Otonari no Tenshi-sama Jilid 10 Bab 8 Bahasa Indonesia

 Chapter 8

 

Hampir tiga hari setelah Tahun Baru, Amane mendapat pesan dari Itsuki.

Amane menghabiskan malam tahun baru dengan santai bersama Mahiru. Mereka telah pergi untuk kunjungan kuil pertama mereka tahun ini, menikmati liburan yang tenang dan santai.

Selama waktu itu, Amane tidak mendengar sepatah kata pun dari Itsuki, yang agak mengkhawatirkan. Ketika nama Itsuki tiba-tiba muncul di notifikasinya, Amane menyadari betapa hal itu membuatnya khawatir.

Setelah membaca pesan itu dengan saksama— Bisakah kita bertemu sekarang? —Amane tidak membuang waktu untuk membalas dengan konfirmasi yang cepat dan bersemangat.

Setelah memberi tahu Mahiru yang sedang belajar bersamanya di ruang tamu bahwa dirinya akan keluar, Amane mengirim pesan singkat lagi dan berjalan menuju taman tempat mereka sepakat untuk bertemu. Udara musim dingin yang dingin membelai pipinya, tapi Amane tidak menghiraukannya saat berjalan menyusuri jalanan yang sepi. Itsuki telah menyebutkan bahwa dirinya sedang berada di suatu tempat di dekat sini, jadi tidak akan butuh waktu lama baginya untuk tiba. Amane sengaja memperhatikan langkahnya, dan ternyata, mereka sampai di taman pada waktu yang sama.

Hari ini, Itsuki bersiap menghadapi cuaca dingin. Berbalut mantel tebal, syal, dan bahkan penutup telinga, pakaiannya akan memuaskan bahkan orang yang paling sensitif sekalipun. Amane merasa lega karena ia tidak terserang flu akibat insiden pada Malam Tahun Baru. Itsuki menyambut Amane dengan senyum riang khasnya.

“Selamat Tahun Baru,” sapa Amane.

“Selamat Tahun Baru. Mari kita rayakan tahun baru yang lebih baik. Oh, ini—mantel dan syalmu. Terima kasih telah mengizinkanku memakainya. Tanpa ini, aku pasti akan masuk angin.”

Sekilas, Itsuki tampak seperti dirinya yang biasa. Di dalam kantong kertas yang diserahkannya, mantel dan syal terlipat rapi, dan di atasnya ada sekotak camilan yang tampak agak mahal—mungkin sebagai ucapan terima kasih. Amane tidak bisa menahan senyum melihat perhatian Itsuki.

“Kamu tidak perlu khawatir tentang itu, lho. Aku memilih untuk meminjamkannya padamu.

“Ayahku selalu berkata, 'Jika kamu meminjam sesuatu, kembalikan dengan lebih sepadan,' jadi beginilah keadaannya. Menurutnya siapa yang menjadi alasan aku harus meminjam barang-barangmu? …Lagi pula, tidak ada gunanya membuang-buang napas untuk mengeluh.”

Meskipun Itsuki berbicara dengan nada meremehkan, tidak ada nada getir yang kentara dalam suaranya. Ia jauh lebih tenang sejak terakhir kali mereka bertemu, yang menenangkan Amane karena ia sudah lama tidak mendengar kabar darinya.

“Oh, dan kamu bisa membagikan cemilan itu dengan Shiina-san. Terima kasih telah membantuku di Malam Tahun Baru.”

“Aku sendiri tidak melakukan banyak hal.”

“Kamu selalu mengatakan itu… Idealnya, aku juga ingin memberikannya kepada Shuuto-san, karena ia banyak membantuku, tapi aku tidak tahu alamatnya. Dan memintamu untuk mengirimkannya begitu saja terasa sangat tidak sopan, tahu?”

“Ayah hanya akan mengatakan sesuatu seperti, 'Aku tidak melakukan sesuatu yang istimewa, jadi jangan khawatir.'”

“Hahaha, aku yakin begitu. Ayah dan anak sama saja.”

“Maksudku, aku sebenarnya tidak melakukan apa pun saat itu.”

Lagi pula, orang yang mendengarkan keluh kesah Itsuki dan menenangkan pikirannya adalah Shuuto.

