Epilog — Itulah Sebabnya, Aku Menjadi Aku
(TN:
Judul epilognya cukup tricky karena artinya sama-sama aku, tapi biar mimin
kasih penjelasan. Kata ‘Aku’ yang pertama menggunakan kata ‘Watashi’, sedangkan
kata ‘aku’ yang kedua menggunakan kata ‘Atashi’. Walaupun sama-sama bisa
diartikan sebagai aku, kata ‘Watashi’ lebih cenderung formal/kaku dan
bisa digunakan baik laki-laki maupun perempuan, artinya penggunaan katanya
netral dan terlihat sopan jika digunakan dalam situasi apapun. Sedangkan kata
‘Atashi’ merupakan penggunaan kata non-formal dan cenderung dipakai hanya
perempuan saja, penggunaan ‘Atashi’ biasanya digunakan untuk situasi santai dan
kasual. Jadi jika ada perubahan cara pernggunaan kata dari ‘Watashi’ menjadi
‘Atashi’ hal itu bisa menandakan kalau orang tersebut merasa nyaman dan dekat
dengan kalian. Mimin minta maaf kalau penjelasannya terlalu panjang)
Masa-masa
ketika aku masih anak kecil sudah menjadi kenangan yang kabur di dalam ingatakanku. Aku
adalah anak nakal yang sangat suka berbuat iseng.
Aku
sering menggambar di berbagai sudut rumah, melarikan diri ke luar setiap kali harus
belajar, dan membawa pulang serangga atau bola lumpur. Aku sering tertawa sambil bertepuk tangan ketika melihat Nii-sama yang sedang belajar
dengan tekun, terkejut ketika aku
melemparinya.
Meskipun
aku merupakan anak nakal yang selalu dimarahi Ojii-sama, orang tua dan Nii-sama sangat baik padaku.
“Selama
tidak mengganggu orang lain, kamu boleh melakukan
apapun yang kamu suka. Kamu boleh menimbulkan masalah pada keluargamu.”
Okaa-sama
tidak pernah menyangkalku. Meskipun aku selalu menghindari belajar dan kegiatan
lain, dia mengizinkanku untuk
bersenang-senang dengan hal-hal yang membuatku terpesona.
“Hee~
bukannya itu bagus?”
Itu
adalah ungkapan khas Otou-sama.
Setiap kali aku menggambar coretan
atau berbuat iseng, kata pertamanya selalu “bukannya
itu bagus?”
“Mungkin ini
singa, ya? Kamu menggambarnya dengan baik.
Sepertinya Yuki juga punya bakat menggambar, ya.
Tapi, menggambarnya di dinding mungkin bukan ide yang baik.”
Ketika
aku bilang bahwa aku tidak bisa menggambar besar jika bukan di dinding, ayahku
tertawa dan berkata, “Kurasa itu ada
benarnya”.
Pada hari berikutnya, ia membelikanku
papan putih besar. Sejak saat itu, aku tidak pernah menggambar di dalam rumah
lagi.
“Duhh,
apa boleh buat deh.”
Nii-sama
selalu tersenyum dengan kebingungan atas keusilanku dan memperhatikanku. Hal tersebut membuatku senang, jadi
aku melakukan berbagai keusilan padanya.
Meskipun begitu, Nii-sama
selalu baik padaku… dan itu tidak berubah bahkan setelah aku terserang asma.
“Yuki,
sepertinya kamu agak baikan
hari ini. Kalau begitu, ayo kita main kartu.”
Seorang adik yang hanya berbaring dan
menarik perhatian orang tua, tentu bisa dianggap mengganggu. Namun, Nii-sama tetap menjadi kakak yang baik
seperti sebelumnya, dan aku sangat menyukainya.
“Ah,
sudah waktunya, ya.
Baiklah, Yuki. Aku akan datang lagi.”
“Ya…
sampai jumpa.”
Ketika berjalan keluar menjadi semakin sulit,
waktu yang kuhabiskan di dalam kamar mulai mendominasi hari-hariku. Aku pertama
kali menyadari betapa padatnya jadwal Nii-sama
setiap hari. Dan kemudian, aku
menyadari bahwa alasan kenapa selama
ini aku bisa berperilaku bebas karena… Nii-sama
bekerja keras untukku.
“Nii-sama,
kamu pasti sangat sibuk dengan semua kegiatanmu, ‘kan?”
“Hmm?
Itu sama sekali tidak masalah, kok. Lagipula, sekarang giliran Yuki.”
Namun, Nii-sama tidak pernah menunjukkan betapa
sulitnya situasi yang dialaminya
di hadapanku. Ia selalu berpikir bahwa Yuki yang sakit lebih menderita daripada
dirinya yang sehat. Ia selalu
tersenyum di hadapanku.
