Chapter 5 — 30 Oktober (Sabtu) Asamura Yuuta
Gagang pintu
yang kupegang terasa dingin. Aku hampir ingin menarik tanganku kembali.
“Pelan-pelan,
tolong pelan-pelan ya. Kita jangan sampai membangunkan Ayah tiri.”
“Aku tahu.”
Karena hari Sabtu
merupakan hari di mana ia bisa tidur lebih lama, jadi ayahku pulang cukup larut
kemarin. Aku ingin membiarkannya tidur nyenyak.
Aku memutar
gagang pintu dengan hati-hati agar tidak berisik, lalu membuka pintu dengan
pelan.
Angin dingin
mengalir masuk melalui celah pintu yang terbuka dan menyentuh kulitku. Hari ini
tanggal 30 Oktober. Di langit Tokyo, matahari akan muncul dari cakrawala
sekitar pukul enam. Pada waktu seperti itu, aku dan Ayase-san meninggalkan
rumah hanya sekitar 30 menit setelah matahari terbit.
Suasana di
luar masih belum sepenuhnya terang, ketika kami keluar menuju koridor luar,
sisa malam berwarna abu-abu masih terlihat di langit sebelah barat.
Aku menahan
pintu tetap terbuka sampai Ayase-san lewat.
“Yosh,
terima kasih.”
“Mau aku
bawakan?”
“Tidak
apa-apa, aku bisa menggulirkannya, jadi tidak masalah.”
Semua barang
bawaan Ayase-san dimasukkan ke dalam satu koper merah. Itu adalah koper yang
cukup besar untuk perjalanan internasional. Aku merasa pernah melihatnya di
suatu tempat, dan segera teringat. Itu adalah koper yang digunakan saat
perjalanan sekolah.
Kami keluar
dari apartemen setelah turun dari lift.
Kami
berjalan menuju Stasiun Shibuya, lalu naik kereta ke arah Stasiun Shinagawa
untuk pindah kereta. Kami duduk berdampingan di kursi dua orang di dalam kotak (yang
disebut 'kursi silang').
Aku bisa
melihat pemandangan laut di samping Ayase-san yang duduk di dekat jendela.
“Syukurlah
cuacanya bagus.”
“Seharusnya
jika duduk di kotak sebelah kanan, kita bisa melihat pemandangan Gunung Fuji.
Tapi, pemandangan laut juga sama indahnya.”
“Itu sudah
cukup. Lagipula kita pergi untuk belajar, ‘kan?”
“Untuk
meningkatkan efisiensi, menyegarkan pikiran juga penting.”
“Tapi, aku
tidak ingin menyia-nyiakan waktu.”
Sambil
berkata begitu, Ayase-san mengeluarkan buku kosa kata dari tas bahunya dan
mulai membolak-baliknya. Dia segera menunjukkan ekspresi serius dan mulai
mengucapkan kata-kata dalam mulutnya. Dia terfokus pada buku kosa kata tanpa
mengangkat wajahnya. Konsentrasinya memang luar biasa. Aku pun mengeluarkan
buku kosa kata milikku dan mulai menghafal.
Aku berpikir
bahwa Atami ternyata cukup dekat.
Karena kami tidak
perlu menggunakan Shinkansen, harga sekali jalan sekitar dua ribu yen. Jika
pulang pergi, maka biaya perjalanannya sekitar empat ribu yen. Untuk seorang
pelajar SMA, harga segitu memang tidak murah, tetapi bukan harga yang tidak
bisa dijangkau. (TN:2.000-yen itu sekitaran 230k
rupiah)
Masalahnya
lebih kepada biaya akomodasi daripada biaya perjalanan.
Meskipun
hanya semalam, biaya menginapnya tidaklah murah. Namun, aku berpikir dengan
uang yang aku tabung dari kerja paruh waktuku, seharusnya itu bisa
diatasi...
“Begini...”
Sambil terus
menatap buku kosa katanya, Ayase-san membuka mulutnya.
“Aku akan
mengembalikan uangnya nanti.”
“Tidak
boleh. Kita sudah berjanji, ‘kan? Bahwa kita akan membayarnya bersama.”
“Tapi...”
“Tidak ada tapi-tapian.
Aku juga tidak menyangka kalau ayahku akan membayarnya.”
“Ugh...”
Setelah
mengerang pelan, Ayase-san mengeluh, “Rasanya sedikit menyebalkan.”
“Hal ini
membuat kita disadarkan kembali bahwa
secara finansial kita masih belum mandiri.”
Aku hanya
bisa tersenyum pahit.
Sungguh
memalukan. Dana untuk pelatihan belajar kecil kali ini ditanggung oleh ayah kami.
Dengan
urutan yang jelas, ingatan tentang peristiwa hingga hari ini muncul kembali di dalam
kepalaku.
Semuanya
dimulai pada minggu lalu, sehari setelah
pulang dari museum daerah. Aku sendiri yang mengajukan
kepada ayah dan Akiko-san bahwa aku ingin melakukan kamp belajar dengan Ayase-san pada
akhir pekan berikutnya.
Selama beberapa
hari terakhir, konsentrasi Ayase-san menurun dan belajarnya tidak berjalan
lancar. Aku ingin memberinya kesempatan untuk belajar dengan fokus di tempat
yang tenang sebagai penyegaran.
Ngomong-ngomong,
Ayase-san tidak ada di tempat negosiasi karena aku tidak bisa menjamin dia bisa
tetap tenang jika topik tentang pertemuan dengan Ito Fumiya diungkit. Jadi, aku meyakinkannya untuk
membiarkanku bernegosiasi saat dia pergi bekerja
paruh waktu.
Segera
setelah aku mulai berbicara dengan ayah dan Akiko-san, ekspresi Akiko-san
menunjukkan bahwa dia menyadari sesuatu. Itulah
sebabnya kupikir dia akan mengerti maksudku. Artinya,
pelatihan belajar ini adalah alasan, dan aku berusaha menyisipkan rencana akhir
pekan Ayase-san sehingga dia bisa membatalkan rencana pertemuan dengan ayah
kandungnya.
Masalahnya
ada pada ayahku, yang
seharusnya juga tahu bahwa Ayase-san diminta untuk bertemu dengan ayah
kandungnya. Namun, ekspresi ayahku
sulit dibaca. Seperti yang diharapkan dari
mantan pekerja penjualan yang berpengalaman. Ia
mendengarkan rencanaku dengan diam. Meskipun wajahnya
gampang sekali terbaca saat ada Ayase-san. Namun,
menghindari kehadiran Ayase-san adalah keputusanku, jadi aku harus menangani
ayahku. Aku
sangat berusaha untuk meyakinkannya.
Tujuannya
adalah Atami. Tempat menginap kami ialah
hotel di pinggir gunung yang bisa dicapai dengan bus dari stasiun.
Dengan
check-in lebih awal, kami akan masuk ke penginapan dan menghabiskan waktu
sehari penuh untuk belajar hingga check-out keesokan harinya.
Penginapan
itu merupakan salah satu tempat yang aku
temukan saat mencari informasi tentang pelatihan belajar, yang diceritakan oleh
Maru. Di sana tertulis bahwa lokasinya berada di dekat laut
dengan pemandian air panas, tetapi saat itu aku merasa
tempat itu terlalu mirip seperti tempat wisata sehingga aku mengeluarkannya dari
daftar.
Namun,
jika itu penginapan yang bisa dijadikan
lokasi pelatihan belajar dan memberikan relaksasi yang cukup, aku berpikir itu
akan menjadi pilihan terbaik untuk mengurangi stres Ayase-san.
Aku
mengeluarkan dokumen yang kuteliti musim panas lalu dan menjelaskan jadwal
serta biaya dengan rinci kepada ayah.
Setelah
mendengar pendapatku, ayahku
mengatakan sesuatu yang mengejutkan.
“Kalau
begitu, biaya aku yang akan menanggung biaya kalian,” katanya.
Tawarannya itu terlalu menguntungkan bagi
kami. Meskipun aku ingin belajar dengan tenang, tujuan utamaku sebenarnya
adalah untuk menghibur Ayase-san. Perasaan pribadiku bercampur dengan perasaan
tidak tahan melihat Ayase-san yang gelisah dan tertekan karena pertemuan dengan
“Ito Fumiya”.
Aku sudah
tahu bahwa untuk mendapatkan izin menginap bagi pelajar SMA saja, kami
memerlukan bantuan dari ayah dan Akiko-san. Kami harus memesan penginapan
melalui ayah atau Akiko-san dan membuktikan bahwa ada persetujuan dari orang
tua.
Oleh karena
itu, penting untuk menunjukkan jadwal dan anggaran yang jelas agar ayah dan
Akiko-san bisa diyakinkan. Kami sangat berterima kasih jika mereka mau memesan
penginapan untuk kami, dan sangat tidak enak jika mereka juga harus menanggung
biaya.
『Aku tidak bilang kalau aku akan memberikannya padamu. Aku cuma ingin mengatakan kalau aku akan
meminjamkannya.
Kalian itu masih
SMA, ‘kan? Jika
kalian ingin belajar, aku akan membantu. 』
『Ayah... tapi... 』
『Kamu bisa mengembalikannya
kapan saja jika kamu sudah mempunyai penghasilan lebih. 』
『Benar sekali. Persis seperti kata Taichi-san. Baik Yuuta-kun dan Saki, kalian berdua terlalu tegang. Jika kalian tidak lebih santai, kalian
tidak akan tahan sampai ujian. 』
Akiko-san
berkata sambil tersenyum.
Mungkin
ayah juga memahami stres yang dialami Ayase-san dan menawarkan bantuan. Namun,
ia juga bisa saja mengatakan hal itu tanpa mengetahui situasi sebenarnya.
...Itulah mengapa aku tidak bisa mengkhianatinya.
Namun,
aku merasa tidak adil jika semua biayanya ditanggung ayah, jadi setelah bernegosiasi, aku memutuskan bahwa
kami akan menanggung biaya transportasi kami sendiri.
Rencananya
adalah untuk melakukan perjalanan melarikan diri agar tidak bertemu Ito Fumiya,
tetapi kenyataannya biaya menginap kami justru
ditanggung oleh ayahku, sehingga ini bukan lagi
pelarian. Ini lebih mirip seperti
perjalanan keluarga. Rasanya sangat
setengah hati dan memalukan. Tapi meskipun begitu, aku sudah menerima kenyataan
itu.
Ayase-san
merasa bahwa tidak ingin bertemu dengan ayah kandungnya merupakan keegoisannya. Dia berpikir bahwa karena itu
adalah keegoisannya, dia
harus bersabar dan memaksakan diri untuk
bertemu dengannya. Namun, jika hasilnya membuat Ayase-san sampai hancur, apa itu
benar-benar keegoisan?
Olahraga
penting untuk kesehatan. Namun, berolahraga sampai mengorbankan kesehatan adalah salah.
Dengan cara yang sama, menahan keegoisan itu penting, tetapi aku percaya bahwa
menahan diri sampai merugikan kesehatan mental adalah salah.
Tujuan
utama kali ini adalah melindungi hati Ayase-san dari stres, jadi aku memutuskan
untuk melepaskan harga diriku.
──Kalian tidak akan bertahan sampai ujian.
Ketika
aku mendengar perkataan
Akiko-san, aku terkejut. Sepertinya dia berbicara tentang stres ujian, tetapi
Akiko-san menyadari bahwa Ayase-san sangat tertekan karena tidak ingin bertemu
Ito Fumiya. Dari sudut pandang seorang ibu, Akiko-san juga melihat bahwa
Ayase-san tampak takkan bertahan lama.
Jadi──.
“Kita berdua benar-benar masih
SMA, ya...”
Aku
menggumam hal itu sambil membolak-balik
buku kosakata.
“Aku
ingin cepat dewasa.”
Ayase-san
juga menggumamkan persetujuannya
di sampingku.
“Secara
hukum, seseorang bisa dianggap dewasa sejak mereka menginjak usia 18
tahun... tapi aku tidak terlalu merasakannya.”
“Benar...”
Karena
kami sedang menghafal kosakata, percakapan kami lebih terasa seperti kata-kata
yang keluar dari hati daripada sebuah dialog.
Kemudian,
kami kembali terdiam.
Setiap
kali aku mengangkat wajahku, laut
yang terlihat di tangan kiri bersinar biru diterpa sinar matahari yang masih
rendah dari belakang.
Saat aku
selesai meninjau setengah buku kosakata, pengumuman di dalam mobil mengumumkan
stasiun pemberhentian berikutnya.
Lima
menit lagi menuju
Atami.
“Cepat
sekali, ya.”
Ayase-san
berkata sambil menyimpan buku kosakata ke dalam tasnya.
“Jaraknya
ternyata dekat.”
“Tapi,
jika Asamura-kun tidak mengatakannya, aku tidak akan bisa melarikan diri dengan
cara seperti ini.”
Kontak
dengan Ito Fumiya diurus oleh Akiko-san. Aku tidak tahu bagaimana dia menyampaikannya,
tetapi pihak lain juga sudah setuju. Mungkin dia
menyampaikan sesuatu seperti, 'Karena Saki terlihat tidak bisa
berkonsentrasi belajar, kakak tirinya
mendadak merencanakan pelatihan belajar dan memesan penginapan, jadi dia tidak
bisa bertemu.' Jika benar begitu, aku berpikir bahwa dalam
pikiran Ito Fumiya, Asamura Yuuta
adalah orang yang cukup agresif dan egois, dan aku sedikit tertawa dalam hati
karena kesalahpahaman itu terasa lucu.
Pokoknya,
bisa dikatakan bahwa rencana pelarian ini berhasil untuk sementara.
“Kamu
bisa mengikuti kamp belajar dengan nyaman
tanpa merasa terbebani, itulah
yang terpenting.”
“Masalahnya
terselesaikan dengan mudah, jadi aku sedikit terkejut.”
Ayase-san
tampak lega karena bisa menghindari pertemuan dengan ayah kandungnya yang tidak ingin dia temui. Aku merasa senang bahwa
rencana ini berhasil. Hanya saja──.
“Aku
merasa kalau aku mungkin terlalu memaksa, jadi aku sedikit merenungkannya.”