Karena tidak ada alasan bagi Amane untuk berterima kasih, ia pun berusaha untuk menolaknya. Sebagai tanggapan, Itsuki membalasnya dengan ucapan yang sangat familiar, Lihat, itu yang kumaksud, sebuah jawaban yang sering ia dengar akhir-akhir ini. Ketika Amane mengerutkan kening mendengarnya, Itsuki hanya tertawa.

Tawa kecil Itsuki yang santai, tanpa ejekan, meluluhkan Amane, yang mendapati dirinya menatap temannya. Keadaan Itsuki tampak seperti seolah-olah beban berat telah terangkat dari pundaknya dan tersenyum riang. Melihat keadaan temannya, Amane merasa tenang. Apa pun yang dikhawatirkannya tampaknya tidak berdasar, dan kekhawatiran yang diam-diam ia pendam dalam-dalam di hatinya mulai mencair.

Amane berjalan di samping Itsuki, yang suasana hatinya tenang bahkan terlihat olehnya, dan mereka berdua duduk di bangku kosong. Mengingat dinginnya musim dingin, tidak ada seorang pun yang berpikir untuk datang ke taman. Biasanya, selalu ada banyak anak-anak yang bermain di taman tersebut, tetapi hari ini, suasananya sangat sunyi—hanya dengungan pesawat terbang di kejauhan dan desiran angin lembut melalui pepohonan yang memecah keheningan.

“Apa ada masalah yang terjadi?”

Amane ragu-ragu. Ia tidak yakin apa itu pertanyaan yang tepat, tetapi ia merasa bahwa Itsuki telah menunggunya untuk menanyakannya. Jadi, setelah sekitar sepuluh menit keheningan di antara mereka, Amane memecah keheningan dengan menanyakan pertanyaan yang sama persis, berusaha menjaga nada bicaranya tetap santai.

Itsuki mengangkat bahu santai dan tersenyum, “Yah, kurasa bisa dibilang masalahnya dimulai saat aku keluar dari rumah tempo hari.”

“Yah, kurasa itu masuk akal… Jadi, apa ada sesuatu yang berubah?”

“Yah…ya dan tidak. Kakak dan ayahku masih dalam perang dingin, dan aku agak dibiarkan sendiri. Ibuku masih tidak ikut campur seperti biasa, lebih banyak mengambil sikap 'berdebatlah sepuasnya'. Jadi, ya. Keluargaku benar-benar individualis, paling tidak begitu.”

Meskipun nada getir samar kembali terdengar dalam suaranya saat ia mengenang keluarganya, suaranya tidak mengandung keputusasaan dingin yang mencengkeramnya pada Malam Tahun Baru.

“Kamu tahu, jadi…”

“Hm?”

Itu yang selalu ada di pikiranku sejak saat itu. Shuuto-san berkata bahwa jika aku ingin ayahku mendengarkan, aku harus berusaha membuatnya duduk berdiskusi dan mendengarkanku, kan?

Ya, ia memang bilang begitu.

Maksudku, tentu saja tidak ada yang akan duduk untuk berbicara serius jika kamu tidak menyiapkan panggung untuk itu. Aku merajuk saat itu, tapi... orang yang pertama menolak untuk berbicara dengan baik adalah diriku sendiri.

Itsuki bersandar di bangku. Suaranya bergetar karena perasaan nostalgia dan penyesalan saat ia menggumamkan kata-kata itu. Sembari mendongakkan kepalanya ke atas langit, ia memejamkan mata.

“Kamu tahu bagaimana aku selalu memberontak terhadap ayahku?

Ya.

Aku berselisih dengan ayahku karena ia tidak bisa menerima perubahan yang aku alami. Kemudian, dengan adanya Chi, ayahku sama sekali tidak memercayaiku lagi, yang mana itu membuatku semakin memberontak. Sejak saat itu, semuanya menjadi lingkaran setan… Sejujurnya, tidak mengherankan ia menjadi begitu terlibat. Sampai aku bertemu Chi, aku adalah orang yang pendiam, serius, dan penuruttipe anak teladan. Aku tidak pernah menjadi anak nakal yang suka menyeringai dan membuat keputusan yang ceroboh. Dari sudut pandang ayahku, aku punya pacar dan tiba-tiba berubah menjadi pria yang dangkal, tidak bertanggung jawab, dan sembrono.”

