Bab 1 —Apa Yang Harus Dituju Oleh Tomonari Itsuki
Bagian 1
“Sepertinya, perusahaan semuanya
terlihat sangat lancar, ya,”
Tennouji-san langsung
berkata demikian saat perjamuan
teh dimulai.
“Terutama
Tomonari-san. Belakangan ini aku mendengar kalau kamu semakin melebarkan sayap
bisnismu, loh?”
“Iya,
memang. Saat ini aku sedang
menambah mitra kerja untuk memperbanyak produk. Sejak kejadian itu, ada banyak pihak yang menghubungiku...”
Hal tersebut
memang patut disyukuri.
Berkat
kemitraanku dengan Wedding Needs, deretan produk usaha hadiah untuk acara upacara pun semakin lengkap. Dan berkat itu pula, penjualan Tomonari Gift terus
meningkat.
“Malahan,
mulai semakin banyak orang yang mendekati Tomonari di dalam kelas.”
“Iya,
iya, betul banget. Bahkan teman-temanku
juga ada yang baru-baru ini mendatanginya untuk
meminta konsultasi dengannya.”
Jadi begitu
ya.
Aku sama
sekali tidak menyadarinya waktu itu, tapi ternyata ada teman-teman Asahi-san juga yang datang untuk berkonsultasi padaku.
“Fufufu...”
“Kenapa
kamu malah tersenyum bangga begitu?”
Ketika Hinako menampilkan wajah sombong,
Tennouji-san menegurnya.
Yah, Hinako memang juga turut membagikan
data-datanya untukku,
jadi bisa dibilang kalau dia juga
berperan penting dalam keberadaanku saat
ini.
Meski
demikian, sejak saat aku sering menerima pujian dari orang
lain, aku mulai menyadari satu hal.
Rupanya
aku memang jago menilai mitra bisnis yang baik.
Mengamati
wajah di balik data mungkin bisa dibilang keahlianku. ...Sejujurnya, aku
sendiri tidak begitu
paham alasannya. Dan terlalu mengandalkan insting
seperti ini juga agak menakutkan, jadi aku berencana
untuk terus belajar manajemen
dengan rajin. Tapi, di luar sana memang ada orang-orang
seperti Takuma-san yang
punya kemampuan observasi mengerikan dan pandai mengendalikan kondisi, jadi kurasa aku juga
harus memanfaatkan kemampuan ini.
Aku
adalah orang yang ketinggalan paling jauh dalam pelajaran di akademi ini.
Oleh karena
itu, aku harus bisa memanfaatkan sedikit keunggulan yang kumiliki sebaik
mungkin. Aku tak punya banyak pilihan.
Sambil
mengangkat cangkir teh, aku memikirkan apa yang seharusnya kucapai.
“Akhir-akhir
ini, ada banyak gadis yang bilang kalau Tomonari-kun tuh keren lho~”
“Hah?”
Tanpa
sadar aku meletakkan cangkirku
tanpa meminumnya.
Sepertinya
aku baru saja mendengar pernyataan yang mengejutkan.
“Yah,
mungkin karena kamu memulai
dari tempat yang tidak begitu terkenal tapi bisa naik dengan cepat, jadi
terlihat seperti 'kisah kesuksesan'
yang keren, gitu? ...Ah,
tapi bukan maksudnya 'tidak terkenal'
itu sesuatu yang buruk, lho!”
“Aku paham
maksudmu, tapi... kisah
kesuksesan, ya?”
Daripada bangkit dari yang tidak terkenal, Asahi-san mungkin ingin mengatakan kalau aku bangkit
dari industri yang tak terduga.
Tapi kisah kesuksesan ya...
...Sejujurnya, aku tak merasa pernah meniti jalan
yang semudah itu.
Pada
kenyataannya, itu hanyalah serangkaian tindakan mengambil risiko. Aku merasa sangat senang karena Wedding Needs
mau bermitra denganku. Kalau
tidak, perusahaanku mungkin
sudah tertelan oleh SIS milik Suminoe.
