Selingan — Bagian Mantan Tunangan 3
“Panasss banget~, Minato-kun~.”
“Sebentar
lagi kita sampai, bersabarlah sedikit.”
Minato
dan Himeno berjalan menuju tujuan mereka dengan
membawa banyak barang bawaan di bahu mereka, mengalirkan keringat besar di bawah
sinar matahari yang membakar kulit.
“Kapan
sih kita sampai?”
“Tuh,
lihat, kamu sudah bisa melihatnya di sana.”
“Eh?”
Di tempat
yang ditunjuk Minato, terdapat hotel besar yang menunggu mereka. Itulah tujuan
mereka.
Setelah
melihat iklan lowongan kerja resor yang masuk ke dalam
kotak pos, mereka segera mendaftar
dan berhasil setelah menyelesaikan wawancara telepon sederhana.
Karena lokasi resor yang jauh, biasanya wawancara
dilakukan melalui telepon, bukan tatap muka. Pihak hotel tidak mencari orang
dengan pengetahuan atau pengalaman khusus, mereka hanya membutuhkan banyak
tenaga kerja, jadi prosesnya sederhana. Kali ini, hal tersebut berhasil untuk
mereka.
Minato
merapikan barang bawaan yang hampir jatuh dari bahunya dan melanjutkan
langkahnya tanpa bicara.
Di bawah
terik pancaran sinar matahari, mereka berganti
kereta dan berjalan kaki dari stasiun terdekat ke hotel. Kesehatan Minato sudah memburuk karena ia
dalam kondisi lingkungan yang buruk. Ia
ingin menghindari pembicaraan yang tidak perlu agar tidak menghabiskan lebih
banyak tenaga.
◇◇◇◇
“Sejuk
sekali ya.”
“Ah,
angin AC-nya terasa nikmat.”
Pekerjaan
resor ini menyediakan asrama bagi karyawannya. Ketika
mereka tiba di hotel, mereka dibawa ke kamar yang sebagian besar diisi dengan
ranjang susun, dilengkapi dengan fasilitas dasar untuk kehidupan sehari-hari.
Meski ada
sedikit bau lembap, tetapi di sana tersedia listrik
ada dan AC. Kamar mandi dan toilet bersifat bersama, tetapi masih dalam batas
toleransi dibandingkan dengan tempat tinggal sebelumnya. Selain itu, karena
mereka tinggal di sana, tidak ada biaya sewa yang perlu dikeluarkan, jadi
mereka tidak bisa mengeluh.
Sebelum
mulai bekerja, Minato sudah mengosongkan tempat tinggal sebelumnya karena ia tidak bisa terus membayar sewa
saat tidak ada di sana.
Dirinya berpikir bahwa setelah periode
kerja selesai, ia bisa bekerja di tempat lain dan berpindah-pindah, sehingga
bisa menabung dengan cara itu.
“Katanya kita baru bisa mulai bekerja
besok, jadi mari kita bersantai-santai hari ini.”
“Nee~,
ayo ke pantai! Aku mau foto-foto!”
“Kita
baru saja sampai di sini dan aku sangat kelelahan.
Lagipula, kita tidak kerja setiap hari. Kita bisa
melakukannya nati saat mendapat hari libur, jadi
hari ini kita beristirahat
saja.”
Mendengar
pendapat Minato, Himeno mengangguk sambil menunduk.
“Ah!
Ngomong-ngomong, katanya pantainya lumayan dekat, ya? Apa kita bisa
melihatnya jika membuka jendela?”
Karena
hidup dalam kondisi sangat miskin, Himeno hanya bisa bolak-balik antara rumah
dan tempat kerja, jadi dia sangat bersemangat untuk pergi jauh dan membuka
jendela, tetapi yang terlihat hanyalah pepohonan yang suram dan tidak ada laut
di depannya.
Jika itu
adalah kamar untuk tamu, kamar tersebut pasti
dirancang agar menghadap ke laut, tetapi asrama
karyawan berada di belakang hotel, jadi mana mungkin mereka bisa mendapatkan pemandangan
itu.
“Kyaah!
Se-Serangga!”
“Wah,
apa sih yang kamu lakukan? Cepat tutup jendelanya!”
“Minato-kun,
tolong bantu!”
“Jangan
lempar barang sembarangan, aduh!”
Himeno seketika panik ketika ada serangga yang tiba-tiba masuk ke dalam ruangan
dan melempar barang-barang sembarangan.
Sambil
menghadapi serangga yang masuk, Minato juga kehabisan tenaga untuk membereskan
ruangan setelah gangguan dari Himeno.
◇◇◇◇
“Oi,
pemula! Bagaimana bisa jadi begini?!”
“Eh?
Aku sudah melakukannya dengan biasa,
makanya jadi begini! Apa ini luar biasa?”
“Tidak!
Ini sama sekali tidak baik. Ah, seprainya
jadi berantakan. Jika begini, kita tidak akan sempat untuk check-in tamu!”
“...Maaf.”