“Kamu benar-benar menyebut dirimu sembrono?” Amane menangkap maksud perkataannya.

“Diamlah, kita berdua tahu itu benar.”

Amane sengaja menggodanya, dan Itsuki menanggapinya seperti biasa. Keakraban dalam percakapan mereka meredakan kekhawatiran Amane.

“Ketika anakmu yang selama ini pendiam dan serius mendadak berubah total dalam kepribadiannya, mendapat masalah karena seorang gadis, berakhir dengan cedera yang lumayan, dan kemudian pihak sekolah memanggilmu…ya, sebagai orang tua, tentu saja kamu akan merasa malu. Seharusnya tidak mengherankan bahwa ayahku merasa khawatir tentang siapa yang dikencani putranya. Aku dapat mengerti mengapa ia berpikir aku terjebak dengan gadis yang salah. Dia tidak tahu bahwa akulah yang menyarankan agar Chi dan aku berubah bersama.”

Itsuki menurunkan tangannya yang terangkat, memejamkan matanya dengan lengannya. Untuk menghalangi pandangannya atau berkonsentrasi pada pikirannya.

“Aku memusuhi Ayahku karena ia bersikap keras kepala dalam menilaiku, tetapi jika kamu benar-benar menelusurinya, semuanya bermula dari diriku. Dengan semua yang telah terjadi dengan kakak laki-lakiku, waktu yang kupilih tidak akan lebih buruk. Jika aku setidaknya menjaga reputasiku di sekolah, kurasa setidaknya Ayahku akan lebih bersedia mendengarkanku.”

Saat Itsuki berbicara sedikit demi sedikit, Amane merasakan sedikit penyesalan dalam suaranya. Ia bisa memahami dengan jelas bahwa apa yang telah terjadi tidak dapat diperbaiki. Namun, suaranya mengandung kekuatan tertentu. Ia bertekad untuk melihat ke depan daripada berkutat pada masa lalu.

“Aku tahu itu. Aku sudah tahu sejak lama, tapi akulah yang mengabaikannya. Akulah yang mengambil jalan keluar yang lebih mudah... Akulah penyebab kekacauan ini.”

Itsuki dengan perlahan-lahan menurunkan lengan yang menutupi wajahnya. Dari dalam matanya yang kini terbuka, cahaya terang bersinar terang. Dipenuhi dengan kekuatan yang begitu dahsyat hingga membuat Amane tercengang, tatapannya memancarkan tekad yang tak tergoyahkan. Setelah merenungkan penyesalannya di masa lalu, pandangan mata Itsuki yang tenang dan tak tergoyahkan, menatap tajam ke arah Amane. Ia telah menemukan kejelasan dan keyakinan dalam langkah selanjutnya. Amane tidak perlu khawatir lagi.

Karena itulah, demi memastikan ia mengakuiku dengan baik, aku akan berusaha untuk terus mengulurkan tanganku mulai sekarang, Itsuki menyatakan dengan sungguh-sungguh sambil tersenyum.

Sebagai jawaban, Amane mengangguk tanpa suara.

“Aku tidak berencana untuk menjadi anak yang sempurna seperti yang diinginkan ayahku, tetapi aku mengerti sekarang. Ia tidak mau mendengarkan jika aku hanya bersikeras melakukan ini atau menuntut itu tanpa menangani tanggung jawabku yang lain. Jadi sekarang, aku akan berusaha untuk mendapatkan semuanya kembali—dimulai dengan kepercayaan… Aku tahu ini sudah terlambat, tapi lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali.”

“Begitu ya. Aku tidak bisa berbuat banyak selain menyemangatimu, tapi aku akan mengawasimu.”

Kini, setelah melihat tekad Itsuki, Amane tahu bahwa yang paling bisa ia lakukan adalah memahami usaha sahabatnya dan mengulurkan tangan saat dibutuhkan. Itsuki mengerti bahwa ia harus mencapai ini dengan kekuatannya sendiri lebih dari siapapun. Itulah sebabnya Amane memutuskan untuk tidak ikut campur secara tidak perlu, dan memilih untuk mengawasi Itsuki saat ia menghadapi tantangannya secara langsung.

Sesekali, tingkatkan sedikit tekanan. Katakan saja, 'Hei! Ayo, lebih bersemangat!' atau semacamnya. Aku memang pemalas, lho, Itsuki mengakui.

