungkin bisa mengubah kakeknya yang sudah berpengalaman. Mungkin,
mencoba berbicara dari hati ke hati juga bisa jadi pilihan.
“…Baiklah.
Aku akan mencoba berbicara dari hati ke hati sekali.”
Ia
mengembalikan tubuhnya yang semula condong dan mengucapkan itu dengan tekad.
Namun, ekspresinya sedikit suram.
(Berbicara
dari hati, ya…)
Masachika merenungkan
kata-katanya sendiri dan
menundukkan kepalanya.
Berbicara dari hati berarti berbicara dengan jujur. Untuk itu, ia harus
terlebih dahulu memahami perasaannya sendiri.
Menyelami
lebih dalam ke dalam dirinya dan mencapai perasaan yang sebenarnya, yang bahkan
tidak ia sadari sendiri. Itu
adalah prasyarat utama.
(Perasaan
yang sebenarnya... perasaanku yang sebenarnya...)
Saat Masachika
sedang merenung, dirinya tiba-tiba mendengar kata-kata tak
terduga dari Alisa.
“Tentu
saja, aku juga akan ikut pergi bersamamu.”
“Oi!?”
Masachika
berbalik dengan cepat sambil mengeluarkan suara aneh,
dan Alisa berkata seolah-olah itu hal
yang wajar.
“Kamu
sendiri yang bilang. Ini adalah pertarungan pemilihan kita.”
“Ya,
memang benar begitu sih, tapi...”
“Dan...”
Alisa
kemudian sedikit mengalihkan pandangannya, lalu dengan
malu-malu merapikan rambutnya dan melanjutkan.
“Aku pernah
bilang, ‘kan? Bahwa aku akan mendukungmu
di sampingmu...”
Setelah mendengar
kata-kata dan sikap itu, Masachika sedikit tertegun dan tertawa canggung.
“Kalau
kamu saja sampai merasa malu begitu, aku juga jadi merasa malu, lho?”
“Ce-Cerewet
banget! Lagipula, sejak awal kamu
sendiri yang bilang begitu.”
“Iya,
jadi aku merasa malu dalam arti itu, oke?”
Dalam
konteks sejarah kelam. Masachika menambahkan dalam hati dan sedikit menggigil.
Lalu, dia menghadap ke depan dan berpikir.
(Tapi,
meskipun kita berdua mengungkapkan perasaan... apa kakek itu akan merasa tergerak?)
Masachika
mengangguk karena tidak ada cara lain yang terpikirkan, tetapi untuk bisa
menggerakkan kakeknya yang
keras kepala itu... jujur saja, kesan Alisa yang tidak tahu betapa keras
kepalanya kakek itu sangat optimis.
“Hmm~...”
Ia merasa masih
ada sesuatu yang kurang.
Menghadapi
kakek itu hanya dengan mengungkapkan perasaan saja masih belum cukup. Saat Masachika
merenung dengan firasat itu, terdengar ketukan di pintu dan Chisaki masuk.
“Terima
kasih atas kerja kerasnya~!
...Eh? Touya mana?”
Chisaki
menyapa dengan ceria dan melihat sekeliling
ruangan dengan bingung.
“Oh,
terima kasih buat kerja kerasnya juga.
Ketua tadi dipanggil oleh guru dan keluar sebentar.”
“Masa~?
Hmm~ sepertinya kita tidak berpapasan di tengah jalan.”
Sambil
menggelengkan kepala, Chisaki
duduk di kursi tempat Touya
sebelumnya dan bertanya kepada Masachika.
“Jadi,
apa ada sesuatu? Sepertinya kamu
terdengar gelisah.”
“…Kamu
mendengarnya? Dari balik pintu?”
“Eh,
iya.”
“…Begitu.”
Chisaki
mengangguk seolah itu sudah jelas, Masachika memutuskan untuk berhenti terlalu memikirkannya dan
menerima situasi tersebut. Ruang OSIS ini cukup kedap suara, dan dia tidak
ingat mengeluarkan suara keras saat mengeluh... Tapi, mungkin karena ini Chisaki,
jadi tidak perlu terlalu dipikirkan.
