Bab 3 — Penantang
Bagian 2
Setelah
berjalan-jalan menjelajahi museum seni selama
dua jam penuh, kami berdua berdua akhirnya
keluar dari museum dengan termenung dalam
ketenangan.
“Bagaimana
menurutmu?” tanya
Tennouji-san.
“Ini
pertama kalinya aku datang ke museum, tapi... ternyata rasanya cukup menyenangkan.”
“Fufufu,
begitu ya”
Tennouji-san tersenyum gembira.
“Seni
bukan harus dinikmati dengan mata maupun telinga... tetapi dengan hati.
Menurutku, kesenangan ini adalah sesuatu yang berharga yang tak bisa didapat di
tempat lain.”
Rupanya dia ingin membagikan sensasi itu
denganku.
Memang
benar, menikmati seni memiliki daya tarik yang unik, berbeda dari olahraga,
film, komik, atau game.... Ada
kesenangan tersendiri saat menggunakan hati.
“Apa
kamu sering datang ke museum?”
“Sekitar
satu atau dua kali dalam sebulan. Setiap ada lukisan yang menarik perhatianku,
aku akan datang kemari.”
Ternyata dia cukup sering mengunjunginya.
Tennouji-san sepertinya sudah hafal
betul arah lokasi di dalam museum.
Pasti dia sering berkunjung.
“Apa
ada lukisan yang menarik perhatianmu, Itsuki-san?”
“Yah...
mungkin klise, tapi aku terhanyut dengan pesona Waterlilies.”
“Itu
adalah mahakarya dari Claude Monet, ya.”
Memang
banyak orang yang berkumpul di sekitar lukisan Waterlilies itu, dan pihak museum juga memperkenalkannya
sebagai karya unggulan, jadi
itu pasti lukisan yang terkenal. Dari
kejauhan, warna biru yang mendominasi memberikan kesan suram, tapi saat diamati
lebih dekat, aku bisa melihat keindahan cahaya yang digambarkan dengan lembut,
membuatku terpaku untuk memandanginya cukup lama.
“Sebenarnya,
Waterlilies itu hanya satu bagian dari seri lukisan. Ada jenis Waterlilies
lainnya juga, lho.”
“Ehh, apa
iya?”
“Nanti
ada acara pameran yang menampilkan Waterlilies lainnya. Lain kali aku akan mengajakmu lagi.”
Itu pasti
akan menyenangkan, aku jadi menantikannya.
Saat
mulai berjalan, terasa ada sedikit kesemutan di telapak kakiku. Wajar saja,
museum ini sangat luas sehingga aku kelelahan berjalan. Aku memeriksa waktu di
ponsel dan menunjukkan kalau sekarang masih
pukul 15.00 - masih ada waktu sebelum makan malam.
“Bagaimana
kalau kita beristirahat sebentar?”
“Baiklah,
kalau begitu ayo pergi ke kafe.”
Tennouji-san menawarkan dengan
lancar.
“Ngomong-ngomong,
aku sudah memilih tempatnya, jaraknya
cukup dekat hanya dengan berjalan kaki dari sini.”
“....Sungguh
pemandu yang sempurna.”
“Itu
adalah keharusan dari wanita ningrat.”
Tennouji-san
mengatakan itu dengan bangga.
Tennouji-san memang bisa melakukan
segala hal dengan baik. Entah apa hubungannya dengan menjadi seorang wanita ningrat, tapi yang jelas dia memang
orang yang luar biasa.
“Selamat
datang, Tennouji-sama,
Tomonari-sama.”
Ada
seorang pelayan pria berpakaian jas hitam membungkuk dalam-dalam saat kami berdua memasuki kafe yang telah
ditunjukkan.
Aku
mengikuti Tennouji-san
yang sudah terbiasa, lalu duduk di kursi dalam kafe itu.
Desain interiornya terasa mewah, mirip
dengan istana-istana di negara Eropa.
Lantainya terbuat dari marmer, dindingnya dihiasi dengan lukisan, dan di meja
terdapat peralatan teh yang terlihat mahal. Di bagian belakang terdapat semacam
panggung dengan grand piano di atasnya. Langit-langit putih dihiasi dengan
lampu-lampu emas, membuatnya terlihat elegan di segala sisi.
