Chapter 9 — Apapun yang Kamu Inginkan
“Cokelat
jenis apa yang kamu inginkan untuk Hari Valentine tahun ini?”
Waktunya
sudah memasuki awal Februari. Karena Amane libur kerja hari ini, jadi ia menghabiskan waktu bersama
Mahiru sembari memimpin persiapan makan malam
untuk memberinya kesempatan bersantai. Setelah semuanya siap, yang tersisa
hanyalah menunggu nasi selesai dimasak ketika Mahiru tiba-tiba melontarkan
pertanyaan itu kepadanya. Amane berkedip karena terkejut.
Tentu
saja, Amane mengerti bahwa bulan datangnya
bulan Februari bersamaan
dengan Hari Valentine, tetapi ia tidak menyangka Mahiru
akan menanyakan pertanyaan itu.
“Kali ini
kamu bertanya langsung padaku, ya?”
Tahun
lalu, sebelum mereka mulai berpacaran, Mahiru meminta bantuan Chitose untuk
mencari tahu secara diam-diam jenis cokelat apa yang disukai Amane. Namun tahun
ini, setelah mereka menjadi sepasang kekasih, dia bertanya langsung tanpa ragu.
Karena
Amane mengharapkannya untuk lebih berhati-hati, dirinya terkejut dengan betapa beraninya
Mahiru membicarakannya. Entah mengapa Amane merasa
gugup meskipun dialah yang menerima cokelat itu.
Melihat
Amane yang bereaksi aneh, Mahiru terkekeh sambil memeriksa waktu yang
tersisa pada penanak nasi.
“Kita
sekarang sudah berpacaran,
jadi tidak ada gunanya untuk sembunyi-sembunyi. Mengingat bulan apa sekarang,
aku yakin kamu akan segera menyadari bahwa aku sedang mempersiapkan Hari
Valentine. Rasanya tidak adil
jika aku membuatmu berpura-pura tidak menyadarinya.”
"Dengan
semua kehebohan saat ini, kurasa aku memang
menyadarinya, ya. Kamu
selalu melakukanya dengan benar tentang
hal-hal seperti ini, Mahiru."
Tidak
sulit membayangkan betapa besar perhatian yang akan diberikannya pada Hari
Valentine, terutama mengingat betapa besar usaha yang telah dilakukan Mahiru
untuk ulang tahunnya. Bahkan orang tidak peka
seperti Amane akan segera mengetahui bahwa itu untuk Hari Valentine jika dia
mulai melakukan sesuatu secara diam-diam sekitar waktu ini.
Amane
tidak terlalu terkejut bahwa Mahiru memutuskan untuk melewatkan seluruh kejutan
dan memberinya apa yang ia inginkan sejak awal, meskipun Amane tetap berpikir itu adalah
langkah yang berani.
“Bahkan
jika aku mencoba menyembunyikannya, kamu akan segera mengerti maksudnya. Jadi,
mengingat situasinya, kupikir akan lebih cepat
jika membuat cokelat yang benar-benar ingin kamu makan,” ujar
Mahiru.
“Aku memahami apa yang kamu maksud, tapi…bukannya kamu sudah tahu apa yang aku suka?”
Tahun
lalu, melalui Chitose, Mahiru mengetahui bahwa Amane lebih menyukai hal-hal
yang tidak terlalu manis, dan sekarang, setelah sekian lama mereka bersama,
Mahiru sudah memahami dengan baik apa saja yang disukai dan tidak disukai
Amane.
Membuat
sesuatu yang aku suka seharusnya mudah baginya... atau
begitulah yang dipikirkan Amane. Entah mengapa, Mahiru tampak sedikit kesal.
“Aku
sudah tahu kalau kamu tidak suka makanan yang terlalu
manis, tetapi membuat kue jeruk atau kue cokelat yang sama seperti sebelumnya
bukanlah ide yang kreatif. Selain itu, kamu
mungkin menginginkan sesuatu yang biasanya tidak kamu
sukai, jadi itulah sebabnya aku bertanya apa yang kamu
inginkan.”
“Sejujurnya,
aku akan senang dengan apa pun yang kamu buat untukku.”
Itu
mungkin jawaban yang malas, tetapi itu benar. Amane tidak punya permintaan
khusus. Setelah menghabiskan lebih dari setahun bersama Mahiru, ia menyadari
bahwa setiap hidangan yang dibuat kekasihnya
benar-benar terasa nikmat.
Mahiru memiliki kemampuan luar biasa untuk membuat resep apa pun dengan
sempurna dan dengan mudah menghasilkan hidangan demi hidangan yang menggugah selera Amane. Pada titik ini,
rasanya tidak ada yang tidak bisa dia buat. Sebagian kegembiraan itu berasal
dari antisipasi untuk menemukan apa yang akan dia buat tanpa mengetahuinya
terlebih dahulu.
Itulah
sebabnya Amane merasa senang dengan apa pun. Namun, dirinya juga tahu bahwa, tergantung
pada situasinya, jawaban yang samar seperti itu bisa membuat si juru masak merasa jengkel, jadi Amane juga tidak begitu yakin dengan
jawabannya.
Adapun
Mahiru, alih-alih marah, dia malah dibuat
tercengang.
“…Aku
tahu saat kamu bilang
kamu akan 'senang dengan apa pun',
kamu benar-benar bermaksud demikian, dan merasa senang dengan apa pun yang kubuat, tetapi
jawaban seperti itu membuatku semakin sulit. Harap perhatikan itu baik-baik,” kata Mahiru, nadanya lembut
tetapi terdengar ada nuansa sedikit jengkel.
“Maaf.
