Chapter 9 —Vol 3 SS Bonus: Alya-san Mengenakan Baju Maid
“Umm,
kalau tidak salah dari siaran
waktu itu...”
Di ruang
tamu rumah Kuze. Alisa sedang menyiapkan skrip untuk siaran sekolah besok
sambil memasak borscht untuk Masachika yang sedang sakit.
Sambil
sesekali memperhatikan panci, Alisa menulis naskah di buku catatannya. Pikirannya terputus oleh suara
kunci pintu yang tiba-tiba berbunyi.
“Eh...?”
Dia
langsung mengangkat wajahnya dan mendengarkan, ternyata ada suara langkah kaki
yang mendekat dari pintu depan.
——Ada seseorang
yang masuk.
Fakta tersebut membuat Alisa sedikit
panik.
(Eh, si-siapa? Keluarganya? Jangan-jangan ayahnya Kuze-kun?
Tidak, aku masih belum
siap secara mental...)
Dalam
keadaan panik, Alisa tidak bisa bergerak, dan pintu yang menghubungkan ruang
tamu terbuka dengan suara “Ckrekk”.
Dan di depan Alisa yang tertegun, orang yang muncul adalah...
“...Terima kasih banyak atas kerja kerasnya,
Alisa-sama."
“...Eh?
Kimishima-san?”
Ayano
muncul dalam pakaian biasa sambil memegang tas
Boston besar di tangannya. Munculnya sosok yang sama
sekali tidak terduga membuat Alisa hanya mengedipkan matanya.
“Ke-Kenapa...?”
“Meski Anda
bertanya kenapa... saya datang untuk merawat Masachika-sama atas arahan Yuki-sama karena berpikir ia pasti merasa
kesulitan sendirian. Dan Alisa-sama?"
“Ak-Aku juga datang buat merawatnya... eh, bukan
itu maksudku! Kenapa, kamu bisa membuka kunci pintu depan...?”
“Yuki-sama
memberikan kunci cadangan kepada Masachika-sama untuk berjaga-jaga dalam
keadaan darurat seperti ini.”
“Ku-Kunci
cadangan...”
Kata-kata
yang cukup menghancurkan itu membuat Alisa terdiam. Namun, ketika pandangan
Ayano beralih ke buku catatan di tangannya, Alisa buru-buru menutup
catatannya.
Karena
dia bereaksi berlebihan akibat sedang merencanakan cara menghadapi Yuki, Alisa
berpikir dalam hati, “Aduh”. Tetapi Ayano sepertinya tidak memperhatikan dan hanya
memiringkan kepalanya.
“Saya
akan berganti pakaian dulu
sebentar.”
“Eh,
iya.”
Setelah
mengangguk, Alisa berpikir, “Hmm?
Berganti pakaian?” tetapi
sebelum dia bisa mengatasi keraguannya, Ayano sudah pergi.
(…Apa dia
berganti pakaian karena berkeringat?)
Alisa
berpikir dengan enteng seperti
itu, tetapi... lima belas menit kemudian, dia terkejut melihat penampilan Ayano
yang muncul kembali.
"Itu...?”
“?
Ini adalah pakaian pelayan.”
Tentu
saja, Alisa bisa melihatnya. Masalahnya, mengapa dia mengenakan pakaian seperti
itu. Seolah-olah bisa memahami
pertanyaan di dalam benak Alisa,
Ayano menjawab dengan sikap hormat.
“Karena
saya akan merawat Masachika-sama, saya harus mengenakan pakaian resmi.”
“Pakaian
resmi...”
Dengan
kata “pakaian resmi,” Alisa mengamati pakaian
pelayan yang jelas-jelas terlalu berlebihan dari atas hingga bawah, dan
ekspresinya menjadi canggung. Namun, karena Ayano tidak terlihat sedang bercanda, Alisa
memutuskan untuk menanggapi
dengan aman.
“...Kelihatan imut ya.”
Meskipun tidak
tahu apakah itu praktis atau tidak,
Alisa memuji desainnya. Kemudian, sorot mata
Ayano tampak berbinar dengan wajah datarnya.
“Jika
Anda mau, Alisa-sama juga bisa memakainya.”
“Eh?”
“Ini
adalah pakaian pelayan yang saya pesan sebagai referensi saat
membuatnya..."
Sambil
berkata demikian, Ayano mengeluarkan satu set pakaian pelayan lagi dari tas
Boston dan memperlihatkannya kepada Alisa.
“Bagaimana?
Jika Anda akan merawat Masachika-sama, bukankah lebih baik mengenakan pakaian
seperti ini?”
“Ke-Kenapa kamu membawa barang seperti
itu...?”