“Ini
adalah kafe eksklusif yang menjadi langganan keluarga Tennouji. Aku juga sering datang ke
sini sekali dalam seminggu.”
ujar Tennouji-san yang tampak sudah
terbiasa.
Aku tadi
memang sempat keheranan kenapa pelayan menyebut nama
kami, padahal aku belum memperkenalkan diri. Tapi
sepertinya mereka sudah mengetahui bahwa aku akan datang
bersama Tennouji-san
hari ini.
“Tempat
ini terlihat sangat mewah.”
“Kamu tidak
perlu terlalu kaku begitu,
kok...Atau itulah yang ingin kukatakan.”
Tennouji-san yang duduk di hadapanku
langsung menatap lurus ke arahku.
“Tapi ternyata kamu terlihat
lebih tenang dari yang
kubayangkan.”
“Yah, itu sih... mungkin karena
tempat tinggalku juga begitu.”
Tinggal
di kediaman Konohana
membuatku menjadi terbiasa
melihat furnitur mahal atau lukisan senilai ratusan juta. Jadi wajar saja kalau aku sudah kebal.
“Jadi,
kamu tinggal di salah satu vila
keluarga Konohana, ya?”
“Ah,
bukan di rumah utamanya.”
“Rumah
utamanya jauh lebih luas, lho. Aku
pernah menghadiri pesta di sana dulu, dan itu benar-benar membuatku
terpesona... Tapi itu juga kenangan yang tidak mengenakkan,” ujarnya dengan nada menyesal.
Pada waktu
itu, Tennouji-san
mungkin belum menganggap Hinako sebagai rivalnya,
jadi dia bisa tulus terpesona. Meski sekarang pun sifat polosnya masih terlihat
kadang-kadang.
Ngomong-ngomong,
aku sendiri belum pernah melihat rumah utama keluarga Konohana. Kagen-san sering menggunakan rumah yang terpisah, tapi
Takuma-san selalu berada di rumah utama.
Mungkin saat ini Hinako dan Shizune-san
sedang menghadiri jamuan makan malam dengan para eksekutif Grup Konohana, dan tempatnya bisa jadi
di rumah utama.
“Silakan
dilihat menunya”
Seorang
pelayan menyerahkan buku menu padaku.
Sejak
tinggal di kediaman keluarga Konohana,
aku menjadi terbiasa dengan suasana elegan
ini. Tapi saat melihat daftar harga yang tidak tercantum, pikiranku langsung
berhenti.
“...Ini, berapa harganya?”
“Hari
ini kamu tidak perlu memikirkan itu. Ini
semacam waktu istirahatku, jadi anggap saja kalau
kamu sedang menemaniku,”
ujar Tennouji-san.
Yah, karena aku memang datang ke sini untuk
diskusi belajar, jadi saldo uangku memang tidak terlalu banyak.
Kurasa
tidak sopan untuk membahas soal harga lagi di sini, jadi kali ini aku akan dengan lapang dada menerima
kebaikan hati Tennouji-san.
Aku
memesan teh yang sama dengan yang dipilih Tennouji-san,
dan pesanan kami segera terhidang di atas
meja.
Aku
mengangkat cangkir ke bibir dengan tenang dan menyesapnya perlahan.
“...Enak
sekali.”
Itu
adalah teh susu dengan rasa manis yang lembut. Sensasi sepat yang samar
memberikan aksen yang pas, dan meninggalkan rasa yang segar di akhir.
“Teh
di musim ini memang terasa kental dan lezat.”
“Apa
rasanya berbeda tergantung musim?”
“Ya.
Periode terbaik untuk memetik teh
berkualitas tinggi disebut 'Musim
Berkualitas', dan teh
yang dipetik di musim gugur, atau 'Autumnal', biasanya memiliki aroma
yang kaya dan cocok untuk dibuat teh susu.”
“Hee~...
sejak bersekolah di Akademi Kekaisaran, aku
jadi lebih sering minum teh, tapi aku sama sekali tidak tahu soal ini.”
“Memang,
dalam hal teh, pengetahuanku cukup khusus,”
Tennouji-san tersenyum.
Syukurlah
ini bukan bagian dari pelajaran umum...