“……Memang
berani, ya. Tapi aku tidak keberatan. Aku sering melihat pria yang memaksa
tanpa memikirkan situasi orang lain, dan jujur saja, aku pikir itu sangat
buruk.”
“Menurutku
itu juga sangat buruk.”
“Tapi,
aku merasa berterima kasih kali ini. Aku tidak tahu bahwa ada
kalanya merasa lega karena dipaksa.”
“Ayase-san……”
“Jadi,
terima kasih.”
“……Ya.
Sama-sama.”
Aku juga merasa lega karena rupanya usahaku tidak menjadi sia-sia.
Saat
turun dari kereta yang berhenti, aku membuka aplikasi peta untuk menampilkan
petunjuk transfer berikutnya.
Kami
harus naik bus dari stasiun.
◇◇◇◇
Atami
memang merupakan tujuan wisata yang terkenal. Apalagi
karena hari ini merupakan akhir pekan, jadi meskipun masih pagi hari, area depan stasiun
cukup ramai.
Kami
menuju tempat pemberhentian yang telah dituju di sepanjang rel.
Bus
perlahan melaju melalui pusat kota, dengan pemandangan pegunungan yang mulai
berwarna-warni di balik jendela.
“Di
atas gunung, dedaunnya sudah mulai menjadi merah.”
Suara
Ayase-san saat melihat pemandangan luar terdengar
ceria.
“Kupikir itu
masih membutuhkan waktu
sekitar sebulan lagi untuk benar-benar merah. Mungkin saat itu juga bakalan menjadi musim turis.”
“Tapi,
sekarang saja sudah cukup indah. Aku ingin datang ke sini tanpa memikirkan
ujian.”
“Apa ini pertama kalinya kamu ke Atami?"
“Ya.
Aku tidak bisa mengingat
banyak tentang waktu kecil, jadi aku rasa ini yang pertama. Semenjak beranjak remaja, aku
hanya bepergian untuk acara hiking sekolah
dan perjalanan sekolah. Maklum, pekerjaan ibuku seperti itu."
Aku
mengangguk.
Restoran
yang menyajikan alkohol ramai pada akhir pekan. Jadi, bepergian sedikit di
akhir pekan mungkin cukup sulit. Setelah kegagalan bisnis ayah kandungnya, hubungan di dalam keluarganya menjadi dingin, dan situasi
untuk bepergian bersama keluarga pun tidak ada.
──Pada saat anak itu masuk SMP, aku menjadi sangat sibuk.
Akiko-san
juga mengatakan hal yang sama.
Sejak
saat itu, Ayase-san tumbuh menjadi pribadi yang seperti sekarang. Artinya, dia
kesulitan untuk bergantung pada orang lain dan memiliki sifat yang terlalu
mandiri.
──Aku
harap Saki tidak terlalu membebani
dirinya dan bisa beristirahat dengan baik.
──Sebenarnya,
sedikit memaksa pun tidak apa-apa.
Sudah
lebih dari setahun sejak Akiko-san mengatakan hal itu
dan aku mengajaknya ke kolam renang.
Saat itu,
dia awalnya enggan, tetapi setelah sampai di lokasi, sepertinya dia cukup
menikmati.
Benar sekali.
Ketika aku melihat
Ayase-san di kolam renang itu, aku mulai menyadari perasaanku.
Dengan
kedua tangan terentang ke atas langit
biru, dia mengendurkan tubuhnya dan menunjukkan ekspresi seolah-olah melepaskan ketegangan. Saat itu,
aku merasakan getaran kecil di
dalam hatiku.
Di dekat
jendela bus, wajah Ayase-san yang menatap pemandangan yang berubah-ubah
mengingatkanku pada wajahnya saat itu. Aku kembali berpikir dengan kuat bahwa
rumah, sekolah, dan tempat kerjanya adalah tempat-tempat yang selalu membuatnya
tegang. Dia selalu memperhatikan sekeliling dan bagaimana penampilannya dilihat
orang lain, serta bagaimana tindakan dan ucapan dirinya diperhatikan.
Saat ini,
dia ingin melarikan diri dari
tempat seperti itu, dan dia memiliki senyuman lembut di wajahnya, seolah-olah ketegangannya telah hilang.
Rasanya seperti bisa melihat wajah yang ada di balik pertahanan dirinya.
Satu-satunya
foto Ayase-san yang ditunjukkan oleh ayahku sebelum ia menikah lagi.
Dia
terlihat sedang membaca buku fantasi terjemahan untuk anak-anak yang diletakkan
di pangkuannya. Mungkin dia dipanggil untuk difoto, wajah gadis itu menatap
kamera dengan malu-malu, menunjukkan senyuman yang tulus dan bahagia.
Saat itu,
dunia belum sepenuhnya menjadi musuh baginya.
Menurut
Akiko-san, saat musim panas, dia sering mengeluh ingin pergi ke kolam renang
atau meminta es krim, jadi aku rasa jarang melihatnya diam membaca buku. Mungkin
foto yang tenang itu memang bagus untuk diperkenalkan. Dari foto itu, terlihat
bahwa saat itu Ayase-san memiliki sifat yang jujur, polos, dan ceria, merasa bahwa dunia
adalah temannya.
Jika dipikir-pikir kembali, tingkah
lakunya yang mengeluh ingin pergi ke kolam renang atau meminta es krim pernah dijelaskan oleh Akiko-san karena
dia tidak suka panas, tetapi mungkin saja Ayase Saki sebenarnya menyukai
aktivitas anak-anak seperti bermain di kolam renang atau memakan es krim.
Akiko-san
juga menyukai es krim. Selama musim panas, selalu ada es krim yang tersedia di freezer.
“Ayase-san,
mau makan es krim?”
Tanpa
sadar aku mengucapkannya, dan setelah itu aku teringat tempat dan waktu.
Artinya, kami berada di dalam bus, dikelilingi oleh banyak turis, dan──.
“……Di musim gugur begini?”
Ayase-san
yang melihat ke luar jendela menoleh dengan mata terbelalak.
“Oh,
ya. Aku tahu.”
“……Menurutku hari ini tidak terlalu panas juga.”
“Aku
tahu. Tidak, bukan apa-apa.
Tolong abaikan saja tadi.”
Kami
saling terdiam sejenak.
“Aku cuma
berpikir kalau ini tempat wisata, mungkin saja ada es krim lokal.”
Itu
adalah alasan yang terucap secara tiba-tiba, tetapi sepertinya dia menerima
penjelasanku, dan sambil mengangguk, Ayase-san berkata, “Mungkin kita bisa mencarinya.”
Pengumuman
di dalam bus terdengar. Nama pemberhentian yang dituju diumumkan. Sepertinya
kami hanya perlu menempuh perjalanan sekitar lima menit. Aku buru-buru menekan
tombol untuk turun.
Setelah
turun di pemberhentian, kami menaiki jalan setapak berbatu yang sempit menuju
sebuah penginapan di atas bukit. Seperti yang diharapkan, penginapan ini cukup
besar karena digunakan untuk kegiatan belajar di lembaga pendidikan. Tinggi gedungnya tidak terlalu tinggi, mungkin
sekitar lima lantai. Suasananya mirip dengan penginapan besar yang biasa
digunakan untuk sekolah luar ruangan atau perjalanan sekolah.
Tidak
hanya kamar tamu, ada juga beberapa ruangan yang bisa digunakan sebagai ruang
rapat. Tentu saja, jika tidak ada ruangan tersebut, tidak mungkin ada sesi belajar-mengajar selama
kegiatan belajar di lembaga pendidikan.
“Reservasi
sudah atas nama Asamura,”
kataku.
“Baik, saya sudah mengonfirmasinya.”
Karena
reservasi atas nama ayahku dengan menyebutkan kalau
kami kakak beradik, jadi tentu
saja itu akan terdaftar sebagai “Asamura
Yuuta” dan “Asamura Saki.”
Artinya,
selama perjalanan ini, dia akan menjadi “Asamura
Saki.”
“Kalau
begitu, mungkin lebih baik kita memanggil satu sama lain sama seperti di rumah.”
“Ah…
benar juga.”
“Jadi,
hari ini dan besok, aku harus memanggilmu 'Yuuta-niisan', ya. Mohon
bantuannya nanti ya, Yuuta-niisan.”
“Mohon
bantuannya juga. Ehm, Saki.”
Kalau
diingat-ingat kembali, satu-satunya
perjalanan jauh yang pernah aku lakukan dengan Ayase-san hanya
saat kami pulang kampung bersama keluarga,
perjalanan sekolah, dan berkemah.
Selama
ini, meskipun kami meninggalkan kota Shibuya,
biasanya selalu ada
keluarga, teman, atau rekan kerja di sekitar kami.
Ini adalah pertama kalinya kami benar-benar bepergian berdua.
Hanya kami berdua──.
Perjalanan
keluarga kami berdua. Benar sekali. Agar tidak melupakan hal itu,
sebaiknya kami memanggil satu sama lain seperti di rumah: “Yuuta-niisan” dan “Saki”.
Di balik
pintu otomatis besar, terlihat meja resepsionis setelah melewati ambang pintu
tradisional Jepang dan menginjak karpet merah. Ketika melihat para karyawan
yang mengenakan pakaian tradisional, kami kembali menyadari bahwa ini adalah “penginapan”. Sebagai informasi, jika sebagian besar kamar tamunya ruangan bergaya Jepang, itu
disebut penginapan, sedangkan jika sebagian
besar kamarnya adalah ruangan bergaya Barat, itu disebut hotel.
Jika skalanya kecil, itu disebut penginapan keluarga. Namun, pada dasarnya,
semuanya merupakan tempat
untuk menginap.
Waktu
menunjukkan sekitar pukul 10 pagi. Kami
diberitahu kalau kami baru bisa
masuk ke kamar mulai pukul 11, jadi
kami menunggu di lobi dengan meja sambil belajar.
◇◇◇◇
Kamar
yang ditunjukkan kepada kami adalah ruangan bergaya Jepang dengan luas sekitar
delapan tatami. Tirainya dibuka lebar-lebar dan dari jendela besar
yang menghadap ke selatan, aku bisa melihat
pemandangan laut.
“Sudah
lama sekali aku tidak melihat tatami.”
Itulah yang
dikatakan Ayase-san saat dia membuka
pintu dan mengintip ke dalam kamar.
Kata-kata
yang seolah merindukan masa lalu membuatku teringat bahwa Ayase-san pernah
bilang kalau dirinya
tinggal di kamar berukuran enam tatami. Aku khawatir apa seharusnya lebih baik
memilih ruangan bergaya Barat jika itu mengingatkannya pada masa lalu, tetapi
melihat senyumnya, aku merasa lega karena sepertinya dia tidak memiliki trauma
terhadap tempat seperti itu.
“Setelah melihat
kamar ini, kita benar-benar merasakan bahwa ini bukan hotel, melainkan
penginapan. Tapi di sisi lain, kesan seperti kegiatan belajar jadi hilang.
Rasanya seperti sekolah luar ruangan yang sebenarnya.”
“Bukankah
kamarmu menggunakan tatami selama kamp
pelatihan musim panas?”
“Tidak,
kamar yang aku gunakan justru kamar pribadi bergaya Barat.
Tempat seperti hotel bisnis.”
Walaupun
sebenarnya hampir tidak mungkin bagi pelajar SMA untuk menginap di hotel sendirian, jadi itu
adalah penilaian berdasarkan pengetahuan di kepalaku.
Sambil
menjawab pertanyaan Ayase-san, aku membawa barang-barang ke dalam dari koridor.
“Oh,
maaf. Seharusnya aku bisa membawanya sendiri.”
“Ini
tidak masalah, jadi jangan khawatir.”
“Terima
kasih, ini sangat membantu.” “Mari kita rapikan barang-barang
ini dulu.” “Baiklah,
setelah itu kita bisa mulai belajar.” Kami berbincang seperti itu sambil melepas sepatu dan
masuk ke dalam kamar.
“Tapi…
sekarang sudah jam 11, jadi waktu makan
siang segera tiba. Kita mau makan siang di mana?”
“Makanan
di penginapan hanya ada malam
saja, ‘kan?”
“Malam
dan pagi. Makan malam dan sarapan besok sudah termasuk dalam biaya menginap.
Ayah sudah memperingatkan bahwa kita tidak boleh melewatkan waktu makan.”
Aku
sebelumnya berpikir untuk mencari paket menginap yang murah, tetapi tampaknya
cara hemat ala pelajar terasa berbahaya di mata orang tua. Dari sponsor, aku
hanya bisa mendengar satu perintah: 'Makanlah.' Manusia memang tidak
bisa melawan sponsor. Frederick Brown juga pernah mengatakan hal itu.
“Siapa
itu?”
“Penulis
fiksi ilmiah dari zaman dulu.”
“Hmm,
begitu.”
Ayase-san,
yang merasa itu adalah pembicaraan tentang novel lain, berhenti
memperhatikannya dan mulai menjelajahi area dalam
kamar.
Aku
meletakkan tas olahragaku di sudut
kamar berukuran delapan tatami, lalu duduk di kursi rendah di depan meja dan
berniat menyiapkan teh untuk menghilangkan kelelahan perjalanan.
Tangan
yang kujatuhkan di samping pinggang menyentuh
tatami, dan aku merasakan tekstur semak-semak
yang kasar di telapak tanganku yang sudah terbiasa dengan
lantai kayu yang dingin. Rasanya seolah-olah
ada kehangatan yang muncul. Ah, ini memang tatami, pikirku. Aku juga
merasakan aromanya. Aku ingin berbaring telentang dan tidur. Sambil berpikir
apa seharusnya memilih ruangan bergaya Barat, aku juga mulai berpikir bahwa
ruangan bergaya Jepang ini pun menyenangkan.
Mungkin
karena ini bukan kehidupan sehari-hari. Kamar tatami pasti memiliki kerumitan
tersendiri. Mungkin juga tidak mungkin menempatkan robot pembersih otomatis di
sini. Ketika aku iseng-iseng
mencari tahu di ponsel, aku menemukan tulisan
yang mengatakan bahwa robot pembersih terbaru bisa digunakan di ruangan bergaya
Jepang, dan aku terkejut menyadari bahwa sudah lama aku
tidak mengikuti informasi perkembangan
zaman.
