Chapter 2 — 21 Oktober (Kamis) Asamura Yuuta
“Ahhh!
Makanan yang kumakan hampir saja keluar dari mulutku...”
Sambil
menekan mulutnya, Yoshida berlari keluar dari area lapangan dan terjatuh
telentang di pinggir lapangan. Di sampingnya, aku juga duduk dan melihat ke
atas. Pemandangan cakrawala hari ini masih sangat tinggi. Di atas kanvas biru
yang membentang di pandangan, ada banyak garis putih tipis yang tampak seperti
goresan kasar. Itu adalah awan stratus atau cirrus. Awan itu terbawa angin,
seolah-olah terpisah, dan perlahan-lahan mengubah bentuknya saat aku
menatapnya.
“Memang
sulit bermain sepak bola di jam pelajaran kelima.”
Meskipun ia mengatakan
demikian, Shinjo tidak mengubah ekspresi tenangnya dan datang mendekat untuk duduk
di sampingku. Maru juga datang dan duduk di sisi Yoshida. Waktu olahraga
dilakukan secara gabungan antara kelas yang berdekatan. Anak laki-laki di satu
kelas, sedangkan anak perempuan di kelas lain. Maru dan Shinjou berada di kelas
sebelahku dan Yoshida, jadi kami melakukannya bersama saat jam pelajaran olahraga.
Namun,
selama pelajaran, biasanya kami tidak banyak berbicara. Hanya saja, hari ini
kebetulan materi pelajarannya bermain sepak bola. Kami dibagi menjadi tiga tim,
dan jumlahnya cukup pas, sehingga siswa yang tidak bermain memiliki sedikit
waktu untuk mengobrol.
Maru yang
terakhir duduk, sebagai mantan anggota klub bisbol, tidak terlihat kehabisan
napas dan berkata setelah duduk.
“Tapi ini
pas untuk tubuh yang tidak terbiasa.”
Yoshida yang
terengah-engah terlihat lesu.
“Kami tidak
melakukan olahraga yang berat seperti kamu, Maru.”
“Saat ada kegiatan
klub, aku akan menyelesaikan makan siangku lebih awal untuk latihan siang. Ini sih
tidak bisa disebut olahraga sama sekali.”
“Iya, iya.”
“Bukannya
kamu nya saja yang makan terlalu banyak, Yoshida?” tanyaku sambil mengingat
waktu istirahat makan siang. Yoshida juga sedang memakan bekal yang dibeli di
kantin hari ini. Dua bekal. Sudah kuduga, ia memakan terlalu banyak sampai
memakan dua bekal.
“Ketika aku membelinya
di menit-menit terakhir, keduanya sedang diobral menjadi setengah harga. Jadi,
aku membelinya. Setengah harga, setengah harga, loh. Dengan uang yang sama, aku
bisa makan dua kali lipat.”
Suasana
tatapan Maru dan Shinjou menurun tiga derajat.
“Kamu makan
terlalu banyak.”
“Iya,
terlalu banyak.”
Aku juga
setuju.
“Tapi,
Yoshida, kenapa kamu makan di kelas?”
Maru
mengatakan itu karena dirinya juga mengetahui bahwa Yoshida baru-baru ini
sering makan bersama pacarnya, Makihara-san. Kenapa ia bisa tahu? Karena saat festival
budaya, Yoshida dengan senang hati memberitahu orang-orang di sekitarnya.
Yoshida
terdiam sejenak. Bukan karena merasa mual, tetapi mungkin karena merasa
tersentuh oleh kata-kata itu.
“Eh,
Yoshida. Apa kamu bertengkar dengan pacarmu?”
Shinjou bertanya dengan suara pelan supaya tidak terdengar oleh teman-teman lain yang duduk di sekitar kami.
“Enggak,
bukan bertengkar sih...” jawab
Yoshida.
“Tapi aku
melihat kalian pulang pergi bersama,” ucap Maru. Begitu ya, ternyata
mereka masih Bersama di situ.
Setelah
sedikit ragu, Yoshida berbaring dan melihat ke langit sambil berkata.
“Aku
tidak mengerti.”
“Apanya yang tidak kamu mengerti?”
Aku
menduga ia ingin bercerita, jadi aku mendorongnya. Yoshida kemudian berkata pelan.
“Dia
tidak mengizinkanku untuk masuk
ke rumahnya lagi.”
“Oh,
begitu rupanya.”
Maru
menjawab dengan nada seolah-olah
mengerti. Apa yang dia maksud dengan 'begitu'?
“Jadi
maksudnya, Yoshida
melakukan sesuatu di rumah Makihara dan sekarang dilarang masuk?”
“Bukan
begitu kaliii!”
Yoshida
bangkit dan berteriak. Orang-orang di sekitar kami
langsung dibuat terkejut dan melihat ke arah kami. Guru yang
bertugas sebagai wasit menatap dengan tajam. Menakutkan. Guru olahraga itu
bukan tipe yang melakukan kekerasan fisik, tetapi suaranya keras dan tubuhnya
besar. Katanya dia memiliki sabuk hitam dalam judo. Yoshida menjawab, “Kami sedang berusaha tenang!” sambil membungkukkan kepala.