“Tidak...
aku ingin meyakinkan seseorang yang keras kepala, tetapi sepertinya tidak ada
cara untuk meyakinkannya dengan logika... jadi aku sedikit bingung.”
Saat Masachika
mengatakannya dengan nada putus asa, Chisaki mengangkat alis dan berkata dengan
santai.
“Jika
tidak bisa diyakinkan
dengan logika, ya sudah, tidak ada pilihan lain selain menggunakan kekuatan.”
“Pemikiran
yang sangat khas dari otak otot.”
Masachika
menanggapi dengan tatapan kosong—tiba-tiba, kilatan
inspirasi muncul di dalam benaknya.
Dengan pencerahan itu, Masachika membuka matanya
lebar-lebar... dan perlahan meletakkan tangan di mulutnya.
“Kuze-kun?”
“…Tidak,
Sarashina-senpai... itu
mungkin bisa jadi pilihan yang tidak terduga.”
“Eh,
seriusan?”
“Masachika-kun!?”
Tanpa
memperhatikan Chisaki yang terkejut dan Alisa yang melotot, Masachika terbenam
dalam pikirannya. Dan dengan rasa pasti, ia mulai merencanakan strategi.
Setelah
itu, Masachika membuat janji Gensei melalui Ayano untuk mengatur pertemuan dengan Gensei. Dua jam
kemudian, waktu yang ditentukan oleh Gensei adalah... hampir bisa dibilang
sangat dekat, yaitu sepulang
sekolah keesokan harinya.
◇◇◇◇
Keesokan
harinya, Masachika dan Alisa, bersama Ayano, diantar dengan mobil milik
keluarga Suou menuju ke kediaman keluarga Suou. Dalam
perjalanan, Masachika bertanya kepada Ayano yang duduk di kursi penumpang.
“Ehm, Ayano.”
“Ya,
ada apa?”
“Beberapa
waktu lalu... kamu pernah bertanya padaku, kenapa aku mencalonkan diri bersama
Alya, kan?”
“…Ya,
itu benar.”
“Apa
kamu menyampaikan cerita itu kepada Jii-sama?”
“…Ya,
saya sudah menyampaikannya.”
“Begitu ya, kalau begitu baiklah.”
Masachika
bisa merasakan tatapan penuh
pertanyaan dari Ayano melalui kaca spion, tetapi ia tidak menjawab dan fokus
pada pengulangan rencananya. Ketika mereka tiba di rumah keluarga Suou, setelah turun dari
mobil, mereka segera dibawa ke ruang kerja oleh Natsu yang menyambut mereka. Kemudian, Masachika dan Alisa bertemu
kembali dengan Gensei setelah beberapa hari.
“Kali
ini—”
Saat Masachika
ingin mengucapkan terima kasih karena sudah bisa bertemu, Gensei
menghentikannya dengan tangan dan berkata dengan tatapan dingin.
“Kamu tidak
perlu basa-basi atau salam yang tidak perlu. Aku juga akan melewatkan salam.
Jadi, ada urusan apa?”
Menanggapi
pertanyaan Gensei, Masachika menarik napas dalam-dalam, lalu ia mendekati meja kerja di mana Gensei
duduk. Ia berhenti berpura-pura dan
menghadapi kakeknya dengan dirinya yang sebenarnya.
“Aku
datang untuk mengoreksi dan meminta maaf.”
“Mengoreksi?”
Masachika
menatap mata Gensei yang sedikit curiga dan berkata.
“Sebelumnya
ketika Ayano bertanya kenapa aku mencalonkan diri bersama orang lain selain dengan
Yuki, aku menjawab bahwa alasan itu tidak ada hubungannya dengan Yuki atau
keluarga Suou.”
Setelah
mengucapkan semuanya dalam satu tarikan napas, Masachika melihat mata Gensei
untuk memastikan, tetapi tidak ada perubahan yang terlihat. Ia menyimpulkan bahwa, seperti
yang dikatakan Ayano, pembicaraan ini tampaknya telah disampaikan dengan baik,
dan Masachika melanjutkan.
