Gimai Seikatsu Volume 12 Chapter 2 Bahasa Indonesia

Chapter 2 — 21 Oktober (Kamis) Asamura Yuuta

 

“Ahhh! Makanan yang kumakan hampir saja keluar dari mulutku...”

Sambil menekan mulutnya, Yoshida berlari keluar dari area lapangan dan terjatuh telentang di pinggir lapangan. Di sampingnya, aku juga duduk dan melihat ke atas. Pemandangan cakrawala hari ini masih sangat tinggi. Di atas kanvas biru yang membentang di pandangan, ada banyak garis putih tipis yang tampak seperti goresan kasar. Itu adalah awan stratus atau cirrus. Awan itu terbawa angin, seolah-olah terpisah, dan perlahan-lahan mengubah bentuknya saat aku menatapnya.

“Memang sulit bermain sepak bola di jam pelajaran kelima.”

Meskipun ia mengatakan demikian, Shinjo tidak mengubah ekspresi tenangnya dan datang mendekat untuk duduk di sampingku. Maru juga datang dan duduk di sisi Yoshida. Waktu olahraga dilakukan secara gabungan antara kelas yang berdekatan. Anak laki-laki di satu kelas, sedangkan anak perempuan di kelas lain. Maru dan Shinjou berada di kelas sebelahku dan Yoshida, jadi kami melakukannya bersama saat jam pelajaran olahraga.

Namun, selama pelajaran, biasanya kami tidak banyak berbicara. Hanya saja, hari ini kebetulan materi pelajarannya bermain sepak bola. Kami dibagi menjadi tiga tim, dan jumlahnya cukup pas, sehingga siswa yang tidak bermain memiliki sedikit waktu untuk mengobrol.

Maru yang terakhir duduk, sebagai mantan anggota klub bisbol, tidak terlihat kehabisan napas dan berkata setelah duduk.

“Tapi ini pas untuk tubuh yang tidak terbiasa.”

Yoshida yang terengah-engah terlihat lesu.

“Kami tidak melakukan olahraga yang berat seperti kamu, Maru.”

“Saat ada kegiatan klub, aku akan menyelesaikan makan siangku lebih awal untuk latihan siang. Ini sih tidak bisa disebut olahraga sama sekali.”

“Iya, iya.”

“Bukannya kamu nya saja yang makan terlalu banyak, Yoshida?” tanyaku sambil mengingat waktu istirahat makan siang. Yoshida juga sedang memakan bekal yang dibeli di kantin hari ini. Dua bekal. Sudah kuduga, ia memakan terlalu banyak sampai memakan dua bekal.

“Ketika aku membelinya di menit-menit terakhir, keduanya sedang diobral menjadi setengah harga. Jadi, aku membelinya. Setengah harga, setengah harga, loh. Dengan uang yang sama, aku bisa makan dua kali lipat.”

Suasana tatapan Maru dan Shinjou menurun tiga derajat.

“Kamu makan terlalu banyak.”

“Iya, terlalu banyak.”

Aku juga setuju.

“Tapi, Yoshida, kenapa kamu makan di kelas?”

Maru mengatakan itu karena dirinya juga mengetahui bahwa Yoshida baru-baru ini sering makan bersama pacarnya, Makihara-san. Kenapa ia bisa tahu? Karena saat festival budaya, Yoshida dengan senang hati memberitahu orang-orang di sekitarnya.

Yoshida terdiam sejenak. Bukan karena merasa mual, tetapi mungkin karena merasa tersentuh oleh kata-kata itu.

Eh, Yoshida. Apa kamu bertengkar dengan pacarmu?

Shinjou bertanya dengan suara pelan supaya tidak terdengar oleh teman-teman lain yang duduk di sekitar kami.

Enggak, bukan bertengkar sih... jawab Yoshida.

“Tapi aku melihat kalian pulang pergi bersama, ucap Maru. Begitu ya, ternyata mereka masih Bersama di situ.

Setelah sedikit ragu, Yoshida berbaring dan melihat ke langit sambil berkata.

Aku tidak mengerti.

Apanya yang tidak kamu mengerti?

Aku menduga ia ingin bercerita, jadi aku mendorongnya. Yoshida kemudian berkata pelan.

Dia tidak mengizinkanku untuk masuk ke rumahnya lagi.

Oh, begitu rupanya.

Maru menjawab dengan nada seolah-olah mengerti. Apa yang dia maksud dengan 'begitu'?

Jadi maksudnya, Yoshida melakukan sesuatu di rumah Makihara dan sekarang dilarang masuk?

Bukan begitu kaliii!

