Otonari no Tenshi-sama Jilid 10 Bab 1 Bahasa Indonesia

Chapter 1 — Keesokan Hari yang Penuh Kegembiraan

 

 

Keesokan paginya tepat setelah ulang tahunnya, Mahiru mengunjungi rumah Amane sebelum berangkat sekolah. Meskipun matanya masih sedikit bengkak, wajahnya menunjukkan senyum kebahagiaan dan kegembiraan yang luar biasa.

Berkat kerja keras Amane, Mahiru menangis beberapa kali kemarin, tetapi Amane masih khawatir matanya mungkin bengkak. Untungnya, bengkaknya tidak cukup parah untuk membuatnya jelas bahwa sesuatu telah terjadi, yang membuat Amane merasa tenang. Namun, terlepas dari kekhawatirannya, Mahiru tampak tidak terganggu sama sekali. Ekspresinya alami dan lembut, menunjukkan bahwa dia masih merasakan sisa-sisa emosi yang berputar-putar di dalam dirinya dari hari sebelumnya.

Dengan ekspresi yang dipenuhi rasa puas sehingga tidak menyisakan ruang untuk hal lain, raut wajah Mahiru terlalu berseri-seri untuk dilihat Amane di pagi hari. Ekspresinya yang begitu berdampak buruk untuk jantung rapuh Amane.

“Selamat pagi,” sapa Mahiru.

“…Selamat pagi juga,” jawab Amane

“…Kenapa kamu membuang mukamu?” tanyanya.

Mahiru segera menyadari bahwa ia tidak bisa menatap matanya.

Amane tidak keberatan saat Mahiru menyapanya di ruang tamunya. Meski begitu, dirinya secara naluriah mundur saat Mahiru menghampirinya saat ia masih mengenakan piyama dan menatapnya dengan pandangan tidak setuju. Gerakannya itu hanyalah gerakan refleks, upaya untuk melindungi dirinya dari kekuatan luar biasa yang merupakan kelucuan Mahiru, tetapi sepertinya pacarnya itu tidak menyadari alasan di baliknya.

Dari sudut matanya, Amane melihat alis Mahiru terkulai karena kecewa. Segera menyadari kesalahannya, Amane segera menutup jarak di antara mereka, melingkarkan lengannya di punggung Mahiru. Memalingkan mukanya merupakan kesalahan konyol. Dirinya tidak bermaksud menyakiti Mahiru, jadi Amane tahu ia perlu menjelaskan dengan benar makna di balik apa yang baru saja dilakukannya.

“Maaf—bukannya berarti aku sudah bosan denganmu atau tidak ingin melihatmu lagi. Hanya saja kamu... terlalu berlebihan,” kata Amane.

“Terlalu…berlebihan?”

“Kamu tampak begitu bahagia, dan, um…wajahmu begitu berseri-seri sehingga aku tidak bisa menatapmu langsung setelah bangun tidur. Kamu tampak begitu menawan, dan itu terlalu berat untukku. Maaf. Akunya saja yang aneh. Aku tidak bermaksud menyakitimu.

Begitu Amane mulai berbicara, Mahiru perlahan-lahan mengendur dalam pelukannya. Dia bersandar pada Amane dengan ekspresi lega, menunjukkan bahwa kesalahpahaman telah terselesaikan. Sementara ia sedikit menggeser tubuhnya, Mahiru tidak berhenti menempel padanya. Setelah merasa puas, dia mendongak dan bergumam, Kalau begitu, tidak apa-apa, sebelum membenamkan wajahnya lagi di dada Amane.

“…Apa aku benar-benar terlihat bahagia?” tanyanya.

“Super duper bahagia. Kamu tampak berseri-seri dari dalam ke luar.”

“Be-Benarkah…?”

Beneran.

Mahiru sudah memperlihatkan senyum yang begitu cerah kepada Amane sampai-sampai itu bisa menyilaukannya, tetapi Mahiru sama sekali tidak menyadarinya.

…Sejak kemarin, aku sangat bahagia sampai-sampai aku tidak bisa berhenti tersenyum. Hmm, a-aku akan lebih berhati-hati.”

Tolong ya. Kalau kamu keluar seperti itu, bukan cuma aku yang akan kena—semua orang di sekitar kita akan berjatuhan seperti lalat.”

Bukannya kamu terlalu melebih-lebihkannya?”

“Tidak, aku serius… Mahiru, tolong sadari bahwa senyum alamimu memiliki kekuatan penghancur yang begitu dahsyat.”

Senyumnya yang tulus dan sangat berbeda dari senyuman yang biasa yang dia tunjukkan sebagai ‘bidadari, memancarkan kebahagiaan murni dari lubuk hatinya. Senyum itu menyampaikan perasaan yang kuat bahkan tanpa kata-kata. Sebagai pacarnya, Amane melihatnya sebagai kekuatan yang harus diperhitungkan. Senyum itu dapat membakar mata dan pikiran siapa pun yang melihatnya.

Mahiru kemudian mengangkat kepalanya, menahan senyumnya yang mempesona. Amane merasa lega, tetapi dirinya masih berharap Mahiru tidak menunjukkannya di depan umum.

“Kalau begitu, aku akan menunjukkannya hanya di hadapanmu, Amane-kun.”

Syukurlah kalau memang begitu.”

Mahiru yang kini tersenyum lebih lembut, memeluk Amane dengan lebih gembira. Merasakan kehangatan tubuh lembut Mahiru yang menempel padanya, Amane menggigit bibirnya, berusaha keras menelan dahaga yang mengancam akan muncul. Karena keadaan pasti akan berjalan ke arah yang salah jika ia membiarkan Mahiru terus menciumnya dengan penuh kasih sayang, ia menepuk punggungnya dengan lembut sebagai cara halus untuk menenangkannya, dengan lembut menciptakan jarak di antara mereka.

“…Tunggu sebentar di sini, Mahiru—aku belum berpakaian. Aku akan segera kembali,” kata Amane.

Ekspresi sedih langsung terpancar di wajah Mahiru. Menyadari betapa mudahnya memahami perasaannya, Amane tak kuasa menahan tawa. Namun, hal ini sedikit membuatnya kesal, karena bibirnya sedikit mengerucut sebagai respons. Ungkapan kasih sayang Mahiru yang terbuka memang menggemaskan, tetapi saat dia semanis itu, Amane dengan cepat merasa kewalahan. Dirinya membutuhkan waktu untuk menenangkan diri guna meredakan panas yang menumpuk di dalam dirinya.

“Kamu boleh ikut denganku, tapi kamu yakin ingin melihatku berganti pakaian?”

“Kamu masih setengah tidur, ya?”

“Kau benar-benar tidak menahan diri terhadapku, ya.”

Mengetahui bahwa menggodanya terlalu banyak hanya akan menghasilkan respons dingin, Amane memutuskan untuk tidak mendesak lebih jauh. Ia menepuk kepala Mahiru dengan lembut, yang tampak enggan melepaskannya, lalu melepaskannya dari pelukannya. Mahiru dengan patuh melangkah mundur, menatapnya dengan ekspresi penuh harap seolah berkata, Aku akan menunggu dengan sabar. Melihat itu, Amane terkekeh pelan dan berjalan menuju kamarnya.

(Sebaiknya aku bersiap secepat yang kubisa)

 

 

“Shiina-san, matamu terlihat sedikit bengkak. Apa semuanya baik-baik saja?”

Ayaka tiba lebih awal dari mereka dan memanggil Amane dan Mahiru saat mereka memasuki kelas.

Biasanya, Amane dan Mahiru akan tiba lebih awal daripada teman-temannya, tetapi hari ini, mereka telah bersantai di rumah sebelum berangkat ke sekolah, jadi mereka menjadi orang terakhir dari kelompok mereka yang biasa tiba.

Kemarin, setelah menangis, Mahiru telah mencuci wajahnya dengan saksama, mendinginkannya, dan melembabkannya dengan hati-hati, tetapi tampaknya dia masih belum bisa sepenuhnya menghilangkan bekas bengkaknya. Matanya sedikit merah. Meskipun tidak kentara, itu cukup untuk menimbulkan perasaan samar bahwa ada sesuatu yang tidak beres, yang dengan jelas dirasakan Ayaka.

“Aku baik-baik saja. Hanya saja, um, ada banyak hal yang terjadi,” jawab Mahiru lembut.

Ayaka tahu tentang ulang tahun Mahiru, tetapi menahan diri untuk tidak menyebutkannya di kelas. Mahiru, yang diam-diam menyangkalnya, merasa malu karena tangisannya diketahui orang dan sedikit mengecil.

Mengingat seberapa tidak sukanya Mahiru menunjukkan kelemahan kepada orang lain, tidak mengherankan jika dia tidak ingin seorang pun tahu bahwa dia sedang menangis, pikir Amane.

Melihat Mahiru bergerak canggung, Amane — si pelaku —memberikan senyum tipis dan tegang.

“…Fujimiya-kun, kamu tidak boleh terlalu kasar pada Shiina-san, paham?” kata Ayaka.

“Tunggu, kamu salah paham. Aku sama sekali tidak membuat Mahiru menderita,” Amane melambaikan tangannya dengan gugup, mencoba menyangkal segala perilaku kejam.

I-Ia benar,” Mahiru mendukungnya. “Amane-kun selalu menjagaku dengan baik. Ia selalu baik padaku dan memperlakukanku selembut mungkin.”

Setelah berkedip beberapa kali karena terkejut, ekspresi Ayaka berubah serius karena suatu alasan aneh. Dia lalu mencengkeram bahu Amane dengan kuat.

“…Fujimiya-kun, pastikan kamu bersikap lembut padanya lain kali, oke? Shiina-san takkan sanggup menahannya kalau kamu terlalu kasar.”

“Tunggu, tunggu dulu! Kamu salah paham!” Amane berkata dengan panik. “Bukan begitu maksudnya!”

Menyadari bahwa Ayaka telah terlalu halu dalam membaca kata-kata Mahiru, Amane dengan panik menggelengkan kepalanya, berusaha keras untuk menegaskan bahwa Mahiru salah. Setelah melihat reaksi paniknya, ekspresi serius Ayaka melembut menjadi senyuman.

“Hehe, bercanda, bercanda. Aku tahu maksudmu. Kupikir pestamu pasti menyenangkan kemarin.”

“…Kido, kamu pasti meniru kebiasaan buruk Itsuki dan Chitose.”

