Chapter 4 — 23 Oktober (Sabtu) Asamura Yuuta
Aku dan
Ayase-san sudah tiba di depan Stasiun Shibuya ketika waktu masih lumayan pagi.
Meskipun aku merasa waktu ini merupakan momen berharga bersama Ayase-san, aku
tidak ingin orang tuaku berpikir bahwa aku bermalas-malasan. Ketika ditanya kami
mau ke mana, aku sedikit berpikir sebelum menjawab, “Kami mau pergi belajar.”
Kurasa itu
cukup tersampaikan kepada ayahku, yang sedang menguap ketika ia baru bangun, dengan
nuansa kalau kami mungkin ke perpustakaan atau semacamnya. Tujuan kami
sebenarnya adalah museum, jadi bukan sepenuhnya bohong. Mungkin ini bisa
menjadi pelajaran sejarah.
“Jalan kaki?”
Ayase-san
bertanya padaku, dan aku menjawab sambil menekan aplikasi peta.
“Gimana kalau
naik bus? Setelah sampai juga kita pasti akan berjalan.”
Baiklah, Ayase-san mengangguk.
'Museum
Daerah' yang ingin dia kunjungi terletak di sisi
timur dari Stasiun Shibuya. Menurut informasi dari peta, tampaknya dibutuhkan
waktu sekitar 20 menit berjalan kaki. Jaraknya tidak terlalu jauh, tetapi
karena kami akan berkeliling di dalam, jadi lebih baik tidak memaksakan diri.
Tanpa
menunggu lama, aku dan Ayase-san duduk berdampingan di kursi belakang bus yang
datang. Kami menuju ke arah timur melalui Jalan Hachiko yang sejajar dengan
Jalan Tol Metropolitan 3 Shibuya. Begitu keluar dari kerumunan gedung tinggi di
sekitar stasiun, langit yang terlihat dari jendela tiba-tiba terasa lebih luas.
Hanya dengan beberapa menit perjalanan dengan bus dari Shibuya, aku merasa kota
ini lebih terasa seperti sebuah daerah, bukan kota metropolitan.
“Rasanya sudah
lama juga ya tidak ke museum. Kecuali untuk perjalanan sekolah atau kegiatan
luar kelas, sudah lama sekali sejak terakhir kali aku mengunjunginya.”
Ketika aku
mengatakan itu, Ayase-san hanya mengangguk tanpa berkata-kata.
“Karena kamu
menyukai sejarah, jadi kupikir kamu sering mengunjungi tempat itu, Ayase-san.”
“Kalau kamu
sendiri bagaimana, Asamura-kun?”
“Aku tidak
bisa mengingatnya dengan jelas. Tapi sepertinya waktu kecil sekali, mungkin aku
pernah diajak orang tuaku ke museum. Seperti museum di Ueno.”
“Aku juga
merasakan hal yang sama. Aku punya ingatan melihat pameran dinosaurus, meskipun
hampir tidak mengingatnya sih.”
Ayase-san
menambahkan dengan suara pelan bahwa sepertinya orang tuanya masih akur saat itu.
Aku
merasa mungkin telah menggali masa lalu Ayase-san dengan cara yang tidak
terduga, tetapi dia melanjutkan bercerita, termasuk alasan mengapa dia ingin
pergi ke museum. Dia berkata bahwa pemandangan dan budaya Shibuya terus
berubah. Mendengar kata-kata Yomiuri-senpai
kemarin yang menjadi pemicunya.
“Setelah
mendengar itu, aku merasakan emosi yang seolah-olah membuat dadaku tertekan.”
Mungkin
itu kesedihan. Ayase-san bilang begitu.
“Beberapa
tahun lagi, setelah pengembangan kembali selesai, Shibuya tidak akan seperti
sekarang. Tapi, Shibuya saat ini pun pasti sudah sangat berbeda dibandingkan
dengan zaman ibuku. Aku penasaran, bagaimana rupa Shibuya di masa lalu dan
bagaimana perubahannya.”
“Kamu
ingin mengetahuinya?”
“Ya,
benar.”
Bus
kemudian berbelok ke arah kanan. Meskipun alasan Ayase-san
untuk pergi terasa agak terlalu mendadak,
aku merasa bahwa kata-kata
Yomiuri-senpai hanyalah salah satu pemicu. Itu hanyalah awal untuk berpikir tentang
perubahan.
Ada
pengumuman yang memberi tahu tujuan, dan tak lama kemudian kami turun dari bus.
Setelah melewati gang sempit, kami tiba di jalan berikutnya. Ada satu halte bus
tepat di seberang jalan. Di seberangnya, terlihat bangunan yang sama dengan
yang ditampilkan di aplikasi peta.
“Di
sebelah sana?”
“Sepertinya
begitu. Ini juga pertama kalinya aku datang kemari,
tapi, oh, lihat.”
Ayase-san
menunjuk tulisan [Museum
Daerah] di
dinding bangunan. Sepertinya tidak salah lagi. Tidak
ada tempat penyeberangan ketika kami melihat ke kiri dan kanan.
Kami
menunggu mobil berhenti sejenak sebelum menyeberang jalan. Bangunan kecil itu
lebih terlihat seperti perpustakaan kecil daripada museum. Kami membuka pintu.
Ada
panel foto besar yang dipamerkan pada bagian
depan. Foto stasiun tua yang tampaknya terbuat dari
kayu. Mungkin itu adalah Stasiun Shibuya. Di depan panel, ada model anjing
besar yang duduk. Anjing jenis Akita
yang paling terkenal di Jepang, Hachiko. Telinga kirinya terlihat terkulai.
Di
sebelah kanan ada meja pendaftaran, dan di sebelah kiri ada ruang istirahat
dengan sekitar empat meja. Ada rak buku, jadi mungkin ini juga merupakan ruang
perpustakaan.
Aku
terkejut melihat biaya masuk yang tertulis di pengumuman pendaftaran.
“Eh,
seratus yen?”
“Murah
ya.”
Ayase-san
juga terkejut. Selain itu, sepertinya orang yang berusia 60 tahun ke atas bisa
masuk gratis. Seperti yang diharapkan dari
fasilitas publik.
Seorang
kakek yang ramah duduk di balik kaca pendaftaran. Setelah menyapa dan membayar
biaya masuk, dia memberikan penjelasan singkat tentang museum. Ternyata, ada
lantai pameran tidak hanya di lantai satu, tetapi juga di lantai atas dan bawah.
Lantai
satu adalah pameran sementara, sedangkan lantai atas dan bawah adalah pameran
tetap. Di lantai atas, kita bisa belajar tentang sejarah Shibuya, sedangkan di lantai bawah, ada sastra yang
berkaitan dengan Shibuya.
“Dari
mana kita mulai melihatnya? Jika aku sih,
aku mungkin akan mulai dari atas ke bawah.”
Museum
dan galeri seni bisa cukup
melelahkan, jadi menurutku
lebih baik menghindari menaiki tangga ketika kita sudah mulai lelah di bagian
akhir. Namun, karena kami berdua yang datang,
tidak baik rasanya jika
hanya satu orang yang memutuskan. Mungkin Ayase-san juga punya pemikirannya tersendiri, dan sebenarnya tidak
masalah jika kita menggunakan lift setiap lantai. Kebetulan, lift terlihat
jelas di samping tangga.
“Karena
aku tidak punya pameran khusus yang ingin dilihat, aku juga setuju dengan
itu," jawabnya.
“Kalau
begitu, kita mulai dari atas, ya.”
Karena kami masih cukup bertenaga, jadi kami naik tangga menuju lantai
atas. Lantai dua, di mana kita bisa belajar tentang sejarah Shibuya, segera
membentuk persimpangan berbentuk T setelah naik.
“Ini,
kita mulai dari mana ya?”
“Kurasa
dari kanan.”