Yoshida bangkit dan berteriak. Orang-orang di sekitar kami langsung dibuat terkejut dan melihat ke arah kami. Guru yang bertugas sebagai wasit menatap dengan tajam. Menakutkan. Guru olahraga itu bukan tipe yang melakukan kekerasan fisik, tetapi suaranya keras dan tubuhnya besar. Katanya dia memiliki sabuk hitam dalam judo. Yoshida menjawab, Kami sedang berusaha tenang! sambil membungkukkan kepala. Ekspresi guru itu melunak, dan ketegangan di antara siswa yang ditatapnya mulai mereda.

Salah satu sisi baik dari Yoshida ialah caranya yang mampu segera memperhatikan situasi dan mencairkan suasana.

Setelah berbaring kembali, Yoshida menurunkan nada suaranya dan mulai bercerita. Dirinya dan Makihara-san terkadang belajar bersama di rumah Makihara-san setelah sepulang sekolah. Karena mereka sudah melakukannya sejak musim panas, berarti itu sudah sekitar dua bulan.

Namun, belakangan ini, Yoshida sama sekali tidak diizinkan masuk ke rumahnya. Meskipun keduanya tidak dalam keadaan bertengkar, tampaknya jika Yoshida menunjukkan niat untuk pergi ke rumahnya, Makihara-san menjadi tidak senang.

Mungkin dia cuma ingin fokus pada belajar untuk ujian?

Aku berspekulasi, karena itulah yang terlintas dalam pikiranku tentang diriku dan Ayase-san. Aku dan Ayase-san bisa saja belajar bersama di meja makan atau ruang tamu, tetapi kami belum pernah mencobanya. Kami tahu itu akan mengganggu konsentrasi.

Aku berpikir bahwa keberadaan orang lain mungkin mengganggunya, tetapi pernyataan Yoshida yang berikutnya menunjukkan bahwa pendapatku ternyata salah.

“Apa iya begitu? Tapi, kami masih pergi ke restoran cepat saji untuk belajar seperti biasa, kata Yoshida. Dengan kata lain, Makihara-san sama sekali tidak ada masalah dengan belajar bersama Yoshida.

Selain itu, jika dia memang tidak menyukainya, kenapa dia tidak mengatakannya saja, sih? Kenapa dia tiba-tiba diam dan jadi tidak senang begitu?

Yoshida bingung dan memegangi kepalanya dengan galau. Shinjou kemudian mencoba menenangkan.

Bahkan jika kalian pasangan, pasti ada waktu di mana kalian tidak ingin berada di ruang yang sama. Jadi menurutku kamu tidak perlu terlalu memikirkannya. kok? Selama kalian berdua masih pulang pergi bersama...

Ketika Shinjou mengatakan itu, entah kenapa itu terdengar seolah-olah berdasarkan pengalamannya sendiri. Aku merasa mungkin ada benarnya juga.

Namun, Maru kemudian bertanya pada Yoshida.

Kamu bilang kalau kalian belajar di rumah Makihara, kan?

Ya, benar.

Apa seringnya begitu? Apa kalian berdua tidak pernah belajar di rumahmu, Yoshida?

Tidak pernah, sih...

Jawabannya cukup mengejutkanku, jadi aku bertanya, Kenapa?

Rumahku berbeda dengan rumahnya, tempatku itu sempit, kotor, dan kumuh. Jika aku mengundangnya, aku merasaka kalau Yukka tidak akan senang.

Kabarnya orang tua Makihara-san memiliki penghasilan yang cukup baik, dan rumahnya juga lumayan besar. Sementara itu, rumah Yoshida adalah apartemen berukuran 2K yang kamar tidurnya dibagi dengan adik laki-lakinya.

Setelah mendengar Yoshida mengatakan itu, Maru menyilangkan tangan dan menghela napas.

Itu dia.

Hah?

Kamu tidak memberitahu alasan kenapa kamu tidak mengundangnya ke rumahmu, kan?

Ya, memang sih. Habisnya, aku merasa malu.

Itu sebabnya, kata Maru.

Yoshida tampak tidak setuju dan berkata, Ehhhh? sambil menggelengkan kepala. Shinjou juga terlihat sama. Namun, aku tiba-tiba teringat sesuatu yang diucapkan Maru.

Ehmm begini, Yoshida. Alasan kenapa kamu tidak mengundang Makihara-san ke rumahmu karena tempatmu sempit atau kotor itu mungkin merupakan bentuk perhatianmu padanya, tapi...

Yoshida bangkit dan duduk sembari terus memperhatikanku.

Tapi?

Kalau dipikir dari sudut pandang Makihara-san, mungkin dia merasa kalau kamu tidak menerima dirinya, Yoshida.

Aku tidak... menerimanya?

Aku memahami perasaanmu bahwa kamu ingin menunjukkan lingkungan yang baik dan tidak ingin menunjukkan lingkungan yang buruk. Tapi, manusia cenderung merasa tidak adil. Jika kamu menunjukkan kamarmu, tetapi dia tidak menunjukkan kamarnya, bukannya itu membuatmu bertanya-tanya kenapa cuma kamu saja yang tidak diperlihatkan?

