Gimai Seikatsu Volume 12 Chapter 4 Bahasa Indonesia

Chapter 4 — 23 Oktober (Sabtu) Asamura Yuuta

 

Aku dan Ayase-san sudah tiba di depan Stasiun Shibuya ketika waktu masih lumayan pagi. Meskipun aku merasa waktu ini merupakan momen berharga bersama Ayase-san, aku tidak ingin orang tuaku berpikir bahwa aku bermalas-malasan. Ketika ditanya kami mau ke mana, aku sedikit berpikir sebelum menjawab, “Kami mau pergi belajar.”

Kurasa itu cukup tersampaikan kepada ayahku, yang sedang menguap ketika ia baru bangun, dengan nuansa kalau kami mungkin ke perpustakaan atau semacamnya. Tujuan kami sebenarnya adalah museum, jadi bukan sepenuhnya bohong. Mungkin ini bisa menjadi pelajaran sejarah.

“Jalan kaki?”

Ayase-san bertanya padaku, dan aku menjawab sambil menekan aplikasi peta.

“Gimana kalau naik bus? Setelah sampai juga kita pasti akan berjalan.”

Baiklah, Ayase-san mengangguk.

'Museum Daerah' yang ingin dia kunjungi terletak di sisi timur dari Stasiun Shibuya. Menurut informasi dari peta, tampaknya dibutuhkan waktu sekitar 20 menit berjalan kaki. Jaraknya tidak terlalu jauh, tetapi karena kami akan berkeliling di dalam, jadi lebih baik tidak memaksakan diri.

Tanpa menunggu lama, aku dan Ayase-san duduk berdampingan di kursi belakang bus yang datang. Kami menuju ke arah timur melalui Jalan Hachiko yang sejajar dengan Jalan Tol Metropolitan 3 Shibuya. Begitu keluar dari kerumunan gedung tinggi di sekitar stasiun, langit yang terlihat dari jendela tiba-tiba terasa lebih luas. Hanya dengan beberapa menit perjalanan dengan bus dari Shibuya, aku merasa kota ini lebih terasa seperti sebuah daerah, bukan kota metropolitan.

“Rasanya sudah lama juga ya tidak ke museum. Kecuali untuk perjalanan sekolah atau kegiatan luar kelas, sudah lama sekali sejak terakhir kali aku mengunjunginya.”

Ketika aku mengatakan itu, Ayase-san hanya mengangguk tanpa berkata-kata.

“Karena kamu menyukai sejarah, jadi kupikir kamu sering mengunjungi tempat itu, Ayase-san.”

“Kalau kamu sendiri  bagaimana, Asamura-kun?”

“Aku tidak bisa mengingatnya dengan jelas. Tapi sepertinya waktu kecil sekali, mungkin aku pernah diajak orang tuaku ke museum. Seperti museum di Ueno.”

“Aku juga merasakan hal yang sama. Aku punya ingatan melihat pameran dinosaurus, meskipun hampir tidak mengingatnya sih.”

Ayase-san menambahkan dengan suara pelan bahwa sepertinya orang tuanya masih akur saat itu.

Aku merasa mungkin telah menggali masa lalu Ayase-san dengan cara yang tidak terduga, tetapi dia melanjutkan bercerita, termasuk alasan mengapa dia ingin pergi ke museum. Dia berkata bahwa pemandangan dan budaya Shibuya terus berubah. Mendengar kata-kata Yomiuri-senpai kemarin yang menjadi pemicunya.

Setelah mendengar itu, aku merasakan emosi yang seolah-olah membuat dadaku tertekan.”

Mungkin itu kesedihan. Ayase-san bilang begitu.

Beberapa tahun lagi, setelah pengembangan kembali selesai, Shibuya tidak akan seperti sekarang. Tapi, Shibuya saat ini pun pasti sudah sangat berbeda dibandingkan dengan zaman ibuku. Aku penasaran, bagaimana rupa Shibuya di masa lalu dan bagaimana perubahannya.

 

“Kamu ingin mengetahuinya?

Ya, benar.

Bus kemudian berbelok ke arah kanan. Meskipun alasan Ayase-san untuk pergi terasa agak terlalu mendadak, aku merasa bahwa kata-kata Yomiuri-senpai hanyalah salah satu pemicu. Itu hanyalah awal untuk berpikir tentang perubahan.

Ada pengumuman yang memberi tahu tujuan, dan tak lama kemudian kami turun dari bus. Setelah melewati gang sempit, kami tiba di jalan berikutnya. Ada satu halte bus tepat di seberang jalan. Di seberangnya, terlihat bangunan yang sama dengan yang ditampilkan di aplikasi peta.

“Di sebelah sana?

“Sepertinya begitu. Ini juga pertama kalinya aku datang kemari, tapi, oh, lihat.

Ayase-san menunjuk tulisan [Museum Daerah] di dinding bangunan. Sepertinya tidak salah lagi. Tidak ada tempat penyeberangan ketika kami melihat ke kiri dan kanan.

Kami menunggu mobil berhenti sejenak sebelum menyeberang jalan. Bangunan kecil itu lebih terlihat seperti perpustakaan kecil daripada museum. Kami membuka pintu.

Ada panel foto besar yang dipamerkan pada bagian depan. Foto stasiun tua yang tampaknya terbuat dari kayu. Mungkin itu adalah Stasiun Shibuya. Di depan panel, ada model anjing besar yang duduk. Anjing jenis Akita yang paling terkenal di Jepang, Hachiko. Telinga kirinya terlihat terkulai.

Di sebelah kanan ada meja pendaftaran, dan di sebelah kiri ada ruang istirahat dengan sekitar empat meja. Ada rak buku, jadi mungkin ini juga merupakan ruang perpustakaan.

Aku terkejut melihat biaya masuk yang tertulis di pengumuman pendaftaran.

Eh, seratus yen?

Murah ya.

Ayase-san juga terkejut. Selain itu, sepertinya orang yang berusia 60 tahun ke atas bisa masuk gratis. Seperti yang diharapkan dari fasilitas publik.

Seorang kakek yang ramah duduk di balik kaca pendaftaran. Setelah menyapa dan membayar biaya masuk, dia memberikan penjelasan singkat tentang museum. Ternyata, ada lantai pameran tidak hanya di lantai satu, tetapi juga di lantai atas dan bawah.

Lantai satu adalah pameran sementara, sedangkan lantai atas dan bawah adalah pameran tetap. Di lantai atas, kita bisa belajar tentang sejarah Shibuya, sedangkan di lantai bawah, ada sastra yang berkaitan dengan Shibuya.

Dari mana kita mulai melihatnya? Jika aku sih, aku mungkin akan mulai dari atas ke bawah.”

Museum dan galeri seni bisa cukup melelahkan, jadi menurutku lebih baik menghindari menaiki tangga ketika kita sudah mulai lelah di bagian akhir. Namun, karena kami berdua yang datang, tidak baik rasanya jika hanya satu orang yang memutuskan. Mungkin Ayase-san juga punya pemikirannya tersendiri, dan sebenarnya tidak masalah jika kita menggunakan lift setiap lantai. Kebetulan, lift terlihat jelas di samping tangga.

Karena aku tidak punya pameran khusus yang ingin dilihat, aku juga setuju dengan itu," jawabnya.

Kalau begitu, kita mulai dari atas, ya.

Karena kami masih cukup bertenaga, jadi kami naik tangga menuju lantai atas. Lantai dua, di mana kita bisa belajar tentang sejarah Shibuya, segera membentuk persimpangan berbentuk T setelah naik.