Ekspresi guru itu melunak, dan ketegangan di antara siswa yang ditatapnya mulai
mereda.
Salah satu
sisi baik dari Yoshida ialah
caranya
yang mampu segera
memperhatikan situasi dan mencairkan suasana.
Setelah
berbaring kembali, Yoshida menurunkan nada suaranya dan mulai bercerita. Dirinya dan Makihara-san terkadang
belajar bersama di rumah Makihara-san
setelah sepulang sekolah. Karena mereka sudah melakukannya sejak
musim panas, berarti itu sudah
sekitar dua bulan.
Namun,
belakangan ini, Yoshida
sama sekali tidak diizinkan masuk ke rumahnya. Meskipun keduanya tidak dalam
keadaan bertengkar, tampaknya jika Yoshida menunjukkan niat untuk pergi ke
rumahnya, Makihara-san menjadi tidak senang.
“Mungkin
dia cuma ingin fokus pada belajar untuk
ujian?”
Aku
berspekulasi, karena itulah
yang terlintas dalam pikiranku tentang diriku dan Ayase-san. Aku dan Ayase-san
bisa saja belajar bersama di meja makan atau ruang tamu, tetapi kami belum
pernah mencobanya. Kami tahu itu akan mengganggu konsentrasi.
Aku
berpikir bahwa keberadaan orang lain mungkin
mengganggunya, tetapi
pernyataan Yoshida yang berikutnya
menunjukkan bahwa pendapatku ternyata salah.
“Apa iya
begitu? Tapi, kami masih pergi ke restoran cepat saji
untuk belajar seperti biasa,”
kata Yoshida. Dengan kata lain, Makihara-san sama sekali tidak ada
masalah dengan belajar bersama Yoshida.
“Selain
itu, jika dia memang tidak menyukainya, kenapa
dia tidak mengatakannya saja, sih? Kenapa dia tiba-tiba diam dan jadi tidak
senang begitu?”
Yoshida
bingung dan memegangi
kepalanya dengan galau. Shinjou kemudian mencoba menenangkan.
“Bahkan
jika kalian pasangan, pasti ada waktu di mana kalian tidak ingin berada di
ruang yang sama. Jadi menurutku kamu tidak
perlu terlalu memikirkannya. kok?
Selama kalian berdua masih pulang pergi bersama...”
Ketika
Shinjou mengatakan itu, entah kenapa itu terdengar
seolah-olah berdasarkan
pengalamannya sendiri. Aku
merasa mungkin ada benarnya juga.
Namun,
Maru kemudian bertanya pada Yoshida.
“Kamu
bilang kalau kalian belajar di rumah Makihara,
‘kan?”
“Ya,
benar.”
“Apa seringnya begitu? Apa kalian berdua tidak pernah belajar
di rumahmu, Yoshida?”
“Tidak pernah, sih...”
Jawabannya cukup mengejutkanku, jadi aku
bertanya, “Kenapa?”
“Rumahku
berbeda dengan rumahnya, tempatku itu sempit,
kotor, dan kumuh. Jika
aku mengundangnya, aku merasaka kalau Yukka
tidak akan senang.”
Kabarnya
orang tua Makihara-san memiliki penghasilan yang cukup baik, dan rumahnya juga
lumayan besar. Sementara itu, rumah Yoshida adalah apartemen berukuran 2K yang kamar tidurnya dibagi
dengan adik laki-lakinya.
Setelah mendengar
Yoshida mengatakan itu, Maru
menyilangkan tangan dan menghela napas.
“Itu
dia.”
“Hah?”
“Kamu
tidak memberitahu alasan kenapa kamu tidak
mengundangnya ke rumahmu, ‘kan?”
“Ya,
memang sih. Habisnya,
aku merasa malu.”
“Itu
sebabnya,” kata
Maru.
Yoshida
tampak tidak setuju dan berkata, “Ehhhh?”
sambil menggelengkan kepala. Shinjou juga terlihat sama. Namun, aku tiba-tiba
teringat sesuatu yang diucapkan Maru.
“Ehmm begini, Yoshida. Alasan kenapa kamu tidak mengundang Makihara-san ke rumahmu karena tempatmu sempit atau kotor itu mungkin merupakan bentuk
perhatianmu padanya, tapi...”
Yoshida
bangkit dan duduk sembari terus memperhatikanku.
“Tapi?”
“Kalau
dipikir dari sudut pandang Makihara-san, mungkin dia merasa kalau kamu tidak menerima dirinya, Yoshida.”
“Aku
tidak... menerimanya?”
“Aku
memahami perasaanmu bahwa
kamu ingin menunjukkan lingkungan yang baik dan tidak ingin menunjukkan
lingkungan yang buruk. Tapi, manusia cenderung merasa tidak adil. Jika kamu
menunjukkan kamarmu, tetapi dia tidak menunjukkan kamarnya, bukannya itu membuatmu bertanya-tanya kenapa cuma kamu
saja yang tidak diperlihatkan?”
