Chapter 1 — Keesokan Hari yang Penuh Kegembiraan
Keesokan
paginya
tepat setelah ulang tahunnya, Mahiru mengunjungi rumah Amane
sebelum berangkat sekolah. Meskipun matanya masih sedikit bengkak, wajahnya
menunjukkan senyum kebahagiaan dan kegembiraan yang luar biasa.
Berkat
kerja keras Amane, Mahiru
menangis beberapa kali kemarin, tetapi Amane masih khawatir matanya mungkin
bengkak. Untungnya, bengkaknya tidak cukup parah untuk membuatnya jelas bahwa
sesuatu telah terjadi, yang membuat Amane merasa tenang. Namun, terlepas dari
kekhawatirannya, Mahiru tampak tidak terganggu sama sekali. Ekspresinya alami
dan lembut, menunjukkan bahwa dia masih merasakan sisa-sisa emosi yang
berputar-putar di dalam dirinya dari hari sebelumnya.
Dengan
ekspresi yang dipenuhi rasa puas sehingga tidak menyisakan ruang untuk hal
lain, raut wajah Mahiru terlalu berseri-seri untuk dilihat Amane di pagi hari. Ekspresinya yang begitu berdampak buruk
untuk jantung rapuh Amane.
“Selamat
pagi,” sapa Mahiru.
“…Selamat
pagi juga,” jawab Amane
“…Kenapa
kamu membuang mukamu?” tanyanya.
Mahiru
segera menyadari bahwa ia tidak bisa menatap matanya.
Amane
tidak keberatan saat Mahiru menyapanya di ruang tamunya. Meski begitu, dirinya secara naluriah mundur saat
Mahiru menghampirinya saat
ia masih mengenakan piyama dan
menatapnya dengan pandangan tidak setuju. Gerakannya
itu hanyalah gerakan refleks, upaya untuk melindungi dirinya
dari kekuatan luar biasa yang merupakan kelucuan Mahiru, tetapi sepertinya pacarnya itu tidak menyadari alasan di
baliknya.
Dari
sudut matanya, Amane melihat alis Mahiru terkulai karena kecewa. Segera
menyadari kesalahannya, Amane segera menutup jarak di antara
mereka, melingkarkan lengannya di punggung Mahiru. Memalingkan mukanya merupakan kesalahan konyol. Dirinya tidak bermaksud menyakiti
Mahiru, jadi Amane tahu ia perlu menjelaskan dengan benar makna di balik apa
yang baru saja dilakukannya.
“Maaf—bukannya berarti aku sudah bosan denganmu
atau tidak ingin melihatmu lagi. Hanya saja kamu... terlalu
berlebihan,” kata Amane.
“Terlalu…berlebihan?”
“Kamu tampak begitu bahagia, dan, um…wajahmu begitu berseri-seri sehingga aku
tidak bisa menatapmu langsung setelah bangun tidur. Kamu tampak begitu menawan, dan itu
terlalu berat untukku. Maaf. Akunya saja yang aneh.
Aku tidak bermaksud menyakitimu.”
Begitu
Amane mulai berbicara, Mahiru perlahan-lahan
mengendur dalam pelukannya. Dia bersandar pada Amane dengan ekspresi lega,
menunjukkan bahwa kesalahpahaman telah terselesaikan. Sementara ia sedikit
menggeser tubuhnya, Mahiru tidak berhenti menempel padanya. Setelah merasa puas, dia mendongak dan bergumam, “Kalau begitu, tidak apa-apa,” sebelum membenamkan wajahnya
lagi di dada Amane.
“…Apa aku
benar-benar terlihat bahagia?” tanyanya.
“Super duper bahagia. Kamu tampak berseri-seri dari dalam
ke luar.”
“Be-Benarkah…?”
“Beneran.”
Mahiru sudah memperlihatkan senyum yang
begitu cerah kepada Amane sampai-sampai itu bisa
menyilaukannya, tetapi Mahiru sama sekali tidak menyadarinya.
“…Sejak
kemarin, aku sangat bahagia sampai-sampai aku tidak bisa berhenti tersenyum.
Hmm, a-aku akan lebih berhati-hati.”
“Tolong ya. Kalau kamu keluar seperti itu,
bukan cuma aku yang akan kena—semua orang di sekitar kita akan berjatuhan
seperti lalat.”
“Bukannya kamu terlalu melebih-lebihkannya?”
“Tidak,
aku serius… Mahiru, tolong sadari bahwa senyum alamimu memiliki kekuatan
penghancur yang begitu dahsyat.”
Senyumnya
yang tulus dan sangat berbeda
dari senyuman yang biasa yang dia tunjukkan
sebagai ‘bidadari’,
memancarkan kebahagiaan murni dari lubuk hatinya. Senyum itu menyampaikan
perasaan yang kuat bahkan tanpa kata-kata. Sebagai pacarnya, Amane melihatnya sebagai
kekuatan yang harus diperhitungkan. Senyum itu dapat membakar mata dan pikiran
siapa pun yang melihatnya.
Mahiru
kemudian mengangkat kepalanya, menahan senyumnya yang mempesona. Amane merasa
lega, tetapi dirinya masih
berharap Mahiru tidak menunjukkannya di depan umum.
“Kalau
begitu, aku akan menunjukkannya hanya di hadapanmu, Amane-kun.”
“Syukurlah kalau memang begitu.”
Mahiru yang kini tersenyum lebih lembut,
memeluk Amane dengan lebih gembira. Merasakan kehangatan tubuh lembut Mahiru yang menempel padanya,
Amane menggigit bibirnya, berusaha keras menelan dahaga yang mengancam akan
muncul. Karena keadaan pasti akan berjalan ke arah yang salah jika ia
membiarkan Mahiru terus menciumnya dengan penuh kasih sayang, ia menepuk
punggungnya dengan lembut sebagai cara halus untuk menenangkannya, dengan
lembut menciptakan jarak di antara mereka.
“…Tunggu
sebentar di sini, Mahiru—aku belum berpakaian. Aku akan segera kembali,” kata
Amane.
Ekspresi
sedih langsung terpancar di wajah Mahiru. Menyadari betapa mudahnya memahami
perasaannya, Amane tak kuasa menahan tawa. Namun, hal ini sedikit membuatnya
kesal, karena bibirnya sedikit mengerucut sebagai respons. Ungkapan kasih
sayang Mahiru yang terbuka memang menggemaskan, tetapi saat dia semanis itu,
Amane dengan cepat merasa kewalahan. Dirinya
membutuhkan waktu untuk menenangkan diri guna meredakan panas yang menumpuk di
dalam dirinya.
“Kamu
boleh ikut denganku, tapi kamu yakin ingin melihatku berganti pakaian?”
“Kamu masih setengah tidur, ya?”
“Kau
benar-benar tidak menahan diri terhadapku, ya.”
Mengetahui
bahwa menggodanya terlalu banyak hanya akan menghasilkan respons dingin, Amane
memutuskan untuk tidak mendesak lebih jauh. Ia menepuk kepala Mahiru dengan
lembut, yang tampak enggan melepaskannya, lalu melepaskannya dari pelukannya.
Mahiru dengan patuh melangkah mundur, menatapnya dengan ekspresi penuh harap
seolah berkata, “Aku akan menunggu dengan sabar”. Melihat
itu, Amane terkekeh pelan dan berjalan menuju kamarnya.
(Sebaiknya aku bersiap
secepat yang kubisa)
✧ ₊ ✦ ₊ ✧
“Shiina-san,
matamu terlihat sedikit bengkak. Apa semuanya baik-baik saja?”
Ayaka
tiba lebih awal dari mereka dan memanggil Amane dan Mahiru saat mereka memasuki
kelas.
Biasanya,
Amane dan Mahiru akan tiba lebih awal daripada teman-temannya, tetapi hari ini,
mereka telah bersantai di rumah sebelum berangkat ke sekolah, jadi mereka
menjadi orang terakhir dari kelompok mereka yang biasa tiba.
Kemarin,
setelah menangis, Mahiru telah mencuci wajahnya dengan saksama,
mendinginkannya, dan melembabkannya dengan hati-hati, tetapi tampaknya dia masih belum bisa sepenuhnya
menghilangkan bekas bengkaknya. Matanya
sedikit merah. Meskipun tidak kentara, itu cukup untuk menimbulkan perasaan
samar bahwa ada sesuatu yang tidak beres, yang dengan
jelas dirasakan Ayaka.
“Aku
baik-baik saja. Hanya saja, um, ada banyak
hal yang terjadi,” jawab Mahiru lembut.
Ayaka
tahu tentang ulang tahun Mahiru, tetapi menahan diri untuk tidak menyebutkannya
di kelas. Mahiru, yang diam-diam menyangkalnya, merasa malu karena tangisannya
diketahui orang dan sedikit mengecil.
“Mengingat
seberapa
tidak sukanya
Mahiru menunjukkan kelemahan kepada orang lain, tidak mengherankan jika dia
tidak ingin seorang pun tahu bahwa dia sedang menangis”, pikir Amane.
Melihat
Mahiru bergerak canggung, Amane — si pelaku —memberikan
senyum tipis dan tegang.
“…Fujimiya-kun,
kamu tidak boleh terlalu kasar pada
Shiina-san, paham?” kata
Ayaka.
“Tunggu,
kamu salah paham. Aku sama sekali tidak membuat Mahiru menderita,” Amane
melambaikan tangannya dengan gugup, mencoba menyangkal segala perilaku kejam.
“I-Ia
benar,” Mahiru mendukungnya. “Amane-kun selalu menjagaku dengan baik. Ia selalu baik padaku dan
memperlakukanku selembut mungkin.”
Setelah
berkedip beberapa kali karena terkejut, ekspresi Ayaka berubah serius karena
suatu alasan aneh. Dia lalu
mencengkeram bahu Amane dengan kuat.
“…Fujimiya-kun,
pastikan kamu bersikap lembut padanya lain kali, oke? Shiina-san takkan sanggup menahannya kalau kamu terlalu
kasar.”
“Tunggu,
tunggu dulu! Kamu salah
paham!” Amane berkata dengan panik. “Bukan begitu
maksudnya!”
Menyadari
bahwa Ayaka telah terlalu halu dalam
membaca kata-kata Mahiru, Amane dengan panik menggelengkan kepalanya, berusaha
keras untuk menegaskan bahwa Mahiru salah. Setelah melihat reaksi paniknya,
ekspresi serius Ayaka melembut menjadi senyuman.
“Hehe,
bercanda, bercanda. Aku tahu maksudmu. Kupikir pestamu pasti menyenangkan
kemarin.”
“…Kido,
kamu pasti meniru kebiasaan buruk
Itsuki dan Chitose.”
“Oh,
tidak sama sekali,” jawab Ayaka dengan nada bercanda. “Pokoknya, sebaiknya kamu
waspada, Fujimiya-kun. Shiina-san memang agak linglung di
sekitar teman-temannya kalau kamu tahu maksudku. Aku tidak akan heran kalau dia
sampai terbawa suasana dan tidak sengaja membocorkan beberapa hal.”
