Chapter 8
Hampir
tiga hari setelah Tahun Baru, Amane mendapat pesan dari Itsuki.
Amane
menghabiskan malam tahun baru dengan santai bersama Mahiru. Mereka telah pergi
untuk kunjungan kuil pertama mereka tahun ini, menikmati liburan yang tenang
dan santai.
Selama
waktu itu, Amane tidak mendengar sepatah kata pun dari Itsuki, yang agak
mengkhawatirkan. Ketika nama Itsuki tiba-tiba muncul di notifikasinya, Amane
menyadari betapa hal itu membuatnya khawatir.
Setelah
membaca pesan itu dengan saksama— Bisakah kita bertemu sekarang? —Amane
tidak membuang waktu untuk membalas dengan konfirmasi yang cepat dan
bersemangat.
Setelah
memberi tahu Mahiru yang sedang belajar bersamanya di ruang tamu bahwa dirinya akan keluar, Amane mengirim
pesan singkat lagi dan berjalan menuju taman tempat mereka sepakat untuk
bertemu. Udara musim dingin yang dingin membelai
pipinya, tapi Amane tidak
menghiraukannya saat berjalan menyusuri jalanan
yang sepi. Itsuki telah menyebutkan bahwa dirinya
sedang berada di suatu tempat di dekat
sini, jadi tidak akan butuh waktu lama baginya untuk tiba. Amane sengaja
memperhatikan langkahnya, dan ternyata, mereka sampai di taman pada waktu yang
sama.
Hari ini,
Itsuki bersiap menghadapi cuaca dingin. Berbalut mantel tebal, syal, dan bahkan
penutup telinga, pakaiannya akan memuaskan bahkan orang yang paling sensitif
sekalipun. Amane merasa lega karena ia tidak terserang flu akibat insiden pada
Malam Tahun Baru. Itsuki menyambut Amane dengan senyum riang khasnya.
“Selamat
Tahun Baru,” sapa Amane.
“Selamat
Tahun Baru. Mari kita rayakan tahun baru yang lebih baik. Oh, ini—mantel dan
syalmu. Terima kasih telah mengizinkanku memakainya. Tanpa ini, aku pasti akan
masuk angin.”
Sekilas,
Itsuki tampak seperti dirinya yang biasa. Di dalam kantong kertas yang
diserahkannya, mantel dan syal terlipat rapi, dan di atasnya ada sekotak camilan yang tampak agak mahal—mungkin
sebagai ucapan terima kasih. Amane tidak bisa menahan senyum melihat perhatian
Itsuki.
“Kamu tidak perlu khawatir tentang
itu, lho. Aku memilih untuk meminjamkannya padamu.”
“Ayahku
selalu berkata, 'Jika kamu meminjam sesuatu, kembalikan dengan lebih sepadan,'
jadi beginilah keadaannya. Menurutnya siapa yang menjadi alasan aku harus
meminjam barang-barangmu? …Lagi pula, tidak ada gunanya membuang-buang napas
untuk mengeluh.”
Meskipun
Itsuki berbicara dengan nada meremehkan, tidak ada nada getir yang kentara
dalam suaranya. Ia jauh lebih tenang sejak terakhir kali mereka bertemu, yang
menenangkan Amane karena ia sudah lama tidak mendengar kabar darinya.
“Oh, dan kamu bisa membagikan cemilan itu
dengan Shiina-san. Terima kasih telah membantuku di Malam Tahun Baru.”
“Aku
sendiri tidak melakukan banyak hal.”
“Kamu selalu mengatakan itu…
Idealnya, aku juga ingin memberikannya kepada Shuuto-san, karena ia banyak
membantuku, tapi aku tidak tahu alamatnya. Dan memintamu untuk mengirimkannya
begitu saja terasa sangat tidak sopan, tahu?”
“Ayah
hanya akan mengatakan sesuatu seperti, 'Aku tidak melakukan sesuatu yang
istimewa, jadi jangan khawatir.'”
“Hahaha, aku yakin begitu. Ayah
dan anak sama saja.”
“Maksudku,
aku sebenarnya tidak melakukan apa pun saat itu.”
Lagi
pula, orang yang mendengarkan keluh kesah Itsuki dan menenangkan pikirannya
adalah Shuuto.