Meskipun
tanda arahnnya tidak
begitu mencolok, tapi Ayase-san
menjawab dengan cepat, membuatku bertanya-tanya bagaimana dia bisa tahu.
“Lihat,
di sisi kiri ada kronologi
waktu yang dipasang, ‘kan?”
“Ah,
iya.”
Tampaknya
ada peristiwa-peristiwa bersejarah
Shibuya yang ditulis berdasarkan tahun pada
dinding panel.
“Bagian
depan adalah masa
sekarang, dan semakin ke belakang maka
waktunya semakin mundur.”
“…Ah,
aku tidak menyadarinya.”
“Jadi,
menurutku kita akan berputar dan keluar
dari sini. Artinya, kita bisa pergi ke lorong kanan.”
“Benar
juga.”
Seperti
yang biasa dia lakukan
ketika berjalan-jalan mengelilingi kota, Ayase-san cepat menyadari hal-hal seperti
ini.
“Menurutku
kamu sangat memperhatikan orang-orang,
Asamura-kun, tapi sepertinya kamu tidak terlalu peduli dengan
pemandangan sekitar, ya?”
“Kurasa aku
memang terlalu memperhatikan orang lain. Maru bahkan sering bilang begitu. Ia mengatakan kalau
aku terlalu acuh tak acuh terhadap orang lain.”
“Apa iya
begitu?”
Ayase-san
memiringkan kepalanya ke samping, tetapi
aku merasa kalau kekhawatiranku
lebih tertuju pada “apa emosi orang-orang di sekitar
tidak terganggu.”
Tidak,
cerita tentang diriku tidak penting saat ini. Aku harus berkonsentrasi pada apa yang ada di depanku sekarang.
Sejarah
Shibuya, ya.
Aku mulai
berjalan mengikuti sedikit di belakang Ayase-san.
◇◇◇◇
Aku sedikit
membayangkan karena itu mengenai sejarah Shibuya, jadi pasti
ada bahan-bahan yang dipamerkan sejak orang mulai tinggal di daerah Kanto.
Tapi tak kusangka—.
“Rupanya
penjelasannya dimulai dari asal muasal tentang pembentukan
kepulauan Jepang—”
“Aku
tahu bahwa Jepang terhubung dengan benua,
tapi ketika melihatnya dalam bentuk
tidak biasa seperti ini, rasanya
tidak seperti Jepang,” ucap
Ayase-san sambil mengikuti penjelasan di panel pameran dengan matanya.
Tertulis
bahwa kepulauan Jepang hampir memperoleh
bentuknya yang sekarang pada
akhir zaman Pleistosen. Akhir Pleistosen, itu
berapa tahun yang lalu sih?
…Sekitar 30 ribu tahun yang lalu… eh, ribuan?
“30
ribu tahun yang lalu itu berapa tahun?”
Aku
mengucapkan sesuatu yang bodoh, dan Ayase-san memandangku seolah-olah menyiratkan,
apa sih yang orang ini bicarakan.
Aku mengerti. Aku mengerti. 30 ribu tahun berarti, jika kita mengasumsikan umur
manusia adalah 100 tahun, itu sekitar 300 kali lipat.
Jika ditilik dalam generasi, bisa dikatakan
bahwa kepulauan Jepang terbentuk seperti sekarang sekitar 1000 generasi yang
lalu.
Ngomong-ngomong,
di distrik Shibuya, ada lebih dari tiga puluh situs peninggalan dari zaman
prasejarah—zaman tanpa catatan tertulis. Sejak saat itu, manusia sudah tinggal
di daerah ini.
Pameran
diawali dengan penjelasan tentang masa
lalu yang terasa sangat jauh, di mana bentuk geografinya saja sudah berbeda
dengan sekarang, dan perlahan-lahan menjelajahi zaman. Ada beberapa pecahan
alat batu dan pecahan tembikar dari zaman berburu dan meramu, meskipun tidak sebanyak di
museum besar. Ada juga sudut di mana kita bisa mencoba mengukir pola tembikar
di tanah liat.
Setelah
mencapai zaman di mana ada catatan tertulis, akhirnya kita menemukan lebih
banyak hal yang akrab dengan pelajaran yang kita pelajari. Dari zaman Nara, Heian, Kamakura, Muromachi,
melewati zaman Sengoku, dan akhirnya sampai ke zaman Edo. Kemudian, memasuki
era Meiji, Taisho, hingga panjangnya Showa, dan akhirnya ke Heisei dan Reiwa.
Di bagian
belakang lantai dua, ada
ruangan yang mereproduksi suasana dari masa lalu yang sangat menarik. Seingatku, aku belum pernah tinggal di
tempat dengan lantai tatami, hanya lantai kayu. Aku hanya pernah melihat bentuk
apartemen awal Showa di film.
Mata
Ayase-san yang menatap setiap pameran terlihat serius.
“Apa itu menarik?” tanyaku.
Ayase-san
mengangguk.
“Agak
menarik. Aku jarang berinteraksi dengan pameran yang komprehensif seperti ini.”
Panel
terakhir membahas sejarah mode yang populer di Shibuya. Perubahan pemandangan
kota juga dirangkum di sini. Ini adalah bidang keahlian Ayase-san.
“Asamura-kun, menurutmu gambaran Shibuya itu kota yang seperti apa?”
“Gambaran ya?
Hmm, kurasa kesan yang kuat adalah banyak pekerja kantoran yang berjalan
berdesakan.”
“Ya,
aku paham banget. Tapi itu hanya di depan
stasiun, kan?”
“Ya,
memang benar.”
Area di
sekitar museum tempat kami berada saat ini tidak seramai di depan stasiun, dan juga tidak terdapat gedung-gedung
tinggi. Namun, tetap saja, jika berbicara tentang Shibuya, aku masih mendapat kesan bahwa itu adalah kota sibuk
dengan kepadatan penduduk yang tinggi.
“Hal ini
juga tertulis di kronologi waktunya—”
Ayase-san
mengatakan itu sambil menunjuk
ke arah tahun 90-an.
“—Pada
masa itu, Shibuya memiliki citra sebagai 'kota mode untuk anak muda'. Asamura-kun, apa kamu tahu istilah 'Shibu Kaji'?”
“Shibu
Kaji? Shibuya… apalah,
mungkin?”
“Benar.
Itu singkatan dari 'Shibuya Casual'.”
“Fesyen
kasual… maksudmu begitu?”
“Ya.
Istilah tersebut digunakan sejak akhir 80-an. Dan kata itu merujuk pada gaya fashion
di sini.”
Yang
dimaksud ‘di sini’ berarti Shibuya, tempat kami
tinggal.
“Hee…”
“Tapi
sekarang… mungkin seperti yang dikatakan Asamura-kun. Pemandangan Shibuya
yang bisa kita ingat adalah para pekerja
kantoran yang berjalan berdesakan,
terutama di depan stasiun.”
Aku
menganggukkan kepalaku.
“Itulah
sebabnya aku mempunyai
kesan yang kuat kalau Shibuya sebagai
kota bisnis.”
Setidaknya,
itulah kesan Shibuya dalam ingatan kami.
“Bisnis…”
“Ah,
apa itu aneh?”
“Tidak.
Maksudnya, itu terlihat seperti kawasan perkantoran, kan?”
Begitulah adanya. Kesan bahwa itu adalah kota
untuk para pekerja. Ada gambaran orang dewasa yang mengenakan jas, baik pria
maupun wanita, berjalan-jalan. Jika citra masa lalu adalah “kota anak muda,” maka kurasa area sekitar stasiun Shibuya
saat ini adalah “kota
pekerja.”
Selagi kami saling berbagi pendapat,
kami sudah mengelilingi lantai dan kembali ke titik percabangan pertama. Kami
turun ke lantai satu untuk melihat pameran khusus. Sekalian, kami istirahat
sejenak di area istirahat.