“Li-Linglung…?” Mahiru bergumam.
“Aku tahu
persis apa maksudmu,” sahut Amane.
“Bagaimana
kamu bisa tahu
itu!? Aku terkejut.” Sambil mengatakan itu, Mahiru mengalihkan pandangannya ke
arah Amane, yang bersama Ayaka, menjawab serempak, “Yah, itu benar.” Hal itu
hanya membuat tatapan mencela Mahiru semakin tajam saat dia diam-diam memarahi
mereka.
✧ ₊ ✦ ₊ ✧
“…Apa
kamus sudah melangkahi
tahap
selanjutnya tanpa memberi tahu kami!?”
Saat
Amane meninggalkan Ayaka dan pergi ke Itsuki dan Chitose, dirinya disambut dengan ucapan itu.
Alih-alih marah, perasaan jengkel muncul dalam dirinya— lagi.
“Jangan sammpai orang-orang ini
juga”
... pikirnya. “Apa itu benar-benar aura
yang mereka dapatkan dari Mahiru?” Amane
merasakan pipinya berkedut saat memikirkannya.
“Lihat,
aku benar-benar akan marah sekarang.”
“Ih !”
“Ikkun, coba pikirkan baik-baik. Mana
mungkin Amane akan melakukan hal itu dengan mudah. Dirinya sangat menyayangi Mahirun
sehingga ia hampir berpuasa demi Mahirun!” (TN: Buat yang
masih belum paham maksudnya, teman-temannya mengira kalau Amane dan Mahiru
sudah berada di tahap berhubungan badan :v)
“Bisakah kamu diam sebentar?” tuntut
Amane, yang sudah merasakan sakit kepala mendekat.
Karena
Chitose menjadi Chitose seperti biasa, dia telah melontarkan
komentar yang sama sekali tidak perlu. Namun, seperti biasa, dia tidak
menghiraukannya dan memberinya senyum cerah. “Tidak
bisa menyangkalnya, ‘kan?” katanya. Amane tidak bermaksud
menjawab, jadi ia mengabaikannya begitu saja. Sebagai tanggapan, Chitose
memberinya tatapan penuh pengertian, hampir menggoda, tetapi Amane hanya
menggigit bibirnya dan membiarkannya berlalu tanpa sepatah kata pun.
Mengetahui
bahwa Amane tidak berniat ikut-ikutan
menggodanya, Chitose mengangkat bahu dan menoleh ke Mahiru, yang telah
memperhatikan mereka dengan tenang. Ekspresinya tenang namun ceria, dan
sepertinya Chitose sudah mengetahui hasil usaha mereka selama sebulan terakhir
hanya dari tatapan itu.
“Sepertinya
rencana kita berhasil besar. Aku ikutan senang.”
“Terima
kasih banyak semuanya,” Mahiru mengungkapkan rasa terima kasihnya.
“Tidak,
tidak, kami juga ingin merayakan ulang tahunmu, Shiina-san,” Itsuki
menjelaskan. “Dan hari ini, giliran kami untuk melakukannya. Tapi jangan
khawatir, kami tidak berencana untuk melakukan apa pun di sini. Kamu mungkin
lebih suka jika orang lain tidak mengetahuinya, kan?”
“Kita
pinjam saja tempat Amane!” seru Chitose.
“Kamu seharusnya memberitahuku
terlebih dulu, tahu,” balas Amane.
“Kamu pasti punya firasat bahwa ini
akan terjadi, kan?”
“Yah,
tentu saja.”
“Hahaha, ini pasti yang disebut
telepati!”
“Sebelum
kamu mulai mengandalkan
'telepati'-mu, sebaiknya kamu
harus ingat bahwa memberitahuku
saja akan jauh lebih efektif lain kali.”
Amane
paham betul bahwa tempatnya merupakan lokasi
yang paling nyaman, dan dirinya
kurang lebih sudah menduga hal-hal akan terjadi seperti ini. Bagaimanapun, akan
lebih mudah jika mereka membuat reservasi terlebih dahulu. Ia mencoba memarahi mereka dengan
lembut saat mengingat kejadian serupa, tetapi keduanya sama sekali tidak
terpengaruh. Kata-katanya hanya masuk ke telinga kanan dan keluar dari telinga
kiri.
Jujur
saja, orang-orang ini... karena
tidak dapat menyembunyikan kekesalannya, Amane mendesah berlebihan, membuat
perasaan masamnya terlihat jelas. Mahiru, yang memperhatikannya, tersenyum
lembut. Dia agak terganggu tetapi menganggap situasi itu sedikit lucu.
“Terima
kasih banyak atas perhatianmu… Sungguh perasaan yang menyenangkan, bukan? Dirayakan
seperti ini.” Kata-kata yang diucapkan Mahiru diucapkan dengan sangat pelan
sehingga hanya orang-orang terdekatnya yang bisa mendengarnya, tetapi tampaknya
baik Itsuki maupun Chitose menangkap setiap kata-katanya.
“Baiklah!
Kita harus memastikan kamu
mendapatkan begitu banyak kegembiraan
sampai-sampai kamu
merasa kelelahan. Bagaimanapun, Mahirun,
kamulah bintang
pertunjukan ini.”
“Tepat
sekali,” Itsuki setuju. “Kamu selalu rendah hati, Shiina-san, tetapi hari ini,
saatnya bagimu untuk berkata, ' Akulah bintang pertunjukan!
Bersujudlah di hadapanku!' Rangkullah semangatnya!”
“H-Hah…?
Bersikap sombong dan angkuh semacam itu akan
terlihat sedikit…”
“Mahiru,
maksud mereka kamu harus merasa bahwa kamu pantas mendapatkan perayaan besar.
Lagipula, aku bukan satu-satunya orang yang dengan tulus ingin mengucapkan
selamat ulang tahun kepadamu.”
Mahiru
pantas dirayakan oleh teman-teman dekatnya untuk semua waktu yang belum pernah dia lalui sebelumnya. Kegembiraan
yang dia rasakan dari perayaan Amane
mungkin sedikit berbeda dari yang dirasakan Chitose dan Itsuki, tetapi semakin
banyak kegembiraan yang dia
rasakan, maka itu semakin
baik. Amane ingin dia
menikmati kebahagiaan tersebut sepuasnya.
Dengan
pemikiran itu, Amane tersenyum sambil menepuk kepala Mahiru dengan lembut,
sambil berkata, “Jangan
khawatir, orang-orang ini hanya punya pikiran yang murni, jadi kamu bisa santai
saja.” Mahiru melirik ke arah tiga
orang lainnya, tampak sedikit tidak yakin, tetapi dia mengangguk malu-malu
setelah beberapa saat.
✧ ₊ ✦ ₊ ✧
“Sekali lagi,
selamat ulang tahun, Mahirun~!”
Chitose
menahan kegembiraannya saat mereka berada di sana untuk menghindari menarik
perhatian pada pesta ulang
tahun Mahiru di sekolah. Namun begitu tiba di rumah Amane, dia dengan gembira
mengangkat tinjunya ke langit, berteriak dengan suara ceria.
Ayaka dan
Yuuta menyaksikan dengan senyum hangat, yang menikmati momen itu dengan tenang.
Sementara itu, Itsuki, dengan senyum tipis dan geli, berkata, “Dia benar-benar sangat bersemangat, ya?” dan menatap Mahiru dengan
ekspresi lembut.
Hari ini merupakan perayaan ulang tahun Mahiru
putaran kedua, dan para tamu adalah para pembantu yang telah mendekorasi
ruangan kemarin.
“Selamat
ulang tahun, Shiina-san.”
“Terima
kasih semuanya,” jawab Mahiru hangat.
Mahiru
yang dulu, yang menganggap ulang tahunnya sendiri sebagai sesuatu yang tidak
penting, kini sudah tidak ada lagi. Ekspresinya kini menunjukkan kelegaan dan
kegembiraan yang lembut.
Melihat
Mahiru bahagia dan dikelilingi oleh teman-teman dekatnya merayakan hari
istimewanya membuat Amane merasa sangat lega. Ia senang bahwa Mahiru akhirnya
bisa menikmati hari ulang tahunnya dengan baik.
“Heh heh
heh, sekarang kita seumuran, Mahirun! Dulu kamu yang lebih muda!”
Amane,
Mahiru, Itsuki, dan Chitose—keempatnya sering menghabiskan waktu bersama,
sampai-sampai sudah menjadi hal yang wajar bagi mereka untuk melakukannya. Di
antara mereka, Chitose adalah yang tertua, diikuti oleh Amane, Mahiru, dan
terakhir Itsuki.
Dengan
kata lain, Chitose telah menjadi yang tertua di kelompok itu sedikit lebih awal
daripada yang lain, tetapi ketika ditanya apa dia
tampak lebih dewasa karena hal itu, Amane tentu saja ragu. Ia tidak terlalu
kekanak-kanakan, tetapi apa Chitose dapat menyatakan dirinya sebagai yang
'lebih tua dan lebih bijak' di kelompok itu adalah cerita yang berbeda.
“Mahiru
memang selalu lebih dewasa. Fakta itu tidak
bisa dipungkiri,” komentar
Amane.
“Memangnya ada masalah dengan caraku
bertindak, hmm?”
“Tidak.
Sama sekali tidak…”
“Masalahnya,
Chi, kamu selalu—” Itsuki
memulai
“Ya,
bagaimana denganku? Aapa ada yang
ingin kamu katakan?”
“Tidak!
Sama sekali tidak!”
Bahkan
Itsuki, pacarnya, tampaknya punya beberapa pikiran tentang perilaku Chitose.
Namun, karena tahu dirinya akan
disalahkan jika ia menyuarakannya, Itsuki
hanya tersenyum pahit dan membiarkannya begitu saja. Saat Chitose memasang
wajah frustrasi, Mahiru dengan lembut menyela dengan kata-kata yang
menenangkan, “Sudah,
sudah,” membantunya mendapatkan kembali
ketenangannya. Dengan itu, Amane dan Itsuki diam-diam bertukar pandang dan
berbagi senyum geli.
“Baiklah,
aku yakin Amane membuat hari kemarin menjadi hari yang luar biasa untukmu, jadi
hari ini giliran kita untuk merayakannya!”
Begitu
ruangan sudah tenang, Itsuki perlahan meninggikan suaranya dan berbicara
mewakili semua orang.
“Aku
merasa sudah menerima banyak hal dari semua orang… Maksudku, kalian semua
membantu mendekorasi, ‘kan? Itu
indah.”
“Heh heh,
baiklah, aku tahu seleramu sama baiknya dengan Amane, bahkan mungkin lebih
baik!”
“Ya,
sejujurnya, kamu mungkin
ahli dalam hal itu, Chitose. Aku tahu hal-hal seperti apa yang disukai Mahiru,
tetapi aku tidak begitu pandai menentukan dengan tepat apa yang akan membuatnya
paling bahagia saat itu juga. Kamu
selalu mendukungku dalam hal itu.”