Karena
tidak ada alasan bagi Amane untuk berterima kasih, ia pun berusaha untuk
menolaknya. Sebagai tanggapan, Itsuki membalasnya dengan ucapan yang sangat
familiar, “Lihat,
itu yang kumaksud,” sebuah
jawaban yang sering ia dengar akhir-akhir ini. Ketika Amane mengerutkan kening
mendengarnya, Itsuki hanya tertawa.
Tawa
kecil Itsuki yang santai, tanpa ejekan, meluluhkan Amane, yang mendapati
dirinya menatap temannya. Keadaan Itsuki
tampak seperti seolah-olah beban
berat telah terangkat dari pundaknya dan tersenyum riang. Melihat keadaan temannya, Amane merasa tenang. Apa
pun yang dikhawatirkannya tampaknya tidak berdasar, dan kekhawatiran yang
diam-diam ia pendam dalam-dalam di hatinya mulai mencair.
Amane
berjalan di samping Itsuki, yang suasana hatinya tenang bahkan terlihat
olehnya, dan mereka berdua duduk di bangku kosong. Mengingat dinginnya musim
dingin, tidak ada seorang pun yang berpikir untuk datang ke taman. Biasanya, selalu ada banyak anak-anak yang
bermain di taman tersebut, tetapi
hari ini, suasananya sangat sunyi—hanya dengungan pesawat terbang di kejauhan
dan desiran angin lembut melalui pepohonan yang memecah keheningan.
“Apa ada masalah yang terjadi?”
Amane
ragu-ragu. Ia tidak yakin apa itu pertanyaan yang tepat, tetapi ia merasa bahwa
Itsuki telah menunggunya untuk menanyakannya. Jadi, setelah sekitar sepuluh
menit keheningan di antara mereka, Amane memecah keheningan dengan menanyakan
pertanyaan yang sama persis, berusaha menjaga nada bicaranya tetap santai.
Itsuki
mengangkat bahu santai dan tersenyum, “Yah, kurasa bisa dibilang masalahnya
dimulai saat aku keluar dari rumah tempo hari.”
“Yah,
kurasa itu masuk akal… Jadi, apa ada sesuatu yang berubah?”
“Yah…ya
dan tidak. Kakak dan ayahku masih dalam perang dingin, dan aku agak dibiarkan
sendiri. Ibuku masih tidak
ikut campur seperti biasa, lebih banyak mengambil sikap 'berdebatlah
sepuasnya'. Jadi, ya. Keluargaku benar-benar individualis, paling tidak
begitu.”
Meskipun
nada getir samar kembali terdengar dalam suaranya saat ia mengenang
keluarganya, suaranya tidak mengandung keputusasaan dingin yang mencengkeramnya
pada Malam Tahun Baru.
“Kamu tahu, jadi…”
“Hm?”
“Itu
yang selalu ada di pikiranku sejak saat itu. Shuuto-san berkata bahwa jika aku
ingin ayahku mendengarkan, aku harus berusaha membuatnya duduk berdiskusi dan mendengarkanku, kan?”
“Ya,
ia memang bilang begitu.”
“Maksudku,
tentu saja tidak ada yang akan duduk untuk berbicara serius jika kamu tidak
menyiapkan panggung untuk itu. Aku merajuk saat itu, tapi... orang yang pertama
menolak untuk berbicara dengan baik adalah diriku
sendiri.”
Itsuki
bersandar di bangku. Suaranya bergetar
karena perasaan nostalgia dan penyesalan saat ia
menggumamkan kata-kata itu. Sembari mendongakkan kepalanya ke atas langit, ia memejamkan mata.
“Kamu tahu bagaimana aku selalu
memberontak terhadap ayahku?”
“Ya.”
“Aku
berselisih dengan ayahku karena ia tidak bisa menerima perubahan yang aku
alami. Kemudian, dengan adanya Chi, ayahku sama sekali tidak memercayaiku lagi,
yang mana itu membuatku semakin memberontak.
Sejak saat itu, semuanya menjadi lingkaran setan… Sejujurnya, tidak mengherankan ia menjadi begitu terlibat.
Sampai aku bertemu Chi, aku adalah orang yang pendiam,
serius, dan penurut—tipe anak teladan. Aku tidak pernah
menjadi anak nakal yang suka menyeringai dan membuat keputusan yang ceroboh.
Dari sudut pandang ayahku,
aku punya pacar dan tiba-tiba berubah menjadi pria yang dangkal, tidak
bertanggung jawab, dan sembrono.”
“Kamu benar-benar menyebut dirimu
sembrono?” Amane menangkap maksud perkataannya.
