Bab 4 — Game Manajemen
Bagian 2
(Sudut
Pandang Hinako)
Setelah
keluar dari kamar Itsuki, Hinako berjalan di koridor dengan pandangan
tertunduk.
Dia berjalan
linglung sambil menatap karpet merah, dan tiba-tiba dia menabrak dinding dengan
kepalanya.
“Aduh!”
“Ojou-sama...?”
Kebetulan
Shizune yang sedang bersih-bersih
di dekat situ menyadari keberadaan Hinako.
Namun
Hinako langsung berbalik arah dengan tergesa-gesa, kembali berjalan sambil
menundukkan pandangannya...
“Aduh!”
“O-Ojou-sama?
Umm, apa anda baik-baik saja? Kamar
Anda ada di sebelah sini...”
“Uuh...”
Melihat
tingkah laku Hinako yang aneh, Shizune
memandangnya dengan bingung.
Sambil
mengusap keningnya yang
terbentur, Hinako dibawa Shizune kembali ke dalam kamarnya.
Sesampai
di kamarnya, Hinako langsung menuju ke
tempat tidur dan menenggelamkan diri di bawah selimut, tak bergerak.
Shizune
memandangnya dengan ekspresi khawatir. “Jika
Anda merasa tidak sehat, sebaiknya saya panggilkan dokter...”
“Tidak
apa-apa... Biarkan aku sendiri sebentar...”
Kurasa ini
bukan masalah kesehatan. Sepertinya
Shizune berpikir lebih baik menuruti permintaannya, dan Hinako mendengar suara pintu
ditutup.
Setelah akhirnya bisa sendirian di kamarnya, Hinako menenggelamkan wajahnya
di bantal sambil mengibaskan kaki-kakinya.
(Uuugh~~~~~!!)
Wajahnya
terasa panas. Seolah-olah
akan meledak.
Pasti sekarang
wajahnya terlihat aneh. Itulah sebabnya dia terus menunduk, karena dia tidak ingin ada yang melihat ekspresi wajahnya saat ini.
Perasaan
yang meluap-luap dari dalam dirinya terus membuatnya goyah.
Dalam
pikirannya, Hinako
mengulang kembali percakapan dengan Itsuki tadi.
——Aku
ingin menjadi setara
dengan Hinako.
Suara
Itsuki, ekspresinya, kembali tergambar jelas di dalam
kepala Hinako.
“Ke-Keren... sekali~~!”
Seolah-olah ingin menyalurkan emosinya yang tak terkendali, Hinako menggerak-gerakkan
kaki-kakinya naik turun.
Meski
wajahnya terus menggosok ke bantal berulah
kali, tapi sepertinya hatinya masih belum bisa tenang untuk sementara waktu.
(Begitu ya... jadi Itsuki ingin lebih dekat
denganku...)
Itu bukan sekedar khayalan. Karena
Itsuki sendiri yang mengatakannya.
Keseriusan
perasaan Itsuki tersampaikan dengan jelas padanya.
“~~~!”
Suara tak
tertahankan keluar dari mulutnya.
Hinako
memeluk bantal erat-erat, berguling-guling di atas tempat tidurnya.
(Senang...
Aku merasa sangat senang,
senang, senang sekali rasanya...!)
Entah
kenapa dia ingin sekali berteriak sekencang-kencangnya.
Ada kehangatan
yang memenuhi dadanya, bergejolak di
seluruh tubuh.
(Tapi...
Uugh! Padahal aku juga ingin berusaha untuk Itsuki...)
Selain perasaan
senang, ada juga perasaan campur aduk
yang muncul.
Sejujurnya,
Hinako sama sekali tidak menyangka kalau usulannya akan ditolak.
Dia tidak
bermaksud meremehkan Itsuki, tapi dalam kasus ini, Itsuki jelas-jelas berada pada posisi yang
sangat tidak menguntungkan. SIS adalah perusahaan jauh lebih besar dibandingkan
Tomonari Gift. Menghadapinya secara langsung tidak akan mudah menemukan jalan
keluar.
Karena
itulah, Hinako bermaksud menawarkan solusi
terbaik.
Dirinya
berpikir Itsuki akan senang dengan rencana yang diajukannya.
(Bahkan
aku sudah menyiapkan posisi direktur agar Itsuki bisa menemuiku...!!)