Tentu
saja, Amane memahami selera
Mahiru, tetapi ketika harus memutuskan pilihan yang
sempurna, dirinyaa tidak
begitu yakin. Bahkan jika Amane
tahu selera Mahiru, ia tidak dapat memilih pilihan terbaik atau menggabungkan
preferensi tersebut dengan terampil menjadi sesuatu yang istimewa. Dirinya tidak memiliki selera gaya
seperti Chitose, dan juga tidak dapat bersaing dengan pilihannya, yang sering
kali menguntungkan dari sudut pandangnya sebagai sesama gadis.
Meskipun
Chitose biasanya senang menggoda Amane, dia sangat serius saat berhubungan
dengan Mahiru. Tidak ada yang meragukan bakatnya dalam hal ini.
“Hehehe…
Andalkan aku lebih banyak lagi. Kagumi aku lebih banyak lagi!”
“Haha…”
“Kalian
berdua…” kata Mahiru sambil terkekeh pelan.
Memutuskan
untuk ikut meladeni candaannya,
Amane menundukkan kepalanya dengan pura-pura menyerah. Dari belakangnya, suara
Mahiru, campuran antara geli dan sedikit jengkel, terdengar, seolah-olah dia
tidak bisa menahan tawa melihat pemandangan itu.
“Jadi,
hadiahku adalah ini ! Ini edisi terbatas dari produk
perawatan kulit yang selalu kamu gunakan, Mahiru. Demi kelucuan yang tak tertandingi!”
“Terima
kasih banyak, Chitose-san. Tak kusangka kamu
masih mengingatnya.”
“Yah,
lagipula aku sudah sering menginap di rumahmu~ Kamu
cemburu ya, Amane?”
“Kenapa
wajahmu kelihatan songong begitu…? Aku
juga tahu apa yang digunakan Mahiru.”
Mahiru merupakan gadis yang tidak pernah
mengabaikan upaya apa pun dalam hal perawatan diri. Dia memiliki filosofinya sendiri
tentang perawatan kulit, telah mencoba berbagai produk selama bertahun-tahun
hingga akhirnya menemukan yang paling cocok untuknya, yang kini dia gunakan secara rutin. Dan
terkadang, dedikasi tersebut
juga disalurkan kepada Amane.
Amane
bahkan meminta saran kepada Mahiru tentang produk apa yang cocok untuknya.
Hasilnya, Mahiru menggunakan berbagai sampel sisa pada kulitnya sebagai uji
coba perawatan kulit. Begitulah cara Amane mengetahui tentang produk yang saat
ini digunakan Mahiru. Tentu saja, tidak mengherankan jika Amane
mengetahuinya—bagaimanapun juga, Amane telah melihatnya menggunakannya beberapa
kali saat Mahiru menginap.
“Waduh, waduh…”
“Sudah, sudah.”
Amane
tidak bermaksud seperti itu, tetapi fakta bahwa dirinya
tahu tentang rutinitas perawatan kulit Mahiru tampaknya memicu beberapa pemikiran
dalam diri Itsuki dan Chitose tentang apa yang terjadi di balik layar. Melihat
ekspresi geli mereka saat mereka saling tersenyum, Amane menyipitkan matanya ke
arah mereka, pipinya berkedut sepanjang waktu.
“Jangan cengengesan terus begitu. Apa pun
yang kalian bayangkan tidak terjadi.”
“Wah,
apa iya…?”
“…Chii-chan
dan Akazawa-kun tidak pernah belajar, kan?” Ayaka menimpali.
“Kamu bisa mengatakannya lagi. Mereka
berdua tahu bahwa jika kamu terlalu
banyak menggoda Fujimiya, ia akan marah—dan sedikit malu,” tambah Yuuta.
“Kadowaki,
Kido. Kalau kamu tahu itu, kamu seharusnya
menghentikan mereka, lho.” Kata Amane.
“Aku
pikir mereka akan terus melakukannya
bahkan jika kita mencoba menghentikan mereka, tahu?”
“Benar
sekali.”
Ejekan
mereka bukanlah hal baru, dan Amane tahu tidak ada maksud jahat di baliknya,
jadi ia menganggapnya sebagai lelucon ringan. Namun, itu tidak mengubah fakta
bahwa diejek terus-menerus bukanlah hal yang menyenangkan baginya. Ia berharap
kedua orang yang ada di dekatnya dapat bertindak sebagai penengah, setidaknya
sesekali.
Adapun
Mahiru, dia membelai kotak hadiah Chitose dengan lembut, sambil tersenyum
lembut. Jelas dia tidak berniat menghentikan Chitose. Dia tahu itu tidak akan
ada gunanya meskipun dia mencoba.
“Aku
heran kenapa kamu bisa berhasil mendapatkannya... Bukankah ini hanya tersedia
melalui undian online?”
tanya Mahiru.
“Lihat,
di sinilah kehokianku bekerja!”
“Pasti
sulit untuk mendapatkan… Sekali lagi, terima kasih banyak.”
“Oh,
jangan terlalu dipikirkan. Aku juga berpikir lipstik
yang cantik mungkin bagus, tetapi setiap gadis punya preferensi warna yang
berbeda. Jadi kupikir kamu akan
lebih senang jika Amane membelikannya untukmu... Kau tahu, misalnya saja untuk
berciuman.”
“Chitose-san!?”
“Hanya
bercanda, hanya bercanda!”
“Chi,
jangan terlalu menggodanya. Lihat, walinya di sana siap menudingmu.”
“Memangnya apa yang bisa ia lakukan
hanya dengan satu jari?”
“Baiklah,
aku bisa menjentik dahimu. Mau mencobanya?”
“Ah,
tidak terima kasih! Aku tidak mau!”
Amane
melengkungkan ibu jarinya dan mengaitkan jari tengahnya dengan tekanan untuk
menunjukkan bahwa dirinya siap
untuk menjentik dahinya.
Chitose menggelengkan kepalanya dengan panik, dan bibirnya bergetar. Itsuki,
yang geli dengan ini, langsung tertawa terbahak-bahak sampai memegangi
perutnya. Amane melotot padanya, diam-diam menyuruhnya untuk mengendalikan
pacarnya, tetapi itu hanya membuat Itsuki tertawa lebih keras.
Tak
terpengaruh oleh tatapan dingin Amane, Itsuki terus tertawa hingga menyeka air
mata di sudut matanya. Setelah menenangkan diri, ia meraih tas jinjing yang ditaruh di dekatnya dan
mengeluarkan sebuah kotak yang terbungkus rapi. Dengan perubahan sikap yang tak
terduga menjadi lebih serius, Itsuki dengan hati-hati memberikan hadiah itu
kepada Mahiru dengan kedua tangannya. Perubahan mendadak dalam tingkah lakunya
membuat Mahiru tampak bingung.
“Ini dari
Yuuta dan aku. Mohon terima hadiah kami.”
“Ka-Kamu
tidak perlu bersikap formal begitu…tapi terima kasih, Akazawa-san. Dan kamu juga, Kadowaki-san.”
“Tidak,
tidak,” kata Yuuta. “Merupakan suatu kehormatan untuk memiliki kesempatan
merayakan ulang tahunmu.”
“Mau
memeriksanya dulu, Amane?” tawar Itsuki.
“Hah, apa kamu menaruh sesuatu yang
tidak pantas di sana atau semacamnya? …Itulah yang kupikirkan pada awalnya,
tetapi aku tidak dapat melihatmu melakukan itu. Kamu sudah menyiapkannya bersama Kadowaki, jadi kurasa itu tidak mungkin.”
Amane
sebenarnya tidak berpikir akan ada sesuatu yang tidak pantas di dalamnya.
Lagipula, Itsuki sebenarnya orang yang cerdas
dan bijak. Namun, ketika bersama Chitose, selalu ada
kemungkinan kecil mereka akan memasukkan sesuatu yang nakal dalam upaya untuk
mendekatkan Mahiru dan Amane. Karena Itsuki menyebutkan bahwa ia berkonsultasi
dengan Yuuta untuk hadiah ini, Amane pada dasarnya merasa tenang.
“Memangnya kamu tidak memiliki sedikit kepercayaan
padaku!?” balas Itsuki.
“Ya,
mungkin luangkan waktu untuk merenungkan kejenakaanmu di masa lalu.”
“…Aku
tidak seburuk itu , kan? Tentu saja…”
“Aha ha…”
Yuuta tertawa canggung. “Yah, maksudku…”
Itsuki
memasang wajah kesal. “Kamu seharusnya mendukungku
di sana, Yuuta.”
“Yah, aku
tidak bisa membayangkan kamu bersikap tidak hormat pada Shiina-san.”
“Ya,
Kadowaki benar. Kamu tidak
akan melakukan itu pada Mahiru. Sekarang aku lega.”
“Perbedaan
perlakuannya benar-benar beda jauh…”
"Ya,
ya. Kamu tidak perlu mengatakannya.”
“Kamu sendiri bisa bersikap sangat
kasar, Yuuta, ya…”
Itsuki
dan Yuuta sudah lama berteman dekat sehingga mereka bisa
bertukar candaan ringan tanpa ada perasaan kesal. Meski Yuuta biasanya menunjukkan gambaran ketenangan, dengan
senyum hangat dan aura ketulusan, momen-momen seperti ini menunjukkan sisi
ceria yang sesuai dengan usianya. Amane tidak bisa menahan perasaan bahwa
diejek Yuuta sesekali berarti dia dianggap sebagai teman dekat—setidaknya,
itulah yang diyakininya.
“Ngomong-ngomong,
hadiah kami adalah… Ah —”
“Mengapa
kamu malah berhenti di tengah jalan?”
“Maksudku,
aku tidak yakin apa ini hadiah yang paling tepat. Ingat, kita sudah
membicarakannya bersama sebelumnya.”
Mereka
kesulitan memilih hadiah, terutama karena lebih sulit memilih hadiah untuk
teman perempuan daripada pacar perempuan. Baik Itsuki maupun Yuuta menunjukkan
ekspresi canggung yang berbatasan dengan senyum masam, yang menunjukkan bahwa
proses pengambilan keputusan cukup melelahkan.
Amane
tidak meragukan indera perasa mereka, tetapi melihat mereka berdua tampak tidak
yakin membuatnya merasa sedikit khawatir. “…Apa yang akhirnya kalian dapatkan?”
“Satu set
kaldu dashi berkualitas tinggi yang bagus.”
“Su-Sungguh khas
ibu-ibu…”
Reaksi
terkejut Chitose mencerminkan pikiran Amane—itu memang hadiah yang praktikal. Baik Itsuki maupun Yuuta telah
meluangkan waktu dan upaya untuk memilih sesuatu yang pantas, memastikannya
tidak terlalu pribadi tetapi sesuai dengan selera Mahiru. Ekspresi mereka
memudahkan untuk mengetahui seberapa besar pemikiran yang telah mereka curahkan
dalam keputusan tersebut.