“Asamura-kun,
gawat! Ada bak mandi!”
Ayase-san
yang menghilang ke arah wastafel mengeluarkan suara bersemangat. Meskipun aku
berpikir itu sudah jelas, aku bangkit dari duduk dan menuju suara itu.
“Apa itu bak mandi yang aneh? Oh, ini bak
mandi kayu…”
“Air
bak mandinya adalah air panas dari sumber mata air!”
Ucap Ayase-san
sambil menunjuk pada catatan yang
ditempel di dinding.
Ada bak
mandi di dalam kamar. Itu mungkin hal yang
biasa, tetapi ini adalah daerah mata air panas. Aku
tidak menyangka bahwa bak mandi di dalam kamar juga sampai menggunakan air panas. Kupikir itu cuma ada di pemandian besar, tetapi mungkin
inilah yang disebut penginapan di daerah mata air.
“Seperti
yang diharapkan dari Atami.”
“Ada
sedikit bau belerang, ya.”
Ayase-san
berkata sambil mendekatkan hidungnya ke air yang mengalir dari keran.
“Dengan kata
lain, kita bisa berendam di air panas tanpa harus
pergi ke pemandian umum?”
“Meski
rasanya sangat disayangkan juga sih.”
“Benar.
Mumpung ada pemandian yang lebih besar.”
Karena
kami sudah jauh dari kehidupan sehari-hari dan datang ke tempat peristirahatan,
aku ingin menikmati bak mandi yang bisa membuatku meregangkan tangan dan kaki sepenuhnya. Yah, mungkin keputusan tentang bak
mandi bisa ditunda nanti.
Kami
kembali ke ruang tamu dan duduk di kursi yang saling berhadapan di dekat
jendela. Sambil menikmati teh yang baru diseduh, kami menghabiskan waktu
sejenak menikmati pemandangan hingga kelelahan perjalanan kami mulai menghilang. Langit yang terlihat
dari jendela tampak berwarna biru
musim gugur tak berawan. Cakrawala itu bertemu dengan birunya
laut di kejauhan.
Sayangnya,
ketika aku menarik pandangan lebih dekat, aku bisa
melihat pemandangan kota Atami, dan bukan pantai berpasir yang indah. Mau
bagaimana lagi karena ini bukan penginapan tepi laut. Jika bangunannya tidak
dibangun di tempat yang sedikit lebih tinggi, mungkin kami tidak akan bisa
melihat laut sama sekali, jadi kami bersyukur bisa mendapatkan pemandangan yang
mirip pemandangan laut.
“Ups,
kita tidak boleh lupa tentang topik utama hari ini.”
Ayase-san
berkata sambil mulai berjalan di atas tatami
menuju koper. Melihatnya mengeluarkan alat-alat belajar, aku juga mengeluarkan
buku soal dan catatanku.
Kami
meletakkan kursi di kedua ujung meja rendah dan mulai belajar.
Bagaimanapun
juga, ini adalah kegiatan belajar yang sebenarnya.
Sepertinya
Ayase-san sedang mengulas kembali
pelajaran sejarah, terlihat dari foto kuil dan patung Buddha yang muncul di
tepi buku kerja yang terbuka. Mungkin dia ingin memperkuat mata pelajaran yang
dia kuasai.
Sementara
itu, aku memutuskan untuk mengerjakan soal latihan matematika. Ini adalah waktu
yang tepat untuk berkonsentrasi
dan berpikir.
Pada awalnya,
aku bisa menyelesaikan soal-soal dengan lancar, tetapi kemudian aku terjebak
pada soal yang sulit.
Singkatnya,
soal tersebut meminta untuk “buktikan
teorema penjumlahan”. Bukan memecahkan sesuatu dengan
teorema, melainkan membuktikan teorema itu sendiri.
Ingatanku
terbang entah kemana.
Seharusnya ini adalah sesuatu yang sudah dipelajari di kelas atau di buku
referensi, dan seharusnya ini bukan masalah yang sulit.
Aku
menggambar segitiga di dalam lingkaran satuan, mencoba berbagai cara, tetapi
akhirnya melewati waktu yang ditetapkan untuk soal tersebut. Meskipun aku masih
terus berpikir, otakku mulai terasa panas, jadi aku menyerah dan melihat kisi-kisi jawabannya.
“Ah…
Begitu, ya.”
Setelah
melihat jawabannya, aku teringat bahwa ketika guru menjelaskan teorema
penjumlahan, dia menuliskan hal yang sama di papan untuk menunjukkan mengapa
rumus itu berlaku. Namun, manusia sering kali melupakan proses yang membawa
mereka ke rumus yang berguna.
Aku
menyalin buktinya ke dalam catatan sambil perlahan-lahan mengikuti
pembuktiannya. Aku merenungkan bahwa hanya mengingat teorema setelah dibuktikan
tidak ada gunanya.
Misalnya saja,
pikirku di sudut pikiran.
Aplikasi
peta di ponsel yang sering aku gunakan hari ini menggunakan GPS. Demi membuat GPS bisa berfungsi, diperlukan sinyal dari
satelit buatan yang berada di orbit geostasioner. Dan untuk mengetahui bahwa
orbit geostasioner berada sekitar 36.000 kilometer di atas ekuator, kita harus
memahami bahwa bumi berbentuk bulat dan hukum gravitasi universal berlaku.
Namun, ketika kita menggunakan aplikasi peta, hampir tidak ada kesadaran
tentang sejarah perkembangan teknologi tersebut.
Dalam
kehidupan sehari-hari, tidak perlu mengetahui proses terbentuknya semua alat,
tetapi penting untuk diingat bahwa barang-barang praktis saat ini berdiri di
atas tumpukan sejarah masa lalu. Terkadang, hal ini juga muncul dalam ujian.
Masa lalu adalah fondasi bagi masa kini.
Ngomong-ngomong,
karena efek relativitas bekerja pada satelit buatan, untuk menjaga satelit
geostasioner tetap stabil di orbit, diperlukan koreksi orbit secara teratur. Dengan kata lain, kita
setiap hari menikmati manfaat dari teori relativitas Einstein, meskipun hal itu
sering kali tidak disadari. Di balik aplikasi peta terdapat sejarah fisika yang
padat, mulai dari Galileo, Newton, hingga Einstein.
Berkat
itu, kami dapat sampai ke Atami tanpa
tersesat.
Mungkin
karena otakku sudah mendidih saat memecahkan soal, imajinasi yang terlalu besar
ini muncul. Namun saat aku melihat jawaban, aku melihat catatan sumber
soal.
1999,
Universitas Tokyo.
Ah…
Setelah
menghela napas, aku meraih cangkir teh yang sudah dingin. Meskipun sudah
dingin, rasanya begitu menyegarkan untuk tenggorokan yang
kering. Secara tiba-tiba, aku melihat jam tangan yang terletak di meja dan
melihat waktu.
“Ah.”
Tanpa
sadar, suaraku keluar.
Jam
menunjukkan pukul 2:05 sore.
Mungkin demi
bisa berkonsentrasi, Ayase-san telah menghubungkan
earphone ke ponselnya dan memutuskan suara dari dunia luar saat belajar. Namun,
dia segera menyadari keadaanku dan melepas earphone sambil melihat ke
arahku.
“Ada
apa?”
“Tidak.
Waktunya.”
“Eh?”
Ayase-san
juga memeriksa waktu di arlojinya
dan terlihat terkejut.
“Sudah
jam segini!?”
“Sepertinya
sudah bukan waktu makan siang lagi...”
Begitu
aku mengatakannya, perutku mengeluarkan suara protes.
“Apa enaknya kita perlu membeli sesuatu?”
“Aku
juga ikut. Aku ingin istirahat sebentar.”
Kami
berpikir bakalan ada minimarket terdekat
jika berjalan sedikit, jadi kami keluar dari penginapan.
◇◇◇◇
Kami berdua akhirnya tiba di dalam minimarket.
Mempertimbangkan
waktu hingga makan malam, kami membeli satu “sushi
ikan makarel” yang terletak di bawah papan bertuliskan "spesial."
Bagi kami
berdua, ini sudah cukup. Selain itu, karena kami berada di Atami, kami tentu
ingin menikmati makanan laut—meskipun aku juga berpikir tentang kemungkinan itu
muncul di makan malam, tapi ya sudahlah.
Setelah
menerima kunci di meja depan, saat kami hendak kembali ke kamar, seorang wanita
yang tampaknya pemilik penginapan kebetulan ada di sana dan terkejut bertanya, “Apa kalian baru saja keluar?”
“Kami
sedikit lupa waktu.”
Kemudian,
ekspresinya berubah seolah-olah
dia mengerti.
“Karena
kalian datang untuk belajar sih,
ya. Ayahanda kalian pasti merasa lega karena kalian memiliki
hubungan kakak beradik yang baik.”
Dia
mungkin teringat penjelasan ayahku saat
mendaftar di penginapan. Pemilik penginapan itu tersenyum dan berkata demikian.
Aku dan Ayase-san hanya bisa membalas dengan senyum yang samar.
“Sejak
kalian tiba di sini, kalian sudah belajar, ya. Terima kasih atas kerja
kerasnya.”
Saat dia
membungkukkan kepala, aku merasa sangat rendah hati dan hanya bisa menjawab, “Tidak, tidak. Itu tidak seberapa.” Ternyata, tindakan kami selama
menunggu di lobi juga diperhatikan dengan baik. Dia segera memuji kami. Memang,
dia merupakan seorang profesional dalam
pelayanan.
Meski begitu,
aku merasa terkesan dengan seberapa banyak
informasi tentang setiap tamu yang dia ingat dan bagaimana dia melayani mereka.
Seharusnya ada banyak tamu setiap harinya. Rasanya
sungguh mengesankan. Mungkin karena kami memilih check-in
lebih awal dan langsung belajar setelah tiba, keberadaan
kami jadi mencolok…
Jika
seseorang hanya mendengar bahwa ada kakak
beradik datang ke Atami untuk belajar ujian, mungkin
mereka akan berpikir bahwa kami
berasal dari kalangan bangsawan. Padahal, sebenarnya aku merasa cukup tertekan di
balik semua ini.
“Apa
kalian berdua sudah melihat taman? Tempat itu lumayan bagus
untuk menyegarkan pikiran.”
“Eh?
...Taman, ya?”
Setelah aku menanyakannya kembali, kami diberitahu bahwa ternyata
penginapan ini memiliki taman yang bisa dijelajahi secara bebas.
Setelah
berpisah dengan pemilik penginapan, kami memutuskan untuk berjalan-jalan di
taman yang dia ceritakan.
Jika sekarang musim panas, mungkin makanan
kami akan rusak karena panas, jadi kami mungkin sudah kembali ke kamar, tetapi
saat ini, berjalan-jalan sedikit tidak masalah.
Kami
berjalan melalui batu-batu datar yang mengelilingi penginapan, menjelajahi
taman.
Terdapat
halaman rumput di kedua sisi jalan berbatu yang tetap hijau meski sudah
memasuki musim gugur. Di sisi lain halaman telah ditanam semak sebagai pohon
taman, pohon pendek yang cabang dan daunnya telah dipangkas membentuk lingkaran
sempurna. Daunnya yang beraneka warna memanjakan mata. Di tengah jalan setapak,
ada sungai kecil yang mengalir dan mengalirkan air ke kolam kecil. Dari atas
jembatan lengkung, aku bisa melihat ikan koi berenang dengan tenang,
mengibaskan siripnya.
“Lucunya.”
“Katanya
kita bisa membeli makanan dan memberi makan mereka.”
Ada papan
informasi di tepi kolam yang menyatakan hal tersebut.
Di ujung dataran
tinggi di sisi utara, tampaknya ada pohon-pohon tinggi yang ditanam, dan
daun-daunnya mulai menguning, menyatu dengan pemandangan pegunungan di
belakangnya. Kemungkinan besarDedaunan di sekitar sini mungkin akan berubah
warna menjadi merah cerah dalam sebulan ke depan. Bagian
atas gunung sudah mulai merah.
“Jika
musim gugur lebih lama sedikit lagi, mungkin itu akan lebih indah.”
“Tapi,
warna dedaunan
seperti ini juga lumayan
bagus. Pemandangannya indah dan udaranya segar.”
Ayase-san
yang sedang menarik napas dalam-dalam tampak lebih santai, menghilangkan
suasana tegang yang dia tunjukkan dalam beberapa hari terakhir. Aku merasa
lega.
“Terima
kasih, Asamura-kun—eh salah,
maksudku Yuuta-niisan.”
Ucap
Ayase-san sambil bersandar di pagar jembatan.
Aku
tersenyum kecut melihat Ayase-san berusaha
memanggilku “Nii-san” dengan
memperhatikan sekeliling. Aku hanya bisa menjawab, "Tidak masalah”.
“Yah,
sebenarnya kamu tidak
perlu terlalu khawatir, karena
tidak ada orang di sini.”
Mungkin
karena waktu check-in segera berganti, jadi hanya
ada kami berdua yang berjalan-jalan
di taman. Dengan
alasan untuk sekedar berjaga-jaga, Ayase-san menatap kolam sambil
berkata pelan.
“Sungguh,
terima kasih... Aku merasa
kalau aku tidak bisa berkonsentrasi
belajar selama beberapa waktu, tapi aku bekerja sangat keras selama tiga jam
terakhir ini. Rasanya seperti sudah lama aku 'belajar dengan baik'.”
“Itu
bagus.”
“Aku
selalu merasa berterima kasih karena kamu selalu memperhatikan dan melakukan
berbagai hal untukku.”
“Yah,
wajar saja jika kita ingin
membantu orang yang kita cintai.”
Untuk sesaat,
tatapan kami berdua saling
bertemu.
Ayase-san
lalu mengalihkan pandangannya dan
menghela napas ke kolam.
Seekor
ikan koi yang sedang berenang dengan
cepat menyelam ke dalam air. Gelembung-gelembung kecil muncul dari mulutnya
yang besar, gelembung kecil itu muncul
dan mengapung di permukaan, lalu menghilang.