“Itu
bohong. Setengah dari alasanku mencalonkan diri bersama
kandidat lain adalah memang untuk mencegah
Yuki menjadi ketua OSIS.”
Itu
adalah sesuatu yang sering dipikirkan Masachika sendiri setelah mencalonkan
diri bersama Alisa.
Kenapa dirinya memilih untuk mencalonkan diri
bersama Alisa? Tidak, bahkan sebelum itu.
Kenapa ia
tidak mencalonkan diri lagi bersama
Yuki di sekolah SMA?
Apa
karena dirinya merasa bersalah setelah terpilih
dengan mengesampingkan kandidat lain semasa SMP?
Memang ada alasan seperti itu.
Namun, jika hanya itu, rasa bersalah karena telah membebani Yuki dengan
tanggung jawab besar keluarga Suou jauh lebih besar.
Meskipun
begitu, mengapa ia tetap menolak untuk membantu Yuki dan terus menghindari
mencalonkan diri bersama dengannya? Setelah bertanya pada dirinya
sendiri berkali-kali, jawabannya justru sangat
sederhana.
“Aku
tidak ingin Yuki menjadi ketua OSIS.”
Itu
adalah motivasi utama yang bahkan tidak
disadari
Masachika sendiri.
“Jika
Yuki menjadi ketua OSIS... dia akan bergabung
dengan Raikoukai dan menjalani
kehidupannya sebagai anggota keluarga Suou. Aku sudah bisa membayangkan masa depannya yang begitu.”
Masachika
tidak ingin masa depan itu menjadi kenyataan. Setidaknya, ia ingin menghindari
menjadi dorongan terakhir untuk itu.
Ia tidak
bisa mengambil keputusan untuk kembali ke keluarga Suou, tetapi juga tidak bisa
membantu adiknya yang mengabdi pada keluarga Suou, sehingga hasilnya hanya
menjadi pengamat.
Dengan
membantu Yuki dalam pemilihan di sekolah SMP,
Masacihka sedikit mengurangi rasa bersalahnya terhadap adiknya. Dengan tidak
membantu dalam pemilihan di sekolah SMA,
ia menghindari rasa bersalah yang akan menentukan kehidupan adiknya. Sebuah
pengamatan yang sangat egois dan pengecut.
“Aku... tidak ingin melihat Yuki terikat
pada keluarga ini dan kehilangan kebebasannya. Aku lebih ingin melihat Alya... Kujou Alisa, mewujudkan impiannya. Itulah
alasanku mencalonkan diri bersama Kujou Alisa.”
“……”
Setelah Masachika
mengungkapkan isi hatinya, Gensei menatapnya dengan mata yang tidak bisa dibaca
emosinya. Kemudian, ia mengalihkan pandangannya ke arah Alisa dan perlahan membuka mulutnya.
“Apakah sampai sebegitu
menariknya masa depan yang diceritakan gadis itu hingga bisa menggerakkan
hatimu yang kosong?”
Setelah
mengucapkan itu, Gensei bertanya kepada Alisa.
“Kamu adalah Alisa Mihailovna Kujou, bukan? Kenapa
kamu ingin menjadi ketua OSIS?”
Mendengar
pertanyaan itu, Alisa melangkah
beberapa langkah maju dan berdiri di samping Masachika, lalu dengan percaya
diri mengumumkan kata-kata yang pernah diucapkannya dengan sedikit kebohongan
di masa lalu.
“Karena
aku hanya menginginkannya. Karena aku menginginkannya, maka aku akan mengincarnya.
Jika ada tempat yang
lebih tinggi, aku akan mencapainya. Begitulah cara hidupku.”
Tanpa
rasa bersalah maupu ragu, Alisa mengakui bahwa alasannya ingin
menjadi ketua OSIS adalah murni demi
kepentingan pribadinya.
“Selalu
menuju tempat yang lebih tinggi. Aku akan terus
maju dengan bodoh menuju diriku yang ideal. Demi terus
menjadi orang yang seperti itu, aku bertujuan untuk menjadi ketua OSIS.”