“Diamlah,
kita berdua tahu itu benar.”
Amane
sengaja menggodanya, dan Itsuki menanggapinya seperti biasa. Keakraban dalam
percakapan mereka meredakan kekhawatiran Amane.
“Ketika
anakmu yang selama ini pendiam
dan serius mendadak berubah
total dalam kepribadiannya,
mendapat masalah karena seorang gadis, berakhir dengan cedera yang lumayan, dan
kemudian pihak sekolah
memanggilmu…ya, sebagai orang tua, tentu saja kamu
akan merasa malu. Seharusnya tidak mengherankan bahwa ayahku merasa khawatir
tentang siapa yang dikencani putranya. Aku dapat mengerti mengapa ia berpikir aku
terjebak dengan gadis yang salah. Dia tidak tahu bahwa akulah yang
menyarankan agar Chi dan aku berubah bersama.”
Itsuki
menurunkan tangannya yang terangkat, memejamkan
matanya dengan lengannya. Untuk menghalangi pandangannya
atau berkonsentrasi pada pikirannya.
“Aku memusuhi Ayahku karena ia bersikap keras kepala dalam
menilaiku, tetapi jika kamu
benar-benar menelusurinya, semuanya bermula dari
diriku. Dengan semua yang telah terjadi dengan kakak laki-lakiku, waktu
yang kupilih tidak akan lebih buruk. Jika aku setidaknya menjaga reputasiku di
sekolah, kurasa
setidaknya Ayahku akan
lebih bersedia mendengarkanku.”
Saat
Itsuki berbicara sedikit demi sedikit, Amane merasakan sedikit penyesalan dalam
suaranya. Ia bisa memahami dengan jelas
bahwa apa yang telah terjadi tidak dapat diperbaiki.
Namun, suaranya mengandung kekuatan tertentu. Ia
bertekad untuk melihat ke depan daripada berkutat pada masa lalu.
“Aku tahu
itu. Aku sudah tahu sejak lama, tapi akulah yang mengabaikannya. Akulah yang
mengambil jalan keluar yang lebih mudah... Akulah penyebab kekacauan ini.”
Itsuki
dengan perlahan-lahan
menurunkan lengan yang menutupi wajahnya. Dari dalam matanya yang kini terbuka,
cahaya terang bersinar terang. Dipenuhi dengan kekuatan yang begitu dahsyat
hingga membuat Amane tercengang, tatapannya memancarkan tekad yang tak
tergoyahkan. Setelah merenungkan penyesalannya di masa lalu, pandangan mata Itsuki yang tenang dan tak
tergoyahkan, menatap tajam ke arah Amane. Ia telah menemukan kejelasan dan
keyakinan dalam langkah selanjutnya. Amane tidak perlu khawatir lagi.
“Karena
itulah, demi memastikan ia mengakuiku dengan
baik, aku akan berusaha untuk terus mengulurkan tanganku mulai sekarang,” Itsuki menyatakan dengan sungguh-sungguh
sambil tersenyum.
Sebagai
jawaban, Amane mengangguk tanpa suara.
“Aku
tidak berencana untuk menjadi anak yang sempurna seperti yang diinginkan ayahku,
tetapi aku mengerti sekarang. Ia
tidak mau mendengarkan jika aku hanya
bersikeras melakukan ini atau menuntut itu tanpa menangani tanggung jawabku
yang lain. Jadi sekarang, aku akan berusaha untuk mendapatkan semuanya
kembali—dimulai dengan kepercayaan… Aku tahu ini sudah terlambat, tapi lebih
baik terlambat daripada tidak sama sekali.”
“Begitu
ya. Aku tidak bisa berbuat banyak selain menyemangatimu, tapi aku akan mengawasimu.”
Kini,
setelah melihat tekad Itsuki, Amane tahu bahwa yang paling bisa ia lakukan
adalah memahami usaha sahabatnya dan mengulurkan tangan saat dibutuhkan. Itsuki
mengerti bahwa ia harus mencapai ini dengan kekuatannya sendiri lebih dari siapapun. Itulah
sebabnya Amane memutuskan untuk tidak ikut campur secara tidak perlu, dan
memilih untuk mengawasi Itsuki saat ia menghadapi tantangannya secara langsung.
“Sesekali,
tingkatkan sedikit tekanan. Katakan saja, 'Hei! Ayo, lebih bersemangat!'
atau semacamnya. Aku memang pemalas, lho,”
Itsuki mengakui.