Kalau
bisa, dia berharap kalau mereka berdua bisa
menikmati game
manajemen bersama-sama. Baik di akademi maupun di dalam mansion, membayangkan mereka berdua larut dalam game manajemen saja sudah membuat hatinya berdebar-debar.
Tapi...
Ketika Itsuki mengatakan kalau ia ingin
setara dengan Hinako, hal tersebut membuat Hinako merasa sangat senang. Dan
ekspresi serius Itsuki saat mengatakannya terlihat sangat keren.
(...
Keren sekali)
Hatinya sudah dipenuhi perasaan bahagia.
Kalau
begini, semuanya mungkin akan baik-baiks
saja.
Meskipun
tidak sesuai rencana, tapi dia
justru merasa lebih bahagia dari yang dia bayangkan.
Satu-satunya
yang membuat Hinako sedikit
khawatir adalah, dia tidak
tahu apa yang akan dilakukan Itsuki
selanjutnya. Itsuki bilang dirinya akan
mengatasi sendiri, tapi Hinako merasa
tidak akan semudah itu.
(Sebaiknya
aku diam-diam membantunya dari belakang...)
Tapi
setelah Itsuki memintanya untuk
percaya padanya, Hinako
tidak ingin bergerak di belakang layar.
“Uuugh~~~~~~...”
Dia merasa
senang Itsuki berkata seperti itu.
Tapi...
Apa ini benar-benar tidak masalah? Pertanyaan itu terus
berputar di kepala Hinako.
Pada saat
itu, terdengar ketukan di pintu kamarnya.
“Ojou-sama,
apa Anda baik-baik saja?”
“...
Ya, aku tidak apa-apa, silakan
masuk.”
Begitu
mendengar suara Shizune, Hinako mengizinkannya masuk.
Shizune
menghampiri Hinako dan meletakkan telapak tangannya di dahi Hinako.
“...
Sepertinya tidak ada masalah.”
Shizune
merasa lega setelah memastikan kalau Hinako tidak demam.
“Sudah
kubilang aku tidak
apa-apa, ‘kan?”
“Tapi
wajah Anda kelihatan memerah
lho?”
“I-itu...
Tidak ada hubungannya.”
Hinako
memalingkan wajahnya yang malu.
“Apa Itsuki-san menyukai teh buatan anda?”
“Iya,
dia bilang kalau rasanya lebih
enak dari sebelumnya... Ehehe.”
Itu juga
merupakan hal yang membuatnya senang.
Setelah mendengar
kata-kata Hinako, Shizune pun terlihat gembira seolah-olah
itu pujian untuk dirinya sendiri.
“Upayamu
membuahkan hasil, ya.”
“Itu semua berkat Shizune yang sabar
mengajariku.”
Hinako
menatap Shizune lurus-lurus dan mengucapkan terima kasih.
Sambil
meletakkan tangan di dahinya, Shizune menatap
langit-langit.
“...
Aku senang bisa hidup sampai sekarang.”
Dia terlihat
terharu dari lubuk hati.
Hinako
tidak bermaksud berterima kasih secara berlebihan. Tapi mulai sekarang, dia akan lebih sering mengutarakan
rasa terima kasihnya.
“Tapi,
kurasa Itsuki juga senang bisa meminum
teh buatan Shizune. Jadi lain kali, biar Shizune yang membuatkannya, bukan aku.”
“Saya sama
sekali tidak keberatan, tapi...apa
Anda yakin?”
“Iya.
Aku tidak ingin hanya aku saja yang
bahagia.”
Hinako
tidak ingin melakukan hal yang dapat merampas kebahagiaan Itsuki.
Di akhir liburan
musim panas, kekhawatirannya membengkak hingga membuatnya terbaring lama. Dirinya berpikir kalau dia telah
merampas keseharian Itsuki yang berharga... Hinako
tidak ingin lagi terjebak dalam kecemasan seperti itu. Meskipun Itsuki bilang
tidak apa-apa, dia merasa
harus tetap memperhatikannya.
“...
Baiklah,”
Shizune
menganggukkan kepalanya.
“Apa
Itsuki-san masih kesulitan dengan masalah akuisisi itu?”
“Iya, ia
masih kesulitan. Tapi katanya
ia ingin mengatasinya sendiri.”