Meskipun
aku sendiri juga mulai mengenal jenis-jenis teh dan merek peralatannya sejak
bersekolah di Akademi, tetap saja terkadang aku
terkejut saat teman sekelas membicarakannya, seolah-olah itu hal yang wajib
diketahui. Budaya kalangan atas memang sangat mendalam.
Saat kami
menikmati waktu yang elegan bersama, seorang wanita cantik dengan gaun indah
muncul dari bagian dalam kafe dan membungkuk kepada para pengunjung. Dia lalu
duduk di depan grand piano dan mulai memainkan sebuah lagu dengan lembut.
Komposisinya
sangat halus. Mungkin karena sebelumnya aku menyaksikan banyak karya seni di
museum, suara piano yang lembut ini pun terasa masuk ke dalam hatiku dengan
mudah.
“Ini
adalah Pavane pour une infante défunte....
Pavane adalah tarian popular yang tersebar luas di
Eropa pada abad ke-16.” jelas
Tennouji-san.
Sambil
menikmati teh dan alunan musik, aku benar-benar menghayatinya. Meskipun aku tidak terlalu paham soal piano,
permainannya yang komplek namun tetap runtut dan bersih membuat enak didengar.
Pasti pianis ini adalah seorang yang terkenal.
Ketika
pertunjukan selesai, para penonton
bertepuk tangan. Pianis itu berdiri dan membungkuk sekali lagi. Di akhir, dia
menatap sekilas ke arah Tennouji-san dan tersenyum, yang
dibalas oleh anggukan Tennouji-san.
Tennouji-san pernah menyebutkan tadi kalau kafe ini merupakan langganan keluarganya,
jadi sepertinya dia memang mengenal pianis itu.
“Kalau
kamu mengenalnya, kamu boleh menyapanya juga, kok?”
“Saat
ini, aku adalah seorang tamu, sedangkan
dia adalah seorang musisi. Aku
tidak ingin melakukan hal yang tidak
sopan yang dapat mengganggu hubungan yang indah ini,”
Tennouji-san menjawab dengan tenang
seraya menyesap tehnya.
Dia
memandang musisi di sana bukan sebagai kenalan, tapi sebagai seorang
profesional yang sedang tampil. Hal tersebut
merupakan bentuk penghargaan tertinggi.
Inilah
sosok Ojou-sama dari kalangan atas yang
sesungguhnya. Jika Hinako adalah Ojou-sama
yang sempurna, maka Tennouji-san
layak disebut sebagai Ojou-sama
dari kelas atas sejati. Tidak hanya tutur katanya yang anggun, tapi cara
berperilakunya dan cara
hidupnya dipenuhi oleh kecemerlangan.
“Ternyata
Tennouji-san punya banyak hobi, ya?”
“Kata
'ternyata' itu tidak perlu,”
sahutnya dengan sebal, tapi ekspresinya tetap tersenyum.
“Tapi
memang, hampir semua hobi yang kunikmati
saat ini merupakan hal baru
yang aku temukan belakangan ini.”
“Apa iya?”
“Ya,”
Tennouji-san lalu menatapku dengan lembut.
“Dan
itu semua berkat dirimu.”
Dia melanjutkan
dengan riang.
“Pada waktu
dulu, aku hanya fokus berusaha menjadi putri pewaris yang pantas untuk
keluarga Tennouji. Aku berusaha mati-matian untuk
menyembunyikannya, tapi
sebenarnya saat itu kondisi mental dan fisikku lumyan
tertekan, hingga sering membuat keluargaku
khawatir.”
Aku tahu
betul keadaan Tennouji-san
yang seperti itu. Saat itu dia salah paham
dengan berpikir kalau dirinya tidak punya pilihan lain selain harus
menuruti rencana perjodohan. Pada waktu itu, Tennouji-san memang terlihat sangat
terpojok.
“Kamu lah
yang memperluas duniaku, Itsuki-san.
Berkat dirimu, aku
bisa menghadapi keinginan orang tuaku,
dan memperoleh hari-hari yang lebih santai... Hasilnya, aku jadi bisa mengenal berbagai hobi
seperti ini.”
Sepertinya
dulu Tennouji-san berusaha berlebihan
untuk memenuhi harapan orang tuanya....
tidak, dia malah membuat ekspektasi itu sendiri dan merasa harus memenuhinya.