Jika melihat
penampilan luarnya saja,
museum ini tidak terlalu besar, jadi rasa lelah yang kami rasakan tidak
sebanyak yang kami bayangkan. Mungkin pameran khusus di department store jauh lebih besar dari ini. Namun,
dengan fokus pada lokasi Shibuya, pameran ini, seperti yang dikatakan
Ayase-san, disajikan secara komprehensif dan menyeluruh, yang mungkin merupakan
ciri khas utamanya.
Sekadar
informasi, istilah ‘komprehensif’ berarti melihat dari atas
seolah-olah melihat dari langit, sementara ‘menyeluruh’ berarti mengumpulkan segala
sesuatu seperti jaring. Jaring yang digunakan untuk menangkap ikan disebut ‘ami,’ sedangkan ‘ra’
merujuk pada jaring yang digunakan untuk menangkap burung. Jadi──.
“Komprehensif…
ami-ami, ya?”
“Ami-ami…
tiba-tiba kamu kenapa, Asamura-kun?”
"Maaf.
Kata yang aku cari di kamus beberapa waktu lalu tiba-tiba muncul di kepalaku
dan keceplosan begitu saja.”
“Asamura-kun, kadang-kadang kamu mengatakan hal-hal aneh, ya.”
“Ini
adalah sifat siswa yang sedang mempersiapkan ujian, jadi tolong maafkan.”
“Sejak awal
aku tidak menyalahkanmu, kok.”
Itu juga
benar.
“Ngomong-ngomong,
Ayase-san mungkin sudah melupakannya,
tapi──”
Sambil
duduk istirahat, aku berkata sembari
mengenang isi pameran.
“──Kurasa kita semua sudah belajar tentang sejarah
Shibuya saat masih anak-anak dulu.”
“Masa?”
Sepertinya
itu sudah sepenuhnya hilang dari ingatan Ayase-san, tetapi sejarah lokal
merupakan sesuatu yang patut dipelajari semasa SD
di wilayah mana pun. Itulah sebabnya,
aku masih mengingat
garis besar dari isi pameran. Aku merasa aneh bahwa Ayase-san yang suka sejarah
tidak mengingatnya, sampai aku teringat bahwa ketertarikan Ayase-san pada
sejarah muncul setelah orang tuanya tidak harmonis. Dia pernah mengatakan bahwa
dia merasa sedih dengan perubahan orang tuanya dan mulai menyukai hal-hal yang
tetap terjaga.
Artinya,
Ayase-san saat masih kecil dulu merupakan
anak lugu yang mempercayai bahwa hal-hal indah akan selalu bertahan selamanya. Memang,
foto masa kecil Ayase-san yang ditunjukkan ayahku sebelum pertemuan pertama kami menunjukkan senyuman polos
yang sesuai dengan usianya. Mungkin itu adalah rekaman sebelum ayah dan
Akiko-san tidak harmonis.
Setelah
ayahnya menghilang dari kehidupan
Ayase-san, “persenjataan” Ayase-san dimulai. Jika
dipikirkan begitu, mungkin kepribadian asli
yang ada di dalam
diri Ayase-san secara lebih
akurat ditangkap oleh foto masa kecilnya.
◇◇◇◇
“Jadi,
Asamura-kun. Di lantai bawah ada
apa, ya?”
Ayase-san
yang sudah selesai istirahat berdiri dan bertanya.
“Sepertinya
berisi tentang sastra yang berkaitan dengan Shibuya.”
“Itu
bidang keahlianmu ya,
Asamura-kun.”
“Entahlah?
Aku memang suka membaca novel dan hampir membaca apa saja, tapi aku tidak terlalu mendalami sastra.”
Kami berdua berjalan menuruni tangga
dan menuju ke lantai pameran di bawah.
Hal
pertama yang menarik perhatianku saat
melihat panel pameran adalah betapa banyaknya penulis terkenal yang memiliki
hubungan dengan Shibuya. Ada nama-nama seperti Shiga Naoya, Kunikida Doppo, dan Yosano Akiko yang membuatku berpikir, “Orang ini ternyata memiliki
keterkaitan dengan Shibuya.”
Ayase-san
juga tampak terkesan dan berkata.
“Ada banyak
sekali orang yang namanya pernah aku lihat di buku pelajaran bahasa Jepang.”
“Shiga
Naoya terkenal memiliki banyak rumah, termasuk di Shibuya. Lihat, hal itu juga tertulis di sini.”
“Eh.
... Banyak?”
Aku balas mengangguk.
“Bagaimanapun juga, dia dikenal sebagai 'penggila
pindahan' karena telah pindah rumah dua puluh tiga kali sepanjang hidupnya.”
Wajah
Ayase-san seketika terlihat
lesu.
“Padahal satu
kali saja sudah sulit…”
Ngomong-ngomong,
Ayase-san dan Akiko-san pindah ke rumahku pada bulan Juni tahun lalu. Meskipun
semua barang dibawa oleh jasa pindahan, mereka tetap harus mengemas semua
barang ke dalam kotak kardus sendiri, dan karena pindah ke rumah yang jauh
lebih besar, mereka harus membeli banyak barang baru seperti tempat tidur dan
meja. Aku juga sedikit membantu mengatur barang-barang, dan jelas sekali bahwa itu adalah pekerjaan yang
berat.
Bagaimanapun,
jika diminta untuk melakukan itu lagi, aku bisa mengerti mengapa wajahnya
terlihat lesu.
“Asamura-kun, jika kamu diterima di
Universitas Ichinose, apa kamu akan tinggal di kos?”
“Aku
berusaha untuk tidak memikirkannya terlalu dalam. Rasanya aneh merencanakan
sesuatu sebelum diterima.”
“Itu,
jika kamu diterima, bisa jadi masalah, kan...”
“Ya,
memang begitu. Tapi aku merasa kalau
aku terlalu berharap, sepertinya harapanku tidak akan terwujud.”
Aku tidak
terlalu memikirkan apa yang kukatakan saat mengatakannya, tetapi setelah
mendengarnya, Ayase-san tampak merenung.
“Ada
fenomena di mana jika kita berpikir sesuatu yang buruk mungkin terjadi, kita
merasa bahwa hal buruk itu akan terjadi karena pemikiran
kita sendiri.”
Dia
mengucapkan itu dengan pelan. Sekarang, justru
giliranku yang merenungkan kata-katanya.
Fenomena
yang disebutkan Ayase-san bisa dipahami secara intuitif. Tentu saja, pikiran
tidak memengaruhi fenomena fisik. Mungkin ada dampak pada tubuh seseorang,
tetapi peristiwa di luar tubuh tidak mungkin terpengaruh secara langsung. Jika
ada undang-undang yang mengatakan bahwa
membayangkan kecelakaan terburuk akan menyebabkan kecelakaan, dunia ini pasti
sudah penuh dengan kecelakaan besar.
Namun,
aku mengenali perasaan yang membuatku merasa seperti itu.
“…Kompleks
buah pengetahuan.”
“Apa
itu?”
“Ah,
aku hanya memberi nama secara sembarangan.
Jadi, aku tidak tahu apa sebutan resminya. Lihat, ada pohon pengetahuan tentang
baik dan buruk, ‘kan?”
“Maksudmu yang
ada di Taman Eden?”
“Benar.
Ia memakannya karena
godaan ular, sehingga memperoleh pengetahuan tentang
baik dan buruk, dan diusir dari Taman Eden.”
“Ya.”
“Ada
juga pemikiran bahwa mengetahui sesuatu bisa menjadi dosa. Dalam manga lama,
ada banyak dialog yang mengulangi pemikiran seperti itu, misalnya, meskipun dikatakan
bahwa seseorang sangat cerdas seperti iblis, tidak pernah dikatakan bahwa dia
bijak seperti Tuhan.”
“Jadi,
ada kecenderungan untuk menganggap bahwa
berpikir itu sebagai hal yang buruk?”