“Jika segala sesuatunya tidak berjalan baik, aku akan menendangmu kembali agar patuh.”

“Hei, apa? Tidak ada dorongan lembut?”

“Oh? Jadi itu yang kamu inginkan?” Amane menyeringai.

Itsuki mengalihkan pandangannya dengan ekspresi agak canggung. Karena ia mengenalnya dengan baik, Amane dapat dengan cepat mengetahui bahwa dirinya hanya malu.

“…Lakukan apa yang kamu inginkan.”

“Aku akan melakukannya. Dan kamu harus melakukan apa pun yang menurutmu benar.”

Ya. Aku akan berusaha sebaik mungkin.

Itsuki pasti merasa malu dengan dukungan Amane, karena pipinya berkedut kaku. Ia mengangguk, masih merasa sedikit canggung. Amane diam-diam senang karena Itsuki sudah tenang dan menyusun rencana untuk masa depan. Sambil melirik ponselnya, ia melihat ada satu stiker yang terkirim di obrolan yang dibukanya.

“Apa yang akan kamu katakan pada Chitose?”

Amane diam-diam memeriksa riwayat pesannya dengan cara yang tidak dapat dilihat Itsuki, lalu mematikan layarnya sambil mengajukan pertanyaan lain. Wajah Itsuki langsung menegang, dan ketidaknyamanannya terlihat jelas.

“…Akulah yang memulai ini, jadi aku tidak seharusnya melibatkan Chi. Aku tahu itu, tetapi…aku ingin bersamanya di masa depan, jadi aku ingin menghadapi ini bersamanya jika dia bersedia. Tetapi jika dia mengatakan ini terlalu berat baginya, aku akan menanganinya sendiri.”

Hanya mendengar bahwa ia tidak berniat meninggalkannya, apa pun yang terjadi, itu saja sudah cukup.

“Chitose pasti akan mendukungmu. Dia tidak akan menyerah padamu.”

“Bagaimana kamu bisa begitu yakin?”

“—Iya ‘kan, Chitose?”

Seharusnya sudah waktunya. Saat Amane memanggil tanpa menoleh, langkah kaki mendekat dari belakang. Sebuah bayangan jatuh di atas Itsuki, lalu sepasang tangan pucat muncul sedikit di samping Amane, yang kemudian mencengkeram bahu Itsuki dengan kuat.

“Dasar Ikkun bodoh!”

“Wah!?”

Orang yang mengguncang bahu Itsuki dengan keras adalah Chitose, orang yang paling terlibat namun tidak diberi tahu apa-apa.

Saat Itsuki menghubunginya, Amane mengirim pesan kepada Chitose, membocorkan tempat pertemuan mereka kepadanya. Sejujurnya, itu adalah pertaruhan. Amane tidak yakin apakah membiarkan Chitose melihat kelemahan dan rasa bersalah Itsuki pada akhirnya akan baik untuknya.

Sebagian dirinya merasa ragu-ragu, bertanya-tanya apa pilihannya sudah benar untuk berbagi apa yang Itsuki ceritakan kepada Chitose. Itu bisa menjadi bumerang, bahkan mungkin menyebabkan Chitose dan Itsuki berselisih. Namun terlepas dari risikonya, Amane yakin mereka berdua perlu berbicara jujur. Ia tidak ingin Itsuki berpura-pura dan menanggung semuanya sendiri lagi, ia juga tidak ingin Chitose dibiarkan sendiri tanpa mengetahui apa-apa, dilindungi tetapi diliputi kekhawatiran. Apapun yang perlu mereka hadapi, mereka harus hadapi bersama—tidak dengan salah satu dari mereka yang berani maju sendirian.

Sementara Itsuki berdiri terpaku karena terkejut dengan kedatangannya yang tak terduga, Chitose—wajahnya memerah karena berlari atau marah—melotot tajam ke arahnya, sambil terus mengguncang bahunya.

“Dan aku juga idiot! Aku juga bersalah, tapi aku hanya berdiri di sana dan mengeluh tentang segalanya sementara kau menghadapinya sendiri! Itu salahku, tapi tetap saja! Idiot! Dasar idiot! Dasar idiotttttttt!”

“Apa? Tunggu— Chi, tidak, aku—”

“Masalahnya dimulai karena Daiki-san tidak menyetujuiku, namun kamu menghadapi semua akibatnya!”