“Begitu
ya. ... Kali ini, kita tidak akan terlalu keras pada Itsuki-san. Sebenarnya,
dalam kasus ini Itsuki-san tidak bersalah, melainkan pihak lawan yang terlalu
ekstrem.”
“Ya.
... Itsuki belajar dengan baik. Ia
bahkan tahu tentang istilah White Knight.”
Hinako
juga berpikir bahwa Itsuki sama sekali tidak salah.
Mengetahui
tentang penerbitan saham baru dan strategi White Knight berarti Itsuki rajin
belajar tentang M&A dan saham. Pengetahuannya terlalu luas untuk sekedar
mempelajarinya setelah perusahaannya secara tidak
langsung akuisisi oleh Suminoe
Chika.
“Ah
iya, saya mendengarnya dari pelayan lain, katanya saat
awal mulai Game
Manajemen, Itsuki-san pernah berada
di ruang kerja bersama Takuma-sama.”
“Itsuki...
dengan orang itu?”
Wajah
kakaknya yang tersenyum jahat muncul di benak Hinako.
“Takuma-sama hanya bilang 'Ia membantu pekerjaanku', tapi
mungkin saja waktu itu ia memberi saran tentang permainan pada Itsuki-san. ...
Orang itu biasanya punya maksud tersembunyi.”
Shizune
yang pernah terjebak oleh ulah Takuma,
tidak bisa mempercayai Takuma begitu saja.
Hinako
juga merasa curiga.
“...
Shizune.”
“Ya.”
Hinako
ingin menghindari berinteraksi dengan kakaknya
sebisa mungkin. Tapi jika Itsuki terancam oleh kakaknya, Hinako
siap membuang perasaan pribadinya.
“Telepon
orang itu.”
Shizune
mengangguk, mengeluarkan ponsel dari sakunya.
Saat
Shizune menyerahkan ponsel yang sedang tersambung, Hinako menekan tombol Enter
di laptopnya.
“Aku
baru saja mengirimkan data ke dala, tabletmu.
Tunjukkan itu pada Itsuki. ... Kupikir aku bisa sedikit membantunya.”
“Baik.
... Apa saya juga perlu tinggal di sini?”
“Tidak
perlu. ... Kami hanya akan mengobrol sebagai kakak-adik.”
Meski
hubungan mereka jauh dari hubungan kakak-adik yang biasanya.
Meski
terlihat khawatir, sepertinya Shizune memutuskan untuk percaya pada Hinako. Dia
membungkuk hormat lalu keluar dari ruangan.
“Shizune?”
Hinako mendengar
suara Takuma dari seberang ponsel.
“...
Ini aku.”
“Ah,
Hinako ya. Tumben-tumbennya
menghubungiku. Ada perlu apa?”
Suaranya
tetap tenang dan santai seperti biasa. Padahal Hinako sama sekali tidak bisa
menebak apa yang ada di pikirannya, tapi pria itu selalu bisa membaca
pikirannya dengan jelas. ... Ini benar-benar tidak adil dan sulit.
“Apa
rencanamu terhadap Itsuki?”
Hinako
bertanya langsung.
“Aku
tahu kamu menawarkan bantuan pada Itsuki.
... Apa yang kamu
inginkan darinya?”
“...
Entahlah? Itu tergantung Itsuki-kun.”
Jawaban
yang tidak memuaskan membuat Hinako menutup
bibirnya erat-erat.
...
Menyebalkan.
Seolah-olah ia bisa menebak
perasaan Hinako, Takuma
terkekeh geli.
“Jangan
khawatir. Aku hanya ingin mendorong bakatnya saja.”
“Bakat...?”
Saat
Hinako bertanya balik, Takuma mulai memberitahunya.
“Ia mempunyai bakat yang sama
seperti aku.”
◆◆◆◆
(Sudut
Pandang Itsuki)
Setelah
Hinako keluar dari kamarku, saat aku sedang memikirkan strategi pertahanan untuk melawan akuisisi Suminoe-san, pintu kamarku kembali
diketuk.
“Terima
kasih atas kerja kerasmu.”
“Shizune-san.
Ada apa?"
“Aku
melihat Ojou-sama bertingkah aneh tadi, jadi aku datang untuk menyelidiki
penyebabnya.”