“Ugh, benar juga...”
Selain
itu, mengundang Yoshida ke dalam rumahnya berarti Makihara-san juga harus mengurus beberapa hal seperti membersihkan
dan menjaga kebersihannya, jadi
dia pasti merasa terbebani. Dalam situasi di mana dia harus fokus pada belajar
untuk ujian, tidak menyadari bahwa hanya dia yang menanggung beban itu adalah
hal yang buruk—jadi aku mencoba menyampaikan itu juga.
Jika
dipikir-pikir, logikanya masuk akal. Meskipun aku tidak
tahu apakah pendapatku ini benar
atau tidak, tapi cuma alasan itulah yang bisa kupikirkan.
“Aku
juga merasa logika yang dikatakan Asamura mendekati kebenaran. Namun, aku tidak
menyangka kamu bisa menyadarinya,” ucap Maru dengan kagum.
“Begitu
rupanya. Woahh, Asamura-kun, kamu benar-benar
menguasai hati wanita, ya.” bahkan
Shinjou pun terkesan.
Tidak, itu sih terlalu berlebihan. Apa sih yang
dimaksud dengan menguasai hati wanita?
“Lebih
tepatnya, Asamura bukanlah orang yang paham tentang hati wanita, tetapi ia lebih condong tipe yang
merasa tidak nyaman jika keadilan tidak terjamin,”
kata Maru.
Mungkin
itu benar. Tidak peduli bagaimana aku melihatnya,
mereka lah yang lebih memahami hati wanita
dibandingkan aku. Setelah berhubungan dengan Ayase-san, aku merasa bisa sedikit
merenungkan perasaan yang bisa digolongkan sebagai hati wanita—meskipun itu
mungkin tidak sepenuhnya benar.
Rasanya,
aku mulai merasakan psikologi yang digambarkan dalam novel percintaan. Setidaknya, dibandingkan
sebelumnya, aku merasa ada perbedaan yang signifikan. Namun, karena itu hanya “dibandingkan dengan sebelumnya,” aku merasa ragu apa ada perbedaan pemahaman
yang besar antara diriku dan
Yoshida.
Selain
itu, aku tidak memiliki keyakinan
bisa memahami hati wanita yang paling ingin aku ketahui.
“Tapi, tetap saja... memperlihatkan kamar itu rasanya
memalukan.”
“Yoshida—”
Maru
menurunkan nada suaranya.
“Memangnya
kamu pikir Makihara-san tidak merasa malu?”
Yoshida
terdiam sejenak.
“Itu
adalah kamar perempuan. Jika
dengan sesama wanita mungkin masih bisa diterima, tapi ruangan pribadi bukanlah hal yang mudah untuk ditunjukkan kepada lawan jenis.
Kecuali jika dia memiliki sifat yang sangat sosial. Namun, sepertinya
Makihara-san bukanlah tipe orang yang
begitu.”
“Itu
benar, tapi... Hmm, mungkin begitu...”
Melihat
Yoshida yang tenggelam dalam pemikirannya, Maru tampaknya berhenti
berbicara lebih lanjut. Shinjou juga tampaknya tidak ingin ikut campur lebih
jauh. Aku pun tidak ingin terlibat dalam urusan pasangan lain.
Menjelang
akhir waktu istirahat, Maru menambahkan satu kalimat kepada Yoshida yang sedang
berpikir.
“Karena
kamu tidak menyebutkan alasan mengapa kamu tidak mengundang Makihara, dia hanya
akan menunjukkan ketidakpuasan tanpa mengatakan apa-apa. Tapi itu juga merupakan langkah yang buruk.”
Yoshida
hanya diam-diam mengangguk ketika mendengar perkataan Maru.
◇◇◇◇
Aku mengambil tasku dan pergi meninggalkan kelas.
Hari ini aku tidak mempunyai jadwal
kerja paruh waktu, jadi aku akan langsung pulang
ke rumah.
Namun,
aku merasa sedikit bimbang apa aku harus mampir ke toko buku dulu atau tidak. Tapi, jika aku mampir, aku mungkin akan
menyadari ada buku baru yang keluar dan akhirnya tergoda untuk
membelinya. Kurasa memang lebih
baik kalau aku langsung pulang saja, mungkin?
“Oh,
Asamura, kamu mau pulang?”
Begitu aku hendak menyusuri langkahku di koridor, aku mendengar suara dan
berbalik melihat wajah kotak yang sudah kukenal.
“Kamu
juga, Maru? Cepat sekali.”
“Kalau
tidak ada kegiatan klub sih,
jadi ya begini
lah.”
“Ngomong-ngomong,
kamu sudah pensiun ya. Aku sampai lupa, atau mungkin tidak menyadarinya. Selama
ini kita tidak pernah bertemu saat pulang sekolah.”