Maksudku, aku ingin kamu membuat sesuatu yang ingin kamu buat. Aku suka semua
yang kamu persiapkan, jadi aku selalu menantikan apa yang akan kamu buat selanjutnya... Jika ada sesuatu
yang ingin kamu coba, aku lebih suka kamu membuatnya.”
Bagi
Amane, Hari Valentine lebih tentang Mahiru yang bersenang-senang saat
memanggang. Ia melihatnya sebagai kesempatan untuk menerima perasaan yang dituangkan Mahiru ke dalam apa pun yang dia buat dengan rasa syukur, dan Amane
tidak terlalu memikirkan jenis suguhan tertentu. Karena ia sudah tahu masakan
Mahiru akan terasa lezat apa
pun yang terjadi, kebahagiaan menantinya apa pun yang dipilihnya. Itulah
sebabnya Amane ingin
Mahiru memprioritaskan apa yang ingin dicobanya daripada mengkhawatirkan apa
yang diinginkannya.
Amane
menjawab dengan hati-hati, tidak ingin dimarahi lagi. Meski begitu, Mahiru menghela napas seolah-olah dia sudah
mengantisipasinya terlepas dari alasan Amane.
“Amane-kun,
kamu anehnya tidak mementingkan dirimu
sendiri tentang hal semcam
ini, dan itu terkadang bisa menjadi masalah...aduh. Serius, kamu seharusnya
tidak asal bicara 'apa saja' dan menyerahkan keputusan pada pihak gadis, oke?”
“Mana mungkin aku akkan melakukan itu pada orang lain…
Lagipula, aku tidak akan punya kesempatan meminta gadis lain untuk membuat
keputusan untukku.”
“Aku
tahu,” jawab Mahiru dengan percaya diri.
“Ya, sudah kuduga kamu bakal mengetahuinya.”
Hal itu
jelas bagi mereka berdua, sehingga percakapan mereka mengalir lancar, seperti
permainan tangkap bola yang dimainkan dengan senyuman hangat.
“…Apa
kamu beneran yakin
tidak punya permintaan apa pun?” desak Mahiru.
“Emangnya aku terlihat seperti orang yang tahu
cara menikmati makanan manis?”
“Kamu tahu lebih banyak daripada yang
kau ungkapkan, bukan? Kamu selalu
bisa melihat kue dan makanan panggang dengan jelas setiap kali kita pergi ke
toko roti.”
“Aku
hanya melihat-lihat.”
Berkat
kedua orang tuanya, Amane mengenal berbagai macam makanan saat tumbuh dewasa,
dan mereka mengajarinya banyak hal. Dirinya
kurang lebih dapat memahami cara membuat hidangan hanya dengan melihatnya.
Namun,
jika menyangkut makanan manis, ceritanya bisa berbeda.
Selama kencan di kafe atau perjalanan santai untuk membeli kue, Amane sering
kali mendapati dirinya memperhatikan makanan manis yang dipajang. Ia mengenali nama-nama makanan
manis tersebut dan mengingatnya, tapi bukannya
berarti ia sangat menginginkannya.
“Ditambah lagi, aku lebih mengutamakan
apa yang kamu nikmati daripada apa yang aku suka,” Amane mengakui.
“Tolong
pikirkan lebih jauh tentang pilihanmu, Amane-kun. Dalam kasus ini, pilihanku
seharusnya tidak menjadi masalah sama sekali.”
“Itu sangat penting. Saat aku membeli kue
untuk kita, aku ingin memilih sesuatu yang paling cocok untukmu.”
“Astaga…”
Mahiru menggembungkan pipinya
dengan sedikit frustrasi seolah berkata, "Kenapa itu yang selalu kamu fokuskan?” Amane menjawab dengan santai, “Mungkin karena aku menyukaimu.”
Sebagai
balasan, Mahiru memukulnya dengan “Mou,
baka!”
bahkan lebih keras dan lebih ganas dari sebelumnya. Nada suaranya mungkin
tajam, tetapi Amane tahu itu bukan karena marah—sebaliknya, itu hanya caranya
menutupi rasa malunya. Amane tertawa
kecil untuk menepisnya, yang mana itu hanya membuat Mahiru
menghela napas dalam-dalam.
“…Jadi,
apa kamu benar-benar tidak punya permintaan? Kalau tidak, aku bisa meminta
resep rahasia dari Chitose-san.”
“Jangan...” Amane segera menjawab dengan
nada memohon. Ia tak bisa menyembunyikan kekagetannya
saat Mahiru dengan sigap menghunus senjata pamungkasnya.
Karena
tidak mampu menahan reaksi naluriahnya, dia menolak gagasan itu dengan nada
yang seolah bertanya, “Siapa
kamu sebenarnya?”.
Namun, meskipun dirinya memprotes, senyum cerah Mahiru tidak
memudar sedikit pun.
Meskipun Amane tahu Mahiru akan membalasnya
jika ia terlalu banyak menggodanya, Amane tidak bisa menahan diri untuk tidak
mengucapkan kata-kata itu. Meskipun dia
bereaksi berlebihan, Mahiru selalu tampak senang ketika Amane menunjukkan kasih
akung. Namun kali ini, Amane telah memaksakan keberuntungannya dan sekarang
menerima balasan yang setimpal.
Amane
menggigil saat mengingat kekuatan mengerikan dari cokelat tebak-tebakan yang dibuat khusus oleh
Chitose tahun lalu. Tepat saat kecemasannya memuncak, Mahiru menarik napas dan
tersenyum ceria dan terhibur.
“Hehe,
aku cuma bercanda. Aku
tahu kamu tidak suka sesuatu yang terlalu pedas,” godanya.