“Eh?”
Bertingkah
aneh...?
Itu berarti, aku memang sudah membuat Hinako marah, ya?
“Aku
hanya bercanda. Memang ada yang aneh dengan sikapnya, tapi sepertinya itu bukan sesuatu yang buruk, jadi
tidak ada masalah.”
“Be-Begitu ya... Syukurlah.”
Yah,
kalau Shizune-san bilang
tidak ada masalah, berarti aku tidak
perlu khawatir.
“Ojou-sama
ingin memberikan ini kepada Itsuki-san.”
Sambil
mengatakan itu, Shizune-san
menyerahkan sebuah tablet padaku.
“Ini...”
“Itu
berisi informasi perusahaan yang sudah dikumpulkan Ojou-sama sejauh ini. Isinya
lebih detail daripada yang dipublikasikan untuk umum.
... Beliau bilang, ‘setidaknya sampai sebatas ini aku boleh membantumu’.”
“...
Terima kasih.”
“Silakan
sampaikan terima kasihnya nanti pada Ojou-sama.”
Tentu
saja aku akan melakukannya.
Memang,
sebatas ini tidak termasuk bantuan sepihak. Bahkan jika bukan Hinako,
teman-teman dari Aliansi Pesta
Teh pun pasti tidak keberatan memberikan dukungan seperti ini. Aku juga akan
melakukan hal yang sama.
Sambil
berterima kasih atas perhatian Hinako, aku melihat data di tablet itu.
“Apa yang
sedang kamu lakukan sekarang?”
“Aku
sedang mencari perusahaan yang bisa membantuku
untuk strategi pertahanan akuisisi. Makanya, informasi seperti ini sangat
kubutuhkan.”
Aku menjawab
pertanyaan Shizune-san sambil membaca berkas di tablet.
Ada
banyak sekali data perusahaan, tidak hanya puluhan atau ratusan. Jadi itu bisa terlihat jelas kalau kesuksesan Hinako di dalam game bukan semata-mata karena
keberuntungan atau latar belakang keluarga, tapi karena dia dengan rajin berusaha seperti ini.
“...
Yang namanya perusahaan tuh menarik, ya.”
Aku berkata
demikian sambil membaca berkas dan membuat catatan dengan
satu tangan.
“Kalau
ditelusuri dari berbagai sisi, seperti filosofi perusahaan atau informasi untuk
investor, sedikit demi sedikit kita bisa melihat karakter sebenarnya dari
perusahaan tersebut. ...
Kita bisa melihat jenis manajemen
yang tersembunyi di balik data-data itu.”
Seseorang tidak
perlu bingung dengan istilah ‘perusahaan’.
Pada
akhirnya, baik perusahaan maupun produknya, semua itu dibuat oleh manusia. Di
balik data-data yang tampak dingin, pasti ada manusia yang memiliki perasaan.
“Saat aku
menelusuri data, terkadang kita bisa membayangkan wajah dan pemikiran orang di
baliknya... Jadi selanjutnya, aku tinggal
memeriksa apakah kita cocok atau tidak dengannya...”
Hanya itu
saja — negosiasi bisa berjalan lancar.
Aku
merasakan sensasi yang sama saat melihat email dari Takuma-san, atau saat menemukan
mitra kerja sama Tennouji-san. Perasaan sebenarnya dari orang yang tersembunyi
di balik data tersebut secara bertahap menjadi lebih jelas.
“Itsuki-san,
itu...”
Di
sebelahku, entah kenapa Shizune-san memasang ekspresi
serius di wajahnya.
“Ada
apa?”
“Ah,
bukan apa-apa, sih... Tapi...”
Shizune-san
membuka mulutnya, seolah dia enggan mengatakan sesuatu.
“Aku hanya
ingin mengatakan kalau kamu terlihat mirip seperti Takuma-sama....”
◇◇◇◇
(Sudut
Pandang Hinako)
Takuma mulai berbicara dengan riang dari seberang telepon.
“Kamu pasti tahu tentang bakatku, ‘kan? Kecerdasan emosional.... atau yang biasa disebut EQ
milikku luar biasa tinggi, jadi
aku bisa menebak
apa yang sedang dipikirkan lawan bicara.”
Hinako
tahu hal itu.