Ugh, benar juga...

Selain itu, mengundang Yoshida ke dalam rumahnya berarti Makihara-san juga harus mengurus beberapa hal seperti membersihkan dan menjaga kebersihannya, jadi dia pasti merasa terbebani. Dalam situasi di mana dia harus fokus pada belajar untuk ujian, tidak menyadari bahwa hanya dia yang menanggung beban itu adalah hal yang buruk—jadi aku mencoba menyampaikan itu juga.

Jika dipikir-pikir, logikanya masuk akal. Meskipun aku tidak tahu apakah pendapatku ini benar atau tidak, tapi cuma alasan itulah yang bisa kupikirkan.

Aku juga merasa logika yang dikatakan Asamura mendekati kebenaran. Namun, aku tidak menyangka kamu bisa menyadarinya, ucap Maru dengan kagum.

Begitu rupanya. Woahh, Asamura-kun, kamu benar-benar menguasai hati wanita, ya.” bahkan Shinjou pun terkesan.

Tidak, itu sih terlalu berlebihan. Apa sih yang dimaksud dengan menguasai hati wanita?

Lebih tepatnya, Asamura bukanlah orang yang paham tentang hati wanita, tetapi ia lebih condong tipe yang merasa tidak nyaman jika keadilan tidak terjamin, kata Maru.

Mungkin itu benar. Tidak peduli bagaimana aku melihatnya, mereka lah yang lebih memahami hati wanita dibandingkan aku. Setelah berhubungan dengan Ayase-san, aku merasa bisa sedikit merenungkan perasaan yang bisa digolongkan sebagai hati wanita—meskipun itu mungkin tidak sepenuhnya benar.

Rasanya, aku mulai merasakan psikologi yang digambarkan dalam novel percintaan. Setidaknya, dibandingkan sebelumnya, aku merasa ada perbedaan yang signifikan. Namun, karena itu hanya dibandingkan dengan sebelumnya, aku merasa ragu apa ada perbedaan pemahaman yang besar antara diriku dan Yoshida.

Selain itu, aku tidak memiliki keyakinan bisa memahami hati wanita yang paling ingin aku ketahui.

Tapi, tetap saja... memperlihatkan kamar itu rasanya memalukan.

Yoshida—

Maru menurunkan nada suaranya.

“Memangnya kamu pikir Makihara-san tidak merasa malu?

Yoshida terdiam sejenak.

Itu adalah kamar perempuan. Jika dengan sesama wanita mungkin masih bisa diterima, tapi ruangan pribadi bukanlah hal yang mudah untuk ditunjukkan kepada lawan jenis. Kecuali jika dia memiliki sifat yang sangat sosial. Namun, sepertinya Makihara-san bukanlah tipe orang yang begitu.

Itu benar, tapi... Hmm, mungkin begitu...

Melihat Yoshida yang tenggelam dalam pemikirannya, Maru tampaknya berhenti berbicara lebih lanjut. Shinjou juga tampaknya tidak ingin ikut campur lebih jauh. Aku pun tidak ingin terlibat dalam urusan pasangan lain.

Menjelang akhir waktu istirahat, Maru menambahkan satu kalimat kepada Yoshida yang sedang berpikir.

Karena kamu tidak menyebutkan alasan mengapa kamu tidak mengundang Makihara, dia hanya akan menunjukkan ketidakpuasan tanpa mengatakan apa-apa. Tapi itu juga merupakan langkah yang buruk.

Yoshida hanya diam-diam mengangguk ketika mendengar perkataan Maru.

 

◇◇◇◇

 

Aku mengambil tasku dan pergi meninggalkan kelas. Hari ini aku tidak mempunyai jadwal kerja paruh waktu, jadi aku akan langsung pulang ke rumah.

Namun, aku merasa sedikit bimbang apa aku harus mampir ke toko buku dulu atau tidak. Tapi, jika aku mampir, aku mungkin akan menyadari ada buku baru yang keluar dan akhirnya tergoda untuk membelinya. Kurasa memang lebih baik kalau aku langsung pulang saja, mungkin?

Oh, Asamura, kamu mau pulang?

Begitu aku hendak menyusuri langkahku di koridor, aku mendengar suara dan berbalik melihat wajah kotak yang sudah kukenal.

“Kamu juga, Maru? Cepat sekali.

Kalau tidak ada kegiatan klub sih, jadi ya begini lah.

Ngomong-ngomong, kamu sudah pensiun ya. Aku sampai lupa, atau mungkin tidak menyadarinya. Selama ini kita tidak pernah bertemu saat pulang sekolah.