Setelah
terbebas dari belenggu itu, jadilah Tennouji-san
yang sekarang.
Dia masih tetap rajin seperti
sebelumnya, tapi dia tidak
lagi terjebak dalam pandangan yang sempit, dan menjalani hidupnya dengan
menerima perasaan orang-orang di sekitarnya.
Dia
keliru dan mengira bahwa dirinya
sedang memikul beban yang berat, tetapi sebenarnya itu hanya imajinasinya saja. Sekarang
tampaknya dia sedang
mengalami berbagai hal dengan keringanannya
itu.
“Itsuki-san, sekali lagi aku ingin mengucapkan
terima kasih padamu. Berkat dirimu, kehidupanku menjadi jauh lebih luas.”
Tennouji-san menundukkan kepalanya dengan
tenang.
“Padahal aku
merasa kalau aku tidak melakukan sesuatu yang begitu istimewa.”
“Tapi itu
sangat penting bagiku.”
Jika dia sampai mengatakannya demikian, berarti
upayaku untuk meyakinkannya tidaklah
sia-sia.
“Intinya,
apa yang ingin aku sampaikan ialah, bahwa berkat
Itsuki-san, aku
bisa memperbaiki cara hidupku.”
Setelah
mengatakan itu, Tennouji-san meminum
tehnya.
Lalu dia meletakkan cangkirnya dengan
sedikit kuat.
“A-k-an
te-ta-pi————! Sekarang malah kamu yang terlihat tersiksa seperti aku yang dulu! Tentu saja aku ingin mengatakan sesuatu!”
“Maafkan aku...”
Aku
mempunyai firasat buruk ketika dia meminum tehnya, dan
ternyata pembicaraan itu mengarah ke situ.
“Akhir-akhir
ini, Itsuki-san terlihat seperti aku yang dulu. ...Itulah sebabnya, aku
memutuskan. Sekarang giliranku untuk mengulurkan tangan.”
“...Begitu
rupanya.”
“Jika itu aku yang dulu, aku mungkin akan berkata kepada Itsuki-san yang terdesak, 'Teruslah berusaha sekuat tenaga'.”
Aku
penasaran apa iya memang begitu.
Memang
benar kalau Tennouji-san telah berubah daripada dirinya yang dulu. Tapi aku meyakini bahwa Tennouji-san yang dulu juga akan menyuruhku
untuk beristirahat jika melihatku seperti ini sekarang.
Tennouji-san sadar akan perubahannya sendiri,
jadi dia agak merendahkan dirinya di masa lalu. Tapi... Bagiku, Tennouji-san selalu bersikap baik kepadaku
sejak pertama kali kami bertemu.
Aku masih
mengingatnya dengan jelas, saat aku sedang mencari dompet yang dijatuhkan Hinako, tiba-tiba Tennouji-san memanggilku untuk memperbaiki
postur tubuhku. Pada saat itu, Tennouji-san terlihat sangat keren dan baik
hati. Dia adalah orang yang membuatku berpikir, ‘Aku ingin menjadi orang yang seperti
itu.' Tennouji-san berkata bahwa kali ini dia mengulurkan tangannya padaku, tapi sebenarnya Tennouji-san lah yang pertama kali mengulurkan
tangannya padaku.
“....Aku
juga bisa berubah berkat dirimu, Tennouji-san.”
Tanpa
sadar, aku mengungkapkan apa yang kupikirkan.
“Percaya
diri, berbicara dengan jelas, menegakkan postur tubuh, dan berusaha keras....Tennouji-san
mengajari semua hal itu padaku. Terima kasih banyak.”
Tak
diragukan lagi, orang yang mengajariku betapa pentingnya hal-hal itu
adalah Tennouji-san.
Aku
membusungkan dadaku dan menatap lurus ke arah Tennouji-san.
Aku
sedang berbicara sendirian dengan seorang
Ojou-sama dari Grup
Tennouji di ruang elegan dengan suasana
yang tidak memungkinkan adanya sikap yang lancang.
Diriku yang dulu pasti akan merasa canggung,
tapi sekarang aku bisa bersikap tenang dan percaya diri.