“Kami mendengar kamu menginginkan batu
asah, tapi itu agak berlebihan, jadi kami pikir sesuatu yang praktis di dapur
akan menjadi pilihan yang bagus... Ditambah lagi, ini juga menguntungkan
Fujimiya.”
“Apa—!? Amane-kun, kamu
memberi tahu mereka tentang batu asah itu?”
Menyadari
bahwa batu asah bukanlah sesuatu yang diinginkan kebanyakan gadis SMA, Mahiru menempel erat pada Amane, sumber
kebocoran. Pipinya sedikit memerah karena malu. Amane, yang terhanyut dalam
momen itu, berulang kali meminta maaf dengan suara yang agak menyedihkan, “M-Maaf, maaf.”
Meskipun
itu bukan sesuatu yang ingin dirahasiakan Mahiru, dia tetap tidak merasa senang jika hal itu diceritakan
kepada orang lain. Dia menatap Amane, meskipun tatapannya tidak begitu tajam
dan lebih seperti tatapan tajam ke atas yang dipenuhi dengan sedikit
ketidaksenangan. Sebagai tanggapan, Amane menepuk bahunya dengan lembut untuk
menenangkannya.
“Tapi
kamu masih menginginkan batu asah, ‘kan?”
Amane melanjutkan.
“Memangnya ada orang yang tidak menginginkannya?” balas Mahiru.
“Masih
terlalu dini bagiku untuk mengarahkan perhatianku pada sesuatu yang begitu khusus…”
jawab Ayaka.
“Aku juga sama!”
“Aku
tidak begitu antusias untuk memasak sejak awal…”
“Asalkan
pisaunya bisa memotong dengan baik, aku baik-baik saja.”
“Se-sekutuku…”
Mahiru mendesah, menyadari dukungannya semakin berkurang.
Karena
tidak ada seorang pun di kelompok itu yang memiliki hobi memasak, tidak ada
seorang pun yang mendukung pendapat Mahiru. Dia menundukkan alisnya dengan
kecewa seolah berkata dalam hati, "Katakan padaku kalau
itu tidak benar...”
Melihat ini, Amane menepuk kepalanya dengan lembut
sebagai isyarat untuk menenangkan.
“Tidak
apa-apa, Mahiru—kamu punya aku. Meskipun sejujurnya, itu akan sia-sia bagiku
karena aku tidak membutuhkannya.”
Amane
memahami pentingnya mengasah pisau, tetapi karena ia tidak dapat menggunakan
batu asah yang tepat secara efektif dan pengasah pisau dasar sudah cukup baik
baginya, ia tidak dapat sepenuhnya mendukung Mahiru kali ini. Namun, dari sudut
pandangnya, melihat Mahiru cemberut dengan sangat menggemaskan membuatnya sulit
untuk tetap bersikap tenang. Tepat saat ia berusaha menahan senyum, Ayaka
dengan cepat mengenalinya dan menyeringai penuh arti. Karena malu, Amane segera
mengalihkan pandangannya.
“Yah, itu
sebabnya kami memilih set kaldu dashi,” jelas Yuuta. “Lebih praktis dan mudah
digunakan saat dibutuhkan karena merupakan barang habis pakai, dan bisa menjadi
kaldu yang enak.” Ia menoleh ke Mahiru. “Kamu
bisa menggunakannya untuk mencengkeram perut Fujimiya lebih erat.”
"Aku
khawatir dia akan mencengkeram perutku dengan sangat kuat sampa-sampai perutku melilit seperti
simpul."
Mahiru
terkekeh. “Kalau begitu, aku akan bertanggung jawab penuh dan menjagamu saat
itu terjadi.”
“Wah!
Itulah yang dinamakan kekuatan cinta.”
Mahiru
hanya tersenyum lembut, sedikit rasa malu terlihat di wajahnya. Dia tidak
mengiyakan atau membantah komentar itu. Senyum itu menggugah sesuatu yang dalam
di hati Amane, perasaan lembut namun geli, membuat pandangannya mengembara. Ia mengerti bahwa ketidaknyamanan
ini berasal dari rasa malu dan senang tetapi memilih untuk tidak
mengungkapkannya. Tetap saja, bibirnya pasti telah mengkhianatinya karena
Ayaka, dengan nada yang sama sekali tidak menggoda, berkata, “Fujimiya-kun,
kita sedang tidak di sekolah, jadi kamu tidak
perlu mencoba menyembunyikan perasaanmu atau apa pun.”
“…Kamu tidak perlu berkomentar yang tidak perlu.”
“Aha
ha—maaf, maaf. Kamu tampak
begitu bimbang, itu saja.”
“Kamu benar-benar tidak jujur pada
dirimu sendiri, ya, Amane?” komentar Itsuki.
“Diam,
kamu.”
“Lihat
apa yang kumaksud?!”
Itsuki
bermaksud menggodanya, jadi Amane melotot tajam untuk membungkamnya. Meski begitu,
Itsuki tetap tampak geli. Raut wajahnya tetap ceria dan menyebalkan seperti
biasanya.
“Semua
orang memikirkan hadiah mereka dengan matang, ya? Kalau aku…yah, sebenarnya,
aku memilih satu bersama bibiku. Kami sempat bingung menentukan pilihan, tapi
ini yang kami pilih untuk hadiah ulang tahunmu.” Ayaka mengeluarkan amplop lucu
dari tasnya.
Saat
Amane terkagum-kagum melihat Ayaka mengabaikan kejenakaan Itsuki dengan mudah
sambil tersenyum, Mahiru berkedip karena terkejut melihat hadiahnya. Hadiah ini
tampak berbeda dari hadiah-hadiah lain yang pernah dilihatnya sejauh ini.
Sambil memegang amplop itu, Ayaka mengedipkan mata pada Mahiru dengan jenaka.
“Tiket
untuk minum teh sore untuk dua orang. Dilengkapi dengan layanan pelayan. Aku
berhasil mendapatkannya dengan memanfaatkan koneksi bibiku.”
“Bukankah
relasi Itomaki-san terlalu luas?”
“Aku juga
punya pikiran yang sama. Agak menakutkan sih. Tapi setelah berdiskusi, inilah yang kami pilih.”
Mahiru
tidak bisa menyembunyikan kekagetannya,
jelas merasa sedikit kewalahan. Dia bahkan menerima sebagian hadiah dari
Itomaki, seseorang yang tidak berhubungan langsung dengannya. Matanya
menunjukkan kekhawatiran yang dia pendam jauh di dalam hatinya: Apa baik-baik
saja bagiku untuk mendapatkan begitu
banyak perhatian?
Melihat
hal ini, Ayaka tersenyum setengah meminta maaf dan mencoba menenangkannya,
dengan berkata, “Tidak apa-apa. Kamu temanku, dan Bibi juga menyukai
Fujimiya-kun.” Bahkan Ayaka tampak sedikit khawatir, tetapi dia berusaha sebaik
mungkin untuk menghiburnya.
“Fujimiya-kun
tidak membenci makanan manis, kan?
Ditambah lagi, kami pikir ini mungkin kesempatan yang bagus baginya untuk
mengamati layanan dan tata krama mereka sebagai referensi di masa mendatang.
Oh, dan omong-omong, semua yang mereka sajikan di hotel ini sangat lezat, jadi
kupikir ini bisa menginspirasimu juga, Shiina-san.”
“Terima
kasih banyak… Aku bahkan belum sempat menyapa Itomaki-san dengan benar, jadi aku cukup terkejut.”
“Kamu tinggal
menunggu Fujimiya-kun mengajakmu, ‘kan?
Bibiku mengerti apa yang sedang terjadi, jadi jangan
khawatir.”
“Ugh… Aku
akan mencoba untuk merasa nyaman dengan hal itu sesegera mungkin,” janji Amane.
Amane memahami betul bahwa sindiran halus
kepadanya memang pantas, jadi yang bisa ia lakukan hanyalah menundukkan kepala.
Sementara ia perlahan mulai terbiasa dengan aspek layanan pelanggan dalam
pekerjaannya dan menjadi lebih nyaman dengan perannya secara umum, ia masih sesekali melakukan kesalahan, sering kali
menunjukkan sisi dirinya yang kurang sempurna kepada para seniornya dan Souji.
Amane
tidak dapat menahan keinginan egoisnya agar Mahiru menemuinya setelah dirinya lebih kompeten—keinginannya untuk
menunjukkan sisi yang lebih dewasa dan dapat diandalkan merupakan kesombongan sekaligus
kebanggaan. Namun, dia tidak dapat melepaskan keinginan untuk membuatnya
terkesan.
“Cepatlah,
kawan. Aku ingin melihatmu bekerja juga!” kata Itsuki.
“Aku
juga, aku juga!” imbuh Chitose.
“Kamu hanya akan mengolok-olokku saja!” seru Amane.
“Oh, ayolah. Kaum terlalu
waspada.”
“Aku jadi tidak bisa percaya pada kalian berdua…”
Jika
Itsuki dan Chitose muncul, ada kemungkinan 90% mereka akan menggodanya—jika
tidak 99,9%. Amane akan melakukan apa saja untuk
mencegah mereka mengunjunginya saat bekerja.
“…Tolong
tunjukkan padaku seberapa keren dirimu, Amane-kun. Oke?”
“Aku akan berusaha semaksimal
mungkin.”
Tak ada
yang bisa dilakukan, tetapi bahkan dengan desakan halus dari Mahiru, Amane
menyadari bahwa tidak ada gunanya membuatnya menunggu terlalu lama. Bertekad
untuk lebih berusaha dalam pekerjaan paruh waktunya, dia melirik Chitose yang
tertawa riang melihat pemandangan itu. Chitose menjulurkan lidahnya dengan
jenaka saat Amane menatapnya, tidak menunjukkan rasa bersalah. Amane berbalik
sambil mendesah dan memilih untuk mengabaikan godaannya.
“Terima
kasih banyak kepada kalian semua. Kalian semua telah melakukan banyak hal
untukku… Aku merasa sangat diberkati.”
Mahiru
memegang hadiahnya sambil tersenyum malu, menunjukkan ekspresi
kegembiraan yang murni. Mungkin karena dia menangis begitu banyak kemarin, dia
tampak sedikit lebih kuat hari ini, berhasil menahan air matanya. Namun,
matanya yang berwarna karamel berkilau cerah, dipenuhi dengan kehangatan lembut
yang mengancam akan meluap.
“Kamu
bisa lebih egois, Mahiru.”
“Tepat
sekali! Sedikit keegoisan untuk mendapatkan apa yang kamu inginkan tidak akan
merugikan, Mahirun!”
“…Ada
yang bilang kalau kamu mencoba memasukkan ide-ide aneh ke dalam kepalanya,”
Amane menoleh ke Chitose sambil tersenyum kecut. “Tapi ya, Mahiru, kamu boleh
minta lebih dan mengandalkanku sebanyak yang kamu mau, oke?”