Meskipun menjengkelkan, tapi mereka tetap bersaudara. Hinako sering mendengar cerita tentang
bakat kakaknya berkali-kali.
“Dengan kata
lain... orang cabul
yang bisa membaca pikiran seseorang.”
“Jahat
sekali. Padahal begini-begini aku
disebut jenius, lho.”
Meski ia berkata begitu, sepertinya ia tidak terlalu memedulikannya.
“Suatu
hari, aku meminta Itsuki-kun untuk membantuku
membereskan berkas. Tapi ia langsung mendeteksi ada
kebohongan di antara berkas itu. ... Katanya ‘ini bukan yang sebenarnya, ‘kan?’.”
Mungkin
itulah yang dibicarakan Shizune sebelumnya. Pada
saat game Manajemen baru dimulai,
mereka berdua sempat mengerjakan sesuatu di ruang kerja. Saat itu, Takuma sepertinya
merasakan sesuatu dari Itsuki.
“Dia
bisa melihat kebenaran data dengan instingnya.”
Takuma menjelaskan secara singkat.
“Secara
spesifik, ia bisa menangkap maksud terselubung. ... Jika melihat informasi yang
disembunyikan, ia bisa menyadari ‘data
ini mencurigakan’,
bukan melalui logika, tapi intuisi. Dan sebaliknya, meski ada cacat atau kekurangan di dalam data, dia bisa menilai
apakah orang itu dapat dipercaya.”
Takuma menjelaskannya dengan tenang,
tapi isinya tidak mudah diterima begitu saja.
Jadi...
Itsuki juga memiliki bakat yang sama dengan orang ini?
“...
Hanya kamu saja yang mempunyai kemampuan mistik seperti itu.”
“Bagi
kami, itu bukanlah
sesuatu yang mistik.”
Hinako
mengernyitkan alisnya.
Jangan
sebut 'kami'... Rasanya seperti Itsuki sudah berada di pihaknya.
“Misalnya saja, Hinako, saat teman
sekelas mengajakmu untuk pesta minum
teh, bagaimana caramu menilai apakah itu hanya
sekedar basa-basi atau benar-benar tulus?”
“Itu...
hanya firasat saja.”
“Nah, hanya firasat saja, ‘kan? Firasat yang tampak samar,
tapi entah kenapa sering tepat sasaran.”
Takuma
kembali melanjutkan.
“Bagi kami,
wilayah firasat kami lebih luas. Seperti Hinako yang menilai apa itu basa-basi atau bukan, kami juga menilai
informasi di depan kami apakah itu kebohongan atau kebenaran.”
Hinako
memang mengetahui tentang bakat Takuma. Tapi ini baru pertama kalinya dia
menjelaskannya sedetail ini.
Logikanya
bisa diterima... Tapi mungkin juga karena kemahirannya yang berbicara. Hinako menjadi takut untuk terlalu gampang mempercayainya.
Hinako tahu. Kemampuan Konohana Takuma tidak bisa dianggap remeh
hanya dengan satu kata sederhana saja.
Ia
memberikan apa yang diinginkan orang
lain, memerankan kepribadian yang disukai orang lain, terkadang bahkan membahas
topik yang dibenci orang lain supaya bisa
menjalankan negosiasi dengan mahir.
Dengan cara begitu,
Takuma berhasil mendapat pengakuan dari para petinggi Grup Konohana dan memantapkan posisinya — sebuah kecepatan yang luar
biasa. ... Seandainya saja ia tidak memiliki sifat sedikit main-main, dirinya pasti dengan mudah diterima
sebagai calon pemimpin berikutnya.
“...
Tapi Itsuki tidak memiliki sikap seperti
itu sebelumnya."
“Ya memang, tapi mungkin itu karena akulah yang memulainya.”
Takuma
menjawab pertanyaan Hinako.
“Mengetahui
keberadaanku sebagai orang yang
seperti itu...
kurasa berbicara denganku akan menjadi rangsangan yang
baik baginya.”
Hinako berpikir bahwa kemungkinan itu ada benarnya.
Takuma
adalah orang yang luar biasa, entah dalam artian
baik maupun buruk, ia bukanlah
orang yang biasa-biasa saja. Pasti banyak orang yang
mengubah gaya hidup mereka karena terpengaruh oleh keberadaan Takuma yang
istimewa itu. ... Bahkan Shizune pun termasuk
salah satunya.