“Oh, tidak sama sekali,” jawab Ayaka dengan nada bercanda. “Pokoknya, sebaiknya kamu waspada, Fujimiya-kun. Shiina-san memang agak linglung di sekitar teman-temannya kalau kamu tahu maksudku. Aku tidak akan heran kalau dia sampai terbawa suasana dan tidak sengaja membocorkan beberapa hal.”

Li-Linglung…?” Mahiru bergumam.

“Aku tahu persis apa maksudmu,” sahut Amane.

“Bagaimana kamu bisa tahu itu!? Aku terkejut.” Sambil mengatakan itu, Mahiru mengalihkan pandangannya ke arah Amane, yang bersama Ayaka, menjawab serempak, “Yah, itu benar.” Hal itu hanya membuat tatapan mencela Mahiru semakin tajam saat dia diam-diam memarahi mereka.

 

 

“…Apa kamus sudah melangkahi tahap selanjutnya tanpa memberi tahu kami!?”

Saat Amane meninggalkan Ayaka dan pergi ke Itsuki dan Chitose, dirinya disambut dengan ucapan itu. Alih-alih marah, perasaan jengkel muncul dalam dirinya— lagi.

“Jangan sammpai orang-orang ini juga ... pikirnya. Apa itu benar-benar aura yang mereka dapatkan dari Mahiru? Amane merasakan pipinya berkedut saat memikirkannya.

“Lihat, aku benar-benar akan marah sekarang.”

Ih !

“Ikkun, coba pikirkan baik-baik. Mana mungkin Amane akan melakukan hal itu dengan mudah. Dirinya sangat menyayangi Mahirun sehingga ia hampir berpuasa demi Mahirun!” (TN: Buat yang masih belum paham maksudnya, teman-temannya mengira kalau Amane dan Mahiru sudah berada di tahap berhubungan badan :v)

Bisakah kamu diam sebentar?” tuntut Amane, yang sudah merasakan sakit kepala mendekat.

Karena Chitose menjadi Chitose seperti biasa, dia telah melontarkan komentar yang sama sekali tidak perlu. Namun, seperti biasa, dia tidak menghiraukannya dan memberinya senyum cerah. Tidak bisa menyangkalnya, kan? katanya. Amane tidak bermaksud menjawab, jadi ia mengabaikannya begitu saja. Sebagai tanggapan, Chitose memberinya tatapan penuh pengertian, hampir menggoda, tetapi Amane hanya menggigit bibirnya dan membiarkannya berlalu tanpa sepatah kata pun.

Mengetahui bahwa Amane tidak berniat ikut-ikutan menggodanya, Chitose mengangkat bahu dan menoleh ke Mahiru, yang telah memperhatikan mereka dengan tenang. Ekspresinya tenang namun ceria, dan sepertinya Chitose sudah mengetahui hasil usaha mereka selama sebulan terakhir hanya dari tatapan itu.

“Sepertinya rencana kita berhasil besar. Aku ikutan senang.”

“Terima kasih banyak semuanya,” Mahiru mengungkapkan rasa terima kasihnya.

“Tidak, tidak, kami juga ingin merayakan ulang tahunmu, Shiina-san,” Itsuki menjelaskan. “Dan hari ini, giliran kami untuk melakukannya. Tapi jangan khawatir, kami tidak berencana untuk melakukan apa pun di sini. Kamu mungkin lebih suka jika orang lain tidak mengetahuinya, kan?”

“Kita pinjam saja tempat Amane!” seru Chitose.

“Kamu seharusnya memberitahuku terlebih dulu, tahu,” balas Amane.

Kamu pasti punya firasat bahwa ini akan terjadi, kan?

Yah, tentu saja.

“Hahaha, ini pasti yang disebut telepati!”

“Sebelum kamu mulai mengandalkan 'telepati'-mu, sebaiknya kamu harus ingat bahwa memberitahuku saja akan jauh lebih efektif lain kali.”

Amane paham betul bahwa tempatnya merupakan lokasi yang paling nyaman, dan dirinya kurang lebih sudah menduga hal-hal akan terjadi seperti ini. Bagaimanapun, akan lebih mudah jika mereka membuat reservasi terlebih dahulu. Ia mencoba memarahi mereka dengan lembut saat mengingat kejadian serupa, tetapi keduanya sama sekali tidak terpengaruh. Kata-katanya hanya masuk ke telinga kanan dan keluar dari telinga kiri.

Jujur saja, orang-orang ini... karena tidak dapat menyembunyikan kekesalannya, Amane mendesah berlebihan, membuat perasaan masamnya terlihat jelas. Mahiru, yang memperhatikannya, tersenyum lembut. Dia agak terganggu tetapi menganggap situasi itu sedikit lucu.

“Terima kasih banyak atas perhatianmu… Sungguh perasaan yang menyenangkan, bukan? Dirayakan seperti ini.” Kata-kata yang diucapkan Mahiru diucapkan dengan sangat pelan sehingga hanya orang-orang terdekatnya yang bisa mendengarnya, tetapi tampaknya baik Itsuki maupun Chitose menangkap setiap kata-katanya.

“Baiklah! Kita harus memastikan kamu mendapatkan begitu banyak kegembiraan sampai-sampai kamu merasa kelelahan. Bagaimanapun, Mahirun, kamulah bintang pertunjukan ini.”

“Tepat sekali,” Itsuki setuju. “Kamu selalu rendah hati, Shiina-san, tetapi hari ini, saatnya bagimu untuk berkata, ' Akulah bintang pertunjukan! Bersujudlah di hadapanku!' Rangkullah semangatnya!”

“H-Hah…? Bersikap sombong dan angkuh semacam itu akan terlihat sedikit…”

“Mahiru, maksud mereka kamu harus merasa bahwa kamu pantas mendapatkan perayaan besar. Lagipula, aku bukan satu-satunya orang yang dengan tulus ingin mengucapkan selamat ulang tahun kepadamu.”

Mahiru pantas dirayakan oleh teman-teman dekatnya untuk semua waktu yang belum pernah dia lalui sebelumnya. Kegembiraan yang dia rasakan dari perayaan Amane mungkin sedikit berbeda dari yang dirasakan Chitose dan Itsuki, tetapi semakin banyak kegembiraan yang dia rasakan, maka itu semakin baik. Amane ingin dia menikmati kebahagiaan tersebut sepuasnya.

Dengan pemikiran itu, Amane tersenyum sambil menepuk kepala Mahiru dengan lembut, sambil berkata, Jangan khawatir, orang-orang ini hanya punya pikiran yang murni, jadi kamu bisa santai saja. Mahiru melirik ke arah tiga orang lainnya, tampak sedikit tidak yakin, tetapi dia mengangguk malu-malu setelah beberapa saat.

 

 

“Sekali lagi, selamat ulang tahun, Mahirun~!”

Chitose menahan kegembiraannya saat mereka berada di sana untuk menghindari menarik perhatian pada pesta ulang tahun Mahiru di sekolah. Namun begitu tiba di rumah Amane, dia dengan gembira mengangkat tinjunya ke langit, berteriak dengan suara ceria.

Ayaka dan Yuuta menyaksikan dengan senyum hangat, yang menikmati momen itu dengan tenang. Sementara itu, Itsuki, dengan senyum tipis dan geli, berkata, Dia benar-benar sangat bersemangat, ya? dan menatap Mahiru dengan ekspresi lembut.

Hari ini merupakan perayaan ulang tahun Mahiru putaran kedua, dan para tamu adalah para pembantu yang telah mendekorasi ruangan kemarin.

“Selamat ulang tahun, Shiina-san.”

“Terima kasih semuanya,” jawab Mahiru hangat.

Mahiru yang dulu, yang menganggap ulang tahunnya sendiri sebagai sesuatu yang tidak penting, kini sudah tidak ada lagi. Ekspresinya kini menunjukkan kelegaan dan kegembiraan yang lembut.

Melihat Mahiru bahagia dan dikelilingi oleh teman-teman dekatnya merayakan hari istimewanya membuat Amane merasa sangat lega. Ia senang bahwa Mahiru akhirnya bisa menikmati hari ulang tahunnya dengan baik.

“Heh heh heh, sekarang kita seumuran, Mahirun! Dulu kamu yang lebih muda!”

Amane, Mahiru, Itsuki, dan Chitose—keempatnya sering menghabiskan waktu bersama, sampai-sampai sudah menjadi hal yang wajar bagi mereka untuk melakukannya. Di antara mereka, Chitose adalah yang tertua, diikuti oleh Amane, Mahiru, dan terakhir Itsuki.

Dengan kata lain, Chitose telah menjadi yang tertua di kelompok itu sedikit lebih awal daripada yang lain, tetapi ketika ditanya apa dia tampak lebih dewasa karena hal itu, Amane tentu saja ragu. Ia tidak terlalu kekanak-kanakan, tetapi apa Chitose dapat menyatakan dirinya sebagai yang 'lebih tua dan lebih bijak' di kelompok itu adalah cerita yang berbeda.

Mahiru memang selalu lebih dewasa. Fakta itu tidak bisa dipungkiri, komentar Amane.

Memangnya ada masalah dengan caraku bertindak, hmm?”

“Tidak. Sama sekali tidak…”

“Masalahnya, Chi, kamu selalu—” Itsuki memulai

“Ya, bagaimana denganku? Aapa ada yang ingin kamu katakan?”

“Tidak! Sama sekali tidak!”

Bahkan Itsuki, pacarnya, tampaknya punya beberapa pikiran tentang perilaku Chitose. Namun, karena tahu dirinya akan disalahkan jika ia menyuarakannya, Itsuki hanya tersenyum pahit dan membiarkannya begitu saja. Saat Chitose memasang wajah frustrasi, Mahiru dengan lembut menyela dengan kata-kata yang menenangkan, Sudah, sudah, membantunya mendapatkan kembali ketenangannya. Dengan itu, Amane dan Itsuki diam-diam bertukar pandang dan berbagi senyum geli.

“Baiklah, aku yakin Amane membuat hari kemarin menjadi hari yang luar biasa untukmu, jadi hari ini giliran kita untuk merayakannya!”

Begitu ruangan sudah tenang, Itsuki perlahan meninggikan suaranya dan berbicara mewakili semua orang.

“Aku merasa sudah menerima banyak hal dari semua orang… Maksudku, kalian semua membantu mendekorasi, kan? Itu indah.”

“Heh heh, baiklah, aku tahu seleramu sama baiknya dengan Amane, bahkan mungkin lebih baik!”

Ya, sejujurnya, kamu mungkin ahli dalam hal itu, Chitose. Aku tahu hal-hal seperti apa yang disukai Mahiru, tetapi aku tidak begitu pandai menentukan dengan tepat apa yang akan membuatnya paling bahagia saat itu juga. Kamu selalu mendukungku dalam hal itu.