Melihatku yang seperti itu, Tennouji-san tampak linglung beberapa saat karena
suatu alasan.
Pipi
Tennouji-san berangsur-angsur memerah.
“Syu-Syukurlah
kalau begitu.”
Suasananya
menjadi agak canggung. Mungkin wajahku juga ikutan memerah.
“Ngomong-ngomong,
Suminoe-san
juga bilang kalau kamu sudah berubah,
Tennouji-san.”
Untuk
mengubah suasana, aku mengalihkan topik
pembicaraan yang terlintas di dalam kepalaku.
“Benarkah?”
“Ya,
aku mendengar banyak ceritanya saat pertemuan belajar
beberapa hari yang lalu.”
Aku tidak
menyinggung masalah perasaan
aslinya, dan hanya membicarakan Suminoe-san.
“Tennouji-san
dulu sempat menolongnya, ‘kan?”
“Aku sama
sekali tidak menolongnya, aku hanya tidak ingin bakat
Suminoe-san terbuang sia-sia. Usahanya sendiri lah yang membuatnya berhasil.”
Tampaknya
Tennouji ingin mengatakan bahwa dia
merekrut Suminoe-san karena melihat potensinya.
“Apa
kamu sering berbicara dengan Suminoe-san?”
“Ya,
meskipun kami sudah tidak sekelas lagi sejak kelas 2, kami masih sesekali bertemu sepulang sekolah.”
“Begitu
ya... Suminoe-san tampak mengagumi Tennouji-san, jadi mungkin dia
merasa kesepian tanpamu.”
“Benarkah
dia merasa begitu?”
“Yah...”
Meskipun aku tidak tahu apa dia merasa kesepian atau tidak,
tapi aku bisa meyakini kalau Suminoe-san
memiliki rasa sayang pada Tennouji-san.
Mungkin
saat mereka masih sekelas dulu.... ketika dia bisa bertemu
Tennouji-san setiap hari, Suminoe-san
mungkin lebih baik daripada sekarang.
“Aku
memiliki perasaan yang samar-samar bahwa Suminoe-san mengagumiku.”
Tampaknya
Tennoji-san juga menyadari perasaan Suminoe-san.
Yah, aku
tidak berpikir dia menyadari perasaan Suminoe-san
yang sebenarnya sih.
“Hanya saja...dia dulu menghormatiku, jadi dia mungkin memiliki
perasaan campur aduk terhadap diriku
yang sekarang.”
Tennouji-san mengatakan hal itu dengan ekspresi wajah yang rumit dan melihat ke
arah jam di dinding kafe.
“Kalau
begitu, bagaimana kalau kita
melanjutkan ke tujuan berikutnya??
“Massih ada
lagi?”
“Ya.... Akhir-akhir ini kita berdua banyak menghabiskan waktu di meja kerja, bukan?”
Itu memang
benar, sih.
“Di
saat seperti ini, yang perlu kamu lakukan hanyalah menggerakkan tubuhmu!”
◆◆◆◆
Aku menghela napas dengan sedikit gugup.
Setelah
berdiri diam sebentar, aku mendengar
suara langkah kaki yang mendekat.
“Maaf
sudah membuatmu menunggu.”
Mau tak mau
aku merasa terpana dengan Tennouji-san
yang berjalan mendekat sambil mengatakan itu.
“...
Itu sangat cocok untukmu.”
“Kamu kembali menggunakan bahasa
formal lagi.”
Sementara
aku memakai setelan hitam sederhana, Tennouji-san
yang mengenakan gaun berwarna
biru tersenyum mengomentariku.
Dan
kemudian, Tennouji-san
mengulurkan tangannya.
“Kalau
begitu... bagaimana
kalau kita berdansa?”
Alunan
musik yang tenang mulai terdengar.
Setelah
keluar dari kafe, Tennouji-san
membawaku ke ruang dansa.
Tempat yang kami kunjungi tampak
luas, elegan, dan terlihat bergengsi,
seakan-akan disiapkan khusus untuk
dansa sosial. Lantai kayunya sangat nyaman saat digunakan untuk bergerak,
menghasilkan suara langkah yang menyenangkan. Lampu-lampu gantung di
langit-langit memancarkan cahaya lembut yang mempercantik suasana.