Bertujuan
untuk mencapai tempat yang
lebih tinggi bukanlah segalanya. Ada banyak cara hidup lain di dunia ini, dan
tidak ada yang benar atau salah. Alisa sudah
mengetahui hal itu. Dia mempelajari itu
dari pemuda yang berdiri di sampingnya.
Meski
begitu, meskipun dia tahu ada cara hidup lain, Alisa tetap ingin mengejar tempat yang lebih tinggi. Dia tidak bisa
berhenti untuk menjadi seperti itu. Begitulah sosok gadis yang bernama Alisa Mihailovna Kujou.
Masachika
tersenyum sambil melirik ke arah Alisa yang
dengan jelas menunjukkan kata-kata dan sikapnya.
Matanya tampak bersinar, tetapi tidak ada rasa rendah diri, hanya keceriaan
yang menyenangkan.
“Yah,
seperti yang kakek lihat...
Alya adalah orang seperti ini.
Setelah melihat sosoknya yang begitu lurus dan bersinar... aku ingin mengejar
mimpi itu bersamanya.”
Kemudian,
Masachika kembali dengan ekspresi serius dan mengungkapkan kepada Gensei.
“Aku
ingin mendukung mimpi Alya. Pada
saat yang sama, aku ingin membebaskan Yuki. Aku ingin memberinya masa depan
yang penuh dengan kemungkinan tak terbatas, bukan masa depan yang tertutup di mana dia menjadi diplomat dan kepala
keluarga Suou. Aku berpikir kalau itu semua demi Yuki, tetapi pada akhirnya, itu hanya demi diriku sendiri. Aku akan merebut
posisi sebagai pewaris keluarga Suou
dari Yuki untuk mendapatkan kembali kebanggaan diriku.”
Menanggapi
pernyataan tekad Masachika, Gensei tetap menjawab dengan tatapan dingin.
“Jadi?
Apa kamu ingin mengatakan kalau syaratnya dilonggarkan? Walaupun kamu terpilih sebagai wakil
dan bukannya ketua OSIS, apa kamu berencana memintaku untuk mengembalikanmu ke dalam
keluarga Suou?”
Apa kamu benar-benar berpikir
bahwa aku akan
mengakui hal semacam itu? Niat
Gensei tersampaikan dengan jelas. Namun, Masachika dengan
tegas menggelengkan kepalanya.
“Tidak,
aku tidak berniat melakukan negosiasi semacam itu. Aku sudah bilang, aku datang
untuk mengoreksi dan meminta maaf.”
Kemudian,
dia melemparkan pernyataan perang yang berbentuk permintaan maaf.
“Aku
ingin meminta maaf di sini karena akan melanggar janji di mana aku tidak akan lagi mengaku
sebagai kakak laki-lakinya
Yuki.”
Saat Masachika
menundukkan kepalanya, alis Gensei
bergerak sedikit, dan kerutan muncul di dahinya. Dengan tatapan yang semakin
tajam, Masachika menatap kembali dengan tegas dan mengumumkan.
“Pada salam
sambutan pengurus OSIS di upacara penutupan semester kedua, aku akan
mengumumkan kepada seluruh siswa bahwa aku adalah kakak kandung Yuki. Dan aku
juga akan mengumumkan bahwa aku berusaha merebut kursi pewaris keluarga Suou
dari Yuki.”
Mendengar
kata-kata itu, aura yang mengelilingi Gensei semakin tajam. Dengan tatapan
tajam yang menembus Masachika, Gensei bertanya dengan suara ditekan yang mengingatkan pada
gunung berapi yang hampir meletus.
“Apa kamu pikir aku akan mengizinkan
tindakan yang memamerkan perselisihan keluarga di depan umum?”
Meskipun ia merasakan bahaya dari tatapan kakeknya, Masachika menjawab tanpa
gentar.