“Aku
jadi ingin punya kakak laki-laki seperti Asamura-kun.”
“Kamu
mengatakan hal yang sulit untuk diartikan.”
Entah itu
cinta keluarga atau sesama manusia,
jika itu demi bisa membantu Ayase-san, itu sudah
cukup baik, jadi aku tidak menyangkalnya——Tapi
setelah menyadarinya, aku merasa sulit untuk tetap hanya dengan perasaan sebagai kakak.
“Jika
aku hanya menjadi kakak, itu agak merepotkan. Jika 'suka' yang dimaksud
hanya dalam konteks kakak, itu akan lebih mudah.”
Ketika
aku mencoba menjelaskan perasaanku dengan baik, rasanya malah menjadi kalimat
yang memalukan.
“Yuuta-niisan...”
“Yah,
memang aku di sini sebagai kakak sekarang sih.”
“Ah...”
Setelah melihat sekeliling kami untuk memastikan
tidak ada orang di sekitar, Ayase-san mendekat dan berbisik padaku.
“Lalu,
perasaan suka seperti apa yang dimiliki Asamura-kun
yang bukan sebagai kakakku?”
Jantungku
berdegup kencang.
Ayase-san
berkata demikian sambil memberi tatapan menengadah ke arahku.
“Aku minta
maaf karena sudah mengajukan pertanyaan yang menyebalkan.
Tapi, belakangan ini aku sering memikirkannya.”
Sambil
mengalihkan pandangannya ke permukaan air, Ayase-san mulai merangkai kata-katanya.
“Aku
jadi penasaran, apa yang membuat ibuku
jatuh cinta pada orang itu. Bagaimana orang itu bisa jatuh cinta pada ibuku?”
Dia
menyebut ‘orang itu’ dengan suara yang terdengar
ketakutan. Ujung kalimatnya bergetar lembut. Suara itu lebih kecil dari bunyi gemerisik dedaunan yang ditiup angin, hampir tidak
terdengar di telingaku.
“Satu-satunya
yang aku ingat tentang perilakunya adalah wajahnya yang menakutkan dan teriakan
sebelum mereka berpisah. Aku sama sekali tidak bisa membayangkan perasaannya
ketika bertemu ibuku...”
Ayase-san
berkata bahwa masa lalu terasa jauh dan ingatannya menjadi samar-samar.
“Jadi kamu
ingin tahu apa yang membuatku jatuh cinta padamu,
Ayase-san?"
“Ya.
Asamura-kun juga awalnya memperlakukanku seolah-olah aku orang asing, ‘kan?”
“Memang.”
Seorang
adik tiri pada dasarnya adalah orang asing.
Kami tidak
mempunyai hubungan darah, dan kami juga tidak berbagi masa lalu yang
telah terakumulasi. Secara
harfiah, kami adalah orang asing—orang lain.
Itulah
sebabnya, pada hari itu satu setengah tahun yang lalu, aku memutuskan untuk
hidup bersama sebagai orang lain yang baik agar bisa rukun dengannya. Itulah mengapa aku berusaha
menyesuaikan diri dan menjaga jarak yang tepat.
Kapan itu
mulai tidak berfungsi dengan baik?
“Aku
bertanya-tanya apakah perasaan awal saat jatuh cinta itu akan menghilang.”
Ayase-san
mengatakannya dengan suara penuh kesedihan.
“Hal
seperti itu...”
“Tapi, yang namanya perasaan itu tidak
terlihat, kan? Mengapa ibuku jatuh cinta pada orang itu? Dan mengapa orang itu
jatuh cinta pada ibuku? Pasti ada perasaan awal yang ada...”
“Apa
kamu ingin tahu tentang itu, Ayase-san?”
“Ya.
Aku merasa penting untuk mengingat dan menjaga hal-hal itu jika ingin
mempertahankan hubungan dalam jangka panjang. Orang itu telah melupakan hal
itu. Berbeda dengan bangunan bersejarah, perasaan semacam itu tidak
bisa disimpan atau diingat.”
Di
permukaan air, bayangan bangunan
di depan kami terlihat terbalik.
Ayase-san
mengangkat pandangannya dan melihat bangunan penginapan.
Itu adalah bangunan yang cukup tua dan terpisah dari tempat kami menginap.
Mungkin dibangun pada era Showa. Sepertinya ada tulisan ‘gedung lama’. Fasilitasnya
tua, dan jumlah kamar tamunya tidak banyak, sehingga jumlah tamu yang menginap
di sana tidak banyak.
“Walaupun
gedung itu sudah tidak digunakan lagi
sebagai penginapan, mereka tetap merawatnya dengan baik. Meski dari kejauhan, aku
bisa melihat bahwa perawatannya dilakukan dengan baik. Atapnya tidak ada yang
pecah, dan kaca jendelanya pasti baru diganti, tapi tidak ada noda sedikit pun
dan terlihat bersih.”
Penginapan
yang sudah lama berdiri ini tetap ada di sini selama bertahun-tahun—meskipun
waktu berlalu, mereka bisa terus menyimpan sejarah yang ada, karena orang-orang
yang mengelola penginapan
ini menghargai perasaan ketika para tamu yang datang saat ryokan ini dibangun
berpikir bahwa ini adalah tempat yang baik.
Mereka
menghargai perasaan ingin kembali ketika melihat bangunan ini.
Sambil
melihat bangunan tua itu, Ayase-san berkata demikian.
Kalau
begitu—.
Bukannya
hubungan antar manusia juga sama?
“Bagaimana
menurutmu cara pandang kita terhadap seseorang
ketika jatuh cinta padanya?”
“Bagaimana...?”
Aku
berusaha mengingat saat-saat aku merasakannya.
“Kamu
tidak bisa mengingatnya?”
“Tidak,
bukannya aku tidak bisa mengingatnya. Sebenarnya... aku tidak tahu.”
Ayase-san
memicingkan matanya.
Tunggu.
Bukan itu maksudku.
“Ehmm, aku ingin kamu tenang dulu dan mendengarkanku.”
“Yah... aku akan mendengarkan.”
Aku
berharap perasaanku tentang bibirnya yang sedikit meruncing itu hanya khayalanku saja.
“Menurutku,
saat seseorang jatuh cinta dengan
orang lain, hal itu tidak
selalu harus disertai dengan peristiwa dramatis.”
Aku
teringat pada pemikiran yang sama satu setengah tahun yang lalu.
Perasaan cinta
dalam kenyataan tidak selalu memiliki momen jatuh cinta yang sempurna seperti
dalam cerita cinta di drama. Itu adalah peristiwa yang disisipkan untuk
memudahkan pembaca memahami alur cerita cinta—
“Pada
kenyataannya, peristiwa dramatis tidak sering terjadi.”
“Ka-Kalau begitu. Apa yang membuatmu
menyadari bahwa kamu menyukaiku?”
“Eh...”
“Jangan
bilang. Kamu tidak mengingatnya?”
“Tidak,
tidak, tidak! Aku ingat. Tentu saja aku mengingatnya.”
Saat aku
menyadari bahwa aku menyukai dia──.
“Ketika
kita pergi ke kolam renang tahun lalu.”
“Eh...”
Dia
membuka lebar matanya dengan terkejut.
Apa yang
harus kulakukan? Apa aku harus
menceritakan perasaan saat aku menyadari bahwa aku menyukainya kepada orang
yang bersangkutan? Bagaimana pendapat orang-orang tentang hal ini?
Ah,
peduli amat dengan pendapat orang lain.
Yang
penting sekarang adalah menjawab pertanyaan Ayase-san
yang sedang gundah.
Dia
menanyakan bagaimana cara pandang
kita terhadap seseorang yang kita sukai.
“Ketika
kita bermain di kolam renang itu.”
“Ketika
kita bermain... saat kita sedang bermain game?”
“Tidak,
ehm...”
Aku tidak
menyangka akan membahas hal sekecil itu.
“Ada
waktu ketika kita berdua istirahat, ‘kan?”
“Ah,
setelah acara yang direncanakan Maaya, ya.”
“Ya,
mungkin saat itu.”
Ketika
kami berdua istirahat, aku memperhatikan Ayase-san
yang sedang meregangkan tubuh dan terlihat santai.
“Pada waktu itu aku sedang kelelahan. Tapi saat melihat Ayase di
sampingku, entah kenapa, hatiku terasa ringan, hangat, semacam kehangatan
seperti itu. Dan ketika aku menyadari itu, jantungku terasa sedikit berdebar. Ah,
aku menyukai gadis ini, begitulah aku
menyadarinya... kira-kira
begitu.”
Menjelang
akhir, suaraku sedikit cepat, dan aku tidak bisa menatap Ayase yang menatapku,
jadi aku mengalihkan pandanganku.
Itu sama sekali tidak logis dan sulit untuk diungkapkan, tetapi jika harus
mengungkapkan perasaan yang jujur, aku hanya bisa mengatakannya seperti itu.
“Hee...”
Eh, apa-apaan dengan reaksinya itu.
“Jadi begitu rasanya...”
Meskipun
dia mengatakan begitu, aku tidak tahu bagaimana rasanya.
“Apa itu... aneh?”
Ayase-san menggelengkan kepalanya dengan panik.
“Tidak
aneh. Tidak ada yang aneh, kok.”
“Yah, itulah
sebabnya aku secara tidak sadar memiliki perasaan suka.
Mungkin aku tidak pernah benar-benar memikirkan alasan mengapa aku menyukai
seseorang.”
“Hmm.”
Dia
tampak masih tidak puas.
“Ka-Kalau gitu, bagaimana denganmu sendiri, Ayase-san?”
Aku
mengajukan pertanyaan kembali, dan kali ini Ayase-san
terdiam sejenak. Dia menunjukkan ekspresi berpikir.
“Aku...”
“Ya.”
“Itu sih, ya, benar, sejak awal, Asamura-kun adalah orang yang
baik...”
“Kalau
aku sih, di luar sana pasti ada banyak orang seperti aku. Ehm, jadi, jika aku
terlihat sebagai orang baik bagimu. Dari pembicaraan tadi, jika kamu terus
mengingat itu, berarti kamu akan selalu menyukaiku, ‘kan?”
“Aku rasa
aku akan terus menghormatimu.”
“Jadi,
kamu menyukaiku karena kamu menyadari bahwa aku bisa dihormati?”
“Ah...
Mungkin itu tidak benar.”
Dia
kemudian berbicara dengan suara lebih pelan.
“Yah. Aku juga mengingat saat aku menyadari bahwa
aku menyukai Asamura-kun. Tapi, ya... Kapan perasaan itu mulai, aku sendiri tidak begitu tahu.”
“Kalau
begitu, kita ada di posisi yang sama.”
Meskipun dia menyetujuinya, tapi Ayase-san masih belum terlihat puas.
“Tapi,
jika dilihat dari sudut tertentu, perasaan Asamura-kun bisa jadi dipicu oleh
penampilanku saat memakai bikini...”
Hah?
Sebenarnya,
kelihatannya memang bisa seperti
itu, tapi...
“Bukan, begitu.”
“Dari apa
yang kamu katakan, sepertinya kamu merasa berdebar-debar saat melihatku dalam balutan bikini.”
“Jika aku
membantah, mungkin terdengar seperti kebohongan... tapi... bukan begitu maksudku.”
Itu
adalah kenangan yang ingin aku simpan, tetapi bukan dalam konteks itu.
“Kita ‘kan
sedang membicarakan tentang pemicu, pemicunya. Aku ingin kamu mendengarnya.”
“Aku
mendengarkannya kok.”
Aku mulai
merasakan bagaimana perasaan terdakwa yang diizinkan untuk memberikan pernyataan
di depan hakim.
“Jadi,
ehm... Karena aku melihat Ayase-san berpenampilan
seperti itu untuk pertama kalinya...”
“Berpenampilan seperti itu? Bikini? Apa
itu terlalu menggoda?”
“Lupakan
bagian itu. Bukan itu maksudku──”
Aku harus
mengungkapkannya dengan kata-kata. Aku berusaha
mengingat kembali perasaan saat itu.
Jika
terus begini, akan ada kesalahpahaman.
“──Ketika
aku melihat Ayase-san dalam
keadaan santai seperti itu, aku merasakan semacam nostalgia yang sangat kuat.”
“Nostalgia...”
“Aku bisa
bilang itu seperti sesuatu yang pernah kulihat sebelumnya. Setelah
kupikir-pikir lagi, mungkin saat beristirahat
di kolam renang itu, Ayase-san
terlihat sangat santai dan memiliki ekspresi yang bahkan terlihat polos. Aku
pernah melihat wajahmu seperti itu.”
Ayase-san memiringkan kepalanya.
“Di
mana?”
“Ketika
kita masih kecil.”
“... Apa
kamu tidak sedang mengingat kenangan yang tidak pernah
ada?”
“Tidak,
tidak. Bukannya begitu. Ingat,
Ayase-san, kamu pernah menunjukkan foto sebelum kita
bertemu, kan?”
Kalau mau
dibilang, aku melihatnya melalui ponsel ayahku, dan foto itu adalah
satu-satunya potret berharga dari Ayase-san
yang tidak suka difoto──itu adalah fotonya
saat di sekolah SD.
Dia
terlihat sedikit malu dengan tatapan ke atas, menghadap kamera. Ekspresi itu terbayang kembali
saat Ayase-san
meregangkan tubuhnya di kolam
renang.
“Ketika
kamu menyadari bahwa itu sangat mirip dengan diriku saat kecil, kamu mulai meyakini bahwa kamu menyukaiku? Eh, jadi kamu punya selera seperti itu, Asamura-kun?”
Sama
sekali tidak.
“Aku
takkan menghakimi selera orang lain karena itu adalah pelanggaran etika,
tetapi... begitu ya...”
“Sudah
kubilang, bukan begitu.
Jadi, dengarkan dulu.”
Aku tidak
mengatakan bahwa aku menyukai wajah anak-anak. Ayase-san, tolong jangan berimajinasi terlalu berlebihan.
“Aku
teringat ekspresi di dalam
foto itu dan berpikir bahwa gadis yang ada di
depanku masih memiliki bagian dari dirinya yang
masih kecil dulu.”