Karena di sini juga menyediakan penyewaan
kostum, jadi kami berganti pakaian menjadi
penampilan formal. Sudah lama sekali aku tidak berdansa, jadi memakai kostum
dansa terasa asing.
Tarian
yang kami lakukan adalah slow-waltz.
Kalau dipikir-pikir lagi, slow-waltz ini adalah tarian pertama yang kupelajari dari Tennouji-san.
“Ara,
ternyata kamu masih
mengingatnya ya.”
“Ya itu sih
tentu saja, karena aku dilatih dengan sangat ketat...”
“Sepertinya
ajaran gurumu sangat baik. Bagaimana kalau lain kali aku mengajarkan tango juga?”
Tango berbeda
dengan tarian waltz, tarian Tango lebih bergairah dan penuh
semangat.
Aku
memang sedikit tertarik, tapi mungkin lain kali
saja.
Sambil terus mempertahankan
postur tubuh yang terkait, Tennouji-san
dan aku berputar setengah lingkaran. Gerakannya sangat licin dan lancar, tanpa
merasakan adanya resistensi sedikit pun.
Dalam
dansa sosial, kadang-kadang ada momen di mana kita merasa benar-benar menyatu.
Momen itu
terasa sangat menyenangkan. Seolah-olah
batas di antara aku dan Tennouji-san telah
menghilang, dan kami berdua larut dalam aliran gerakan yang sama.
“Momen saat
ini terasa begitu emosional
ya?” kata Tenyouji-san dengan senyum
tipis.
“Dulu
saat pertama kali kamu
berdansa, kamu tampak
sangat gugup sekali, Itsuki-san.”
“Apa iya
aku segugup itu?”
“Iya,
memang segitunya. Kamu bahkan langsung menegang hanya
dengan bertatapan mata denganku.”
Ketika dia
mengatakan begitu, rasa-rasanya memang itulah yang terjadi.
“Aku
juga dulu seperti itu saat masih kecil. Perasaan harus bisa melakukannya dengan
baik membuatku jadi tegang dan gugup...”
“...Tidak, sebenarnya bukan itu
alasannya.”
Tennouji-san menatapku dengan keheranan, dan aku melanjutkan.
“Yah...alasan
kenapa aku gugup karena pasangan dansaku adalah Tennouji-san...”
“...”
Aku tidak
melanjutkan kalimatku karena merasa malu dan tidak enakkan.
Meskipun
ini hanya dansa, tetap saja tubuh kami saling bersentuhan
dan wajah kami juga dekat... Karena aku melakukan
itu semua dengan Tennouji-san,
jadi tentu saja aku akan merasa gugup.
Sekarang
aku sudah sedikit terbiasa, tapi sebenarnya aku masih sedikit tegang.
Meski
masih merasa belum cukup mahir, aku
terus berdansa. Tapi tiba-tiba,
Tennouji-san membuat kesalahan dalam urutan
langkah dan hampir kehilangan keseimbangan.
“Tennouji-san?”
Aku merasa keheranan karena itu bukan kesalahan yang biassa dilakukan Tennouji-san, dan saat aku melihat wajahnya...
“...Bukan kamu saja satu-satunya orang yang merasa gugup,
tau.”
“Hah?”
Tennouji-san sedikit tersipu dan mengalihkan pandangan.
Kami
terus berdansa dalam suasana canggung.
...Astaga,
tiba-tiba saja aku jadi khawatir dengan keringat di tanganku.
Sepertinya
Tennouji-san pun merasakan hal yang
sama, karena kami berdua terlihat gelisah
ketika menggerakkan badan selama
berdansa.
“Ngo-Ngomong-ngomong,
Itsuki-san, kenapa kamu memutuskan untuk bergabung menjadi anggota OSIS?”
Tennouji-san mengubah topik
pembicaraan.
Ah iya, sepertinya aku belum pernah
menjelaskan hal itu.
Tapi
bagaimana aku harus menyampaikannya? ... Tennouji-san
sepertinya memiliki rasa persaingan yang kuat dengan
Hinako. Aku tak ingin merusak suasana menyenangkan ini, jadi sebaiknya aku
samarkan sedikit.