“Aku
tidak meminta izin darimu. Keinginan Yuki juga tidak relevan. Terlepas Jii-sama dan Yuki
menginginkannya atau
tidak, aku hanya akan berusaha sekuat tenaga untuk merebut posisi kepala keluarga Suou demi diriku
sendiri. Aku akan membuat siswa Akademi Seirei
dan Raikoukai mengakui bahwa aku adalah
orang yang paling layak menjadi kepala keluarga Suou, dan menciptakan situasi
di mana Jii-sama mau tidak mau harus menyetujuinya.”
Sebuah
pernyataan tekad yang angkuh dan sombong.
Setelah
mendengar itu, Gensei menyipitkan matanya... dan sedikit menundukkan wajahnya,
lalu menutup matanya. Setelah beberapa detik keheningan, ia menghembuskan napas dan
menghilangkan aura menakutkan itu.
Setelah melakukan itu, Gensei memandang Alisa dengan mata yang kini tidak lagi
tajam, dan berkata dengan
suara yang terdengar tenang.
“Kujou-kun,
terima kasih telah datang hari ini, tetapi maaf, bisakah kamu keluar dari ruangan ini dulu sebentar?”
“Ah,
ehmm.”
Alisa tampak kebingungan dan melihat ke arah Masachika saat mendengar permintaan dan ucapan
terima kasih yang tak terduga dari Gensei. Masachika juga mengangguk dengan
ragu.
“Pergilah, tidak apa-apa.”
“U-Umm... Baiklah. Jika demikian, aku permisi.”
Setelah
memberi salam kepada Gensei, Alisa berbalik.
Gensei kemudian memanggilnya seolah teringat sesuatu.
“Oh,
iya. Kujou-kun, boleh aku bertanya satu hal?”
“Eh,
iya.”
Gensei
bertanya kepada Alisa yang
menoleh kembali.
“Nama
ibumu, siapa namanya?”
“Eh? ……Namanya Akemi.
Kata ‘Ake’ yang
berarti fajar, dan ‘mi’ yang berarti lautan, jadi Akemi.”
“……Begitu ya.”
Alisa
memiringkan kepalanya setelah menjawab pertanyaan yang
terasa mendadak itu.
“Apa Anda
mengenal ibuku?”
“...Hanya sedikit.
Tidak ada yang terlalu penting. Maaf telah menghentikanmu.”
“Ah,
tidak apa-apa…… kalau begitu, aku permisi.”
Mungkin Alisa menyadari bahwa Gensei tidak ada niatan untuk menjawab dari sikapnya. Dia membungkuk sekali lagi di
depan pintu sebelum keluar dari ruang kerja.
Dengan
begitu, hanya kakek dan cucu yang tersisa di dalam ruangan. Beberapa saat waktu keheningan terus berlalu…… Gensei kemudian membuka mulutnya dengan tenang.
“Apa kamu berubah karena pengaruh gadis itu?”
Dengan
pertanyaan yang agak sulit dipahami itu, Masachika merasa sedikit bingung,
tetapi setelah berpikir sejenak, ia menjawab dengan hati-hati.
“Pengaruhnya memang yang
terbesar…… tetapi bukan hanya itu saja.
Kupikir itu semua karena pengaruh
dari banyak orang yang kutemui setelah meninggalkan rumah ini.”
“.....Begitu
ya.”
Setelah
menggumamkan itu dan mengangguk dalam-dalam, Gensei menatap Masachika dan
berkata.
“Baiklah.
Jika kamu menjadikan gadis itu sebagai pasanganmu, aku akan mengembalikanmu ke dalam keluarga Suou meskipun kamu terpilih sebagai wakil ketua, tapi
dengan syarat kamu tidak
mengumumkan bahwa kamu adalah
kakaknya Yuki dan sedang memperebutkan posisi pewaris.”
Dengan
perintah dan kompromi yang tiba-tiba itu, Masachika merasa bingung dan secara
refleks merasakan ketidakpuasan.
“Itu…”
“Dasar bodoh. Bukan hanya dirimu saja, apa kamu berencana
mempermalukan Yuki di hadapan
tatapan penuh rasa penasaran?”
“....”
Dirinya
merasa lemah ketika dikatakan begitu.