“Begitulah.
Aku sendiri tidak menyukai
pemikiran seperti itu, tetapi tanpa sadar, mungkin aku berpikir bahwa jika
memikirkan masa depan, hal buruk akan terjadi… Mungkin hanya ketakutan saat
menghadapi kekecewaan.”
“Ketakutan
saat menghadapi kekecewaan… Ya, aku mengerti itu.
Jadi, kamu sama sekali tidak memikirkannya?”
“Tentang
jika diterima, maksudmu? Hmm… mungkin aku pernah memikirkannya.”
Jika
dipikir-pikir kembali, sebenarnya aku sudah
memikirkan banyak hal tentang pindahan.
“Jika
aku berpikir untuk pergi ke Universitas Ichinose setiap hari, aku membutuhkan waktu perjalanan
dengan kereta selama satu
jam, dan akan memakan waktu lebih dari dua jam untuk
pulang pergi. Jaraknya memang tidak terlalu jauh, tetapi jika aku menjadi sibuk
atau merasa perlu menghemat waktu, aku harus mempertimbangkan kemungkinan untuk
pindah.”
“Jadi kamu
lumayan memikirkannya.”
“Yah, kira-kira begitu…
Ngomong-ngomong, bagaimana denganmu sendiri,
Ayase-san?”
“Pilihan
pertamaku adalah Unibersitas Tsukinomiya.”
“Begitu ya.
Jika kamu berhasil diterima di universitas pilihan pertamamu, itu berarti kamu bisa tetap berkuliah tanpa perlu
pindah…”
Universitas
Wanita Tsukinomiya hanya berjarak 30 menit dengan kereta tanpa
perlu ganti. Itu sudah cukup untuk perjalanan pulang
pergi.
“Itulah
sebabnya aku merasa tidak perlu segera mencari tempat tinggal
baru. Aku juga sudah memeriksa apakah ada universitas
swasta yang bisa dijangkau. …Tetapi,
keinginanku untuk
mandiri masih belum hilang. Jika aku menemukan
pekerjaan paruh waktu yang baik dan mendapatkan beasiswa, kemungkinan untuk
pindah tidaklah nol.”
“Ah,
kamu memang pernah mengatakan itu.”
Ayase-san
sudah mengatakan keinginannya untuk
mandiri sejak pertama kali kami bertemu. Dia ingin segera mengakhiri keadaan
bergantung pada Akiko-san dan ayahku,
dan itulah sebabnya dia berusaha mencari pekerjaan paruh waktu yang
menghasilkan banyak uang. Aku sudah melupakan hal itu karena dia sudah terbiasa
bekerja di toko buku.
Meskipun
sekarang dia sudah belajar
untuk bergantung pada keluarganya, inti dari perasaannya masih tetap sama. Dia ingin memberikan
kebahagiaan kepada Akiko-san dan ayahku,
ingin memberi mereka waktu berdua sebagai pasangan. Bukan untuk membesarkan
anak, tetapi agar mereka bisa menggunakan waktu untuk diri mereka sendiri. —Aku
merasa sedikit mengerti perasaan Ayase-san.
Jika memang begitu, memang benar bahwa ada kemungkinan kami akan pindah dari rumah saat kami berhasil dalam ujian masuk
universitas.
“Jadi,
ketika aku berpikir bahwa aku harus melalui kesulitan itu lagi… Aku ingin
mandiri, tetapi pindahan itu merepotkan.”
“Aku
mengerti, mengerti banget.
Hanya memikirkannya saja sudah membuatku berat.”
“Jadi,
melakukannya sampai dua puluh
tiga kali itu mustahil sekali.”
“Benar.”
Memikirkan
betapa sulitnya pindahan, aku penasaran dengan kepribadian Shiga Naoya yang
pindah rumah sampai dua puluh
tiga kali. Kami menatap foto hitam putih Shiga Naoya yang dipajang di depan
kami, sambil membicarakan hal-hal sepele seperti itu. Jika dipikirkan secara
rasional, hal itu tidak ada hubungannya dengan Shibuya.
Namun,
mungkin ada dugaan bahwa orang yang bernama Shiga
Naoya ini merupakan orang yang kuat
menghadapi perubahan lingkungan. Atau mungkin, ketakutannya terhadap “ketidakberubahan” lebih besar.
Tiba-tiba,
aku berpikir tentang hal itu dan merenungkan diriku sendiri.
“Bagaimanapun juga, setelah lulus kuliah dan bekerja, tidak ada jaminan kalau aku akan terus tinggal di Tokyo.”
“Bekerja?
Apa kamu
sudah memutuskan di mana kamu akan
bekerja, Asamura-kun?”
“Tidak sih,
belum sama sekali. Hanya saja, sepupuku—”
“Sepupu?
Ehm, kalau tidak salah namanya Kousuke-san, ‘kan?”
“Benar.
Seperti yang diharapkan darimu,
Ayase-san, kamu bahkan mengingat namanya.”
“Ya,
itu saja…”
Saat
musim dingin, kami sekeluarga pergi ke
rumah orang tua ayahku. Aku bertemu sepupuku, Kousuke. Ia adalah sepupu yang delapan tahun lebih
tua dan baru saja menikah. Aku terkejut karena itu berita baru bagiku, tetapi
sebenarnya mereka belum mengadakan resepsi pernikahan,
baru hanya mendaftarkan status pernikahan mereka ke dinas catatan sipil.
“Kabarnya
ia buru-buru mendaftarkan pernikahan karena akan bertugas di luar negeri.”
“Oh,
ia memang bilang begitu, ya.”
“Pada saat itu aku juga berpikir,
meskipun aku mendapat pekerjaan
di kampung halaman, jika diperintahkan untuk bertugas di luar negeri, itu
berarti aku harus pindah.”
Setelah
lulus kuliah dan mendapat pekerjaan,
tidak ada jaminan aku akan tetap tinggal di wilayah Tokyo selamanya. Bahkan, aku tidak tahu apakah
aku akan tetap bisa tinggal
di Jepang. Aku kembali merenungkan bahwa tidak mungkin aku akan tetap berada
dalam lingkungan yang sama selamanya tanpa perubahan.
Ada
kemungkinan aku akan
meninggalkan Tokyo seiring dengan masuk universitas.
“Begitu
ya. Mungkin kita hanya bisa bersama sekitaran
enam bulan lagi.”
Setelah
mendengar perkataan
Ayase-san, aku juga berpikir demikian, lalu sedikit rasa iseng muncul dalam
diriku.
“Setidaknya,
aku berharap kamu bisa bilang bahwa kita mungkin tidak bisa tinggal bersama.”
Begitu
aku mengatakannya, wajah Ayase-san terlihat tersipu,
lalu dia mengalihkan pandangannya.
Pipinya
terlihat sedikit memerah.
“Anggap
saja itu sebagai permainan kata. Aku tidak bermaksud mengatakan bahwa aku tidak
ingin bersamamu.”
Aku
tersenyum dan menjawab, “Aku tahu kok.”
Wajah malu-malu
Ayase-san yang jarang
terlihat, nampak begitu sangat
berharga.
Kami berdua terus berjalan-jalan di lantai sastra, merenungkan kehidupan dan perjalanan para
sastrawan.
◇◇◇◇
Ternyata,
kami selesai lebih cepat dari yang diperkirakan.
Saat
keluar dari gedung museum dan
meregangkan tubuh ke arah langit biru, Ayase-san berkata, “Rasanya menarik sekali.”
Aku juga
mengangkat kedua tangan ke langit untuk meregangkan tubuhku di siampingnya.
Bila melihat
posisi matahari, sepertinya sudah lewat tengah hari. Sambil menyipitkan mata
karena silau di luar, aku berpikir tentang apa yang harus dilakukan
selanjutnya.