“Ya, kamu tahu sendiri ‘kan
aku tidak bisa makan makanan pedas sebaik dirimu.”
“Itulah
sebabnya aku selalu membuatnya agak ringan
saat memasak untukmu. Tapi, kamu
tahu, jika aku meminjam resep Chitose-san, rasanya jauh
lebih baik jika aku mengikuti setiap langkahnya dengan saksama.”
“Maafkan
aku,” Amane segera meminta maaf.
“Sebenarnya
aku tidak akan melakukannya, tau? Tapi kalau kamu terus bilang kamu akan 'senang
dengan apa pun,' aku tidak akan yakin apa yang akan kubuat... Setidaknya
aku ingin ide kasar, seperti tema atau bahan utamanya.”
“…Lalu,
bagaimana dengan sesuatu yang agak manis yang bisa bertahan selama beberapa
hari? Rasanya sangat disayangkan jika harus menghabiskan semuanya dalam satu
hari. Meskipun, aku akui, meminta sesuatu yang bisa bertahan lebih lama dengan
sedikit gula merupakan
permintaan yang agak aneh.”
Tentu
saja, sudah menjadi pengetahuan umum bahwa kemampuan manisan untuk bertahan lebih lama tanpa
bahan pengawet sangat bergantung pada retensi kelembapan gula yang digunakan
untuk membuatnya. Mengurangi jumlah gula akan memperpendek masa simpan.
Bahan
pengawet akan menjadi solusi paling mudah jika ia menginginkan sesuatu yang
tidak terlalu manis tetapi tetap awet. Namun, menggunakan bahan pengawet dalam
hadiah buatan sendiri untuk Hari Valentine bukanlah sesuatu yang biasa
dilakukan orang, dan Mahiru tentu saja takkan mencobanya. Amane bahkan tidak
yakin apa mereka bisa
membelinya untuk penggunaan pribadi.
Menyadari
betapa merepotkannya permintaannya, Amane hampir menarik kembali perkataannya. Namun sebelum ia bisa
melakukan itu, Mahiru mengangguk lebih cepat
dari yang diharapkan dan berkata, “Oke,” tanpa ragu-ragu.
“Jika
memang begitu, kurasa lebih baik membuat cokelat biasa
daripada kue. Jika aku mengurangi kadar air sebanyak mungkin, cokelat akan
bertahan lebih lama, dan kamu dapat
menikmati berbagai rasa dengan cara begitu.”
“Aku
serahkan rinciannya
padamu. Seperti yang kukatakan, aku bersemangat untuk apa pun, jadi aku akan
senang jika kamu membuat sesuatu yang ingin kamu buat juga.” Amane tidak yakin
apa dirinya harus merasa lega karena Mahiru
punya ide yang jelas tentang apa yang ingin dia buat atau merasa bersalah
karena membuatnya begitu bersemangat tentang hal itu.
Saat Mahiru terlihat
sudah memutuskan apa yang akan dia persiapkan, Amane
dengan lembut mengingatkannya, “Dibikin santai
saja, oke?”
Sebagai
tanggapan, Mahiru hanya berkedip padanya, tampak sedikit bingung.
“Aku siap
membuat apa pun yang kamu suka, Amane-kun.”
“Caramu yang mengatakan akan membuat
'apa pun' agak menakutkan, Mahiru.”
“Yah, aku
tidak bercanda kalau
menyangkut hal-hal seperti ini.”
“Aku
selalu puas dengan makanan buatanmu,
oke? Itu saja yang ingin aku sampaikan.”
“Baiklah,
aku akan memasukkan beberapa resep baru yang kupelajari ke dalam masakan kita
saat ada kesempatan.”
“Kamu benar-benar ambisius…”
Berkat
bimbingan penuh kasih sayang
Koyuki, Mahiru berhasil
menguasai berbagai macam hidangan yang mengesankan. Namun, dengan kemampuan
belajarnya yang tak terbatas dan dorongannya yang tak kenal lelah untuk terus
berkembang, dia masih
menemukan cara untuk menguasai resep-resep baru. Sebagai penerima manfaat dari
keterampilan kulinernya, Amane merasa bersyukur sekaligus sedikit khawatir.
Amane
sudah lebih dari puas dengan apa yang disiapkannya—jadi apa lagi yang akan dia
lakukan dengan semakin mempererat cengkeramannya di perutnya?
“Harap nantikan,” desak Mahiru. “Baik
cokelatku maupun hidangan baru.”
“Aku
pasti akan melakukannya, tapi serius, dibuat santai
saja, oke.”
“Aku
sangat sadar akan keterbatasanku,” Mahiru meyakinkannya dengan tenang.
“Aku
berharap aku memiliki kepercayaan diri seperti itu.”
“Heh.”
Mahiru tertawa kecil, senyumnya bangga sekaligus nakal.
Aku tidak
akan pernah bisa menang melawannya, ya?
Setelah melihat senyumnya, Amane mengeluarkan centong
nasi dari laci, siap untuk menyajikan nasi yang baru dikukus.
✧ ₊
✦
₊ ✧
Begitu bulan Februari tiba, seluruh dunia
mulai bersiap menyambut Hari Valentine. Tak lama kemudian, kehebohan ini
menyebar ke mana-mana. Amane memperhatikan para gadis di sekolahnya mengobrol
dengan penuh semangat di antara mereka sendiri sementara para lelaki, mungkin
terpacu oleh rasa penasaran, tampak semakin gelisah saat hari yang menentukan
itu mendekat.