Menanggapi
pertanyaan Alisa yang sangat wajar, Ayano terdiam sejenak sebelum mengalihkan
pandangannya dan menjawab kecil, “Untuk cadangan”. Meskipun jelas sekali kalau dia berbohong, Alisa
tidak mengejar lebih jauh dan hanya menatap pakaian pelayan yang dipegang
Ayano.
Sejujurnya,
Alisa sendiri merasa sangat
tertarik. Meskipun ada sedikit kekhawatiran karena jelas ini adalah kostum,
pakaian pelayan itu sendiri sangat lucu. Selain itu, ini adalah kostum yang
mungkin tidak akan pernah dia
kenakan seumur hidup jika bukan karena kesempatan seperti ini. Terlebih lagi, Ayano yang juga mengenakan
pakaian pelayan tampak sama sekali tidak merasa malu, yang sangat berpengaruh. Inilah
yang disebut psikologi bahwa jika semua orang melintasi lampu merah
bersama-sama, tidak ada yang
perlu ditakuti.
Namun, hal yang membuat Alisa khawatir adalah...
“Jika
Anda mengkhawatirkan tentang keadaan Masachika-sama
dan masakan di panci, jangan khawatir. Saya
akan mengawasinya dengan baik.”
“B-Baiklah...”
Kekhawatiran
langsung lenyap seketika, dan
timbangan di dalam
hati Alisa mulai condong.
“Kalau
begitu, mumpung ada kesempatan yang bagus...”
Akhirnya,
Alisa dengan ragu-ragu menerima
pakaian pelayan dari Ayano. Setelah beberapa menit berganti pakaian di kamar
mandi.
“Anda
terlihat sangat cocok sekali...”
“Ap-Apa iya
begitu?”
Alisa
yang sudah mengenakan pakaian pelayan menunjukkan rasa malu setelah mendengar pujian tulus dari
Ayano. Meskipun Ayano tidak menunjukkan ekspresi, matanya bersinar saat terus
memuji Alisa.
“Anda
terlihat sangat imut, dan tetap elegan. Luar biasa.”
“Benarkah?
Terima kasih.”
“Mumpung ada
kesempatan seperti ini, mari kita tambahkan papan nama kita juga.”
“Pa-Papan nama?”
Ketika Alisa
masih merasa bingung, Ayano mengeluarkan papan nama berbentuk hati berwarna pink
yang bertuliskan “Alya” dan menempelkannya di dada Alisa.
“Ini
semakin menambah keimutan Anda.
Sempurna.”
“I-Iyakah?
Yah, tidak masalah sih...”
Dengan
pujian dari Ayano, Alisa tersenyum meskipun masih merasa bingung. Dia terlihat
cukup mudah terpengaruh.
“Sebagai
kenang-kenangan, mari kita ambil foto. Bisakah Anda meminjamkan ponsel Anda kepada saya?”
“Ya,
karena ada kesempatan yang bagus seperti ini...
kurasa aku akan meminta bantuanmu.”
Dengan
suasana hati yang baik, Alisa mulai berpose satu demi
satu di depan kamera
ponselnya. Ayano sama sekali tidak mengejeknya, dia
malah terus-menerus memuji setiap pose yang
diambil, membuat Alisa semakin bersemangat.
Sementara
mereka berdua sedang asyik
berfoto, tiba-tiba suara pintu yang dibuka membuat mereka berdua menoleh ke
arah itu secara bersamaan.
“...”
Di sana, mereka melihat Masachika muncul dengan
piyama. Dari pintu yang setengah terbuka, ia menatap Alisa yang masih berpose
dengan tatapan kosong.
“...”
“...”
“...”
Dalam
keheningan yang menyakitkan. Masachika tiba-tiba menekan kepalanya seolah-olah merasakan sakit kepala, ia lalu kembali ke dalam kamar tanpa
berkata apa-apa.
“Ah,
ga...”
Pada saat
itu, Alisa langsung tersadar dan merasakan keringat dingin mulai mengucur deras. Wajahnya
merah padam karena malu, dan dia berjongkok
di tempat itu. Sementara itu, Ayano memiringkan kepalanya seolah bertanya, “Mengapa kamu begitu malu?” tetapi tetap memberikan
dukungan.
“Jangan
khawatir. Bila dilihat dari
reaksinya, mungkin Masachika-sama
mengira ini hanya mimpi. Sepertinya ia agak linglung karena demam.”
“U-uh...”
Dia tidak
bisa memastikannya. Namun, Alisa hanya bisa berharap semoga itulah yang terjadi.
Sebelumnya | Daftar isi | Selanjutnya