Chapter 10 — Hari Penuh Emosi Berakhir dengan Satu Kesimpulan
(TN:
Mimin saranin baca chapter ini sambil dengerin lagu dari Tom Odell – Another Love)
Hari
Valentine telah tiba. Seperti yang diharapkan, sepenjuru
sekolah ramai dengan kegembiraan meski
waktunya masih di pagi hari. Amane memperhatikan saat
sekelompok gadis memasuki kelas, satu demi satu, untuk masing-masing memberikan
Yuuta hadiah.
Memangnya
ada orang sebanyak ini di kelas kita?
Yuuta langsung berangkat ke
sekolah pagi ini karena dia tidak ada latihan pagi. Saat dirinya memasuki ruang kelas, kedua tangannya sudah penuh. Amane
menyaksikan kejadian itu dengan sikap acuh tak acuh seperti penonton. Ah,
jadi begini
awalnya, renungnya. Namun, baru setelah segerombolan gadis,
setelah mendengar kedatangan Yuuta, menyerbu masuk setelah ia duduk, Amane
menyadari kekacauan yang sebenarnya baru saja dimulai.
“Rasanya jadi kasihan melihatnya. Ia
masih harus bertahan hidup saat istirahat dan sepulang sekolah juga…”
Sepertinya
kerumunan gadis yang memberikan hadiah di pagi hari tidak akan berkurang dalam
waktu dekat. Karena Yuuta sudah
dikepung, baik Amane maupun Itsuki bahkan tidak bisa mendekati Yuuta, apalagi
menawarkan bantuan, jadi yang bisa mereka lakukan hanyalah mendoakan yang
terbaik dari kejauhan.
Ini
terlalu merepotkan. Mungkin sebaiknya panggil petugas keamanan atau semacamnya
saat ini.
“Bung, bahkan ada banyak orang yang bertaruh
berapa banyak yang akan ia dapatkan.”
“Setiap
kali tumpukan itu bertambah, semua orang menjadi semakin cemburu…atau begitulah
yang orang lain pikirkan, tetapi sekarang semua
orang hanya merasa kasihan padanya.”
“Ya,
kalau sudah separah itu sih, rasa cemburu langsung meluap
dan menjadi... ' Wah, pasti berat banget nih.'”
Yuuta
menghadapi aliran gadis-gadis yang tak ada habisnya itu dengan senyuman, mengingat semua nama mereka dan
mengucapkan terima kasih dengan benar. Melihat hal ini, jelas sekali bahwa kebanyakan pria
lain tidak lagi iri padanya. Kelelahan karena menangani semua gadis yang
mendekatinya dengan sempurna mengalahkan kecemburuan apa pun.
“Apa
ia bisa membawa semua itu pulang? Aku mulai khawatir. Maksudku, aku ragu semua
itu bisa muat di lokernya. Tidak mungkin.”
“Yuu-chan
mungkin akan naik taksi,” kata Chitose. “Aku yakin ia sudah merencanakan
semuanya.”
Tak
terpengaruh oleh kemunculannya yang tiba-tiba, Amane menyapa Chitose dengan
ucapan santai, “Selamat pagi.” Chitose membalas sapaannya dengan senyum riang.
“Oh,
Amane, ambillah ini. Ini cokelatmu. Ungkapkan rasa terima kasihmu padaku!”
Chitose
datang hanya untuk ini, menyerahkan Amane sebuah kotak yang dibungkus dengan
kertas berwarna pastel yang hangat—sangat sesuai dengan gaya Chitose.
Kemasannya cantik dan dirancang dengan cermat, jenis hadiah yang akan membuat
siapa pun senang menerimanya. Namun, mengetahui apa yang ada di dalamnya, Amane
tidak dapat menunjukkan kegembiraan yang sebenarnya.
“Baiklah,
baiklah, terima kasih…tapi izinkan aku menanyakan ini lebih dulu: seberapa
parah keadaan rasanya?”
“…Eh,
lebih buruk dari tahun lalu?”
“Mengapa
kamu berusaha keras untuk memperparah
rasanya…”
Cokelat
tahun lalu sudah menjadi senjata beraroma manis yang merusak indera perasa dan
perutnya. Mendengar bahwa sekarang bahkan “lebih
buruk” membuat
Amane bergidik ngeri.
“Oh, kamu
akan baik-baik saja. Mahirun mencobanya dengan baik, dan bahkan Ikkun sudah mencobanya.”
“Reaksi
mereka sangat berbeda…” gumam Amane.
“Itu
tidak akan membuat perutmu sakit; aku bisa menjamin itu. Aku akan
merekomendasikan untuk minum yogurt atau susu terlebih dahulu, sekedar berjaga-jaga.”
“Serius,
ini pertanda buruk kalau kamu
harus memperingatkanku… Tapi meskipun begitu, yah
kurasa aku harus berterima kasih.”
Setidaknya
dia punya kesopanan untuk memberitahuku sebelumnya.
Sembari menghela napas, Amane
mengucapkan terima kasih sambil mencoba mengingat apa dirinya masih punya yogurt tersisa di
kulkas.
Sensasi
ngeri perlahan merayapinya. Tidak diragukan lagi Chitose telah
mengemas sesuatu yang kuat di dalamnya. Namun, menduga bahwa Mahiru telah
bertindak sebagai pengaman, Amane
berharap indera perasanya tidak akan menghadapi serangan besar-besaran. Dilihat
dari ukuran kotaknya, tampaknya setidaknya beberapa cokelat itu normal. Ia
hanya bisa berdoa agar semuanya seimbang.
“Kamu akan baik-baik saja. Kamu sudah menolongku berkali-kali, jadi
aku telah memenuhinya dengan banyak cinta. Oh, hanya sebagai teman, tentu saja.
Cinta persahabatan.”
“Aku
tidak keberatan sama sekali jika kamu
mengemas semua cinta itu ke dalam milik Itsuki.”
“Jangan
begitu saja mengkhianatiku, kawan! Aku sudah muak, terima kasih!”
“Aku
punya waktu sebentar untukmu, Ikkun!”
“Hiiii!”
“Hei,
hati-hati,” kata Amane. “Kamu
akan membuat Itsuki jadi trauma.”
“Bukannya sejak tadi kalian bersikap terlalu
kasar?” balas Chitose.
“Ah,
kalau saja kamu membuat semua coklat itu menjadi biasa, Itsuki pasti akan
melompat kegirangan.”
“Kalau yang begitu sih, tidak ada
yang menarik sama sekali.”
“Jujur
saja, kami tidak benar-benar menemukan kegembiraan dalam kesakitan fisik…”
Rasanya akan
bagus jika kekreatifannya
terletak pada penampilan atau cara memakannya, tetapi jika fokusnya hanya untuk
menguasai selera korbannya, hal itu pasti akan menghantam sebagian orang bagai
berton-ton batu bata.
Chitose,
yang jelas-jelas menikmati seluruh adegan itu, tersenyum lebar pada Itsuki dan
kemudian menyatakan sesuatu yang agak kejam. “Nantikan saja!” Merasa sedikit
kasihan padanya, Amane diam-diam menyemangati tubuh Itsuki, terutama perutnya,
saat ia mengambil cokelat itu dan melangkah pergi.
Menyimpan
cokelatnya di lokernya hingga tiba saatnya pulang adalah langkah terbaik.
Meskipun ia membawa tas, membawanya ke mana-mana dan mengocok makanan di
dalamnya bukanlah hal yang ideal. Dengan mengingat hal itu, Amane menuju loker
di bagian belakang kelas.
Tepat
saat ia hendak menuju lokernya, ada seseorang yang memanggilnya.
“Fujimiya-kun!”
Ketika Amane berbalik, ia melihat salah
seorang teman sekelas perempuannya berdiri di sana.
Amane
ingat bahwa gadis itu pernah berbicara dengannya pada Malam Natal tahun lalu,
tetapi dia tidak dapat memikirkan alasan apa pun bagi gadis itu untuk
mendekatinya sekarang. Sambil menjawab dengan santai, “Hmm, iya?”, dia memperhatikan gadis itu
tersenyum cerah dan mendekat, dengan tas di tangannya.
“Ini
untukmu. Selamat Hari Valentine!”
Sebelum
Amane bisa mencerna situasi itu sepenuhnya, gadis itu… Hibiya menyerahkan
sekantong kecil wafer coklat dalam bungkusan berwarna merah cerah sambil
tersenyum ceria.
“…Maaf,
apa?”
“Oh,
jangan khawatir, ini hanya cokelat wajib biasa. Aku akan membagikannya kepada
semua orang di kelas kita. Ini seratus persen wajib. Aku punya banyak sekali di
sini.”
Mengingat
banyaknya bungkusan besar yang dimasukkan dalam tasnya, dia pasti membeli
beberapa bungkus coklat keluarga untuk acara tersebut.
Amane
tidak bisa merasakan perasaan khusus apa pun yang datang darinya. Bahkan bagi
orang-orang di sekitar mereka, itu tidak lebih dari sekadar hadiah wajib.
Terlebih lagi, paket itu bahkan tidak bertema Valentine, tetapi dimaksudkan
untuk mendoakan keberhasilan dalam ujian. Amane percaya bahwa dia hanya ingin
memberikannya kepada semua orang.
Sambil
melihat sekeliling, Amane melihat teman sekelas laki-laki dan perempuan lainnya
memegang wafer cokelat yang sama. Dia memang membagikannya ke seluruh kelas.
“Te-Terima
kasih.”
“Sekarang,
jangan lupa untuk meyakinkan Shiina-san,” kata teman sekelasnya. “Dia sudah
lama mengawasi kita.”