Amane
tidak pernah terlalu tertarik dengan Hari Valentine, tetapi tahun ini, ia yakin
Mahiru akan memberinya sesuatu. Bohong rasanya jika
dirinya mengatakan tidak merasakan
apa-apa. Namun, Amane tidak
mengharapkan apa pun lebih dari itu, jadi ia mendapati dirinya menyaksikan
semua orang bersemangat dari kejauhan seperti penonton.
“Kadowaki
pasti akan kewalahan di hari Valentine ini.” Melihat kejadian ini, Amane
bergumam pelan.
Setelah
menyelesaikan latihan paginya, Yuuta duduk di mejanya dan mulai belajar, tanpa
membuang waktu meninjau buku pelajarannya sebelum kelas pertama dimulai.
Gadis-gadis dari kelas lain bahkan melemparkan pandangan
kagum padanya dari jauh. Amane terkesan dengan dedikasi gadis-gadis ini, yang
telah keluar dari berbagai kelas hanya untuk melihat sekilas gebetan mereka.
Namun, bagian yang benar-benar luar biasa ialah
bahwa itu bukan hanya satu atau dua. Ada lebih banyak gadis setiap kali Amane melihatnya.
Itsuki,
yang sedang membolak-balik kartu catatannya di samping Amane, mendongak setelah
mendengar komentarnya. Ekspresinya berubah menjadi simpati karena ia mungkin
mengingat apa yang terjadi tahun lalu.
“Ya,
ini akan sulit baginya. Ia adalah
kapten dan jagoan tim lari, dan selain itu, ia punya penampilan yang tampan, otak yang cerdas, dan kepribadian yang baik. Tidak heran para gadis berbaris
dengan harapan bisa tersapu.”
“Hei,
jangan membuatnya terdengar seperti ia sedang membersihkan.”
“Itu
hanya kiasan. Entah Yuuta
benar-benar senang dengan ini merupakan
cerita lain.”
“Ia mungkin merasa tercengang dari apa
pun.”
Yuuta
tidak begitu membenci kenyataan bahwa orang-orang mengaguminya, tetapi ia
memiliki perasaan campur aduk tentang bagaimana rentetan jeritan melengking
yang terus-menerus telah menjadi hal yang biasa baginya. Lebih sering daripada
tidak, ia akan menegangkan wajahnya dengan cara yang gelisah, hampir tertekan.
Sebagai temannya, Amane terkadang khawatir
bahwa popularitas Yuuta yang luar biasa dapat memicu kebencian dari orang lain.
Namun, untungnya, sebagian besar anak laki-laki tidak merasa benar-benar iri padanya.
Karakter Yuuta yang asli dan beban yang jelas yang dipikulnya dengan
popularitasnya membuatnya lebih banyak mendapat simpati daripada kecemburuan.
“Semoga ia
tidak salah memperkirakan berapa banyak hadiah yang akan diterimanya tahun
ini.”
“Kebutuhan
untuk memperkirakan saja sudah cukup buruk, tetapi membiasakan diri dengan hal
itu kedengarannya lebih buruk lagi.”
“Serius…melihat
betapa populernya ia sepanjang tahun membuat persepsimu
menjadi mati rasa.”
“Ya.
Biasanya, hanya mendapatkan satu pengakuan saja sudah menjadi hal yang sangat
besar bagi seorang pria.”
Mendengar
seseorang mengungkapkan perasaan kepada
seseorang merupakan momen yang sangat penting—setidaknya bagi
Amane. Hal itu membutuhkan tekad dan keberanian yang sangat tinggi. Dan melihat
Yuuta menerima perhatian seperti itu dari banyak orang, Amane merasa lebih
khawatir daripada kagum pada saat itu.
“Yuuta
tidak pandai menghadapi gadis yang suka
memaksa. Ia selalu
menolak mereka, mengatakan bahwa ia hanya ingin fokus pada klubnya. Dirinya juga mengatakan bahwa ia merasa
tidak sopan untuk berpacaran
dengan seseorang tanpa benar-benar mengenalnya. Namun, itu sangat menggambarkan kepribadiannya—ia
bisa memilih yang mana.”
“Ya,
Kadowaki adalah definisi dari 'tulus.' Ia
benar-benar orang yang bijaksana dan tulus.”
Amane
menganggap kesungguhan dan ketulusan Yuuta terhadap orang lain sangat
mengagumkan. Ia tidak bisa mengerti mengapa ada orang
yang berpacaran dengan seseorang hanya untuk mencoba saja
atau menjalani banyak hubungan sekaligus, jadi sulit untuk tidak mengagumi
Yuuta. Meskipun memiliki banyak pilihan, ia tetap memperlakukan setiap orang
dengan tulus dan menolak mereka dengan sopan.
Beberapa
orang mungkin berpendapat bahwa ini adalah hal yang paling minimal, tetapi
Amane menganggap bahwa Yuuta dengan mudah menegakkan nilai-nilai tersebut dan
bertindak berdasarkan apa yang menurutnya mengagumkan. Baginya, itu adalah
kualitas mendasar dalam diri seseorang.
“Kamu benar-benar sangat menghormati
Yuuta, ya?” kata Itsuki.
“Ya,
tentu saja. Ia adalah orang baik. Siapa pun bisa mengetahuinya kalau mereka sedikit
memperhatikannya.”
“Yaelah, padahal
kamu tidak pernah memujiku!”
“Mungkin
kalau kamu berhenti menggodaku seperti ini, semuanya akan berubah.”
“Oh,
kalau begitu aku bisa hidup tanpa kata-kata manis itu.”
“Oi.”
“Baiklah,
tidak masalah. Mungkin kamu tidak mengatakannya dengan lantang, tapi aku tahu
kamu mengakuiku.”
“Oh,
diamlah. Kamu
menyebalkan sekali!”