“Jika
segala sesuatunya tidak berjalan baik, aku akan menendangmu kembali agar
patuh.”
“Hei,
apa? Tidak ada dorongan lembut?”
“Oh? Jadi
itu yang kamu inginkan?” Amane menyeringai.
Itsuki
mengalihkan pandangannya
dengan ekspresi agak canggung. Karena ia mengenalnya
dengan baik, Amane dapat dengan cepat mengetahui bahwa dirinya hanya malu.
“…Lakukan
apa yang kamu inginkan.”
“Aku akan
melakukannya. Dan kamu harus
melakukan apa pun yang menurutmu benar.”
“Ya.
Aku akan berusaha sebaik mungkin.”
Itsuki
pasti merasa malu dengan dukungan Amane, karena pipinya berkedut kaku. Ia
mengangguk, masih merasa sedikit canggung. Amane diam-diam senang karena Itsuki
sudah tenang dan menyusun rencana untuk masa depan. Sambil melirik ponselnya,
ia melihat ada satu stiker yang terkirim di obrolan yang dibukanya.
“Apa yang
akan kamu katakan pada Chitose?”
Amane
diam-diam memeriksa riwayat pesannya dengan cara yang tidak dapat dilihat
Itsuki, lalu mematikan layarnya sambil mengajukan pertanyaan lain. Wajah Itsuki
langsung menegang, dan ketidaknyamanannya terlihat jelas.
“…Akulah
yang memulai ini, jadi aku tidak seharusnya melibatkan Chi. Aku tahu itu,
tetapi…aku ingin bersamanya di masa depan, jadi aku ingin menghadapi ini
bersamanya jika dia bersedia. Tetapi jika dia mengatakan ini terlalu berat
baginya, aku akan menanganinya sendiri.”
Hanya
mendengar bahwa ia tidak berniat meninggalkannya, apa pun yang terjadi, itu saja sudah cukup.
“Chitose
pasti akan mendukungmu. Dia tidak akan menyerah padamu.”
“Bagaimana
kamu bisa begitu yakin?”
“—Iya ‘kan, Chitose?”
Seharusnya
sudah waktunya. Saat Amane memanggil tanpa menoleh, langkah
kaki mendekat dari belakang. Sebuah bayangan jatuh di atas Itsuki, lalu
sepasang tangan pucat muncul sedikit di samping Amane, yang kemudian
mencengkeram bahu Itsuki dengan kuat.
“Dasar Ikkun bodoh!”
“Wah!?”
Orang
yang mengguncang bahu Itsuki dengan keras adalah Chitose, orang yang
paling terlibat namun tidak diberi tahu apa-apa.
Saat
Itsuki menghubunginya, Amane mengirim pesan kepada Chitose, membocorkan tempat
pertemuan mereka kepadanya. Sejujurnya, itu adalah pertaruhan. Amane tidak
yakin apakah membiarkan Chitose melihat kelemahan dan rasa bersalah Itsuki pada
akhirnya akan baik untuknya.
Sebagian
dirinya merasa ragu-ragu, bertanya-tanya apa pilihannya sudah benar
untuk berbagi apa yang Itsuki ceritakan kepada Chitose. Itu bisa menjadi
bumerang, bahkan mungkin menyebabkan Chitose dan Itsuki berselisih. Namun
terlepas dari risikonya, Amane yakin mereka berdua perlu
berbicara jujur. Ia tidak
ingin Itsuki berpura-pura dan menanggung semuanya sendiri lagi, ia juga tidak
ingin Chitose dibiarkan sendiri tanpa
mengetahui apa-apa, dilindungi tetapi diliputi kekhawatiran.
Apapun yang perlu mereka hadapi, mereka harus hadapi bersama—tidak dengan salah
satu dari mereka yang berani maju sendirian.
Sementara
Itsuki berdiri terpaku karena terkejut dengan kedatangannya yang tak terduga,
Chitose—wajahnya memerah karena berlari atau marah—melotot tajam ke
arahnya, sambil terus mengguncang bahunya.
“Dan aku
juga idiot! Aku juga bersalah, tapi aku hanya berdiri di sana dan mengeluh
tentang segalanya sementara kau menghadapinya sendiri! Itu salahku, tapi tetap
saja! Idiot! Dasar idiot! Dasar idiotttttttt!”
“Apa?