Setiap kali aku mengingatnya,
selalu ada perasaan bahwa pasti ada cara yang lebih baik.
“Wah~, aku juga ikutan merasa bangga punya teman seperti
Tomonari-kun! Kamu juga setuju ;kan, Konohana-san?”
“Ya,
memang menggembirakan melihat teman kita dihargai.”
Lalu
kenapa kamu dari tadi terus menendang kakiku?
Sakit...
Sakit sekali... Seragam mahal Akademi Kekaisaran
ini akan menjadi kotor.
“Yah,
bukan hal yang baru kalau Tomonari-san
tidak pernah punya prinsip, jadi tidak
mengherankan juga.”
“Umm,
Tennouji-san? Bisakah kamu
berhenti menatapku dengan tatapan menusuk seperti itu...?”
Tennouji-san menatapku dengan pandangan
dingin yang belum pernah kulihat sebelumnya.
Aku sama sekali tidak dipercayai lagi. Kenapa...?
Aku
penasaran apa dia masih menyimpan dendam soal waktu itu. Ketika kami berdua sedang berdansa, dia bertanya
padaku apakah aku akan memilih perusahaannya atau Hinako, tapi aku tidak bisa memilih
yang mana.
“Hei,
Asahi. Bagaimana denganku? Apa ada kabar tentangku?”
“Aku
belum pernahhhhhhhhhhhhh mendengar
rumor apapun tentang Taisho-kun!”
“Kamu tidak
perlu mendiktenya sekencang itu juga kali...”
Taishou
tampak hampir menangis.
Asahi-san, tolong bersikap sedikit lebih lembut padanya...
“Oh
iya,
ngomong-ngomong, apa ada yang sedang mengalami kesulitan dengan tugas kalian?”
Kami
saling berpandangan dalam menanggapi pertanyaan
Tennouji-san, tapi tidak ada yang angkat bicara.
“Tugas,
ya...”
Narika bergumam dengan suara yang pelan.
“Miyakojima-san.
Apa kamu sedang mengkhawatirkan sesuatu?”
“Eh?
Ah, tidak! Bukan apa-apa, kok...?”
Kenapa malah berbentuk pertanyaan?
Melihat
Hinako menatapnya dengan cemas, Narika
menggelengkan kepalanya dengan gelisah.
“Kalau
begitu, ayo kita akhiri pertemuan hari ini.
...Game Manajemen juga sudah memasuki
babak kedua. Jadi mari kikta tetap bersemangat dan
melakukan yang terbaik.”
Masing-masing
dari kami mengangguk ketika mendengar
kata-kata Tennouji-san.
Kelihatannya
semua orang yang ada di
Aliansi Pesta Teh berhasil
mencapai hasil yang baik.
◆◆◆◆
Setelah
perjamuan pesta teh bubar, kami pun
berpisah untuk pulang ke rumah masing-masing.
Tennouji-san tampaknya masih ada pertemuan dengan teman sekelasnya, jadi dia kembali masuk Gedung sekolahan. Taishou
dan Asahi-san sudah
dijemput, jadi mereka berjalan cepat menuju gerbang.
“Maaf,
aku juga harus segera menemui teman sekelasku yang meminta untuk konsultasi, jadi aku
permisi dulu.”
Aku
tidak pernah menyangka bahwa Narika
akan mengatakan hal semacam itu, dan aku sangat terkejut sampai-sampai aku hampir tidak sengaja
menjatuhkan tasku.
“Konsultasi?
Kepada Narika?”
“Ke-Kenapa,
memangnya salah ya?!”
“Tidak,
bukan apa-apa. Justru itu bagus sekali.”
Aku
hanya terkejut dan tidak berpikir ada yang salah sedikit pun.
“Narika... kamu sudah berkembang pesat ya.”
“He-Hehmm! Aku ‘kan memang sudah berkembang! ... Jadi
tolong jangan memandangku dengan
pandangan yang mirip seperti
kakek yang sedang melihat
cucunya.”
Narika berjalan menuju gedung sekolah
dengan ekspresi yang rumit di wajahnya.