Semua
orang yang mengenal Mahiru pasti setuju: dia adalah gadis yang tidak pernah
meminta apa pun dari orang lain dan selalu menahan diri untuk tidak menyuarakan
keinginannya, dengan tenang menanggung apa pun yang datang padanya. Meskipun
dia kadang-kadang menyebut dirinya egois, versi keegoisannya begitu sederhana
sehingga hampir tidak bisa disebut demikian. Jika perilakunya bisa disebut
egois, maka sebagai perbandingan, seluruh dunia akan penuh dengan orang-orang
yang tamak. Karena sifatnya yang mandiri, Mahiru terampil dalam menangani
berbagai hal secara mandiri, yang membuatnya ragu untuk bergantung pada orang
lain. Sebagai pacarnya, Amane bertekad untuk mendorongnya agar lebih bergantung
padanya dan memastikan dia merasa nyaman melakukannya.
“Lakukan
itu, dan Amane pasti akan memanjakanmu sepuasnya,” imbuh Chitose.
“…A-Aku akan memikirkannya,” kata
Mahiru. “Lagipula, Amane-kun sudah banyak memanjakanku kemarin.”
“Oh,
benarkah? Ceritakan lebih lanjut. Ayolah, cuma ada kita di sini!”
“Oi, hentikan,” sela Amane dengan cepat.
Mereka
tidak melakukan hal yang tidak pantas, tetapi bukan begitu inti masalahnya. Diinterogasi
tentang apa yang terjadi selama mereka menghabiskan waktu bersama tetap saja
memalukan. Amane percaya bahwa Mahiru tidak menceritakan secara rinci tentang
penginapan mereka setelah festival budaya, tetapi mengetahui Chitose dan taktik
liciknya, dia masih sedikit khawatir. Ia
harus memeriksa dengan Mahiru nanti untuk memastikan dia tidak membocorkan apa
pun.
Meskipun
Amane mencoba menghentikannya, Chitose tetap mendekati Mahiru dengan senyum
riang, jelas berniat mengungkap detailnya.
Dia
dengan bercanda memeluk Mahiru dan mengantarnya ke sisi di mana tidak ada yang
akan mendengar mereka. Mahiru tersenyum samar namun tidak sepenuhnya menolak
dan membiarkan Chitose menyeretnya menjauh dari kelompok lainnya. Sebagai
pacarnya, Amane hanya bisa mendesah, menempelkan tangannya ke dahinya.
(Aku tahu ini bakalan terjadi)
Mahiru
suka berbagi momen bahagia dengan orang lain, dan kecuali topiknya adalah
sesuatu yang benar-benar ingin dirahasiakan, dia dapat dengan mudah dibujuk
untuk berbicara ketika didesak oleh teman-teman dekatnya. Amane tidak dapat
menahan rasa cemas tentang apa yang mungkin akan dibagikannya... Namun
tiba-tiba, dia menyadari bahwa Yuuta tampak sedikit gelisah. Dirinya duduk paling jauh dari Mahiru.
“Kadowaki,
ada apa?” tanya Amane pelan.
Menyadari
ekspresi seperti apa yang mungkin dia buat, Yuuta menanggapi dengan senyum yang
lebih gelisah. “Yah, aku hanya berpikir… Apa tidak apa-apa bagiku untuk
diundang ke sini?”
"Itu
hanya menunjukkan kerendahan hatimu, Kadowaki-kun. Tapi, asal kamu tahu saja, itu
bukan sesuatu yang seharusnya kamu katakan di sini."
Meskipun
Yuuta berbicara dengan berbisik, Ayaka tetap menangkap apa yang dikatakannya.
Dia menatapnya dengan lembut, “Buruk! "
meskipun tatapannya hangat dan penuh pengertian. Tidak ada celaan yang
terlihat.
“Benar juga,
maafkan aku.”
“Wajah
penuh permintaan maaf itu tidak benar-benar membantumu, tahu?”
“Sejujurnya,
aku mengenal Shiina-san bahkan lebih sebentar
darimu, Kadowaki-kun. Jadi secara teknis, seharusnya aku yang mengatakan itu.”
“Tapi
Kido, hal-hal seperti itu sama sekali tidak mengganggumu, ‘kan?”
“Hmm, begini, kurasa Shiina-san kurang lebih
menerimaku. Sikapnya cukup jelas, jadi aku tidak terpengaruh. Begitu kau dekat
dengannya, dia sebenarnya cukup mudah dipahami.”
Ayaka
tersenyum alami dan percaya diri. Bahkan tidak ada sedikit pun keraguan dalam
kata-katanya. Jelas bahwa dia merasa sepenuhnya yakin dengan apa yang telah
dikatakannya.
Ayaka
sering mengklaim bahwa mengamati orang adalah hobinya, tetapi hal itu tidak hanya terfokus pada
otot-otot mereka, seperti yang awalnya dipikirkan Amane. Dia juga peka terhadap
tanda-tanda kecin di antara interaksi
manusia. Sementara Amane senang memiliki orang lain yang memahami Mahiru, tapi mau tak mau dirinya merasa
sedikit malu, mengetahui bahwa Ayaka cukup tanggap untuk melihat berbagai
detail lain yang mungkin atau mungkin tidak ingin ia sembunyikan.
“Kamu sebenarnya cukup percaya diri
tentang hal-hal seperti itu ya,”
Yuuta menjelaskan.
“Ungjapan percaya
diri mungkin agak berlebihan. Lebih seperti aku bisa
tahu dia menganggapku sebagai teman dari cara dia memperlakukanku dengan
hangat. Shiina-san tahu aku mencintai Sou-chan, jadi dia takkan curiga aku
mencoba melakukan sesuatu yang lucu. Kurasa itu sebabnya dia merasa nyaman di
dekatku.”
“Ah,
masuk akal.”
“Kenapa
kamu mengangguk setuju, Kadowaki?”
“Siapa
yang tahu?”
“Siapa
tahu!?”
“Ada apa
dengan kalian berdua?”
“Fujimiya-kun,
apa kamu masih mengingat
festival budaya waktu itu?
Para gadis tergila-gila padamu, bukan?”
“Tergila-gila…? ”
“Ya,
mereka berbisik seperti, 'Bukankah ia agak tampan? ' Sesuatu
semacam itu.”
“Agak
sulit untuk mengangguk saat Tuan Paling Terkenal
sendiri duduk tepat di sebelahku,” kata Amane.
Sebagian
besar sorakan selama acara kafe mereka ditujukan kepada Yuuta. Amane tidak bisa membantah kalau tidak
ada yang memujinya, tetapi kekaguman yang luar biasa terhadap Yuuta
menenggelamkan pujiannya. Selain itu, perhatian yang diterima Amane tidak
memiliki nada manis dan romantis seperti yang diterima Yuuta.
Meski
begitu, Ayaka menatap Amane dengan pandangan penuh pengertian. Dia menggoyangkan jari telunjuknya
ke kiri dan ke kanan seolah berkata, “Kamu ini memang
tidak mengerti, ya?”
“Fujimiya-kun,
kamu adalah tipe ganteng yang
berbeda—itulah kuncinya.”
“Tipe ganteng?”
“Kadowaki-kun
terlihat mirip seperti seorang
pangeran—baik hati, tampan, dan pria terhormat.”
“Apa aku
harus membalasnya dengan
mengangguk?” Yuuta angkat bicara.
“Ya,
Kadowaki-kun, di sinilah kamu mengangguk. Nah, Fujimiya-kun, di sisi lain, kamu
adalah tipe yang angkuh dan dingin yang tidak menyukai orang lain. Namun di
festival, kamu memamerkan senyum pemenang penghargaan yang sempurna itu entah
dari mana. Kontras itu benar-benar menghasilkan keajaiban.”
“Apa yang
sebenarnya sedang kamu bicarakan?”
“Aku
serius! Kamu, seorang anak laki-laki yang tidak diperhatikan orang lain, datang
ke festival dengan penampilan yang segar dan menarik, tetapi kemudian tersenyum
lebar! Jadi, kurasa ada beberapa
orang menjadi lemah karena kesenjangan
itu.”
“Kadowaki,
apa kamu mengerti perkataannya?”
“Hmm…”
“Kenapa kamu
tidak setuju denganku sekarang!?”
Ayaka mengeluarkan teriakan samar yang sengaja dilebih-lebihkan, “Iiiiiiih!” seperti binatang yang
terluka.
Amane mau tak mau hanya bisa
menatapnya dengan pandangan bingung, seolah-olah ia sedang menatap makhluk yang
tidak dapat dipahami sepenuhnya. Dirinya
berharap itu bukan reaksi yang terlalu kasar.
“Fujimiya,
entah kamu menyadari atau
tidak, hal tersebut tidak dapat disangkal
bahwa kamu semakin mendapat banyak perhatian
akhir-akhir ini. Bahkan tanpa melibatkan Shiina-san,
orang-orang kini memperhatikanmu. Itulah yang membuat Shiina-san gelisah dan
masih gelisah. Tidak mengkhawatirkan hal itu bisa
menjadi keuntungan besar saat membangun hubungan persahabatan.”
“Tepat
sekali! Kamu
benar-benar tahu bagaimana mengungkapkan sesuatu dengan kata-kata,
Kadowaki-kun.” Ayaka menepukkan tangannya sambil tersenyum lebar dan berkata,
“Nilai penuh untukmu!” Ekspresi riangnya bertemu dengan ekspresi jengkel dan
bingung Amane.
“Itulah
sebabnya aku yakin Shiina-san bersedia menjadi temanku.”
“Aku
mengerti apa yang ingin kamu
katakan, Kido…tapi benar atau salah, menurutku itu bukan keseluruhan
ceritanya.”
"Apa
maksudmu?"
“Meskipun
kamu benar, menurutku Mahiru berteman denganmu karena dia benar-benar
menyukaimu dan menganggapmu orang baik.”
“Fweh?” Suara lembut dan bingung keluar dari bibir Ayaka.
Kata-kata Amane pasti membuatnya terkejut.
Apa
yang membuatnya bingung? Amane berpikir. Seolah-olah dia
tidak mengerti apa yang dimaksudnya. Setelah berpikir sejenak, dia memutuskan
untuk menjelaskan lebih lanjut, memilih kata-katanya dengan hati-hati saat dirinya perlahan mulai berbicara.
“Misalnya,
kamu selalu memperhatikan orang lain, ramah, dan selalu penuh senyum, kamu bahkan tidak pernah ragu untuk membantu
seseorang yang membutuhkan. Kamu
memperhatikan orang-orang di sekitarmu,
tahu persis kapan harus membantu dan kapan harus mundur tanpa berlebihan. Kamu menjaga keseimbangan yang baik.”