“Mwahhaha!”
Amane
menatap Itsuki dengan tajam, “Apa
masalahmu?” tetapi
itu tidak membuatnya gentar sedikit pun. Itsuki hanya menyeringai lebih lebar,
dan reaksi Amane membuatnya merasa geli.
Setelah beberapa saat, Amane mendesah jengkel.
Amane
sudah kalah saat Itsuki berhasil membuatnya mengerti. Namun, pernyataan Itsuki
yang begitu terbuka membuat Amane kesal sekaligus malu. Karena dirinya tidak ingin memberi Itsuki bahan
untuk menggodanya lagi, Amane berhenti bicara, berbalik untuk mendorong
temannya itu agar tidak terlihat. Tentu saja, Itsuki tertawa lagi, tampak
sangat terhibur.
“Setidaknya
Hari Valentine akan menjadi hari yang menyenangkan bagi kita berdua.”
Dibandingkan
dengan Yuuta, Amane dan Itsuki hidup dengan mudah—mereka tidak perlu stres. Tak
satu pun dari mereka yang populer, dan yang terpenting, Amane sudah memiliki
Mahiru. Selama ia menerima sesuatu darinya, itu saja yang ia butuhkan. Lalu ada
Itsuki, yang sudah memiliki
Chitose.
Jika
keadaan berjalan seperti tahun lalu, Amane mungkin akan mendapatkan cokelat
persahabatan wajib dari Chitose, tapi tidak lebih. Dirinya tidak perlu terlalu khawatir
tentang apa yang harus diberikan sebagai balasannya, ia juga tidak ingin diberi
apa pun lagi. Sepertinya Amane akan
dapat menghabiskan Hari Valentine dengan damai tanpa hambatan apa pun.
“Yap,
bersiaplah untuk putaran masakan ajaib Chi lainnya tahun ini.”
“Kamu ‘kan pacarnya; coba hentikan kegilaannya.”
“Memangnya
kamu benar-benar berpikir aku bisa menghentikannya?”
“…Benar juga, aku
merasa ragu dia akan mendengarkan.”
Belakangan
ini, Chitose agak melunak dan bahkan menjadi lebih serius dalam beberapa hal,
tetapi ketika berkaitan dengan
acara-acara seperti Valentine, dia masih membiarkan kegembiraannya mengambil
alih dengan cara yang salah. Cokelat yang dia berikan tahun lalu cukup enak—setidaknya
yang normal —jadi Amane berharap dia akan tetap menggunakan pendekatan itu
kali ini. Namun, dia punya firasat bahwa Chitose bukan orang yang akan puas
dengan yang normal.
Siapa
tahu apa yang akan dia lakukan kali ini…
Saat pemikiran semacam itu terlintas di benak Amane, Itsuki
tiba-tiba mengangkat satu jari sambil menyeringai puas, tampak seolah ia merasa bangga akan sesuatu.
“Tahun
ini, sepertinya dia akan menyajikan sesuatu
yang berbeda,” Itsuki memulai.
“Kedengarannya bukan seperti
permainan kata bagiku,” kata Amane dengan khawatir.
“Itu akan
menjadi mahakaryanya, dibuat dengan begitu banyak kreativitas dan kecemerlangan
sehingga kamu akan menangis
karena bahagia, atau begitulah katanya.”
“Ya,
maksudmu benar-benar seperti itu.”
“Bagus
sekali, ya? Sepertinya kamu akan mendapatkan kejutan pedas lagi tahun ini.”
“Aku
mungkin akan menangis.”
Berkat
keyakinan dan harga dirinya sendiri, ditambah peringatan bijaksana dari Mahiru,
Chitose tidak pernah membuat sesuatu yang sama sekali tidak bisa dimakan.
Namun, dalam batasan apa yang masih bisa dikonsumsi, dia punya bakat untuk membuat
hidangan yang akan mengejutkan siapa pun.
Kecintaan
Chitose pada makanan pedas merupakan
alasan terbesar mengapa tak seorang pun dapat menghentikannya. Setiap kali dia memasak untuk toleransinya
yang tinggi, hasilnya selalu sangat berbahaya bagi seseorang seperti Amane,
yang toleransinya jauh di bawah rata-rata. Ia hanya bisa berharap Chitose
menyadari hal itu sekarang.
Itsuki
tertawa terbahak-bahak, menikmati reaksi Amane seolah-olah itu bukan
masalahnya. Amane benar-benar mempertimbangkan apa sebaiknya Itsuki juga
benar-benar memegang perutnya setelah mencicipi ramuan apa pun yang telah
dimasak Chitose.
“Memangnya kamu tidak merasa senang? Mungkin jika kamu
mulai menangis sekarang, kamu mungkin akan membangun perlawanan!”
“Ya,
keputusan yang bagus—sudah saatnya kau mulai membangun ketahananmu sendiri. Aku
akan memastikan Chitose memberimu banyak sampel sebagai penguji rasanya.”
“Kamu akan mengkhianati sahabatmu!?”
“Hei,
jangan khawatir, jangan khawatir. Kalau pacarmu yang manis itu membuatnya, kamu bisa menghadapi apa pun
yang dia berikan padamu.”
“Mana mungkin aku bisa selamat!”
“Kalau tidak salah, bukannya kamu duluan yang mendorongku untuk
memakannya terakhir kali?”
“Hei!
Bisakah kamu tidak memperlakukan makananku seperti zat yang mematikan?”
Saat
Amane dan Itsuki terus bertengkar sebelum kelas dimulai, subjek pembicaraan
mereka—yang tak lain adalah ahli kuliner pecinta pedas, Chitose —menyela dengan
ekspresi sedikit jengkel. Meski dia tidak marah, jelas sekali dia juga tidak senang. Dia
menepuk bahu Itsuki pelan sebagai protes.