“Sebenarnya,
aku ingin menjadi anggota eksekutif
di perusahaan tertentu suatu hari nanti, jadi aku membutuhkan pengalaman di OSIS Akademi Kekaisaran sebagai
prestasi. Katanya itu akan menguntungkan...”
Saat mendengar
penjelasanku, pandangan mata Tennouji-san
menjadi tajam.
“Apa
itu Grup Konohana?”
“Eh?”
“Kamu
tidak menyebutkan namanya di depanku,
dan juga membutuhkan prestasi yang cukup sulit sebagai anggota OSIS Akademi Kekaisaran.
Dari dua hal ini, aku bisa
menebak dengan mudah.”
Ternyata
dia bisa langsung menebaknya.
Aku tak
tahu harus berkata apa dan hanya terdiam.
“Jadi,
dengan kata lain kamu mengincar jadi anggota OSIS
demi Konohana Hinako, begitu?”
“Bukan
hanya itu saja sebenarnya...”
Tennouji-san menghentikan dansa kami.
Alunan
musik yang indah dan lembut, namun terasa ada kesedihan dan kepedihan di
dalamnya, mengisi ruangan.
“Dalam
pandanganmu...”
Tennouji-san menarikku lebih dekat.
“Apa kamu hanya melihat... Konohana Hinako saja?"
Hidung
kami saling berdekatan dan sempat bersentuhan,
tapi Tennouji-san tak mengalihkan
pandangannya dariku.
Wajahku
tergambar dengan jelas di matanya, menunjukkan kegelisahan
dan keraguan.
Tiba-tiba...
aku menyadari ada sedikit keraguan dan ketidakpastian di mata Tennouji-san.
Biasanya,
mata Tennouji-san selalu terlihat kuat dan
bersinar. Tapi sekarang, dari jarak sedekat ini, aku bisa melihat
ketidakpastian di sana.
Aneh sekali.
Tennouji-san memandangku dengan
sangat serius begitu, tapi
kenapa aku justru menampilkan ekspresi bingung seperti ini?
“...Bukan
begitu.”
Nafasku
yang keluar membelai rambut Tennouji-san.
Aku
menutup mata, lalu membukanya lagi.
Wajahku
yang terpantul di mata Tenyouji-san... tidak lagi terlihat bingung.
“Tadi
aku hampir mengatakan, tapi bukan
hanya itu saja. Aku ingin memiliki hubungan yang setara dengan Tennouji-san, Narika, dan semua orang yang biasa
kutemui.”
“Hubungan
yang setara...?”
Aku balas mengangguk.
Itulah tekad yang kuambil di akhir
liburan musim panas kemarin.
Di akhir
liburan, aku bisa kembali ke kehidupan sehari-hari sebagai masyarakat biasa. Tapi
aku tidak kembali.
Salah
satu alasannya adalah... Tennouji-san.
“Sejak
datang ke Akademi Kekaisaran
dan berinteraksi dengan banyak orang, aku ingin menjadi seperti mereka. ... Tennouji-san juga adalah salah satu
orang yang membuatku berpikir demikian.”
Tennouji-san mendengarkan ceritaku
dengan serius.
Aku ingin
menjadi orang yang bisa memikul tanggung jawab besar sama seperti orang lain. Secara khususnya, aku ingin
menjadi anggota eksekutif Grup Konohana suatu hari nanti.
Dan...
aku juga memikirkan ambisi lebih jauh dari itu.
“Sekarang
aku masih bersekolah di akademi dengan identitas
palsu, tapi... suatu hari nanti aku ingin berdiri di samping kalian semua
dengan identitas asliku. ... Mencoba masuk anggota OSIS
adalah langkah awal untuk mewujudkannya.”
Aku merasa
kalau itulah makna sejati dari kesetaraan.
Berdiri
sejajar dengan semua orang, itu yang kupikirkan.
Setelah mendengar
keinginanku itu, Tenyouji-san menghembuskan napas kecil...
“...Kamu ini memang benar-benar seorang penantang.”
Penantang, ya. Setelah mendengarnya, kurasa itu ada benarnya.
Sebagai
orang biasa, memiliki ambisi seperti ini adalah sesuatu yang luar biasa.
“Karena
kamu orang yang seperti itu, makanya aku.....”
Tennouji-san menatapku dengan
ekspresi yang agak melamun dan linglung.