Ini, kita mulai dari mana ya?

“Kurasa dari kanan.

Meskipun tanda arahnnya tidak begitu mencolok, tapi Ayase-san menjawab dengan cepat, membuatku bertanya-tanya bagaimana dia bisa tahu.

Lihat, di sisi kiri ada kronologi waktu yang dipasang, kan?

Ah, iya.

Tampaknya ada peristiwa-peristiwa bersejarah Shibuya yang ditulis berdasarkan tahun pada dinding panel.

Bagian depan adalah masa sekarang, dan semakin ke belakang maka waktunya semakin mundur.

…Ah, aku tidak menyadarinya.

Jadi, menurutku kita akan berputar dan keluar dari sini. Artinya, kita bisa pergi ke lorong kanan.

Benar juga.

Seperti yang biasa dia lakukan ketika berjalan-jalan mengelilingi kota, Ayase-san cepat menyadari hal-hal seperti ini.

“Menurutku kamu sangat memperhatikan orang-orang, Asamura-kun, tapi sepertinya kamu tidak terlalu peduli dengan pemandangan sekitar, ya?

“Kurasa aku memang terlalu memperhatikan orang lain. Maru bahkan sering bilang begitu. Ia mengatakan kalau aku terlalu acuh tak acuh terhadap orang lain.

“Apa iya begitu?

Ayase-san memiringkan kepalanya ke samping, tetapi aku merasa kalau kekhawatiranku lebih tertuju pada apa emosi orang-orang di sekitar tidak terganggu.

Tidak, cerita tentang diriku tidak penting saat ini. Aku harus berkonsentrasi pada apa yang ada di depanku sekarang.

Sejarah Shibuya, ya.

Aku mulai berjalan mengikuti sedikit di belakang Ayase-san.

 

◇◇◇◇

 

Aku sedikit membayangkan karena itu mengenai sejarah Shibuya, jadi pasti ada bahan-bahan yang dipamerkan sejak orang mulai tinggal di daerah Kanto.

Tapi tak kusangka—.

“Rupanya penjelasannya dimulai dari asal muasal tentang pembentukan kepulauan Jepang—

Aku tahu bahwa Jepang terhubung dengan benua, tapi ketika melihatnya dalam bentuk tidak biasa seperti ini, rasanya tidak seperti Jepang,” ucap Ayase-san sambil mengikuti penjelasan di panel pameran dengan matanya.

Tertulis bahwa kepulauan Jepang hampir memperoleh bentuknya yang sekarang pada akhir zaman Pleistosen. Akhir Pleistosen, itu berapa tahun yang lalu sih? …Sekitar 30 ribu tahun yang lalu… eh, ribuan?

30 ribu tahun yang lalu itu berapa tahun?

Aku mengucapkan sesuatu yang bodoh, dan Ayase-san memandangku seolah-olah menyiratkan, apa sih yang orang ini bicarakan. Aku mengerti. Aku mengerti. 30 ribu tahun berarti, jika kita mengasumsikan umur manusia adalah 100 tahun, itu sekitar 300 kali lipat.

Jika ditilik dalam generasi, bisa dikatakan bahwa kepulauan Jepang terbentuk seperti sekarang sekitar 1000 generasi yang lalu.

Ngomong-ngomong, di distrik Shibuya, ada lebih dari tiga puluh situs peninggalan dari zaman prasejarah—zaman tanpa catatan tertulis. Sejak saat itu, manusia sudah tinggal di daerah ini.

Pameran diawali dengan penjelasan tentang masa lalu yang terasa sangat jauh, di mana bentuk geografinya saja sudah berbeda dengan sekarang, dan perlahan-lahan menjelajahi zaman. Ada beberapa pecahan alat batu dan pecahan tembikar dari zaman berburu dan meramu, meskipun tidak sebanyak di museum besar. Ada juga sudut di mana kita bisa mencoba mengukir pola tembikar di tanah liat.

Setelah mencapai zaman di mana ada catatan tertulis, akhirnya kita menemukan lebih banyak hal yang akrab dengan pelajaran yang kita pelajari. Dari zaman Nara, Heian, Kamakura, Muromachi, melewati zaman Sengoku, dan akhirnya sampai ke zaman Edo. Kemudian, memasuki era Meiji, Taisho, hingga panjangnya Showa, dan akhirnya ke Heisei dan Reiwa.

Di bagian belakang lantai dua, ada ruangan yang mereproduksi suasana dari masa lalu yang sangat menarik. Seingatku, aku belum pernah tinggal di tempat dengan lantai tatami, hanya lantai kayu. Aku hanya pernah melihat bentuk apartemen awal Showa di film.

Mata Ayase-san yang menatap setiap pameran terlihat serius.

“Apa itu menarik? tanyaku.

Ayase-san mengangguk.

Agak menarik. Aku jarang berinteraksi dengan pameran yang komprehensif seperti ini.

Panel terakhir membahas sejarah mode yang populer di Shibuya. Perubahan pemandangan kota juga dirangkum di sini. Ini adalah bidang keahlian Ayase-san.

Asamura-kun, menurutmu gambaran Shibuya itu kota yang seperti apa?

“Gambaran ya? Hmm, kurasa kesan yang kuat adalah banyak pekerja kantoran yang berjalan berdesakan.

Ya, aku paham banget. Tapi itu hanya di depan stasiun, kan?

Ya, memang benar.

Area di sekitar museum tempat kami berada saat ini tidak seramai di depan stasiun, dan juga tidak terdapat gedung-gedung tinggi. Namun, tetap saja, jika berbicara tentang Shibuya, aku masih mendapat kesan bahwa itu adalah kota sibuk dengan kepadatan penduduk yang tinggi.

“Hal ini juga tertulis di kronologi waktunya

Ayase-san mengatakan itu sambil menunjuk ke arah tahun 90-an.

—Pada masa itu, Shibuya memiliki citra sebagai 'kota mode untuk anak muda'. Asamura-kun, apa kamu tahu istilah 'Shibu Kaji'?

Shibu Kaji? Shibuya… apalah, mungkin?

Benar. Itu singkatan dari 'Shibuya Casual'.

“Fesyen kasual… maksudmu begitu?

Ya. Istilah tersebut digunakan sejak akhir 80-an. Dan kata itu merujuk pada gaya fashion di sini.

Yang dimaksud ‘di sini berarti Shibuya, tempat kami tinggal.

“Hee

“Tapi sekarang… mungkin seperti yang dikatakan Asamura-kun. Pemandangan Shibuya yang bisa kita ingat adalah para pekerja kantoran yang berjalan berdesakan, terutama di depan stasiun.

Aku menganggukkan kepalaku.

“Itulah sebabnya aku mempunyai kesan yang kuat kalau Shibuya sebagai kota bisnis.

Setidaknya, itulah kesan Shibuya dalam ingatan kami.

Bisnis…

Ah, apa itu aneh?

Tidak. Maksudnya, itu terlihat seperti kawasan perkantoran, kan?

Begitulah adanya. Kesan bahwa itu adalah kota untuk para pekerja. Ada gambaran orang dewasa yang mengenakan jas, baik pria maupun wanita, berjalan-jalan. Jika citra masa lalu adalah kota anak muda, maka kurasa area sekitar stasiun Shibuya saat ini adalah kota pekerja.

Selagi kami saling berbagi pendapat, kami sudah mengelilingi lantai dan kembali ke titik percabangan pertama. Kami turun ke lantai satu untuk melihat pameran khusus. Sekalian, kami istirahat sejenak di area istirahat.