Kini
hanya ada aku dan Hinako saja.
Hinako
pun membungkukkan punggungnya yang tegak lurus.
“Fyuhh...
aku lelah...”
“Ayolah,
jangan bersantai dulu.”
“Mmm...
aku ingin cepat-cepat naik mobil...”
Meski
tidak ada siswa lain di sekitar kami,
jika ada yang melihatnya, hal tersebut bisa merusak kesan
sempurna Hinako sebagai seorang Ojou-sama.
Tinggal
sedikit lagi. Hinako mulai berjalan
menuju gerbang sekolah dengan wajah malas.
“Ah,
Konohana-san! Maaf, boleh aku meminta sedikit waktumu untuk berkonsultasi sebentar?”
Pada saat
itu, tiba-tiba ada seorang
siswa yang tidak dikenal memanggilnya
dari belakang.
Ekspresi
Hinako langsung berubah muram....
Ah, padahal tinggal sedikit lagi dia bisa melepas aktingnya.
“....Apa
sebaiknya aku saja yang
menolaknya?”
“Tidak
usah, meskipun aku menolaknya, dia pasti akan terus mengirim
pesan di dalam game. Aku akan kembali sebentar.”
“Baiklah,
beritahu aku kalau kamu sudah
selesai.”
Pandangan mata
Hinako terlihat kosong.
Faktanya,
Hinako sering mengalami situasi di mana dia harus menolak permintaan konsultasi di sekolah, dan kemudian tetap dikirimi
pesan di dalam game, jadi dia sudah terbiasa.
Menjadi orang-orang populer juga tidak mudah.
Akhir-akhir ini, aku juga sering dimintai konsultasi, tapi tidak sebanyak
Hinako.
“Yang semangat.
Nanti aku akan diam-diam membelikan keripik kentang.”
“...Oke!”
Sepertinya
kata-kata itu memberinya semangat, jadi Hinako
pun mendapatkan kembali tenaganya dan berjalan
menghampiri siswa yang memanggilnya.
Meski
Shizune-san sudah pernah menyuruhku untuk “jangan terlalu memanjakannya”, tapi
akhir-akhir ini aku tidak terlalu melakukannya, jadi
kalau sesekali tidak ada salahnya.
Tapi
dengan begini, aku jadi punya waktu luang.
Siswa
yang memanggil Hinako tadi tampak serius, jadi sepertinya sesi konsultasi itu akan
memakan waktu lama. Aku pun memutuskan untuk berjalan-jalan di sekitar sekolah
untuk mengisi waktu.
Ukuran Akademi
Kekaisaran ini memang luas. Tapi setelah satu semester, aku sudah cukup
familiar dengan sebagian besar area di sini. Kafe, lapangan, lapangan tenis,
perpustakaan, gym. Akhir-akhir ini aku kurang olahraga, jadi aku mencoba
menjelajahi berbagai tempat untuk mengatasinya.
Saat aku
hendak melewati depan gedung sekolah, aku melihat sosok Narika.
“Narika? Konsultasinya sudah selesai?”
“Ya.
Ternyata itu lebih
cepat dari yang kuduga, jadi aku menunggu di sini untuk dijemput.”
Mungkin
dia sudah memberitahu bahwa akan membutuhkan waktu lebih lama, jadi jemputannya tidak menunggunya di depan sekolah.
Ketimbang
seperti orang yang sedang bosan menunggu, wajah
Narika justru terlihat lesu.
“Yah,
bukan karena konsultasinya selesai dengan cepat, tapi lebih
tepatnya aku tidak bisa memberikan konsultasi yang memadai.”
“Apa iya?”
“Mereka
memintaku untuk memberikan saran tentang manajemen perusahaan besar, tapi aku
sendiri banyak melakukan sesuatu berdasarkan intuisi, jadi aku tidak bisa
menjelaskannya dengan baik. ... Aku merasa bersalah kepada mereka.”
Ketika
periode ini tiba, ukuran perusahaan semakin besar dan ada semakin banyak siswa
yang kebingungan dengan perubahan tersebut. Siswa yang berkonsultasi dengan
Narika pasti salah satu dari mereka.