Yah, kalau kelasnya berbeda, waktu pulangnya bisa sedikit berbeda dan kita jadi jarang bertemu satu sama lain.

Itu juga benar.

Hari ini hanya kebetulan saja. Kebetulan yang bagus. Kalau kamu mau langsung pulang, bagaimana kalau kamu menemaniku berjalan sampai ke stasiun?

Boleh tuh. Aku akan mengambil sepeda dulu, jadi tunggu aku di gerbang sekolah.

Aku mendengar jawabannya sambil berjalan cepat menuju pintu masuk. Karena harus mampir ke tempat parkir sepeda, jadi aku butuh waktu lebih lama. Dari gerbang sekolah yang sudah disepakati, kami berjalan berdampingan menuju stasiun. Sudah berapa lama ya sejak terakhir kali aku pulang bersama Maru seperti ini?

“Rasanya sudah lama sekali ya.

Ya.

Rupanya kami berdua memikirkan hal yang sama pada saat yang bersamaan.

Bagaimana dengan Ayase, apa tidak apa-apa dibiarkan sendirian begitu saja?

Jantungku berdegup kencang ketika namanya tiba-tiba disebut.

Eh?

Bukannya belakangan ini kalian berdua tampak akrab saat berangkat sekolah? Jadi kupikir kalian berdua akan pulang bersama juga.

Ia benar-benar sangat mengetahuinya.

Tapi, lingkungan sekolah SMA bukanlah dunia yang begitu luas. Terlebih lagi, Ayase-san adalah siswa yang mencolok. Jadi wajar saja jika dia menjadi perhatian.

“Karena dia juga punya teman-temannya sendiri.

Oh, santai sekali ya.

Santai? Memangnya aku terlihat seperti itu? Atau lebih tepatnya, sampai sejauh mana Maru menyadarinya?

Yah, walaupun sudah menjadi siswa SMA tapi dia adalah adikmu, meskipun dia juga bukan sekedar adik juga sih.

Begitulah.

Namun, saat berangkat sekolah, kalian berdua tampak akrab.

Aku terdiam sejenak.

Aku berpikir sejenak untuk menegaskan bahwa itu karena kami adalah pasangan.

Kurasa ia secara implisit menanyakan──apa aku merasa tidak keberatan jika hubungan kami diketahui. Yah, kurasa kami berdua sudah berada dalam perasaan seperti itu. Jika Ayase-san tidak mempunyai rencana apapun, aku juga tidak keberatan untuk pulang bersamanya.

“Menurutmu, apa ada gambaran bahwa hubungan antara kakak beradik tidak begitu dekat satu sama lain, Maru?

Entahlah. Karena aku anak tunggal, jadi aku tidak begitu tahu. Tapi, Narasaka dan adik-adiknya tampaknya akrab.

“Ah, kalau tidak salah Narasaka-san punya banyak adik, kan?

Ya, ada banyak sekali. Baru-baru ini, dia mengeluh, 'Adik-adikku tidak mau bergandeng tangan saat berjalan.'

Oh, begitu…

Ternyata adik-adiknya cuma merasa malu. Mungkin saat masih kecil tidak masalah, tapi saat sudah mencapai usia tertentu, itu menjadi sulit. Apalagi jika dengan lawan jenis.

Aku tidak sengaja mendengar tentang situasi kakak beradik di keluarga Narasaka.

Karena kalian sudah sekelas sih. Maru juga sudah cukup akrab dengan Narasaka, ya.”

…Yah, karena kami sering berbicara.

"Begitu.

Ngomong-ngomong, bahkan untuk saudara sekalipun, ada hal-hal yang tidak bisa diungkapkan jika itu melibatkan lawan jenis.

Itu bisa dimengerti.

Terutama saat memasuki masa remaja, ada banyak hal yang sulit diungkapkan. Yah, yang membuatnya rumit adalah di zaman modern ini, istilah lawan jenis tidak hanya merujuk pada genetik, dan masalah emosional tidak hanya disebabkan oleh perbedaan jenis kelamin. Oleh karena itu, menemukan seseorang yang bisa diajak berbagi isi hati menjadi hal yang penting.

Maru...”

Ya?

Ah, tidak, ini lebih seperti eksperimen pemikiran secara umum.

“Begitu ya, jadi ini seperti 'pembicaraan tentang teman, sih,' gitu ya?

Maru mengangguk dengan ekspresi seolah-olah sudah memahaminya.

Sepertinya aku mendapatkan jawaban yang penuh makna, tetapi karena kami sudah hampir sampai di stasiun, aku memutuskan untuk tidak mendalami lebih jauh sekarang.

Kamu memberitahu kepada Yoshida ketika jam pelajaran olahraga tadi siang, kan?

“Maksudmu tentang Makihara?