“Chitose,
bisa tidak jangan memberiku makanan yang
diberi bumbu pedas?” pinta Amane.
“Tidak mungkin~!”
“Kalau
begitu, lakukan saja percobaan pada Itsuki dan pastikan itu sesuatu yang bisa
ditoleransi. Jangan ragu untuk memberinya sampel sebanyak yang kamu mau.”
“Oh, tentu sajaaa~. Kalau kamu bersikeras.”
“Kamu baru saja mengkhianatiku di
depanku! Chi!?”
“Semuanya
akan baik-baik saja, semuanya akan baik-baik saja!”
Apanya?
Amane
ingin membalas demikian, tetapi
setelah berhasil menjadikan Itsuki sebagai korban pertama, dirinya mengabaikan tatapan mata anak
anjing sahabatnya yang putus asa dan berbalik.
“Tenang
saja, setidaknya aku akan membuatnya bisa dimakan. Tidak baik membuang
makanan.”
“Apa kamu tidak pernah berpikir kalau mencampur semua
rempah-rempah ke dalamnya merupakan
suatu pemborosan?”
“Aku
hanya menjelajahi jurang rasa yang tak dikenal untuk mencapai puncak yang belum
pernah terlihat sebelumnya. Dan aku memastikan semuanya bisa dimakan. Aku takkan
berhenti sampai Mahirun memberiku stempel persetujuannya.”
“…Tolong,
jangan ganggu indera perasa Mahiru, aku mohon padamu.”
Karena
Chitose menyebutkan untuk mendapatkan persetujuan Mahiru, itu berarti dia ingin
Mahiru mencicipi hasil karyanya juga. Sebagai pacarnya, Amane tidak bisa
menoleransi hal yang terlalu ekstrem yang dipaksakan padanya. Ia tidak keberatan jika dirinya atau Itsuki harus menanggung
kengerian seperti itu, tetapi kemungkinan Mahiru mengalami hal itu adalah
sesuatu yang pasti— sangat—ingin dicegahnya.
“Oh,
ayolah! Aku tidak membuat apa pun yang akan membuatnya sakit perut atau sakit
lidah. Lagipula, Mahirun lebih bisa menahan rasa pedas daripada kamu, Amane.
Dia mungkin akan melahapnya tanpa masalah. Aku selalu memastikan makananku
setidaknya enak.”
“Dan
Itsuki masih berteriak kesakitan tahun lalu…”
“Yah,
Ikkun tidak pernah bisa menahan rasa pedasnya. Jangan khawatir, aku akan
menyiapkan sesuatu yang istimewa hanya untuknya! Terpisah dari uji rasa!”
“Wah,
indah sekali. Aku sangat senang mendengarnya,” gumam Itsuki.
“Ayolah,
setidaknya berpura-puralah bersemangat!” Chitose mengangkat alisnya ke arah
pacarnya, yang kepercayaannya padanya telah berkurang hingga hampir tidak ada
karena pelanggarannya di masa lalu.
Jika
terus seperti ini, dia mungkin akan membuat coklat Itsuki lebih pedas dari
coklatku. Amane diam-diam menggenggam kedua tangannya
dengan penuh simpati.
“Ngomong-ngomong,
kamu bisa menantikan cokelat
dari Mahirun dan aku. Ini rahasia sampai hari itu tiba!”
“Maksudku,
silakan saja… Aku hanya bersyukur bisa mendapatkan apa pun.”
“Heh heh,
sebaiknya kamu
bersyukur!” Chitose berpose angkuh dengan tangan di pinggul dan seringai
sombong terpampang di wajahnya. Namun ketika Amane, yang benar-benar senang
menerima apa pun, hanya berkata, “Terima kasih seperti biasa,” antusiasmenya
pun mereda. Ia mendengarnya bergumam, “Itu dia lagi…” dengan suara pelan.
“Ngomong-ngomong,
Amane,” imbuhnya.
"Ya?"
“Apa yang
akan kamu lakukan jika kamu mendapat coklat dari gadis lain?”
Kali ini
Chitose berbicara pelan, tidak ingin orang lain mendengarnya.
Amane
memiringkan kepalanya.
“Maksudmu
seperti cokelat wajib? Kalau ada yang memberiku, aku akan menerimanya dan
membalas budi. Tapi, aku tidak mengharapkan apa pun.”
“Mengapa kamu berasumsi bahwa yang aku maksud
adalah jenis yang wajib?”
“Maksudku,
aku berpacaran dengan Mahiru, jadi tidak ada yang akan memberikan lebih dari
itu. Jadi mana mungkin.”
Meskipun
tidak semua orang di sekolah tahu, sebagian besar siswa tahu bahwa Amane dan
Mahiru berpacaran. Ia tidak
berharap akan menerima cokelat yang penuh perasaan, dan dirinya juga tidak tertarik pada
cokelat itu.
“Astaga,
di mana rasa percaya dirimu?”
“Ini
bukan tentang rasa percaya diri. Rasanya jauh
lebih aneh jika aku berkata, 'Aku pasti akan mendapatkan cokelat yang
menyentuh hati untuk Valentine tahun ini!' bukan? Aku tidak sesombong atau
serendah itu, lho.”
“Ya, aku
tahu kamu bukan orang yang begitu,
tapi…”
Ekspresi
dan nada bicara Chitose lebih muram dari biasanya, seolah ada sesuatu yang
membebaninya.