Aku juga
pernah menerima konsultasi semacam itu beberapa kali.
“Kamu tidak perlu khawatir soal itu.
Aku juga sering mengalami hal seperti itu.”
“Be-Begitukah?”
“Mereka
juga tidak mengharapkan kamu
bisa menjawab semua pertanyaan, kok. ... Ngomong-ngomong, sejak kapan kamu jadi populer di kalangan teman
sekelasmu? Bukannya kamu pernah bilang kalau kamu belum bisa beradaptasi dengan
baik di kelas?”
“Ah,
iya. Sejak game manajemen
dimulai, ada banyak
orang yang menyapaku. Mereka sering memintaku berbagi tips karena perusahaanku
berkembang dengan baik.”
Game
manajemen ini memang bisa meningkatkan interaksi antar siswa.
Lingkungan
saat ini mungkin bisa menjadi
kesempatan bagus bagi Narika untuk
mendapatkan teman baru.
Saat aku memikirkan
hal itu, Narika
tiba-tiba tersenyum aneh.
“Apa-apaan dengan wajahmu itu?”
“Tidak,
aku hanya berpikir bahwa Itsuki
memperhatikanku dengan baik.”
“Yah,
wajar saja, karena kamu sering
datang padaku sambil menangis.”
“Uggh...
ku-kurasa itu ada benarnya.”
Narika yang tadinya terlihat senang,
kini menjadi murung.
...Sebenarnya,
bukan hanya itu saja.
Memang
benar aku memperhatikannya karena dia sering datang padaku menangis, tapi ada
satu alasan lain mengapa aku begitu mempedulikannya.
Itu
terjadi di hari perlombaan...
——Hanya
Itsuki!
Pada hari
itu, Narika berkata padaku.
――Satu-satunya orang yang
spesial bagiku hanyalah Itsuki!
Untuk selama-lamanya, hanya Itsuki saja!
Kata-kata
tersebut masih terngiang-ngiang di telingaku.
Aku
berharap Narika bisa
mendapatkan teman-teman lain yang bisa dia ajak bicara dengan nyaman, jadi aku
pernah berkata “Semoga kamu bisa menambah orang-orang
spesial bagimu.” Tapi
Narika menggelengkan kepalanya dengan
mata berkaca-kaca, menunjukkan bahwa akulah satu-satunya yang spesial baginya.
...Sejak
saat itu, aku jadi terus-menerus memikirkannya.
Ketika
hanya berduaan dengan
Nariao, kata-kata itu terkadang melintas di pikiranku. Apa
sebenarnya arti ‘spesial’ untuknya?
Sebenarnya, apa yang ingin disampaikan Narika?
Untuk
saat ini, aku tidak ingin terlalu membayangkan maknanya, agar tidak terjadi suasana canggung. ...Yah, mengingat Narika, mungkin perkataannya tidak memiliki makna yang terlalu
dalam. Yang dia maksud mungkin hanya bahwa aku adalah sahabatnya, bukan sekadar
teman biasa.
Jelas-jelas tidak ada maksud romantis di sana.
Pasti tidak ada.... ‘kan?
Habisnya, ini tentang Narika...
(...Setidaknya
untuk saat ini, aku tidak perlu memikirkannya)
Mungkin sekarang bukan waktu yang tepat
untuk menghadapi masalah ini.
Jika aku terlalu memikirkannya secara sepihak dan membuat hubungan kami menjadi
canggung, Narika juga akan merasa kesulitan.
Permainan manajemen sudah memasuki tahap akhir, jadi aku
harus berkonsentrasi dan tidak boleh menambah masalah.
Lagipula...
Narika masih sering memintaku untuk
membantunya.
Jika hubungan aku dan Narika menjadi canggung, mungkin Narika akan merasa kesulitan karena
tidak punya tempat untuk bersandar.
Oleh karena
itu... Aku ragu untuk memulainya.
“Hm?”