“Dengan kata
lain, orang
yang kamu sukai adalah diriku yang masih anak-anak, ‘kan?”
“Tidak,
tidak, tidak. Jika hanya dari wajah, aku malah
lebih menyukai yang sekarang── bukan itu. Dalam hatiku, pada
saat itu, sosok Ayase Saki menjadi lebih nyata.”
“Lebih
nyata?”
“Iya, gadis
di depanku adalah manusia yang hidup. Walaupun aku bisa mengetahuinya dengan melihatnya.
Tapi untuk benar-benar memahami siapa dirimu,
hal tersebut merupakan hal yang berbeda.
Seolah-olah resolusinya menjadi
naik. Bukan orang lain, tetapi individu bernama Ayase Saki terasa sangat nyata
pada saat itu.”
Bersenjata
berarti menutupi jati diri aslinya dengan
avatar.
Artinya dia
menunjukkan diri yang ingin dia tunjukkan.
Dan itu berarti, dia menyembunyikan
diri yang tidak ingin ditunjukkan.
Namun,
kita tahu bahwa seseorang tidak hanya terdiri dari bagian-bagian yang ingin
ditunjukkan kepada orang lain. Avatar adalah avatar, dan itu hanyalah sebagian
dari diri mereka, meskipun itu juga merupakan bagian dari mereka.
Dan bagi
keluarga yang hidup bersamanya setiap saat, mudah untuk mengetahui perilaku
tidak biasa seseorang. Akiko-san
sering melihat ayahku
berputar-putar di luar kendali ketika ia berusaha terlalu keras untuk
menunjukkan sisi baiknya.
Mengingat
kembali interaksiku dengan Akiko, aku merasa bahwa semua usaha ayah untuk tampil
lebih baik mungkin sudah diketahui. Ayahku
tidak tampak terganggu oleh hal itu, mereka berdua
memang pasangan yang serasi.
Jika
dibandingkan dengan ayah, ‘persenjataan’ Ayase Saki hampir sempurna.
Itulah
sebabnya teman-teman sekelasnya, kecuali Narasaka
yang memiliki mata pengamat yang tajam, terus menerus salah paham.
Awalnya,
aku juga hanya menerima begitu saja mengenai reputasi
Ayase-san.
Namun,
setelah tinggal bersama, aku perlahan-lahan mulai menyadari berbagai sisi dari
Ayase-san yang bukan hanya penampilan bersenjata-nya.
Kupikir
tadinya dia sedang bermalas-malasan sambil mendengarkan musik, tapi kenyataannya dia
sedang mendengarkan bahan ajar untuk belajar percakapan bahasa Inggris demi
masa depan. Ternyata dia cukup keras kepala. Ketika usaha yang dilakukan di
bawah permukaan diketahui, dia merasa malu. Dia sangat menyayangi ibunya dan
ingin menjadi cantik seperti ibunya. Setelah mengetahui bahwa penampilannya
adalah bentuk persiapan untuk itu, aku mulai melihat pakaiannya dengan lebih
positif. Selain itu, dia peka terhadap mode dan kurang mahir dalam sastra
modern. Dengan kata lain, setiap kali aku mengetahui kelebihan dan kekurangannya, aku mulai menerima semuanya,
termasuk kelebihan dan kekurangannya.
Meskipun
begitu, aku masih menjaga jarak dan menarik garis
dengan adik tiriku
yang cantik ini. Perasaan bahwa dia adalah adikku, meskipun hanya secara hukum,
juga sangat besar.
Akan tetapi,
batasan tersebut hancur di sudut kolam renang itu. waktu itu, aku merasa bahwa waktu seolah-plah terhenti. Gambaran yang terlihat
melalui lensa yang lebih jelas mendekati hatiku. Tidak seperti siapa pun, Ayase
Saki benar-benar memasuki hatiku pada saat itu. Aku merasakan sensasi
seolah-olah jalan pikiran yang membawaku pada kata “aku menyukainya” itu mulai terlihat
sedikit demi sedikit. Mungkin inilah
yang disebut ‘verbalisasi’.
“Aku
pernah mendengarnya dari
seseorang. Katanya cinta itu bukan sesuatu yang kita lakukan.”
“Walaupun
kamu sendiri juga sedang merasakan cinta?”
“Menurut
orang itu, cinta itu seperti jatuh. Tanpa kita sadari, kita bisa jatuh cinta sampai sedalam-dalamnya. Awalnya
kupikir itu kata-kata yang terlalu indah, tapi sekarang aku bisa sedikit
memahami kata-kata itu.”
“Hmm.”
“Oleh karena
itu, aku tidak bisa mempersempit alasan kenapa aku jatuh cinta
hanya pada satu hal. Yang bisa kukatakan ialah saat aku
menyadarinya, aku
sudah mencintai Ayase Saki secara keseluruhan.”
“Seluruhnya?”
Aku
mengangguk.
Bukan
dalam penampilan bersenjata, bukan juga dalam penampilan anak kecil. Ketika aku
menyadari bahwa kedua penampilan itu memiliki sejarah yang terhubung dalam masa Ayase Saki, aku menyadari perasaan cintaku. Jika dilihat dari sudut
pandang logika, jawabannya seperti itu.
“Begitu ya,”
kata Ayase sambil memandang kolam dari balik lengannya yang bersandar di pagar jembatan, dan melihat ikan koi yang berenang anggun di
bawahnya.
◇◇◇◇
Saat kami kembali ke penginapan dan
melewati depan meja resepsionis, aku disapa dengan “Selamat datang kembali”. Rupanya
itu adalah pemilik penginapan yang memberitahuku tentang taman.
“Kami kembali.
Terima kasih banyak.”
“Itu
adalah taman yang sangat indah,”
Ketika Ayase-san mengatakan itu sambil tersenyum,
pemilik penginapan itu mengangguk puas. Dia menunjukkan perasaan yang tulus
senang karena tamunya memuji taman miliknya.
“Kami
juga memiliki pemandian terbuka yang bisa disewa untuk keluarga. Jika kalian mau, silakan mencobanya.”
“Pemandian
terbuka. Bagus sekali.”
Ayase-san menunjukkan ketertarikannya.
Karena
itu adalah pemandian terbuka, berarti kami bisa
menikmati pemandangan sambil berendam. Pemandian umum juga tidak kalah menarik,
tetapi mungkin pemandian terbuka akan memberikan suasana yang lebih bebas.
“Kalian
berdua kakak beradik bisa menyewanya bersama. Anggap saja seperti
kamar mandi yang biasa digunakan di rumah.”
“Seperti
mandi di rumah…”
“Iya.
Pemandian umum kadang-kadang
bisa ramai tergantung waktu, dan itu bisa membuat kalian tidak bisa bersantai. Jika
dalam waktu yang ditentukan, kalian
bisa bergantian seperti di rumah. Ada tiga pemandian, dan dari setiap pemandian
terbuka, kalian bisa
melihat laut, jadi pemandangannya juga bagus.”
“Jika
bisa digunakan oleh keluarga, berarti tidak ada pemisahan antara pria dan
wanita?”
“Iya.
Jika kalian menginap di kamar yang sama, kalian bisa menggunakannya bersama.
Banyak pasangan suami istri atau kekasih yang menyewanya. Karena pemandian dalam kamar tidak terlalu luas.”
Bagaimana?
dia bertanya sambil tersenyum.
Tapi, dengan kata lain,
pemandian terbuka yang disewa ini diatur agar pasangan suami istri atau kekasih
bisa masuk bersama—bukankah maksudnya begitu?
“…pemandian
dengan pemandangan laut…”
“Jika
kamu mau, aku bisa langsung memesan untukmu. Saat ini—”
Pemilik
penginapan itu pergi ke sisi meja resepsionis dan membawa sesuatu yang mirip
buku reservasi.
“Mulai
jam 6, ada waktu kosong selama sekitar satu jam. Kalian
perlu memesan tempatnya dulu, tetapi tidak ada biaya
tambahan. Apa kalian ingin memesannya?”
“Iya, tolong.”
Ayase-san langsung menjawab tanpa
ragu.
Sementara
aku terkejut, semua langkah sudah diambil.
“Baiklah. Aku
sudah mencatatnya. Selama dalam waktu yang ditentukan, tidak
masalah siapa yang masuk lebih dulu.”
“Terima
kasih. Senang mendengarnya ya,
Yuuta-niisan.”
“Ah…
iya.”
Keduanya
saling bertukar senyuman yang puas, tetapi... apa ini baik-baik saja? Pemiliki penginapan jelas
terlihat senang karena bisa mempromosikan layanan penginapannya, sementara Ayase-san
senang dengan pemandangan dari onsen terbuka. Apa cuma
satu-satunya yang merasa bingung dengan pemandian terbuka yang memperbolehkan
mandi campuran?
... Yah,
mungkin tidak apa-apa.
Karena
kami datang ke Atami sebagai kakak dan adik dengan
orang tua yang membiayai perjalanan ini, mana
mungkin mengkhianati kepercayaan orang tua kami,
mengingat sifat Ayase-san dan juga sifatku sendiri.
Jika ini
benar-benar pelarian dari rumah—misalnya, seperti kabur bersama, kawin lari antar sepasang kekasih—mungkin
akan ada momen-momen manis di dalam penginapan
tempat kami menginap. Cerita sering kali berakhir dengan hati yang
berbunga-bunga setelah serangkaian konflik. Apa yang menanti kami dalam
kehidupan kami di penginapan adalah studi ujian yang realistis. Kenyataan selalu
realistis.
Jadi kami
kembali ke kamar dan membagi makan siang kami menjadi dua. Kotak itu berisi
delapan potong sushi makarel yang dipres.
Begitu membuka tutupnya, aroma cuka langsung tercium, dan itu kembali mengingatkanku kalau aku
belum makan siang. Aku hanya berniat mengisi perut yang sedikit kosong, tetapi
mulutku tiba-tiba terasa lembab seperti saat melihat umeboshi. Kami berencana
membagi dua, tetapi Ayase-san bilang tiga cukup, jadi aku mengambil lima. Ketika kami memakannya dengan duduk
di dekat jendela sambil melihat laut dan minum teh, rasanya cukup
mengenyangkan. Sekarang sudah hampir jam tiga, dan aku mulai khawatir apa masih
ada ruang untuk makan malam setelah makan sebanyak ini.
Setelah
istirahat sejenak, kami belajar sampai waktu reservasi untuk pemandian pribadi.
Kami kembali ke meja rendah di kamar.
Aku
berniat untuk mulai belajar fisika,
tetapi teringat bahwa sebelumnya aku sudah melihat banyak rumus. Mungkin lebih
baik mempelajari tentang sosial.
Sebenarnya,
di ujian umum, aku perlu mengambil mata pelajaran kewarganegaraan. Selain itu,
aku juga tertarik pada sosiologi setelah mengikuti acara kampus terbuka, jadi
ketertarikan terhadap politik, ekonomi, dan etika meningkat. Aku mengeluarkan
buku referensi kewarganegaraan.
Sepertinya
Ayase-san beralih belajar
bahasa Inggris. Sambil memeriksa garis bawah yang aku buat di buku referensi,
aku mengulangi hal yang perlu diingat dalam hati tanpa bersuara. Aku khawatir
jika bersuara, itu akan mengganggu konsentrasi Ayase-san. Terutama bagian yang
penting, aku menuliskannya di catatan untuk mengukirnya dalam ingatan.
Menghafal
secara membabi buta tidak ada gunanya, jadi, misalnya, tentang sistem pemilu,
aku berusaha untuk mengikuti alur sejarah sebanyak mungkin. Yah, lebih mudah
daripada membayangkan sistem sosial fiksi yang mungkin ada di masa depan, tanpa
harus memikirkan etika dunia di mana buku menjadi barang terlarang atau dunia
di mana android bermimpi tentang domba listrik. Jumlah sistem sosial yang
mungkin ada di dunia nyata tidak terlalu banyak.
“... ra-kun. Asamura-kun!”
—Hah.
Ketika aku menarik kesadaranku kembali ke
kenyataan dan mengangkat kepalaku,
di luar jendela benar-benar
sudah gelap.
“Asamura-kun,
gawat! Waktunya sudah lewat!”
Aku
terkejut mendengar suara Ayase-san dan segera memeriksa waktu. Kami sudah
melewati waktu mulai pemandian privat
yang dipesan selama 30 menit.
Sial,
kami melakukannya lagi. Ini adalah yang kedua kalinya hari ini.
“Masih
ada sisa 30 menit lagi. Jelas
sekali kalau waktunya tidak cukup waktu. Ayase-san,
silakan pergi duluan.”
Jika
hanya satu orang, mungkin itu tidak
masalah, tetapi tidak ada waktu untuk bergantian.
“Tidak, rasanya tidak adik kalau hanya aku saja yang menikmatinya.”
“Tapi,
yang menantikan pemandian itu
adalah Ayase-san. Jika kita bergantian sekarang, waktunya akan terlalu
singkat.”
“Jika aku
pergi sendirian, itu tidak adil.”
“Kita tidak mempunyai banyak waktu
untuk berdebat. Ayo, kamu perlu pergi
sekarang.”
“Tapi...”
Ayase-san
yang sudah setengah berdiri tampak berpikir, lalu dia menggenggam lenganku.
“Ayo!”
“Eh?”
“Jika
kita terus berdebat di sini, kita
benar-benar tidak akan sempat. Pokoknya, mari pergi dulu dan pikirkan
setelahnya.”
Sambil
berkata seperti itu, dia mendorongku, dan sebelum aku menyadari apa yang
terjadi, aku sudah ditarik oleh Ayase-san yang melangkah cepat mengikuti peta
petunjuk penginapan.
Ayase-san
kadang-kadang sulit untuk dihentikan.
Tapi
sebenarnya, aku sendiri juga
memang ingin melihat pemandian terbuka itu.
◇◇◇◇
Ketika
kami hanya membawa set handuk yang ada di kamar, kami melihat tanda sedang
digunakan dengan nomor kamar tertera. Ini adalah nomor kamar kami, jadi kami
bisa memastikan bahwa reservasi sudah aman.