Tentu saja, Amane memahami selera Mahiru, tetapi ketika harus memutuskan pilihan yang sempurna, dirinyaa tidak begitu yakin. Bahkan jika Amane tahu selera Mahiru, ia tidak dapat memilih pilihan terbaik atau menggabungkan preferensi tersebut dengan terampil menjadi sesuatu yang istimewa. Dirinya tidak memiliki selera gaya seperti Chitose, dan juga tidak dapat bersaing dengan pilihannya, yang sering kali menguntungkan dari sudut pandangnya sebagai sesama gadis.

Meskipun Chitose biasanya senang menggoda Amane, dia sangat serius saat berhubungan dengan Mahiru. Tidak ada yang meragukan bakatnya dalam hal ini.

“Hehehe… Andalkan aku lebih banyak lagi. Kagumi aku lebih banyak lagi!”

Haha…

“Kalian berdua…” kata Mahiru sambil terkekeh pelan.

Memutuskan untuk ikut meladeni candaannya, Amane menundukkan kepalanya dengan pura-pura menyerah. Dari belakangnya, suara Mahiru, campuran antara geli dan sedikit jengkel, terdengar, seolah-olah dia tidak bisa menahan tawa melihat pemandangan itu.

“Jadi, hadiahku adalah ini ! Ini edisi terbatas dari produk perawatan kulit yang selalu kamu gunakan, Mahiru. Demi kelucuan yang tak tertandingi!”

“Terima kasih banyak, Chitose-san. Tak kusangka kamu masih mengingatnya.”

“Yah, lagipula aku sudah sering menginap di rumahmu~ Kamu cemburu ya, Amane?”

“Kenapa wajahmu kelihatan songong begitu…? Aku juga tahu apa yang digunakan Mahiru.”

Mahiru merupakan gadis yang tidak pernah mengabaikan upaya apa pun dalam hal perawatan diri. Dia memiliki filosofinya sendiri tentang perawatan kulit, telah mencoba berbagai produk selama bertahun-tahun hingga akhirnya menemukan yang paling cocok untuknya, yang kini dia gunakan secara rutin. Dan terkadang, dedikasi tersebut juga disalurkan kepada Amane.

Amane bahkan meminta saran kepada Mahiru tentang produk apa yang cocok untuknya. Hasilnya, Mahiru menggunakan berbagai sampel sisa pada kulitnya sebagai uji coba perawatan kulit. Begitulah cara Amane mengetahui tentang produk yang saat ini digunakan Mahiru. Tentu saja, tidak mengherankan jika Amane mengetahuinya—bagaimanapun juga, Amane telah melihatnya menggunakannya beberapa kali saat Mahiru menginap.

Waduh, waduh…”

“Sudah, sudah.”

Amane tidak bermaksud seperti itu, tetapi fakta bahwa dirinya tahu tentang rutinitas perawatan kulit Mahiru tampaknya memicu beberapa pemikiran dalam diri Itsuki dan Chitose tentang apa yang terjadi di balik layar. Melihat ekspresi geli mereka saat mereka saling tersenyum, Amane menyipitkan matanya ke arah mereka, pipinya berkedut sepanjang waktu.

Jangan cengengesan terus begitu. Apa pun yang kalian bayangkan tidak terjadi.”

Wah, apa iya…?”

“…Chii-chan dan Akazawa-kun tidak pernah belajar, kan?” Ayaka menimpali.

“Kamu bisa mengatakannya lagi. Mereka berdua tahu bahwa jika kamu terlalu banyak menggoda Fujimiya, ia akan marah—dan sedikit malu,” tambah Yuuta.

“Kadowaki, Kido. Kalau kamu tahu itu, kamu seharusnya menghentikan mereka, lho.” Kata Amane.

“Aku pikir mereka akan terus melakukannya bahkan jika kita mencoba menghentikan mereka, tahu?”

Benar sekali.

Ejekan mereka bukanlah hal baru, dan Amane tahu tidak ada maksud jahat di baliknya, jadi ia menganggapnya sebagai lelucon ringan. Namun, itu tidak mengubah fakta bahwa diejek terus-menerus bukanlah hal yang menyenangkan baginya. Ia berharap kedua orang yang ada di dekatnya dapat bertindak sebagai penengah, setidaknya sesekali.

Adapun Mahiru, dia membelai kotak hadiah Chitose dengan lembut, sambil tersenyum lembut. Jelas dia tidak berniat menghentikan Chitose. Dia tahu itu tidak akan ada gunanya meskipun dia mencoba.

“Aku heran kenapa kamu bisa berhasil mendapatkannya... Bukankah ini hanya tersedia melalui undian online?” tanya Mahiru.

“Lihat, di sinilah kehokianku bekerja!”

“Pasti sulit untuk mendapatkan… Sekali lagi, terima kasih banyak.”

“Oh, jangan terlalu dipikirkan. Aku juga berpikir lipstik yang cantik mungkin bagus, tetapi setiap gadis punya preferensi warna yang berbeda. Jadi kupikir kamu akan lebih senang jika Amane membelikannya untukmu... Kau tahu, misalnya saja untuk berciuman.”

Chitose-san!?

Hanya bercanda, hanya bercanda!”

“Chi, jangan terlalu menggodanya. Lihat, walinya di sana siap menudingmu.”

Memangnya apa yang bisa ia lakukan hanya dengan satu jari?”

“Baiklah, aku bisa menjentik dahimu. Mau mencobanya?”

“Ah, tidak terima kasih! Aku tidak mau!”

Amane melengkungkan ibu jarinya dan mengaitkan jari tengahnya dengan tekanan untuk menunjukkan bahwa dirinya siap untuk menjentik dahinya. Chitose menggelengkan kepalanya dengan panik, dan bibirnya bergetar. Itsuki, yang geli dengan ini, langsung tertawa terbahak-bahak sampai memegangi perutnya. Amane melotot padanya, diam-diam menyuruhnya untuk mengendalikan pacarnya, tetapi itu hanya membuat Itsuki tertawa lebih keras.

Tak terpengaruh oleh tatapan dingin Amane, Itsuki terus tertawa hingga menyeka air mata di sudut matanya. Setelah menenangkan diri, ia meraih tas jinjing yang ditaruh di dekatnya dan mengeluarkan sebuah kotak yang terbungkus rapi. Dengan perubahan sikap yang tak terduga menjadi lebih serius, Itsuki dengan hati-hati memberikan hadiah itu kepada Mahiru dengan kedua tangannya. Perubahan mendadak dalam tingkah lakunya membuat Mahiru tampak bingung.

“Ini dari Yuuta dan aku. Mohon terima hadiah kami.”

“Ka-Kamu tidak perlu bersikap formal begitu…tapi terima kasih, Akazawa-san. Dan kamu juga, Kadowaki-san.”

“Tidak, tidak,” kata Yuuta. “Merupakan suatu kehormatan untuk memiliki kesempatan merayakan ulang tahunmu.”

“Mau memeriksanya dulu, Amane?” tawar Itsuki.

Hah, apa kamu menaruh sesuatu yang tidak pantas di sana atau semacamnya? …Itulah yang kupikirkan pada awalnya, tetapi aku tidak dapat melihatmu melakukan itu. Kamu sudah menyiapkannya bersama Kadowaki, jadi kurasa itu tidak mungkin.”

Amane sebenarnya tidak berpikir akan ada sesuatu yang tidak pantas di dalamnya. Lagipula, Itsuki sebenarnya orang yang cerdas dan bijak. Namun, ketika bersama Chitose, selalu ada kemungkinan kecil mereka akan memasukkan sesuatu yang nakal dalam upaya untuk mendekatkan Mahiru dan Amane. Karena Itsuki menyebutkan bahwa ia berkonsultasi dengan Yuuta untuk hadiah ini, Amane pada dasarnya merasa tenang.

Memangnya kamu tidak memiliki sedikit kepercayaan padaku!?” balas Itsuki.

“Ya, mungkin luangkan waktu untuk merenungkan kejenakaanmu di masa lalu.”

“…Aku tidak seburuk itu , kan? Tentu saja…”

“Aha ha…” Yuuta tertawa canggung. “Yah, maksudku…”

Itsuki memasang wajah kesal. “Kamu seharusnya mendukungku di sana, Yuuta.”

“Yah, aku tidak bisa membayangkan kamu bersikap tidak hormat pada Shiina-san.”

“Ya, Kadowaki benar. Kamu tidak akan melakukan itu pada Mahiru. Sekarang aku lega.”

“Perbedaan perlakuannya benar-benar beda jauh…”

"Ya, ya. Kamu tidak perlu mengatakannya.

“Kamu sendiri bisa bersikap sangat kasar, Yuuta, ya…”

Itsuki dan Yuuta sudah lama berteman dekat sehingga mereka bisa bertukar candaan ringan tanpa ada perasaan kesal. Meski Yuuta biasanya menunjukkan gambaran ketenangan, dengan senyum hangat dan aura ketulusan, momen-momen seperti ini menunjukkan sisi ceria yang sesuai dengan usianya. Amane tidak bisa menahan perasaan bahwa diejek Yuuta sesekali berarti dia dianggap sebagai teman dekat—setidaknya, itulah yang diyakininya.

“Ngomong-ngomong, hadiah kami adalah… Ah —”

“Mengapa kamu malah berhenti di tengah jalan?”

Maksudku, aku tidak yakin apa ini hadiah yang paling tepat. Ingat, kita sudah membicarakannya bersama sebelumnya.

Mereka kesulitan memilih hadiah, terutama karena lebih sulit memilih hadiah untuk teman perempuan daripada pacar perempuan. Baik Itsuki maupun Yuuta menunjukkan ekspresi canggung yang berbatasan dengan senyum masam, yang menunjukkan bahwa proses pengambilan keputusan cukup melelahkan.

Amane tidak meragukan indera perasa mereka, tetapi melihat mereka berdua tampak tidak yakin membuatnya merasa sedikit khawatir. “…Apa yang akhirnya kalian dapatkan?”

“Satu set kaldu dashi berkualitas tinggi yang bagus.”

Su-Sungguh khas ibu-ibu…”

Reaksi terkejut Chitose mencerminkan pikiran Amane—itu memang hadiah yang praktikal. Baik Itsuki maupun Yuuta telah meluangkan waktu dan upaya untuk memilih sesuatu yang pantas, memastikannya tidak terlalu pribadi tetapi sesuai dengan selera Mahiru. Ekspresi mereka memudahkan untuk mengetahui seberapa besar pemikiran yang telah mereka curahkan dalam keputusan tersebut.