Tanpa
mempedulikan perasaanku, Narika
mendekat setelah menemukan sesuatu.
“Itsuki!
Ada bola sepak!”
“...Mungkin
ada yang lupa menyimpannya.”
Narika terlihat senang menemukan bola
itu dan memandangnya dengan gembira.
Aku
berharap dia bisa bersikap polos seperti ini di depan yang lain juga...
“Oper!”
Bola itu menggelinding ke kakiku.
Operan
Narika lembut dan mudah dikontrol.
Bukan untuk memamerkan kemampuannya, tapi dengan pertimbangan terhadap lawan.
Dia
memang sangat mahir dalam olahraga.
Jarang-jarang ada orang yang punya kelebihan
dan kekurangan yang sangat jelas seperti dirinya.
Sekarang
giliranku yang mengoper kepada
Narika.
“Sudah
lama sekali aku tidak bermain bola.”
“Di
Akademi Kekaisaran, kami pernah main sepak bola saat masih kelas sati. Tapi
kamu baru masuk tahun ini 'kan, Itsuki?”
Dengan kata
lain, aku takkan bisa main
sepak bola lagi di pelajaran olahraga, ya.
Tapi yah, meskipun aku tidak bisa memainkannya dalam
pelajaran, kami bisa memainkannya kapan saja selama ada bola.
“Terima ini,
Itsuki!”
“Ups.”
Narika sengaja mengumpan bolanya terlalu tinggi, jadi aku menghentikannya
dengan dadaku.
Seragamku
mungkin kotor lagi. Aku yakin kalau Shizune-san
pasti akan memarahiku, tapi... Aku juga terbawa suasana riang Narika.
...sudah kuduga, kurasa lebih baik kami
tetap punya hubungan santai seperti ini.
Setidaknya
itulah yang kupikirkan sekarang.
“Tadi
di acara pesta minum
teh, Tennouji-san bertanya apakah ada tugas
yang belum selesai, 'kan?”
Setelah
beberapa kali mengulangi operan, Narika mulai bercerita.
“Waktu
itu, aku sempat ragu untuk bertanya ke semuanya... Tapi bagaimana caranya
kalian berbicara dengan orang yang baru pertama kali bertemu?”
“...Apa maksudmu?”
Aku tidak
begitu paham maksud pertanyaannya, jadi aku terus menendang bola sambil
memperhatikannya.
“Sejak
game manajemen dimulai, aku jadi
sering mendapat kesempatan untuk bertemu dan berbicara dengan orang-orang baru.
Berkat Itsuki, aku jadi punya teman dekat
sedikit demi sedikit. Tapi...
orang-orang baru masih sering
takut padaku.”
Rupanya, karena game manajemen, Narika jadi sering mendapat kesempatan untunk bertemu
orang baru. Itulah sebabnya dia sepertinya
menghadapi masalah baru.
Mungkin
masalah yang tadi juga terjadi karena hal yang sama.
Dalam game
manajemen,
interaksi di dunia nyata juga sama pentingnya.
Kenyataannya, kerja sama antara Tomonari Gift dan Wedding Needs
bisa terjadi karena ada interaksi serta negosiasi
antara aku dan Ikuno di dunia
nyata.
“Jika
aku bisa lebih percaya diri, seharusnya kesalahpahaman bisa terselesaikan dengan
sendirinya. Tapi saat berhadapan dengan orang yang takut padaku, aku juga jadi
tidak bisa bicara dengan baik. Melihat tatapan ketakutan itu, aku merasa.... tiba-tiba pikiranku jadi
kosong.”
Narika pernah bilang, trauma saat
pertandingan tahun lalu membuatnya ditakuti teman-teman.
Setelah mendengar
perkataannya, aku yakin bahwa Narika masih
belum sepenuhnya bisa menghilangkan traumanya.
Wajar
saja. Narika hampir
setahun penuh ditakuti teman-temannya. Meskipun di depan kami dia bersikap
ceria, tapi citra negatif Narika
yang terus-menerus dihantui rasa takut itu tidak mudah hilang.