Di pintu
masuk, tirai hangat menunjukkan bahwa sebelah kanan untuk pria dan sebelah kiri
untuk wanita.
Tentu
saja, tempat gantinya
terpisah. Itu sudah jelas tanpa perlu dipikirkan. Ini bukan sumber air panas liar dalam pegunungan.
“Mungkin bagian di dalamnya juga terpisah? Jika memang iya, kita bisa masuk bersama.”
“Entahlah.”
Ketika Ayase-san
bertanya, aku hanya bisa menggelengkan
kepalaku untuk membalasnya.
Karena
ini adalah pemandian campuran pribadi di udara terbuka yang
disewa, kupikir di dalamnya seharusnya hanya ada satu
tempat.
“Kita lihat saja dulu, yuk. Aku ingin mengintip sedikit
untuk melihat bagaimana keadaannya.”
“Yah, jika hanya untuk melihatnya saja sih tidak masalah.”
Aku
mengangguk dengan sedikit tertekan oleh Ayase-san yang antusias. Mungkin karena
dia sangat tertarik dengan pemandian air panas? Sepertinya semangatnya lebih
tinggi dari biasanya.
Setelah berpisah ke kiri dan kanan, aku melemparkan set handuk ke
keranjang di lemari penyimpanan, lalu aku
menggeser pintu yang menghubungkan ruang ganti dan area pemandian.
Aku bisa
melihat malam yang gelap terlihat di seberang bak mandi.
Karena ini adalah pemandian terbuka, meskipun ada pagar tanaman di sisi kiri
dan kanan, sisi depan yang menghadap langit dan laut terbuka. Setiap kali angin
bertiup, uap air yang naik perlahan-lahan tercampur.
Mungkin
karena lokasinya yang lebih tinggi, tidak ada bangunan yang menghalangi
pemandangan laut, dan karena sudah malam, cahaya bulan memantul di laut yang
gelap. Sekarang baru pukul 6:30 malam, jadi lampu-lampu kota bersinar seperti jalur api
nelayan yang berjejer di sepanjang garis pantai.
Cahaya di
kamar mandi dijaga seminimal mungkin, sehingga bulan yang bersinar di langit
terlihat jelas. Awan tipis yang melayang membalas cahaya bulan, menjadi cahaya
lembut yang mengapung.
“Wah!
Bak mandinya besar!”
Ketika aku mengalihkan perhatianku ke arah suara itu, aku melihat Ayase-san, yang juga
membuka pintu kaca serupa dan mengintip ke dalam kamar mandi dengan mata
berbinar. Sepertinya semangat Ayase-san meningkat secara drastis.
“Iya, ‘kan?”
“Ya,
memang. Mungkin beberapa kali besar dari bak mandi di rumah kita. Dengan ukuran sebesar ini,
sepertinya kita bisa meregangkan tangan dan kaki dengan leluasa.”
“Bak
mandi di apartemen juga besar, ‘kan?”
“Apa iya?”
Aku
tidak pernah tahu karena aku selalu mandi di bak yang sama
sejak lahir, jadi aku tidak
bisa membandingkannya. Aku pikir
bak mandi semacam itu sudah standar
di apartemen modern.
Setelah memikirkan
itu, aku teringat tentang tempat tinggal
Ayase-san sebelumnya. Sebuah ruangan enam tatami, hanya berdua dengan ibunya.
“Apa
mungkin bak mandi di rumah Ayase-san sangat sempit?”
“Ya.
Aku tidak bisa masuk kecuali aku harus
menyusutkan tangan dan kakiku.
Mungkin tidak sampai setengah dari yang ada di tempatnya
Asamura-kun.”
Sesempit itu, ya. Aku
jadi memahami
mengapa melihat bak mandi yang besar membuat semangat Ayase-san meningkat.
Ya, bak
mandi yang besar memang menyenangkan.
“Pemandian
terbuka tuh memang bagus, ya. Pemandangan malamnya indah, dan
lautnya juga bisa terlihat. Bisa merasakan angin sepoi-sepoi juga menyenangkan.”
Uap yang
mengapung di bak mandi cepat menghilang ketika terkena angin bulan Oktober. Di
balik uap yang menghilang, pemandangan malam
kota Atami bisa terlihat jelas.
“Aku
ingin masuk berendam!
Asamura-kun juga ingin berendam,
iya ‘kan?”
“Itu,
yah...”
Namun, sekarang sudah tidak banyak waktu...
“Setidaknya
biar kamu saja yang masuk, Ayase-san.”
“Kamu juga
ingin masuk berendam ‘kan, Asamura-kun?”
Ayase-san
bersandar lebih dekat dan melihat-lihat pemandian.
“Tempat
mencucinya juga ada di kedua sisi...”
“Ya,
benar.”
Ketika
masuk melalui pintu laki-laki, tempat
mencuci terletak di sebelah kanan, sedangkan untuk wanita terletak di sebelah
kiri.
“Ayo
masuk....yuk.”
“Hm?”
“Sangat disayangkan sekali, tau. Lihat,
bak mandinya juga besar. Jika kita berada di ujung yang berbeda, itu tidak akan mengganggu, kan?
Waktunya juga tidak banyak, jika kita
cepat masuk dan cepat keluar, kita tidak
perlu mengkhawatirkannya.”
"Eh?”
Tidak, tidak, tidak mungkin.
“Ditambah
lagi, kita sudah repot-repot memesannya.”
“Iya juga
sih, tapi...”
"Daripada
membuat pemiliki penginapam kecewa saat dia bertanya, ‘bagiamana
pemandiannya?’ dan dijawab ‘Aku tidak
bisa masuk karena belajar', bukannya
lebih baik kalau kamu menikmatinya sedikit?”
Senyum
lembut pemilik penginapan muncul di benakku. Memang benar.
“Kalau
begitu, Asamura-kun di sisi sana. Aku
akan menggunakan sisi ini. Waktunya makan akan segera tiba, ayo cepat!”
Dia
mengatakan itu dan menutup pintu kaca, lalu pergi.
Apa ini?
Apa ini beneran baik-baik saja? Ya,
memang, sepertinya aku akan
keluar dalam waktu kurang dari lima menit setelah mencuci badan dan berendam di dalam pemandian. Jika memang begitu, lebih baik masuk tanpa
berpikir terlalu dalam dan mengosongkan pikiran... Tidak,
tapi.
Waktu terus berlalu ketika aku
merenungkan hal itu.
Aku
harus membuat keputusan.
Aku
melepaskan pikiran, melepas pakaianku,
dan masuk ke dalam area pemandian dari ruang ganti.
Sepertinya Ayase-san
belum ada di sana. Mungkin memang lebih cepat bagi pria untuk melepas dan
mengenakan pakaian.
Aku langsung
mencuci tubuh dan segera merendamkan diri ke dalam bak pemandian.
Aku
berusaha untuk bersembunyi di tepi bak mandi yang jauh dari pintu ruang ganti
wanita, bersandar sambil menatap pemandangan lautan agar
tidak melihat Ayase-san yang masuk. Aroma belerang yang samar dan air hangat
yang keruh perlahan-lahan menghangatkan badanku.
“Ah...”
Aku
menghela nafas lega karena airnya bagus. Rasa penat seharian seakan mencair ke
dalam air mandi.
Ketika aku mendongak
ke atas, aku bisa melihat rembulan
yang setengah tertutup di balik awan.
Indah
sekali.
Aku
ingin melemparkan segalanya dan melamun
seperti ini. Pikiranku sedang
dalam pelarian. Aku tidak
ingin memikirkan apa pun lagi. Aku
ingin menyatu dengan pemandian air panas ini.
Lalu
tiba-tiba aku mendengar suara pintu yang terbuka.
Aku
mendengar langkah kaki di lantai batu. Suara ember yang terbalik di tempat
mencuci. Suara kursi yang diseret saat duduk. Ketika shower dibuka, air yang
mengalir memercik di lantai dan di kulit Ayase-san. Aku mendengar suara seperti
seseorang mengaduk air dengan tangannya. Aku yakin dia sedang membasuh tubuhnya
dengan handuk saat ini. Aku bisa
mendengar suara ember diletakkan.
Suara langkah
kakinya perlahan-lahan mendekat dari belakang──.
“Bagaimana
suhu airnya?”
“......
Pas, kok.”
“Tidak
terlalu panas?”
“Iya,
rasanya cukup hangat.”
Aku bisa
mendengar suara air yang dituangkan dari ember. Jangan lihat, jangan lihat, jangan melihat ke arah Ayase-san.
“Nggh...”
“Berhati-hatilah, lantainya cukup licin.”
“Hmm, iya.”
Suara
lembut air yang tertekan karena dia telah menginjakkan kakinya ke dalam pemandian, dan setelah beberapa saat,
ketika dia mungkin telah merendam tubuhnya, gelombang kecil datang menghampiri.
Hah, suara desahan yang sama seperti saat aku merendam diri dalam air
terdengar.
“Seperti
yang kuduga, mandi di bak mandi
besar memang nikmat, ya...”
Aku
melihat sekilas wajah samping Ayase-san di sudut pandangku, dan buru-buru
mengalihkan wajah ke arah yang berlawanan.
Dia menyanggul rambutnya agar tidak terkena
air, mengikatnya di atas kepala. Butir-butir keringat besar terlihat di
wajahnya, dan rambut yang basah menempel di lehernya. Matanya yang sedikit
menyipit dan bibirnya yang menghembuskan napas saat menatap malam telihat sangat mencolok. Handuknya
dilipat agar tidak terkena air dan diletakkan di tepi bak mandi. Berkat uap air
yang naik dan air putih, lekukan di bawah tulang selangkanya terlihat samar-samar.
Jika
dipikir-pikir, mungkin ini hal yang aneh.
Hubungan
antara aku dan Ayase-san bukan hanya sekadar ciuman, melainkan kami pernah
berpelukan dan merasakan kehangatan satu sama lain.
Jika
dibandingkan dengan itu, jarak di antara kami di dalam bak mandi
ini cukup jauh—meskipun tidak bisa dibilang jauh, ya, lebih dari satu meter.
Mengingat saat di kolam renang tahun lalu, jaraknya memang lebih jauh.
Namun,
mengapa aku merasa begitu gugup
hingga seperti ini?
Tapi,
sekarang, kami benar-benar dalam keadaan
telanjang. Tentu saja, mana mungkin
aku berpikir itu sama dengan saat dia mengenakan
pakaian renang. Aku merasakan ketegangan dan rasa bersalah. Hanya dengan
sedikit mengalihkan wajah, aku bisa melihat semuanya dari Ayase-san. Itu juga
berlaku untukku. Artinya, dia juga bisa melihatku.
Rasanya
seperti mau pingsan. Sepertinya aku akan pusing karena air panas.
“Pemandian
air panas... aku ingin membiarkan ibu dan ayah tiri merasakannya juga.”
Suara
Ayase-san membuatku terkejut.
“Ya...”
Sebenarnya,
jika ini adalah perjalanan keluarga, mungkin kami bisa lebih santai memesan
tempat secara eksklusif. Jika kami memesan sebagai keluarga, orang tua kami pasti akan menyadari kami yang terlalu
terfokus dan melupakan waktu. Aku dan ayah, Ayase-san dan Akiko-san seharusnya
bisa bergantian masuk.
Namun,
itu tidak mungkin.
Tentu
saja, orang tua kami tidak bisa mengambil cuti
yang cukup untuk bepergian bersama, tetapi yang terpenting, jika orang tua kami ada di sini, itu akan berarti ada niat untuk
mencegah pertemuan Ayase-san dengan ayah kandungnya, Ito Fumiya.
Perjalanan
ini hanya bisa aku rencanakan karena aku berada dalam posisi yang tidak mengetahui
adanya permintaan pertemuan dari Ito
Fumiya.
Tidak ada
pilihan lain.
Aku
menggelengkan kepalaku,
mengusir bayangan perjalanan keluarga yang mungkin terjadi.
“Pemandian
air panas memang enak ya. Tubuh kita menjadi rileks dan hangat.”
Aku juga
harus berusaha semaksimal mungkin untuk tidak memikirkan detak jantungku yang
mungkin akan meningkat hanya karena kami berdua
berendam di air panas yang sama.
“Asamura-kun.”
“Hmm?”
“Boleh
aku mendekat sedikit?”
Detak
jantungku yang berusaha ditahan langsung
melonjak tajam. Dia bilang apaan tadi?
Aku
merasakan kehadiran yang mendekat dari balik uap.
“Jadi,
begini...”
Suara pelan Ayase-san terdengar tepat di
belakang telinga kiriku.
“Maaf,
aku berbohong.”
“Berbohong?”
“Ketika
aku bilang siang tadi, kalau aku
bisa sangat berkonsentrasi...”
Aku
menahan napas mendengar kata-kata Ayase-san.
Jika dia
tidak bisa berkonsentrasi, apa itu berarti kamp belajar
ini gagal?
“Kalau
mau dibilang dengan sangat tepat...”
“Ya.”
Ayase-san
mulai berbicara sedikit demi sedikit.
Aku
diam-diam mendengarkannya agar tidak mengganggu apa yang dia katakana dan hanya memberikan anggukan untuk
menunjukkan bahwa aku mendengarnya.
“Memang
tidak salah kalau dibilang aku bisa
berkonsentrasi. Aku sangat berterima kasih. Aku tidak
berbohong saat mengatakan aku tidak pernah bisa
berkonsentrasi seperti ini dalam sebulan terakhir.”
Aku
mengangguk.
“Tapi,
kadang-kadang. Di antara sela-sela
belajarku tadi... kadang-kadang, tiba-tiba aku menyadari
bahwa aku melamun.”
Ah... begitu.
“Dan,” lanjut Ayase-san.
“Aku
merasa tahu apa yang menggangguku.”
Ayase-san
berhenti sejenak. Melihat tanda-tanda keraguannya,
aku memberanikan diri untuk menyela.
“Itu
tentang Ito Fumiya-san, kan?”
Aku
merasakan ketegangan di udara.
“Ya.
Ternyata... kamu bisa menebaknya.”
“Iya,
sih...”
“Sebelumnya
aku pernah mengungkitnya sebentar.