“Ti-Tidak, Chi, itu sama sekali bukan salahmu!”

“Ya, benar! Akui saja bahwa aku juga bersalah! Aku yang memulai semua ini!”

Sesama spesies, huh, pikir Amane. Mereka berdua bersikeras bahwa merekalah yang salah. Kemudian, Amane berdiri, siap menyerahkan kursinya kepada orang yang benar-benar pantas berada di sisi Itsuki.

“Pokoknya, aku akan membicarkan kalian berdua untuk membicarakan masalah ini,” kata Amane. “Aku bukan orang yang bisa diajak bicara, tapi kalian mencoba melakukan terlalu banyak hal sendirian. Kalian sudah sangat pandai berpura-pura semuanya terkendali sehingga kalian pikir tidak akan ada yang memperhatikan. Apesnya—sekarang rahasianya sudah terbongkar.”

“Kamulah yang membongkarnya!”

Dan kamulah yang mencoba memutuskan segalanya sendiri, padahal itu bukan hanya masalahmu. Coba tempatkan dirimu di posisiku, melihat keadaan Chitose yang semakin khawatir.

Sifat Itsuki yang suka merahasiakan sesuatu tidak menguntungkannya. Dengan Chitose yang sudah cemas terhadap Daiki, menyembunyikan sesuatu darinya hanya akan memperburuk keadaan, dan Itsuki tidak cukup bodoh untuk tidak menyadarinya.

Jika Itsuki benar-benar bertekad untuk menyelesaikan masalah, akan lebih mudah baginya jika ia terus memberitahu pasangannya. Itulah yang diyakini Amane.

Mungkin itu bukan urusan Amane, tetapi kali ini, ia juga bertindak atas permintaan Mahiru. Mahiru menyebutkan bahwa Chitose merasa tidak nyaman karena Itsuki tidak membalas pesannya, jadi Amane memutuskan bahwa yang terbaik adalah segera menyelesaikan kesalahpahaman dan menenangkannya. Paling tidak, Chitose senang berada di sini.

Melihat air mata samar mengalir di mata Chitose, Amane segera mengalihkan pandangannya, berusaha sebisa mungkin untuk tidak melihat wajah gadis itu yang menangis. Ia menuju ke mesin penjual otomatis terdekat dan memasukkan beberapa koin.

“Minumlah ini. Pastikan untuk membicarakannya dengan baik-baik, dan berhati-hatilah agar tidak masuk angin. Jangan melakukan hal konyol yang membuat kalian berdua harus membolos pada hari pertama di sekolah.”

Mengetahui ini akan menjadi pembicaraan yang panjang— tidak diragukan lagi —Amane melemparkan dua kaleng coklat hangat ke tangan mereka dan mulai berjalan pergi, meninggalkan mereka untuk menyelesaikan masalah mereka.

…Terima kasih.

Tanpa menoleh, Amane melambaikan tangan ke arah suara yang memanggilnya. Ia mendengar Itsuki menggerutu, Berusaha bersikap keren, ya? Dasar bodoh, meskipun kali ini nadanya terdengar lebih ringan. Sembari tertawa terbahak-bahak, Amane mempercepat langkahnya dan meninggalkan taman.

 

 

“Aku melihat mereka berdua sudah berubah.”

Sekarang sudah memasuki hari pertama di sekolah, dan meskipun jam pelajaran sudah dimulai, baik Itsuki maupun Chitose tidak mengeluh seperti biasanya. Mereka bersemangat mengikuti pelajaran, yang membuat Yuuta—yang tidak menyadari keadaan yang terjadi—benar-benar bingung.

Bahkan saat istirahat makan siang, keduanya langsung asyik membaca buku pelajaran setelah menghabiskan makanan mereka dengan cepat, sambil fokus belajar. Bahkan Mahiru, yang menyadari keadaan tersebut, merasa keheranan sekaligus terkesan dengan perubahan mendadak dalam perilaku mereka.

“Aku setuju… Tapi dalam artian yang baik. Itu lebih baik daripada memendam semuanya.”

Setidaknya, Amane bisa dengan yakin mengatakan bahwa mereka berada di tempat yang jauh lebih baik sekarang daripada saat mereka memendam semuanya.