(Sejak
pertandingan itu, citra buruk Narika
memang sudah agak berkurang... Tapi mungkin Narika sendiri juga harus berubah
lebih banyak lagi.)
Memang dia mengalami perkembangan ke arah yang
lebih baik, tapi itu masih
belum cukup.
Setidaknya,
Narika sendiri belum puas.
Namun, itu
semua....
“...Kurasa
satu-satunya cara adalah terus mencobanya,
ya?”
Aku
menjawab terlalu singkat, jadi aku menambahkan informasi lebih lanjut:
“Kurasa itulah
inti dari game manajemen ini. Supaya kita bisa
mendapatkan pengalaman bisnis sekarang, agar nanti di dunia nyata tidak
mengalami kegagalan seperti tadi.”
“...Ada benarnya juga. Dalam artian tertentu, gagal itu
sesuatu yang wajar, ya."
“Ya.
Jadi kurasa sekarang tidak ada salahnya jika kamu
gagal.”
Meskipun
berkata begitu, aku juga berpikir apakah ada saran yang lebih konkret yang bisa
kuberikan.
Tapi
jujur saja, merasa canggung
saat berbicara dengan orang yang baru kamu temui adalah
hal yang wajar.
Narika juga akan memimpin perusahaan
besar suatu hari nanti. Jadi dia tidak
bisa tetap biasa-biasa saja, tapi sayangnya aku sendiri belum sampai ke level
itu, jadi aku tidak bisa
memberi saran apa-apa.
“Narika, kamu ingin jadi seperti apa?”
Tanpa disadari, aku bertanya kepada Narika.
“Bukan
hanya dalam game, tapi
secara keseluruhan, kamu ingin menjadi orang seperti apa?”
“Hmm... itu pertanyaan yang cukup sulit.”
Aku juga
pasti akan berpikir lama jika ditanya begitu.
Jadi aku
tidak bermaksud memaksa Narika
untuk segera menjawab.
“Yah,
aku sadar itu terlalu muluk-muluk... Tapi pada akhirnya, aku ingin bisa sejajar
dengan orang-orang seperti Konohana-san
atau Tennouji-san.”
Pada dasarnya
Naruka memang cenderung negatif, tapi dia tidak mau kompromi begitu saja, dan
itu adalah sifat baiknya.
Dan
tujuan yang dia miliki itu sama persis dengan
tujuanku.
“Ayo
kita berjuang Bersama-sama.”
Meskipun
titik awal kami sangat berbeda, tapi senang rasanya memiliki orang yang dekat
denganku dengan tujuan yang sama.
Benar
juga...
Kami berdua ingin sejajar dengan mereka.
Kita
sering berinteraksi dekat dengan mereka. Aku yakin
kalau Asahi-san
dan Taisho juga diam-diam memikirkan
hal yang sama.
Saat aku
merasakan semangat yang membara, tiba-tiba ponselku bergetar.
Aku menerima pesan dari Hinako di aplikasi yang mengatakan, “Aku sudah selesai~”.
“Kalau
begitu, aku akan pulang sekarang.”
“Baiklah.
Terima kasih, Itsuki, sudah mau mendengarkan curhatanku.”
“Tapi sepertinya
aku tidak terlalu membantu.”
“It-Itu
sama sekali tidak benar!
Di dalam keluarga Miyakojima, ada pepatah yang mengatakan 'jangan takut dengan pertemuan'. Berkatmu, aku jadi mengingat itu. ...Aku juga takkan merasa takut lagi untuk berbicara dengan
orang. Aku akan mencobanya!”
Memangnya
keluarganya mempunyai pepatah seperti itu ya...
Aku
berjalan menuju gerbang sekolah. ...Sebelum itu, aku menoleh sekali lagi.
“Narika, ada yang ingin kukatakan,
tapi aku ragu...”
Narika memiringkan kepalanya dengan
bingung, membuatku merasa canggung.
Sebaiknya
aku mengatakannya supaya
Narika tidak sampai merasa malu nanti.
“Umm...
Menurutku, sebaiknya kamu jangan terlalu sering mengangkat kakimu terlalu tinggi saat memakai
rokmu.”