“Mahiru…”
Sambil melirik ke arah Mahiru, Amane menyadari bahwa meskipun Mahiru tidak
tampak kesal, dia justru memelototinya.
“Tidak, bukan seperti itu! Aku tidak mencoba
mencurinya atau semacamnya.” Hibiya melambaikan tangannya dengan penuh semangat
dan tertawa ringan, menunjukkan bahwa dia tidak menyukainya secara romantis.
Mereka mungkin berteman baik sebagai teman sekelas, tetapi sama sekali tidak
ada yang perlu dikhawatirkan Mahiru.
“Ya, aku
juga tidak berpikir begitu.”
Amane
menyatakan ini dengan serius, bukan hanya karena dirinya tidak berpikir ada orang yang
punya alasan untuk menyukainya tetapi juga untuk secara halus meyakinkan Mahiru
agar tidak khawatir.
Merasa terkejut,
mata Hibiya melebar sebelum menatapnya dengan saksama.
“Fujimiya-kun…”
“Ya?”
“Seberapa
besar cintamu pada Shiina-san?”
Amane
hampir terbatuk karena terkejut.
Ia tidak
menyangka akan mendapat pertanyaan blak-blakan seperti itu dari teman
sekelasnya. Ia terdiam sejenak dan menatap Hibiya. Namun, Hibiya membalas
tatapannya dengan tatapan ingin tahu, seolah ingin memastikan sesuatu.
“Yah,
itu pasti muncul begitu saja. Kenapa kamu bertanya? Jujur saja, harus menjawab
itu membuatku agak malu.”
“Sejujurnya,
rasanya sudah jelas kamu sangat
mencintainya. Sikap dan caramu bertindak menunjukkannya.”
“Memangnya sejelas itu?”
“Ya, itu
jelas. Kamu bahkan melembutkan ekspresimu.”
Amane
tidak merasakan perubahan apa pun dalam ekspresinya. Namun, dibandingkan dengan
saat ia biasa mendorong orang lain, wajahnya mungkin sedikit melembut. Ia
menyentuh pipinya, bertanya-tanya apa itu benar, tetapi pipinya masih terasa
setipis dan sekencang sebelumnya—tidak seperti kelembutan pipi Mahiru.
Menyadari
bahwa teman-teman sekelasnya pun melihatnya seperti itu membuat Amane ingin
mati karena rasa malu,
tetapi mengeluh tentang hal itu hanya akan menarik lebih banyak perhatian. Ia
menelan pikirannya dan berusaha sebisa mungkin untuk tetap tenang.
“Ahaha,
kamu baik-baik saja untuk saat ini. Shiina-san tidak ada di sampingmu, jadi
kamu terlihat serius,” kata Hibiya.
"Serius
atau tidak, aku senang aku tidak terlihat sentimental. Itu akan sangat
memalukan.”
“Kamu benar-benar harus memeriksa
penampilanmu bersama Shiina-san. Mau aku fotokan saat kalian bersama nanti?”
“Ya,
kurasa mendingan tidak usah.”
“Aww,” Hibiya cemberut. “Sayang sekali.” Atau begitulah katanya, tetapi
tidak ada sedikit pun kekecewaan dalam suaranya. Dia juga tidak menggodanya
atau bersikap sarkastis. Hibiya menjaga percakapan mereka tetap santai dan
ringan, yang membuat Amane merasa tenang.
“Bagaimanapun
juga, jelas sekali kalau kamu sangat mencintai Shiina-san… Dia satu-satunya
untukmu, bukan?”
“Tentu
saja.” Amane mengangguk, merasa yakin kalau dirinya bisa
mengatakan hal yang sama kepada siapa pun yang bertanya.
Amane
tidak pernah mencintai Mahiru dengan setengah hati—tidak mungkin ada orang lain
yang bisa menggantikannya. Amane
tahu perasaannya berat, tetapi begitu pula dengan
Mahiru. Dia tidak bisa membayangkan ada orang lain dalam hidupnya. Karena
Mahiru, dia menjadi dirinya yang sekarang, dan pikiran untuk mengalihkan
pandangannya ke orang lain sama sekali tidak mungkin.
Hibiya
tampak sedikit terkejut, terkejut dengan tanggapan langsungnya.
“Wah,
jawaban yang instan. Tapi ya, aku juga setuju. Aku benar-benar setuju, tapi…”
“Tetapi?”
“Hmm… Itu
bukan sesuatu yang bisa kulakukan…” kata Hibiya dengan serius.
Sebelum
Amane bisa sepenuhnya memahami maksudnya, Hibiya memperlihatkan senyum menawan
yang sama seperti sebelumnya dan melambaikan tangannya dengan ringan.
“Tidak
apa-apa, tidak apa-apa. Maksudku, keadaannya
pasti sulit bagi Shiina-san.”
“Bagi Mahiru? Apa maksudmu…?”
“Dia
pasti khawatir kalau ada gadis yang mencoba mendekati pacarnya.”
“Bukannya malah aku yang seharusnya khawatir hal itu
terjadi padanya…?”
“Yah,
siapa yang bisa bilang begitu?”
jawab Hibiya.
Amane
mencoba memahami apa yang tersirat dari seringai kecil Hibiya, tetapi ia tidak
dapat membaca apa pun dari ekspresinya. Amane hanya
bisa memiringkan kepalanya dengan bingung.
✧ ₊
✦
₊ ✧
“Fujimiya-kun,
ini dia!”
Ketika jam
istirahat makan siang tiba, Ayaka muncul bersama Souji, langsung menuju tempat Amane. Namun, karena Ayaka berada
di kelas yang sama, lebih tepat jika dikatakan bahwa Souji adalah satu-satunya
yang berkunjung. Di tangan Ayaka ada sebuah kotak panjang yang terbungkus rapi.
Seiring
dengan meluasnya pergaulan Amane tahun ini, ia menerima beberapa coklat dari
gadis-gadis di kelasnya. Tentu saja, setiap coklat diberikan dengan jaminan
bahwa coklat tersebut benar-benar wajib. Setelah didekati dan diberi manisan sepanjang hari, Amane
mengembangkan kemampuan untuk merasakan saat ada orang lain yang
menghampirinya.
Dan
sekarang, Amane bahkan menerima coklat dari Ayaka, salah satu temannya. Ayaka
meletakkan kotak itu dengan kuat ke tangan Amane sambil tersenyum cerah dan
ceria.
“Apa ini pro—?”
“Ini
bukan protein bar, jangan khawatir. Menurutmu aku ini apaan?”
“Seorang gadis dari sistem distribusi protein
bar.”
Ayaka
punya kebiasaan untuk selalu merekomendasikan atau membagikan produk protein,
sehingga setiap kali dia membagikan makanan, hal
pertama yang terlintas di pikiran Amane adalah, Oh, lebih
banyak protein. Dirinya telah
menanamkan gambaran itu dengan kuat di benaknya.
Amane
mengira ini akan menjadi perpanjangan lain dari kebiasaan mengonsumsi protein,
tetapi tampaknya kali ini merupakan pengecualian.
Ayaka
cemberut. “Kamu seriusan berpikiran begitu
tentangku?” gerutunya.
“Kamu menuai apa yang kamu tabur, Ayaka…” kata Souji. “Lihat saja
apa yang telah kamu berikan
padaku sejauh ini.”
“Uuuu…”
“Baiklah,
itu salahku,” Amane
meminta maaf. “Ya, aku merasa ragu kamu akan membawa protein hari ini,
kan, Kido?”
“Tidak,
aku juga punya coklat batangan protein!”
“Jadi
kamu memang membawanya ya.”
Meskipun
khawatir dengan citranya, Ayaka tetap mengeluarkan beberapa batang protein
sebagai bukti, yang membuatnya sulit untuk menanggapi keluhannya dengan serius.
Souji, yang jelas-jelas familier dengan rutinitas ini, menatapnya dengan
pandangan yang seolah berkata, “Dia mulai lagi.” Hal itu membuat Amane bertanya-tanya
apa salah satu dari mereka menyadari bahwa mereka hanya memperkuat gagasan
bahwa Ayaka sama dengan protein .
“Maksudku,
ayolah…rasanya enak!”
“Aku
tahu. Aku sering memakannya.”
“Akhirnya kamu menyadari kebenarannya,
Fujimiya-kun,” seru Ayaka sambil menyeringai.
“Aku
belum sampai ke tahap itu.”
“Ah,
ayolah!”
“Mengapa
kamu memaksanya sekeras itu…?”
“Lihat,
alangkah hebatnya jika Sou-chan mendapat teman olahraga baru, dan Shiina-san
juga akan senang. Ini sama-sama menguntungkan!”
“Kayano,
lebih baik kita simpan pembicaraan soal olahraga itu untuk saat kita di
kantor,” canda Amane.
“Ya,
benar sekali.”
“Kalian
kejam sekali! Kalian hanya ingin menyingkirkanku!” protes Ayaka dengan
dramatis.
Menyebutkan
apa pun tentang olahraga di sekitar Ayaka hanya akan membuatnya sangat
bersemangat, jadi Amane dan Souji dengan bijak memilih untuk menyimpan
percakapan itu untuk urusan pribadi. Sebagai tanggapan, Ayaka menggembungkan
pipinya.
“Sekarang
sudah sampai pada titik ini, aku harus merekrut Shiina-san… Tapi tak perlu
khawatir; dia punya banyak potensi…”
“Jangan
menulari orang lain dengan keanehanmu.” Souji menjentikkan jarinya pelan ke
dahinya.
“Aduh!”
Ayaka melangkah mundur, menyadari bahwa dia terlalu terbawa suasana.