“Kami mendengar kamu menginginkan batu asah, tapi itu agak berlebihan, jadi kami pikir sesuatu yang praktis di dapur akan menjadi pilihan yang bagus... Ditambah lagi, ini juga menguntungkan Fujimiya.”

Apa—!? Amane-kun, kamu memberi tahu mereka tentang batu asah itu?”

Menyadari bahwa batu asah bukanlah sesuatu yang diinginkan kebanyakan gadis SMA, Mahiru menempel erat pada Amane, sumber kebocoran. Pipinya sedikit memerah karena malu. Amane, yang terhanyut dalam momen itu, berulang kali meminta maaf dengan suara yang agak menyedihkan, M-Maaf, maaf.

Meskipun itu bukan sesuatu yang ingin dirahasiakan Mahiru, dia tetap tidak merasa senang jika hal itu diceritakan kepada orang lain. Dia menatap Amane, meskipun tatapannya tidak begitu tajam dan lebih seperti tatapan tajam ke atas yang dipenuhi dengan sedikit ketidaksenangan. Sebagai tanggapan, Amane menepuk bahunya dengan lembut untuk menenangkannya.

“Tapi kamu masih menginginkan batu asah, kan?” Amane melanjutkan.

Memangnya ada orang yang tidak menginginkannya?” balas Mahiru.

“Masih terlalu dini bagiku untuk mengarahkan perhatianku pada sesuatu yang begitu khusus…” jawab Ayaka.

Aku juga sama!”

“Aku tidak begitu antusias untuk memasak sejak awal…”

“Asalkan pisaunya bisa memotong dengan baik, aku baik-baik saja.”

“Se-sekutuku…” Mahiru mendesah, menyadari dukungannya semakin berkurang.

Karena tidak ada seorang pun di kelompok itu yang memiliki hobi memasak, tidak ada seorang pun yang mendukung pendapat Mahiru. Dia menundukkan alisnya dengan kecewa seolah berkata dalam hati, "Katakan padaku kalau itu tidak benar... Melihat ini, Amane menepuk kepalanya dengan lembut sebagai isyarat untuk menenangkan.

“Tidak apa-apa, Mahiru—kamu punya aku. Meskipun sejujurnya, itu akan sia-sia bagiku karena aku tidak membutuhkannya.”

Amane memahami pentingnya mengasah pisau, tetapi karena ia tidak dapat menggunakan batu asah yang tepat secara efektif dan pengasah pisau dasar sudah cukup baik baginya, ia tidak dapat sepenuhnya mendukung Mahiru kali ini. Namun, dari sudut pandangnya, melihat Mahiru cemberut dengan sangat menggemaskan membuatnya sulit untuk tetap bersikap tenang. Tepat saat ia berusaha menahan senyum, Ayaka dengan cepat mengenalinya dan menyeringai penuh arti. Karena malu, Amane segera mengalihkan pandangannya.

“Yah, itu sebabnya kami memilih set kaldu dashi,” jelas Yuuta. “Lebih praktis dan mudah digunakan saat dibutuhkan karena merupakan barang habis pakai, dan bisa menjadi kaldu yang enak.” Ia menoleh ke Mahiru. “Kamu bisa menggunakannya untuk mencengkeram perut Fujimiya lebih erat.”

"Aku khawatir dia akan mencengkeram perutku dengan sangat kuat sampa-sampai perutku melilit seperti simpul."

Mahiru terkekeh. “Kalau begitu, aku akan bertanggung jawab penuh dan menjagamu saat itu terjadi.”

“Wah! Itulah yang dinamakan kekuatan cinta.”

Mahiru hanya tersenyum lembut, sedikit rasa malu terlihat di wajahnya. Dia tidak mengiyakan atau membantah komentar itu. Senyum itu menggugah sesuatu yang dalam di hati Amane, perasaan lembut namun geli, membuat pandangannya mengembara. Ia mengerti bahwa ketidaknyamanan ini berasal dari rasa malu dan senang tetapi memilih untuk tidak mengungkapkannya. Tetap saja, bibirnya pasti telah mengkhianatinya karena Ayaka, dengan nada yang sama sekali tidak menggoda, berkata, “Fujimiya-kun, kita sedang tidak di sekolah, jadi kamu tidak perlu mencoba menyembunyikan perasaanmu atau apa pun.”

“…Kamu tidak perlu berkomentar yang tidak perlu.”

“Aha ha—maaf, maaf. Kamu tampak begitu bimbang, itu saja.”

“Kamu benar-benar tidak jujur pada dirimu sendiri, ya, Amane?” komentar Itsuki.

“Diam, kamu.”

“Lihat apa yang kumaksud?!”

Itsuki bermaksud menggodanya, jadi Amane melotot tajam untuk membungkamnya. Meski begitu, Itsuki tetap tampak geli. Raut wajahnya tetap ceria dan menyebalkan seperti biasanya.

“Semua orang memikirkan hadiah mereka dengan matang, ya? Kalau aku…yah, sebenarnya, aku memilih satu bersama bibiku. Kami sempat bingung menentukan pilihan, tapi ini yang kami pilih untuk hadiah ulang tahunmu.” Ayaka mengeluarkan amplop lucu dari tasnya.

Saat Amane terkagum-kagum melihat Ayaka mengabaikan kejenakaan Itsuki dengan mudah sambil tersenyum, Mahiru berkedip karena terkejut melihat hadiahnya. Hadiah ini tampak berbeda dari hadiah-hadiah lain yang pernah dilihatnya sejauh ini. Sambil memegang amplop itu, Ayaka mengedipkan mata pada Mahiru dengan jenaka.

“Tiket untuk minum teh sore untuk dua orang. Dilengkapi dengan layanan pelayan. Aku berhasil mendapatkannya dengan memanfaatkan koneksi bibiku.”

“Bukankah relasi Itomaki-san terlalu luas?”

“Aku juga punya pikiran yang sama. Agak menakutkan sih. Tapi setelah berdiskusi, inilah yang kami pilih.”

Mahiru tidak bisa menyembunyikan kekagetannya, jelas merasa sedikit kewalahan. Dia bahkan menerima sebagian hadiah dari Itomaki, seseorang yang tidak berhubungan langsung dengannya. Matanya menunjukkan kekhawatiran yang dia pendam jauh di dalam hatinya: Apa baik-baik saja bagiku untuk mendapatkan begitu banyak perhatian?

Melihat hal ini, Ayaka tersenyum setengah meminta maaf dan mencoba menenangkannya, dengan berkata, “Tidak apa-apa. Kamu temanku, dan Bibi juga menyukai Fujimiya-kun.” Bahkan Ayaka tampak sedikit khawatir, tetapi dia berusaha sebaik mungkin untuk menghiburnya.

Fujimiya-kun tidak membenci makanan manis, kan? Ditambah lagi, kami pikir ini mungkin kesempatan yang bagus baginya untuk mengamati layanan dan tata krama mereka sebagai referensi di masa mendatang. Oh, dan omong-omong, semua yang mereka sajikan di hotel ini sangat lezat, jadi kupikir ini bisa menginspirasimu juga, Shiina-san.

“Terima kasih banyak… Aku bahkan belum sempat menyapa Itomaki-san dengan benar, jadi aku cukup terkejut.”

“Kamu tinggal menunggu Fujimiya-kun mengajakmu, kan? Bibiku mengerti apa yang sedang terjadi, jadi jangan khawatir.”

“Ugh… Aku akan mencoba untuk merasa nyaman dengan hal itu sesegera mungkin,” janji Amane.

Amane memahami betul bahwa sindiran halus kepadanya memang pantas, jadi yang bisa ia lakukan hanyalah menundukkan kepala. Sementara ia perlahan mulai terbiasa dengan aspek layanan pelanggan dalam pekerjaannya dan menjadi lebih nyaman dengan perannya secara umum, ia masih sesekali melakukan kesalahan, sering kali menunjukkan sisi dirinya yang kurang sempurna kepada para seniornya dan Souji.

Amane tidak dapat menahan keinginan egoisnya agar Mahiru menemuinya setelah dirinya lebih kompeten—keinginannya untuk menunjukkan sisi yang lebih dewasa dan dapat diandalkan merupakan kesombongan sekaligus kebanggaan. Namun, dia tidak dapat melepaskan keinginan untuk membuatnya terkesan.

“Cepatlah, kawan. Aku ingin melihatmu bekerja juga!” kata Itsuki.

“Aku juga, aku juga!” imbuh Chitose.

“Kamu hanya akan mengolok-olokku saja!” seru Amane.

“Oh, ayolah. Kaum terlalu waspada.”

“Aku jadi tidak bisa percaya pada kalian berdua…”

Jika Itsuki dan Chitose muncul, ada kemungkinan 90% mereka akan menggodanya—jika tidak 99,9%. Amane akan melakukan apa saja untuk mencegah mereka mengunjunginya saat bekerja.

“…Tolong tunjukkan padaku seberapa keren dirimu, Amane-kun. Oke?”

“Aku akan berusaha semaksimal mungkin.”

Tak ada yang bisa dilakukan, tetapi bahkan dengan desakan halus dari Mahiru, Amane menyadari bahwa tidak ada gunanya membuatnya menunggu terlalu lama. Bertekad untuk lebih berusaha dalam pekerjaan paruh waktunya, dia melirik Chitose yang tertawa riang melihat pemandangan itu. Chitose menjulurkan lidahnya dengan jenaka saat Amane menatapnya, tidak menunjukkan rasa bersalah. Amane berbalik sambil mendesah dan memilih untuk mengabaikan godaannya.

“Terima kasih banyak kepada kalian semua. Kalian semua telah melakukan banyak hal untukku… Aku merasa sangat diberkati.”

Mahiru memegang hadiahnya sambil tersenyum malu, menunjukkan ekspresi kegembiraan yang murni. Mungkin karena dia menangis begitu banyak kemarin, dia tampak sedikit lebih kuat hari ini, berhasil menahan air matanya. Namun, matanya yang berwarna karamel berkilau cerah, dipenuhi dengan kehangatan lembut yang mengancam akan meluap.

“Kamu bisa lebih egois, Mahiru.”

“Tepat sekali! Sedikit keegoisan untuk mendapatkan apa yang kamu inginkan tidak akan merugikan, Mahirun!”

“…Ada yang bilang kalau kamu mencoba memasukkan ide-ide aneh ke dalam kepalanya,” Amane menoleh ke Chitose sambil tersenyum kecut. “Tapi ya, Mahiru, kamu boleh minta lebih dan mengandalkanku sebanyak yang kamu mau, oke?”