Tunggu— Chi, tidak, aku—”
“Masalahnya
dimulai karena Daiki-san tidak menyetujuiku, namun kamu menghadapi semua
akibatnya!”
“Ti-Tidak, Chi, itu sama sekali
bukan salahmu!”
“Ya,
benar! Akui saja bahwa aku juga bersalah! Aku yang memulai semua ini!”
Sesama spesies, huh, pikir Amane. Mereka berdua
bersikeras bahwa merekalah yang salah. Kemudian, Amane berdiri, siap menyerahkan
kursinya kepada orang yang benar-benar pantas berada di sisi Itsuki.
“Pokoknya,
aku akan membicarkan kalian
berdua untuk membicarakan masalah ini,” kata Amane. “Aku bukan orang yang bisa
diajak bicara, tapi kalian mencoba melakukan terlalu banyak hal sendirian.
Kalian sudah sangat pandai
berpura-pura semuanya terkendali sehingga kalian pikir tidak akan ada yang
memperhatikan. Apesnya—sekarang
rahasianya sudah terbongkar.”
“Kamulah yang membongkarnya!”
“Dan
kamulah yang mencoba memutuskan
segalanya sendiri, padahal itu bukan hanya masalahmu. Coba tempatkan dirimu di
posisiku, melihat keadaan Chitose
yang semakin khawatir.”
Sifat
Itsuki yang suka merahasiakan sesuatu tidak menguntungkannya. Dengan Chitose
yang sudah cemas terhadap Daiki, menyembunyikan sesuatu darinya hanya akan
memperburuk keadaan, dan Itsuki tidak cukup bodoh untuk tidak menyadarinya.
Jika
Itsuki benar-benar bertekad untuk menyelesaikan masalah, akan lebih mudah
baginya jika ia terus memberitahu pasangannya.
Itulah yang diyakini Amane.
Mungkin
itu bukan urusan Amane, tetapi kali ini, ia juga bertindak atas permintaan
Mahiru. Mahiru menyebutkan bahwa Chitose merasa tidak nyaman karena Itsuki
tidak membalas pesannya, jadi Amane memutuskan bahwa yang terbaik adalah segera
menyelesaikan kesalahpahaman dan menenangkannya. Paling tidak, Chitose senang
berada di sini.
Melihat
air mata samar mengalir di mata Chitose,
Amane segera mengalihkan pandangannya,
berusaha sebisa mungkin untuk tidak melihat wajah gadis itu yang menangis. Ia
menuju ke mesin penjual otomatis terdekat dan memasukkan beberapa koin.
“Minumlah
ini. Pastikan untuk membicarakannya dengan baik-baik,
dan berhati-hatilah agar tidak masuk angin. Jangan melakukan hal konyol yang membuat kalian berdua
harus membolos pada hari pertama di sekolah.”
Mengetahui
ini akan menjadi pembicaraan yang panjang— tidak diragukan lagi —Amane
melemparkan dua kaleng coklat hangat ke tangan mereka dan mulai berjalan pergi,
meninggalkan mereka untuk menyelesaikan masalah mereka.
“…Terima
kasih.”
Tanpa
menoleh, Amane melambaikan tangan ke arah suara yang memanggilnya. Ia mendengar Itsuki
menggerutu, “Berusaha
bersikap keren, ya? Dasar bodoh,”
meskipun kali ini nadanya terdengar lebih ringan. Sembari tertawa terbahak-bahak, Amane
mempercepat langkahnya dan meninggalkan taman.
✧ ₊
✦
₊ ✧
“Aku
melihat mereka berdua sudah berubah.”
Sekarang sudah memasuki hari pertama di sekolah, dan meskipun jam pelajaran sudah dimulai, baik
Itsuki maupun Chitose tidak mengeluh seperti biasanya. Mereka bersemangat
mengikuti pelajaran, yang membuat Yuuta—yang tidak menyadari keadaan yang
terjadi—benar-benar bingung.
Bahkan
saat istirahat makan siang, keduanya langsung asyik membaca buku pelajaran
setelah menghabiskan makanan mereka dengan cepat, sambil fokus belajar. Bahkan
Mahiru, yang menyadari keadaan tersebut, merasa keheranan
sekaligus terkesan dengan perubahan mendadak dalam perilaku mereka.
“Aku
setuju… Tapi dalam artian yang
baik. Itu lebih baik daripada memendam semuanya.”
