Chapter 4 —Vol 2 SS Bonus: Tes Uji Nyali Pada Malam Sebelum Festival
(Sudut
Pandang Orang Pertama: Masachika)
“Oke baiklah~
mari kita mulai! Acara utama pada malam sebelum festival! Saatnya untuk tes uji nyali!!”
Suara
teriakan Takeshi bergema
di lapangan sekolah, diikuti oleh sorakan dari teman-teman pria dan beberapa
gadis yang bersemangat. Aku juga mengangkat suaraku
meski sedikit, sambil melirik ke arah ruang guru yang masih terang. Semua izin
sudah diperoleh sebelumnya, tapi kami
mungkin akan ditegur jika terlalu berisik.
“Ayok,
langsung saja ambil undiannya~. Yang
cowok di sini, sedangkan
cewek di sana.”
Namun,
untungnya sebelum guru muncul, teman-teman sekelas mulai tenang, dan dua
kantong plastik berisi kertas kecil yang dilipat rapi berputar secara
bergantian.
Akhirnya,
suara-suara seperti “Aku nomor
delapan” dan “Siapa yang dapat nomor
sebelas~?” mulai
terdengar dari berbagai arah. Aku juga menarik undian, dan saat membukanya, tertulis angka enam belas.
“Ehmm, jadi, siapa pasanganku yang nomor
enam belas......”
“Ah,
Kuze, kamu dapat nomor 16?”
“Eh?”
Saat aku
berusaha bersuara, entah kenapa seorang teman pria memanggilku dan aku menoleh.
“Kumohon!
Tolong tukar dengan punyaku! Pacarku
dapat nomor enam belas!"
“Ah,
ah~ah......... ya sudah, tidak apa-apa.”
“Terima
kasih! Itu sangat membantuku!”
Yah, apa boleh buat jika ia
punya pacar. Sambil
berpikir demikian. aku menukar nomor undianku dengannya, dan ia berlari dengan wajah bahagia
menuju pasangannya. Realitas yang menyedihkan... semoga saja ia ketakutan saat uji nyali nanti dan dicampakkan saat itu juga.
Sebagai
seorang otaku, setelah memikirkan hal itu, aku kembali menatap undian di
tanganku.
“Baiklah......
nomor delapan? Ehm, kalau tidak salah......”
Seharusnya
ada gadis yang tadi bersuara... saat aku menoleh
ke arah itu, aku melihat
gadis yang kutuju sedang berbicara dengan Kujou-san.
(Aneh, tumben sekali Kujou-san mau berbicara dengan teman sekelas.)
Mungkin
melalui persiapan festival sekolah ini, jarak di antara mereka sedikit menyusut. Sambil
merenungkan hal itu, aku mendekati mereka, tetapi gadis yang kutuju sudah
menjauh dari Kujou-san dan
pergi entah ke mana.
“Eh,
hah?”
Saat aku mendekati Kujou-san sembari mengikuti sosok gadis itu yang
menjauh dengan mata, dia juga menyadari kehadanku dan
memanggilku.
“Kuze-kun............
kamu dapat nomor delapan?”
“Eh,
ah, iya, begitu......”
“......kalau
begitu, aku juga sama.”
“Eh?
Tapi......”
Orang yang
dapat nomor delapan adalah gadis yang tadi, kan?
Pikirku sambil mengalihkan perhatianku ke arah itu lagi... dan di sana aku melihat sosok gadis tadi sedang memanggil Hikaru. Ah~ begitu ya, aku jadi mengerti sekarang?
“Jadi,
baiklah, mohon
bantuannya ya?”
“......iya.”
Setelah
saling menganggukkan kepala dengan Kujo-san, Takeshi
mengangkat suaranya.
“Baiklah,
apa pasangan sudah ditentukan~? Kalau begitu,
kita akan mulai dari nomor satu~. Buat yang
dapat nomor sebelas dan
seterusnya, kalian berperan menjadi hantu~.”
Tes uji
nyali ini pada dasarnya merupakan latihan untuk rumah hantu
yang menjadi acara festival sekolah. Jadi, area yang digunakan adalah seluruh
gedung sekolah, tetapi para siswa yang berperan sebagai hantu harus mengenakan kostum yang
sesuai untuk acara tersebut.