Sanggahan yang hampir keluar dari mulutnya
segera terhenti, dan Masachika menelan kata-katanya. Gensei menatap cucunya
dengan tatapan seolah melihat seseorang yang belum dewasa, lalu menghela napas.
Kemudian, ia tiba-tiba bertanya.
“Apa kamu berpacaran dengan gadis itu?”
“..............Hah!?”
Masachika
sangat terkejut dengan
pembicaraan yang tidak terduga dari kakeknya yang tegas. Ditambah lagi, tatapan
serius Gensei yang terus menatapnya membuat Masachika benar-benar kebingungan.
“Tidak,
bukan begitu…… maksudku, itu tidak ada hubungannya denganmu!”
“Dasar dungu. Kita
sedang membicarakan seseorang yang mungkin menjadi istri kepala
keluarga Suou di masa
depan, ‘kan? Tentu saja ada hubungannya.”
“Ti-Tidak, itu sih, kamu terlalu
cepat mengambil kesimpulan!!”
Jeritan Masachika
yang penuh dengan ketidakberdayaan bergema di ruang kerja saat kakeknya mulai mengatakan hal-hal yang tidak terduga dan keterlaluan dengan wajah yang sangat serius.
◇◇◇◇
“Kalau
begitu, aku permisi.”
Setelah
berkata demikian dan membungkuk, Alisa keluar
dari ruang kerja Gensei, menutup pintu dengan hati-hati, lalu berbalik menghadap
koridor dan menghela napas kecil──
“......huh”
“……”
....Saat
hendak melakukannya, tatapan matanya bertemu dengan Ayano yang
menunggu di koridor, dan napas yang hampir keluar dari mulutnya tertahan.
“……Apa pembicaraannya sudah selesai?”
“Eh, ya,
untuk sementara…… sepertinya Masachika-kun
masih ada yang ingin dibicarakan.”
“Begitu
ya.”
Dengan
ekspresi yang sulit dibaca, Ayano mengangguk perlahan dan sedikit miringkan
kepalanya.
“Jika Alisa-san tidak keberatan, saya akan sangat menghargai jika
Anda menjenguk Yuki-sama.”
“Ah, ya,
um……”
Saat dia berusaha mengangguk, pikiran
tentang kemungkinan dipanggil kembali oleh Gensei terlintas di benak Alisa. Melihat gerakan leher Alisa yang terhenti, Ayano berkata seolah-olah dia bisa membaca pikirannya.
“Saya akan menunggu di sini, dan jika
ada panggilan dari kepala keluarga,
saya akan memberitahu Anda. Jadi,
tidak perlu khawatir tentang itu.”
“Ah,
begitu? Kalau begitu…… boleh aku memintamu untuk itu?”
“Serahkan
saja pada saya.”
“Kalau
begitu, aku akan menjenguknya…… jika tidak mengganggu.”
“Anda tidak sama sekali
mengganggu…… saya meyakini bahwa Yuki-sama
pasti akan senang. Kalau begitu, mari ikuti saya.”
Setelah
berkata demikian, Ayano mulai berjalan dan Alisa mengikutinya menyusuri koridor.
Ketika mereka tiba di depan kamar Yuki, Ayano mengetuk pintu tiga kali sebelum
memanggil.
“Yuki-sama,
apa Anda ada di sana? Alisa-san
datang berkunjung untuk menjenguk.”
『Silakan
masuk』
Mengabaikan
kekhawatiran Alisa bahwa
Yuki mungkin sedang tidur, suara Yuki yang relatif ceria menjawab ketukan itu.
“Silakan.”
“Ah, iya…… permisi.”
Saat
melangkah masuk melalui pintu yang dibuka oleh Ayano, pandangan mata Alisa bertemu dengan tatapan
Yuki yang berdiri membelakangi
jendela yang disinari cahaya senja.
“Ah,
selamat datang, Alya-san.
Terima kasih telah datang untuk menjenguk.”
Alisa tertegun ketika Yuki mengatakan itu
dengan senyum tipis di wajahnya.
Gambaran Yuki yang seperti anak kecil
yang dia lihat pada hari itu.
Sosok
Yuki yang biasanya menunjukkan sifat kedewasaan.