Dari sudut pandang yang berbeda, Mahiru
bahkan lebih introvert daripada Amane. Meskipun dia bisa menjaga komunikasi
tingkat permukaan yang sempurna dan menampilkan dirinya dengan menawan, sangat
sedikit orang yang bisa menembus cangkang yang dia bangun di sekitar dirinya
yang sebenarnya. Satu-satunya alasan Chitose mampu menembus begitu cepat adalah
karena dia terhubung dengan Amane—seseorang yang sudah dipercayai Mahiru sampai
taraf tertentu. Dan fakta bahwa Amane menjadi dekat dengan Mahiru sejak awal
adalah sebuah keajaiban. Mengesampingkan hal itu, Mahiru selalu menjaga jarak
dengan orang lain. Bahkan setelah melepaskan kedok ‘Malaikat’-nya,
sifatnya yang tertutup itu tetap ada, meskipun sedikit melunak. Meskipun dia
menjadi lebih baik dalam berinteraksi dengan teman-teman sekelasnya, dia masih
bukan orang yang terbuka untuk mengungkapkan perasaannya yang sebenarnya.
Namun... kepribadian Ayaka yang lembut, perhatian, dan penuh perhatian pasti
telah beresonansi dengannya, memicu sesuatu dalam indra Mahiru-nya, yang
membuatnya lebih mudah untuk terbuka.
“Kamu adalah orang yang tulus,
selalu positif, dan menjaga jarak yang tepat sambil bersikap bijaksana dan
penuh perhatian. Tentu, kamu bisa menjadi sedikit terlalu antusias
dengan hobimu, tetapi itu menunjukkan betapa bersemangat dan berdedikasinya dirimu. Ditambah lagi, kamu tidak
pernah melewati batas atau menjadi pengganggu bagi orang lain. Menurutku Mahiru
memahami kualitas-kualitas itu dan menganggapnya mengagumkan. Itulah sebabnya
dia ingin berteman denganmu.”
Dari
pengamatan Amane, Mahiru tampaknya lebih menyukai orang yang tenang dan bijaksana,
dan Ayaka sangat cocok dengan deskripsi itu. Namun, ini bukan hanya masalah
menyesuaikan diri dengan preferensi Mahiru. Fakta bahwa dia menganggap
kepribadian Ayaka benar-benar menyenangkan terlihat jelas dari bagaimana
hubungan mereka berkembang. Jika Mahiru tidak merasa seperti itu, dia tentu
tidak akan mengundang Ayaka ke rumahnya—secara teknis itu adalah rumah Amane sih, tetapi bagi Mahiru, itu praktis
menjadi rumahnya juga. Mengundang seseorang ke tempat itu membuktikan bahwa dia
percaya dan merasa nyaman dengan mereka.
“Mahiru
terkadang khawatir tentang betapa kecilnya lingkaran pertemananku, tetapi jika
kamu bertanya padaku, dia punya
lebih sedikit orang yang bisa diajaknya bicara. Itulah sebabnya memiliki seseorang sepertimu
yang menjadi temannya membuatku bahagia, Kido. Dan aku senang bisa berteman
denganmu juga.”
Amane
hanya mengungkapkan perasaannya yang sebenarnya, tetapi setelah
mendengarkannya, Ayaka menatapnya seolah-olah ada sesuatu yang sangat ingin dia
katakan, alisnya terkulai lucu. Karena merasa
bingung, Amane menoleh ke Yuuta, yang menanggapi dengan
mengangkat bahu, ekspresinya tampak antara jengkel dan kagum. Amane tidak tahu
apa yang sedang terjadi.
“…Aku
heran bagaimana bisa kamu mengatakan
hal seperti itu secara langsung. Sejujurnya, itu sedikit memalukan. Dengan
caramu melakukannya tanpa rasa khawatir, aku benar-benar bisa mengerti mengapa
Shiina-san jatuh cinta padamu. Dan aku juga bisa mengerti mengapa dia sedikit
khawatir tentang banyak hal.”
“Sepakat.”
“Lagi-lagi begitu, kenapa kamu langsung mengangguk setuju begitu, Kadowaki?” balas Amane dengan
bingung.
“Siapa
yang tahu?”
“Siapa
yang tahu??”
“Oh,
ayolah…”
Amane
tidak bisa menahan rasa bingungnya. Keduanya, yang sebelumnya tampak tidak
begitu akrab, tiba-tiba bekerja sama dengan sempurna seolah-olah mereka telah mencapai
suatu pemahaman yang tak terucapkan.
Mengapa mereka begitu sinkron di saat-saat
seperti
ini?
“Fujimiya,
kamu tahu nggak sih kalau saat kamu dekat dengan seseorang, kamu selalu
bersikap sangat terbuka dan terus terang kepada mereka, kan?”
“Maksudku,
bahkan jika kamu
menanyakan itu padaku…”
Amane
selalu melihat dirinya lebih sinis atau acuh,
jelas bukan seseorang yang blak-blakan
dan terus terang. Namun, bagi teman-temannya, tampaknya ia tidak terlihat
seperti itu.
“Fujimiya-kun,
aku tahu kamu tidak bermaksud apa-apa, tapi terkadang kamu mengutarakan sesuatu
dengan cara yang terus terang. Mungkin cara bicaraku
kurang enak didengar, tapi bahkan tanpa sengaja, ada kemungkinan
seorang gadis yang berbicara denganmu akan terpesona
tanpa kamu menyadarinya.”
“…Dengan
kata lain?” tanya Amane, masih sedikit bingung.
“Ada
kemungkinan gadis lain tertarik padamu tanpa kamu sadari. Di mata pacarmu, itu
hal yang menakutkan. Apalagi karena kamu sendiri tidak menyadarinya."
“… Aku?” jawab Amane dengan nada tidak percaya.
“Wah,
orang ini tidak mempercayainya.”
Itsuki, yang diam-diam mendengarkan percakapan itu, tidak bisa diam lebih lama
lagi dan berkomentar. Ketika Amane menoleh, dia melihat bahwa Mahiru dan
Chitose telah menyelesaikan percakapan mereka dan sekarang sedang berjalan kembali.
“Aku
yakin semua orang di sini hari ini bisa sepakat tentang pesona Amane-kun.”
“Seratus
persen itu pendapatmu yang bias, Mahiru.”
Amane
tidak dapat menahan diri untuk tidak memberikan pandangan skeptis setelah
mendengar ucapan Mahiru, tetapi ia secara naluriah menegakkan tubuhnya ketika
Mahiru mengalihkan pandangannya ke arahnya. Mahiru tersenyum cerah dan manis.
“Amane-kun.”
“Ya?” dia
menjawab secara refleks terhadap nada bicara Mahiru yang lembut namun fokus.
“Nanti
aku ingin mengobrol dengan santai soal seberapa rendahnya kepercayaan dirimu, tapi kita kesampingkan
dulu… Kamu sudah berusaha keras untuk memperbaiki diri dan meraih hasil yang
bisa kamu banggakan, benar kan?”
“Iya.”
“Jadi,
saat orang menyadari perubahanmu, jangan buru-buru mengabaikan pujian mereka,
oke?”
“Aku akan
mengingatnya,” tegas Amane.
Amane
mengerti maksud Mahiru dan bahkan tidak berpikir untuk membantah. Namun,
sebagian dirinya tidak bisa menghilangkan perasaan bahwa penilaian mengenai dirinya terlalu
dilebih-lebihkan. Namun, saat pikiran-pikiran itu mulai muncul, Mahiru
memberinya senyuman yang sangat indah seolah-olah ia telah melihat menembus
dirinya. Senyum itu membuatnya merinding. Ia segera menepis semua keraguan.
“Kamu tidak punya kesempatan melawan
Shiina-san, kan?”
“Cerewet.”
Amane
tahu dirinya lemah terhadap Mahiru, jadi ia
tentu tidak membutuhkan Itsuki untuk menunjukkannya. Meskipun dirinya tahu itu benar, mendengarnya
diucapkan dengan keras membuatnya kesal. Ia
menatap Itsuki dengan tatapan dingin sembari
membalas dengan ketus. Sebagai tanggapan, Itsuki hanya
melambaikan tangannya dengan santai seolah berkata, "Baiklah,
baiklah, aku mengerti."
“Kurasa
Amane-kun tidak akan pernah… mengalihkan perhatiannya ke wanita lain. Dia hanya
memperhatikanku.”
“Syuu, syuuu!”
Mendengar pernyataan Mahiru, Chitose bersiul main-main.
“Jangan
menggodaku.”
“Siap, Bu.”
Amane
langsung merasa puas melihat Mahiru dengan sigap menghentikan ejekan Chitose.
Ia pikir tidak ada salahnya menikmati momen itu, hanya sedikit.
“…Meski
begitu, um, aku tetap takkan
senang jika gadis lain mencoba peruntungan mereka denganmu, jadi jika kamu bisa
mengingatnya, itu akan membuatku merasa lebih baik… Meskipun aku tahu ini egois
karena aku yang memintanya.”
“Mahiru,
aku tidak akan pernah membiarkan siapa pun mendekat, karena aku tahu itu
membuatmu cemas. Aku akan memastikan untuk menjaga jarak.”
Menyadari
sekali lagi bahwa permintaan Mahiru berawal dari kekhawatiran yang tulus, Amane
memutuskan untuk meyakinkannya. Ia menjawab dengan jelas dan penuh keyakinan,
berniat sepenuhnya untuk meredakan kekhawatirannya untuk selamanya.
Gagasan
untuk tergoda oleh wanita lain selain Mahiru sama sekali tidak pernah terpikirkan oleh Amane, dan
mencari perhatian dari orang lain untuk memastikan cinta Mahiru bahkan lebih
tidak masuk akal. Amane tidak cukup bodoh atau ceroboh
untuk terlibat dalam perilaku sembrono seperti itu. Meskipun bohong rasanya jika dirinya
tidak merasa tersanjung ketika Mahiru sedikit cemburu, fakta bahwa kecemburuan
itu berasal dari perasaan tidak amannya membuat hal itu menjadi sesuatu yang
tidak akan pernah ia lakukan
dengan sengaja. Sebagai pacarnya, sengaja membuatnya merasa tidak nyaman merupakan sesuatu yang
ingin dihindari Amane.
“Lagipula,
bukankah semua orang sudah tahu kalau kita berpacaran? Memangnya ada yang akan mencoba
mendekatiku?"
Kalau
dipikir-pikir lagi, Amane merasa kenangan itu agak memalukan, jadi dia tidak
sering mengingatnya. Namun, kejadian yang membuat dirinya dan Mahiru jadian adalah lomba
berburu harta karun selama festival olahraga. Selama kompetisi, Mahiru secara
terbuka menyatakannya sebagai orang terpenting di dunia di hadapan seluruh
sekolah. Sekarang, bisa dipastikan bahwa berita itu sudah menyebar ke semua
siswa.
Sejak
saat itu, Amane bertekad untuk berdiri dengan percaya diri di samping Mahiru,
dan menjelaskannya dengan jelas kepada siapa pun yang menonton. Meskipun ia
enggan mengakuinya, bahkan Itsuki dan teman-teman mereka yang lain akan
menggoda mereka tentang betapa “mesranya” mereka.