Bukan
hanya Nii-sama saja. Ojii-sama juga sibuk bekerja sebagai
kepala keluarga Suou. Otou-sama
berusaha keras dalam pekerjaannya sebagai diplomat. Okaa-sama mendukung Otou-sama dan Nii-sama. Lalu, bagaimana dengan diriku?
(Apa yang
bisa aku lakukan untuk keluarga ini…?)
Ketika aku terus menghabiskan waktu tanpa
bisa melakukan apa-apa, pikiranku mulai dipenuhi dengan hal-hal semacam itu. Ketika aku mulai menderita asma dan dibuat kerepotan, aku sering berpikir, “Apa yang akan dipikirkan semua
orang jika aku mati seperti ini?”
Keluarga
dan pelayan rumah ini mungkin
akan bersedih. Namun… di suatu tempat di dalam
hati mereka, mungkin mereka akan merasa lega karena tidak ada lagi beban. Dan
orang-orang lain mungkin tidak akan menyadari bahwa aku sudah mati. Aku akan
menghilang dari ruangan ini tanpa ada yang memperhatikan, dan itu membuatku
sangat ketakutan.
(Aku
juga… ingin melakukan sesuatu.)
Itu
adalah keinginan pertamaku. Aku ingin melakukan sesuatu untuk keluarga ini. Aku
ingin keluar dan melakukan sesuatu yang akan diingat orang-orang. Namun,
tubuhku tidak mengizinkanku untuk melakukannya. Jadi… setidaknya, aku
memutuskan untuk tersenyum. Seperti Nii-sama
yang selalu tersenyum di hadapanku. Supaya
tidak ada lagi yang membuat senyum keluarga kami pudar. Meskipun sulit dan
menyakitkan, aku berusaha tersenyum seolah-olah semuanya
baik-baik saja. Saat melakukannya, anehnya aku merasa lebih
baik. Aku belajar bahwa meskipun itu kebohongan atau akting, jika kita tetap
bertahan untuk terus melakukannya, itu
bisa menjadi nyata.
Namun di
sisi lain, entah sejak kapan, senyuman Nii-sama mulai terlihat semakin menyakitkan… dan
seiring berjalannya waktu, senyum Okaa-sama juga semakin berkurang.
Interaksi di antara
mereka berdua menjadi semakin canggung. Pada hari ketika suara piano Nii-sama tiba-tiba berhenti, aku secara naluriah berpikir, “Ah, Okaa-sama dan Nii-sama tidak bisa bersama lagi”.
“Aku
dan Masachika sudah
memutuskan untuk tinggal di tempat yang berbeda… kalau kamu bagaimana, Yuki?”
Ketika Otou-sama bertanya seperti itu padaku, aku merasa terombang-ambing.
Sebenarnya, aku ingin berteriak, “Kenapa?
Aku ingin kita semua tetap
bersama!”.
Namun…
memikirkan Nii-sama dan Okaa-sama yang tidak lagi tersenyum
seperti dulu, aku tidak bisa mengatakannya. Aku sangat menyayangi mereka
berdua. Aku ingin mereka berdua kembali
tersenyum. Oleh karena itu, aku
berkata…
“Aku
akan tinggal di rumah ini. Otou-sama,
tolong buatlah Nii-sama
tersenyum.”
Setelah
aku mengatakannya, Otou-sama
memelukku dengan senyuman yang
hampir menangis. Saat itu, ia tidak berkata, “Bukannya
itu bagus?”, seperti biasanya.
“Okaa-sama!
Tolong bacakan
buku ini!”
Setelah Otou-sama dan Nii-sama pergi, aku berusaha keras untuk
membuat Okaa-sama tersenyum. Aku tahu ada sesuatu
yang terjadi antara Okaa-sama
dan Nii-sama, tetapi aku berpura-pura tidak mengetahuinya dan bertingkah manja dengan Okaa-sama. Dengan
senyum yang seperti malaikat, tanpa tahu hal-hal gelap atau kotor. Dan entah
bagaimana, ketika Okaa-sama
mulai tersenyum lagi seperti dulu, penyakit asmaku
berangsur-angsur membaik, dan aku bisa
bergerak dengan ceria.
(Horee! Sekarang aku bisa
melakukan apa saja! Sekarang aku bisa
melakukan semua yang sebelumnya tidak bisa kulakukan!)
Setelah memikirkan
itu, aku merasa ingin melakukan apa saja.
Aku tidak terlalu menyukai belajar, dan aku juga punya kesukaan dan ketidaksukaan dalam kegiatan ekstrakurikuler, dan tidak ada yang bisa kulakukan
sebaik Nii-sama… Namun, aku tetap bisa merasakan pencapaian dalam upayaku. Aku merasa senang bisa melakukan
sesuatu untuk keluarga, dan senang
bisa menghasilkan sesuatu yang diingat orang-orang.