Setelah
beberapa hari memulai pekerjaan di resor, Himeno bertanggung jawab atas membersihkan kamar tamu.
Meskipun
dia sudah diajari cara merapikan tempat tidur dengan hati-hati berkali-kali,
dia tidak menunjukkan tanda-tanda kemajuan.
Selain
itu, Himeno telah ditugaskan untuk berbagai pekerjaan. Saat bekerja di bagian front
office, cara bicaranya membuat tamu kesal, dan saat bekerja di bagian restoran, dia menjatuhkan makanan
dan merusak peralatan. Dia menyadari bahwa dia tidak mahir dalam pelayanan
pelanggan, jadi dia bekerja di pembersihan, tetapi hasilnya tetap sama saja.
“Apa
benar bahwa kamu dipindahkan ke sini karena tidak ada yang mau menerimamu? Meskipun pihak Ichinose Shoji
ada di sini... kita tidak bisa berlama-lama di sini.”
Kepala
pembersihan menggerutu pahit sebelum bertanya kepada Himeno.
“Apa
yang kamu kuasai?”
“Aku
sangat mahir memasak!”
Apa iya?
Kepala pembersihan menatap Himeno dengan curiga.
Namun,
karena keinginan untuk segera menjauh darinya, dia meminta manajer hotel untuk
memindahkan Himeno.
◇◇◇◇
“Wow,
senangnya bisa bekerja di tempat yang bisa melihat laut. Aku harus foto-foto dan mengunggahnya!”
Keesokan
harinya, Himeno sudah berada di rumah pantai.
Setelah
mendengar bahwa dia mahir memasak, manajer yang mengawasi pekerjaan paruh waktu
berpikir untuk menempatkannya di staf dapur, tetapi karena menu di dapur
restoran hotel banyak, dia khawatir akan mengganggu dan menurunkan penilaian
hotel, jadi rencananya ditolak dalam pikirannya.
Dan yang
tersisa hanyalah rumah pantai. Meskipun tidak
disebutkan secara publik, rumah pantai ini dioperasikan oleh perusahaan yang
mengelola hotel.
Menu di
rumah pantai lebih sederhana dibandingkan dengan dapur hotel, dan kualitas
rasanya tidak terlalu dipertanyakan. Jika terjadi sesuatu, paling tidak bisa
diatasi dengan mudah.
Bagi
Himeno, itu adalah
benteng terakhir untuk pekerjaan paruh waktu.
“Dengar,
karena jam kerja sudah dimulai, jangan terus-menerus bermain
ponsel.”
“Baik.”
Himeno
yang sedang mengambil foto suasana rumah pantai dan pantai dengan ponselnya,
terpaksa menyimpannya di saku.
“Ampun dah.
Baiklah, hanya saat bertukar kontak dengan pria, aku akan memaafkanmu jika kamu
mengeluarkan ponsel.”
“Aku
sudah memiliki suami yang sudah berjanji
setia padaku, jadi tidak masalah.”
“Wkwk,
cinta sejati, ya...”
Staf
wanita yang memiliki kulit kecokelatan dan rambut dengan highlight tertawa
terbahak-bahak mendengar perkataan Himeno dan membalikkan badan.
“Kamu
anak yang menarik.”
“Aku sering
dibilang begitu!”
Himeno
yang menganggap sindiran itu
sebagai pujian tersenyum bahagia.
“Apa-apaan sih dengan gadis ini? Mari kita jelaskan
pekerjaan dulu. Di sini ada menu seperti es serut, yakisoba, sosis, dan makanan
panggang. Es serut hanya perlu memarut es dan menuangkan sirup, yang lainnya
hanya dibakar di atas teppan. Mudah, kan? Pemula, kamu akan bertanggung jawab
untuk yakisoba.”
“Cuma Yakisoba?
Padahal aku ingin mencoba masakan yang
lebih sulit... Tapi baiklah!”
Himeno
menjawab dengan penuh percaya diri, meskipun tidak jelas dari mana kepercayaan
diri itu berasal.
“Otaku-kun, kamu mau pesan apa?”
“Sepertinya
di sini ada banyak menu pilihan seperti cumi dan
jagung bakar, tetapi yakisoba tidak boleh dilewatkan! Rasa saus yang dimakan di
luar itu luar biasa!”
“Itu
bagus, kalau Miu sih
ingin es serut. Mari kita beli yang warnanya sama dengan warna rambut
kita."
“Itu
ide yang bagus, Miu!”
“Kalau
Nakamura-san dan yang tidak keberatan dengan itu,
tapi rambutku dan Sensei
berwarna hitam, jadi bagaimana?”
“Ah,
ada yang hitam manis!”
“Namanya
memang ada hitamnya, tetapi warnanya cokelat, ya?”
“Tidak
masalah, itu semua soal perasaan!”
Seorang
pria dan dua wanita
yang tampak seperti pelajar SMA sedang berdiskusi dengan ceria di depan toko
tentang apa yang akan mereka pesan.
“Selamat
datang. Kalian mau pesan apa?”