Kedua sisi itu bercampur dalam cahaya senja, membuat garis wajahnya menjadi
samar.
Alisa terdiam tanpa kata di hadapan Yuki yang tampak tidak
nyata dan memiliki aura yang sedikit misterius.
Melihat Alisa yang seperti itu, Yuki tetap
tersenyum sambil sedikit memiringkan kepalanya dan menunjukkan kursi dengan tangannya.
“Ayo, silakan duduk.”
“Ah……”
Setelah mendengar
kata-kata Yuki, Alisa yang
setengah melamun kembali tersadar dan membersihkan tenggorokannya.
“Terima
kasih…… tapi tidak apa-apa, aku akan tetap seperti ini.”
“Begitu
ya?”
“……”
Alisa menyadari bahwa dia seolah
terjebak dalam situasi ini dan berusaha untuk mengendalikan ritmenya. Namun,
suasana tenang yang menyelimuti Yuki membuatnya sulit berpikir, sehingga yang
keluar hanyalah kata-kata yang tidak berarti.
“Syu-Syukurlah, sepertinya keadaanmu
terlihat lebih baik dari yang aku kira.”
“Fufu, terima kasih…… tapi, sepertinya
bukan itu saja yang ingin kamu katakan, bukan?”
Dengan
tawa kecil, Yuki berkata seolah-olah bisa melihat ke dalam hati Alisa, yang membuat Alisa mengencangkan ekspresinya karena
semangat bersaing dengan rivalnya.
“……Aku sudah mendengar dari Masachika-kun. Bahwa kamu adalah adik
perempuannya.”
“Ya,
sepertinya begitu.”
Yuki
mengangguk dan menundukkan kepalanya tanpa
menunjukkan tanda-tanda terganggu.
“Maafkan aku ya, Alya-san.
Meskipun aku mempunyai alasan tersendiri,
aku sudah menipumu.”
“Su-Sungguh,
aku tidak merasa ditipu……”
Alisa merasa terguncang dengan kata-kata Yuki yang kuat.
Dia kemudian membersihkan tenggorokannya dan berkata.
“Ak-Aku
memang terkejut…… tapi pasti ada alasannya,
‘kan? Selain itu, sepertinya bukan
aku saja satu-satunya yang tidak mengetahuinya…… jadi,
aku rasa itu sudah cukup.”
Mendengar
kata-kata yang penuh pengertian itu, Yuki mengangkat kepalanya dan tersenyum
tipis.
“Fufu, Alya-san
memang orang yang baik dan luar biasa.”
“Ap-Apaan sih, duhh……”
Alisa merasa malu dan mengalihkan
pandangannya, memutar-mutar rambutnya dengan ujung jari. Namun, segera setelah
itu, dia seolah tersadar dan menghentikan gerakan jarinya, lalu kembali
membersihkan tenggorokannya.
“Aku sudah tidak mempermasalahkan hal itu……
tapi, aku ingin mendengar ceritamu.”
“Ceritaku…… ya?”
“Ya……
sekarang aku tahu bahwa kamu
adalah adik perempuan Masachika-kun,
jadi aku ingin berbicara denganmu
lebih lanjut.”
Setelah
mendengar Alisa dengan
tegas mengungkapkan keinginannya, Yuki mengalihkan
pandangannya ke luar jendela, menatap matahari yang tenggelam sambil
menyipitkan matanya.
Lalu,
dengan suasana yang tampak rapuh, dia melangkah menjauh dari jendela dan duduk
di kursi sambil mengangguk.
“Baiklah……
aku...... aku* juga ingin ada seseorang
yang mendengarkanku.”
Alisa tertegun dengan kata ganti pengucapan Yuki yang mungkin merupakan jati dirinya yang sebenarnya. (TN: Kata
‘aku’ pertama menggunakan kata ‘Watakushi’, sedangkan ‘aku’ yang kedua
menggunakan kata ‘Atashi’)
Tanpa
melihat ke arah Alisa....Yuki mulai berbicara seolah-olah dia sedang berbicara pada dirinya sendiri.