“Yah, kalau kelasnya berbeda, waktu pulangnya bisa sedikit berbeda dan kita
jadi jarang bertemu satu sama lain.”
“Itu
juga benar.”
“Hari
ini hanya kebetulan saja. Kebetulan yang bagus. Kalau kamu mau langsung pulang, bagaimana kalau kamu menemaniku berjalan sampai ke stasiun?”
“Boleh tuh. Aku akan mengambil sepeda dulu, jadi tunggu aku di gerbang sekolah.”
Aku
mendengar jawabannya sambil berjalan cepat menuju pintu masuk. Karena harus mampir ke tempat parkir sepeda, jadi aku butuh waktu lebih lama. Dari
gerbang sekolah yang sudah disepakati, kami berjalan berdampingan menuju
stasiun. Sudah berapa lama ya sejak terakhir kali aku pulang bersama Maru seperti ini?
“Rasanya sudah
lama sekali ya.”
“Ya.”
Rupanya
kami berdua memikirkan hal yang
sama pada saat yang bersamaan.
“Bagaimana
dengan Ayase, apa tidak apa-apa dibiarkan sendirian begitu
saja?”
Jantungku
berdegup kencang ketika
namanya tiba-tiba disebut.
“Eh?”
“Bukannya belakangan ini kalian berdua
tampak akrab saat berangkat sekolah? Jadi kupikir
kalian berdua akan pulang bersama juga.”
Ia benar-benar
sangat mengetahuinya.
Tapi, lingkungan sekolah SMA bukanlah dunia
yang begitu luas. Terlebih lagi, Ayase-san adalah siswa yang mencolok. Jadi wajar saja jika dia menjadi perhatian.
“Karena dia
juga punya teman-temannya sendiri.”
“Oh,
santai sekali ya.”
Santai? Memangnya aku terlihat seperti itu? Atau lebih tepatnya, sampai sejauh mana Maru
menyadarinya?
“Yah, walaupun
sudah menjadi siswa SMA tapi dia
adalah adikmu, meskipun dia juga bukan
sekedar adik juga sih.”
“Begitulah.”
“Namun,
saat berangkat sekolah, kalian berdua tampak
akrab.”
Aku
terdiam sejenak.
Aku
berpikir sejenak untuk menegaskan
bahwa itu karena kami adalah pasangan.
Kurasa
ia secara implisit menanyakan──apa aku merasa tidak keberatan
jika hubungan kami diketahui. Yah, kurasa
kami berdua sudah berada dalam perasaan seperti itu. Jika Ayase-san tidak mempunyai rencana apapun, aku
juga tidak keberatan
untuk pulang bersamanya.
“Menurutmu,
apa ada gambaran bahwa hubungan
antara kakak beradik tidak begitu dekat satu sama lain, Maru?”
“Entahlah.
Karena aku anak tunggal, jadi aku tidak begitu tahu. Tapi, Narasaka dan
adik-adiknya tampaknya akrab.”
“Ah,
kalau tidak salah Narasaka-san punya banyak adik, ‘kan?”
“Ya,
ada banyak sekali. Baru-baru ini, dia
mengeluh, 'Adik-adikku tidak mau bergandeng tangan saat berjalan.'”
“Oh,
begitu…”
“Ternyata
adik-adiknya cuma merasa
malu. Mungkin saat masih kecil tidak masalah, tapi saat sudah mencapai usia
tertentu, itu menjadi sulit. Apalagi jika dengan lawan
jenis.”
Aku tidak
sengaja mendengar tentang situasi kakak
beradik di keluarga Narasaka.
“Karena
kalian sudah sekelas sih. Maru juga sudah cukup akrab
dengan Narasaka, ya.”
“…Yah,
karena kami sering
berbicara.”
"Begitu.”
“Ngomong-ngomong,
bahkan untuk saudara sekalipun, ada hal-hal yang tidak bisa diungkapkan jika
itu melibatkan lawan jenis.”
Itu bisa
dimengerti.
Terutama
saat memasuki masa remaja, ada banyak hal yang
sulit diungkapkan. Yah, yang membuatnya rumit
adalah di zaman modern ini, istilah lawan jenis tidak hanya merujuk pada
genetik, dan masalah emosional tidak hanya disebabkan oleh perbedaan jenis
kelamin. Oleh karena
itu, menemukan seseorang yang bisa diajak berbagi isi hati menjadi hal yang
penting.
“Maru...”
“Ya?”
“Ah,
tidak, ini lebih seperti eksperimen pemikiran secara umum.”
“Begitu ya, jadi ini seperti 'pembicaraan tentang teman,
sih,' gitu ya?”
Maru
mengangguk dengan ekspresi
seolah-olah sudah memahaminya.
Sepertinya
aku mendapatkan jawaban yang penuh makna, tetapi karena kami sudah hampir
sampai di stasiun, aku memutuskan untuk tidak mendalami lebih jauh sekarang.
“Kamu memberitahu
kepada Yoshida ketika jam pelajaran olahraga tadi siang,
kan?”