Jika melihat penampilan luarnya saja, museum ini tidak terlalu besar, jadi rasa lelah yang kami rasakan tidak sebanyak yang kami bayangkan. Mungkin pameran khusus di department store jauh lebih besar dari ini. Namun, dengan fokus pada lokasi Shibuya, pameran ini, seperti yang dikatakan Ayase-san, disajikan secara komprehensif dan menyeluruh, yang mungkin merupakan ciri khas utamanya.

Sekadar informasi, istilah komprehensif berarti melihat dari atas seolah-olah melihat dari langit, sementara menyeluruh berarti mengumpulkan segala sesuatu seperti jaring. Jaring yang digunakan untuk menangkap ikan disebut ami, sedangkan ra merujuk pada jaring yang digunakan untuk menangkap burung. Jadi──.

“Komprehensif… ami-ami, ya?

Ami-ami… tiba-tiba kamu kenapa, Asamura-kun?

"Maaf. Kata yang aku cari di kamus beberapa waktu lalu tiba-tiba muncul di kepalaku dan keceplosan begitu saja.

Asamura-kun, kadang-kadang kamu mengatakan hal-hal aneh, ya.

Ini adalah sifat siswa yang sedang mempersiapkan ujian, jadi tolong maafkan.

“Sejak awal aku tidak menyalahkanmu, kok.

Itu juga benar.

Ngomong-ngomong, Ayase-san mungkin sudah melupakannya, tapi──

Sambil duduk istirahat, aku berkata sembari mengenang isi pameran.

──Kurasa kita semua sudah belajar tentang sejarah Shibuya saat masih anak-anak dulu.

“Masa?

Sepertinya itu sudah sepenuhnya hilang dari ingatan Ayase-san, tetapi sejarah lokal merupakan sesuatu yang patut dipelajari semasa SD di wilayah mana pun. Itulah sebabnya, aku masih mengingat garis besar dari isi pameran. Aku merasa aneh bahwa Ayase-san yang suka sejarah tidak mengingatnya, sampai aku teringat bahwa ketertarikan Ayase-san pada sejarah muncul setelah orang tuanya tidak harmonis. Dia pernah mengatakan bahwa dia merasa sedih dengan perubahan orang tuanya dan mulai menyukai hal-hal yang tetap terjaga.

Artinya, Ayase-san saat masih kecil dulu merupakan anak lugu yang mempercayai bahwa hal-hal indah akan selalu bertahan selamanya. Memang, foto masa kecil Ayase-san yang ditunjukkan ayahku sebelum pertemuan pertama kami menunjukkan senyuman polos yang sesuai dengan usianya. Mungkin itu adalah rekaman sebelum ayah dan Akiko-san tidak harmonis.

Setelah ayahnya menghilang dari kehidupan Ayase-san, persenjataan Ayase-san dimulai. Jika dipikirkan begitu, mungkin kepribadian asli yang ada di dalam diri Ayase-san secara lebih akurat ditangkap oleh foto masa kecilnya.

 

◇◇◇◇

 

Jadi, Asamura-kun. Di lantai bawah ada apa, ya?

Ayase-san yang sudah selesai istirahat berdiri dan bertanya.

“Sepertinya berisi tentang sastra yang berkaitan dengan Shibuya.

Itu bidang keahlianmu ya, Asamura-kun.

Entahlah? Aku memang suka membaca novel dan hampir membaca apa saja, tapi aku tidak terlalu mendalami sastra.

Kami berdua berjalan menuruni tangga dan menuju ke lantai pameran di bawah.

Hal pertama yang menarik perhatianku saat melihat panel pameran adalah betapa banyaknya penulis terkenal yang memiliki hubungan dengan Shibuya. Ada nama-nama seperti Shiga Naoya, Kunikida Doppo, dan Yosano Akiko yang membuatku berpikir, Orang ini ternyata memiliki keterkaitan dengan Shibuya.

Ayase-san juga tampak terkesan dan berkata.

“Ada banyak sekali orang yang namanya pernah aku lihat di buku pelajaran bahasa Jepang.

Shiga Naoya terkenal memiliki banyak rumah, termasuk di Shibuya. Lihat, hal itu juga tertulis di sini.

Eh. ... Banyak?

Aku balas mengangguk.

Bagaimanapun juga, dia dikenal sebagai 'penggila pindahan' karena telah pindah rumah dua puluh tiga kali sepanjang hidupnya.

Wajah Ayase-san seketika terlihat lesu.

“Padahal satu kali saja sudah sulit…

Ngomong-ngomong, Ayase-san dan Akiko-san pindah ke rumahku pada bulan Juni tahun lalu. Meskipun semua barang dibawa oleh jasa pindahan, mereka tetap harus mengemas semua barang ke dalam kotak kardus sendiri, dan karena pindah ke rumah yang jauh lebih besar, mereka harus membeli banyak barang baru seperti tempat tidur dan meja. Aku juga sedikit membantu mengatur barang-barang, dan jelas sekali bahwa itu adalah pekerjaan yang berat.

Bagaimanapun, jika diminta untuk melakukan itu lagi, aku bisa mengerti mengapa wajahnya terlihat lesu.

Asamura-kun, jika kamu diterima di Universitas Ichinose, apa kamu akan tinggal di kos?

Aku berusaha untuk tidak memikirkannya terlalu dalam. Rasanya aneh merencanakan sesuatu sebelum diterima.

Itu, jika kamu diterima, bisa jadi masalah, kan...

Ya, memang begitu. Tapi aku merasa kalau aku terlalu berharap, sepertinya harapanku tidak akan terwujud.

Aku tidak terlalu memikirkan apa yang kukatakan saat mengatakannya, tetapi setelah mendengarnya, Ayase-san tampak merenung.

Ada fenomena di mana jika kita berpikir sesuatu yang buruk mungkin terjadi, kita merasa bahwa hal buruk itu akan terjadi karena pemikiran kita sendiri.

Dia mengucapkan itu dengan pelan. Sekarang, justru giliranku yang merenungkan kata-katanya.

Fenomena yang disebutkan Ayase-san bisa dipahami secara intuitif. Tentu saja, pikiran tidak memengaruhi fenomena fisik. Mungkin ada dampak pada tubuh seseorang, tetapi peristiwa di luar tubuh tidak mungkin terpengaruh secara langsung. Jika ada undang-undang yang mengatakan bahwa membayangkan kecelakaan terburuk akan menyebabkan kecelakaan, dunia ini pasti sudah penuh dengan kecelakaan besar.

Namun, aku mengenali perasaan yang membuatku merasa seperti itu.

…Kompleks buah pengetahuan.

Apa itu?

Ah, aku hanya memberi nama secara sembarangan. Jadi, aku tidak tahu apa sebutan resminya. Lihat, ada pohon pengetahuan tentang baik dan buruk, kan?

“Maksudmu yang ada di Taman Eden?

Benar. Ia memakannya karena godaan ular, sehingga memperoleh pengetahuan tentang baik dan buruk, dan diusir dari Taman Eden.

Ya.

Ada juga pemikiran bahwa mengetahui sesuatu bisa menjadi dosa. Dalam manga lama, ada banyak dialog yang mengulangi pemikiran seperti itu, misalnya, meskipun dikatakan bahwa seseorang sangat cerdas seperti iblis, tidak pernah dikatakan bahwa dia bijak seperti Tuhan.