Kalau aku merasa mirip dengan orang itu.”
Aku
mengangguk.
“Dan aku
juga sudah mengatakannya padamu, kalau kalian tidak mungkin mirip.”
“Ya.
Aku senang mendengar kamu bilang
begitu. Aku senang jika Asamura-kun mengatakan
itu. Tapi, aku tidak percaya diri.”
Terdengar suara
air yang tertekan oleh telapak tangannya.
“Jika
aku berhadapan langsung dengan orang itu, aku pasti
mulai semakin yakin. Aku adalah anaknya. Ada firasat seperti
itu. ...Jadi, aku takut.”
“Hal seperti
itu...”
“Aku
tahu. Tapi, perasaan cemas tersebut tidak kunjung hilang.
Jika aku sama seperti orang itu, aku khawatir suatu saat nanti aku akan melukai Asamura-kun. Sama seperti orang itu yang melukai ibuku, yang seharusnya menjadi orang sangat berharga. Kepada Asamura-kun, yang seharusnya
menjadi seseorang yang penting bagiku. Aku, tidak bisa menghindar dari sifat
kompetitif dan cemburuku.”
Aku
terdiam, merenung dalam pikiranku.
Kami tidak
mempunyai banyak waktu untuk berendam terlalu lama. Namun,
kesempatan untuk berbicara secara terbuka di tempat yang hanya berdua
sebenarnya tidak sering terjadi. Meskipun kami bertemu sepanjang siang, ada
kalanya kami bisa mengungkapkan perasaan yang sebenarnya dalam waktu singkat di
kegelapan malam.
“Aku
tidak menyangkal bahwa kamu memang mempunyai sifat
kompetitif...”
Aku merasakan
Ayase-san kembali menahan napas.
Namun,
itu tidak bisa dibantah. Jika tidak bersifat kompetitif, mana mungkin dia bisa mempertahankan persenjataan di
sekolah meskipun terasing. Siswa perempuan dengan rambut pirang dan perhiasan
mencolok di SMA Suisei yang bergengsi pasti sangat mencolok.
Ayase
Saki adalah orang yang sangat kompetitif.
Tetapi, aku merasakan ada yang janggal.
Sejak
kapan gadis yang bernama
Ayase Saki menjadi kompetitif?
Jika
sifat kompetitif itu diwarisi dari ayahnya, jika itu dipengaruhi oleh genetik, rasanya tidak masuk akal jika itu bukan
esensi yang dia bawa sejak lahir.
Aku jadi teringat kembali mengenai kejadian
di kolam renang tahun lalu.
Pada hari
itu, aku menyadari perasaanku terhadap Ayase-san. Apa yang membuatku
merasakannya?
Karena
itu kejadian yang begitu mendadak,
sehingga aku sendiri juga tidak tahu apa yang
menjadi pemicunya. Tapi
sekarang, aku bisa merasakannya. Ayase-san yang kompetitif dan tidak menerima
orang lain, di dalam dirinya yang terpendam, adalah Ayase Saki yang sebenarnya.
Mungkin aku merasakan sosoknya yang masih muda.
“──Saki-chan
tuh...”
“Eh?
Saki...chan? Apa?”
“Ketika
kamu masih kecil dulu, saat masih seumuran anak TK atau
kelas 1 SD, apa Ayase-san──apa Saki-chan adalah gadis yang kompetitif
dan cemburuan?”
“Itu...”
Setelah
mengingat-ingatnya,
Ayase-san menjawab setelah beberapa saat.
“Kurasa
tidak.”
“Tuh, ‘kan?”
“Tunggu duu. Mungkin aku hanya mengubah
ingatan sesuai keinginanku. Hmm...”
“Kalau
begitu, mari kita memeriksanya
satu per satu. Aku akan menyebutkan satu kasus, dan kamu ingat-ingat apa kamu
peduli pada menang atau kalah dalam kasus itu, apa kamu
bisa menjawabnya?”
“...Ya.”
“Nilai
ujian.”
“Aku
sama sekali tidak mempedulikannya. Aku tidak pernah mendengar
nilai anak lain.”
“Wajah
dan penampilan.”
“Tidak sama
sekali. Aku tidak tertarik.”
“Selera
berpakaian.”
“Sama
sekali tidak. Aku berpikir bahwa pakaian itu keren atau imut, tetapi aku tidak
berpikir harus menjadi yang terbaik.”
“Lomba
lari.”
“Aku
mungkin peduli...? Aku merasa kecewa jika kalah.”
“Rasa
kecewa itu pasti dirasakan semua orang.
Misalnya, jika kamu kalah, kamu akan
marah, atau berbuat jahat kepada anak yang menang.”
“Tidak.
Berlari itu murni menyenangkan, dan aku berpikir betapa cepatnya dia berlari,
betapa kerennya, tetapi aku tidak akan menyerang.”
“Kalau
begitu, itu masih dalam batasan
yang sehat. ...Bagaimana, apa Saki-chan kecil itu seorang gadis yang
kompetitif?”
“...Sepertinya tidak, deh.”
Setelah menyelesaikan sesi tanya
jawab, Ayase-san mengeluarkan napas tipis.
“Dengan kata
lain, kamu tidak
terlahir sebagai orang yang kompetitif. Saki-chan adalah gadis yang jujur, berjiwa bebas, dan sensitif. Dia mulai
membentengi diri agar tidak kalah setelah mengalami berbagai masalah
keluarga... sifat kompetitif itu diperoleh dari lingkungan, bukan dari genetik.”
“Kamu
berbicara seolah-olah pernah melihatnya secara
langsung. Tentang diriku saat masih kecil dulu.”
“Karena
di dalam diri Ayase-san yang sekarang masih ada 'Saki-chan'. Itulah sebabnya aku merasa bisa memahaminya.”
“Di
dalam diriku yang sekarang juga...?”
“Ya.
Di kolam renang tahun lalu, kamu bermain permainan yang
diusulkan Narasaka-san, iya ‘kan? Saat itu juga, sepertinya
kamu tidak terlalu peduli pada menang atau kalah. Lagipula, jika kamu
benar-benar tipe yang tidak bisa puas kecuali menjadi yang terbaik, mana mungkin kamu bisa berteman dengan satu-satunya
sahabat yang selalu lebih baik darimu di ujian.”
“Ya,
itu benar. Maaya selalu berada di peringkat sepuluh besar di kelas. Dia bahkan berada di level bisa masuk ke Universitas
Tokyo.”
Jika
seseorang memiliki sifat kompetitif yang berlebihan, hubungan persahabatan
dengan orang yang pasti tidak bisa dikalahkannya
takkan bertahan lama.
“Ketika
kamu bertanya padaku tentang strategi di pelajaran Bahasa Jepang, itu juga
sama. Kamu menghindari nilai merah, tapi
apa kamu ingat nilai ujian akhir?”
“...Aku
kalah dari Asamura-kun.”
“Kalau
begitu, pada saat itu, kamu seharusnya bisa saja mengeluarkan komentar yang
menyakitkan kepadaku.”
“Itu...
memang benar. Tapi──”
“Menurutku ada perbedaan antara membenci kekalahan dan tidak bisa mentolerirnya kecuali kamu lebih unggul dari lawanmu.”
Dari apa
yang kudengar, lelaki bernama Ito Fumiya adalah tipe
orang yang terakhir.
Namun,
Ayase Saki berbeda.
Aku berpikir dia sangat berbeda.
Setidaknya,
gambaran Ayase Saki di dalam diriku yang kini jauh lebih jelas berbeda.
“Ayase-san
bukanlah Ito Fumiya. Dia tidak akan pernah menyakitiku seperti orang itu.”
Aku mengatakannya
dengan tegas.
“Asamura-kun...”
Suara
Ayase-san terdengar begitu dekat dan aku bisa mendengarnya di dekat telingaku.
“Boleh
aku meminjam bahumu?”
“...Ya.”
Tangan
Ayase-san dengan lembut menyentuh punggungku.
“Sebentar
saja. Aku ingin terus seperti
ini.”
Kepala
Ayase-san bersandar di bahu kiriku.
“Aku
akan meminjamkan bahuku padamu kapan
saja.”
“Ya...”
Jantungku
berdebar kencang ketika merasakan
kehangatan yang nyata dari bahu hingga punggung yang berbeda dari air
hangat.
Hanya
dengan adanya lawan jenis yang telanjang di dekatku sudah merupakan kejadian
yang sangat menggairahkan bagi seorang anak laki-laki SMA, apalagi lawan jenis
itu adalah orang yang aku sukai. Kami saling mengungkapkan perasaan dan pernah
berciuman serta berpelukan.
Menahan
keinginan untuk berbalik dan memeluknya hampir mustahil.
“Asamura-kun,” bisiknya di telingaku.
Suara
Ayase-san yang lembut membuat jantungku berdegup kencang.
“Apa?”
“Terima
kasih.”
Dia
mengatakan itu sambil menyandarkan berat tubuhnya padaku.
Dengan
berat yang dibebankan pada bahuku, aku tidak bisa bergerak
sama sekali.
Sambil
terdiam dan tidak bisa bergerak, suara detak jantung yang berdebar dan kepala
yang terasa pusing perlahan-lahan mulai tenang seiring angin musim gugur yang
menyentuh kulit.
Yah──
mungkin kita baik-baik saja seperti ini.
Aku
mendongak sejenak.
Bulan sabit yang mengapung di langit diam-diam mengawasi kami dengan tenang.
◇◇◇◇
Dengan
terburu-buru, aku mengganti pakaian dan kembali ke dalam kamar penginapan.
Pengantaran
makanan ke setiap kamar dijadwalkan pukul tujuh malam, dan aku serta Ayase-san
berhasil tiba tepat waktu.
Seorang
pelayan penginapan mendekati pintu kamar dan melihat kami dengan ekspresi “oh?”
“Maaf!
Kami baru saja kembali.”
“Tidak
apa-apa. Kami baru akan mengantarkannya,
jadi tidak perlu terburu-buru.”
Pelayan
itu sengaja menunggu kami masuk ke dalam kamar sebelum mengetuk pintu dengan
sopan. Dia mengatakan bahwa makanan sudah siap, lalu membuka pintu geser dan masuk sambil membawa
nampan.
Makan
malam disajikan di dalam kamar, bukan di ruang makan.
Makanan
utamanya, tentu saja, berfokus pada
hidangan laut karena lokasinya yang dekat dengan pantai, tetapi untungnya tidak
ada sushi ikan makarel.
Hidangan-hidangan Jepang yang disajikan kecil-kecil dan sederhana. Banyak
sekali variasi hidangan yang dihidangkan satu per satu. Dengan cepat meja pun penuh dengan
makanan.
Tiba-tiba
ada ide yang terlintas di dalam pikiranku, jadi aku mengatakannya kepada Ayase-san.
“Mungkin
kita harus mengambil foto.”
“Foto
makanan?”
Baik aku
maupun Ayase-san tidak memiliki kebiasaan
mengambil foto makanan untuk dibagikan atau diunggah ke media sosial. Jadi
biasanya, kami langsung memakannya.
“Ini
bisa jadi bukti bahwa kita sedang mengikuti kamp belajar.”
“Ah...
begitu. Iya, benar. Mengerti.”
Mungkin
aku terlalu berlebihan memikirkan hal ini. Tapi, untuk jaga-jaga. Aku mencatat di sudut pikiranku
untuk mengambil foto saat belajar nanti.
Namun, ketika melihat makanan di atas meja, aku
jadi menyadari kalau
sepertinya makanan seperti ini tidak akan disajikan di kamp belajar di lembaga
bimbingan belajar.
Sambil
membandingkan menu yang penuh dengan kanji sulit dan hidangan yang tersaji di
meja, aku dan Ayase-san menikmati makanan.
Ikan dan
sayuran yang disajikan tampaknya berasal dari daerah setempat, dan semuanya
luar biasa enak. Ikan fillet yang lembut cukup hancur hanya dengan menggunakan
sumpit dan sangat lezat, sementara jamur yang merupakan ciri khas musim gugur,
hanya dengan mencium aromanya yang baru dipanggang, sudah membuat mulutku
berair. Setelah memeras sedikit lemon, aku memasukkannya ke dalam mulut. Saat menggigitnya, sari buahnya langsung meluap, dan sedikit rasa asam lemon
menambah cita rasa. Saat aku menyendok nasi putih, rasanya seolah-olah aku bisa
memakannya berapa pun jumlahnya.
“Mmm.”
Ayase-san
mengernyitkan dahinya dan
menatap ujung sumpitnya.
“Ada
apa?”
“Enak.
Aku penasaran bagaimana cara membuat rasa
ini?”
Saat aku
melihatnya, ujung sumpit Ayase-san menjepit
telur dadar dashi berwarna kuning. Telur dadar dashi adalah masakan yang
menjadi keahlian Akiko-san, dan Ayase-san juga kadang-kadang membuatnya. Kupikir telur dadar yang dibuat
Ayase-san sudah cukup enak. Namun, sepertinya dia menemukan petunjuk untuk berkembang
lebih jauh dalam pekerjaan profesionalnya.
“Boleh aku memberimu
ini?”
“Eh?”
Sebelum
aku sempat bertanya apa, dia dengan cepat meletakkan sepotong kerang di piring
di depanku.
Satu sisi
kerang besar dijadikan piring, dan di atasnya ada makanan yang disajikan.
“Aku boleh
memakannya?”
“Aku
agak kurang suka...”
Tumben
sekali. Aku belum pernah melihat Ayase-san meninggalkan
makanan.
“Jadi,
ada makanan yang tidak kamu suka, ya?”
“Memangnya Yuuta-niisan tidak ada?”
“Kurasa...
tidak ada sih. Tapi, kamu memakan
kerang lainnya, ‘kan?”
“Kerang
scallop ini agak terlalu besar, atau terlalu tebal. Aku sedikit kurang suka.
Bukannya tidak bisa, tapi sedikit saja.
Bukan karena aku benci, hanya saja aku tidak ingin makan banyak. Makan satu
utuh yang sebesar ini tidak mungkin.”