Tidak ada ruang bagi orang lain untuk berada di antara mereka.
“Mahirun
masih saja mendapatkan pengakuan cinta sampai sekarang, tau? Tidak sebanyak
dulu sih, tapi tetap saja masih. Bukannya
menurutmu itu juga bisa terjadi padamu, Amane?”
“Hmph.
Tapi sampai sekarang, itu belum terjadi sama sekali.”
Amane
tidak sepenuhnya yakin dengan pendapat Ayaka, dan inilah alasannya. Meskipun
Mahiru memujinya, dan bahkan Itsuki dan teman-teman mereka yang lain
berkomentar tentang seberapa banyak dirinya
telah berubah, bukan berarti Amane tiba-tiba
memasuki apa yang disebut fase populernya. Tidak ada
seorang pun wanita selain Mahiru yang menunjukkan ketertarikan padanya secara
romantis.
Tentu
saja, Amane telah mendengar beberapa komentar positif selama festival budaya,
tetapi tidak ada yang signifikan terjadi sejak saat itu. Teman-teman sekelasnya
terus memperlakukannya seperti biasa, jadi ia tidak bisa mengerti mengapa
teman-temannya memujinya. Setiap kali dirinya
dipuji, Amane mendapati dirinya
menggaruk-garuk kepalanya. Tetapi sebelum ia bisa memikirkannya lebih lanjut,
desahan Chitose, disertai dengan “Kamu tidak mengerti, kan?” mengganggu pikirannya,
menghentikannya.
“Itulah
masalahnya…” lanjutnya. “Amane, kamu tidak memiliki daya tarik universal
seperti Mahirun, tapi… bagaimana ya menjelaskannya…”
“Aku bisa
melihatnya menarik perasaan tulus dari sekelompok kecil yang sangat
berdedikasi,” kata Itsuki.
“Aku
tidak bisa membayangkan hal itu terjadi,” kata Amane, “dan bahkan jika memang itu terjadi,
aku tidak akan pernah menerimanya.”
“Intinya,
tetaplah waspada. Kami tidak khawatir kamu akan mencari ke tempat lain atau apa
pun.”
Amane
mengernyitkan dahinya sedikit.
(Aku tidak tertarik melihat
gadis lain. Jika ada gadis yang menunjukkan ketertarikan padaku, aku akan
merasa tidak nyaman karena aku tidak bisa membalas perasaannya.)
Chitose
tidak menggoda, tertawa, atau menatapnya dengan tidak percaya. Sebaliknya, dia
diam-diam memperingatkannya, membuat Amane tidak punya pilihan selain
mengangguk penuh perhatian sebagai tanggapan.
✧ ₊ ✦ ₊ ✧
“Sekedar
meluruskan,
aku tidak meragukanmu, oke?”
Setelah
semua orang pergi, Mahiru berbicara dengan suara yang lugas dan lembut. Hal ini
mengejutkan Amane, membuatnya bertanya-tanya apa yang
dia bicarakan.
Saat
Amane berkedip kebingungan beberapa saat,
akhirnya ia menyadari bahwa Mahiru
melanjutkan pembicaraan yang telah ia tunda sebelumnya, ia duduk di sampingnya
di sofa, menunduk sedikit sambil mencubit lengan bajunya dengan lembut.
Ekspresi wajahnya yang agak rentan menunjukkan bahwa mungkin Mahiru pun merasa
sedikit cemas.
“Aku tahu
betul bahwa, um, kamu sangat
mencintaiku, Amane-kun. Dan aku tahu kamu
bukan tipe orang yang akan mengingkari janji yang kamu buat,” kata Mahiru.
"Tapi
selama ini aku bertindak dengan cara yang membuatmu khawatir, bukan? Aku akan
lebih berhati-hati," jawab Amane.
Hanya
karena dirinya tidak
menyadarinya bukan berarti ia terbebas dari batasan antara benar dan salah.
Amane bukannya tak berperasaan, tidak
pengertian, atau tidak peka sehingga dirinya
akan mengabaikan kekhawatiran Mahiru yang wajar sebagai pacarnya.
“Itu
bagian dari pesonamu, Amane-kun, jadi itu bukan sesuatu yang harus kubatasi.
Dan, tentu saja, menurutku bagus juga kalau orang-orang mulai menganggapmu
hebat.”
“Tapi
Mahiru, aku tidak ingin kamu merasa tidak nyaman karena hal tersebut.”
“Kupikir
tidak ada salahnya jika kamu bersikap hati-hati di sekitar
wanita yang mendekatimu, tetapi sejujurnya, tidak ada yang bisa kamu lakukan agar mereka tidak
tergila-gila padamu. Itu hanya berarti orang-orang di sekitar kita menyadari
betapa hebatnya dirimu, Amane-kun, dan aku mengerti bahwa lebih baik disukai
daripada tidak disukai—setidaknya, sampai batas tertentu.”
“Ya,
aku setuju dengan itu. Hei...obrolan ini mungkin keluar
dari topik, tapi aku punya pertanyaan singkat.”
“Apa
itu?”
“Aku
menanyakan hal serupa sebelumnya, tapi... secara hipotetis, misalnya saja memang ada
seorang gadis yang menyukaiku. Mengapa dia bahkan menembakku?”
Ini
adalah bagian yang tidak dapat dipahami Amane. Ia
dapat memahami gagasan seseorang yang mencoba menarik perhatian orang yang
mereka sukai—itu masuk akal. Namun, situasinya berubah total setelah kamu mempertimbangkan bahwa orang
tersebut sudah
memiliki pasangan.
Meski
emosi bukanlah sesuatu yang bisa dikendalikan
sepenuhnya dengan akal sehat,
bertindak berdasarkan perasaan tersebut sambil sepenuhnya memahami bahwa orang
tersebut sudah memiliki pasangan atau suami istri merupakan tindakan yang berada di luar
pemahaman Amane.
“Jika
mereka berusaha PDKT dengan terang-terangan,
bukankah itu berarti mereka menginginkan semacam jawaban dariku?”
“Benar.
Mereka akan mendekatimu dengan harapan kamu
membalas perasaan mereka, menginginkan supaya kamu
melirik mereka.”
“Jadi,
terus terang saja…mereka ingin merebutku darimu, Mahiru?”
“Ya,
intinya memang seperti itu.”
“Sejujurnya,
aku agak tersinggung karena mereka masih berpikir ada ruang untuk memisahkan
kita saat aku begitu mencintaimu. Aku tidak mengerti. Aku tidak tahu bagaimana
orang bisa melihatku dan berpikir aku akan meninggalkanmu.”
Mengesampingkan
perdebatan tentang apa mereka saling bermesraan
di depan orang lain, tapi ada satu
hal yang pasti: Amane selalu menyayangi dan menghargai Mahiru di mana pun
mereka berada. Mereka tidak pernah bertengkar, dan dirinya juga tidak pernah
memperlakukannya dengan dingin. Amane
bangga dengan kenyataan bahwa mereka saling menghormati dan menikmati hubungan
yang damai bersama. Mahiru mengakui hal ini, dan bahkan orang-orang di sekitar
mereka percaya bahwa keduanya tidak akan pernah berpisah.
Amane
tidak pernah sekalipun mengalihkan perhatiannya kepada wanita lain. Ia sama
sekali tidak tertarik pada siapa pun, bahkan Itsuki pun merasa heran. Siapa pun
yang mengenal Amane akan menertawakan absurditas gagasan bahwa ia tiba-tiba
menjadi dekat dengan wanita lain sekarang.
Jika,
secara hipotetis, seorang wanita mencoba untuk memenangkan hati Amane, Amane
akan sangat tersinggung jika wanita itu menganggapnya sebagai tipe orang yang
dapat dengan mudah berganti pasangan hanya dengan sedikit rayuan. Jika ada yang
salah menilai perasaannya terhadap Mahiru sebagai hal yang dangkal, Amane takkan
merasakan apa pun selain ketidaknyamanan dan langsung memutuskan hubungan
dengannya tanpa ragu-ragu.
“Jika
mereka mendekatiku setelah mengetahui keberadaanmu,
Mahiru, maka itu akan membuatku waspada. Aku heran apa mereka tidak bisa tahu
hanya dengan melihatku bahwa aku tidak tertarik pada gadis lain. Aku akan
langsung menolak mereka.”
Amane
dikenal memiliki lingkaran pertemanan yang terbatas tetapi juga ruang pribadi
yang sangat luas. Siapa pun yang melewati batas yang telah ditetapkannya akan
segera menjadi sasaran peringatan, terutama jika mereka cenderung menyakiti
Mahiru dalam prosesnya. Dirinya
tidak dapat memahami pola pikir seseorang yang ingin menciptakan keretakan
dalam hubungan harmonis orang lain. Ia
juga tidak ingin melakukannya. Baginya, orang-orang seperti itu bahkan tidak
layak untuk diperhatikan.
“Kamu
lebih tegas dariku dalam hal ini,
Amane-kun.”
“Ini
bukan soal bersikap tegas atau apa pun… Bukannya
itu hal yang wajar? Misalnya, memangnya ada
orang yang akan merasa nyaman jika hal itu terjadi pada mereka?”
“Aku
mengerti maksudmu. Secara
mental, aku akan melabeli mereka sebagai orang yang melakukan hal-hal yang
tidak jujur dan menjaga jarak.”
“…Bukannya itu membuatmu setegas diriku, Mahiru?”
“Kamu bisa melihatnya seperti itu.
Tapi kurasa kamu akan
menarik garis yang lebih jelas daripada aku, Amane-kun. Aku cenderung membangun
tembok antara diriku dan orang lain, sedangkan kamu
secara terang-terangan menolak
mereka begitu saja.”
Ketika mendengar
ucapannya, Amane menyadari kalau dirinya memang
lebih tegas daripada Mahiru saat menolak pengakuan perasaan.
“Yah, mau
bagaimana lagi. Alasan utamanya adalah aku tidak ingin kamu salah paham, Mahiru. Aku tidak
ingin menjalin hubungan dengan seseorang yang tidak bisa mengambil keputusan
dan tidak bertanggung jawab sehingga mudah terjerumus dalam hubungan yang tidak
menentu seperti itu. Itulah sebabnya aku berusaha untuk berhati-hati. Aku lebih
suka mencegah kesalahpahaman yang aneh sebelum terjadi.”
Prinsip
Amane adalah bahwa menghentikan potensi penyebab kesalahpahaman atau
pertengkaran sejak awal merupakan langkah
yang terbaik. Dirinnya dan
Mahiru pada dasarnya tipe yang menyukai kedamaian
dan bersedia mendengarkan satu sama lain. Mereka selalu mencari titik temu,
itulah sebabnya mereka tidak pernah bertengkar. Namun, satu hal yang dapat
menyebabkan keretakan di antara mereka adalah jika salah satu dari mereka
melakukan kesalahan atau mengingkari janji.