Jadi, ada kecenderungan untuk menganggap bahwa berpikir itu sebagai hal yang buruk?

“Begitulah. Aku sendiri tidak menyukai pemikiran seperti itu, tetapi tanpa sadar, mungkin aku berpikir bahwa jika memikirkan masa depan, hal buruk akan terjadi… Mungkin hanya ketakutan saat menghadapi kekecewaan.

Ketakutan saat menghadapi kekecewaan… Ya, aku mengerti itu. Jadi, kamu sama sekali tidak memikirkannya?

Tentang jika diterima, maksudmu? Hmm… mungkin aku pernah memikirkannya.

Jika dipikir-pikir kembali, sebenarnya aku sudah memikirkan banyak hal tentang pindahan.

Jika aku berpikir untuk pergi ke Universitas Ichinose setiap hari, aku membutuhkan waktu perjalanan dengan kereta selama satu jam, dan akan memakan waktu lebih dari dua jam untuk pulang pergi. Jaraknya memang tidak terlalu jauh, tetapi jika aku menjadi sibuk atau merasa perlu menghemat waktu, aku harus mempertimbangkan kemungkinan untuk pindah.

“Jadi kamu lumayan memikirkannya.

Yah, kira-kira begitu… Ngomong-ngomong, bagaimana denganmu sendiri, Ayase-san?

“Pilihan pertamaku adalah Unibersitas Tsukinomiya.

“Begitu ya. Jika kamu berhasil diterima di universitas pilihan pertamamu, itu berarti kamu bisa tetap berkuliah tanpa perlu pindah

Universitas Wanita Tsukinomiya hanya berjarak 30 menit dengan kereta tanpa perlu ganti. Itu sudah cukup untuk perjalanan pulang pergi.

“Itulah sebabnya aku merasa tidak perlu segera mencari tempat tinggal baru. Aku juga sudah memeriksa apakah ada universitas swasta yang bisa dijangkau. …Tetapi, keinginanku untuk mandiri masih belum hilang. Jika aku menemukan pekerjaan paruh waktu yang baik dan mendapatkan beasiswa, kemungkinan untuk pindah tidaklah nol.

“Ah, kamu memang pernah mengatakan itu.

Ayase-san sudah mengatakan keinginannya untuk mandiri sejak pertama kali kami bertemu. Dia ingin segera mengakhiri keadaan bergantung pada Akiko-san dan ayahku, dan itulah sebabnya dia berusaha mencari pekerjaan paruh waktu yang menghasilkan banyak uang. Aku sudah melupakan hal itu karena dia sudah terbiasa bekerja di toko buku.

Meskipun sekarang dia sudah belajar untuk bergantung pada keluarganya, inti dari perasaannya masih tetap sama. Dia ingin memberikan kebahagiaan kepada Akiko-san dan ayahku, ingin memberi mereka waktu berdua sebagai pasangan. Bukan untuk membesarkan anak, tetapi agar mereka bisa menggunakan waktu untuk diri mereka sendiri. —Aku merasa sedikit mengerti perasaan Ayase-san.

Jika memang begitu, memang benar bahwa ada kemungkinan kami akan pindah dari rumah saat kami berhasil dalam ujian masuk universitas.

Jadi, ketika aku berpikir bahwa aku harus melalui kesulitan itu lagi… Aku ingin mandiri, tetapi pindahan itu merepotkan.

Aku mengerti, mengerti banget. Hanya memikirkannya saja sudah membuatku berat.

Jadi, melakukannya sampai dua puluh tiga kali itu mustahil sekali.

Benar.

Memikirkan betapa sulitnya pindahan, aku penasaran dengan kepribadian Shiga Naoya yang pindah rumah sampai dua puluh tiga kali. Kami menatap foto hitam putih Shiga Naoya yang dipajang di depan kami, sambil membicarakan hal-hal sepele seperti itu. Jika dipikirkan secara rasional, hal itu tidak ada hubungannya dengan Shibuya.

Namun, mungkin ada dugaan bahwa orang yang bernama Shiga Naoya ini merupakan orang yang kuat menghadapi perubahan lingkungan. Atau mungkin, ketakutannya terhadap ketidakberubahan lebih besar.

Tiba-tiba, aku berpikir tentang hal itu dan merenungkan diriku sendiri.

Bagaimanapun juga, setelah lulus kuliah dan bekerja, tidak ada jaminan kalau aku akan terus tinggal di Tokyo.

Bekerja? Apa kamu sudah memutuskan di mana kamu akan bekerja, Asamura-kun?

“Tidak sih, belum sama sekali. Hanya saja, sepupuku—

Sepupu? Ehm, kalau tidak salah namanya Kousuke-san, kan?

Benar. Seperti yang diharapkan darimu, Ayase-san, kamu bahkan mengingat namanya.

Ya, itu saja…

Saat musim dingin, kami sekeluarga pergi ke rumah orang tua ayahku. Aku bertemu sepupuku, Kousuke. Ia adalah sepupu yang delapan tahun lebih tua dan baru saja menikah. Aku terkejut karena itu berita baru bagiku, tetapi sebenarnya mereka belum mengadakan resepsi pernikahan, baru hanya mendaftarkan status pernikahan mereka ke dinas catatan sipil.

Kabarnya ia buru-buru mendaftarkan pernikahan karena akan bertugas di luar negeri.

Oh, ia memang bilang begitu, ya.

“Pada saat itu aku juga berpikir, meskipun aku mendapat pekerjaan di kampung halaman, jika diperintahkan untuk bertugas di luar negeri, itu berarti aku harus pindah.

Setelah lulus kuliah dan mendapat pekerjaan, tidak ada jaminan aku akan tetap tinggal di wilayah Tokyo selamanya. Bahkan, aku tidak tahu apakah aku akan tetap bisa tinggal di Jepang. Aku kembali merenungkan bahwa tidak mungkin aku akan tetap berada dalam lingkungan yang sama selamanya tanpa perubahan.

Ada kemungkinan aku akan meninggalkan Tokyo seiring dengan masuk universitas.

Begitu ya. Mungkin kita hanya bisa bersama sekitaran enam bulan lagi.

Setelah mendengar perkataan Ayase-san, aku juga berpikir demikian, lalu sedikit rasa iseng muncul dalam diriku.

Setidaknya, aku berharap kamu bisa bilang bahwa kita mungkin tidak bisa tinggal bersama.

Begitu aku mengatakannya, wajah Ayase-san terlihat tersipu, lalu dia mengalihkan pandangannya.

Pipinya terlihat sedikit memerah.

Anggap saja itu sebagai permainan kata. Aku tidak bermaksud mengatakan bahwa aku tidak ingin bersamamu.

Aku tersenyum dan menjawab, Aku tahu kok. Wajah malu-malu Ayase-san yang jarang terlihat, nampak begitu sangat berharga.

Kami berdua terus berjalan-jalan di lantai sastra, merenungkan kehidupan dan perjalanan para sastrawan.

 

◇◇◇◇

 

Ternyata, kami selesai lebih cepat dari yang diperkirakan.

Saat keluar dari gedung museum dan meregangkan tubuh ke arah langit biru, Ayase-san berkata, “Rasanya menarik sekali.

Aku juga mengangkat kedua tangan ke langit untuk meregangkan tubuhku di siampingnya.

Bila melihat posisi matahari, sepertinya sudah lewat tengah hari. Sambil menyipitkan mata karena silau di luar, aku berpikir tentang apa yang harus dilakukan selanjutnya.