Tepat sekali, Mahiru setuju. Itu juga bermanfaat untuk masa depan mereka. Sebagai pengajar, aku dapat mengatakan bahwa memiliki pola pikir positif membuat pembelajaran menjadi lebih mudah.

“Kedengarannya kamu bersenang-senang.

Tidak juga, tapi aku senang Chitose-san telah menemukan tujuannya... Kita takkan benar-benar belajar sesuatu jika kita belajar dengan setengah hati. Dan sebagai teman mereka, aku merasa bisa lebih bahagia jika aku bisa membantu mereka tumbuh lebih dekat.

Mahiru mungkin paling diandalkan dalam hal belajar, tapi tampaknya hal itu tidak menjadi masalah baginya. Senyumnya yang lembut menunjukkan bahwa dia benar-benar senang bisa membantu.

Amane tidak dapat menahan senyumnya sendiri. Mereka beruntung sekali karena memiliki teman baik seperti Mahiru, pikirnya.

Mereka melihat Itsuki dan Chitose duduk di meja mereka dengan ceria seperti biasa, fokus pada pelajaran mereka. Sesekali, Chitose akan menatap buku pelajarannya dengan ekspresi frustrasi seolah-olah dia tidak bisa memahami sesuatu. Meski ia tahu rasanya tidak sopan untuk menertawakannya, tetapi Amane tidak bisa menahan diri untuk menganggapnya sedikit lucu.

“Sepertinya kita harus menggunakan cara yang sederhana jika mereka serius ingin mengimbangi kita,” komentar Amane.

“Jangan khawatir, aku tidak akan bersikap lembut pada mereka,” Mahiru menegaskan.

“…Ya, aku tidak terlalu khawatir tentang itu. Yang kukhawatirkan hanyalah apa Chitose bisa menangani semuanya.”

Ketika Mahiru mengatakan dia tidak akan bersikap lembut, dia benar-benar bermaksud demikian. Begitu dia bertekad untuk mengajar, dia akan membimbing mereka melalui langkah-langkah dengan senyum percaya diri. Sementara dia akan menyesuaikan kecepatan tergantung pada kondisi mental atau fisik mereka, Mahiru memiliki cara untuk menggunakan senyumnya seperti wortel dan tongkat, memberikan tekanan yang tepat hingga mereka mencapai tujuan mereka. Dia tahu itu untuk keuntungan mereka, dan karena alasan itu, dia tidak menahan diri.

Mengingat pengetahuan dasar Chitose saat ini, Amane masih khawatir apakah dia akan mampu menghadapi pengajaran ketat Mahiru. Lagipula, Amane tahu seperti apa nilai-nilainya. Di sisi lain, Mahiru terlihat tidak khawatir sama sekali. Dia menatap Chitose dengan mata penuh percaya diri.

“Aku yakin dia akan baik-baik saja. Chitose-san sebenarnya punya pemikiran yang jernih. Masalahnya, dia tidak bisa menyalurkan motivasinya dengan baik sebelumnya, tapi sekarang, aku rasa kita tidak perlu khawatir tentang itu.”

“Berarti kita takkan punya momen 'Mahiruuun! Tolong aku!' lagi, ya?”

“Tidak, aku tidak akan mengatakan itu…”

“Mahiruuun! Tolong aku!”

Begitu Mahiru ragu-ragu untuk menyelesaikan kalimatnya, teriakan minta tolong—lebih tepatnya seperti rengekan—terdengar dari tempat duduk Chitose. Dengan senyum lembut dan canggung, Mahiru berdiri dan berkata, “…Itu cerita yang berbeda sama sekali,” jelas senang karena bisa diandalkan.

“Yah, sepertinya dia tidak akan mempelajari semuanya dengan segera.”

“Tepat sekali, ini semua tentang kedisiplinan.”

Membayangkan jika seseorang bisa menguasai banyak hal hanya dengan sedikit usaha. Hidup akan jauh lebih mudah, pikir Amane. Namun, ia mengagumi tekad mereka, dan karena ia tidak berniat menghindar dari membantu mereka, ia pun menghampiri mereka.

 

 

 

Sebelumnya  |  Daftar isi  |  Selanjutnya

close

Posting Komentar

Budayakan berkomentar supaya yang ngerjain project-nya tambah semangat

Lebih baru Lebih lama