“...Tennouji-san?”
“Bu-Bukan
apa-apa! ... Hampir saja aku keceplosan."
Wajah Tennouji-san memerah, dia menutupi
mulutnya dengan kedua tangannya.
Lagu
berikutnya mulai dimainkan, jadi kami pun kembali berdansa bersama.
Kami
menari waltz yang anggun, seakan-akan
saling memastikan perasaan masing-masing.
“Boleh aku bertanya satu hal lagi padamu? ... Bagaimana jika aku memintamu untuk datang ke dalam Grup Tennouji?”
“Itu...”
Aku merasa berhutang budi kepada
Hinako karena telah mempekerjakanku. Selain itu, sebagai pengasuhnya, aku ingin terus berada di
samping Hinako dan meringankan bebannya. Akhir-akhir ini, Hinako dipaksa untuk
berjuang sendirian. Aku memiliki keinginan yang kuat
untuk mendukungnya.
Tapi aku
juga berhutang budi kepada Tennouji-san, dan jika dia sedang
kesulitan, aku ingin membantunya. Jika Tennouji-san
menaruh harapan dan kepercayaannya
padaku, aku ingin sekuat tenaga membalasnya.
Apakah
aku akan memilih berdasarkan gaya kerja? ... Bukan soal gaji. Keduanya pasti
akan memperlakukanku dengan sangat baik. Kalau begitu, aku pilih berdasarkan
bidangnya? Aku akan memilih bidang yang sesuai denganku... Ah, kalau ternyata
tidak cocok, aku bisa belajar hingga lulus nanti.
Aku
sampai berkeringat memikirkannya terlalu keras.
Akhirnya,
kesimpulan yang kudapatkan adalah—
“...Ba-Bagaimana kalau... keduanya?”
“Haaaaaaaa~~~~~~~~~!”
Tennouji-san menghembuskan napas
panjang.
“Dasar
penipu, kurang peka, orang aneh.”
“Umm...”
“Aku
benar-benar memahami Itsuki-san
sekarang. Itsuki-san
selalu menunda-nunda masalah ini dan tidak pernah memberikan jawaban sampai akhir.”
“...Huh.”
Ketika mendengarnya sampai sejauh itu, aku
jadi ingin membalasnya sedikit.
...Tapi
Tennouji-san sendiri bagaimana?
Apa dia
sudah siap menerima keputusanku nanti?
“Yah,
sebenarnya dari awal aku memang punya niat begitu. Malah ini menguntungkan
bagiku. Karena memang lebih cocok bagiku untuk mengambil daripada menunggu—”
“—Kalau
begitu aku akan pergi ke tempat Tennouji-san.”
Saat aku
mengatakan itu, Tennouji-san
membelalakkan matanya.
“Honyaa?! Eh, tunggu—?!”
Tennouji-san berhenti berdansa dan
mengeluarkan suara aneh. Ketika melihat
reaksinya yang begitu, aku
merasa puas.
“Aku
hanya bercanda. ...Lihat, bahkan Tennouji-san sendiri juga belum siap, ‘kan?”
“Tu-Tunggu, dulu sebentar...!! Se-Sepertinya
apa yang kita berdua pikirkan
mungkin berbeda!”
“Apa yang
kamu pikirkan itu... soal masa
depan, ‘kan?”
“Iya sih, tapi tetap saja...!”
Bukannya
kami sedang membicarakan soal perusahaan mana yang akan
kupilih?
“Aku
juga baru memahami Tennouji-san
dengan lebih baik. ...rupanya Tennouji-san lemah terhadap paksaan,
ya.”
“Ap-Ap-Apa.....?!”
Wajah Tennouji-san memerah saat menatapku dan mulutnya terbuka-tertutup seperti ikan koi.
“Ja-Jangan terlalu terbawa suasana begitu! Ka-Kalau kamu berbicara
begitu lagi, ak-aku
akan...”
“Kamu akan apa?”
Wajah Tennouji-san semakin memerah saat dia berkata.
“A-Aku
akan membuatmu bertanggung jawab!”
Itu terdengar cukup seram, jadi aku pun menyentuhkan kepalaku ke lantai untuk meminta maaf padanya.
Sebelumnya | Daftar isi | Selanjutnya