Apa kita mau makan di suatu tempat sebelum pulang?

Karena Ayase-san bilang dia memiliki sesuatu untuk dibicarakan, pasti dia butuh tempat yang tenang. Itulah sebabnya aku bertanya, tetapi Ayase-san berpikir sejenak dan berkata, Rasanya sayang banget kalau harus menghambur-hamburkan uang buat makan di luar.

Memang benar bahwa belakangan ini harga makanan di restoran keluarga semakin mahal. Meskipun dia bekerja paruh waktu, jika dia harus kuliah di universitas swasta tanpa bantuan orang tua, rasanya uang tabungan tidak akan pernah cukup. Karena ini bukan hari istimewa seperti ulang tahun, aku bisa mengerti keinginannya untuk menghemat uang. Selain itu, suasana ramai di dalam restoran juga tidak cocok untuk pembicaraan yang mendalam.

Aku mengeluarkan ponsel dan membuka aplikasi peta.

Ternyata lebih dekat dari yang kupikirkan, jadi kita bisa berjalan pulang. Lihat, ada taman di sepanjang jalan.

Taman?

Setelah menuruni bukit hingga mencapai Jalan Meiji, sepertinya jalan pulang ke stasiun tidak akan membingungkan. Ketika meelihat denah peta, ada taman di kedua sisi sebelum sampai. Di sana pasti ada bangku yang cukup untuk kami berdua.

Bagaimana kalau kita membeli sesuatu di minimarket di tengah jalan dan istirahat di sana?

Setelah berpikir sejenak, Ayase-san berkata, “Baiklah, aku setuju.

Kami sedikit mengambil jalan memutar dan membeli beberapa makanan ringan di minimarket. Aku membeli kopi panas dan onigiri, sementara Ayase-san membeli teh susu dan sandwich.

Kemudian kami kembali sedikit dari minimarket.

Apa ini karena taman yang besar? Sepertinya lebih sepi dari yang kupikirkan.

Mungkin karena ini adalah hari Sabtu di musim liburan.

Ah, begitu ya. Mungkin semua orang sedang pergi berlibur.

Di taman yang kami kunjungi, ada fasilitas permainan anak-anak seperti seluncuran, ayunan, dan area bermain pasir serta gazebo. Seperti yang dikatakan Ayase-san, taman ini luas dan banyak keluarga yang datang.

“Baiklah, enaknya kita akan istirahat di mana?

Aku melihat sekeliling untuk mencari tempat yang tepat.

Aku berpikir bahwa gazebo yang memiliki atap bisa menghindarkan kami dari sinar matahari, tetapi melihat ayah-ayah yang duduk di sana kelelahan setelah menemani anak-anak bermain, aku merasa tidak enak untuk ikut bergabung. Lagipula, sepertinya tidak cocok untuk membahas hal-hal yang ingin kami diskusikan.

Oleh karena itu, kami duduk di bangku untuk dua orang yang jauh dari area bermain anak-anak. Di sekitar kami tidak ada orang, dan kami jauh dari keramaian keluarga. Suasananya tenang, dan pepohonan yang berdiri di belakang kami menghalangi sinar matahari.

Ketika aku melihat ke atas, dedaunan yang mulai berubah warna dari hijau menjadi kuning bergoyang tertiup angin. Beberapa daun yang sedikit merah juga terlihat, dan aku baru menyadari bahwa dalam waktu sedikit lebih dari seminggu, kita sudah masuk bulan November.

Ini.

Aku mengeluarkan teh susu yang masih hangat dan sandwich dari kantong kressek minimarket dan memberikannya kepada Ayase-san. Sandwich itu terdiri dari satu yang diisi stroberi dan satu lagi dengan salad. Teh susu itu dalam kaleng.

Sementara itu, aku membawa onigiri dengan isian salmon dan telur ikan serta kopi.

Apa porsi segitu cukup?

Jika tidak cukup, aku akan ngemil sedikit setelah pulang ke rumah."

Kombinasi nasi putih dan kopi membuat Ayase-san tampak ragu, bertanya apa itu benar-benar enak. Namun, bahkan saat makan hidangan Barat yang disajikan dengan nasi, orang sering memadukannya dengan kopi. Mungkin karena isian salmon dan ikura membuatnya terasa aneh, tetapi jika kita berpikir tentang salmon dan kaviar, kombinasi itu tidak terlalu aneh.

“Menurutku, itu hanya kombinasi yang aneh.

“Kamu menyadarinya, ya?

Pada akhirnya, semua itu tergantung pada kebiasaan.

Kami berdua makan dalam keheningan untuk sementara waktu.

Musim gugur semakin dalam, tetapi siang hari tidak terlalu dingin. Lagi pula, hari ini langit biru tanpa awan. Daun kuning yang sudah sepenuhnya berubah warna terbang ke udara, terlepas dari cabangnya karena tiupan angin. Ia melayang dengan jalur yang tidak teratur menuju luar taman. Saat aku mengikuti gerakannya dengan mata, suara lembut mencapai telingaku.

Tentang yang aku katakan kemarin...

Aku berbalik menghadap Ayase-san.

Apa itu cerita yang ingin kamu sampaikan?

Ayase-san mengangguk.

Aku tidak ingin menemuinya.

Eh?

Ah, maaf. Hal itu pasti membuatmu kebingungan karena aku tiba-tiba mengatakan itu.

Aku terkejut sejenak, tetapi aku segera memahami apa yang ingin dia sampaikan. Aku mengetahuinya dari Akiko-san bahwa Ayase-san akan bertemu dengan ayah kandungnya. Jadi, jelas sekali siapa yang dimaksud dengan tidak ingin bertemu.

Aku harus bertemu dengan orang itu.

…Orang itu.

Ya. Ehm, maaf. Aku akan mulai dari awal. Ayah Asamura juga menikah lagi, jadi aku rasa kamu mengerti, meskipun orang tua berpisah, orang itu tetap memiliki hubungan darah denganku...

Ayase-san terdiam sejenak, menggigit bibirnya.

Jadi, ketika ia bilang ingin bertemu, ibuku tidak bisa menolaknya. Jika perceraian disebabkan oleh kekerasan atau alasan lain, itu berbeda, tetapi dalam kasus kami, tidak ada alasan seperti itu. Pihak yang mengasuh... oh, pengasuh di sini merujuk pada orang yang merawat anak. Dalam kasus kami, itu adalah ibuku.

Ah, ya. Aku tahu itu. Benar, jika mereka ingin bertemu anaknya, pengasuh harus membiarkannya untuk melihatnya. Jika dia menolak tanpa alasan, bisa jadi saat ada kesempatan untuk berperkara di pengadilan, pandangan pengadilan tidak akan baik.

Aku juga sudah mencari tahu dan mengingat hal-hal tersebut saat perceraian ayahku diputuskan. Yah, ibu kandungku langsung pergi setelah berselingkuh, dan mungkin dia sekarang menikmati hidupnya, karena dia tidak pernah sekalipun mengatakan ingin bertemu denganku.

Aku tidak ingin reputasi ibuku jatuh. Jadi jika ia bilang ingin bertemu, maka aku tidak bisa menolak.

Setelah perceraian, Ayase-san mengaku bahwa dia diajak bertemu Ayahnya sekitar dua bulan sekali. Dari sudut pandangku, itu cukup sering.

Namun, meskipun mereka bertemu, sepertinya waktu pertemuan itu tidak terlalu menyenangkan bagi Ayase-san.