“Kami mau
pesan es serut stroberi, lemon, dan persik masing-masing
satu, dua hitam manis, bakso cumi, jagung bakar, sosis, dan dua porsi yakisoba,
ya!”
“Baik,
totalnya empat ribu delapan ratus yen.”
Setelah
membayar, pelayan mencatat pesanan mereka.
“Baik,
ini saatnya untuk menunjukkan kemampuamu,n
Himeno.”
Setelah
menerima pesanan, Himeno dengan cekatan menata bahan makanan di atas teppan dan
mulai memasaknya.
“Selesai!”
“Eh,
pemula. Memangnya kami memiliki yakisoba tinta
cumi?"
“Tinta
cumi? Apa maksudmu? Ini yakisoba saus biasa.”
“Tapi
Yakisobanya kelihatan terlalu
hitam...”
Memangnya
itu bisa disebut masakan jika mie dan sayuran semuanya berwarna
hitam?
Staf
rumah pantai yang meragukan hasil masakan itu dengan hati-hati mencicipi satu
suap.
“Ugh!
Apa-apaan ini!? Ini sih bukan tinta cumi, tetapi terlalu
gosong!?”
Staff
tersebut menunjukkan kemarahan kepada Himeno dan meminta untuk mengulanginya,
tetapi hasilnya tetap sama.
Menu
lainnya sudah siap, tetapi yakisoba tidak dapat disajikan dengan kualitas yang
dapat diterima oleh pelanggan, sehingga staf yang kesal mengambil alih dan
memasak untuk menyelesaikan situasi tersebut.
◇◇◇◇
“Minato-kun,
dengerin ini deh.”
“Ada
apa?”
Setelah
kembali ke asrama, Himeno langsung berbicara kepada Minato.
“Ternyata
tidak ada lagi tempat untukku bekerja.”
“Eh?
Memangnya apa yang sudah kamu lakukan?”
“Aku
tidak melakukan apa-apa. Aku hanya berusaha bekerja keras.”
“...Hah.”
Himeno
menunjukkan ekspresi cemberut dan bersikas kalau dirinya
tidak melakukan kesalahan apa-apa untuk membela diri, tetapi
Minato bisa dengan mudah membayangkan alasannya.
Sangat
sulit bagi putri manja
yang tidak memiliki kemampuan dan tidak tahu norma-norma untuk bekerja.
“Ngomong-ngomong,
bukannya ini aneh?”
“Aneh
apaanya?”
Keluhan
Himeno terus mengalir tanpa henti. Mungkin ini adalah kelemahan Minato yang
jatuh cinta padanya.
“Yakisoba
di rumah pantai dijual 800 yen,
kan? Tapi gaji per jam kita 1200
yen, bukannya itu terlalu rendah! Jika kita
menjual dua porsi, gaji kita akan terlampaui!”
“Ada yang
namnya biaya bahan, sewa, dan banyak hal lainnya, jadi
memang seperti itu.”
“Eh?
Minato-kun, kamu tidak mendukungku?”
“Aku
tidak tahu harus mendukung apanya...
Yah.”
Bahkan
Minato yang biasanya tenang pun terkejut dan tidak bisa melanjutkan.
“Kalau
begitu, kalau tidak ada tempat kerja, kamu mau bagaimana?”
“Mereka
bilang aku harus keluar dari asrama. Ayo, cepat pergi dari tempat ini.”
“Aku
akan tetap di sini.”
Tentu
saja, Himeno yang berpikir untuk pulang bersama dan menjalani kehidupan yang
berbeda tidak percaya dengan pendengarannya.
“Lalu aku
harus bagaimana?”
“Pulang
saja sana.”
“Eh?”
“Aku
bilang pulang!”
Minato
tidak bisa menahan diri dan berteriak. Dirinya
telah kehilangan segalanya dan hidup bersama
Himeno, tapi pada akhirnya Minato
sudah mencapai batasnya.
Setelah
keluar dari lingkungan yang buruk dan mulai mendapatkan pekerjaan tanpa merasa
cemas tentang masa depan, Minato berusaha untuk melepaskan orang yang
dicintainya meskipun ia tidak bisa memberi kehidupan yang layak.
“Memangnya
akhu harus pulang ke mana? Bukannya
kamu sudah mengosongkan apartemen, ‘kan!”
“Aku
tidak tahu. Ada pepatah yang bilang, 'yang tidak bekerja tidak boleh makan,'
dan jika kamu bekerja dengan baik, semua ini tidak akan terjadi, kan?”
“It-Itu
bohong ‘kan... Minato-kun, tolong katakan sesuatu! Apa perasaan cinta
kita bukan cinta sejati?”
Himeno
yang bergantung padanya, ditolak Minato tanpa mengubah ekspresi wajahnya.
“Jangan...
jangan bilang begitu...”
Suara
tangisan Himeno yang menyedihkan
dan hampa bergema di dalam
ruangan asrama kecil.
Sebelumnya || Daftar isi || Selanjutnya