Semua orang yang mengenal Mahiru pasti setuju: dia adalah gadis yang tidak pernah meminta apa pun dari orang lain dan selalu menahan diri untuk tidak menyuarakan keinginannya, dengan tenang menanggung apa pun yang datang padanya. Meskipun dia kadang-kadang menyebut dirinya egois, versi keegoisannya begitu sederhana sehingga hampir tidak bisa disebut demikian. Jika perilakunya bisa disebut egois, maka sebagai perbandingan, seluruh dunia akan penuh dengan orang-orang yang tamak. Karena sifatnya yang mandiri, Mahiru terampil dalam menangani berbagai hal secara mandiri, yang membuatnya ragu untuk bergantung pada orang lain. Sebagai pacarnya, Amane bertekad untuk mendorongnya agar lebih bergantung padanya dan memastikan dia merasa nyaman melakukannya.

“Lakukan itu, dan Amane pasti akan memanjakanmu sepuasnya,” imbuh Chitose.

“…A-Aku akan memikirkannya,” kata Mahiru. “Lagipula, Amane-kun sudah banyak memanjakanku kemarin.”

“Oh, benarkah? Ceritakan lebih lanjut. Ayolah, cuma ada kita di sini!”

Oi, hentikan,” sela Amane dengan cepat.

Mereka tidak melakukan hal yang tidak pantas, tetapi bukan begitu inti masalahnya. Diinterogasi tentang apa yang terjadi selama mereka menghabiskan waktu bersama tetap saja memalukan. Amane percaya bahwa Mahiru tidak menceritakan secara rinci tentang penginapan mereka setelah festival budaya, tetapi mengetahui Chitose dan taktik liciknya, dia masih sedikit khawatir. Ia harus memeriksa dengan Mahiru nanti untuk memastikan dia tidak membocorkan apa pun.

Meskipun Amane mencoba menghentikannya, Chitose tetap mendekati Mahiru dengan senyum riang, jelas berniat mengungkap detailnya.

Dia dengan bercanda memeluk Mahiru dan mengantarnya ke sisi di mana tidak ada yang akan mendengar mereka. Mahiru tersenyum samar namun tidak sepenuhnya menolak dan membiarkan Chitose menyeretnya menjauh dari kelompok lainnya. Sebagai pacarnya, Amane hanya bisa mendesah, menempelkan tangannya ke dahinya.

(Aku tahu ini bakalan terjadi)

Mahiru suka berbagi momen bahagia dengan orang lain, dan kecuali topiknya adalah sesuatu yang benar-benar ingin dirahasiakan, dia dapat dengan mudah dibujuk untuk berbicara ketika didesak oleh teman-teman dekatnya. Amane tidak dapat menahan rasa cemas tentang apa yang mungkin akan dibagikannya... Namun tiba-tiba, dia menyadari bahwa Yuuta tampak sedikit gelisah. Dirinya duduk paling jauh dari Mahiru.

“Kadowaki, ada apa?” tanya Amane pelan.

Menyadari ekspresi seperti apa yang mungkin dia buat, Yuuta menanggapi dengan senyum yang lebih gelisah. “Yah, aku hanya berpikir… Apa tidak apa-apa bagiku untuk diundang ke sini?”

"Itu hanya menunjukkan kerendahan hatimu, Kadowaki-kun. Tapi, asal kamu tahu saja, itu bukan sesuatu yang seharusnya kamu katakan di sini."

Meskipun Yuuta berbicara dengan berbisik, Ayaka tetap menangkap apa yang dikatakannya. Dia menatapnya dengan lembut, Buruk! " meskipun tatapannya hangat dan penuh pengertian. Tidak ada celaan yang terlihat.

“Benar juga, maafkan aku.

“Wajah penuh permintaan maaf itu tidak benar-benar membantumu, tahu?”

Sejujurnya, aku mengenal Shiina-san bahkan lebih sebentar darimu, Kadowaki-kun. Jadi secara teknis, seharusnya aku yang mengatakan itu.

“Tapi Kido, hal-hal seperti itu sama sekali tidak mengganggumu, kan?”

“Hmm, begini, kurasa Shiina-san kurang lebih menerimaku. Sikapnya cukup jelas, jadi aku tidak terpengaruh. Begitu kau dekat dengannya, dia sebenarnya cukup mudah dipahami.”

Ayaka tersenyum alami dan percaya diri. Bahkan tidak ada sedikit pun keraguan dalam kata-katanya. Jelas bahwa dia merasa sepenuhnya yakin dengan apa yang telah dikatakannya.

Ayaka sering mengklaim bahwa mengamati orang adalah hobinya, tetapi hal itu tidak hanya terfokus pada otot-otot mereka, seperti yang awalnya dipikirkan Amane. Dia juga peka terhadap tanda-tanda kecin di antara interaksi manusia. Sementara Amane senang memiliki orang lain yang memahami Mahiru, tapi mau tak mau dirinya merasa sedikit malu, mengetahui bahwa Ayaka cukup tanggap untuk melihat berbagai detail lain yang mungkin atau mungkin tidak ingin ia sembunyikan.

“Kamu sebenarnya cukup percaya diri tentang hal-hal seperti itu ya,” Yuuta menjelaskan.

Ungjapan percaya diri mungkin agak berlebihan. Lebih seperti aku bisa tahu dia menganggapku sebagai teman dari cara dia memperlakukanku dengan hangat. Shiina-san tahu aku mencintai Sou-chan, jadi dia takkan curiga aku mencoba melakukan sesuatu yang lucu. Kurasa itu sebabnya dia merasa nyaman di dekatku.”

“Ah, masuk akal.”

“Kenapa kamu mengangguk setuju, Kadowaki?”

“Siapa yang tahu?”

“Siapa tahu!?”

“Ada apa dengan kalian berdua?”

“Fujimiya-kun, apa kamu masih mengingat festival budaya waktu itu? Para gadis tergila-gila padamu, bukan?”

Tergila-gila…?

Ya, mereka berbisik seperti, 'Bukankah ia agak tampan? ' Sesuatu semacam itu.

“Agak sulit untuk mengangguk saat Tuan Paling Terkenal sendiri duduk tepat di sebelahku,” kata Amane.

Sebagian besar sorakan selama acara kafe mereka ditujukan kepada Yuuta. Amane tidak bisa membantah kalau tidak ada yang memujinya, tetapi kekaguman yang luar biasa terhadap Yuuta menenggelamkan pujiannya. Selain itu, perhatian yang diterima Amane tidak memiliki nada manis dan romantis seperti yang diterima Yuuta.

Meski begitu, Ayaka menatap Amane dengan pandangan penuh pengertian. Dia menggoyangkan jari telunjuknya ke kiri dan ke kanan seolah berkata, Kamu ini memang tidak mengerti, ya?

“Fujimiya-kun, kamu adalah tipe ganteng yang berbeda—itulah kuncinya.”

“Tipe ganteng?

“Kadowaki-kun terlihat mirip seperti seorang pangeran—baik hati, tampan, dan pria terhormat.”

“Apa aku harus membalasnya dengan mengangguk?” Yuuta angkat bicara.

“Ya, Kadowaki-kun, di sinilah kamu mengangguk. Nah, Fujimiya-kun, di sisi lain, kamu adalah tipe yang angkuh dan dingin yang tidak menyukai orang lain. Namun di festival, kamu memamerkan senyum pemenang penghargaan yang sempurna itu entah dari mana. Kontras itu benar-benar menghasilkan keajaiban.”

“Apa yang sebenarnya sedang kamu bicarakan?”

“Aku serius! Kamu, seorang anak laki-laki yang tidak diperhatikan orang lain, datang ke festival dengan penampilan yang segar dan menarik, tetapi kemudian tersenyum lebar! Jadi, kurasa ada beberapa orang menjadi lemah karena kesenjangan itu.”

“Kadowaki, apa kamu mengerti perkataannya?”

Hmm…

“Kenapa kamu tidak setuju denganku sekarang!?” Ayaka mengeluarkan teriakan samar yang sengaja dilebih-lebihkan, “Iiiiiiih!” seperti binatang yang terluka.

Amane mau tak mau hanya bisa menatapnya dengan pandangan bingung, seolah-olah ia sedang menatap makhluk yang tidak dapat dipahami sepenuhnya. Dirinya berharap itu bukan reaksi yang terlalu kasar.

“Fujimiya, entah kamu menyadari atau tidak, hal tersebut tidak dapat disangkal bahwa kamu semakin mendapat banyak perhatian akhir-akhir ini. Bahkan tanpa melibatkan Shiina-san, orang-orang kini memperhatikanmu. Itulah yang membuat Shiina-san gelisah dan masih gelisah. Tidak mengkhawatirkan hal itu bisa menjadi keuntungan besar saat membangun hubungan persahabatan.”

“Tepat sekali! Kamu benar-benar tahu bagaimana mengungkapkan sesuatu dengan kata-kata, Kadowaki-kun.” Ayaka menepukkan tangannya sambil tersenyum lebar dan berkata, “Nilai penuh untukmu!” Ekspresi riangnya bertemu dengan ekspresi jengkel dan bingung Amane.

“Itulah sebabnya aku yakin Shiina-san bersedia menjadi temanku.”

“Aku mengerti apa yang ingin kamu katakan, Kido…tapi benar atau salah, menurutku itu bukan keseluruhan ceritanya.”

"Apa maksudmu?"

“Meskipun kamu benar, menurutku Mahiru berteman denganmu karena dia benar-benar menyukaimu dan menganggapmu orang baik.”

Fweh?” Suara lembut dan bingung keluar dari bibir Ayaka. Kata-kata Amane pasti membuatnya terkejut.

Apa yang membuatnya bingung? Amane berpikir. Seolah-olah dia tidak mengerti apa yang dimaksudnya. Setelah berpikir sejenak, dia memutuskan untuk menjelaskan lebih lanjut, memilih kata-katanya dengan hati-hati saat dirinya perlahan mulai berbicara.

“Misalnya, kamu selalu memperhatikan orang lain, ramah, dan selalu penuh senyum, kamu bahkan tidak pernah ragu untuk membantu seseorang yang membutuhkan. Kamu memperhatikan orang-orang di sekitarmu, tahu persis kapan harus membantu dan kapan harus mundur tanpa berlebihan. Kamu menjaga keseimbangan yang baik.”