Para
siswa yang berperan sebagai hantu
mulai memasuki gedung sekolah, dan setelah sekitar dua puluh menit, acara uji
nyali pun dimulai. Setelah menunggu sebentar, giliran kami
pun tiba.
“Ho~i,
selanjutnya Masachika dan...... Kujo-san? Seriusan nih......”
Saat
dipanggil oleh Takeshi
yang sudah sangat menguasai peran sebagai pengatur, aku melangkah maju dan
melihat Takeshi yang
memandangku dengan tatapan penuh rasa cemburu. Pada saat yang
sama, beberapa tatapan serupa juga menusuk dari belakang.
“......Apa
sih?”
“Enggak kok~? Jadi, sesuai aturan, bisakah kalian saling berpegangan
tangan~?”
“............Oh.”
Walaupun aku begitu, apa Kujou-san akan merespons? Dengan
sedikit rasa cemas, aku melihat ke samping, dan Kujou-san menatapku tajam sebelum
diam-diam mengulurkan tangan kirinya. Setelah merasa
sedikit lega, aku juga menggenggam tangannya tanpa kata...... ah~ ya.
(Yah,
semacam... 'Duh, tangan Alisa
lembut sekali, guhehe'
rasanya.)
'Mengapa kamu terdengar seperti otaku
menyedihkan?'
“Berisik,
aku lagi panik ini.”
Saat aku
membalas ocehan Yuki yang muncul dengan penampilan iblis
kecil di dalam pikiranku, wajah
di depanku mengerutkan dahi secara berlebihan.
“Cih.”
“Oi Takeshi, kenapa kamu malah mendengus begitu?”
“Enggak juga kok~? Pasti
rasanya sangat senang bisa menggenggam tangan Kujou-san, ya~?”
“Ya ampun,
bukannya kamu sendiri yang pertama kali membuat aturan
pasangan harus berpegangan
tangan?”
Meski aku
bilang begitu, aku masih tetap merasakan
tatapan serupa dari belakang. Ini lebih serius dibandingkan dengan yang lain.
Tatapan itu menganggap kami berdua adalah pasangan yang dipaksa oleh undian,
tapi... ini merepotkan.
“Ah~
kalau mau, bagaimana kalau kita tukar pasangan dengan ora—!?”
Saat aku
baru mau mengucapkan itu, tangan kananku diperas dengan kekuatan seperti
penjepit, membuat bahuku sedikit terangkat.
“Ada apa?”
“Ah,
tidak......”
“Ayo kita
berangkat, Kuze-kun.”
“Ah,
iya...... jadi, ayo pergi.”
“O-oh...
hati-hati ya.”
Kujou-san berjalan memiimpin di depan dengan wajah polos yang sok tidak tahu, dan melangkah
masuk ke dalam gedung sekolah sembari
menarik tanganku. Bisakah
kamu mempercayainya? Dia, dengan wajah secantik ini,
memiliki kekuatan genggaman seperti gorila?
“Kamu
pasti berpikir hal yang tidak sopan iya. ‘kan?”
“Tidak
sama sekali, kok.”
“Ku...ze...kun?”
Dan dia
juga sangat peka. Apakah ini insting perempuan? Tidak, jika gorila, itu pasti
insting liar———
“Ada
apa, Kujou-san?”
Aku
menyambut tatapan dingin Kujou-san
dengan ekspresi serius semaksimal mungkin. ...Mungkin juga bisa disebut
ekspresi kaku.
“......Hah.”
Mungkin berkat
itu, Kujo-san menghela napas kecil dengan tampak terkejut, lalu mengendurkan cengkeramannya dan
mulai melangkah maju.
Hmm, bukannya itu aneh? Meskipun ini acara uji nyali, aku merasa lebih deg-degan karena pasanganku sendiri daripada hantu? Tentu saja dalam
arti rasa waspada.
Tapi,
acara sebenarnya dimulai dari sini. Kujou-san
juga seorang gadis. Ketika hantu muncul, dia pasti akan berteriak “Aaa, menakutkan!” dan merangkul lenganku...
“Pwaah!”
“!!”
“Uwaaaah!”
“Ugh.”
...ya,
sepertinya itu tidak akan terjadi. Meskipun, aku sudah menebak demikian.
Kujou-san bahkan tidak berteriak sama sekali saat
teman sekelas yang berperan sebagai hantu melompat keluar dari tangga dan ruang
kelas. Paling banter, hanya
tangannya yang menggenggamku bergetar
sedikit.