Biasanya,
Ayaka yang menjaga Souji, tetapi setiap kali dia terlalu marah, Souji turun
tangan untuk menjaganya. Dengan cemberut dramatis, bahunya merosot untuk
menunjukkan betapa kecewanya dia.
“…Mengesampingkan masalah otot, tapi terima kasih untuk ini,” kata Amane. “Aku menghargainya.”
“Tidak, tidak,
kamu sudah banyak membantuku, Fujimiya-kun.”
“Meskipun
begitu, aku tidak ingat melakukan banyak
hal.”
“Yah, kamu tahu, kamu sudah akrab dengan Sou-chan dan
sebagainya.”
“Memangnya kamu ini ibuku
atau apa?” balas Souji.
“Tidak,
aku pacarmu yang manis!”
“…Bahkan
jika kamu memang begitu, ada cara yang
jauh lebih baik untuk melakukan sesuatu.”
Ah, ia merasa malu.
Amane dan
Ayaka segera menyadari hal ini. Sambil tersenyum puas, dia menjawab, “Iya dehhh,”
dengan nada lembut dan penuh semangat serta ekspresi senang.
“Terima
kasih atas traktirannya.”
Mendengar
Amane mengatakan ini, Souji menggunakan otot-otot wajahnya yang kaku untuk
menatap Ayaka dengan penuh arti. Melihat pasangan itu dengan senyum hangat, mau tak mau Amane berpikir Souji
adalah pria yang beruntung. Namun, ketika tatapan tajam Souji beralih ke
arahnya, Amane menyadari bahwa ia mungkin telah menatapnya terlalu lama. Amane diam-diam menyelinap pergi,
meninggalkan pasangan yang bahagia itu seolah-olah tidak terjadi apa-apa.
✧ ₊
✦
₊ ✧
Dengan
kata lain, acara Hari
Valentine hanya benar-benar dimulai setelah sekolah.
Mengetahui
kehadirannya dapat menimbulkan masalah bagi anggota
klub lari lainnya, pelatih Yuuta telah
memerintahkannya untuk tidak ikut latihan hari ini. Seperti yang diduga, para
siswa langsung mengerumuninya begitu jam sekolah
bubar.
Pemandangan
para gadis yang menunggu jam pelajaran
berakhir dengan penuh semangat sebelum menghujaninya dengan hadiah sungguh luar
biasa. Dilihat dari sepatu dalam ruangan mereka, mereka berasal dari berbagai angkatan, dan seluruh pemandangan itu
tampak seperti legenda sekolah yang sedang berkembang.
Amane
menyaksikan kejadian itu dari kejauhan. Namun, jangan salah mengartikan
ketidakpeduliannya sebagai sikap tidak berperasaan—jika ia turun tangan
sekarang, ia hampir pasti, jika tidak pasti, akan memancing kemarahan
gadis-gadis itu dan berisiko mempersulit kehidupan sekolahnya. Selain itu,
perasaan mereka terlihat tulus,
dan ia tidak berhak ikut campur. Yang bisa ia dan teman-temannya lakukan
hanyalah menunggu dengan sabar hingga kerumunan itu tenang.
“Kamu
telah melakukannya dengan baik hari ini.”
Setelah
hampir satu jam, gelombang orang akhirnya mereda, meninggalkan setumpuk— atau
segunung —hadiah yang dibungkus dengan antusiasme yang sungguh-sungguh. Berbarengan dengan
kerumunan yang bubar, Yuuta tidak perlu lagi menjaga penampilan, dan
kelelahannya terlihat jelas. Meskipun sedikit kurang semrawut daripada hiruk
pikuk pagi hari, jumlah orang yang datang dan pergi jauh melebihi itu.
Popularitasnya yang luar biasa bahkan membuat Itsuki, yang telah mengenalnya
selama bertahun-tahun, terpesona.
“…Oh,
kalian menungguku ya.”
“Yah, bukannya berarti kita punya banyak
pilihan. Karena kamu
agak…sibuk.”
“Kamu tampak seperti kehabisan tenaga.
Serius, hebat sekali kamu bisa
bertahan hidup.”
“Terima
kasih semuanya… Kalian bahkan tidak mencoba mendekatiku sama sekali hari ini,
kan?”
Yuuta
menatap mereka dengan pandangan agak muram, dan mereka hanya bertukar pandang.
“Yah,
maksudku, ya…”
“Tidak
mungkin,” jawab Chitose. “Aku tidak ingin ditusuk. Tatapan-tatapan itu,
serius—kalau tatapan bisa membunuh…”
“Maafkan
aku. Aku tidak ingin mengganggu perasaan mereka.”
“Mereka
bilang kamu akan
ditendang kuda jika terlalu
ikut campur dalam kehidupan cinta seseorang. Lagipula, aku sama sekali tidak punya keberanian
untuk menerobos tembok orang-orang itu. Maaf.”
“Jangan meminta maaf untuk itu…”
Semua
orang menggelengkan kepala mereka.
Yuuta bersandar di kursi dengan ekspresi lelah, mendesah karena kelelahan.
Tumpukan
hadiah dari gadis-gadis itu begitu tidak beraturan di atas mejanya sehingga kelihatan akan runtuh jika ada benturan
sekecil apa pun. Selain itu, loker Yuuta masih penuh dengan sisa-sisa kekacauan
pagi itu. Ia membawa
lebih banyak hadiah daripada yang bisa dibawanya
sendiri.
“Apa kamu bisa membawa pulang semua ini, Kadowaki-san?” tanya
Mahiru.
“…Entahlah.”
“Kamu punya rencana bagaimana membawa
semuanya, kan?”
“Y-Ya.
Setidaknya aku membawa tas. Tapi, aku tidak yakin apa lenganku cukup untuk
menampung semuanya.”
Setelah
cobaan tahun lalu, Yuuta telah bersiap dengan perlengkapan untuk mengangkut
semuanya pulang kali ini. Namun, meskipun ia memiliki cukup tas untuk menampung
semua hadiah, ia tidak memiliki cukup lengan untuk membawanya. Sekali lagi, rencananya
agak terlalu optimis—meskipun, secara realistis, tidak banyak lagi yang bisa ia
lakukan.
Kebetulan,
Chitose dan Itsuki bersekolah di sekolah SMP
yang sama dengan Yuuta, dan rumah mereka relatif dekat, jadi mereka berencana
untuk membantunya membawa pulang semua barang. Itulah sebabnya mereka menunggu
dengan sabar hingga kekacauan di sekitar Yuuta mereda sebelum turun tangan.
Menurut penutusan Itsuki, mereka meninggalkan Yuuta
untuk mengurus dirinya sendiri tahun lalu, yang membuatnya jengkel dengan mereka.
“Aku
masih tidak percaya ada sebanyak ini… Serius, maafkan aku, Yuu-chan. Aku akan
menambahkan satu lagi ke gunung ini.”
Meskipun
mengomentari banyaknya hadiah, Chitose bahkan telah menyiapkan hadiahnya
sendiri. Dia meletakkan hadiah Valentine-nya di ruang kosong terakhir di meja
Yuuta. Yuuta merasa sangat senang menerima cokelat dari seorang teman dekat,
dan senyum lembut muncul di wajah tampannya.
Jika
salah satu gadis dari tadi melihat ekspresinya sekarang, mereka mungkin akan langsung
tergila-gila, pikir Amane. Namun, pemikiran itu segera sirna saat
Amane mengalihkan perhatiannya ke kotak yang diletakkan Chitose di atas meja.
Bungkusnya berbeda dari yang diterimanya, tapi bagaimana dengan bagian
dalamnya?
“Wah.
Terima kasih, Shirakawa-san.”
“Chitose,
jangan bilang kamu…”
“Jangan
khawatir! Berbeda dengan kalian, Yuu-chan hanya mendapat
coklat biasa.”
“Aku juga akan sangat gembira jika kamu memberiku hadiah yang sama dan
biasa saja!”
Cokelat
yang diterima Yuuta adalah versi spesial dari resepnya dengan semua bahan
spesialnya dihilangkan. Amane tidak tahu apa
harus merassa bersyukur karena perut temannya
tidak terluka atau menyesal karena ia adalah salah satu dari sedikit orang yang
mendapatkan perlakuan spesial yang aneh dan tidak diinginkan ini.
“Aww, kamu merasa malu lagi ya? Dasar ih!”
"Tidak,
aku jadi kepanasan,” sahut
Amane. “Memikirkannya saja sudah
membuatku berdebar-debar.”
“Jangan
khawatir. Rasanya tidak
seburuk itu, sumpah. Anggap saja ini barang langka.”
“Baiklah,
aku akan mempercayai kata-katamu…”
“Eh, apa
yang dia masukkan ke dalam ini…?”
Karena
Yuuta tidak ada di sana saat mereka membahas bahan-bahan, ia sama sekali tidak
menyadari betapa absurdnya
ide gila Chitose dengan hal itu yang
telah mendorong keadaan ke batas maksimal.
“Tenang
saja, Yuu-chan! Punyamu baik-baik saja!”
“Ya, tapi
Fujimiya sepertinya takkan baik-baik saja…”
“Jadi cuma kamu yang benar-benar peduli padaku,
ya, Kadowaki…”
Chitose
maju dengan sikap riang “Kamu akan baik-baik saja!”,
sementara Itsuki seperti berkata, "Jika kita kalah, kita kalah Bersama”. Mahiru,
satu-satunya orang yang dapat diandalkan Amane untuk mengendalikan Chitose,
berusaha sekuat tenaga agar keadaan tidak menjadi tidak terkendali, tetapi
tetap menghargai sifat Chitose yang berjiwa bebas. Dia tidak pernah bertindak
sejauh itu untuk mencegah Chitose membuat cokelat sepenuhnya.