“Maksudmu tentang Makihara?”
“Benar.
'Karena kamu tidak memberi alasan, pasanganmu
juga tidak akan memberitahu
alasannya,'
itu.”
“Ah,
memang.”
“Jika
pasangan yang tampak tidak senang itu tidak mengungkapkan alasannya, dan kita
tidak bisa menemukan penyebabnya, apa yang harus dilakukan?”
“Yoshida
sendiri juga merasa kalau ia tidak mengetahui
penyebabnya, ‘kan?”
Oh iya, benar juga.
Kalau
begitu, meskipun aku merasakan ada sesuatu yang mengganggu Ayase-san, mungkin
ada kemungkinan penyebabnya berasal dariku.
…Tidak, tunggu, kalau iya memang begitu, aku masih tidak bisa memahami alasan yang
disembunyikan ayahku.
“Bagaimana
kalau, sepertinya orang-orang di sekitar tahu penyebabnya, tetapi cuma kita sendiri yang tidak tahu?”
“Hal itu
juga terjadi dengan Yoshida. Kita semua menyadarinya, sementara Yoshida tidak
menyadarinya.”
“Ah…”
“Seringkali,
orang-orang yang terlibat tidak menyadari
situasinya. Oleh karena itu, pandangan dari luar sangat penting.”
“Pandangan
dari luar?”
“Selalu
ada orang luar yang mengangkat masalah dari dunia yang tertutup. Hal itu sudah ditentukan sejak zaman
mitologi. Peradaban
masyarakat membutuhkan elemen asing. Sama seperti bagaimana 'Badut' diperlukan
di kota abadi Diaspora."
“Kamu tidak
perlu repot-repot mengungkit novel klasik
sci-fi ke dalam masalah curhat juga kali…”
Ngomong-ngomong,
sumbernya adalah mahakarya
klasik sci-fi Arthur C. Clarke, penulis '2001: A Space Odyssey,' yang berjudul 'The City and the
Stars.' Pilihan yang tidak biasa
untuk Maru.
“Kisah itu
memang menarik. Tapi, apa kita bisa menggunakan cerita
tentang Bumi jutaan tahun di masa
depan sebagai contoh?”
“Orang
bodoh belajar dari pengalaman, sementara orang bijak belajar dari sejarah.”
“Meski
itu cuma sejarah masa depan yang fiktif, sih.”
“Ada
pepatah, 'Kebenaran muncul dari kebohongan.'”
“Rasanya
itu terlalu jauh…”
“Sebenarnya,
aku melihat logika serupa di anime musim gugur ini.”
“Ya.
Aku setuju.”
Meskipun
akhirnya ia membuat lelucon, tapi
aku mengerti apa yang ingin disampaikan Maru.
Jadi
maksudnya, ada hal-hal yang tidak terlihat oleh orang-orang
yang terlibat di dalam masalah tersebut. Namun, jika memang demikian, aku jadi semakin kesulitan untuk memahaminya, tidak peduli seberapa keras aku
berpikir. Apa yang harus kulakukan? Pandangan dari luar… pandangan dari luar,
ya.
“Dengar,
Asamura. Ada pepatah yang mengatakan, 'Berpikir yang buruk mirip dengan
istirahat.' Mungkin ada baiknya untuk
berkonsultasi dengan seseorang daripada terus-menerus memikirkan semuanya sendiri.”
“Bisa
jadi memang begitu.”
Gedung stasiun
mulai terlihat, dan Maru melambaikan tangannya
sambil berkata, “Oke,
sampai di sini saja”.
“Asamura,
jika salah satu dari kalian
menyimpan semuanya sendiri, komunikasi akan terputus.”
Saat kami berpisah, Maru meninggalkan satu
nasihat untukku, sama seperti yang ia katakan kepada
Yoshida. Punggungnya yang lebar menghilang di balik pintu keluar stasiun.
Sekali
lagi, aku merasa bahwa ia adalah teman yang dapat diandalkan. Senang sekali rasanya kita bisa
berbicara panjang lebar setelah
sekian lama.
Seseorang yang bisa diajak konsultasi, ya?
Seseorang yang mungkin mengetahui penyebab
Ayase-san merasa murung dan tertekan…
Rasanya ayahku tahu, tetapi dengan sikap diamnya yang terus-menerus, jadi sepertinya tidak mungkin untuk
bertanya padanya. Bahkan pagi ini, sebelum aku sempat
menyapa, ia sudah cepat-cepat pergi ke kantor seperti kemarin.
Kalau
begitu… mungkin hanya satu orang saja yang
bisa kutanyakan.
Seseorang
lain yang terlintas di pikiranku yang mungkin tahu tentang situasi Ayase-san.
Istri
kedua ayahku, sekaligus ibu kandung Ayase-san—Akiko-san.
Biasanya,
saat aku pulang, dia sudah berangkat kerja, tetapi hari ini, aku langsung keluar dari sekolah
segera setelah jam pelajaran
selesai.
Aku
memeriksa jam tanganku.