Benar. 'Karena kamu tidak memberi alasan, pasanganmu juga tidak akan memberitahu alasannya,' itu.

Ah, memang.

Jika pasangan yang tampak tidak senang itu tidak mengungkapkan alasannya, dan kita tidak bisa menemukan penyebabnya, apa yang harus dilakukan?

Yoshida sendiri juga merasa kalau ia tidak mengetahui penyebabnya, kan?

Oh iya, benar juga.

Kalau begitu, meskipun aku merasakan ada sesuatu yang mengganggu Ayase-san, mungkin ada kemungkinan penyebabnya berasal dariku.

…Tidak, tunggu, kalau iya memang begitu, aku masih tidak bisa memahami alasan yang disembunyikan ayahku.

Bagaimana kalau, sepertinya orang-orang di sekitar tahu penyebabnya, tetapi cuma kita sendiri yang tidak tahu?

“Hal itu juga terjadi dengan Yoshida. Kita semua menyadarinya, sementara Yoshida tidak menyadarinya.

Ah…

Seringkali, orang-orang yang terlibat tidak menyadari situasinya. Oleh karena itu, pandangan dari luar sangat penting.

Pandangan dari luar?

Selalu ada orang luar yang mengangkat masalah dari dunia yang tertutup. Hal itu sudah ditentukan sejak zaman mitologi. Peradaban masyarakat membutuhkan elemen asing. Sama seperti bagaimana 'Badut' diperlukan di kota abadi Diaspora."

“Kamu tidak perlu repot-repot mengungkit novel klasik sci-fi ke dalam masalah curhat juga kali

Ngomong-ngomong, sumbernya adalah mahakarya klasik sci-fi Arthur C. Clarke, penulis '2001: A Space Odyssey,' yang berjudul 'The City and the Stars.' Pilihan yang tidak biasa untuk Maru.

“Kisah itu memang menarik. Tapi, apa kita bisa menggunakan cerita tentang Bumi jutaan tahun di masa depan sebagai contoh?

Orang bodoh belajar dari pengalaman, sementara orang bijak belajar dari sejarah.

Meski itu cuma sejarah masa depan yang fiktif, sih.

Ada pepatah, 'Kebenaran muncul dari kebohongan.'

Rasanya itu terlalu jauh…

Sebenarnya, aku melihat logika serupa di anime musim gugur ini.

Ya. Aku setuju.

Meskipun akhirnya ia membuat lelucon, tapi aku mengerti apa yang ingin disampaikan Maru.

Jadi maksudnya, ada hal-hal yang tidak terlihat oleh orang-orang yang terlibat di dalam masalah tersebut. Namun, jika memang demikian, aku jadi semakin kesulitan untuk memahaminya, tidak peduli seberapa keras aku berpikir. Apa yang harus kulakukan? Pandangan dari luar… pandangan dari luar, ya.

Dengar, Asamura. Ada pepatah yang mengatakan, 'Berpikir yang buruk mirip dengan istirahat.' Mungkin ada baiknya untuk berkonsultasi dengan seseorang daripada terus-menerus memikirkan semuanya sendiri.

“Bisa jadi memang begitu.

Gedung stasiun mulai terlihat, dan Maru melambaikan tangannya sambil berkata, Oke, sampai di sini saja”.

Asamura, jika salah satu dari kalian menyimpan semuanya sendiri, komunikasi akan terputus.

Saat kami berpisah, Maru meninggalkan satu nasihat untukku, sama seperti yang ia katakan kepada Yoshida. Punggungnya yang lebar menghilang di balik pintu keluar stasiun.

Sekali lagi, aku merasa bahwa ia adalah teman yang dapat diandalkan. Senang sekali rasanya kita bisa berbicara panjang lebar setelah sekian lama.

Seseorang yang bisa diajak konsultasi, ya? Seseorang yang mungkin mengetahui penyebab Ayase-san merasa murung dan tertekan… Rasanya ayahku tahu, tetapi dengan sikap diamnya yang terus-menerus, jadi sepertinya tidak mungkin untuk bertanya padanya. Bahkan pagi ini, sebelum aku sempat menyapa, ia sudah cepat-cepat pergi ke kantor seperti kemarin.

Kalau begitu… mungkin hanya satu orang saja yang bisa kutanyakan.

Seseorang lain yang terlintas di pikiranku yang mungkin tahu tentang situasi Ayase-san.

Istri kedua ayahku, sekaligus ibu kandung Ayase-san—Akiko-san.

Biasanya, saat aku pulang, dia sudah berangkat kerja, tetapi hari ini, aku langsung keluar dari sekolah segera setelah jam pelajaran selesai.

Aku memeriksa jam tanganku.

Waktunya sudah lewat sedikit dari jam 4 sore. Mungkin sekarang dia masih di rumah…

Ketika lampu lalu lintas berubah, aku segera menaiki sepedaku dan mengayuh secepat mungkin menuju apartemen.