Meskipun
sama sekali tidak menyadari situasi tersebut, Yuuta melirik ke arah Amane
dengan khawatir. Merasa tersentuh, Amane memutuskan untuk mentraktir Yuuta jus
nanti sebagai tanda terima kasih atas dukungannya hari ini.
Adapun
Mahiru, sekarang setelah kekacauan Yuuta mereda, dia diam-diam mengambil dua
kotak terbungkus rapi dalam warna-warna lembut dari tasnya—satu untuk Yuuta dan
satu lagi untuk Itsuki.
“Aku juga punya sesuatu untuk
Kadowaki-san dan Akazawa-san.Akua
ingin menunggu hingga kerumunan berkurang sebisa mungkin, jadi aku agak terlambat memberikannya.”
“Ahh… Ya,
kalau tidak, orang lain akan sangat iri.”
Karena
sudah diketahui secara luas bahwa Mahiru berpacaran dengan Amane, tidak ada
ruang untuk kesalahpahaman. Namun, itu tidak mengubah fakta bahwa menerima
cokelat persahabatan dari Mahiru saja sudah cukup untuk membuat teman-teman
sekolah mereka cemburu. Di benak anak laki-laki lain, cokelat Mahiru, meskipun
diberikan sebagai bentuk kesopanan, merupakan
sesuatu yang membuat mereka sangat iri.
“Kamu bahkan memberikan satu padaku?”
tanya Yuuta, terkejut.
“Aku
selalu berterima kasih atas bantuanmu, jadi ini caraku mengucapkan terima
kasih. Dan lagi pula, kamu juga selalu membantu Amane-kun.”
“…Kamu
seperti ibunya atau—”
“Tunggu,
Ikkun, jangan bicara lagi. Kalau kamu
bicara, Amane akan marah dan malu, dan bahkan Mahirun akan tertegun sebentar.”
“Oh,
ya.”
“Aku
tidak akan bertanya mengenai apa yang ingin kamu
katakan, tapi jangan menggodaku.”
Amane
punya gambaran samar tentang apa yang akan keluar dari mulut Itsuki, tetapi ia
sudah tahu bahwa mengakuinya hanya akan mengundang rentetan ejekan tanpa akhir.
“Memang
seperti itu kelihatannya…”
Bahkan
saat Itsuki mengatakan itu, sudut mulutnya berkedut jelas. Ia menikmatinya. Setelah menghela
napas dramatis, Amane meraih tasnya, tahu bahwa memprovokasi Itsuki hanya akan
membuatnya mengatakan sesuatu yang tidak seharusnya.
“Hah?
Kenapa kamu merajuk?”
“Siapa juga yang merajuk. Aku hanya
mau membeli jus. Dan sedikit sesuatu untuk
menyegarkan Kadowaki yang kelelahan.”
“Benarkah?
Kalau begitu aku mau jus jeruk!” kata Chitose.
“Aku
mau minum sari apel,” imbuh
Itsuki.
“Kalian ini, yang benar saja…” Amane
menyipitkan matanya ke arah mereka berdua.
Meskipun Amane mengatakan bahwa dia akan
membeli sesuatu untuk Yuuta, Itsuki, dan Chitose dengan santai mencoba
membujuknya untuk membeli minuman mereka juga. “Kami
akan membayarmu kembali, janji!”
pinta mereka, membuatnya tidak punya pilihan selain setuju. Dengan enggan
menerimanya, Amane kemudian melirik kedua
orang lainnya.
“Apa yang
kamu inginkan, Kadowaki, Mahiru?”
“Hah? Kamu yakin?”
“Iya.
Jadi, apa pilihanmu?"
“Kalau
begitu, aku akan minum kopi. Terima kasih,
Bung.”
Semua
kepribadian mereka terlihat dari pilihan minuman mereka.
Saat
Amane memikirkan hal ini, ia menoleh ke arah Mahiru,
yang belum menyatakan pilihannya. Ekspresinya sedikit gelisah.
“Bagaimana
denganmu, Mahiru?”
“Kalau
begitu, teh hitam saja ya… Oh, boleh aku ikut denganmu? Kamu akan membawa banyak minuman.”
“Aku sudah membawa tasku, jadi
aku akan baik-baik saja. Selain itu…”
“Selain itu?”
“…Akan
merepotkan kalau memasukkan semua itu ke dalam tas Kadowaki, jadi mungkin lebih
baik kalau kamu tetap tinggal untuk membantu juga.”
Hal itu yang
dimaksud mengacu pada segunung kasih sayang manis yang
diberikan kepada Yuuta. Itu terlalu banyak—malah,
terlalu kebanyakan—untuk ditangani sendiri oleh
siapa pun. Mengingat masih ada lebih banyak di lokernya, mereka mungkin akan
berada di sana hingga matahari terbenam jika mereka tidak segera berkemas.
Meskipun
mereka tidak bisa begitu saja memegang hadiah orang lain tanpa izin, Yuuta
sudah menyadari kenyataan bahwa ia tidak bisa melakukannya sendirian. Ia
menatap ke kejauhan, mencoba melarikan diri dari kenyataan pahit yang ada di
hadapannya.
“Maafkan aku, tapi bantuan apa pun akan
sangat dihargai. Karena aku
tidak begitu ahli dalam mengemas barang-barang seperti ini…”
“Be-Benar, jumlahnya juga cukup banyak…luar biasa, kalau
boleh dibilang begitu,” Mahiru setuju.
“Kamu tahu ini serius karena bahkan Mahirun sampai terkejut.”
Amane
terkekeh setelah Mahiru mendapati dirinya tercengang oleh popularitas Yuuta
yang luar biasa. Tanpa basa-basi lagi, ia diam-diam meninggalkan kelas dan
menuju mesin penjual otomatis untuk mengambil pesanan mereka. Meskipun kelas
telah berakhir lebih dari satu jam yang lalu, cukup banyak siswa yang masih
tertinggal, mungkin karena hari itu adalah Hari Valentine. Meskipun tidak ada
latihan lari hari ini, klub-klub lain masih melanjutkan kegiatan mereka. Suara
siswa yang saling memanggil bergema pelan di latar belakang.
Saat
Amane melewati sebuah kelas, ia melihat sekilas dua siswa yang tidak
dikenalnya—laki-laki dan perempuan—berdiri berdekatan dan bergerak mendekat. amane segera mengalihkan pandangan dan
mempercepat langkahnya, berjalan pelan menuju mesin penjual otomatis.
“Fujimiya-kun.”
Di tengah
perjalanan, seseorang memanggilnya.
Itu suara
yang dikenalnya, tetapi juga suara yang belum pernah ia ajak bicara sebelumnya.
Amane
berhenti dan menoleh ke arah suara itu. Ia mendapati salah satu teman
sekelasnya, seorang gadis, berdiri di sana dengan tenang.
“Ah,
Konishi. Kamu masih
di sini?”
Amane
telah mengingat semua wajah, nama, dan suara teman-teman sekelasnya. Meskipun
ia tidak banyak berinteraksi dengan gadis itu, ia dengan cepat mengenalinya
sebagai Konishi, seseorang yang sering terlihat mengobrol dengan Hibiya, gadis
yang memberinya cokelat “seratus
persen wajib” pagi
ini. Setelah sedikit melonggarkan kewaspadaannya, ia melihat Konishi memberinya
senyum lembut yang sama yang sering dia
tunjukkan di kelas.
Amane
tidak tahu mengapa dia mendekatinya. Tanda tanya muncul di atas kepalanya.
Setelah menyadari kebingungannya, senyum lembut Konishi sedikit goyah, menjadi
canggung.
“Maaf
karena menghentikanmu begitu tiba-tiba. Ada sesuatu yang harus kuberikan.”
“Untukku?”
“Hmm.
Untukmu.”
Amane
kini semakin bingung mengapa Konishi menghentikannya. Meskipun tidak jelas apa
Konishi menyadari kebingungannya atau tidak, Konishi mengulurkan kantong kertas
kecil yang dibawanya di lengannya ke arahnya.
“Aku
ingin…memberikanmu ini.”
Sekolah
itu ramai dengan kegembiraan Hari Valentine sepanjang hari, dan dengan
lingkaran pergaulannya yang semakin luas, Amane pun menerima cukup banyak
cokelat wajib. Jadi, ia tidak sepenuhnya tidak tahu apa isi tas di depannya.
Pertanyaan sebenarnya ialah mengapa
tas itu diberikan kepadanya —dan mengapa sekarang?
“Eh,
terima kasih. Tapi kenapa aku?”
Saat ia menerima
tas itu dengan sopan, Amane masih tidak dapat menahan diri untuk tidak
memikirkannya.
Sebagai
teman sekelas, mereka saling menyapa dan mengerjakan proyek kelompok bersama,
tetapi Amane tidak pernah punya hubungan
pribadi dengan Konishi. Jika dia ingin memberinya hadiah dengan cara spontan
seperti Hibiya, dia punya banyak kesempatan sebelumnya. Dia bahkan bisa saja
memberikannya di waktu yang sama dengan Hibiya karena mereka berteman.
Sebaliknya, Konishi telah berusaha keras untuk mendekatinya sekarang, membuat
Amane bingung dengan waktunya.
Mendengar
pertanyaan Amane, pipi Konishi sedikit memerah, merasa malu.
“Kamu
pernah menolongku di masa lalu, jadi ini caraku mengucapkan terima kasih.”
“Aku pernah membantumu?”
“Umm, apa
kamu masih ingat saat di kelas memasak dulu ketika seseorang menumpahkan sup ke
mana-mana?”
“Ahh. Ya,
aku masih mengingatnya.”