“Tapi, asal kamu tahu saja, dunia
tidak selalu sesederhana itu. Orang bisa jatuh cinta pada seseorang yang sudah
punya kekasih. Kamu tidak bisa mengendalikan perasaan hatimu.”
“Kita
sudah membicarakan ini sebelumnya, tapi...aku sudah memutuskan bahwa aku tidak
akan membalas perasaan mereka. Lagipula, kenapa kita berasumsi ada gadis
seperti itu?”
“Memangnya tidak boleh ya jika kiya
membicarakan skenario 'seandainya
saja'?”
“Ayo
sekarang…”
“Amane,
aku tahu ini pasti terdengar sangat tidak masuk akal bagimu. Tapi menurutku itu
bukan hal yang mustahil. Menyukai seseorang tidak selalu berarti kamu ingin
mereka melihatmu dengan cara yang sama. Bukannya
itu juga berlaku untukmu?”
“…Ya.”
Amane
mencintai dan ingin menyayangi Mahiru, tetapi tidak selalu karena sifat posesif
atau keinginan untuk selalu bersamanya. Ada saat-saat ketika ia merasa bahwa
selama Mahiru bahagia, itu sudah cukup baginya.
“Menurutku,
kamu harus lebih berhati-hati dengan hal-hal seperti ini,” lanjut Chitose.
“Mahirun jadi sangat cemas karena hal
tersebut.”
“Yah,
ya... Aku mengerti, dan aku tidak ingin membuatnya jengkel. Itu sebabnya aku berusaha untuk
berhati-hati. Tapi... bukankah kalau aku berpikir, 'Tunggu, apa gadis-gadis itu benar-benar tertarik padaku?'
hanya akan membuatku tampak sombong?”
“Ya, rasanya bakalan konyol jika kamu mengatakan itu, Amane.”
"Oi.” Kamulah
yang memulainya. Amane melotot padanya, tetapi Chitose hanya menyeringai tanpa
peduli. Ekspresinya yang santai dengan cepat meredakan rasa frustrasi Amane.
“Apapun
yang terjadi, aku akan mengatakan
ini—kalau kamu bikin Mahirun menangis, aku bakal marah besar.”
Mendengar
Mahiru menangis, Amane langsung menegang, mengingat apa yang terjadi tahun
lalu. Mata Chitose membelalak tak percaya saat menatapnya, ekspresinya jelas
berkata, “Kau bercanda, kan?” Itsuki menatapnya dengan tatapan
yang sama, membuat Amane merasa sangat tidak nyaman.
“…Kau
membuatnya menangis?”
“Tidak! Belum lama ini!”
“Tidak
baru-baru ini, ya?”
“…Aku
membuatnya menangis di hari ulang tahunnya.”
Amane
tidak akan pernah menyakiti Mahiru, dan dia selalu berusaha membuatnya tetap
tersenyum. Namun, hari ulang tahunnya—itu adalah masalah yang sama sekali
berbeda.
Ia
tidak membuatnya sedih atau menyakitinya dengan cara apa pun. Amane yakin itu
adalah air mata kebahagiaan—Mahiru bahkan telah mengonfirmasinya sendiri. Jika
fakta sederhana bahwa dia menangis sudah cukup untuk membuatnya marah, maka Amane menduga dirinya akan dihakimi karenanya. Namun
jika itu yang terjadi, ia akan berada dalam masalah serius ke depannya. Amane hanya bisa berharap mereka akan
melupakannya.
“Ohh…
Kalau begitu aku akan melepaskanmu kali ini!”
“Apa
wewenangmu untuk memutuskan hal itu…?”
“Kewenangan
menjadi sahabat Mahirun!”
“Benar,
tentu saja.”
Chitose
membusungkan dadanya sambil berkata dengan bangga, “Ahem”. Saat
Amane mengusap dahinya karena kelelahan, ia melihat Mahiru mendekat. Dia sedang
mengobrol dengan Ayaka tetapi sekarang datang, tampak sedikit khawatir. Dengan
lambaian santai, Amane memberi isyarat padanya untuk tidak khawatir,
meyakinkannya bahwa itu bukan apa-apa.
✧ ₊
✦
₊ ✧
Karena
Amane harus bekerja hari ini, ia pergi bekerja seperti biasa dan menyelesaikan
tugasnya. Sambil membersihkan meja yang kosong, Miyamoto kembali ke meja kasir
dan bergumam, “Kamu tahu, aku selalu bersemangat
menyambut Hari Valentine setiap tahun.”
“Apa kamu
berharap mendapat bagian terbesar dari coklat atau semacamnya?” tanya Amane.
“Tidak,
tidak, bukan seperti itu. Kamu tahu bagaimana kami mengganti
menu di kafe setiap musim, kan? Kami bisa mencicipi semuanya, dan itu selalu
menyenangkan.”
“Ah, benar
juga. Makanan di sini rasanya memang enak
sekali.”
Bukan hal
yang aneh bagi kafe untuk memiliki menu musiman, tetapi di sini, penawarannya
sepenuhnya ditentukan oleh Fumika. Meskipun pilihannya spontan, rasanya selalu
pas. Dengan musim Valentine yang sedang berlangsung, menunya kini menyajikan
makanan penutup bertema cokelat dan makanan ringan, yang dengan cepat menjadi
favorit pelanggan.
Karena
Itomaki sendiri yang menyiapkan semua makanan penutup di dapur, semua yang
dibuatnya terasa lezat. Dia sangat
menyukai rasa, yang terlihat dari resep-resepnya. Kadang-kadang, ada beberapa
makanan sisa karena terlalu banyak yang dibuatnya, tetapi ketika itu terjadi, dia diam-diam memberikannya kepada
staf. Amane sering kali menikmati makanan manis itu.