Waktunya sudah
lewat sedikit dari jam 4 sore. Mungkin sekarang dia masih di rumah…
Ketika
lampu lalu lintas berubah, aku
segera menaiki sepedaku dan mengayuh secepat mungkin menuju
apartemen.
◇◇◇◇
“Kenapa
terburu-buru…”
Aku
merasa lega karena bisa sampai
tepat waktu.
Ketika
aku membuka pintu rumah, Akiko-san baru saja selesai mengenakan sepatu hak
tingginya. Dia melihatku dengan wajah
bingung dan bertanya, “Ada apa?” karena aku berkeringat derass sambil terengah-engah.
“Eh,
itu… Aku ingin bertanya sedikit tentang sesuatu—”
Akiko-san
mendengarkan kata-kataku sambil mengetuk-ngetuk ujung sepatu kanannya di tanah
untuk merapikan haknya. Ini buruk, dia benar-benar akan pergi. Tapi jika aku
melewatkan kesempatan ini, entah kapan lagi kami bisa
berbicara.
“—Tentang
Ayase… maksudku tentang Saki.”
Ekspresi
terkejut muncul di wajahnya. Dia mengangkat wajahnya dan menatap mataku lagi.
Kemudian, dia menurunkan pandangannya ke jam tangan mewah yang terpasang di
pergelangan tangan kirinya.
“Sepertinya
tidak cocok untuk berbicara di sini. Hmm. Kurasa sekitar
10 menit saja tidak
masalah.”
Akiko-san
melepas sepatu haknya dan naik ke ruang depan.
Dia langsung menuju ke ruang makan, dan aku buru-buru mengikutinya.
Kami
duduk berhadapan di meja.
“Baiklah, ayo, silakan bicara.”
“Umm…”
Saat aku bersiap untuk membicarakannya, aku
terdiam.
Bagaimana
cara memulainya?
Keadaan
Ayase-san aneh, dan ayahku yang sepertinya tahu alasannya menghindar untuk
berbicara denganku—apa yang harus kulakukan? Tidak, cara ini sepertinya akan
menimbulkan salah paham. Seolah-olah ada masalah antara Ayase-san dan ayahku,
dan itu membuat suasana menjadi canggung. Mustahil.
Jika demikian, itu akan menjadi bom waktu yang
mengerikan.
“Belakangan
ini… aku merasa sedikit
khawatir.”
Setelah
mengatakannya, aku merasa kalimat itu tidak memberikan informasi apa pun. Jika
aku tidak menjelaskan mengapa aku khawatir, orang yang diajak bicara pasti akan
kebingungan.
Namun,
begitu Akiko-san mendengar kalimat setengah hati ini, Akiko-san
menghela nafas dan mengangguk dengan ekspresi penuh pengertian di wajahnya.
“Jangan
khawatir, itu bukan perselisihan di dalam keluarga.”
Kata-katanya
membuatku merasa seolah semua pikiranku terbaca.
Hmm...?
Jadi itu bukan 'perselisihan di dalam' keluarga?
Itu berarti—.
“Taichi-san
tidak memberitahumu sama sekali,
ya?”
“Eh,
ah. …Ya.”
“Pastinya.
Alasan kenapa orang itu tidak
memberitahumu karena ia ingin menjaga janjinya dengan Saki untuk merahasiakan hal ini darimu, Yuuta-kun.”
“Saki
sendiri yang...”
“Ya.
Itulah sebabnya Taichi-san tidak bisa mengingkari
janjinya pada Saki. Ia adalah orang yang menjaga hal-hal
seperti itu. Senang rasanya ia bisa menjaga janji dengan anak-anaknya sendiri.”
Apa itu
semacam ungkapan cinta? Ah, tidak, itu tidak penting sekarang.
“Umm...”
Apa ini
sesuatu yang Ayase-san tidak ingin aku ketahui? Jika demikian, mungkin tidak
baik jika aku memaksakan diri untuk mencari tahu.
“Tapi, memang sulit rasanya jika hanya satu
orang yang tidak diberitahu tentang masalah keluarga.”
“Apa
itu baik-baik saja?”
Aku
bertanya dengan hati-hati, dan Akiko-san kembali menghela napasnya.
“Anak
itu memang lemah dalam hal ini. Dia meminta Taichi-san untuk tidak memberitahumu, tetapi dia tidak mengatakan
apa-apa padaku.”
“Karena
dia berpikir kalau
Akiko-san pasti tidak
akan memberitahuku, ‘kan…”
“Benar.”
“Aku
akan menjaga rahasia.”
“Kupikir
itu tetap sia-sia.”
Eh…?
“Habisnya,
kamu
mengkhawatirkan tentang Saki, ‘kan? Jika kamu mendengarnya di
sini dan tidak bertindak, bisakah kamu melakukannya?”
“Itu….”
Aku
mungkin tidak bisa menjanjikannya.