Tentu
saja, Amane masih mengingat pelajaran memasak itu kurang dari setahun
yang lalu. Bukan hanya karena ia dan kelompok empat temannya yang biasa
merencanakan dan menyiapkan makanan bersama—itu juga merupakan hari yang tak
terlupakan karena keributan yang disebabkan oleh beberapa anak laki-laki yang
bermain-main, yang menyebabkan panci besar sup tumpah dan hampir memercik ke
Mahiru.
“Pada hari itu, akulah yang disenggol dan
menumpahkan sup.”
Saat itu,
pikiran Amane sepenuhnya terfokus untuk melindungi Mahiru, jadi ia tidak
memperhatikan gambaran yang lebih besar di sekitarnya. Ternyata, Konishi adalah
gadis yang memegang panci sup saat kecelakaan itu terjadi.
“Karena
kamu bergerak untuk melindungi Shiina-san, jadi dia
tidak terbakar, dan kamu bahkan marah pada anak laki-laki yang menyebabkan
kecelakaan itu. Aku bahkan tidak bisa berkata apa-apa… Aku hanya membeku di
tempat, tidak dapat melakukan apa pun. Jadi, terima kasih atas apa yang kamu
lakukan hari itu.”
Konishi
sama sekali tidak bersalah—kesalahan sepenuhnya ada pada anak laki-laki yang
telah bermain-main. Konishi sendiri merupakan
salah satu korban hari itu, dan tampaknya dia
telah mengkhawatirkan kejadian itu sejak saat itu.
Amane meyakini kalau dirinya belum
melakukan apa pun untuknya dan tidak melihat alasan baginya untuk mengucapkan
terima kasih, tetapi jelas, Konishi merasa berbeda.
“Tidak, aku sama sekali tidak melakukan hal yang
istimewa. Pada akhirnya, guru kitalah
yang memarahi mereka.”
“Meski
begitu, menurutku sangat mengagumkan bagaimana kamu tidak ragu untuk turun
tangan dan mengatakan apa yang perlu dikatakan.”
“Terima
kasih. Tapi kalau dipikir-pikir lagi, mungkin aku seharusnya menangani semuanya
dengan lebih tenang dan lembut. Memarahi mereka seperti yang kulakukan hanya
membuat mereka semakin kesal.”
Meskipun
Amane telah menegur mereka dengan tenang namun tegas, tapi setelah kejadian tersebut, ia justru
mendapat tatapan bermusuhan dari anak-anak laki-laki itu. Meski begitu, ia
tidak menyesal telah berbicara. Kalau dipikir-pikir lagi, ia menyadari bahwa
melembutkan kata-katanya untuk menghindari ketegangan mungkin lebih baik,
terutama ketika memikirkan bagaimana ia akan berinteraksi dengan mereka di masa
mendatang. Namun, jika situasi yang sama muncul lagi, Amane masih takkan ragu untuk menegur mereka
dengan tegas.
“Kamu
tidak terkena luka bakar saat
itu, kan?” tanya Amane.
“Tidak, aku baik-baik saja.”
“Yah, syukurlah. Aku akan merasa sangat tidak
enak jika kamu terluka.”
Amane
merasa sedikit bersalah. Ia menyadari bahwa, karena khawatir pada Mahiru, ia
telah lalai memeriksa Konishi saat itu. Meski begitu, ia merasa lega mengetahui
bahwa Konishi tidak mengalami luka bakar atau cedera apa pun.
Karena
Konishi sungguh-sungguh menghargai apa yang telah dilakukannya saat itu, Amane
merasa mengabaikan rasa terima kasihnya tidaklah tepat. Ia menerima hadiah itu
dengan ramah, menggoyangkan kantong kertas itu dengan lembut sambil berkata, “Terima kasih sekali lagi”. Konishi kemudian terdiam beberapa
saat, terus menunduk sembari menatap
ke arah lantai. Kemudian, dia perlahan mengangkat kepalanya
sekali lagi.
“Fujimiya-kun…”
“Hm?”
“Apa sejak saat itu.... kamu
sudah mencintai
Shiina-san?”
Meski
Amane tahu persis momen apa yang dimaksud wanita itu melalui konteks, dia tetap
merasa malu untuk mengucapkan jawabannya keras-keras.
“…Apa aku
benar-benar harus mengatakannya?”
“Hehe,
reaksimu sudah ketahuan,” Konishi terkekeh.
Pipi
Amane menghangat karena tawa geli Konishi, tapi itu tidak terdengar seperti dia
mencoba menggodanya. Sebaliknya, itu lebih seperti kekaguman yang tulus.
“Kamu benar-benar sangat mencintai
Shiina-san, ya, Fujimiya-kun?”
“Semua
orang terus menanyakan hal itu padaku akhir-akhir ini.”
Pada pagi hari, Hibiya juga menanyakan
hal serupa padanya.
Apa orang
lain benar-benar menganggapnya menarik?
pikirnya.
“Tentu
saja. Dia pacarku. Bagiku, dia orang terpenting di dunia ini.”
Meskipun rasanya sedikit memalukan untuk
mengatakannya secara terbuka di depan orang lain, Amane tidak dapat
menyangkalnya hanya untuk menyelamatkan mukanya. Berbohong tentang perasaannya
bukanlah suatu pilihan. Baginya, Mahiru merupakan sosok
yang tidak tergantikan—satu-satunya orang terpenting
dalam hidupnya. Dia adalah wanita yang ingin Amane
lindungi, ia ingin menghargainya dengan sepenuh hati, dan yang
terpenting, Mahiru adalah gadis
yang ingin Amane jadikan sebagai pasangan seumur hidup yang memahaminya lebih dari
siapa pun.
Ikatan
mereka tidak dibangun hanya dengan perasaan manis dan lembut saja. Amane memiliki keyakinan yang
kuat dan tak tergoyahkan bahwa apa pun tantangan yang menanti mereka, mereka
akan menghadapinya bersama. Mahiru adalah seseorang yang sepenuhnya ia
percayai, seseorang yang akan berdiri di sisinya, dan seseorang yang ia
bayangkan akan menghabiskan sisa hidupnya bersamanya.
Amane
begitu mencintainya hingga ia dapat mengatakan ini dengan pasti: jika mereka
berpisah, ia takkan pernah menemukan seseorang yang dapat membangkitkan
perasaan dan gairah yang sama dalam dirinya lagi.
Tak perlu
dikatakan lagi, Amane
tidak akan pernah membiarkannya pergi.
“Jadi
begitu ya…”
Konishi
membalas pernyataan Amane yang tulus namun singkat dengan senyum yang lembut
dan hampir melankolis. Senyumnya tampak lembut dan sedikit kesepian.
“Asal kamu tahu saja,
Fujimiya-kun…”
“Hm?”
Amane bertanya balik sambil meliriknya.
Apa aku salah
mendengarnya? Entah kenapa nada
suaranya terdengar aneh…
Amane
memperhatikan tangan kecil Konishi yang
dengan gugup memegang ujung roknya.
“Aku…dulu
pernah menyukaimu.”
Waktu pun seakan-akan membeku.
Jalan pemikiran
Amane tiba-tiba terhenti. Perkataan
Konishi, yang jauh dari apa yang dapat diantisipasinya, membuatnya merasa
seolah-olah waktu berhenti mengalir.
Amane
bertanya-tanya apa dirinya
salah mendengar ucapannya sejenak dan secara naluriah menatapnya. Namun,
Konishi menatap matanya dengan tenang. Senyumnya yang tenang tidak menunjukkan
rasa gugup, meskipun itu menunjukkan penyesalan yang samar.
Matanya
tidak menunjukkan gairah yang membara, tapi emosi yang samar dan rapuh tampak
bertahan di bawah permukaan. Kebingungan Amane semakin bertambah. Karena hingga saat ini, ia sama sekali
tidak menyadari perasaan Konishi.
Meskipun hubunhgan mereka tidak terlalu dekat, Amane
telah mengetahui selama sepuluh bulan terakhir bahwa Konishi bukanlah tipe
orang yang suka bercanda tentang hal seperti ini, yang membuatnya semakin bingung. Interaksi mereka yang
terbatas membuatnya tidak dapat membayangkan alasan mengapa Konishi mungkin
menyukainya—sampai-sampai ia hampir ingin menertawakan dirinya sendiri. Selain
itu, Konishi tidak pernah menunjukkan tanda-tanda menyimpan perasaan seperti
itu padanya.
Mudah
saja untuk menganggap Amane tidak menyadari hal itu, tetapi kenyataannya ia sama sekali tidak tahu bahwa Konishi memendam perasaan seperti
itu.
“Oh—aku
tahu kau mencintai Shiina-san, dan aku tidak akan pernah mempertimbangkan untuk
memisahkan kalian berdua… Aku tahu jika aku mengatakan sesuatu, itu hanya akan
membuat keadaan menjadi canggung.”
“Aku....
minta maaf."
“Tidak,
seharusnya aku yang minta maaf. Aku hanya mengganggu saja, bukan?”
“Aku takkan sampai mengatakan itu, tapi maaf… aku tidak akan pernah bisa
membalas perasaanmu.”
Meski
pengakuan itu tak terduga, Amane hanya punya satu jawaban, dan jawaban itu
tidak akan pernah berubah.
Amane sudah memiliki Mahiru, dan ia tidak
dapat membayangkan bersama orang lain atau berbagi hidupnya dengan siapa pun
selain Mahiru.
Bagi
Amane, satu-satunya miliknya adalah, dan akan selalu menjadi, Mahiru.