Tentu
saja, ia selalu berhati-hati untuk tidak makan berlebihan. Amane tidak ingin
menambah berat badan, dan Mahiru selalu menyiapkan makanan rumahan untuknya
setelah selesai bekerja. Namun, hidangan penutup buatan Itomaki sangat lezat
sehingga porsi yang lebih kecil pun sudah lebih dari cukup untuk membuatnya
kenyang.
“Owner sangat murah hati, jadi aku
senang menerima pekerjaan ini,” kata Miyamoto sambil tersenyum.
“Aku
tidak tahu kalau kamu suka makanan manis, Miyamoto-san.”
“Ya, aku
suka sekali makanan manis. Lumayan juga untuk menghemat biaya makan.”
“Kalau tidak salah kamu
tinggal sendiri, ‘kan?”
“Ya, memang. Aku menyewa tempat di dekat kampusku. Rumah orang tuaku juga tidak
terlalu jauh.”
“Ia mendapatkan tempat yang cukup
bagus juga,” tambah Oohashi.
Menjelang
waktu tutup dan hanya sedikit pelanggan yang tersisa, kafe itu menjadi sepi.
Oohashi, yang bertugas pada shift yang sama, kembali sambil membawa siphon yang
baru saja dibersihkannya. Meskipun dia belum pernah menjatuhkan atau merusaknya
baru-baru ini, Miyamoto masih mengamatinya dengan waspada. Tampaknya Oohashi
belum sepenuhnya mendapatkan kepercayaannya dalam hal menangani peralatan itu.
“Yah, aku
diterima lewat rekomendasi, jadi akulah yang pertama mendapatkan apartemenku.”
“Membanggakan
kepintaranmu dengan rendah hati, hmm?”
“Dibandingkan
denganmu, kamu tidak dapat menyangkal bahwa nilai dan sikapku lebih baik.”
Baru-baru
ini, Amane menyadari bahwa percakapan mereka tidak lagi seperti pertengkaran,
tetapi lebih seperti candaan yang
menyenangkan. Ia tidak lagi merasa perlu untuk turun tangan dan menengahi, jadi
ia membiarkan mereka berckamu.
Hubungan
Miyamoto dan Oohashi tidak banyak berubah sejak kejadian itu. Meskipun mereka
masih bertengkar dan berselisih, perdebatan
mereka menjadi jauh lebih ringan. Mereka sekarang jauh lebih suka bermain-main,
yang dapat dianggap sebagai kemajuan dengan caranya sendiri.
Dari apa
yang dilihat Amane, mereka tidak menjadi
lebih dekat, tetapi tidak dapat dipungkiri bahwa mereka merasa jauh lebih
nyaman bersama. Ada getaran tertentu di antara mereka, meskipun Amane tidak
dapat menjelaskannya dengan jelas.
Bagaimanapun juga, Amane tidak ingin terlalu
terlibat dalam hal itu. Ia bisa dengan mudah disalahkan jika ia secara tidak
sengaja mengacaukan suasana dan hubungan mereka berubah menjadi canggung. Jadi,
ia menjaga jarak untuk saat ini, diam-diam mengamati dari pinggir lapangan.
“Jadi,
bagaimana denganmu, Fujimiya? Ada rencana untuk merayakan Valentine?” Miyamoto
bertanya dengan santai, mengabaikan ejekan Oohashi saat ia kembali ke topik
awal.
Karena
rekan kerjanya tahu bahwa ia telah meminta cuti pada hari itu, Amane merasa
tidak ada gunanya menyembunyikannya. Ia menjawab dengan jujur.
“Aku
hanya akan menghabiskan waktuku
dengan pacarku. Tidak ada yang istimewa,”
katanya.
“Kalian masih saling suka bermesraan, ya?”
“Maksudku,
bukankah mengabaikan Hari Valentine merupakan ide yang buruk sebagai seorang
pacar?”
“Kamu benar juga. Kayano pun sudah
memesan hari Valentine.”
Souji,
yang tidak bekerja hari ini, sebenarnya telah bekerja sepanjang Natal. Namun
kali ini, ia mengambil cuti pada Hari Valentine.
“…Dan
kamu, Miyamoto-san?”
“Sayangnya, aku harus bekerja. Tapi hei, setidaknya Owner selalu membawakan manisan untuk kita, jadi tidak semuanya
buruk.”
“Bekerja
shift hanya untuk camilan…entah bagaimana perasaanku mengenai hal itu,” sela
Oohashi.
“Bukannya kalian bekerja pada shift yang
sama?”
“Mau bagaimana
lagi? Kami bisa mencoba berbagai hal dari menu
musiman. Gratis pula.”
“Jadi kamu benar-benar melakukan hal
yang sama.”
“Diam
kau! Baka, baka, baakaaaaa.”
Oohashi
melontarkan beberapa hinaan kekanak-kanakan yang agak tidak masuk akal. Dia
tampak agak gelisah, seperti ada sesuatu dalam pikirannya.
Tampaknya
keadaan tidak sepenuhnya tanpa harapan bagi mereka berdua.
Amane
merasa lega dengan kemajuan mereka yang kecil namun nyata.
Akan
tetapi, pikirannya pasti sudah tergambar jelas di wajahnya, karena Miyamoto dan
Oohashi langsung menyerangnya. “Apa
ada sesuatu yang lucu?” tanya mereka. Terkejut, Amane
segera menghapus seringai di wajahnya dan menggantinya dengan senyum ramah.
Tanpa sepatah kata pun, ia bergegas menuju piring-piring yang baru saja
dikembalikan, dan segera melarikan diri dari situasi itu.