Aku berusaha untuk membantu Ayase-san, jadi aku mencoba untuk mencaritahu sendiri. Jika aku sudah mendengarnya,
lalu hanya diam menunggu sampai dia sendiri yang
menceritakannya, aku takkan berlari secepat ini untuk kembali ke rumah.
“Itu... mungkin sulit.”
“Benar.
Jadi, meskipun aku bilang, 'Apa kamu akan berjanji untuk merahasiakan bahwa
aku yang memberitahumu?' begitu Yuuta-kun
berperilaku berbeda, itu pasti akan ketahuan.”
“Memang.”
“Tentu
saja, jika Yuuta-kun
bisa berpura-pura seolah-olah kamu sendiri yang
menyadarinya dan
bukan karena aku yang memberitahunya, mungkin itu bisa disembunyikan…”
“Ah,
aku juga tidak yakin dengan itu.”
Selain
itu, jika ada kemungkinan kalau dia
menyadari bahwa aku mendapat
informasi dari Akiko-san, Ayase-san mungkin
akan marah pada Akiko-san.
Ketika
aku mengungkapkan kekhawatiran itu—
“Bagian di
situ tidak masalah. Karena aku tidak pernah berjanji
padanya. Jadi, aku akan menjawab seperti itu.”
“Bukannya itu
cuma pembelaan diri…”
“Sebagai
gantinya, tidak akan ada kesempatan kedua. Jika hal yang sama terulang, kali
ini dia pasti akan memberi peringatan padaku. Karena
Saki lebih pintar daripada aku.”
Ibu
tiriku juga demikian.
“Jadi,
ini alasan yang hanya bisa digunakan sekali seumur hidup. Apa kamu siap untuk
menggunakannya di sini?”
Aku
terkejut dan menatap mata Akiko-san. Mungkin ada saatnya di masa depan ketika
Ayase-san akan menghadapi masalah yang serupa,
dan dia hanya akan menceritakannya kepada Akiko-san. Tapi pada saat itu, Akiko-san tidak akan
memberitahuku lagi.
Aku
berpikir. Mungkin ini merupakan seseuatu
yang sangat penting bagi Ayase-san, sampai-sampai dia ingin menggunakan kartu
as ini.
Aku
perlahan-lahan mengangguk sambil menatap mata
Akiko-san. Jika aku tidak bertanya di sini, aku akan menyesalinya. Entah
mengapa, aku mempunyai firasat begitu.
“Aku tidak
akan menceritakannya secara rinci, tetapi… kali ini, Saki akan bertemu dengan… ayahnya. Itu sebabnya dia merasa gugup.”
“Dengan
ayahnya…”
Dengan kata
lain, dia akan bertemu ayah kandungnya. Suami Akiko-san
sebelum bercerai. Orang tuaku dan orang tua Ayase-san juga sudah menikah lagi.
Jadi, jika itu ayahku, ia pasti punya istri sebelumnya, dan jika itu Akiko-san,
dia pasti punya mantan suami.
Ibu kandungku pergi meninggalkanku setelah berselingkuh, jadi
sepertinya dia tidak memiliki penyesalan terhadapku, dan sampai sekarang dia
tidak pernah mengajakku bertemu. Jadi aku juga tidak terlalu memikirkannya. Namun,
mantan suami Akiko-san pasti ingin bertemu dengan Ayase-san.
“Jadi,
kapan itu…”
“Ia
biasanya tinggal agak jauh. Dan kebetulan
ia berada di kota sini selama bulan Oktober.”
—Bagaimanapun juga, setelah bulan Oktober
berakhir, semuanya akan tenang untuk sementara…
Mungkin
itulah yang dimaksudkan oleh kata-kata
Ayase-san.
“Hanya itu
saja yang bisa kubicarakan. Kamu
tidak keberatan, ‘kan?”
Akiko-san
langsung berdiri. Waktunya hampir
terlambat untuk berangkat kerja, dan meskipun dia bisa berargumen bahwa tidak
ada janji untuk tidak berbicara, tentu saja dia tidak bisa mengungkapkan
semuanya.
Aku juga
mengerti bahwa jika aku ingin mendengar lebih banyak hal yang lebih mendalam,
seharusnya aku bertanya langsung kepada orangnya.
“Ya.
Tidak apa-apa. Umm… terima kasih banyak.”
“Kita
ini kan keluarga. Kamu tidak perlu terlalu formal begitu!”
Sambil
mengatakan itu, Akiko-san tersenyum lembut. Aku menundukkan kepalaku hingga
suara pintu depan ditutup menghilang saat aku melihat Akiko-san berjalan menuju pintu masuk
dengan mengenakan setelanjas berwarna lembut.
Ayah
kandung Ayase-san, ya…
◇◇◇◇
Beberapa
saat kemudian, Ayase-san kembali.
Ketika
dia melihatku yang sedang melamun di ruang makan, dia menatap jam dinding dan
hanya berkata, “Hari ini kamu
pulang lebih cepat, ya.”
“Ah,
ya. Karena aku tidak mampir ke mana-mana, sih.”
“Begitu.”