Satu-satunya
hal yang dapat Amane lakukan hanyalah
mengakui perasaan Konishi dengan lembut
dan menanggapinya dengan perhatian dan rasa hormat, sembari menegaskan bahwa ia
tidak dapat menerimanya. Bahkan jika itu berarti membuatnya sakit hati,
cintanya kepada Mahiru merupakan
sesuatu yang tidak bisa ia
kompromikan.
“Ya,
aku tidak tahu harus berbuat apa jika kamu
membalas perasaanku. Lagipula, kamu sudah punya Shiina-san.”
Dilanda
rasa bersalah, Amane menolaknya selembut mungkin. Konishi hanya menanggapinya
dengan anggukan dan senyum tipis.
Penerimaannya
yang cepat dan mudah tidak sedikitpun melegakan
perasaan Amane; itu hanya memperdalam
kebingungannya. Berbagai pertanyaan berputar-putar dalam benaknya, mendorong
ketidakpastiannya ke puncaknya.
Ekspresinya
tidak menunjukkan tanda-tanda tipu daya, kepalsuan, atau kesombongan. Dia
bersungguh-sungguh dengan setiap kata yang diucapkannya, yang hanya membuat
pikiran Amane semakin kacau.
Dag dig dug, dag dig dug.
Jantungnya
berdebar sangat kencang
di dalam dadanya—bukan karena kegembiraan
atau kegirangan, tetapi karena kecemasan dan kebingungan. Namun, meskipun
mengetahui hal itu, ia tidak membuatnya lebih mudah untuk menenangkan diri.
“Maafkan
aku. Rasanya aku memanfaatkanmu untuk mencari penyelesaian. Aku benar-benar
minta maaf.” Menyadari Amane membeku dengan ekspresi minta maaf dan
kebingungan, ekspresi Konishi berubah menjadi khawatir.
Sambil
menarik napas dalam-dalam, Amane mencoba menenangkan diri. Ia menenangkan diri
dengan hati-hati sambil berbicara dengan suara yang sedikit gemetar.
“Kenapa…aku?”
Inilah
bagian yang benar-benar tidak dapat dipahaminya.
Amane
tahu bahwa cinta bisa tumbuh di tempat yang paling tak terduga, tetapi ia masih
tidak bisa mengerti mengapa Konishi bisa memiliki perasaan padanya. Sebenarnya,
Amane tidak pernah memiliki hubungan
yang mendalam dengan Konishi. Interaksi mereka tidak berbeda dari interaksi
biasa antar teman sekelas, dan ia tidak melakukan apa pun yang mungkin cukup
menonjol untuk membuat Konishi menyukainya.
Meskipun
Amane menghargai perasaannya, dirinya
benar-benar bingung bagaimana perasaan itu berkembang. Insiden kelas memasak
adalah satu-satunya hubungan yang dapat ia pikirkan, tetapi Amane tidak dapat membayangkan
bagaimana hal itu sendiri dapat membangkitkan perasaan romantis yang begitu jelas.
Konishi
tampak memahami kebingungannya sepenuhnya dan bahkan menganggapnya lucu, karena
ia terkikik pelan.
“…Semuanya
berawal dari kelas memasak itu. Fujimiya-kun, kamu biasanya…yah, kamu terlihat
sangat dingin pada pandangan pertama, kan?”
“Ya. Aku
sendiri menyadarinya.”
Amane
sangat menyadari aura dingin dan tidak mudah didekati yang dipancarkannya dan
sifatnya yang pendiam sering membuatnya tampak seperti seseorang yang menyimpan
pikirannya sendiri. Meskipun hal ini mulai berubah baru-baru ini, bagi mereka
yang tidak mengenalnya dengan baik, sekilas ia
mungkin masih terlihat sebagai pria yang muram dan angkuh. Namun Amane tidak
mempermasalahkannya—bahkan, ia cenderung setuju. Ia bangga dengan sifatnya yang
pendiam dan keengganannya untuk membiarkan orang lain memasuki ruang
pribadinya. Namun, entah bagaimana, Konishi telah melihat sesuatu yang lebih
dalam dari sekadar permukaan.
“Tapi
Fujimiya-kun, aku tahu kamu sebenarnya orang yang sangat baik. Selama itu takkan
membuatmu mendapat masalah, kamu selalu membantu orang lain saat mereka dalam
kesulitan, bukan? Baik itu mengangkat sesuatu yang berat, mengajar seseorang
yang kesulitan di kelas, atau membantu seseorang dari bahaya. Kamu tidak pernah
ragu untuk mengulurkan tangan.”
“Kamu terlalu memujiku,” jawab Amane. “Aku bukan orang yang seperti itu.”
“Tapi nyatanya memang begitu, ‘kan?” Konishi memiringkan
kepalanya, sangat yakin bahwa perkataannya itu
benar.
Amane
tidak dapat menyangkalnya. Sebaliknya, ia mengatupkan bibirnya dan tetap diam.
“Rasanya
aneh mengatakannya dari mulutku
sendiri, tapi, um… Aku selalu kesulitan membela diriku sendiri. Ketika
orang-orang memaksaku, aku hanya… menurutinya sampai aku tidak perlu
melakukannya lagi. Aku bukan orang yang baik. Aku hanya melakukan apa pun yang
menurutku nyaman. Tapi kamu berbeda, Fujimiya-kun. Kamu secara aktif membantu
orang lain tanpa mengharapkan imbalan apa pun. Kamu bahkan tidak tampak
terganggu oleh hal tersebut. Kamu
baik dan sangat memperhatikan orang-orang di sekitarmu.”
Sebelum
Amane sempat berpikir untuk menyangkalnya, Konishi melanjutkan dengan senyuman
lembut.
“Kamu
memiliki prinsip yang kuat dan tidak pernah
berkompromi dengan apa yang benar-benar penting bagimu. Kamu bekerja tanpa
lelah untuk mencapai tujuanmu. Tanpa memikirkan keuntungan pribadi, kamu
menawarkan bantuan saat kamu meyakini bahwa itu adalah hal yang benar untuk
dilakukan. Dan… kamu berfokus sepenuhnya pada satu gadis. Itulah yang membuatmu
begitu hebat.”
“Konishi…”
“Meski
begitu, aku tidak pernah berpikir untuk mencoba merebutmu dari Shiina-san, dan
kurasa aku juga tidak bisa… Berada di sisi Shiina-san telah membentukmu menjadi
dirimu yang sekarang. Aku merasa tidak tega merebut
tempatnya di sisimu.”
Suara
Konishi yang sedikit gemetar membawa bisikan kesedihan, namun tekadnya yang
kuat menahannya. Tangannya gemetar saat dia mengepalkannya, tapi tidak ada air
mata yang jatuh. Sebaliknya, dia menatap langsung ke arah Amane, dan tatapannya
yang tak tergoyahkan menusuk langsung ke inti dirinya.
“Jadi,
cokelat yang kuberikan bukan benar-benar bukti cintaku, tetapi lebih sebagai
cara untuk menenangkan perasaanku. Itu juga menjadi ucapan
terima kasih karena telah menyelamatkanku saat itu. Maafkan aku karena bersikap
egois dan membuat keadaan menjadi canggung…”
“Tidak…
Terima kasih banyak karena sudah
menyukaiku. Aku benar-benar minta maaf, tapi aku tidak bisa membalas
perasaanmu, Konishi… Aku benar-benar minta maaf.”
Karena
dia memahami tekad dan perasaan Konishi, Amane menanggapi pengakuannya yang
murni dan tulus dengan kejujuran yang sama terus terangnya.
Walaupun penolakannya
mungkin tampak dingin, Amane menolaknya secara langsung.
Ia percaya bahwa itulah satu-satunya cara untuk benar-benar menghargai
ketulusan yang ditunjukkan gadis itu kepadanya. Gadis itu tampak sedih sesaat,
tetapi kemudian, anehnya, bibirnya melengkung membentuk senyuman, hampir
seperti ia merasa lega.
“Kenapa
kamu minta maaf, Fujimiya-kun? Astaga. Akulah yang membuatmu kerepotan.”
“Tapi aku
benar-benar minta maaf. Aku tidak bisa menerima perasaanmu.”
“Jangan
khawatir. Aku jatuh cinta padamu karena kamu orang yang seperti
ini. Aku selalu tahu kamu hanya akan menghargai satu
orang.”
Konishi
telah mengamati Amane lebih dekat dari yang ia sadari. Konishi telah mengetahui sejak awal
bahwa kesetiaannya tidak akan pernah goyah, dan dia
sudah meyakini hal itu sejak awal.
“Sayang
sekali aku tidak bisa menjadi orang spesialmu…tapi aku tahu kamu menjadi dirimu yang sekarang
karena Shiina-san, dan hanya dia seorang.
Dialah yang menjadi alasanmu berubah, ‘kan? Jadi, tidak apa-apa.”
Ah… Dia
benar-benar memperhatikanku dengan saksama, peduli padaku, dan menghargai
perasaanku selama ini, ya?
Kenyataan
ini membuatnya terpukul keras. Konishi seharusnya menjadi orang yang hampir
menangis, tapi Amane-lah yang merasakan sakit menusuk
seolah-olah ada jarum di dadanya saat ia menolaknya.
“Ayo,
sebaiknya kamu pergi
sekarang. Ada orang yang menunggumu, kan? Jadi, pergilah. Jangan khawatirkan
aku.”
Meskipun
dia pasti terluka—tersakiti
oleh penolakan Amane dan rasa sakit yang ditimbulkannya—dia masih bisa
tersenyum dengan berani dan melambaikan tangan untuk mengucapkan selamat
tinggal.