Dari sudut pandang yang berbeda, Mahiru bahkan lebih introvert daripada Amane. Meskipun dia bisa menjaga komunikasi tingkat permukaan yang sempurna dan menampilkan dirinya dengan menawan, sangat sedikit orang yang bisa menembus cangkang yang dia bangun di sekitar dirinya yang sebenarnya. Satu-satunya alasan Chitose mampu menembus begitu cepat adalah karena dia terhubung dengan Amane—seseorang yang sudah dipercayai Mahiru sampai taraf tertentu. Dan fakta bahwa Amane menjadi dekat dengan Mahiru sejak awal adalah sebuah keajaiban. Mengesampingkan hal itu, Mahiru selalu menjaga jarak dengan orang lain. Bahkan setelah melepaskan kedok Malaikat-nya, sifatnya yang tertutup itu tetap ada, meskipun sedikit melunak. Meskipun dia menjadi lebih baik dalam berinteraksi dengan teman-teman sekelasnya, dia masih bukan orang yang terbuka untuk mengungkapkan perasaannya yang sebenarnya. Namun... kepribadian Ayaka yang lembut, perhatian, dan penuh perhatian pasti telah beresonansi dengannya, memicu sesuatu dalam indra Mahiru-nya, yang membuatnya lebih mudah untuk terbuka.

“Kamu adalah orang yang tulus, selalu positif, dan menjaga jarak yang tepat sambil bersikap bijaksana dan penuh perhatian. Tentu, kamu bisa menjadi sedikit terlalu antusias dengan hobimu, tetapi itu menunjukkan betapa bersemangat dan berdedikasinya dirimu. Ditambah lagi, kamu tidak pernah melewati batas atau menjadi pengganggu bagi orang lain. Menurutku Mahiru memahami kualitas-kualitas itu dan menganggapnya mengagumkan. Itulah sebabnya dia ingin berteman denganmu.”

Dari pengamatan Amane, Mahiru tampaknya lebih menyukai orang yang tenang dan bijaksana, dan Ayaka sangat cocok dengan deskripsi itu. Namun, ini bukan hanya masalah menyesuaikan diri dengan preferensi Mahiru. Fakta bahwa dia menganggap kepribadian Ayaka benar-benar menyenangkan terlihat jelas dari bagaimana hubungan mereka berkembang. Jika Mahiru tidak merasa seperti itu, dia tentu tidak akan mengundang Ayaka ke rumahnya—secara teknis itu adalah rumah Amane sih, tetapi bagi Mahiru, itu praktis menjadi rumahnya juga. Mengundang seseorang ke tempat itu membuktikan bahwa dia percaya dan merasa nyaman dengan mereka.

“Mahiru terkadang khawatir tentang betapa kecilnya lingkaran pertemananku, tetapi jika kamu bertanya padaku, dia punya lebih sedikit orang yang bisa diajaknya bicara. Itulah sebabnya memiliki seseorang sepertimu yang menjadi temannya membuatku bahagia, Kido. Dan aku senang bisa berteman denganmu juga.”

Amane hanya mengungkapkan perasaannya yang sebenarnya, tetapi setelah mendengarkannya, Ayaka menatapnya seolah-olah ada sesuatu yang sangat ingin dia katakan, alisnya terkulai lucu. Karena merasa bingung, Amane menoleh ke Yuuta, yang menanggapi dengan mengangkat bahu, ekspresinya tampak antara jengkel dan kagum. Amane tidak tahu apa yang sedang terjadi.

“…Aku heran bagaimana bisa kamu mengatakan hal seperti itu secara langsung. Sejujurnya, itu sedikit memalukan. Dengan caramu melakukannya tanpa rasa khawatir, aku benar-benar bisa mengerti mengapa Shiina-san jatuh cinta padamu. Dan aku juga bisa mengerti mengapa dia sedikit khawatir tentang banyak hal.”

Sepakat.

Lagi-lagi begitu, kenapa kamu langsung mengangguk setuju begitu, Kadowaki?” balas Amane dengan bingung.

“Siapa yang tahu?”

“Siapa yang tahu??”

“Oh, ayolah…”

Amane tidak bisa menahan rasa bingungnya. Keduanya, yang sebelumnya tampak tidak begitu akrab, tiba-tiba bekerja sama dengan sempurna seolah-olah mereka telah mencapai suatu pemahaman yang tak terucapkan.

Mengapa mereka begitu sinkron di saat-saat seperti ini?

“Fujimiya, kamu tahu nggak sih kalau saat kamu dekat dengan seseorang, kamu selalu bersikap sangat terbuka dan terus terang kepada mereka, kan?”

“Maksudku, bahkan jika kamu menanyakan itu padaku…”

Amane selalu melihat dirinya lebih sinis atau acuh, jelas bukan seseorang yang blak-blakan dan terus terang. Namun, bagi teman-temannya, tampaknya ia tidak terlihat seperti itu.

“Fujimiya-kun, aku tahu kamu tidak bermaksud apa-apa, tapi terkadang kamu mengutarakan sesuatu dengan cara yang terus terang. Mungkin cara bicaraku kurang enak didengar, tapi bahkan tanpa sengaja, ada kemungkinan seorang gadis yang berbicara denganmu akan terpesona tanpa kamu menyadarinya.”

“…Dengan kata lain?” tanya Amane, masih sedikit bingung.

Ada kemungkinan gadis lain tertarik padamu tanpa kamu sadari. Di mata pacarmu, itu hal yang menakutkan. Apalagi karena kamu sendiri tidak menyadarinya."

“… Aku?” jawab Amane dengan nada tidak percaya.

Wah, orang ini tidak mempercayainya. Itsuki, yang diam-diam mendengarkan percakapan itu, tidak bisa diam lebih lama lagi dan berkomentar. Ketika Amane menoleh, dia melihat bahwa Mahiru dan Chitose telah menyelesaikan percakapan mereka dan sekarang sedang berjalan kembali.

“Aku yakin semua orang di sini hari ini bisa sepakat tentang pesona Amane-kun.”

“Seratus persen itu pendapatmu yang bias, Mahiru.”

Amane tidak dapat menahan diri untuk tidak memberikan pandangan skeptis setelah mendengar ucapan Mahiru, tetapi ia secara naluriah menegakkan tubuhnya ketika Mahiru mengalihkan pandangannya ke arahnya. Mahiru tersenyum cerah dan manis.

“Amane-kun.”

“Ya?” dia menjawab secara refleks terhadap nada bicara Mahiru yang lembut namun fokus.

“Nanti aku ingin mengobrol dengan santai soal seberapa rendahnya kepercayaan dirimu, tapi kita kesampingkan dulu… Kamu sudah berusaha keras untuk memperbaiki diri dan meraih hasil yang bisa kamu banggakan, benar kan?”

“Iya.

“Jadi, saat orang menyadari perubahanmu, jangan buru-buru mengabaikan pujian mereka, oke?”

“Aku akan mengingatnya,” tegas Amane.

Amane mengerti maksud Mahiru dan bahkan tidak berpikir untuk membantah. Namun, sebagian dirinya tidak bisa menghilangkan perasaan bahwa penilaian mengenai dirinya terlalu dilebih-lebihkan. Namun, saat pikiran-pikiran itu mulai muncul, Mahiru memberinya senyuman yang sangat indah seolah-olah ia telah melihat menembus dirinya. Senyum itu membuatnya merinding. Ia segera menepis semua keraguan.

“Kamu tidak punya kesempatan melawan Shiina-san, kan?

“Cerewet.

Amane tahu dirinya lemah terhadap Mahiru, jadi ia tentu tidak membutuhkan Itsuki untuk menunjukkannya. Meskipun dirinya tahu itu benar, mendengarnya diucapkan dengan keras membuatnya kesal. Ia menatap Itsuki dengan tatapan dingin sembari membalas dengan ketus. Sebagai tanggapan, Itsuki hanya melambaikan tangannya dengan santai seolah berkata, "Baiklah, baiklah, aku mengerti."

“Kurasa Amane-kun tidak akan pernah… mengalihkan perhatiannya ke wanita lain. Dia hanya memperhatikanku.”

Syuu, syuuu! Mendengar pernyataan Mahiru, Chitose bersiul main-main.

“Jangan menggodaku.”

Siap, Bu.

Amane langsung merasa puas melihat Mahiru dengan sigap menghentikan ejekan Chitose. Ia pikir tidak ada salahnya menikmati momen itu, hanya sedikit.

“…Meski begitu, um, aku tetap takkan senang jika gadis lain mencoba peruntungan mereka denganmu, jadi jika kamu bisa mengingatnya, itu akan membuatku merasa lebih baik… Meskipun aku tahu ini egois karena aku yang memintanya.”

“Mahiru, aku tidak akan pernah membiarkan siapa pun mendekat, karena aku tahu itu membuatmu cemas. Aku akan memastikan untuk menjaga jarak.”

Menyadari sekali lagi bahwa permintaan Mahiru berawal dari kekhawatiran yang tulus, Amane memutuskan untuk meyakinkannya. Ia menjawab dengan jelas dan penuh keyakinan, berniat sepenuhnya untuk meredakan kekhawatirannya untuk selamanya.

Gagasan untuk tergoda oleh wanita lain selain Mahiru sama sekali tidak pernah terpikirkan oleh Amane, dan mencari perhatian dari orang lain untuk memastikan cinta Mahiru bahkan lebih tidak masuk akal. Amane tidak cukup bodoh atau ceroboh untuk terlibat dalam perilaku sembrono seperti itu. Meskipun bohong rasanya jika dirinya tidak merasa tersanjung ketika Mahiru sedikit cemburu, fakta bahwa kecemburuan itu berasal dari perasaan tidak amannya membuat hal itu menjadi sesuatu yang tidak akan pernah ia lakukan dengan sengaja. Sebagai pacarnya, sengaja membuatnya merasa tidak nyaman merupakan sesuatu yang ingin dihindari Amane.

Lagipula, bukankah semua orang sudah tahu kalau kita berpacaran? Memangnya ada yang akan mencoba mendekatiku?"

Kalau dipikir-pikir lagi, Amane merasa kenangan itu agak memalukan, jadi dia tidak sering mengingatnya. Namun, kejadian yang membuat dirinya dan Mahiru jadian adalah lomba berburu harta karun selama festival olahraga. Selama kompetisi, Mahiru secara terbuka menyatakannya sebagai orang terpenting di dunia di hadapan seluruh sekolah. Sekarang, bisa dipastikan bahwa berita itu sudah menyebar ke semua siswa.

Sejak saat itu, Amane bertekad untuk berdiri dengan percaya diri di samping Mahiru, dan menjelaskannya dengan jelas kepada siapa pun yang menonton. Meskipun ia enggan mengakuinya, bahkan Itsuki dan teman-teman mereka yang lain akan menggoda mereka tentang betapa mesranya mereka. Tidak ada ruang bagi orang lain untuk berada di antara mereka.