“Eh...?!”
Wajah
Naruka memerah dan dia segera menurunkan roknya.
Aku berharap
bahwa semoga lain kali dia bisa
lebih cepat menyadarinya.
◆◆◆◆
Setelah aku kembali ke rumah keluarga Konohana, aku
menghubungi Takuma-san dan
memberitahukan bagaimana perkembangan
permainan.
“Kamu
sudah berada di jalur yang benar.”
Suara
Takuma-san terdengar dari speaker ponselku.
Sebelumnya, aku
sudah mengirimkan teks dan tangkapan layar tentang kondisi perkembangan game manajemen ku, dan
sepertinya dia sudah membacanya dengan seksama.
“Lalu,
apa yang akan kamu lakukan? Bagaimana rencana
ke depannya nanti?”
Takuma-san lanjut bertanya.
“Seperti
yang sudah kamu rasakan, bahwa pasar saat ini masih tergolong kecil.
Meski pendapatan akan sedikit meningkat, tapi sepertinya
perkembangan perusahaanmu akan
segera mencapai batas atasnya dalam
waktu dekat.”
“Ya.... aku juga merasa begitu. Jujur
saja, aku merasa langit-langit sudah
dekat.”
Memilih
pasar unik hadiah adalah pilihan yang tidak salah. Kehadiran Suminoe-san
sebagai pesaingku memang
di luar dugaanku, tapi
selain itu hampir tidak ada pesaing lain, jadi aku
bisa memulai dengan baik.
Tapi, saat aku berbicara dengan Hinako, Tennouji-san, Narika
dan yang lainnya,
aku sering merasa terbebani oleh
skala bisnis mereka yang jauh lebih besar.
Sejujurnya...
aku merasa iri.
Aku
juga ingin menangani angka-angka yang lebih besar.
Di akhir
liburan musim panas, aku sudah berjanji pada Hinako di rumah
lamaku. Suatu hari nanti, aku akan menjadi orang yang setara
dengan Hinako dan yang lainnya. Sebagai salah satu tolok ukurnya,
aku ingin menjadi orang yang mampu
memikul tanggung jawab besar seperti mereka.
Aku berpikir
kalau
Tomonari
Gift sudah tumbuh dengan sangat kuat.
Tapi jika
aku ingin memikul tanggung jawab
yang lebih besar lagi —
perusahaan ini saja tidak
cukup.
“...Bolehkah
aku memulai bisnis keduaku?”
“Bagus.
Aku ingin mendengar keinginan itu dari mulutmu sendiri.”
Takuma-san membimbingku untuk membuat keputusan penting
ini sendiri.
Orang ini
benar-benar hebat sebagai seorang pendidik. ...Pilihanku
memang tepat untuk meminta
bantuannya.
“Aku
setuju untuk memulai bisnis baru. Tapi kamu harus memikirkan apa yang akan
dilakukan dengan perusahaanmu yang
skearang. Apakah dijual melalui akuisisi dan
menggunakan keuntungannya untuk mendirikan perusahaan baru? Atau mencari
pengganti untuk melanjutkannya? Karena ada
banyak cara untuk mewariskan bisnis.”
Sayangnya,
memulai bisnis baru sambil menjalankan bisnis saat ini melebihi kemampuanku. Takuma-san juga mengerti hal itu, jadi ia
membahas opsi tentang
pewarisan bisnis.
Karena di perusahaan Tomonari Gift semua karyawan selain aku adalah AI, jika aku ingin mewariskan perusahaan ini secara internal, maka selanjutnya AI akan
menjadi presidennya. Di sisi
lain, jika melakukan akuisisi atau mengundang direksi dari luar untuk
mewariskan, mungkin aku bisa
menyerahkan perusahaanku kepada
pemain manusia, bukan AI.
Ini
adalah perusahaan yang aku rawat dan kukembangkan baik-baik, jadi jika memungkinkan, aku ingin menyerahkannya ke orang
yang kukenal.