Telapak tangannya,
yang sebelumnya terkepal, kini memerah. Jejak samar kukunya terlihat di
kulitnya. Amane tahu bahwa menunjukkannya tidak akan ada gunanya. Menelan semua
kata yang ingin diucapkannya, ia membalas gerakannya dengan lambaian lembut,
memperlihatkan ekspresi tenang dan kalem yang ingin dilihat Konishi.
“…Ya.
Sampai jumpa…besok.”
“Hmm.
Sampai jumpa.”
Senyum
dan sikap Konishi tidak goyah. Saat rasa terima kasih dan rasa bersalah
berbenturan di dadanya, Amane menggigit bibirnya dan berpaling darinya. Bahkan
saat isakan samar mencapai telinganya, Amane
tidak menoleh ke belakang. Dirinya
tidak bisa—tidak jika ia ingin meyakinkan dirinya sendiri bahwa dia tidak
mendengarnya.
Beban
berat karena tahu ia telah
menyakiti seorang gadis menekan dadanya. Sembari berdiri di dekat mesin penjual
otomatis, Amane berusaha keras untuk menahan rasa bersalah yang menggerogoti
hatinya dengan rahang terkatup. Tepat
setelah itu, suara langkah kaki yang mendekat dari belakang memecah pikirannya.
“…Amane-kun.”
Suara
lembut, jelas, dan ramah yang didengarnya setiap hari, suara yang menyenangkan
dan menyejukkan telinga. Dia tidak perlu menoleh untuk mengetahui siapa orang
itu.
Amane
sekilas melihat ekspresi tegangnya yang terpantul di permukaan akrilik mesin
penjual otomatis itu. Tahu bahwa ia tidak bisa membiarkan Mahiru melihatnya
seperti ini, ia menarik napas dalam-dalam dan berbalik, berusaha setenang
mungkin. Namun saat matanya bertemu dengan mata Mahiru, ia menyadari bahwa itu
tidak ada gunanya—tidak mungkin ia bisa terus berpura-pura.
“Maaf. Karena kamu datangnya lama, jadi
aku datang untuk mengejarmu…”
“Ya.
Aku mengerti.”
Dia
mengatakan yang sebenarnya—tidak ada keraguan tentang itu. Pergi ke mesin
penjual otomatis seharusnya tidak memakan waktu lama, jadi wajar saja jika yang
lain bertanya-tanya mengenai waktu lama yang
dibutuhkannya. Tentu saja, sebagai pacar Amane, Mahiru akan
menjadi orang yang datang mencarinya, mungkin hanya untuk membantunya. Namun,
saat melakukannya, dia menemukan sesuatu yang tidak ingin dia lihat. Dia tidak
tampak terluka; sebaliknya, dia tampak agak khawatir. Ekspresinya menunjukkan
rasa maaf dan pengertian, bahkan rasa bersalah. Matanya yang tertunduk
mencerminkan rasa bersalah itu, seolah-olah rasa bersalah itu telah mengendap
di alisnya.
“…Umm, Mahiru…”
“Kamu tidak perlu menceritakan semua detailnya.
Ini masalah pribadi antara kamu
dan dia. Aku tidak boleh ikut campur.”
Amane
merasa perlu untuk menceritakan apa yang telah dikatakannya, karena tahu bahwa
merahasiakannya dari Mahiru mungkin akan membuatnya merasa dikhianati. Namun,
saat Amane hendak berbicara, Mahiru menghentikannya dengan lembut.
Mahiru
menggelengkan kepalanya, rambut panjangnya berkibar saat dia dengan lembut
mengingatkannya, “Jangan
lakukan itu”."Konflik
di matanya tidak salah lagi, namun dia menahan diri, menghormati privasi
percakapan antara Amane dan Konishi.
“…Kamu yakin?”
“Aku tahu
kamu tidak akan pernah melepaskanku,
Amane-kun. Aku percaya padamu sepenuhnya.”
“Ya.
Demi apa pun, aku tidak melakukan hal yang membuatku malu.”
“Ya, aku
percaya padamu.”
Amane
tidak tahu seberapa banyak yang didengar Mahiru atau sejak kapan dia
mendengarkannya, tetapi dia memilih untuk memercayai Amane tanpa bertanya apa
pun. Meskipun dia pasti memiliki kekhawatiran dan kegelisahannya sendiri, dia
tetap mundur untuk menunjukkan kepercayaannya kepada Amane.
Pandangan
mata Amane memanas melihat besarnya rasa percaya dan
hormat Mahiru. Dengan lembut, ia memegang jari-jari Mahiru yang lembut dan
ragu-ragu, yang bergerak-gerak di udara, berharap dapat menenangkannya.
✧ ₊
✦
₊ ✧
“Sejujurnya,
kupikir sudah terlambat,” gumam Mahiru.
Setelah
mendapatkan semua minuman, Amane dan Mahiru berpisah dengan Itsuki, Chitose,
dan Yuuta, yang masing-masing membawa banyak tas. Mereka kemudian pulang.
“Apanya?”
“… Karena hal
seperti itu sampai terjadi.”
Amane
bisa tahu kalau kata-katanya yang samar— “seperti itu” —disengaja.
“…Aku
mengerti kalau kamu khawatir selama ini, Mahiru, tapi aku tidak menyangka kamu
mengira hal itu akan benar-benar terjadi.”
“Tentu
saja. Selain perasaanku sendiri, aku merasa bahwa semua orang mulai menyadari
betapa hebatnya dirimu... Memangnya kamu tidak
pernah membayangkan ada seseorang yang mungkin tertarik padamu,
terutama karena mereka dapat melihat seberapa keras kerja kerasmu?”
“Sejujurnya,
tidak sama sekali. Maksudku, aku mengerti apa yang dikatakan kamu dan Chitose secara teori,
tapi…sulit untuk melihat sesuatu secara objektif jika itu tentang dirimu
sendiri.”
Amane
mengerti—dan bahkan merasa—bahwa ia telah menjadi lebih positif dan bergerak ke
arah yang lebih baik daripada setahun yang lalu. Namun, Amane tidak dapat memahami sepenuhnya
bagaimana hal itu dapat membuatnya menjadi pusat perhatian orang lain. Sekarang
setelah ia meninggalkan masa-masa keraguannya terhadap dirinya sendiri dan
hanya berfokus pada masa depan, ia tidak lagi peduli dengan pendapat orang
lain. Dengan Mahiru sebagai sosok yang selalu hadir dalam hidupnya, ia secara
tidak sadar telah menepis gagasan bahwa orang lain mungkin tertarik padanya.
“Kamu
sama sekali tidak menganggap dirimu hebat, bukan? …Menurutku, itulah salah satu
hal yang membuat orang lain tertarik padamu—kedisiplinanmu.”
“Menurutmu
begitu?”
“Ya…
menurutku itu salah satu sifatmu yang luar biasa. Meski, menjadi orang yang
tidak punya apa-apa tidak termasuk di antara sifat-sifat itu.”
“M-Maaf…
Selama ini aku hanya memperhatikanmu, Mahiru, jadi aku tidak pernah
mempertimbangkannya.”
“Itulah
yang kumaksud.”
Itulah kalimat yang sering diucapkan
Mahiru untuk memarahi Amane, tetapi akhir-akhir ini, Amane mulai menyadari
perubahan dalam nada bicaranya. Di balik ketidakpercayaan yang biasa terlihat
kekaguman dan rasa hormat. Akhirnya, Amane mengerti arti sebenarnya di balik
kata-katanya.
Mahiru
dengan malu-malu mengalihkan pandangan, menepuk-nepuk lengannya pelan-pelan
karena malu. Amane diam-diam mengulurkan tangannya ke arah Mahiru, dengan
lembut menggenggam kedua tangannya. Terkejut oleh gerakan yang tak terduga itu,
Mahiru mendongak ke arahnya dengan heran, bertemu dengan tatapannya yang tenang
dan mantap.
“Asal kamu tahu saja… Aku
akan menyayangimu lebih dari siapa pun, dan aku takkan pernah mengalihkan
pandanganku darimu. Kaulah satu-satunya yang aku cintai, dan aku tidak percaya
itu akan pernah berubah.”
“Kamu tidak akan mengatakannya dengan
pasti?”
"Tentu
saja, dalam hatiku, aku benar-benar yakin itu tidak akan pernah berubah, dan
aku bahkan bersumpah untuk itu. Namun sebenarnya, aku membuatmu merasa cemas
hari ini, dan aku mengerti jika kamu merasa ragu. Jadi, aku akan terus
berusaha sebaik mungkin untuk mendapatkan kepercayaanmu. Aku akan
menunjukkannya melalui tindakanku, jadi anggaplah ini sebagai janji komitmenku
padamu.”
“…Benar.”
Faktanya,
Amane telah membuat hati Mahiru gelisah. Mahiru sangat mempercayainya, dan
bahkan ketika keraguan tersebut muncul,
Mahiru menyingkirkannya dan percaya padanya. Amane tidak bisa terus bergantung
pada kesabaran Mahiru yang tak tergoyahkan. Terserah padanya untuk membuktikan
tekadnya melalui tindakannya.
“Hanya kamu satu-satunya gadis yang
kucintai, Mahiru.”
“Aku
tahu. Aku sangat mengetahuinya.”
Mahiru
menunduk, dan kemudian
menggelengkan kepalanya perlahan. Bibirnya sedikit terbuka. Dia sepertinya ingin mengatakan sesuatu,
tetapi kata-katanya tidak keluar. Menyadari keraguannya, Amane dengan lembut
mempererat genggamannya di tangan Mahiru, diam-diam meyakinkannya bahwa ia siap
mendengarkan. Ibu jarinya menelusuri jari-jari Mahiru yang kecil dan gemetar,
dan, seolah sentuhannya memberinya keberanian yang dibutuhkannya, Mahiru
akhirnya memecah keheningan setelah jeda singkat.