Orang itu—mungkin sulit dipahami. Nama ayahku, Ito Fumiya. Jadi, Ito-san. Kurasa aku sudah pernah menceritakan hal ini sebelumnya, tetapi Ito-san mengalami kegagalan dalam bisnis dan terlilit utang yang cukup besar.

Aku mengangguk. Aku baru saja mendengar tentang masalah utang itu, tetapi mengenai latar belakang perceraian ayahnya, aku sudah mendengarnya sekitar satu setengah tahun yang lalu. Mungkin sekitar seminggu setelah kami pindah ke apartemen ini. Saat itu, kami tidak ingin mengingat kembali kejadian ketika Ayase-san datang ke kamarku dengan pakaian tipis di tengah malam. Dia menceritakannya pada saat itu.

Ayah Ayase-san menjadi tidak percaya pada orang lain setelah kehilangan perusahaannya karena pengkhianatan rekan-rekannya, dan ia tersiksa oleh perasaan rendah diri, sehingga mulai menjauh dari istri dan putrinya.

Ya, rasa rendah diri...

Harga dirinya sebagai penopang keluarga hancur, dan karena ia tidak ingin mengakui bahwa istrinya lebih unggul, ia mulai merendahkan Akiko-san dan mencurigai bahwa istrinya mungkin memiliki pria idaman lain.

Ito-san, ia tidak ada perubahan sama sekali di sana—

Ayase-san hanya ingin menyebutnya orang itu atau Ito-san. Mungkin di dalam hatinya, dia tidak ingin mengakui Ito Fumiya sebagai ayah kandungnya.

Sepertinya aku juga begitu. Mengenai ibu kandungku, aku juga menyebutnya sebagai “orang itu”.

Ia terus-menerus merendahkan diri sendiri atau berbicara buruk tentang ibuku. Dan ketika suasana hatinya mulai membaik, isi pembicaraannya hanya membual. Setiap kali bertemu, itu selalu berujung pada pertengkaran.

Sambil menghela napas, Ayase-san menceritakan tentang pertemuan terakhir mereka.

Itu terjadi saat ibuku memutuskan untuk menikah dengan Ayah tiri. Pada saat itu, kami terlibat dalam pertengkaran hebat.

Jadi... sekitar satu setengah tahun yang lalu?

Ya. Karena itu, ketika aku bilang tidak ingin bertemu untuk sementara waktu, ibuku berbicara dengan Ito-san. Karena lingkungan akan berubah dan ada ujian, dia tidak ingin membuat kondisi psikologisku tidak stabil, jadi dia meminta agar pertemuan ditunda untuk sementara.

Jadi, sejak kita mulai tinggal bersama, kamu belum bertemu dengannya, ya?

Yah, benar. Ia juga tidak mengajukan keberatan.

“Rasanya cukup mengejutkan juga. Sebelumnya ia tampaknya sangat ingin bertemu denganmu.

Ito-san sudah menikah lagi sebelum ibu, dan sepertinya pasangan barunya adalah orang yang baik. Saat itu, satu setengah tahun yang lalu, ia tampak senang dengan kehidupan barunya, jadi ia mendengarkan saran ibu dengan mudah.

Jadi, sekarang ia ingin bertemu denganmu, ya.

Ito-san sebenarnya sedang bekerja di luar negeri.

Luar negeri…

Di Amerika. Aku mendengar kalau usaha baru yang ia dirikan di sana berjalan dengan baik. Sekarang ia pulang dan ingin bertemu setelah sekian lama. Ia akan ada di sini sampai akhir Oktober, jadi jika bisa, ia ingin bertemu denganku selama waktu itu.

Ia tiba-tiba menghubungi dan menetapkan batas waktu sampai akhir Oktober untuk bertemu, seolah-olah itu adalah permintaan yang tidak bisa ditolak.

Itu egois banget, kan? dia mengeluh.

Ibu tiri… apa yang dikatakan Akiko-san tentang itu?

Yah. Dia bilang, 'Dalam situasi yang tidak stabil seperti sekarang menjelang ujian, itu…' sepertinya ia menolak, tetapi… 'Tolong carilah jalan' katanya. Ia memberikan berbagai syarat, bahkan jika hanya untuk waktu yang singkat.

Begitu rupanya. Jika ada permintaan untuk bertemu, mana mungkin dia bisa menolaknya, dan bagi Ayase-san yang tidak ingin merusak reputasi Akiko-san, dia harus pergi menemuinya.

Tapi, kamu sendiri tidak ingin menemuinya?

Dia mengangguk pelan.

Aku dan Ayase-san tetap duduk di bangku, membiarkan semilir angin musim gugur menerpa kami. Meskipun aku sudah mendengar sedikit tentang latar belakangnya dari Akiko-san, saat mendengar langsung dari mulutnya, aku merasa wajar jika dia merasa tertekan.

Dari sudut pandangku sebagai pihak ketiga, sepertinya Ito-san yang memaksakan kehendaknya. Jika begitu, mungkin ia yang akan membuat pandangan pengadilan menjadi buruk… Namun, pasti ada alasan yang tidak bisa dijelaskan hanya dengan logika.

Tetapi yang paling penting adalah perasaan Ayase-san.

Setiap kali bertemu dengannya, aku selalu dibuat menyadari hal itu.

Ayase-san membuka mulutnya, dan aku mengalihkan fokusku.

Aku merasa kalau aku mirip dengannya.

…Mirip? Maksudmu, dengan ayah… Ito-san?

Ya. Ia sangat kompetitif, dan mungkin bisa dibilang nilai-nilainya. Ia berpikir bahwa jika tidak menang, itu tidak ada artinya. Selain itu, ia juga cemburuan.

Benarkah?

Ya. Aku merasa sangat mirip sampai di bagian menyangkal semua itu. Aku menyadari hal itu setiap kali bertemu, dan merasa tidak nyaman dengan fakta bahwa darahnya juga mengalir dalam diriku.

“Itulah sebabnya kamu tidak ingin memberitahuku?

Dia mengangguk pelan.

Ayase-san berkata bahwa meskipun ayahku mengetahuinya, tapi dia tidak ingin aku mengetahui keberadaan Ito Fumiya. Karena ia adalah sosok yang menonjolkan sisi buruknya.

Jika kamu sudah mengetahuinya, mana mungkin kamu bisa kembali sama seperti sebelumnya, kan?

Yah, itu benar sih.

Dengan mengetahuinya, tidak mungkin untuk tetap lugu dan tidak mengetahuinya sama sekali. Mungkin ada kesadaran untuk menghindarinya, seperti yang baru saja dia katakan.

Tapi, Ito Fumiya bukanlah Ayase Saki.

Itu adalah kata-kata yang hanya bisa diucapkan oleh orang luar, dan karena menjadi orang luar, aku merasa harus mengatakannya. Itulah sesuatu yang diperlihatkan oleh Maru.

── Seringkali, orang-orang yang terlibat sama sekali tidak menyadari situasi mereka. Oleh karena itu, pandangan dari luar sangat penting.

Itu… memang benar, tetapi…

Aku tidak akan mencampuradukkan Ayase Saki dengan Ito Fumiya hanya karena dia mewarisi setengah dari genetikanya. Aku bahkan tidak akan salah membedakanmu dengan Ito Fumiya.

Penampilan kami tidak begitu mirip…

Jika ia berdandan sebagai wanita, mungkin akan sangat mirip.

Ayase-san tampaknya membayangkan penampilan ayahnya yang berdandan wanita dengan tatapan sedikit ke atas, lalu tersadar dan menggelengkan kepala.