“Apa
kita mau makan di suatu tempat sebelum
pulang?”
Karena
Ayase-san bilang dia memiliki sesuatu untuk dibicarakan, pasti dia butuh tempat
yang tenang. Itulah sebabnya
aku bertanya, tetapi Ayase-san berpikir sejenak dan berkata, “Rasanya sayang banget kalau harus menghambur-hamburkan uang buat makan di luar.”
Memang benar bahwa belakangan ini harga makanan di restoran keluarga semakin mahal.
Meskipun dia bekerja paruh waktu, jika dia harus kuliah di universitas swasta
tanpa bantuan orang tua, rasanya uang tabungan
tidak akan pernah cukup. Karena ini bukan hari istimewa seperti ulang tahun,
aku bisa mengerti keinginannya untuk menghemat uang. Selain itu, suasana ramai
di dalam restoran juga tidak cocok untuk pembicaraan yang mendalam.
Aku
mengeluarkan ponsel dan membuka aplikasi peta.
“Ternyata
lebih dekat dari yang kupikirkan, jadi kita bisa berjalan pulang. Lihat, ada
taman di sepanjang jalan.”
“Taman?”
Setelah
menuruni bukit hingga mencapai Jalan Meiji,
sepertinya jalan pulang ke stasiun tidak akan membingungkan. Ketika meelihat denah peta, ada taman di kedua sisi
sebelum sampai. Di sana pasti ada bangku yang cukup untuk kami berdua.
“Bagaimana
kalau kita membeli
sesuatu di minimarket di
tengah jalan dan istirahat di sana?”
Setelah
berpikir sejenak, Ayase-san berkata, “Baiklah,
aku setuju.”
Kami
sedikit mengambil jalan memutar dan
membeli beberapa makanan ringan di minimarket. Aku membeli kopi panas dan
onigiri, sementara Ayase-san membeli teh susu dan sandwich.
Kemudian
kami kembali sedikit dari minimarket.
“Apa
ini karena taman yang besar? Sepertinya lebih sepi dari yang kupikirkan.”
“Mungkin
karena ini adalah hari Sabtu di musim liburan.”
“Ah,
begitu ya. Mungkin semua orang sedang pergi berlibur.”
Di taman
yang kami kunjungi, ada fasilitas permainan anak-anak
seperti seluncuran, ayunan, dan area bermain pasir serta
gazebo. Seperti yang dikatakan Ayase-san, taman ini luas dan banyak keluarga
yang datang.
“Baiklah,
enaknya kita akan istirahat di mana?”
Aku
melihat sekeliling untuk mencari tempat yang tepat.
Aku
berpikir bahwa gazebo yang memiliki atap bisa menghindarkan kami dari sinar
matahari, tetapi melihat ayah-ayah yang duduk di sana kelelahan setelah
menemani anak-anak bermain, aku merasa tidak enak untuk ikut bergabung.
Lagipula, sepertinya tidak cocok untuk membahas hal-hal yang ingin kami
diskusikan.
Oleh
karena itu, kami duduk di bangku untuk dua orang yang jauh dari area bermain
anak-anak. Di sekitar kami tidak ada orang, dan kami jauh dari keramaian
keluarga. Suasananya tenang,
dan pepohonan yang berdiri di belakang kami menghalangi sinar matahari.
Ketika
aku melihat ke atas, dedaunan
yang mulai berubah warna dari hijau menjadi kuning bergoyang tertiup angin.
Beberapa daun yang sedikit merah juga terlihat, dan aku baru menyadari bahwa
dalam waktu sedikit lebih dari seminggu, kita sudah
masuk bulan November.
“Ini.”
Aku
mengeluarkan teh susu yang masih hangat dan sandwich dari kantong kressek minimarket
dan memberikannya kepada Ayase-san. Sandwich itu terdiri dari satu yang diisi
stroberi dan satu lagi dengan salad. Teh susu itu dalam kaleng.
Sementara
itu, aku membawa onigiri dengan isian salmon dan telur
ikan serta kopi.
“Apa
porsi segitu cukup?”
“Jika
tidak cukup, aku akan ngemil sedikit setelah pulang ke rumah."
Kombinasi
nasi putih dan kopi membuat Ayase-san tampak ragu, bertanya apa itu benar-benar
enak. Namun, bahkan saat makan hidangan Barat yang disajikan dengan nasi, orang
sering memadukannya dengan
kopi. Mungkin karena isian salmon dan ikura membuatnya terasa aneh, tetapi jika
kita berpikir tentang salmon dan kaviar, kombinasi itu tidak terlalu aneh.
“Menurutku,
itu hanya kombinasi yang aneh.”
“Kamu
menyadarinya, ya?”
Pada
akhirnya, semua itu tergantung pada kebiasaan.
Kami
berdua makan dalam keheningan untuk sementara waktu.
Musim
gugur semakin dalam, tetapi siang hari tidak terlalu dingin. Lagi pula, hari
ini langit biru tanpa awan. Daun kuning yang sudah sepenuhnya berubah warna
terbang ke udara, terlepas dari cabangnya karena tiupan angin. Ia melayang
dengan jalur yang tidak teratur menuju luar taman. Saat aku mengikuti
gerakannya dengan mata, suara lembut mencapai
telingaku.
“Tentang
yang aku katakan kemarin...”
Aku
berbalik menghadap Ayase-san.
“Apa
itu cerita yang ingin kamu sampaikan?”
Ayase-san
mengangguk.
“Aku
tidak ingin menemuinya.”
Eh?
“Ah,
maaf. Hal itu pasti membuatmu kebingungan karena aku tiba-tiba mengatakan itu.”
Aku
terkejut sejenak, tetapi aku segera
memahami apa yang ingin dia sampaikan. Aku
mengetahuinya dari Akiko-san bahwa Ayase-san akan bertemu
dengan ayah kandungnya. Jadi, jelas sekali siapa
yang dimaksud dengan “tidak
ingin bertemu”.
“Aku
harus bertemu dengan orang itu.”
“…Orang
itu.”
“Ya.
Ehm, maaf. Aku akan mulai dari awal. Ayah Asamura juga menikah lagi, jadi aku
rasa kamu mengerti, meskipun orang tua berpisah, orang itu tetap memiliki
hubungan darah denganku...”
Ayase-san
terdiam sejenak, menggigit bibirnya.
“Jadi,
ketika ia bilang ingin bertemu, ibuku tidak bisa menolaknya. Jika perceraian disebabkan oleh
kekerasan atau alasan lain, itu berbeda, tetapi dalam kasus kami, tidak ada
alasan seperti itu. Pihak yang mengasuh... oh, pengasuh di sini merujuk pada
orang yang merawat anak. Dalam kasus kami, itu adalah ibuku.”
“Ah,
ya. Aku tahu itu. Benar, jika mereka ingin bertemu
anaknya, pengasuh
harus membiarkannya untuk melihatnya. Jika dia menolak tanpa alasan, bisa jadi
saat ada kesempatan untuk berperkara di pengadilan, pandangan pengadilan tidak
akan baik.”
Aku juga
sudah mencari tahu dan mengingat hal-hal tersebut saat perceraian ayahku
diputuskan. Yah, ibu kandungku
langsung pergi setelah berselingkuh, dan
mungkin dia sekarang menikmati hidupnya, karena dia tidak
pernah sekalipun mengatakan ingin bertemu denganku.
“Aku
tidak ingin reputasi ibuku jatuh. Jadi jika ia bilang ingin bertemu, maka aku tidak bisa menolak.”
Setelah perceraian, Ayase-san
mengaku bahwa dia diajak bertemu Ayahnya sekitar
dua bulan sekali. Dari sudut pandangku, itu cukup sering.
Namun,
meskipun mereka bertemu, sepertinya waktu pertemuan itu tidak terlalu
menyenangkan bagi Ayase-san.