“Boleh aku berkata blak-blakan?”
tanyanya.
“Tentu
saja.”
Bahkan
jika akhirnya Mahiru
menyalahkannya, Amane tidak akan mengeluh.
Saat
Amane menunggu dengan sabar, memberitahu Mahiru
bahwa ia bisa meluangkan waktu, Mahiru melanjutkan dengan ragu-ragu.
“Aku
sangat yakin kamu tidak
akan pernah tergoda oleh siapa pun, Amane-kun—bahwa hatimu akan selalu menjadi
milikku. Aku tahu, sepenuhnya, seberapa besar kamu
mencintaiku. Kamu telah
menunjukkan cinta yang begitu besar kepadaku dan membiarkanku merasakannya
dengan seluruh diriku. Aku tidak meragukanmu—bahkan sedikit pun.”
“Ya.”
“Amane-kun.
Yang paling membuatku khawatir…adalah memikirkanmu terluka.”
“…Aku?”
Amane
sudah bersiap untuk disalahkan, tetapi alasan tak terduga itu benar-benar
mengejutkannya, membuatnya kebingungan.
Mahiru-lah
yang terluka, jadi mengapa dialah yang mengkhawatirkannya? Tidak peduli
bagaimana Amane
memikirkannya, Mahiru lah
yang seharusnya diliputi emosi yang tidak menyenangkan—bukan dirinya.
“Lagipula,
kamu orang yang jauh lebih baik daripada yang kamu sadari.”
Tidak
sepenuhnya mengerti apa yang dimaksud kekasihnya,
Amane menunggunya melanjutkan.
Mahiru
mendesah pelan, senyumnya yang lembut diwarnai dengan sedikit kepahitan.
“Jika
ada gadis lain yang jatuh cinta padamu sepenuh hati, aku tahu kamu akan merasa bersalah menolaknya
dan kamu akan berakhir menyakiti dirimu
sendiri dalam prosesnya. Kamu
adalah tipe orang yang percaya bahwa jika kamu
menyakiti orang lain, sudah sepantasnya kamu
juga merasa terluka.”
Ia mulai
mengerti apa maksudnya. Mahiru pasti melihat ekspresi di wajahnya saat
itu—ekspresi yang menunjukkan rasa sakit yang ia rasakan saat menolak Konishi.
“Itulah
sebabnya aku tidak ingin gadis lain mendekatimu. Lebih dari sekadar takut kamu direnggut, aku tidak tega melihatmu terluka...dan bahkan pikiranmu
memikirkan orang lain, bahkan untuk sesaat, menggangguku.”
Suara
Mahiru bergetar.
“Aku
menutup mata terhadap apa yang mungkin dirasakan gadis lain dan hanya
memikirkan rasa sakitmu. Aku orang yang buruk. Aku tahu aku bersikap sombong,
dan aku benar-benar jahat karena berpikir seperti ini… Aku hanya tidak ingin kamu kecewa padaku.”
Suara
Mahiru bergetar saat dia
memaksakan kata-kata itu keluar, memperlihatkan emosi yang telah dia pendam dalam-dalam di hatinya.
Sebagai balassan, Amane dengan lembut melepaskan
tangannya. Mahiru
tersentak, dan matanya mengikuti tangan Amane dengan sedikit ketakutan, tetapi dia tidak mengulurkan tangan
kepadanya.
Tanpa
sepatah kata pun, Amane memeluknya.
“Mahiru,
aku tidak pernah melihatmu sebagai orang suci yang sempurna tanpa pikiran egois
atau perasaan buruk.”
Mahiru
takut mengecewakannya, tetapi jika dia benar-benar yakin itu cukup untuk
mengurangi rasa cintanya padanya, Mahiru
sangat meremehkan kedalaman perasaan Amane.
Sejak
awal, Amane tidak pernah menganggap Mahiru hanya sebagai gadis yang polos dan
cantik. Reputasinya menggambarkannya sebagai gadis yang cerdas, penyayang, dan
lembut—semua itu memang benar. Mahiru memang memiliki sifat-sifat itu, dan
Amane mengakuinya sepenuhnya. Namun, hal itu
bukanlah keseluruhan dirinya. Itu hanya satu sisi dirinya, dan sebagai orang
yang paling dekat dengannya, Amane tahu itu dengan pasti.
“Kamu tahu, Mahiru, kamu benar-benar menjadi sangat
bersemangat dan sedikit kekanak-kanakan ketika ada sesuatu yang membuatmu
kesal.”
“…Hah?”
“Dan
disangka kamu menjadi sangat cemburu—yang, ya, aku tahu itu salahku—tetapi kamu juga bisa berlidah tajam kepada
orang-orang yang tidak memiliki sopan santun, dan kamu tidak segan-segan memarahi mereka.
Ada juga caramu
membangun tembok transparan di antara kamu
dan orang-orang yang tidak kamu sukai.
Dan setiap kali seseorang menjelek-jelekkanku,
kamu dengan cepat menancapkan cakarmu ke mereka.”
“Tunggu,
um…”
“Dan aku
tahu bagaimana, karena kamu begitu peduli padaku, terkadang kamu memaksakan
diri terlalu keras, merasa panik sendiri,
dan kemudian merasa sangat buruk karenanya.”
Pada
akhirnya, itu karena Mahiru
mencintainya. Karena perhatiannya terhadapnya lebih besar daripada hal lainnya.
Bukan karena dia mengabaikan perasaan orang lain; perasaan cintanya terhadap Amane lebih
kuat. Mana mungkin Amane akan kecewa pada Mahiru ketika
dia begitu peduli padanya.
“Yang
ingin kukatakan ialah, aku menyukai semua hal itu tentangmu, Mahiru. Dan jika
menurutmu kamu bersikap
'terlalu berlebihan',
aku ingin kamu memahami bahwa
aku adalah tipe pria yang menganggap beban perasaanmu menenangkan.”
Mahiru
mungkin menganggapnya sesuatu yang tidak diinginkan, tetapi bagi Amane, itu
adalah sesuatu yang disambut baik.
“Aku juga
menyukai hal itu darimu, Mahiru… Bahkan jika itu adalah sesuatu yang tidak kamu
sukai dari dirimu sendiri, aku tetap mencintaimu.”
“Jadi,
kumohon, jangan terlihat seolah-olah kamu
hendak menangis,” bisik
Amane, sambil mengecup kening Mahiru dengan lembut. Wajah Mahiru berkerut,
tetapi ekspresi itu pun sangat menawan baginya.
Bagaimana
mungkin dia mengira aku akan kecewa padanya?
“Ampun deh, mengapa meragukan dirimu
sendiri seperti itu?”
“Kamulah orang terakhir yang ingin
kudengar ucapan itu, Amane-kun. Dan tentu saja, kamu mengerti bagaimana rasanya
tidak ingin mengecewakan orang yang paling kamu
cintai.”
“Ya… Tapi
kalau suatu saat nanti aku akan merasa kecewa, yah… mungkin itu saat kamu putus
denganku. Aku akan kecewa dengan diriku sendiri dan kekuranganku.”
Jika
suatu saat nanti Mahiru yang tulus, serius, dan setia memilih orang lain—jika
Mahiru menolaknya, mengatakan bahwa dia tidak ingin bersamanya lagi—Amane tahu ia
akan menerimanya dengan tenang. Agar Mahiru mencapai titik itu, Amane meyakini kesalahannya akan sepenuhnya ada
pada dirinya dan kekurangannya, yang mendorongnya untuk menyerah padanya.
Keraguan
atau kekecewaan apa pun akan ditujukan hanya kepada dirinya sendiri. Keraguan
dan kekecewaan itu takkan pernah ditujukan kepada Mahiru, dalam keadaan apa
pun.
“…Kalau begitu,
sepertinya itu tidak akan pernah terjadi,” kata Mahiru.
“Bagus,
kalau begitu kita semua baik-baik saja.”
Amane
sepenuhnya menyadari betapa dalam perasaan cintanya
kepada Mahiru—begitu besarnya sehingga pikiran bahwa Mahiru akan memilih orang
lain sama sekali tidak pernah terlintas dalam benaknya. Ia sudah bersumpah untuk tidak
melakukan apa pun yang dapat menyakiti Mahiru, baik secara fisik maupun
emosional, dan ia yakin masa depan seperti itu tidak akan pernah datang. Yang
terpenting, Amane bertekad
untuk melakukan segala upaya untuk memastikan hal itu tidak terjadi.
Amane
tahu bahwa menganggap remeh cintanya dapat dengan mudah menghancurkan
kepercayaan yang telah mereka bangun.
Berusaha
tidak hanya agar dicintai, tetapi juga mencintai balik merupakan sesuatu yang sangat penting.
Amane
tidak berniat bersikap bodoh seperti itu, dan ia tidak sanggup memikirkan
kehilangan Mahiru.
Mahiru
bergerak sedikit dalam pelukannya saat dia memegang erat tubuh lembut dan halus
kekasihnya dalam pelukannya.
“…Amane-kun.”
“Hm?”
“…Umm, apa kamu tidak keberatan kalua kamu menunggu sedikit lebih
lama untuk makan malam dan coklat Valentine-ku…?”
Mahiru
dengan malu-malu membisikkan permintaan yang sederhana dan hampir malu-malu
dari dalam pelukannya, dan Amane menanggapinya dengan jawaban yang lembut dan
penuh arti. Ingin membujuk permintaan yang lebih egois dari bibir yang penuh
kasih yang telah mengucapkan permohonan yang begitu tulus, Amane mencondongkan tubuhnya,
menciumnya dengan manis.
Sebelumnya | Daftar isi | Selanjutnya