 

◇◇◇◇

 

Kenapa terburu-buru…

Aku merasa lega karena bisa sampai tepat waktu.

Ketika aku membuka pintu rumah, Akiko-san baru saja selesai mengenakan sepatu hak tingginya. Dia melihatku dengan wajah bingung dan bertanya, Ada apa?karena aku berkeringat derass sambil terengah-engah.

Eh, itu… Aku ingin bertanya sedikit tentang sesuatu—

Akiko-san mendengarkan kata-kataku sambil mengetuk-ngetuk ujung sepatu kanannya di tanah untuk merapikan haknya. Ini buruk, dia benar-benar akan pergi. Tapi jika aku melewatkan kesempatan ini, entah kapan lagi kami bisa berbicara.

—Tentang Ayase… maksudku tentang Saki.

Ekspresi terkejut muncul di wajahnya. Dia mengangkat wajahnya dan menatap mataku lagi. Kemudian, dia menurunkan pandangannya ke jam tangan mewah yang terpasang di pergelangan tangan kirinya.

Sepertinya tidak cocok untuk berbicara di sini. Hmm. Kurasa sekitar 10 menit saja tidak masalah.

Akiko-san melepas sepatu haknya dan naik ke ruang depan. Dia langsung menuju ke ruang makan, dan aku buru-buru mengikutinya.

Kami duduk berhadapan di meja.

“Baiklah, ayo, silakan bicara.

“Umm

Saat aku bersiap untuk membicarakannya, aku terdiam.

Bagaimana cara memulainya?

Keadaan Ayase-san aneh, dan ayahku yang sepertinya tahu alasannya menghindar untuk berbicara denganku—apa yang harus kulakukan? Tidak, cara ini sepertinya akan menimbulkan salah paham. Seolah-olah ada masalah antara Ayase-san dan ayahku, dan itu membuat suasana menjadi canggung. Mustahil. Jika demikian, itu akan menjadi bom waktu yang mengerikan.

Belakangan ini… aku merasa sedikit khawatir.

Setelah mengatakannya, aku merasa kalimat itu tidak memberikan informasi apa pun. Jika aku tidak menjelaskan mengapa aku khawatir, orang yang diajak bicara pasti akan kebingungan.

Namun, begitu Akiko-san mendengar kalimat setengah hati ini, Akiko-san menghela nafas dan mengangguk dengan ekspresi penuh pengertian di wajahnya.

Jangan khawatir, itu bukan perselisihan di dalam keluarga.

Kata-katanya membuatku merasa seolah semua pikiranku terbaca.

Hmm...? Jadi itu bukan 'perselisihan di dalam' keluarga?

Itu berarti—.

Taichi-san tidak memberitahumu sama sekali, ya?

Eh, ah. …Ya.

“Pastinya. Alasan kenapa orang itu tidak memberitahumu karena ia ingin menjaga janjinya dengan Saki untuk merahasiakan hal ini darimu, Yuuta-kun.

Saki sendiri yang...

Ya. Itulah sebabnya Taichi-san tidak bisa mengingkari janjinya pada Saki. Ia adalah orang yang menjaga hal-hal seperti itu. Senang rasanya ia bisa menjaga janji dengan anak-anaknya sendiri.

Apa itu semacam ungkapan cinta? Ah, tidak, itu tidak penting sekarang.

“Umm...

Apa ini sesuatu yang Ayase-san tidak ingin aku ketahui? Jika demikian, mungkin tidak baik jika aku memaksakan diri untuk mencari tahu.

Tapi, memang sulit rasanya jika hanya satu orang yang tidak diberitahu tentang masalah keluarga.

Apa itu baik-baik saja?

Aku bertanya dengan hati-hati, dan Akiko-san kembali menghela napasnya.

Anak itu memang lemah dalam hal ini. Dia meminta Taichi-san untuk tidak memberitahumu, tetapi dia tidak mengatakan apa-apa padaku.

Karena dia berpikir kalau Akiko-san pasti tidak akan memberitahuku, kan…

Benar.

Aku akan menjaga rahasia.

“Kupikir itu tetap sia-sia.

Eh…?

“Habisnya, kamu mengkhawatirkan tentang Saki, kan? Jika kamu mendengarnya di sini dan tidak bertindak, bisakah kamu melakukannya?

Itu….

Aku mungkin tidak bisa menjanjikannya. Aku berusaha untuk membantu Ayase-san, jadi aku mencoba untuk mencaritahu sendiri. Jika aku sudah mendengarnya, lalu hanya diam menunggu sampai dia sendiri yang menceritakannya, aku takkan berlari secepat ini untuk kembali ke rumah.

Itu... mungkin sulit.