“Mahirun masih saja mendapatkan pengakuan cinta sampai sekarang, tau? Tidak sebanyak dulu sih, tapi tetap saja masih. Bukannya menurutmu itu juga bisa terjadi padamu, Amane?”

“Hmph. Tapi sampai sekarang, itu belum terjadi sama sekali.”

Amane tidak sepenuhnya yakin dengan pendapat Ayaka, dan inilah alasannya. Meskipun Mahiru memujinya, dan bahkan Itsuki dan teman-teman mereka yang lain berkomentar tentang seberapa banyak dirinya telah berubah, bukan berarti Amane tiba-tiba memasuki apa yang disebut fase populernya. Tidak ada seorang pun wanita selain Mahiru yang menunjukkan ketertarikan padanya secara romantis.

Tentu saja, Amane telah mendengar beberapa komentar positif selama festival budaya, tetapi tidak ada yang signifikan terjadi sejak saat itu. Teman-teman sekelasnya terus memperlakukannya seperti biasa, jadi ia tidak bisa mengerti mengapa teman-temannya memujinya. Setiap kali dirinya dipuji, Amane mendapati dirinya menggaruk-garuk kepalanya. Tetapi sebelum ia bisa memikirkannya lebih lanjut, desahan Chitose, disertai dengan Kamu tidak mengerti, kan? mengganggu pikirannya, menghentikannya.

“Itulah masalahnya…” lanjutnya. “Amane, kamu tidak memiliki daya tarik universal seperti Mahirun, tapi… bagaimana ya menjelaskannya…”

“Aku bisa melihatnya menarik perasaan tulus dari sekelompok kecil yang sangat berdedikasi,” kata Itsuki.

“Aku tidak bisa membayangkan hal itu terjadi,” kata Amane, “dan bahkan jika memang itu terjadi, aku tidak akan pernah menerimanya.”

“Intinya, tetaplah waspada. Kami tidak khawatir kamu akan mencari ke tempat lain atau apa pun.”

Amane mengernyitkan dahinya sedikit.

(Aku tidak tertarik melihat gadis lain. Jika ada gadis yang menunjukkan ketertarikan padaku, aku akan merasa tidak nyaman karena aku tidak bisa membalas perasaannya.)

Chitose tidak menggoda, tertawa, atau menatapnya dengan tidak percaya. Sebaliknya, dia diam-diam memperingatkannya, membuat Amane tidak punya pilihan selain mengangguk penuh perhatian sebagai tanggapan.

 

 

Sekedar meluruskan, aku tidak meragukanmu, oke?”

Setelah semua orang pergi, Mahiru berbicara dengan suara yang lugas dan lembut. Hal ini mengejutkan Amane, membuatnya bertanya-tanya apa yang dia bicarakan.

Saat Amane berkedip kebingungan beberapa saat, akhirnya ia menyadari bahwa Mahiru melanjutkan pembicaraan yang telah ia tunda sebelumnya, ia duduk di sampingnya di sofa, menunduk sedikit sambil mencubit lengan bajunya dengan lembut. Ekspresi wajahnya yang agak rentan menunjukkan bahwa mungkin Mahiru pun merasa sedikit cemas.

“Aku tahu betul bahwa, um, kamu sangat mencintaiku, Amane-kun. Dan aku tahu kamu bukan tipe orang yang akan mengingkari janji yang kamu buat,” kata Mahiru.

"Tapi selama ini aku bertindak dengan cara yang membuatmu khawatir, bukan? Aku akan lebih berhati-hati," jawab Amane.

Hanya karena dirinya tidak menyadarinya bukan berarti ia terbebas dari batasan antara benar dan salah. Amane bukannya tak berperasaan, tidak pengertian, atau tidak peka sehingga dirinya akan mengabaikan kekhawatiran Mahiru yang wajar sebagai pacarnya.

Itu bagian dari pesonamu, Amane-kun, jadi itu bukan sesuatu yang harus kubatasi. Dan, tentu saja, menurutku bagus juga kalau orang-orang mulai menganggapmu hebat.

“Tapi Mahiru, aku tidak ingin kamu merasa tidak nyaman karena hal tersebut.”

“Kupikir tidak ada salahnya jika kamu bersikap hati-hati di sekitar wanita yang mendekatimu, tetapi sejujurnya, tidak ada yang bisa kamu lakukan agar mereka tidak tergila-gila padamu. Itu hanya berarti orang-orang di sekitar kita menyadari betapa hebatnya dirimu, Amane-kun, dan aku mengerti bahwa lebih baik disukai daripada tidak disukai—setidaknya, sampai batas tertentu.

Ya, aku setuju dengan itu. Hei...obrolan ini mungkin keluar dari topik, tapi aku punya pertanyaan singkat.

“Apa itu?

Aku menanyakan hal serupa sebelumnya, tapi... secara hipotetis, misalnya saja memang ada seorang gadis yang menyukaiku. Mengapa dia bahkan menembakku?

Ini adalah bagian yang tidak dapat dipahami Amane. Ia dapat memahami gagasan seseorang yang mencoba menarik perhatian orang yang mereka sukai—itu masuk akal. Namun, situasinya berubah total setelah kamu mempertimbangkan bahwa orang tersebut sudah memiliki pasangan.

Meski emosi bukanlah sesuatu yang bisa dikendalikan sepenuhnya dengan akal sehat, bertindak berdasarkan perasaan tersebut sambil sepenuhnya memahami bahwa orang tersebut sudah memiliki pasangan atau suami istri merupakan tindakan yang berada di luar pemahaman Amane.

“Jika mereka berusaha PDKT dengan terang-terangan, bukankah itu berarti mereka menginginkan semacam jawaban dariku?”

“Benar. Mereka akan mendekatimu dengan harapan kamu membalas perasaan mereka, menginginkan supaya kamu melirik mereka.”

“Jadi, terus terang saja…mereka ingin merebutku darimu, Mahiru?”

“Ya, intinya memang seperti itu.”

“Sejujurnya, aku agak tersinggung karena mereka masih berpikir ada ruang untuk memisahkan kita saat aku begitu mencintaimu. Aku tidak mengerti. Aku tidak tahu bagaimana orang bisa melihatku dan berpikir aku akan meninggalkanmu.”

Mengesampingkan perdebatan tentang apa mereka saling bermesraan di depan orang lain, tapi ada satu hal yang pasti: Amane selalu menyayangi dan menghargai Mahiru di mana pun mereka berada. Mereka tidak pernah bertengkar, dan dirinya juga tidak pernah memperlakukannya dengan dingin. Amane bangga dengan kenyataan bahwa mereka saling menghormati dan menikmati hubungan yang damai bersama. Mahiru mengakui hal ini, dan bahkan orang-orang di sekitar mereka percaya bahwa keduanya tidak akan pernah berpisah.

Amane tidak pernah sekalipun mengalihkan perhatiannya kepada wanita lain. Ia sama sekali tidak tertarik pada siapa pun, bahkan Itsuki pun merasa heran. Siapa pun yang mengenal Amane akan menertawakan absurditas gagasan bahwa ia tiba-tiba menjadi dekat dengan wanita lain sekarang.

Jika, secara hipotetis, seorang wanita mencoba untuk memenangkan hati Amane, Amane akan sangat tersinggung jika wanita itu menganggapnya sebagai tipe orang yang dapat dengan mudah berganti pasangan hanya dengan sedikit rayuan. Jika ada yang salah menilai perasaannya terhadap Mahiru sebagai hal yang dangkal, Amane takkan merasakan apa pun selain ketidaknyamanan dan langsung memutuskan hubungan dengannya tanpa ragu-ragu.

“Jika mereka mendekatiku setelah mengetahui keberadaanmu, Mahiru, maka itu akan membuatku waspada. Aku heran apa mereka tidak bisa tahu hanya dengan melihatku bahwa aku tidak tertarik pada gadis lain. Aku akan langsung menolak mereka.”

Amane dikenal memiliki lingkaran pertemanan yang terbatas tetapi juga ruang pribadi yang sangat luas. Siapa pun yang melewati batas yang telah ditetapkannya akan segera menjadi sasaran peringatan, terutama jika mereka cenderung menyakiti Mahiru dalam prosesnya. Dirinya tidak dapat memahami pola pikir seseorang yang ingin menciptakan keretakan dalam hubungan harmonis orang lain. Ia juga tidak ingin melakukannya. Baginya, orang-orang seperti itu bahkan tidak layak untuk diperhatikan.

“Kamu lebih tegas dariku dalam hal ini, Amane-kun.”

“Ini bukan soal bersikap tegas atau apa pun… Bukannya itu hal yang wajar? Misalnya, memangnya ada orang yang akan merasa nyaman jika hal itu terjadi pada mereka?”

Aku mengerti maksudmu. Secara mental, aku akan melabeli mereka sebagai orang yang melakukan hal-hal yang tidak jujur dan menjaga jarak.

“…Bukannya itu membuatmu setegas diriku, Mahiru?

Kamu bisa melihatnya seperti itu. Tapi kurasa kamu akan menarik garis yang lebih jelas daripada aku, Amane-kun. Aku cenderung membangun tembok antara diriku dan orang lain, sedangkan kamu secara terang-terangan menolak mereka begitu saja.

Ketika mendengar ucapannya, Amane menyadari kalau dirinya memang lebih tegas daripada Mahiru saat menolak pengakuan perasaan.

“Yah, mau bagaimana lagi. Alasan utamanya adalah aku tidak ingin kamu salah paham, Mahiru. Aku tidak ingin menjalin hubungan dengan seseorang yang tidak bisa mengambil keputusan dan tidak bertanggung jawab sehingga mudah terjerumus dalam hubungan yang tidak menentu seperti itu. Itulah sebabnya aku berusaha untuk berhati-hati. Aku lebih suka mencegah kesalahpahaman yang aneh sebelum terjadi.”

Prinsip Amane adalah bahwa menghentikan potensi penyebab kesalahpahaman atau pertengkaran sejak awal merupakan langkah yang terbaik. Dirinnya dan Mahiru pada dasarnya tipe yang menyukai kedamaian dan bersedia mendengarkan satu sama lain. Mereka selalu mencari titik temu, itulah sebabnya mereka tidak pernah bertengkar. Namun, satu hal yang dapat menyebabkan keretakan di antara mereka adalah jika salah satu dari mereka melakukan kesalahan atau mengingkari janji.