“Orang
itu—mungkin sulit dipahami. Nama ayahku, Ito Fumiya. Jadi, Ito-san. Kurasa aku sudah pernah menceritakan hal ini sebelumnya, tetapi Ito-san
mengalami kegagalan dalam bisnis dan terlilit
utang yang cukup besar.”
Aku
mengangguk. Aku baru saja mendengar tentang masalah utang
itu, tetapi mengenai latar belakang perceraian ayahnya, aku sudah mendengarnya
sekitar satu setengah tahun yang lalu. Mungkin sekitar seminggu setelah kami
pindah ke apartemen ini. Saat itu, kami tidak ingin mengingat kembali “kejadian ketika Ayase-san datang
ke kamarku dengan pakaian tipis di tengah malam”. Dia menceritakannya pada saat
itu.
Ayah
Ayase-san menjadi tidak percaya pada orang lain setelah kehilangan
perusahaannya karena pengkhianatan rekan-rekannya,
dan ia tersiksa oleh perasaan
rendah diri, sehingga mulai menjauh dari istri dan putrinya.
Ya, rasa
rendah diri...
Harga dirinya
sebagai penopang keluarga hancur, dan karena ia
tidak ingin mengakui bahwa istrinya lebih unggul, ia
mulai merendahkan Akiko-san dan mencurigai bahwa istrinya mungkin memiliki pria idaman lain.
“Ito-san,
ia tidak ada perubahan sama sekali
di sana—”
Ayase-san
hanya ingin menyebutnya “orang
itu” atau “Ito-san”. Mungkin
di dalam hatinya, dia tidak ingin mengakui Ito Fumiya sebagai ayah kandungnya.
Sepertinya aku
juga begitu. Mengenai ibu kandungku,
aku juga menyebutnya sebagai “orang
itu”.
“—Ia terus-menerus merendahkan diri
sendiri atau berbicara buruk tentang ibuku. Dan ketika suasana hatinya mulai membaik,
isi pembicaraannya hanya
membual. Setiap kali bertemu, itu selalu berujung pada pertengkaran.”
Sambil
menghela napas, Ayase-san menceritakan tentang pertemuan terakhir mereka.
“Itu
terjadi saat ibuku memutuskan untuk menikah dengan Ayah tiri. Pada saat itu, kami terlibat dalam
pertengkaran hebat.”
“Jadi...
sekitar satu setengah tahun yang lalu?”
“Ya.
Karena itu, ketika aku bilang tidak ingin bertemu untuk sementara waktu, ibuku
berbicara dengan Ito-san. Karena lingkungan akan berubah dan ada ujian, dia
tidak ingin membuat kondisi psikologisku tidak stabil, jadi dia meminta agar
pertemuan ditunda untuk sementara.”
“Jadi,
sejak kita mulai tinggal bersama, kamu belum bertemu dengannya, ya?”
“Yah,
benar. Ia juga tidak mengajukan keberatan.”
“Rasanya
cukup mengejutkan juga.
Sebelumnya ia tampaknya sangat ingin bertemu denganmu.”
“Ito-san
sudah menikah lagi sebelum ibu, dan sepertinya pasangan barunya adalah orang
yang baik. Saat itu, satu setengah tahun yang lalu, ia tampak senang dengan
kehidupan barunya, jadi ia mendengarkan saran ibu
dengan mudah.”
“Jadi,
sekarang ia ingin bertemu denganmu, ya.”
“Ito-san
sebenarnya sedang bekerja di luar negeri.”
“Luar
negeri…”
“Di
Amerika. Aku mendengar kalau
usaha baru yang ia dirikan di sana berjalan dengan baik. Sekarang ia pulang dan
ingin bertemu setelah sekian lama. Ia
akan ada di sini sampai akhir Oktober, jadi jika bisa, ia ingin bertemu denganku selama
waktu itu.”
Ia
tiba-tiba menghubungi dan menetapkan batas waktu sampai akhir Oktober untuk
bertemu, seolah-olah itu adalah permintaan yang tidak bisa ditolak.
“Itu egois banget, ‘kan?” dia mengeluh.
“Ibu
tiri… apa yang dikatakan
Akiko-san tentang itu?”
“Yah.
Dia bilang, 'Dalam situasi yang tidak stabil seperti sekarang menjelang
ujian, itu…' sepertinya ia menolak, tetapi… 'Tolong carilah jalan'
katanya. Ia
memberikan berbagai syarat, bahkan jika hanya untuk waktu yang singkat.”
Begitu
rupanya. Jika ada permintaan untuk bertemu, mana mungkin dia bisa menolaknya, dan bagi Ayase-san yang tidak
ingin merusak reputasi Akiko-san, dia harus pergi
menemuinya.
“Tapi,
kamu sendiri tidak ingin menemuinya?”
Dia
mengangguk pelan.
Aku dan
Ayase-san tetap duduk di bangku, membiarkan semilir angin musim gugur menerpa kami. Meskipun
aku sudah mendengar sedikit tentang latar belakangnya dari Akiko-san, saat mendengar
langsung dari mulutnya, aku merasa wajar jika dia merasa tertekan.
Dari
sudut pandangku sebagai pihak ketiga,
sepertinya Ito-san yang memaksakan kehendaknya. Jika begitu, mungkin ia yang
akan membuat pandangan pengadilan menjadi buruk… Namun, pasti ada alasan yang
tidak bisa dijelaskan hanya dengan logika.
Tetapi
yang paling penting adalah perasaan Ayase-san.
“Setiap
kali bertemu dengannya, aku selalu dibuat menyadari hal itu.”
Ayase-san
membuka mulutnya, dan aku mengalihkan fokusku.
“Aku
merasa kalau aku mirip dengannya.”
“…Mirip?
Maksudmu, dengan ayah… Ito-san?”
“Ya.
Ia sangat kompetitif, dan mungkin
bisa dibilang nilai-nilainya. Ia
berpikir bahwa jika tidak menang, itu tidak ada artinya. Selain itu, ia juga
cemburuan.”
“Benarkah?”
“Ya.
Aku merasa sangat mirip sampai di bagian
menyangkal semua itu. Aku
menyadari hal itu setiap kali bertemu, dan merasa tidak nyaman dengan fakta
bahwa darahnya juga mengalir
dalam diriku.”
“Itulah
sebabnya kamu tidak ingin memberitahuku?”
Dia
mengangguk pelan.
Ayase-san
berkata bahwa meskipun ayahku
mengetahuinya, tapi dia tidak
ingin aku mengetahui keberadaan Ito Fumiya. Karena ia adalah sosok yang
menonjolkan sisi buruknya.
“Jika
kamu sudah mengetahuinya, mana
mungkin kamu bisa kembali sama seperti sebelumnya, kan?”
“Yah,
itu benar sih.”
Dengan
mengetahuinya, tidak
mungkin untuk tetap lugu dan tidak mengetahuinya
sama sekali. Mungkin ada kesadaran untuk menghindarinya,
seperti yang baru saja dia katakan.
“Tapi,
Ito Fumiya bukanlah Ayase Saki.”
Itu
adalah kata-kata yang hanya bisa diucapkan oleh orang luar, dan karena menjadi
orang luar, aku merasa harus mengatakannya. Itulah sesuatu yang diperlihatkan
oleh Maru.
── Seringkali,
orang-orang yang
terlibat sama sekali tidak
menyadari situasi mereka.
Oleh karena itu, pandangan dari luar sangat penting.
“Itu…
memang benar, tetapi…”
“Aku
tidak akan mencampuradukkan Ayase Saki dengan Ito Fumiya hanya karena dia
mewarisi setengah dari genetikanya. Aku bahkan tidak
akan salah membedakanmu dengan Ito Fumiya.”
“Penampilan kami tidak begitu mirip…”
“Jika
ia berdandan sebagai wanita, mungkin akan sangat mirip.”