Tidak mirip, tidak mirip.

“Oleh karena itu, Ito Fumiya bukanlah Ayase Saki.

“Ini bukan masalah tentang penampilan, melainkan tentang sifat kami.

Hal itu sama. Aku tidak berpikir sifat Ayase-san dan Ito-san mirip seperti yang kamu rasakan. Hanya dengan mendengar ceritamu, aku sudah merasa begitu. Ayase-san bukan tipe yang melampiaskan kemarahan kepada orang lain hanya karena kamu kalah, iya, ‘kan?”

“Ya, itu sih… semoga saja.

Setelah mendengar kata-katanya yang kurang percaya diri itu, aku jadi memahami masalahnya. Ayase-san tidak ingin bertemu ayah kandungnya karena dia berpikir dia akan menemukan sisi buruknya dalam diri ayahnya. Artinya, dia tidak memiliki kepercayaan diri bahwa dia adalah individu yang terpisah dari ayahnya.

Ini bukan masalah yang mudah. Kepercayaan diri merupakan sesuatu yang tergantung pada individu itu sendiri.

Yah, aku juga tidak memiliki kepercayaan diri. Aku juga merasakan bahwa aku mirip dengan… eh, maksudku yang dari ibu kandungku, ada beberapa hal yang mirip.

Benarkah?

Dia tampak terkejut. Tentu saja, aku balas mengangguk.

Anak-anak biasanya mengambil referensi dari perilaku orang dewasa yang ada di sekitarnya. Mereka bisa mengetahuinya dari tindakan kecil yang mereka lakukan. Bisa jadi sama dengan orang tua mereka."

“Aku tidak pernah memperhatikan hal itu.

Misalnya saja cara menggunakan sumpit. Cara memegang mangkuk teh. Kadang-kadang aku melihat gerakan tanganku dan berpikir, oh, ini sama dengan ayahku.

Ngomong-ngomong, Asamura-kun memakan ikan saba sampai ke kepala, kan…? Ayah tiri juga.

Y-Yah.

Jadi dia menyadarinya sampai segitunya, ya.

Aku agak kesulitan dan biasanya menyisakan makanan. Tapi Asamura-kun memakan ikan goreng hingga ekornya.

“Karena aku suka teksturnya."

Meskipun demikian, cara makan ikan itu bukanlah yang utama.

Bagaimanapun juga, saat kita masih kecil, orang tua yang ada di depan kita menjadi acuan, jadi wajar saja jika ada kesamaan. Anak-anak berusaha secepat mungkin untuk menjadi dewasa. Namun, aku percaya bahwa orang juga terpengaruh oleh orang lain selain orang tua, dan waktu yang dihabiskan jauh dari orang tua dalam hidup jauh lebih lama daripada waktu bersama mereka.

Waktu yang dihabiskan jauh dari orang tua…

Benar. Jika tahun depan aku tinggal di apartemen sendiri, itu berarti selama 60 tahun dari 80 tahun hidupku, aku tidak akan langsung terpengaruh oleh orang tua.

Tapi ada pepatah yang mengatakan, 'jiwa tiga tahun akan bertahan sampai seratus tahun.'

Itu adalah ungkapan yang berarti bahwa kebiasaan masa kecil lebih kuat bertahan dibandingkan setelah dewasa.

Jika kita terlalu memperhatikan hal itu, kita harus menyerahkan masa kecil, sampai usia tiga tahun, kepada robot yang tidak memiliki temperamen tertentu.

Ada fiksi ilmiah tentang itu. Meskipun ada, itu tetap fiksi ilmiah dan tampaknya tidak mungkin dalam waktu dekat.

Apa kamu tidak suka dengan kepribadianmu sendiri, Ayase-san?

Aku merasa pertanyaanku mungkin terlalu blak-blakan, tetapi aku memutuskan untuk terus melanjutkan.

Ayase-san memberikan reaksi yang kompleks ketika aku bertanya demikian. Dia tampaknya ingin membantah dengan cepat. Dia membuka mulut seolah-olah ingin mengatakan sesuatu, tetapi tiba-tiba terdiam, menarik napas, dan menutup bibirnya rapat-rapat. Dia menelan sesuatu dan mengerutkan bibirnya.

Setelah itu, dia secara alami menurunkan bahunya yang sebelumnya terangkat dan menundukkan kepala.

Aku tidak tahu.

“Ya.

Aku merasa bangga dengan kecantikan ibu, dan aku merasa tidak adil jika dia dihina karena tidak memiliki pendidikan yang baik. Namun, itu adalah kenyataan, dan jika aku ingin melawan pandangan itu, aku perlu memiliki pendidikan yang tidak kalah dari yang diucapkan.

Ya.

Itulah sebabnya aku berusaha untuk memiliki penampilan yang dianggap orang lain cantik, dan mendapatkan nilai tinggi yang tidak membuat orang lain mengomentariku… Namun, aku tidak pernah menyesali hal itu…

Tapi, Ayase-san melanjutkan.

Belakangan ini, aku mulai kehilangan kepercayaan diri. Misalnya… benar-benar misalnya. Jika aku gagal ujian dan Asamura-kun lulus, apa aku bisa menerima kenyataan itu tanpa marah seperti orang itu?

“Seperti yang kkubilang tadi, aku berpikir Ayase-san bukanlah tipe orang yang melampiaskan kemarahan kepada orang lain hanya karena kalah.

Aku senang kamu berkata begitu. Tapi saat ini aku tidak memiliki kepercayaan diri. Dan dalam keadaan mental seperti ini, aku tidak ingin bertemu dengannya.

Tanpa disadari, sebutan Ayase-san untuk Ito Fumiya kembali menjadi orang itu. Daun-daun tang berguguran berputar di depan kami karena tertiup angin. Daun kuning yang mirip telapak tangan itu jatuh di bangku. Aku mengambil daun yang tampaknya pas untuk dijadikan hiasan kering itu, memegang pangkalnya, dan memutarnya di ujung jariku.

Kalau mau bertemu Ito-san, itu harus di bulan Oktober, kan?

Ya. Kita berdua punya sekolah dan pekerjaan, jadi sepertinya sulit di hari kerja. Kalau mau bertemu, mungkin aku harus menemuinya di akhir pekan depan.

Aku berpikir sambil memutar daun kuning yang masih sedikit kemerahan itu. Jika sampai sejauh ini Ayase-san tidak ingin bertemu, mungkin lebih baik kalau kita harus menemukan cara untuk tidak bertemu demi kesehatan mentalnya... Apa yang harus kulakukan?

...Tunggu, mungkin ada cara.

Sebaliknya, jika kamu berhasil melewati akhir pekan depan, kamu tidak perlu bertemu untuk sementara waktu. Dan yang kamu butuhkan hanyalah alasan yang membuat Ito-san tidak bisa menolak.

Ayase-san yang tadinya menunduk mengangkat wajahnya.

Begitu, tapi. Tidak ada alasan seperti itu.

Kalau tidak ada, kita tinggal membuatnya saja. Sampai sekarang, aku tidak tahu bahwa kamu sedang menunda pertemuan dengan ayah kandungmu, Ayase-san.

Raut wajah Ayase-san menunjukkan bahwa dia bingung dengan apa yang aku katakan.

Belakangan ini, Ayase-san terlihat murung dan mengeluh tentang sulitnya belajar.

Aku tidak pernah bilang begitu, kan?