Aku
tumbuh sedikit demi sedikit dengan cara begitu,
dan ketika aku merasa sudah bisa menggantikan Nii-sama
dengan baik, aku pergi menemui Nii-sama
setelah sekian lama.
Sama seperti Nii-sama yang dulu berusaha
keras untukku. Sekarang, aku akan
berusaha keras untuk Nii-sama.
Jadi, aku ingin memberitahunya bahwa ia tidak perlu khawatir tentang rumah ini lagi. Aku sudah baik-baik saja, dan ia bisa
merasa tenang.
Itulah
yang ingin kusampaikan. Namun,
“Sudah
lama tidak bertemu ya, Yuki… Aku senang melihatmu baik-baik saja.
Kamu sudah menjadi sangat hebat.”
Nii-sama
menunjukkan senyuman canggung dan membuang muka saat aku
menyapanya dengan segenap kemampuanku
sebagai seorang Wanita terhormat.
Sejak saat itu, apapun yang kulakukan, Nii-sama tidak lagi tersenyum seperti dulu.
(Ah,
sekarang aku hanya membuat Nii-sama
merasa berutang budi.)
Suatu
hari, aku tiba-tiba menyadari hal itu. Nii-sama
merasa bahwa aku berubah karena salah dirinya.
Ia merasa bahwa mau tak mau aku
harus berubah.
Semakin
aku berusaha untuk menjadi pewaris keluarga Suou yang layak, Nii-sama semakin merasa berutang budi dan
terus menyalahkan dirinya sendiri.
“Nii-sama,
aku punya hadiah untukmu! Ayo ulurkan tanganmu!”
“Hmm?
Ya.”
“Ini,
kecoa! Tapi ini cuma mainan, sih!”
“Ahaha…”
Meskipun
aku mencoba berbuat nakal sama seperti
saat kecil dulu, Nii-sama hanya tersenyum canggung dan
mengalihkan pandangannya. Ia tidak bisa tertawa dari hatinya seperti dulu…
(Kenapa?
Kenapa malah menjadi seperti ini?)
Seharusnya
tidak begini. Aku ingin Nii-sama kembali tersenyum. Namun…
semakin baik dan sopannya diriku,
semakin muram juga wajah Nii-sama. Jika itu yang terjadi, maka
aku…
(…Aku ingin menjadi anak bodoh.)
Sama seperti saat-saat di mana aku masih menjadi anak yang
nakal dan tidak bisa diatur. Aku ingin menjadi anak bodoh yang membuat Nii-sama tertawa tanpa sengaja. Tidak,
aku akan melakukannya.
Supaya
Nii-sama bisa tersenyum lagi. Agar ia mau memperhatikanku
lagi.
Aku akan
menjadi adik perempuan yang
bodoh sampai membuat orang geleng kepala. Aku akan menjadi adik yang terlalu
imut untuk dipercaya.
“Cara menjadi.... adik perempuan yang imut... Eh? Entah kenapa, malah anime yang keluar.”
Kemudian,
aku mulai mencari informasi tentang adik perempuan yang
imut di internet.
Di dalam manga dan anime yang muncul, ada
berbagai tipe karakter adik perempuan.
Aku mulai meniru mereka dan membentuk wajah
baruku.
“Nii-san… rasanya
agak kaku ya. Mungkin Onii-chan?
Atau, bagaimana kalau sekalian dipanggil
Onii-chan-sama… kalau Ani-ja, mungkin itu terlalu aneh, ya? Yah,
mungkin aku bisa sekalian
coba-coba saja… Oh, aku juga harus mengubah cara memanggil diriku… atashi, boku…
rasanya kurang cocok ya… bagaimana kalau
berani mengubahnya jadi ore? Hmm~
bagaimana ya~?”
Dan dalam
proses mempelajarinya, tanpa sengaja aku
terpesona dengan dunia dua dimensi. Aku merasa ini bisa menjadi kesempatan baik
untuk berbicara dengan Nii-sama.
“Baiklah~ untuk sementara~ aku akan merekomendasikan manga
ini kepada Nii-sama… eh, maksudku Onii-chan-sama, saat kita bertemu nanti. Fuhahaha, tunggu saja, Onii-chan-sama yang kucintai!”
Tidak
masalah jika terdengar palsu. Tidak masalah jika aktingku terungkap. Aku akan
mempertahankan kebohongan dan akting ini, sampai semuanya
menjadi nyata.
(Oleh karena itu, kumohon…)
Kembalilah seperti dulu. Dengan senyuman, “Duh, apa
boleh buat deh.”
Jadi, tersenyumlah, Nii-sama yang sangat kusayangi.