Selingan — Bagian Nene 3
Nene melihat-lihat sekeliling saat dia sedang
berjalan, menghindari tatapan orang lain.
(Hari ini
seperti biasa, aku makan sarapan dengan Arata-san, lalu mengantarnya saat dia
pergi bekerja di kafe. Meski aku memberitahunya
kalau aku pergi keluar untuk belajar, tetapi
seharusnya ia tidak menyadari bahwa aku akan bertemu
seseorang hari ini.)
Dia
menuju kafe tua di pinggiran
kota dengan langkah kaki yang berat.
Setelah
sampai di depan kafe, dia mengambil napas dalam-dalam.
Setelah memastikan amplop yang ada di dalam tasnya,
dia kemudian membuka pintu.
Pintu
kayu tipis itu terasa
sangat berat, seakan-akan
terbuat dari besi, dan perasaan terjebak seolah-olah akan dimasukkan ke penjara
merayap dari kakinya.
Arata-san pasti sedang bekerja, jadi
seharusnya tidak ada yang tahu jika aku bertemu seseorang.
“Sebelah
sini, sebelah sini!”
Begitu dirinya masuk, seorang pelanggan yang
sudah ada di sana melambaikan tangan dengan akrab kepada Nene.
Menanggapi
hal itu, Nene berusaha sekuat tenaga untuk menampilkan
wajah tanpa ekspresi sambil melangkah dengan sikap tegas.
Dia
kemudian duduk berhadapan di seberang meja.
“Nee-san,
hari ini──”
“Kamu juga
bisa memesan sesuatu loh, Nene.”
Seolah
ingin menghentikan Nene yang ingin berbicara,
orang yang tersenyum padanya adalah Himeno.
“Kue Tart
di sini enak, lho?”
Himeno
yang sudah memesan dan mulai makan, merekomendasikan itu kepada Nene.
“Tidak,
aku hanya ingin memesan kopi saja.”
Nene
memanggil pelayan untuk memesan.
Tak lama
kemudian, kopi pesanannya pun
tiba. Selama itu, mereka berdua terdiam, dan suasana di antara mereka terasa
berbeda dibandingkan dengan beberapa kelompok lain di dalam kafe.
Nene
mengambil satu teguk kopi dengan perasaan seolah-olah bergantung pada
sesuatu.
“Nene,
sepertinya kamu sangat menikmati pekerjaan paruh waktumu, ya.”
Menyusul
tindakan sebelumnya, Himeno memulai percakapan dengan nada sarkastik.
“Onee-chan
terkejut, lho. Saat aku lagi asyik berjalan-jalan di kota, aku melihat kafe di
mana Nene bekerja, dan bahkan
ada Arata-san di sana. Aku mendengar dari anak dengan
rambut biru muda itu yang mengatakan kalian berdua
sangat akrab. Tapi, memangnya
itu mungkin? Menurutku tidak mungkin bagi orang normal untuk bekerja dengan
mantan tunangan kakaknya sendiri.”
“……”
Nene
menggigit bibirnya mendengar nada berlebihan dari Himeno.
Hubungan
Nene dan Arata berada dalam keadaan yang sangat rapuh. Mereka telah
menghabiskan waktu dengan menyenangkan, tetapi itu hanya karena mereka
mengabaikan banyak hal untuk terus mempertahankannya.
Mantan
tunangan dan adiknya, orang dewasa
dan gadis SMA, kini seorang guru dan
murid, semuanya berdiri di atas keseimbangan rapuh yang bisa berantakan jika
mereka mengambil langkah yang salah. Apa yang telah mereka bangun mungkin tidak
akan dipahami oleh masyarakat dan tidak mengherankan jika mereka dicemooh.
Hal ini
ditunjukkan dengan jelas oleh Himeno, yang tidak memiliki rasa normal.
“Apa
semua orang di tempat kerjamu mengetahui hal
ini?”
“Itu...”
Melihat bagaimana reaksi Nene yang
terdiam, Himeno mengerutkan bibirnya.
Dalam
surat yang diberikan dari Sora, di sana tertulis [Jika kamu tidak ingin semua orang
tahu tentang hubunganmu dengan Arata-san,
tolong hubungi aku],
dan Nene, yang telah memblokir Himeno, akhirnya menghubungi dan sepakat untuk
bertemu di sini.
“Benar sekali, mana
mungkin kamu bisa memberitahu hal semacam itu kepada mereka.
Apa pendapat semua orang yang tahu tentang itu?”
Himeno
dengan sengaja memisahkan kata-katanya, seolah-olah ingin menekankan maksudnya.
“Adik
perempuan yang merebut tunangan kakak perempuannya.”
Jantung
Nene berdegup kencang.
Bukan
berarti Nene tidak pernah mencemaskan
tentang hal itu. Jika hanya melihat situasi, mungkin wajar jika orang berpikir
seperti itu. Itulah sebabnya dia
hanya menjelaskan situasi kepada orang-orang terdekatnya. Dia tidak bisa menjelaskan kepada
setiap orang, dan tidak berharap mereka bisa memahaminya. Namun, meskipun
demikian, mendengar kata-kata itu dengan mudah melukai hati Nene.