Benar. Jadi, meskipun aku bilang, 'Apa kamu akan berjanji untuk merahasiakan bahwa aku yang memberitahumu?' begitu Yuuta-kun berperilaku berbeda, itu pasti akan ketahuan.

Memang.

Tentu saja, jika Yuuta-kun bisa berpura-pura seolah-olah kamu sendiri yang menyadarinya dan bukan karena aku yang memberitahunya, mungkin itu bisa disembunyikan…

Ah, aku juga tidak yakin dengan itu.

Selain itu, jika ada kemungkinan kalau dia menyadari bahwa aku mendapat informasi dari Akiko-san, Ayase-san mungkin akan marah pada Akiko-san.

Ketika aku mengungkapkan kekhawatiran itu—

“Bagian di situ tidak masalah. Karena aku tidak pernah berjanji padanya. Jadi, aku akan menjawab seperti itu.

“Bukannya itu cuma pembelaan diri…

Sebagai gantinya, tidak akan ada kesempatan kedua. Jika hal yang sama terulang, kali ini dia pasti akan memberi peringatan padaku. Karena Saki lebih pintar daripada aku.

Ibu tiriku juga demikian.

Jadi, ini alasan yang hanya bisa digunakan sekali seumur hidup. Apa kamu siap untuk menggunakannya di sini?

Aku terkejut dan menatap mata Akiko-san. Mungkin ada saatnya di masa depan ketika Ayase-san akan menghadapi masalah yang serupa, dan dia hanya akan menceritakannya kepada Akiko-san. Tapi pada saat itu, Akiko-san tidak akan memberitahuku lagi.

Aku berpikir. Mungkin ini merupakan seseuatu yang sangat penting bagi Ayase-san, sampai-sampai dia ingin menggunakan kartu as ini.

Aku perlahan-lahan mengangguk sambil menatap mata Akiko-san. Jika aku tidak bertanya di sini, aku akan menyesalinya. Entah mengapa, aku mempunyai firasat begitu.

“Aku tidak akan menceritakannya secara rinci, tetapi… kali ini, Saki akan bertemu dengan… ayahnya. Itu sebabnya dia merasa gugup.

Dengan ayahnya…

Dengan kata lain, dia akan bertemu ayah kandungnya. Suami Akiko-san sebelum bercerai. Orang tuaku dan orang tua Ayase-san juga sudah menikah lagi. Jadi, jika itu ayahku, ia pasti punya istri sebelumnya, dan jika itu Akiko-san, dia pasti punya mantan suami.

Ibu kandungku pergi meninggalkanku setelah berselingkuh, jadi sepertinya dia tidak memiliki penyesalan terhadapku, dan sampai sekarang dia tidak pernah mengajakku bertemu. Jadi aku juga tidak terlalu memikirkannya. Namun, mantan suami Akiko-san pasti ingin bertemu dengan Ayase-san.

Jadi, kapan itu…

“Ia biasanya tinggal agak jauh. Dan kebetulan ia berada di kota sini selama bulan Oktober.

—Bagaimanapun juga, setelah bulan Oktober berakhir, semuanya akan tenang untuk sementara…

Mungkin itulah yang dimaksudkan oleh kata-kata Ayase-san.

“Hanya itu saja yang bisa kubicarakan. Kamu tidak keberatan, ‘kan?

Akiko-san langsung berdiri. Waktunya hampir terlambat untuk berangkat kerja, dan meskipun dia bisa berargumen bahwa tidak ada janji untuk tidak berbicara, tentu saja dia tidak bisa mengungkapkan semuanya.

Aku juga mengerti bahwa jika aku ingin mendengar lebih banyak hal yang lebih mendalam, seharusnya aku bertanya langsung kepada orangnya.

Ya. Tidak apa-apa. Umm… terima kasih banyak.

Kita ini kan keluarga. Kamu tidak perlu terlalu formal begitu!

Sambil mengatakan itu, Akiko-san tersenyum lembut. Aku menundukkan kepalaku hingga suara pintu depan ditutup menghilang saat aku melihat Akiko-san berjalan menuju pintu masuk dengan mengenakan setelanjas berwarna lembut.

Ayah kandung Ayase-san, ya…

 

◇◇◇◇

 

Beberapa saat kemudian, Ayase-san kembali.

Ketika dia melihatku yang sedang melamun di ruang makan, dia menatap jam dinding dan hanya berkata, “Hari ini kamu pulang lebih cepat, ya.

Ah, ya. Karena aku tidak mampir ke mana-mana, sih.

Begitu.