Ayase-san
tampaknya membayangkan penampilan ayahnya yang berdandan wanita dengan tatapan
sedikit ke atas, lalu tersadar dan menggelengkan kepala.
“Tidak
mirip, tidak mirip.”
“Oleh karena
itu, Ito Fumiya bukanlah Ayase Saki.”
“Ini
bukan masalah tentang penampilan, melainkan
tentang sifat kami.”
“Hal
itu sama. Aku tidak berpikir sifat
Ayase-san dan Ito-san mirip seperti yang kamu rasakan. Hanya dengan mendengar
ceritamu, aku sudah merasa begitu. Ayase-san bukan tipe yang melampiaskan
kemarahan kepada orang lain hanya karena kamu kalah, iya, ‘kan?”
“Ya, itu sih…
semoga saja.”
Setelah mendengar
kata-katanya yang
kurang percaya diri itu, aku jadi memahami
masalahnya. Ayase-san tidak ingin bertemu ayah kandungnya karena dia berpikir
dia akan menemukan sisi buruknya dalam diri ayahnya. Artinya, dia tidak
memiliki kepercayaan diri bahwa dia adalah individu yang terpisah dari ayahnya.
Ini bukan
masalah yang mudah. Kepercayaan diri merupakan
sesuatu yang tergantung pada individu itu sendiri.
“Yah,
aku juga tidak memiliki kepercayaan diri. Aku juga merasakan bahwa aku mirip
dengan… eh, maksudku yang dari ibu kandungku, ada beberapa hal yang mirip.”
“Benarkah?”
Dia
tampak terkejut. Tentu saja, aku balas mengangguk.
“Anak-anak
biasanya mengambil referensi dari perilaku orang dewasa yang ada di sekitarnya. Mereka bisa
mengetahuinya dari tindakan kecil yang mereka lakukan. Bisa jadi sama dengan
orang tua mereka."
“Aku
tidak pernah memperhatikan hal itu.”
“Misalnya saja cara menggunakan sumpit. Cara
memegang mangkuk teh. Kadang-kadang aku melihat gerakan tanganku dan berpikir, oh,
ini sama dengan ayahku.”
“Ngomong-ngomong,
Asamura-kun memakan ikan saba sampai ke kepala, ‘kan…?
Ayah tiri juga.”
“Y-Yah.”
Jadi
dia menyadarinya sampai segitunya, ya.
“Aku
agak kesulitan dan biasanya menyisakan makanan. Tapi Asamura-kun memakan ikan
goreng hingga ekornya.”
“Karena aku
suka teksturnya."
Meskipun
demikian, cara makan ikan itu bukanlah yang utama.
“Bagaimanapun juga, saat kita masih kecil, orang tua yang ada
di depan kita menjadi acuan, jadi wajar saja jika
ada kesamaan. Anak-anak berusaha secepat mungkin untuk menjadi dewasa. Namun,
aku percaya bahwa orang juga terpengaruh oleh orang lain selain orang tua, dan
waktu yang dihabiskan jauh dari orang tua dalam hidup jauh lebih lama daripada waktu
bersama mereka.”
“Waktu
yang dihabiskan jauh dari orang tua…”
“Benar.
Jika tahun depan aku tinggal di apartemen sendiri,
itu berarti selama 60 tahun dari 80 tahun hidupku, aku tidak akan langsung
terpengaruh oleh orang tua.”
“Tapi
ada pepatah yang mengatakan, 'jiwa tiga tahun akan bertahan sampai seratus
tahun.'”
Itu
adalah ungkapan yang berarti bahwa kebiasaan masa kecil lebih kuat bertahan
dibandingkan setelah dewasa.
“Jika
kita terlalu memperhatikan hal itu, kita harus menyerahkan masa kecil, sampai
usia tiga tahun, kepada robot yang tidak memiliki temperamen tertentu.”
Ada fiksi
ilmiah tentang itu. Meskipun ada, itu tetap fiksi ilmiah dan tampaknya tidak
mungkin dalam waktu dekat.
“Apa kamu tidak suka dengan kepribadianmu sendiri, Ayase-san?”
Aku
merasa pertanyaanku mungkin terlalu blak-blakan,
tetapi aku memutuskan untuk terus melanjutkan.
Ayase-san
memberikan reaksi yang kompleks ketika aku bertanya
demikian. Dia tampaknya ingin membantah dengan cepat. Dia
membuka mulut seolah-olah ingin
mengatakan sesuatu, tetapi tiba-tiba terdiam, menarik napas, dan menutup
bibirnya rapat-rapat. Dia menelan sesuatu dan mengerutkan bibirnya.
Setelah
itu, dia secara alami menurunkan bahunya yang sebelumnya terangkat dan
menundukkan kepala.
“Aku
tidak tahu.”
“Ya.”
“Aku merasa bangga dengan kecantikan ibu, dan aku merasa tidak adil jika dia dihina karena tidak memiliki
pendidikan yang baik. Namun, itu adalah kenyataan, dan jika aku ingin melawan
pandangan itu, aku perlu memiliki pendidikan yang tidak kalah dari yang
diucapkan.”
“Ya.”
“Itulah
sebabnya aku berusaha untuk memiliki penampilan yang dianggap orang lain
cantik, dan mendapatkan nilai tinggi
yang tidak membuat orang lain mengomentariku… Namun, aku tidak pernah menyesali
hal itu…”
Tapi,
Ayase-san melanjutkan.
“Belakangan
ini, aku mulai kehilangan kepercayaan diri. Misalnya… benar-benar misalnya.
Jika aku gagal ujian dan Asamura-kun lulus, apa aku bisa menerima kenyataan itu
tanpa marah seperti orang itu?”
“Seperti
yang kkubilang tadi, aku berpikir Ayase-san bukanlah tipe orang yang melampiaskan
kemarahan kepada orang lain hanya karena kalah.”
“Aku
senang kamu berkata begitu. Tapi saat ini aku tidak memiliki kepercayaan diri.
Dan dalam keadaan mental seperti ini, aku tidak ingin bertemu dengannya.”
Tanpa
disadari, sebutan Ayase-san untuk Ito Fumiya kembali menjadi “orang itu”.
Daun-daun tang berguguran berputar
di depan kami karena tertiup
angin. Daun kuning yang mirip telapak tangan itu jatuh di bangku. Aku mengambil
daun yang tampaknya pas untuk dijadikan hiasan kering itu, memegang pangkalnya,
dan memutarnya di ujung jariku.
“Kalau
mau bertemu Ito-san, itu harus di bulan Oktober, ‘kan?”
“Ya.
Kita berdua punya sekolah dan pekerjaan, jadi sepertinya sulit di hari kerja.
Kalau mau bertemu, mungkin aku harus menemuinya di akhir
pekan depan.”
Aku berpikir
sambil memutar daun kuning yang masih sedikit kemerahan itu.
Jika sampai sejauh ini Ayase-san tidak ingin bertemu, mungkin lebih baik kalau kita harus
menemukan cara untuk tidak bertemu demi kesehatan mentalnya... Apa yang harus kulakukan?
...Tunggu,
mungkin ada cara.
“Sebaliknya,
jika kamu berhasil melewati akhir pekan
depan, kamu tidak perlu bertemu untuk
sementara waktu. Dan yang kamu butuhkan hanyalah
alasan yang membuat Ito-san tidak bisa menolak.”
Ayase-san
yang tadinya menunduk mengangkat wajahnya.
“Begitu,
tapi. Tidak ada alasan seperti itu.”
“Kalau
tidak ada, kita tinggal membuatnya saja. Sampai sekarang, aku tidak tahu
bahwa kamu sedang menunda pertemuan dengan
ayah kandungmu, Ayase-san.”
Raut
wajah Ayase-san menunjukkan bahwa dia bingung dengan apa yang aku katakan.
“Belakangan
ini, Ayase-san terlihat murung dan mengeluh tentang sulitnya belajar.”