Itsuki juga mungkin berhasil menemukan bakatnya
setelah mendapat rangsangan dari Takuma.
“....Jadi,
kamu lah yang
menjadi biang keroknya?”
“Oi, oi,
padahal itu bukan hal buruk, malahan aku lebih suka kalau kamu memanggilku sebagai mentornya.”
Hinako bisa
mendengar tawa getir Takuma.
“Kamu juga pasti memahaminya ‘kan, Hinako? Tidak diragukan lagi kalau itu
adalah bakat seorang pengusaha. Karena jika
kamu bisa membaca perasaan terdalam lawan bicara, kamu bisa menghindari risiko,
dan bisa menggali keuntungan tersembunyi.”
Dengan
Takuma yang telah membuktikan bakatnya itu, ucapannya menjadi terdengar meyakinkan.
“Sayangnya,
yang kurang adalah sifat kejamnya. Jika dirinya
bisa menggunakan bakat ini secara maksimal untuk
mencengkeram kelemahan lawan, maka...... ia bisa menjadi diriku.”
Setelah mendengar
ucapan itu, Hinako kembali
menyadari sifat kakaknya.
Kakak laki-lakinya hanya berpikir bahwa jalan
hidupnya adalah jalan
yang benar. Ia hanya
menunjukkan jalan yang menurutnya terbaik. Baginya, itu adalah kebaikan. Tapi, seperti yang sudah dia duga, kakaknya
sama sekali tidak memikirkan perasaan Itsuki.
“...
Ia tidak membutuhkannya.”
Hinako membayangkan Itsuki, seseorang yang berharga baginya.
Itsuki selalu memperhatikannya.
Meski dia orang malas dan membosankan, Itsuki selalu tersenyum lembut
melihat dirinya yang sering dilanda berbagai emosi.
Wajah
lembutnya itu tidak boleh menghilang.
“Itsuki tidak membutuhkan kekejaman hati.”
Hinako
berkata dengan nada yang lebih tegas.
“Kekejaman hati itu mutlak diperlukan di dalam dunia bisnis. Jika Itsuki-kun dapat membuang
perasaannya, ia bisa menjadi pengusaha kelas atas. Bahkan menjadi petinggi Grup
Konohana pun bisa dengan mudah—”
“Itu
tidak ada hubungannya.”
Hinako menyela ucapan kakaknya.
“Itsuki tidak akan pernah menjadi sepertimu. Ia berbeda darimu yang
memperlakukan orang lain seperti bidak.”
Takuma
sering menggunakan orang lain demi kepentingannya sendiri.
Hinano sangat mengetahui betul dengan apa yang
terjadi kepada para korbannya.
Ada yang
kehilangan keluarganya, ada
yang kehilangan mimpinya.
Meskipun pada awalnya semua orang mengikuti Takuma dengan mata berbinar-binar,
pada akhirnya hanya Takuma sendiri yang tertawa.
Bukan
berarti Takuma tidak mengerti perasaan orang lain, justru sebaliknya, dia
paling peka terhadap perasaan orang lain. Artinya, pria ini memahami perasaan
orang lain, tapi tetap membuangnya.
...
Mungkin karena ia bisa melihat itu, jadi dirinya
merasa jijik.
Konohana Takuma
selalu meremehkan perasaan orang lain.
“Apa
aku berbeda dengannya? ... Apa Hinako
benar-benar mengenal Itsuki-kun
dengan baik sampai berani mengatakan itu?”
“Aku bisa
tahu meskipun tidak terlalu mengenalnya.”
Hinako berkata dengan tenang.
“Di
sekitarmu, tidak ada Tennouji Mirei.”
Dia
teringat pada gadis bangsawan yang kuat dan suka
berkompetisi itu.
“Di
sekitarmu, tidak ada Miyakojima
Narika.”
Dia
teringat pada gadis yang canggung tapi gigih dan bisa menghadapi dirinya
sendiri.
“Di
sekitarmu, tidak ada Hirano Yuri.”
Dia
teringat pada gadis yang hangat, suka ikut campur, tapi tidak dibuat-buat.
“Di
sekitarmu, tidak ada Taisho Katsuya dan Asahi Karen.”
“...