“Baiklah,
baiklah. Yah, setiap
orang pasti punya makanan yang kurang disukai, dan tidak perlu memaksakan diri
untuk memakannya. Apalagi jika ada orang lain yang mau memakannya, ‘kan?
Bukan berarti kamu membuangnya.”
“Ya...”
Dia mengangguk
sedikit canggung. Pipi Ayase-san yang sedikit merona mungkin bukan hanya karena
baru keluar dari pemandian air panas.
“Silakan
ambil satu hidangan sebagai pengganti.”
“Eh?
Jangan, deh. Enggak usah.”
“Ini
saling memberi dan menerima. Jangan ragu untuk mengambil apa saja."
“Ambil
apa saja....”
Tatapan
Ayase-san tanpa sengaja tertuju pada salah satu hidangan di nampanku.
“Ini?”
Aku
mendorong piring kecil yang belum terjamah itu ke arah Ayase-san. Mungkin ini adalah pencuci mulut,
potongan buah kesemek
tanpa biji berwarna oranye cerah yang dibagi menjadi empat. Hidangan ini juga merupakan salah satu rasa
musim gugur.
“Kamu yakin
aku boleh mengambilnya?”
“Tidak
masalah, tapi Ayase-san, rupanya
kamu menyukai buah kesemek, ya?”
“Aku
menyukai sebagian besar buah. Tapi aku jarang makan buah kesemek. Lihat, kesemek tuh biasanya
cepat sekali menjadi lembek, kan?”
“Ah,
iya.”
“Kurasa
itu enak, tapi sedikit sulit untuk
dimakan.”
Aku
mengangguk. Aku juga tidak membencinya, tetapi tidak bisa memakannya
dengan santai seperti apel atau pir. Kesemek
yang matang sangat sulit diambil dengan sumpit karena bisa meluncur, dan jika
tidak hati-hati, bisa membuat mulut menjadi lengket.
“Jadi,
itu sebabnya tidak sering ada di meja makan...”
"Kamu
mau memakannya?”
“Ini
bukan makanan kesukaan, jadi yang mana saja tidak
masalah. Kalau ada, ya dimakan saja.”
“Aku
juga merasa begitu, tapi kalau yang ini tanpa biji dan cukup keras, jadi aku cukup menyukainya.”
Ayase-san
menempatkan piring kesemek
yang aku dorong dengan hati-hati di samping piringnya.
“Begini...”
Sambil
melanjutkan makan, Ayase-san berkata.
“Ya?”
“Bukannya
aku tidak punya makanan yang disukai atau tidak
disukai."
Itu
sedikit mengejutkanku. Bagaimanapun, aku baru saja berpikir bahwa aku belum
pernah melihat Ayase-san meninggalkan makanan. Saat aku mengatakan itu, dia
tersenyum kecut.
“Itu
karena aku mengetahui beberapa trik.”
“Trik...”
Apa maksudnya itu?
“Juru
masak mempunyai beberapa hak istimewa. Mereka takkan menyajikan makanan
yang tidak mereka sukai di atas meja.”
Mau tak mau
sumpitku jadi terhenti
sejenak.
“...
Itu memang titik buta.”
“Hehe.
Curang sekali, ‘kan?
Sebenarnya, ibu juga punya makanan yang tidak dia sukai, tau.”
“Akiko-san
juga?”
“Iya.
Tapi, kamu tidak menyadarinya, ‘kan?
Karena makanan itu tidak disajikan.”
Karena
aku tidak memiliki banyak kesukaan atau ketidaksukaan, aku tidak pernah
memikirkan hal ini saat menjadi juru masak. Namun, setelah dipikirkan kembali, itu memang benar.
Ini adalah
konspirasi orang dewasa yang tidak diketahui anak-anak. Mereka selalu
mengatakan kepada anak-anak untuk tidak pilih-pilih makanan, dan jika dilihat,
orang tua memang terlihat memakan segalanya. Namun, juru masak bisa menghindari
makanan yang mereka tidak suka, jadi wajar sekali jika
mereka tampak bisa memakan apa saja.
Aku tidak
menyadari hal ini sampai usia ini...
“Ketika
Ayah tiri atau Asamura....maksudku,
Yuuta-niisan, menjadi juru masak, aku sudah menyiapkan diri untuk memakannya meskipun ada makanan yang tidak kusukai.”
“Jika
kamu memberitahuku, aku
bisa menghindarinya.”
“Itu
tidak boleh. Kecuali jika itu memang alergi,
aku rasa tidak mungkin untuk mengetahui semua preferensi orang lain. Dan hanya
menyajikan makanan yang disukai juga tidak baik.”
Ayase-san
mengatakan itu sambil mengingat sesuatu dan tersenyum canggung.
“──Ibu
selalu memperingatkan tentang kebiasaanku 'membeli jika disarankan',
tapi terkadang aku berpikir bahwa itu juga ada gunanya.”
“Karena
kamu jadi bisa mencoba makanan yang belum
pernah dimakan?”
“Benar.
Aku pasti tidak akan membeli daging ham utuh sendiri. Menurutku, salah satu
alasan mengapa aku tidak terlalu pilih-pilih makanan adalah karena ibuku
terkadang membeli hal-hal aneh saat disarankan. Dan keluargaku tidak begitu
kaya, jadi tidak ada pilihan untuk tidak memakannya.”
Jadi, itulah sebabnya dia mengatakan 'Aku tidak membencinya, hanya
saja kurang suka' saat menyodorkan kerang tadi.
Aku
terkejut karena dia tiba-tiba meletakkannya di piringku.
“Misalnya
aku membenci kerang, kamu akan bagaimana?”
“Kalau
begitu, aku akan mengambilnya kembali dan memakannya. Makanya aku bertanya dulu sebelum kamu makan... eh, duhh! Kamu
tidak perlu sampai tertawa
begitu!”
Dia
sangat imut.
“Perjalanan
ini merupakan kamp belajar, tapi juga
sekaligus perjalanan rekreasi. Jika hanya segini
saja, aku bisa mengerti. Lagipula, kamu sudah bertanya
dengan baik, Saki-chan.”
“Hmph...
terima kasih.”
Dia
tampak sedikit canggung dan memalingkan mukanya
sambil makan, tapi saat dia mulai mengambil daging yang dipanaskan dalam panci
kecil, dia sudah tersenyum dan terus menyatakan betapa enaknya makanan daging itu.
◇◇◇◇
Setelah
selesai makan dan piring-piringnya dibersihkan, kami menikmati teh setelah
makan.
Kemudian,
kami kembali ke mode belajar sampai jarum jam menunjuk ke atas.
Dengan
mengikuti teknik Pomodoro, aku terus
selama 25 menit dan istirahat selama 5 menit, dua jam berlalu dengan
cepat.
Aku
merasa sudah belajar dengan cukup baik. Setelah melihat
kemajuan buku referensi, sepertinya kami lebih produktif daripada biasanya.
Tidak, lebih tepatnya, aku lebih penasaran dengan kemajuan Ayase-san, dan
selama aku mengamatinya diam-diam, dia tampak bisa belajar dengan sangat fokus.
Itu bagus.
Meskipun ini hanya kamp belajar satu malam, menurutku
kami bisa lebih efisien daripada biasanya.
Hmm,
mungkin itu sudah
terlalu memuji diri sendiri.
Setelah
merapikan meja rendah, kami menggelar futon.
“Tanpa
perabotan, ruanagan
delapan tatami pun masih cukup untuk menyusun futon...”
Komentar
Ayase-san mungkin dibandingkan dengan ruangan tempat keluarganya tinggal di masa lalu. Ruangan
berukuran enam tatami yang dilengkapi dengan perabotan pasti terasa sempit, dan
aku mendengar bahwa mereka bergantian menyebarkan futon di tempat yang sama
dengan ibunya yang terbalik siang dan malam.
Futon
kami berdua berjarak sekitar tiga puluh sentimeter, dan tatami hijau terlihat
seperti garis batas. Hal tersebut
seolah-olah mencerminkan hubungan kami saat
ini. Kami berdua memang sepasang kekasih, tetapi selama perjalanan
ini, kami adalah Asamura Yuuta
dan Asamura Saki.
──Mengenai
apa itu akan tetap sama setelah menikah, itu urusan lain.
Kami
harus bertindak sebagai kakak dan adik. Kami ada di sini sebagai kakak beradik untuk belajar persiapan
ujian. Setidaknya, itulah yang
seharusnya terjadi. Kami juga mendapatkan bantuan dana dari orang tua kami.
“Sepertinya
tidak baik jika begadang terlalu larut. Mungkin lebih baik tidur lebih awal dan
bangun lebih awal untuk sedikit belajar sebelum check-out besok.”
Ayase-san
juga mengangguk setuju dengan
kata-kataku.
“Aku tidak
masalah dengan itu.”
“Kalau
begitu, aku akan mematikan
lampunya.”
Aku
memastikan ponselku terhubung ke charger.
Waktu
menunjukkan sedikit sebelum tengah malam. Biasanya, aku masih akan melanjutkan
belajar.
Aku
mematikan lampu.
Hanya ada sedikit pencahayaan tidak
langsung yang menerangi kaki, dan ruangan tempat kami berdua berada kehilangan
warnanya. Aku mengangkat selimut putih yang tergeletak
dan meluncur masuk ke dalamnya dengan balutan
yukata.
Di waktu
tang hampir bersamaan, Ayase-san juga masuk ke dalam
futonnya sendiri.
“Selamat
tidur.”
“Mm.
Selamat tidur.”
Aku
memejamkan kelopak mataku saat kami saling memberi salam sebelum tidur,
tetapi...
Tidak peduli
berapa lama waktu berlalu, rasa kantuk tak kunjung
datang.
Aku mengira
kalau aku akan langsung tertidur setelah berbaring karena aku sudah melakukan
perjalanan dengan berganti kereta, seharian belajar, dan berendam di pemandian air panas, tetapi
tubuhku yang sudah terbiasa dengan belajar larut malam tampaknya cukup kuat di
malam hari.
Biasanya,
aku baru bisa tidur setelah lewat jam satu. Tubuhku sudah terbiasa dengan
itu.
Ini
membuatku sedikit bermasalah.
“Kamu
tidak bisa tidur?”
Aku membuka
kelopak mataku saat mendengar suara Ayase-san. Pola pada langit-langit tampak
samar-samar dipantulkan oleh cahaya redup dari pencahayaan tidak langsung.
“Karena
biasanya aku masih belajar di jam segini.”
Meskipun aku tidak bisa tidur, hanya berbaring
saja sudah cukup untuk beristirahat. Mungkin tidak ada salahnya untuk menatap
langit-langit sampai aku mengantuk.
Saat aku ingin mengatakan itu, aku merasakan ada gerakan di sebelahku, dan
suara mendekati futonku.
Tangannya
tiba-tiba terangkat dan dengan
lembut jatuh tepat di depan mataku. Secara naluriah, aku
memejamkan mataku dan merasakan sentuhan lembut tangannya di keningku. Begitu
saja, tangannya menelusuri rambutku dan membelai kepalaku. Aku bisa
mendengarnya bernapas di dekat telingaku.
“Yuuta-kun, kamu sudah belajar dengan
keras, ya. Hebat, kamu memang anak hebat.”
Aku
membuka mataku.
Aku bisa
melihat dengan jelas ekspresi menggodanya yang diterangi cahaya
lembut.
“Bukannya
berarti aku bisa langsung tidur meski diperlakukan seperti anak
kecil begini...”
Ayase-san sedang berbaring telungkup dengan
tangan kiri menyangga pipinya. Dia mengintip wajahku dari jarak yang begitu dekat.
Tangan
kanannya terus mengelus-elus
kepalaku.
“Yuuta-kun itu memang orang yang rajyin bhanget,
ya.”
Mungkin
ini pertama kalinya aku mendengar bahasa anak-anak dari Ayase-san.
“Itu malah membuatku jadi tidak bisa tidur.”
“Anak nakal yang kesulitan tidur tidak boleh mengeluh. Ayo,
tutup kelopak matamu.”
“…Apa ini pembalasan
dari sebelumnya?”
Ayase-san
tersenyum dengan sudut bibirnya terangkat di dalam cahaya redup.
“Begitulah.
Ya, sepertinya aku memang lebih
tidak suka kalah daripada ingin mengalahkan.”
“Yah… aku mengerti.”
Aku juga
merasa sedikit kesal sekarang.
“Hehe.
…Hachii.”
Setelah
sedikit tertawa, Ayase-san bersin.
“Meskipun
AC-nya sudah dimatikan, kamu tetap akan kedinginan saat memakai
yukata.”
Bulan
Oktober sudah hampir berakhir. Meskipun kota Atami
mungkin lebih hangat daripada Shibuya, suhu malam hari di musim ini tetap cukup
dingin.
“Mm.
Kalau begitu, aku akan sedikit mengganggu.”
Sambil masih mengelus-ngelus kepalaku, dia mengangkat ujung selimut futonnya dan masuk dengan santai.
“Futon
ini hangat, ya.”
“Saki-chan
memang manja sekali, ya.”
“Yuuta-kun juga, ‘kan?”
Aku
meletakkan tanganku di kepala Ayase-san, menyilangkannya di lengan yang mengelusku.
“Kalau
begitu, kita sama-sama manja.
Saki-chan juga sudah berusaha keras. Sudah, ayo
cepetan tidur. Besok kita harus
bangun pagi juga...”
Sambil
berkata begitu, aku perlahan mengelus-ngelus
kepala Ayase-san.
Dia
menyipitkan mata seperti kucing. Dia kemudian
memejamkan matanya dan membiarkan diriku
mengelusnya. Gerakan tangan Ayase-san yang mengelusku mulai melambat.
“Selamat
tidur.”
“Mm…
selamat tidur, Yuu...”
Apa
dia ingin mengatakan Yuuta-kun,
atau mungkin Yuuta-niisan. Atau jangan-jangan hanya Yuuta?
Tanpa bisa memastikannya, aku juga ikut memejamkan mataku.
Aku bisa
mendengar suara napas Ayase-san
yang teratur.
Tanpa
sadar kapan aku tertidur, aku juga meluncur ke dalam dunia mimpi.
Sebelumnya | Daftar isi | Selanjutnya