Setelah
mengatakan itu, Ayase-san berusaha menuju kamarnya. Saat dia keluar dari ruang makan, dia
tiba-tiba berbalik dan bertanya, “Makan
malam nanti bagaimana?”. Ketika aku memberitahunya bahwa
di dalam kulkas ada sisa ikan mackerel yang dimasak dengan miso yang disiapkan
Akiko-san, dia mengangguk dan bergumam,
“Kalau begitu, menu yang lainnya buat yang sederhana saja”. Itu saja percakapan kami, dan
setelah itu kami masing-masing kembali ke dalam kamar
untuk belajar.
Rasa
canggung yang kurasakan mungkin disebabkan oleh beban karena mengetahui informasi tentang
Ayase-san yang seharusnya tidak aku ketahui.
Ketika
waktu makan malam tiba, kami berkumpul di ruang makan dan duduk di meja makan. Kami memanaskan hidangan dan menyantap makan
malam yang telah disiapkan oleh Akiko-san. Hari ini ayahku masih belum pulang
karena lembur.
“Ayah tiri
bilang ia akan makan di luar.”
“Ya.”
Ayah
mengirimkan pesan itu ke dalam grup
keluarga, jadi meskipun tidak perlu diucapkan, baik aku maupun Ayase-san jelas
memiliki informasi yang sama. Namun, percakapan semacam ini sering terjadi.
Meskipun tidak ada makna fungsional, tapi ada
makna emosional. Bahkan hal-hal kecil bisa menjadi topik pembuka
untuk saling berbicara, dan itu membuatku
merasa nyaman. Mungkin juga sama bagi dirinya.
Meski
demikian, ayah selalu menghubungi kami ketika ada lembur
atau hal tak terduga, jadi aku berpikir, meskipun ia adalah ayahku, ia sangat perhatian.
Kami berdua lalu makan bersama.
Seperti
biasa, topik di atas
meja makan adalah obrolan santai sehari-hari, namun rasanya jumlah percakapan
kali ini sedikit lebih sedikit dibandingkan biasanya. Hal ini terjadi karena
Ayase-san tidak ingin aku mengetahui masalah yang dia hadapi, dan aku sendiri
tidak ingin dia menyadari bahwa aku sudah tahu
rahasianya.
Aku telah
mengetahui masalah Ayase-san secara sepihak, tetapi aku tidak ingin dia
menyadari bahwa aku sudah mengetahuinya. Sekarang, setidaknya. Kata-kata
Akiko-san masih terngiang-ngiang
di telingaku. “Begitu
perilakumu
berubah, itu pasti
akan ketahuan,” dan
“Tidak ada kesempatan kedua”.
Jika
Ayase-san sedang menderita dan berjuang, aku ingin selalu bisa membantunya.
Namun, mungkin ini adalah satu-satunya kesempatan untuk mendapatkan bantuan
dari Akiko-san. Karena aku telah menggunakan kartu as ini, aku harus bertindak
dengan hati-hati.
Namun
pada dasarnya, aku sudah mengungkapkan hal ini kepada ayahku. Mengapa dia tidak
ingin aku tahu tentang pertemuannya dengan ayahnya? Aku tidak tahu, tetapi
pasti ada alasan dari sudut pandangnya.
Oleh
karena itu, jika memungkinkan, lebih baik menunggu sampai dia ingin
mengatakannya sendiri.
Aku ingin
menunggu.
Namun—pada
saat yang sama, aku juga teringat kata-kata Maru. Karena Yoshida tidak menjelaskan
alasannya tidak mengundang ke rumahnya,
jad Makihara-san pun tidak menjelaskan alasannya kenapa dia merasa tidak senang. Komunikasi sangat mudah terputus. Salah satu dari
mereka hanya perlu menahan diri.
Apa
Yoshida dan Makihara-san bisa
menyelesaikan kesenjangan yang dimulai tanpa berkonsultasi dengan siapa pun?
Itu sangat diragukan. Tanpa petunjuk dari Maru, aku pun tidak yakin bisa
mengungkapkan penyebabnya. Selain itu, mungkin pihak-pihak yang terlibat tidak
menyadari bahwa mereka mengalami kekurangan komunikasi.
Begitu rupanya. Mungkin karena dia menyadari
hal tersebut, itu
sebabnya Akiko-san mau berbagi sedikit informasi denganku.
Waktu
makan malam berakhir, dan kami berdua kembali
ke kamar masing-masing. Meskipun aku melanjutkan belajar untuk ujian, wajah
Ayase-san yang murung terus menggangguku.
Di akhir
hari, saat aku sedang berbaring
di atas tempat tidur dan dalam keadaan mengantuk, tiba-tiba aku berpikir, apa aku bisa menciptakan
situasi yang membuat Ayase-san lebih mudah untuk bercerita kepadaku? Secara santai, sambil melakukan sesuatu yang bisa kami
lakukan bersama. Kalau diingat-ingat lagi,
kami berdua juga sudah lama tidak pergi berkencan.