Mereka semua teman Itsuki-kun,
ya?”
“Ya,
teman-temannya.”
Dia
teringat pada dua orang yang selalu menjadi penghibur dan diam-diam mendukung
banyak orang.
... Entah
kenapa rasanya persentase teman perempuannya
terlalu tinggi, tapi sekarang bukan saatnya memikirkan itu.
Yang terpenting adalah Itsuki memiliki teman-teman seperti
itu.
“Kamu hanya bisa membangun hubungan
berdasarkan kesamaan kepentingan. Jadi di sekelilingmu hanya ada mitra bisnis.
... Tapi Itsuki
berbeda. Itsuki
selalu berjuang untuk orang lain. Dan Itsuki
mempunyai banyak teman-teman
karena dirinya yang seperti itu.”
Itulah
sebabnya—
“Itsuki sudah menjalani kehidupan yang
berbeda darimu. ... Kamu mungkin bisa membingungkannya, tapi itu
tidak ada artinya. Karena di sekitar Itsuki,
ada banyak orang yang bisa menghentikannya.”
Hinako sama sekali tidak takut dengan masa depan Itsuki.
Dia meyakini kalau Itsuki
akan baik-baik saja. Dia mempercayai bahwa Itsuki tidak akan menjadi seperti
pria ini.
“Hmm,
sayang sekali. Padahal bakatnya di bidang bisnis luar biasa. ... Secara
pribadi, aku ingin dia menjadi tangan kananku suatu hari nanti.”
“Itu
tidak akan terjadi. Cari saja orang
lain.”
Nah,
lihat, pada akhirnya pria ini hanya
memikirkan kepentingannya sendiri.
“...
Yah, kamu bebas memikirkan apa yang kamu pikirkan.”
Takuma
bergumam pelan.
“Ah,
sudah waktunya aku bekerja. Pembicaraan kita cukup sampai di sini?”
“Ya.”
Karena
Hinako sudah mengerti tujuan kakaknya, jadi tidak ada lagi yang perlu
dibicarakan.
Orang ini
menginginkan seorang Konohana Takuma
generasi Kedua. Ia ingin membuat bayangan dirinya
sendiri dan menjadikannya tangan kanan yang menguntungkan.
Jika Itsuki sendiri yang menginginkannya, Hinako tidak akan mencegahnya.
Tapi jika
tidak, ... maka itu adalah misinya untuk menghentikannya.
(... Eh?)
Saat
berpikir sejauh itu, Hinako tiba-tiba menyadari sesuatu.
Jika Itsuki juga memiliki bakat yang sama
seperti kakaknya...
Jika Itsuki juga peka terhadap perasaan
orang lain...
Bukannya itu
berarti Itsuki
menyadari perasaanku...?
“...
Hei,”
“Hmm?”
Takuma
menjawab dengan suara heran ketika
Hinako tiba-tiba menjadi malu-malu.
“Itsuki tidak bisa membaca pikiran
seperti kamu, bukan...?”
“Tidak,
ia tidak sepeka itu. Sepertinya ia bahkan tidak menyadari perasaanmu.”
“Eh?”
Wajah
Hinako langsung berubah panik karena
pikirannya tiba-tiba terbaca.
“Ap-Ap-Apa yang kamu bicarakan...?”
“Tidak,
biasanya orang akan langsung menyadarinya.
Memangnya kamu bermaksud untuk menyembunyikannya?”
“Di-Diam...!!”
Meskipun dia mengetahui kalau itu tidak ada gunanya melawan pria
ini, Hinako tetap
berusaha menyangkal.
Kakaknya
tertawa geli.
“Bahkan
kami juga punya kelemahan. Itsuki-kun
sepertinya tidak peka terhadap hal-hal semacam itu... Mungkin dia tipe yang
kurang sadar akan dirinya sendiri.”
Suatu
hari, teman masa kecil Itsuki,
Yuri, pernah mengatakan hal yang sama.
Meskipun Itsuki mempunyai sidat yang baik
hati, tapi sebagai gantinya ia sering
mengabaikan dirinya sendiri.
Sewaktu mendengar hal tersebut, dia merasa sangat sedih, tapi... bagi Hinako yang hatinya belum siap, dia merasa sedikit 'terselamatkan'.
Sebelumnya | Daftar isi | Selanjutnya