“Dan
Arata-san adalah pria paling brengsek yang beralih ke adik perempuan yang lebih muda.”
Ahahahahaha.
Tawa
Himeno menggema di dalam kafe kecil
itu.
Meskipun
dia sendiri yang membatalkan pertunangan,
Himeno dengan ringan mengejek Arata.
“Jangan
katakan begitu.”
Nene berhasil menahan diri untuk tidak berdiri dan
menyerang Himeno. Perasaan kuat yang dia
miliki terhadap Arata membuatnya seperti
itu.
“Apa-apaan
dengan tatapan matamu itu?”
“Itu
tidak benar.”
“Aha~. Mungkin saja ada orang yang berpikir begitu, jadi aku cuma mengatakannya. Jangan
terlalu serius menanggapi lelucon.”
Setelah selesai mengucapkan apa yang ingin dia
katakan, Himeno mengubah topik pembicaraan.
“Apa
kamu membawa apa yang
sudah kubilang padamu?”
“...Aku
membawanya.”
Nene
mengeluarkan amplop dari dalam tasnya.
Amplop itu segera direbut oleh Himeno yang langsung memeriksa isinya.
“Sedikit
banget.”
Dari
amplop yang dibanting di atas meja,
terlihat sepuluh lembar uang 10 ribu
yen.
Bagi
seorang siswa SMA, uang 100 ribu yen merupakan
jumlah yang besar. Di sela-sela kegiatan
sekolah dan belajarnya, dia menghabiskan waktu dan tenaga,
berusaha untuk bersenang-senang meskipun itu bukan permainan, jadi dia harus berhati-hati dan
mengalami kesulitan. Mungkin ada malam-malam di mana dia mengalami kegagalan dan merasa
terpuruk, tapi itu adalah
uang yang didapat dari pengulangan pengalaman tersebut. (TN: 100 ribu
yen itu kalau dirupiahkan sekitar 10 jutaan lebih)
Himeno yang tidak ingin bekerja tidak
memiliki hak untuk mengkritik Nene.
"Kalau cuma segini sih,
uangnya akan segera habis setelah
membayar bunganya. Bukannya sudah kubilang kalau kamu harus meminta
uang dari ayah dan ibu?”
“Aku
tidak bisa melakukan itu...”
“Memangnya
kamu tidak bisa memilih caranya? Jika jumlahnya sedikit seperti
ini, Onee-chan mungkin akan mengungkapkan
sesuatu.”
“Aku mohon.
Tolong jangan lakukan itu.”
“Tolong”, Nene
menundukkan kepalanya.
“Baiklah.
Karena suasana hatiku sedang baik,
kali ini aku akan membiarkanmu seperti ini. Kalau begitu,
kamu harus memberiku 100 ribu yen setiap bulannya ya.”
“Eh?”
“Apa?”
“...Baiklah.”
Nene
menundukkan kepalanya sekali
lagi kepada Himeno, yang berbicara seolah-olah
itu hal yang wajar meskipun dengan nada kesal.
(Orang
ini dengan gampangnya mengambil
semua dariku. Seperti
boneka yang sangat kusayangi
saat kecil, atau saat aku mencalonkan diri sebagai tunangannya Arata-san. Dan sekarang, dia berusaha
mengambil tempatku dan kehidupan yang akhirnya didapat Arata-san. Aku tidak keberatan jika dia mengambil tempatku. Tapi aku tidak akan
membiarkan Arata-san
kehilangan apapun lagi setelah ia kehilangan segalanya pada hari itu. Jika bisa
diselesaikan dengan uang, aku ingin melindunginya. Aku bersedia mengorbankan diriku
jika aku bisa melindungi kedamaian Arata-san.)
Sambil
menguatkan tekad di dalam
hatinya, kepalan
tangannya tergenggam
erat di atas lututnya saat tetesan rasa
frustrasi menetes ke bawah.
Nafas
Nene mulai tersengal-sengal.
Sepertinya batas kesabaran sudah
dekat.
“Baiklah,
sampai jumpa lagi~. Oh,
tolong bayarkan yang ini juga ya.”
Himeno
melambai-lambaikan tangannya saat
keluar dari dalam kafe.
Bagi Nene
yang menunduk, tidak melihat sosok Himeko yang menyebalkan itu adalah
satu-satunya penghiburan.
“Hei,
kamu ini siapa sih? Jangan
menghalangi jalanku, biarkan
aku lewat!”
“Tidak,
aku tidak akan membiarkanmu lewat. Uang itu bukan milikmu. Bagaimana kalau kamu mengembalikannya
kepada Nene-chan?”
Suara rendah
yang familiar, namun kali ini terdengar marah, membuat Nene merasa seolah-olah dia baru mendengarnya untuk
pertama kali.
Namun,
dia tidak mungkin salah, dan Nene mendongak seolah dipandu oleh suara itu.
Di depan pandangannya, ada sosok Arata yang berdiri menghalangi Himeno di depan pintu.
Sebelumnya || Daftar isi || Selanjutnya