“Bahkan
jika aku ingin menyerahkan perusahaanku ke orang yang aku kenal, apa aku masih bisa menjual sahamku?”
“Kamu
ingin menjual saham yang kamu miliki sekarang, bukan? Tentu saja bisa. Tapi
dalam kasus itu, rintangannya akan lebih sulit
daripada transfer, tapi kurasa itu
tergantung kepada
pihak yang menerima.”
Untuk
memulai bisnis baru, aku
membutuhkan modal. Jika
memungkinkan, aku ingin
mewariskannya melalui jual
beli, bukan dengan cara pengalihan.
Menentukan
bisnis baru dan memastikan modal——aku
akan mempertimbangkan keduanya secara bersamaan.
“Mulai
dari sini, keputusannya ada di tanganmu, Itsuki-kun. Aku akan menantikan hasilnya.”
Setelah
mengatakan itu, Takuma-san
mengakhiri panggilan.
Aku
menghembuskan napas panjang dan melepaskan ketegangan di bahuku.
Sekarang
sudah pukul sembilan malam. Sudah hampir waktunya permainan
berakhir.
Sepulang
sekolah, aku menuju ke kamar Hinako sambil
membawa keripik kentang yang kubeli tanpa memberitahu
Shizune-san di tanganku.
“Hinako,
apa kamu ada di dalam?”
“...!?”
Setelah
aku mengetuk dan memanggilnya,
terdengar bunyi gedebuk dan suara
gaduh yang besar.
Setelah
menunggu sebentar, aku mendengar jawaban “Ma-Masuk saja...” dan masuk ke dalam.
Hinako sedang duduk di depan meja.
Entah
kenapa, wajahnya terlihat
merah padam dan berkeringat.
“Umm...
Kamu baik-baik saja? Tadi aku mendengar ada suara
berisik.”
“A-Aku
hanya sedang belajar... Tidak apa-apa.”
Dia pasti
sedang menyembunyikan sesuatu.
Saat aku melihat-lihat sekeliling ruangan, aku menyadari bahwa selimut yang ada di tempat tidur tampak menonjol secara tidak wajar dan
mencurigakan.
“...Pasti ini, ya?”
“Ah...!?”
Saat aku menyingkap selimut kasunya, ternyata ada manga shoujo yang disembunyikan.
“Manga
yang dipinjam dari Yuri, ya. ...Kalau Shizune-san
sih mungkin masih bisa dimaklumi, tapi kurasa kamu tidak perlu menyembunyikannya
dariku, ‘kan?”
“Yah,
mungkin... begitu.”
Hinako
menjawab dengan tidak yakin.
Yah, aku merasa
Shizune-san juga akan memaafkannya jika itu hanya manga, tapi
tergantung isinya, ada kemungkinan dia akan menyitanya karena tidak baik untuk
pendidikan.
...Mungkinkah manga ini termasuk yang seperti itu?
Saat aku
mencoba membaca isinya...
“J-Jangan
baca isinya...!”
Hinako
tergesa-gesa mendekatiku.
“I-Itu,
karena aku juga belum membacanya...”
“Be-Begitu ya. Maaf."
Aku
sebenarnya tidak berniat membocorkan isinya atau
semacamnya, tapi...yah,
kurasa Hinako juga ingin membacanya lebih dulu.
“...Aku
hanya ingin mengingatkan, mungkin Shizune-san juga tidak akan mengizinkan yang
terlalu vulgar.”
“Bu-Bukan yang seperti itu kok,
tenang saja...!"
Sepertinya
dia menyembunyikannya bukan
karena isinya yang terlalu vulgar.
Lah,
jadi Hinako juga tahu apa yang
dimaksud dengan ‘vulgar’ ya...
“It-Itsuki,
sebentar lagi waktunya mandi.”
Hinako
melihat jam dan berkata.
“Ah,
benar. Kalau begitu ayo kita
mandi dulu.”
Pada awalnya aku ingin makan keripik kentang dengan santai, tapi kurasa lebih baik mandi saja dulu.
Sebelumnya | Daftar isi | Selanjutnya