Setidaknya, Amane bisa dengan yakin
mengatakan bahwa mereka berada di tempat yang jauh lebih baik sekarang daripada
saat mereka memendam semuanya.
“Tepat
sekali,” Mahiru setuju. “Itu juga bermanfaat untuk masa
depan mereka. Sebagai pengajar, aku dapat mengatakan bahwa memiliki pola pikir
positif membuat pembelajaran menjadi lebih mudah.”
“Kedengarannya
kamu bersenang-senang.”
“Tidak
juga, tapi aku senang Chitose-san telah menemukan tujuannya... Kita takkan
benar-benar belajar sesuatu jika kita belajar dengan setengah hati. Dan sebagai
teman mereka, aku merasa
bisa lebih bahagia jika aku bisa membantu mereka tumbuh lebih dekat.”
Mahiru
mungkin paling diandalkan
dalam hal belajar, tapi tampaknya hal itu tidak menjadi masalah baginya.
Senyumnya yang lembut menunjukkan bahwa dia
benar-benar senang bisa
membantu.
Amane
tidak dapat menahan senyumnya sendiri. Mereka beruntung
sekali karena memiliki
teman baik seperti Mahiru, pikirnya.
Mereka
melihat Itsuki dan Chitose duduk di meja mereka dengan ceria seperti biasa,
fokus pada pelajaran mereka. Sesekali, Chitose akan menatap buku pelajarannya
dengan ekspresi frustrasi seolah-olah dia tidak bisa memahami sesuatu. Meski ia tahu rasanya tidak
sopan untuk menertawakannya, tetapi Amane tidak bisa menahan
diri untuk menganggapnya sedikit lucu.
“Sepertinya
kita harus menggunakan cara yang sederhana jika mereka serius ingin mengimbangi
kita,” komentar Amane.
“Jangan
khawatir, aku tidak akan bersikap lembut
pada mereka,” Mahiru menegaskan.
“…Ya, aku
tidak terlalu khawatir tentang itu. Yang kukhawatirkan hanyalah apa Chitose bisa menangani
semuanya.”
Ketika
Mahiru mengatakan dia tidak akan bersikap lembut,
dia benar-benar bermaksud demikian.
Begitu dia bertekad untuk mengajar, dia akan membimbing mereka melalui
langkah-langkah dengan senyum percaya diri. Sementara dia akan menyesuaikan
kecepatan tergantung pada kondisi mental atau fisik mereka, Mahiru memiliki
cara untuk menggunakan senyumnya seperti wortel dan tongkat, memberikan tekanan
yang tepat hingga mereka mencapai tujuan mereka. Dia tahu itu untuk keuntungan
mereka, dan karena alasan itu, dia tidak menahan diri.
Mengingat
pengetahuan dasar Chitose saat ini, Amane masih khawatir apakah dia akan mampu
menghadapi pengajaran ketat Mahiru. Lagipula, Amane
tahu seperti apa nilai-nilainya. Di
sisi lain, Mahiru terlihat
tidak khawatir sama sekali.
Dia menatap Chitose dengan mata penuh percaya diri.
“Aku
yakin dia akan baik-baik saja. Chitose-san sebenarnya punya pemikiran yang jernih. Masalahnya, dia tidak bisa menyalurkan
motivasinya dengan baik sebelumnya, tapi sekarang, aku rasa kita tidak perlu
khawatir tentang itu.”
“Berarti
kita takkan punya momen 'Mahiruuun!
Tolong aku!' lagi, ya?”
“Tidak,
aku tidak akan mengatakan itu…”
“Mahiruuun!
Tolong aku!”
Begitu
Mahiru ragu-ragu untuk menyelesaikan kalimatnya, teriakan minta tolong—lebih tepatnya seperti rengekan—terdengar
dari tempat duduk Chitose. Dengan senyum lembut dan canggung, Mahiru berdiri dan
berkata, “…Itu cerita yang berbeda sama sekali,” jelas senang karena bisa diandalkan.
“Yah,
sepertinya dia tidak akan mempelajari
semuanya dengan segera.”
“Tepat
sekali, ini semua tentang kedisiplinan.”
Membayangkan
jika seseorang bisa
menguasai banyak hal hanya dengan sedikit usaha. Hidup akan jauh lebih mudah,
pikir Amane. Namun, ia mengagumi tekad mereka, dan karena ia tidak berniat
menghindar dari membantu mereka, ia pun menghampiri mereka.
Sebelumnya | Daftar isi | Selanjutnya