Entah itu benar atau salah paham, saat keraguan mulai muncul, wajar saja jika kepercayaan yang telah mereka bangun mulai terkikis. Itulah sebabnya sangat penting untuk meminimalkan alasan orang lain meragukanmu. Selalu hindari bersikap mencurigakan, berkomunikasilah secara terbuka dan jelas, dan terkadang mintalah pihak ketiga yang netral untuk menjamin. Semua iru adalah tindakan pencegahan yang menurut Amane harus selalu diingat.

Kembali ke topik—itulah sebabnya, jika ada wanita yang menunjukkan ketertarikan padaku, aku hanya akan merasa tidak nyaman dan menolaknya. Meskipun sejujurnya, aku masih meragukan ada orang seperti itu.

“Jika kamu mulai meragukannya, obrolan kita nanti tidak akan ada habisnya,” jawab Mahiru.

“Ya, tapi…kalau dipikir-pikir, tidak ada seorang pun yang pernah mencoba mendekatiku sebelumnya.”

Ya. Lagipula, kamu cepat merasakan niat buruk, tapi kalau menyangkut orang yang menunjukkan kasih sayang, kamu tidak menyadarinya.

“…Mahiru-san, kamu sedang kesal ya?”

Bukannya kesal sih, tapi lebih tepatnya…hanya saja, mengingat betapa sulitnya bagiku untuk membuatmu menyadari perasaanku membuatku sedikit…”

Mahiru meletakkan tangannya di dahinya dan mendesah pelan seolah merasa sedikit lelah. Amane, yang telah membuatnya berjuang, mendapati dirinya kehilangan kata-kata. Wajahnya menegang, terbelah antara rasa bersalah dan senyum.

Sekitar setengah tahun telah berlalu sejak Amane dan Mahiru mulai berpacaran, tetapi perjalanan yang mengarah ke titik itu telah menghasilkan persetujuan Itsuki dan Chitose yang sedikit kesal. Mereka berkata, Butuh waktu lama karena kamu benar-benar tidak peka. Kalian selalu bimbang karena kurang percaya diri. Amane sangat menyadari bahwa keraguannya telah membuatnya mempertanyakan perasaan Mahiru, berpikir tidak mungkin Mahiru tertarik padanya. Dirinya benar-benar mengerti mengapa Mahiru berjuang selama waktu itu dan benar-benar merasa kasihan karenanya.

Tentu saja, sekarang aku tahu kamu berusaha keras menyampaikan perasaanmu kepadaku, Mahiru! Aku hanya tidak cukup percaya diri untuk mempercayainya!

Jika saat itu kamu bilang tidak menyadarinya, aku akan langsung membenamkan wajahku di antara kedua tanganku… Kamu begitu tidak peka, bahkan saat aku terus terang padamu.”

Aku minta maaf.

Se-Sekarang, aku tahu kamu menyadari perasaanku dan mengungkapkannya dengan sangat jelas! Po-Pokoknya, kembali ke topik. Akhir-akhir ini, kamu sangat peka terhadap kasih sayangku dan merespons dengan sangat baik. Namun, kamu masih bisa sedikit tidak peduli ketika menyangkut orang lain—terutama ketertarikan romantis dari wanita lain. Sebenarnya, kamu tidak peduli sama sekali.”

“Seburuk itu?”

Memang. Sampai-sampai aku bisa mengatakannya dengan yakin. Tapi... karena ini bukti bahwa akulah satu-satunya yang ada di dalam hatimu, aku tidak bisa mengeluh.

“Bukannya wajar jika hanya kamulah yang menjadi gadis yang kucintai?”

“…Cara kamu mengatakan hal-hal seperti itu dengan mudahnya… Serius, itu tidak adil.”

Hah…?

“Ak-Aku tahu bahwa aku satu-satunya… Karena…kamu sangat mencintaiku.”

“Tepat sekali. Senang rasanya kamu mengerti itu,” jawab Amane sambil tersenyum lembut.

Suara Mahiru melemah malu-malu saat dia bersikap gelisah, keraguannya hanya membuatnya tampak lebih menawan. Amane dengan lembut melingkarkan lengannya di sekeliling Mahiru saat dia bersandar padanya dengan anggun. Amane lalu meletakkan tangannya dengan lembut di punggungnya, memeluknya dengan hangat.

Kini, mengekspresikan cinta dan memanjakan satu sama lain telah menjadi sifat alami mereka. Saat memeluknya, Amane menyerap semua emosi yang ditujukan padanya, berhati-hati agar tidak melukai tubuhnya yang halus. Ia memeluknya dengan lembut untuk menyerap dan menghilangkan kecemasan dan ketakutan kecil yang ada dalam tubuhnya yang mungil.

Ketegangan samar di tubuhnya mencair saat Amane membelainya dengan lembut menggunakan telapak tangannya. Mahiru meringkuk lebih dekat, menunjukkan kepercayaan penuh padanya. Karena ingin lebih merasakan kehadirannya, Amane perlahan mengubah posisi mereka, berbaring di sofa dengan Mahiru di atasnya. Bukannya dia yang naik ke atasnya—dia dengan lembut membimbingnya ke sana. Terkejut dan malu, Mahiru berkedip cepat dan mencoba mengangkat dirinya, tetapi tanpa berkata apa-apa, Amane melingkarkan lengannya di sekelilingnya. Dia memeluknya erat dan tidak membiarkannya menjauh.

“…Aku mungkin terlalu berat.”

“Kamu tidak berat. Sama sekali tidak… Selain itu, aku ingin kamu lebih bersandar padaku.” Saat rambutnya berayun dan dia tampak sedikit gugup, Amane berbisik pelan, mencari kasih sayang dan mengundangnya untuk dimanja. Sebagai balasan, pipi pucat Mahiru perlahan memerah dengan semburat merah muda lembut.

“Jika itu yang kamu lakukan, maka aku ingin kamu lebih bersandar padaku, Amane-kun,” gumam Mahiru dengan manis.

“Apa kamu lebih suka jika dilakukan sebaliknya?”

“Baka!” seru Mahiru, wajahnya semakin memerah.

Karena tersipu malu, Mahiru melancarkan serangan langsung pada Amane dengan membenamkan wajahnya tepat di dada Amane. Amane tak dapat menahan tawanya. Merasakan dada Amane bergetar karena geli, Mahiru mengangkat setengah wajahnya, memperlihatkan pipinya yang memerah dan mata tajamnya yang menggemaskan saat dia melotot ke arahnya.

Meskipun Amane berusaha tetap tenang di luar, kata-kata dan tindakannya cukup berani. Demi menutupinya, dirinya dengan lembut meletakkan tangannya di kepala Mahiru yang terangkat, membelai rambutnya dengan lembut agar helaian rambutnya yang halus tidak kusut. Itu saja membuat kepala Mahiru terbenam kembali ke dadanya.

*Pom, pom*

Bahkan sentuhan kecil yang diberikannya, hampir seperti keluhan yang main-main, terasa menawan. Amane menerimanya dengan senyum, menikmati kehangatan, kelembutan, dan bahkan bagaimana dia bersandar padanya dengan penuh kasih sayang. Jari-jarinya perlahan menyisir rambutnya yang halus, terawat, dan berwarna kuning muda.

“Amane-kun.”

"Ya?

Mereka terus berpelukan dengan tenang selama beberapa saat ketika suara tenang Mahiru memanggil dengan lembut, mendorong Amane untuk sedikit memiringkan kepalanya. Dipenuhi dengan ketulusan murni, mata Mahiru bertemu dengan Amane, tidak lagi menunjukkan kebingungan atau rasa malu sebelumnya.

“Aku… tidak berpikir bahwa setiap gadis yang ingin mengungkapkan perasaannya seperti itu… Mungkin ada seorang gadis di luar sana yang tidak dapat menahan perasaannya, yang harus mengungkapkannya. Suatu hari, mungkin ada seorang gadis yang dengan tulus mengatakan bahwa dia mencintaimu akan datang. Saat itu terjadi, Amane-kun—”

“Aku akan menolaknya. Dengan lembut… Aku akan mendengarkannya, tetapi tidak akan menerima perasaannya.”

Amane mengerti apa yang ingin dikatakan Mahiru, bahkan tanpa membuat Mahiru menyelesaikan perkataannya. Amane tahu bahwa tidak semua orang yang menyatakan cinta kepada seseorang yang sudah menjalin hubungan punya niat buruk. Bahkan orang seperti dirinya, yang sepenuhnya mengabdi kepada Mahiru, bisa melihatnya. Terkadang, orang hanya perlu mengungkapkan perasaan mereka sebelum perasaan itu menjadi terlalu berat untuk ditangani—itu wajar saja.

Amane tidak ingin mengutuk perasaan seperti itu sebagai sesuatu yang salah, dirinya juga percaya bahwa siapa pun tidak berhak untuk menyangkal emosi orang lain. Lagipula, tidak seorang pun dapat sepenuhnya mengendalikan kapan atau bagaimana perasaan tersebut muncul. Terkadang, emosi tersebut menjadi terlalu kuat untuk ditanggung, dan akhirnya diarahkan kepada orang yang tidak dapat berhenti dipikirkannya. Namun, kebenaran sederhananya tetap ada—Amane tidak berniat menerima perasaan tersebut.

Kamulah orang yang kucintai, Mahiru. Satu-satunya orang yang kurencanakan untuk masa depanku adalah dirimu. Itulah sebabnya aku tidak akan pernah membiarkan orang lain menempati ruang di sampingku. Satu-satunya orang yang pantas berada di sini hanyalah dirimu.”

Meskipun menolak seseorang akan menyakiti perasaan mereka, Amane tidak bisa goyah. Mahiru merupakan satu-satunya orang yang dicintainya, dan dirinya tidak akan pernah memilih orang lain. Begitu pula, Mahiru tidak bisa membayangkan akan melepaskan Amane. Mereka berdua sangat memahami hal ini, dan untuk meredakan keraguan yang masih ada, mereka terus berbagi kata-kata, perasaan, dan kehangatan, dengan lembut melapisinya satu sama lain.

“Jadi, kamu tidak perlu khawatir. Karena aku sudah memiliki dirimu, Mahiru, aku tidak membutuhkan siapa pun lagi.”

…Oke.

Merasakan tubuh Amane semakin rileks, Amane menyipitkan matanya karena puas. Dirinya dengan lembut mempererat pelukannya di sekitar kehangatan yang ia pegang dalam pelukannya.

 

 

Sebelumnya  |  Daftar isi  |  Selanjutnya

close

Posting Komentar

Budayakan berkomentar supaya yang ngerjain project-nya tambah semangat

Lebih baru Lebih lama