Setelah mengatakan itu, Ayase-san berusaha menuju kamarnya. Saat dia keluar dari ruang makan, dia tiba-tiba berbalik dan bertanya, Makan malam nanti bagaimana?”. Ketika aku memberitahunya bahwa di dalam kulkas ada sisa ikan mackerel yang dimasak dengan miso yang disiapkan Akiko-san, dia mengangguk dan bergumam, Kalau begitu, menu yang lainnya buat yang sederhana saja. Itu saja percakapan kami, dan setelah itu kami masing-masing kembali ke dalam kamar untuk belajar.

Rasa canggung yang kurasakan mungkin disebabkan oleh beban karena mengetahui informasi tentang Ayase-san yang seharusnya tidak aku ketahui.

Ketika waktu makan malam tiba, kami berkumpul di ruang makan dan duduk di meja makan. Kami memanaskan hidangan dan menyantap makan malam yang telah disiapkan oleh Akiko-san. Hari ini ayahku masih belum pulang karena lembur.

“Ayah tiri bilang ia akan makan di luar.

Ya.

Ayah mengirimkan pesan itu ke dalam grup keluarga, jadi meskipun tidak perlu diucapkan, baik aku maupun Ayase-san jelas memiliki informasi yang sama. Namun, percakapan semacam ini sering terjadi. Meskipun tidak ada makna fungsional, tapi ada makna emosional. Bahkan hal-hal kecil bisa menjadi topik pembuka untuk saling berbicara, dan itu membuatku merasa nyaman. Mungkin juga sama bagi dirinya.

Meski demikian, ayah selalu menghubungi kami ketika ada lembur atau hal tak terduga, jadi aku berpikir, meskipun ia adalah ayahku, ia sangat perhatian.

Kami berdua lalu makan bersama.

Seperti biasa, topik di atas meja makan adalah obrolan santai sehari-hari, namun rasanya jumlah percakapan kali ini sedikit lebih sedikit dibandingkan biasanya. Hal ini terjadi karena Ayase-san tidak ingin aku mengetahui masalah yang dia hadapi, dan aku sendiri tidak ingin dia menyadari bahwa aku sudah tahu rahasianya.

Aku telah mengetahui masalah Ayase-san secara sepihak, tetapi aku tidak ingin dia menyadari bahwa aku sudah mengetahuinya. Sekarang, setidaknya. Kata-kata Akiko-san masih terngiang-ngiang di telingaku. Begitu perilakumu berubah, itu pasti akan ketahuan, dan Tidak ada kesempatan kedua.

Jika Ayase-san sedang menderita dan berjuang, aku ingin selalu bisa membantunya. Namun, mungkin ini adalah satu-satunya kesempatan untuk mendapatkan bantuan dari Akiko-san. Karena aku telah menggunakan kartu as ini, aku harus bertindak dengan hati-hati.

Namun pada dasarnya, aku sudah mengungkapkan hal ini kepada ayahku. Mengapa dia tidak ingin aku tahu tentang pertemuannya dengan ayahnya? Aku tidak tahu, tetapi pasti ada alasan dari sudut pandangnya.

Oleh karena itu, jika memungkinkan, lebih baik menunggu sampai dia ingin mengatakannya sendiri.

Aku ingin menunggu.

Namun—pada saat yang sama, aku juga teringat kata-kata Maru. Karena Yoshida tidak menjelaskan alasannya tidak mengundang ke rumahnya, jad Makihara-san pun tidak menjelaskan alasannya kenapa dia merasa tidak senang. Komunikasi sangat mudah terputus. Salah satu dari mereka hanya perlu menahan diri.

Apa Yoshida dan Makihara-san bisa menyelesaikan kesenjangan yang dimulai tanpa berkonsultasi dengan siapa pun? Itu sangat diragukan. Tanpa petunjuk dari Maru, aku pun tidak yakin bisa mengungkapkan penyebabnya. Selain itu, mungkin pihak-pihak yang terlibat tidak menyadari bahwa mereka mengalami kekurangan komunikasi.

Begitu rupanya. Mungkin karena dia menyadari hal tersebut, itu sebabnya Akiko-san mau berbagi sedikit informasi denganku.

Waktu makan malam berakhir, dan kami berdua kembali ke kamar masing-masing. Meskipun aku melanjutkan belajar untuk ujian, wajah Ayase-san yang murung terus menggangguku.

Di akhir hari, saat aku sedang berbaring di atas tempat tidur dan dalam keadaan mengantuk, tiba-tiba aku berpikir, apa aku bisa menciptakan situasi yang membuat Ayase-san lebih mudah untuk bercerita kepadaku? Secara santai, sambil melakukan sesuatu yang bisa kami lakukan bersama. Kalau diingat-ingat lagi, kami berdua juga sudah lama tidak pergi berkencan.

 

 

 

Sebelumnya  |  Daftar isi  |  Selanjutnya

close

Posting Komentar

Budayakan berkomentar supaya yang ngerjain project-nya tambah semangat

Lebih baru Lebih lama