Entah itu
benar atau salah paham, saat keraguan mulai muncul, wajar saja jika kepercayaan
yang telah mereka bangun mulai terkikis. Itulah sebabnya
sangat penting untuk meminimalkan alasan orang lain meragukanmu. Selalu hindari bersikap
mencurigakan, berkomunikasilah secara terbuka dan jelas, dan terkadang mintalah
pihak ketiga yang netral untuk menjamin. Semua iru
adalah tindakan pencegahan yang menurut Amane harus selalu diingat.
“Kembali
ke topik—itulah sebabnya, jika ada wanita yang menunjukkan ketertarikan padaku,
aku hanya akan merasa tidak nyaman dan menolaknya. Meskipun sejujurnya, aku
masih meragukan ada orang seperti itu.”
“Jika kamu mulai meragukannya, obrolan kita nanti tidak akan ada habisnya,”
jawab Mahiru.
“Ya,
tapi…kalau dipikir-pikir, tidak ada seorang pun yang pernah mencoba mendekatiku
sebelumnya.”
“Ya.
Lagipula, kamu cepat merasakan niat buruk, tapi kalau menyangkut orang yang
menunjukkan kasih sayang, kamu tidak menyadarinya.”
“…Mahiru-san,
kamu sedang kesal ya?”
“Bukannya kesal sih, tapi lebih tepatnya…hanya saja, mengingat
betapa sulitnya bagiku untuk membuatmu menyadari perasaanku membuatku sedikit…”
Mahiru
meletakkan tangannya di dahinya dan mendesah pelan seolah merasa sedikit lelah.
Amane, yang telah membuatnya berjuang, mendapati dirinya kehilangan kata-kata.
Wajahnya menegang, terbelah antara rasa bersalah dan senyum.
Sekitar
setengah tahun telah berlalu sejak Amane dan Mahiru mulai berpacaran, tetapi
perjalanan yang mengarah ke titik itu telah menghasilkan persetujuan Itsuki dan
Chitose yang sedikit kesal. Mereka berkata, “Butuh
waktu lama karena kamu
benar-benar tidak peka. Kalian selalu bimbang karena kurang percaya diri”. Amane
sangat menyadari bahwa keraguannya telah membuatnya mempertanyakan perasaan
Mahiru, berpikir tidak mungkin Mahiru tertarik padanya. Dirinya benar-benar mengerti mengapa
Mahiru berjuang selama waktu itu dan benar-benar merasa kasihan karenanya.
“Tentu
saja, sekarang aku tahu kamu
berusaha keras menyampaikan perasaanmu kepadaku, Mahiru! Aku hanya tidak cukup
percaya diri untuk mempercayainya!”
“Jika
saat itu kamu bilang
tidak menyadarinya, aku akan langsung membenamkan wajahku di antara kedua
tanganku… Kamu begitu tidak peka,
bahkan saat aku terus terang padamu.”
“Aku
minta maaf.”
“Se-Sekarang, aku tahu kamu menyadari perasaanku dan
mengungkapkannya dengan sangat jelas! Po-Pokoknya,
kembali ke topik. Akhir-akhir ini, kamu
sangat peka terhadap kasih sayangku dan merespons dengan sangat baik. Namun, kamu masih bisa sedikit tidak peduli
ketika menyangkut orang lain—terutama ketertarikan romantis dari wanita lain.
Sebenarnya, kamu tidak peduli sama sekali.”
“Seburuk
itu…?”
“Memang.
Sampai-sampai aku bisa mengatakannya dengan yakin. Tapi... karena ini bukti
bahwa akulah satu-satunya yang ada di dalam hatimu,
aku tidak bisa mengeluh.”
“Bukannya wajar jika hanya kamulah yang menjadi gadis yang kucintai?”
“…Cara
kamu mengatakan hal-hal seperti itu dengan mudahnya… Serius, itu tidak adil.”
“Hah…?”
“Ak-Aku
tahu bahwa aku satu-satunya… Karena…kamu sangat mencintaiku.”
“Tepat
sekali. Senang rasanya kamu
mengerti itu,” jawab Amane sambil tersenyum lembut.
Suara
Mahiru melemah malu-malu saat dia bersikap gelisah,
keraguannya hanya membuatnya tampak lebih menawan. Amane dengan lembut melingkarkan
lengannya di sekeliling Mahiru
saat dia bersandar padanya dengan anggun. Amane lalu
meletakkan tangannya dengan lembut di punggungnya, memeluknya dengan hangat.
Kini,
mengekspresikan cinta dan memanjakan satu sama lain telah menjadi sifat alami
mereka. Saat memeluknya, Amane menyerap
semua emosi yang ditujukan padanya, berhati-hati agar tidak melukai tubuhnya
yang halus. Ia memeluknya dengan lembut untuk menyerap dan menghilangkan
kecemasan dan ketakutan kecil yang ada dalam tubuhnya yang mungil.
Ketegangan
samar di tubuhnya mencair saat Amane membelainya dengan lembut menggunakan
telapak tangannya. Mahiru meringkuk lebih dekat, menunjukkan kepercayaan penuh
padanya. Karena ingin lebih merasakan kehadirannya, Amane perlahan mengubah
posisi mereka, berbaring di sofa dengan Mahiru di atasnya. Bukannya dia yang
naik ke atasnya—dia dengan lembut membimbingnya ke sana. Terkejut dan malu,
Mahiru berkedip cepat dan mencoba mengangkat dirinya, tetapi tanpa berkata
apa-apa, Amane melingkarkan lengannya di sekelilingnya. Dia memeluknya erat dan
tidak membiarkannya menjauh.
“…Aku
mungkin terlalu berat.”
“Kamu
tidak berat. Sama sekali tidak… Selain itu, aku ingin kamu lebih bersandar
padaku.” Saat rambutnya berayun
dan dia tampak sedikit gugup, Amane berbisik pelan, mencari kasih sayang dan
mengundangnya untuk dimanja. Sebagai balasan,
pipi pucat Mahiru perlahan memerah dengan semburat merah muda lembut.
“Jika itu
yang kamu lakukan, maka aku ingin kamu lebih bersandar padaku,
Amane-kun,” gumam Mahiru dengan
manis.
“Apa kamu lebih suka jika dilakukan sebaliknya?”
“Baka!” seru
Mahiru, wajahnya semakin memerah.
Karena tersipu malu, Mahiru melancarkan
serangan langsung pada Amane dengan membenamkan wajahnya tepat di dada Amane. Amane
tak dapat menahan tawanya. Merasakan dada Amane bergetar karena geli, Mahiru
mengangkat setengah wajahnya, memperlihatkan pipinya yang memerah dan mata
tajamnya yang menggemaskan saat dia
melotot ke arahnya.
Meskipun
Amane berusaha tetap tenang di luar, kata-kata dan tindakannya cukup berani. Demi menutupinya, dirinya dengan lembut meletakkan
tangannya di kepala Mahiru yang terangkat, membelai rambutnya dengan lembut
agar helaian rambutnya yang halus tidak kusut. Itu saja membuat kepala Mahiru
terbenam kembali ke dadanya.
*Pom, pom*
Bahkan
sentuhan kecil yang diberikannya, hampir seperti keluhan yang main-main, terasa
menawan. Amane menerimanya dengan senyum, menikmati kehangatan, kelembutan, dan
bahkan bagaimana dia bersandar padanya dengan penuh kasih sayang. Jari-jarinya
perlahan menyisir rambutnya yang halus, terawat, dan berwarna kuning muda.
“Amane-kun.”
"Ya?”
Mereka terus berpelukan dengan tenang selama
beberapa saat ketika suara tenang Mahiru memanggil dengan lembut, mendorong
Amane untuk sedikit memiringkan kepalanya. Dipenuhi dengan ketulusan murni,
mata Mahiru bertemu dengan Amane, tidak lagi menunjukkan kebingungan atau rasa
malu sebelumnya.
“Aku…
tidak berpikir bahwa setiap gadis yang ingin mengungkapkan perasaannya seperti
itu… Mungkin ada seorang gadis di luar sana yang tidak dapat menahan
perasaannya, yang harus mengungkapkannya. Suatu hari, mungkin ada seorang gadis yang dengan
tulus mengatakan bahwa dia mencintaimu akan datang. Saat itu terjadi,
Amane-kun—”
“Aku akan
menolaknya. Dengan lembut… Aku akan mendengarkannya, tetapi tidak akan menerima
perasaannya.”
Amane
mengerti apa yang ingin dikatakan Mahiru, bahkan tanpa membuat Mahiru menyelesaikan perkataannya.
Amane tahu bahwa tidak semua orang
yang menyatakan cinta kepada seseorang yang sudah menjalin hubungan punya niat
buruk. Bahkan orang seperti dirinya,
yang sepenuhnya mengabdi kepada Mahiru, bisa melihatnya. Terkadang, orang hanya
perlu mengungkapkan perasaan mereka sebelum perasaan itu menjadi terlalu berat
untuk ditangani—itu wajar saja.
Amane
tidak ingin mengutuk perasaan seperti itu sebagai sesuatu yang salah, dirinya juga percaya bahwa siapa pun tidak berhak untuk menyangkal emosi
orang lain. Lagipula, tidak seorang pun dapat sepenuhnya mengendalikan kapan
atau bagaimana perasaan tersebut muncul. Terkadang, emosi tersebut menjadi terlalu kuat untuk
ditanggung, dan akhirnya diarahkan kepada orang yang tidak dapat berhenti
dipikirkannya. Namun, kebenaran sederhananya tetap ada—Amane tidak berniat
menerima perasaan tersebut.
“Kamulah orang yang
kucintai, Mahiru. Satu-satunya orang yang kurencanakan untuk masa depanku
adalah dirimu. Itulah sebabnya aku tidak akan pernah
membiarkan orang lain menempati ruang di sampingku. Satu-satunya orang yang
pantas berada di sini hanyalah dirimu.”
Meskipun
menolak seseorang akan menyakiti perasaan
mereka, Amane tidak bisa goyah. Mahiru merupakan
satu-satunya orang yang dicintainya, dan dirinya
tidak akan pernah memilih orang lain. Begitu pula, Mahiru tidak bisa
membayangkan akan melepaskan Amane. Mereka berdua sangat memahami hal ini, dan
untuk meredakan keraguan yang masih ada, mereka terus berbagi kata-kata,
perasaan, dan kehangatan, dengan lembut melapisinya satu sama lain.
“Jadi,
kamu tidak perlu khawatir. Karena aku sudah memiliki
dirimu, Mahiru, aku tidak membutuhkan siapa pun lagi.”
“…Oke.”
Merasakan
tubuh Amane semakin rileks, Amane menyipitkan matanya karena puas. Dirinya dengan lembut mempererat
pelukannya di sekitar kehangatan yang ia pegang dalam pelukannya.
Sebelumnya | Daftar isi | Selanjutnya