Reaksi
yang tidak ada semangat dan tatapan tenang itu justru membuat pihak yang
berusaha menakut-nakuti merasa tidak nyaman. Semangat saat melompat tiba-tiba
hilang, dan mereka kembali ke posnya dengan wajah canggung, membuatku merasa
sakit hati melihatnya.
“Ku-Kujou-san? Mungkin kamu bisa sedikit
merespons, oke?”
“Tidak
mau. Jika aku takut di sini, rasanya seperti aku
bakalan kalah.”
“Tapi,
ini bukan perlombaan...”
Namun,
Kujou-san terus melangkah maju tanpa
takut, dan dengan cepat kami sudah berkeliling gedung sekolah dan kembali ke
lantai satu. Hmm... bukannya aku
cuma terus-terus diseret, ya? Apa
ini tidak memalukan sebagai seorang pria?
“Fyuh,
dengan begini sudah berakhir. Hmmph,
rasanya tidak terlalu menakutkan.”
“........
ya, dalam kasusku, rasanya aku tidak mempunyai
waktu untuk merasa takut...”
Aku berjalan
menuju pintu keluar dengan perasaan campur aduk...
saat itu.
“Hmm?”
Aku
melihat sesuatu yang kecil melintas cepat di lantai lorong yang gelap. Seketika itu,
“Hiik,
ti-tidak!”
“Ooh?”
Kujou-san tiba-tiba berteriak, dan aku
didorong maju. Seriusan, dia
tanpa ragu menjadikan orang lain sebagai perisai!
“Mu-Mustahil!
Ini terlalu besar! Itu tidak mungkin!”
“Tapi,
aku juga tidak ahli dalam hal ini!”
“Tidakkkk,
ada di sana!”
“Dibilangin
jangan jadikan aku perisai!”
Setidaknya,
kamu seharusnya bisa merangkul lenganku! Meskipun di
sudut kepalaku berpikir begitu, aku tetap berusaha mempertahankan harga diri
sebagai pria, melindungi Kujo-san di belakangku dan berlari menjauh dari
dinding tempat hantu itu berada.
Setelah
berlari beberapa meter mengikuti Kujou-san,
dia tiba-tiba berhenti saat menyadari tatapan teman sekelas yang sudah keluar
lebih dulu.
Kemudian,
dia segera memperbaiki ekspresi wajahnya menjadi tenang dan dengan percaya diri
menyibakkan rambutnya.
“.........
yah, sebenarnya itu tidak
terlalu menakutkan, kok?”
“...”
“......Apa?”
“Bukan
apa-apa kok?”
Ya, tidak
masalah sih? Sebenarnya? Memang benar dia
tidak takut pada hantu? Namun, berkat itu, aku sama sekali tidak merasa senang.
Meskipun ini acar uji nyali, tap tidak ada satu pun kejadian khas masa muda yang biasa terjadi dalam komedi ronatis. Tidak, bukan berarti aku
benar-benar berharap itu terjadi!
“Ada
apa? Sepertinya kamu ingin mengatakan sesuatu.”
“Ah,
tidak, aku cuma berpikir kalau Kujou-san memang kuat~ menurutku? Aku jadi bertanya-tanya keberadaanku tidak dibutuhkan.”
Seperti
yang diharapkan dari “Putri
Penyendiri”.
Begitu aku menambahkan nama julukannya di
dalam hati, aku melepaskan tangan Kujou-san.
【Itu sama sekali tidak benar】
Pada saat
itu, aku mendengar bisikan kecil yang terdengar seperti bahasa Rusia, dan aku
menoleh ke arahnya. Kujou-san yang sedang melihat tangan
kirinya mendongak dengan cepat, matanya sedikit melirik.
“Apa
kamu baru saja bilang sesuatu?”
“Enggak?
Aku tidak mengatakan apa-apa,
kok?”
“............
Oh, begitu?”
Rasanya,
ada sedikit momen seperti acara masa muda
yang terjadi... atau mungkin hanya perasaanku saja. Mungkin itu terlalu pelan, atau mungkin aku salah dengar.
... Baru pada hari acara setelah
festival sekolah aku menyadari bahwa hal itu
bukan hanya imajinasiku saja.