Aku sudah menduga Ayase-san akan membantahnya. Namun, aku ingin dia mendengarkan sedikit lagi.

Kalau begitu, bagaimana kalau kita memaksakan diri untuk berada di lingkungan yang kondusif untuk belajar? Mungkin kamu bisa fokus pada persiapan ujian.

Eh? Eh? Eh?

Aku teringat bahwa aku pergi ke kamp belajar musim panas dan itu sangat efektif. Jadi, aku mengusulkan Ayase-san pergi ke tempat yang tenang dan nyaman sehingga kamu bisa berkonsentrasi dalam belajar.

Eh, tunggu, apa?

“Jadi, bagaimana kalau kita mengatur perjalanan jauh untuk belajar? Mungkin di akhir pekan depan. Aku sudah merencanakan dan bahkan memesan akomodasi.

“Bu-Bukannya itu mustahil? Memangnya kita mau pergi ke mana? Lagipula, jika aku menemukan tempat yang nyaman, aku akan ditinggal sendirian di tempat yang tidak aku kenal?

“Sudah kubilang, aku juga akan ikut."

Apa…

“Kurasa melakukan perjalanan sendiri sebagai siswa SMA itu akan sulit, tapi jika kita pergi bersama sebagai saudara, seharusnya itu masih bisa diatur. Ah, aku bisa menanggung biaya perjalanan dan akomodasi. Aku sudah bekerja paruh waktu lebih lama darimu, Ayase-san, jadi itu tidak masalah.

Tu-Tunggu dulu sebentar, aku masih belum sepenuhnya mengerti, bolehkah aku menelaahnya dulu?

Silakan.

Aku sudah mengungkapkan apa yang ingin kukatakan, sekarang sisanya terserah pada Ayase-san.

Jadi, maksudnya, si adik mengeluh bahwa dia kesulitan belajar untuk ujian, dan kakaknya secara paksa menjadwalkan kamp belajar... begitulah ceritanya?”

“Itu karena cinta antar saudara yang indah.

“Walaupun tiri sih...

“Justru hal itu menunjukkan bahwa kami sudah cukup dekat. Dan demi adikku yang tercinta, aku mengusulkan untuk mengubah lingkungan belajar dengan sedikit paksa.

“Memangnya alasan seperti itu bisa diterima? Kita memang kakak beradik, tapi kita ‘kan tidak memiliki hubungan darah. Dua siswa SMA yang pergi berlibur bersama...

“Kita tidak sedang liburan, melainkan kamp belajar. Tujuannya tetap untuk belajar menghadapi ujian. Yang penting ialah apakah kita bisa meyakini alasan yang sulit itu.

Kamu sudah menyebutnya sebagai alasan... tapi bukan itu yang ingin kukatakan. Mungkin begitu, tapi... bagaimana kita harus menjelaskan ini kepada ibu...?

Pada akhirnya, dia merasa bimbang di bagian itu.

Namun, aku yakin rencana mengundangnya dengan berpura-pura tidak tahu ini akan disetujui oleh Akiko-san. Lagipula, Akiko-san sendiri yang memberitahuku bahwa Ayase-san tidak ingin bertemu dengan ayahnya. Dan jika Akiko-san memberi izin, ayahku pasti tidak akan menolak. Mungkin Akiko-san tidak menduga bahwa aku, sebagai kakak sekaligus pacarnya, sangat peduli pada Ayase-san—Saki.

Dengar, aku merasa tidak baik jika pikiranmu terganggu di waktu penting seperti ini.

Aku mengungkapkan bahwa aku juga pernah merasa tidak stabil secara mental saat kamp belajar. Aku mengaitkannya dengan keadaan Ayase-san saat ini dan jujur mengungkapkan kekhawatiranku padanya.

Satu-satunya hal yang menyelamatkanku saat itu adalah pesan yang aku terima darimu, Ayase-san. Aku merasa ada seseorang yang tahu betapa kerasnya usahaku di sini. Itu membuatku tenang.

“Aku tidak melakukan sesuatu yang khusus...

“Meski begitu, pesan itu sangat membantuku yang dalam keadaan panik dan tidak bisa melihat sekeliling. Jadi, kali ini aku ingin membantu Ayase-san.

…Asamura-kun.

Awalnya, aku berpikir untuk membawamu pergi secara paksa pada hari pertemuan yang sudah dijadwalkan. Mirip seperti pelarian kecil.

Tetapi, menurutku Tindakan semacam itu tidak dapat diterima oleh Ayase-san yang sangat menghargai Akiko-san. Meskipun dia bisa membatalkan pertemuan dengan ayahnya dengan diam-diam kabur dari rumah, itu akan membuat Akiko-san khawatir. Tentu saja, ayahku juga akan khawatir. Ada risiko bahwa dia akan dianggap sebagai keluarga yang tidak mampu mengatasi anak yang melarikan diri, dan itu bisa merugikan jika sampai terjadi pengadilan.

Jadi, jika ingin melarikan diri, itu harus dengan persetujuan orang tua.

“Kedengarannya bertentangan. Melarikan diri dengan persetujuan orang tua?

Tapi, berkat pemikiran aneh itu, aku menemukan ide. Maksudku, kita harus pergi jauh dengan alasan yang tidak bisa diprotes orang tua. Ayase-san—

Aku menatap mata Ayase-san saat mengatakannya.

Menjadi patuh pada orang tua bukanlah cara untuk berbakti. Tawaran Ito-san, menurutku, terlalu memaksa. Aku merassa ia tidak akan mengerti betapa sulitnya bagi Ayase-san di masa-masa menjelang ujian ini. Bukan berarti Ayase-san mengatakan tidak akan pernah bertemu. Kali ini, lebih baik mereka menyerah.

…Apa itu beneran baik-baik saja?

Terkadang melarikan diri itu penting. Jadi, akhir pekan depan kita akan melarikan diri! Jauh dari jangkauan Ito-san!

“Memangnya ada tempat yang semudah itu?"

Saat aku menyelediki beberapa kamp belajar musim panas, ada beberapa lokasi yang menjadi kandidat. Ada satu tempat yang kupikir bagus dan cocok. Sebenarnya, informasi ini aku dapat dari Maru saat musim panas.

Rupanya, di waktu yang hampir bersamaan denganku, Maru juga sedang belajar sambil menikmati pemandian air panas.

Tempat yang mudah dijangkau dari Tokyo, memiliki pemandangan yang indah, memiliki sumber air panas, dan membuatmu bisa berkonsentrasi—Ayo pergi ke Atami!

Sambil membuang daun kering yang ada di tanganku, aku berusaha menunjukkan wajah yang tenang sebisa mungkin.

Walaupun jantungku berdebar dengan sangat kencang.

Meskipun aku sudah memikirkan berbagai hal sejak mendengar cerita Ayase-san hingga pagi ini, saat benar-benar mengajukan usulan ini, sulit untuk mengungkapkannya dengan tenang. Namun, aku tidak ingin melihat Ayase-san dalam keadaan seperti ini lebih lama lagi.

Di bawah langit biru yang baru saja melewati tengah hari, pada sore hari saat angin musim gugur menggoyangkan dedaunan, kami duduk di bangku taman mendengarkan suara ceria keluarga dari kejauhan.

Mungkin ini adalah pernyataan pelarian yang paling waras yang pernah ada.

 

 

Sebelumnya  |  Daftar isi  |  Selanjutnya

close

Posting Komentar

Budayakan berkomentar supaya yang ngerjain project-nya tambah semangat

Lebih baru Lebih lama