“Aku
tidak pernah bilang begitu, ‘kan?”
Aku sudah
menduga Ayase-san akan membantahnya.
Namun, aku ingin dia mendengarkan sedikit lagi.
“Kalau
begitu, bagaimana kalau kita memaksakan diri untuk berada di lingkungan yang
kondusif untuk belajar? Mungkin kamu bisa
fokus pada persiapan ujian.”
“Eh?
Eh? Eh?”
“Aku
teringat bahwa aku pergi ke kamp belajar musim panas dan itu sangat efektif.
Jadi, aku mengusulkan Ayase-san pergi ke tempat yang tenang dan nyaman sehingga kamu bisa berkonsentrasi dalam
belajar.”
“Eh,
tunggu, apa?”
“Jadi, bagaimana
kalau kita mengatur perjalanan jauh untuk belajar? Mungkin di akhir pekan
depan. Aku sudah merencanakan dan bahkan memesan akomodasi.”
“Bu-Bukannya
itu mustahil? Memangnya kita mau
pergi ke mana? Lagipula, jika aku menemukan
tempat yang nyaman, aku akan ditinggal sendirian di tempat yang tidak aku
kenal?”
“Sudah
kubilang, aku juga akan ikut."
“Apa…”
“Kurasa
melakukan perjalanan sendiri sebagai siswa SMA itu akan sulit, tapi jika kita pergi
bersama sebagai saudara, seharusnya itu masih
bisa diatur. Ah, aku
bisa menanggung biaya perjalanan dan akomodasi. Aku sudah bekerja paruh waktu
lebih lama darimu,
Ayase-san, jadi itu tidak masalah.”
“…Tu-Tunggu dulu sebentar, aku masih
belum sepenuhnya mengerti, bolehkah aku menelaahnya
dulu?”
“Silakan.”
Aku sudah
mengungkapkan apa yang ingin kukatakan, sekarang sisanya
terserah pada Ayase-san.
“Jadi,
maksudnya, si adik
mengeluh bahwa dia kesulitan belajar untuk ujian, dan kakaknya secara paksa
menjadwalkan kamp belajar... begitulah ceritanya?”
“Itu karena
cinta antar saudara yang indah.”
“Walaupun
tiri sih...”
“Justru hal
itu menunjukkan bahwa kami sudah cukup dekat. Dan demi adikku yang tercinta, aku mengusulkan untuk mengubah
lingkungan belajar dengan sedikit paksa.”
“Memangnya
alasan seperti itu bisa diterima? Kita memang
kakak beradik, tapi kita ‘kan tidak
memiliki hubungan darah. Dua siswa SMA yang pergi
berlibur bersama...”
“Kita tidak
sedang liburan, melainkan
kamp belajar. Tujuannya tetap untuk belajar menghadapi ujian. Yang penting ialah apakah kita bisa meyakini
alasan yang sulit itu.”
“Kamu sudah menyebutnya sebagai
alasan... tapi bukan itu yang ingin kukatakan. Mungkin begitu, tapi...
bagaimana kita harus menjelaskan ini kepada ibu...?”
Pada akhirnya,
dia merasa bimbang di bagian itu.
Namun,
aku yakin rencana mengundangnya dengan berpura-pura tidak tahu ini akan
disetujui oleh Akiko-san. Lagipula, Akiko-san sendiri yang memberitahuku bahwa
Ayase-san tidak ingin bertemu dengan ayahnya. Dan jika Akiko-san memberi izin,
ayahku pasti tidak akan menolak. Mungkin Akiko-san tidak menduga bahwa aku, sebagai
kakak sekaligus pacarnya,
sangat peduli pada Ayase-san—Saki.
“Dengar,
aku merasa tidak baik jika pikiranmu
terganggu di waktu penting seperti ini.”
Aku
mengungkapkan bahwa aku juga pernah merasa tidak stabil secara mental saat kamp
belajar. Aku mengaitkannya dengan keadaan Ayase-san saat ini dan jujur
mengungkapkan kekhawatiranku padanya.
“Satu-satunya
hal yang menyelamatkanku saat itu adalah pesan yang aku terima darimu, Ayase-san. Aku merasa ada
seseorang yang tahu betapa kerasnya usahaku di sini. Itu membuatku tenang.”
“Aku tidak
melakukan sesuatu yang khusus...”
“Meski
begitu, pesan itu sangat membantuku yang dalam keadaan panik
dan tidak bisa melihat sekeliling. Jadi, kali ini aku ingin membantu Ayase-san.”
“…Asamura-kun.”
“Awalnya,
aku berpikir untuk membawamu pergi secara paksa pada hari pertemuan yang sudah
dijadwalkan. Mirip seperti
pelarian kecil.”
Tetapi, menurutku Tindakan semacam itu tidak dapat diterima oleh
Ayase-san yang sangat menghargai Akiko-san. Meskipun dia bisa membatalkan
pertemuan dengan ayahnya dengan diam-diam
kabur dari rumah, itu akan membuat Akiko-san khawatir. Tentu
saja, ayahku juga
akan khawatir. Ada risiko bahwa dia akan dianggap sebagai keluarga yang tidak
mampu mengatasi anak yang melarikan diri, dan itu bisa merugikan jika sampai
terjadi pengadilan.
Jadi,
jika ingin melarikan diri, itu harus dengan persetujuan orang tua.
“Kedengarannya
bertentangan. Melarikan diri dengan persetujuan orang tua?”
“Tapi,
berkat pemikiran aneh itu, aku menemukan
ide. Maksudku, kita harus pergi jauh dengan alasan yang tidak bisa diprotes
orang tua. Ayase-san—”
Aku
menatap mata Ayase-san saat mengatakannya.
“Menjadi
patuh pada orang tua bukanlah cara untuk berbakti. Tawaran Ito-san, menurutku,
terlalu memaksa. Aku merassa ia
tidak akan mengerti betapa sulitnya bagi
Ayase-san di masa-masa menjelang ujian ini. Bukan berarti Ayase-san mengatakan
tidak akan pernah bertemu. Kali ini, lebih baik mereka menyerah.”
“…Apa itu beneran baik-baik saja?”
“Terkadang
melarikan diri itu penting. Jadi, akhir pekan depan kita akan melarikan diri!
Jauh dari jangkauan Ito-san!”
“Memangnya
ada tempat yang semudah itu?"
“Saat
aku menyelediki beberapa kamp
belajar musim panas, ada beberapa lokasi yang menjadi kandidat. Ada satu tempat
yang kupikir bagus dan cocok.
Sebenarnya, informasi ini aku dapat dari Maru saat musim panas.”
Rupanya,
di waktu yang hampir bersamaan denganku, Maru juga sedang
belajar sambil menikmati
pemandian air panas.
“Tempat
yang mudah dijangkau dari Tokyo, memiliki pemandangan yang indah, memiliki
sumber air panas, dan membuatmu bisa berkonsentrasi—Ayo pergi ke Atami!”
Sambil
membuang daun kering yang ada di tanganku, aku berusaha menunjukkan wajah yang
tenang sebisa mungkin.
Walaupun jantungku
berdebar dengan sangat kencang.
Meskipun
aku sudah memikirkan berbagai hal sejak mendengar cerita Ayase-san hingga pagi
ini, saat benar-benar mengajukan usulan ini,
sulit untuk mengungkapkannya dengan tenang. Namun, aku tidak ingin melihat
Ayase-san dalam keadaan seperti ini lebih lama lagi.
Di bawah
langit biru yang baru saja melewati tengah hari, pada
sore hari saat angin musim gugur menggoyangkan dedaunan, kami duduk di bangku
taman mendengarkan suara ceria keluarga dari kejauhan.
Mungkin ini adalah pernyataan pelarian yang paling waras yang pernah ada.
Sebelumnya | Daftar isi | Selanjutnya