Chapter 2
Sekarang
waktunya sudah memasuki akhir bulan April, dan akhirnya perabotan sudah
lengkap dan barang-barang telah tertata, sehingga kehidupan mulai terasa
teratur.
“Selamat
datang kembali, Ryuuto♡”
Ketika aku
pulang ke rumah setelah selesai bekerja di departemen editorial, Luna datang
menyambutku di depan pintu.
“Aku pulang……!”
Sambil menjawab, aku tidak bisa menahan senyum melihat penampilannya yang mengenakan pakaian rumah. Dia mengenakan setelan hoodie dan celana pendek dengan bahan berbulu berwarna pastel pink dan putih bergaris.
Aku
pernah melihatnya mengenakan pakaian rumah yang serupa sejak masa SMA, tetapi
kebanyakan saat itu aku melihatnya melalui
video call, jadi melihatnya secara langsung di depanku rasanya cukup mengejutkan.
Seperti
biasa, ritsleting di bagian dadanya
terbuka cukup lebar, dan
kaki putihnya yang panjang dan montok
yang terlihat dari celana pendek membuatku merasa bingung harus melihat ke
mana.
“Coba tebak,
apa menu makan malam
kita hari ini!?”
Dia
bertanya dengan menunduk dan tatapan mengharapkan, membuatku terkejut dan
berpikir.
“Ehmm……
sepertinya ada bau sup miso, ya?”
“Apa
kamu tahu sup miso yang
mana?”
“Eh—...?”
“Kalau
kamu bisa menebaknya dengan benar,
aku akan memberimu hadiah♡"
“Eh,
hadiah!? Hadiah apaan?”
“Kamu
boleh menentukannya, Ryuuto! Aku akan melakukan
apapun yang kamu suka♡”
Ucapnya
sambil mendongak ke arahku dengan
tatapan mengharapkan sekali lagi, keinginanku terpancing sehingga aku merasa ingin memeluknya
saat ini juga.
“Tunggu,
kalau begitu aku harus berpikir
serius……!”
Aku
mengerutkan hidungku.
Sepertinya
jika ada kepiting atau kerang, pasti
ada aroma khas yang ditambahkan, tetapi selain itu, rasa miso terlalu kuat,
jadi jujur saja aku tidak tahu.
Aku
mencoba mengandalkan petunjuk lain, memikirkan menu makan malam Luna
terbaru.
Setelah
kekacauan pindahan mereda, Luna mulai memasak dengan baik sejak dua hari yang
lalu. Sup miso saat itu terdiri dari tahu dan rumput laut, dan
kemarin ada kentang dan bawang. Jadi, hari ini……?
“Umm……
nameko?”
Itu
benar-benar tebakan sembarangan, tetapi aku menjawab dari bahan yang umum. Luna terkejut sejenak sebelum
tersenyum kecewa.
“Sayang
sekali! Itu memang jamur, tapi itu maitake!”
“Begitu
ya.”
Ini jelas
tebakan yang tidak akan berhasil.
“Kalau
begitu, kesempatan kedua! Apa lauk utama kita?”
“Eh?
Umm……”
Aku
sekali lagi mengarahkan hidungku ke arah dapur, dan di antara aroma miso sup,
ada aroma samar seperti kecap yang terbakar.
“……Ayam
teriyaki?”
Ketika
aku menyebutkan apa yang pertama kali terlintas, Luna mengeluarkan suara “ah”
sambil tersenyum canggung.
“Sayang
sekali! Itu daging babi jahe goreng!”
“Ah—!”
Sepertinya
jika aku berusaha lebih keras, aku bisa menebaknya. Seharusnya aku berpikir
sedikit lebih baik.
“Sayang
sekali! Hadiahnya harus ditunda dulu—!”
“Kalau
begitu, makanan pokok! Aku pasti akan menebaknya!”
“Enggak
boleh—! Sudah jelas itu nasi!”
Sambil
tertawa dengan hal-hal seperti itu, kami menikmati makan malam.
“Selamat
makan!”
Luna dan
aku saling menyatukan tangan masing-masing dan mengucapkan
doa serentak, lalu mengambil sumpit.
Meja
makan di rumah ini hanyalah ukuran
kecil untuk dua orang yang dibeli dari IKEA. Meskipun bisa digunakan untuk satu
orang, tetapi sangat pas untuk kami berdua duduk berhadapan dan menikmati
makanan secara nyaman.
“Eh,
gimana nih! Jahe
goreng ini rasanya sangat kuat! Gawat!”
Saat aku
sedang mencicipi sup miso, Luna yang sudah
makan jahe goreng mengeluarkan suara panik.
“Aku
sudah mengikuti resep dengan baik, tapi mungkin aku salah takaran?"
Sambil
berkata begitu, Luna mengambil ponsel yang diletakkan di meja dan
memeriksanya.
“Ah,
ini resep untuk empat porsi! Aku salah ambil yang untuk dua porsi~!”
Jadi,
ternyata dia menggunakan bahan bumbu dua kali lipat dari jumlah daging,
sehingga rasanya menjadi terlalu kuat. Setelah
mencobanya, memang benar seperti yang dikatakan Luna.
“Bagaimana?
Ryuuto, kamu baik-baik saja? Kalau tidak bisa
dimakan, kamu boleh meninggalkannya, oke?”
“Aku baik-baik
saja, kok. Rasanya mirip seperti makanan pendamping untuk minuman sake, jadi sepertinya nasinya akan kurang.”
Sambil
tersenyum canggung, Luna membuka matanya lebar.
“Begitu
ya! Jadi kita bisa makan sambil minum alkohol! Kalau begitu, boleh aku minum
sedikit?”
Dengan
berkata begitu, Luna menuju ke kulkas di dapur.
“Kamu
juga mau minum, Ryuuto?”
Ketika Luna berbalik sambil memegang
sekaleng lemon sour, aku tidak bisa menahan senyum karena merasa kalau kami mirip seperti
pengantin baru.
“Ya,
kalau begitu, aku mau meminumnya sekaleng.”
Kami
berdua kemudian menggabungkan kaleng lemon sour.
“Bersulang!”
“Bersulang”
Luna yang bertingkah ceria, dan aku yang sedikit canggung. Berkat rasa lemon sour, daging jahe goreng itu
berhasil masuk dengan baik ke dalam perutku
dan Luna.
“……Aku
jadi sedikit mabuk.”
Sambil
menggosok giginya setelah makan malam, Luna
menyandarkan kepalanya di bahuku.
“Ryuuto……♡”
Dia
memanggilku dengan suara manjanya
yang seksi sehingga membuat hatiku
berdebar.
“Kamu mau
apa sebagai hadiahnya?”
Saat dia
berbisik manis di
telingaku, aku menjawab, “Eh?” sambil melihat Luna.
“Kupikir aku jadi tidak dapat hadiah karena
aku salah menebak menu makan malam?”
Luna
menatapku dengan wajahnya yang sedikit kemerahan karena setengah mabuk, matanya
tampak kosong.
“Baiklah,
khusus untukmu, aku akan menurutinya~♡”
Jantungku mulai berdebar kencang, tetapi
pikiranku berusaha tetap tenang.
“Ehmm,
jadi……”
Aku membisikkan harapanku di
telinga Luna.
"……Dasar Ryuuto mesum♡”
Ketika
aku memalingkan wajahku, Luna memandangku dengan
pipi merah.
“……Tidak
boleh?”
Ketika
aku bertanya padanya, Luna
tersenyum manis dan memelukku.
“Boleh saja kok~♡”
Aku
memeluk tubuhnya yang sedikit memerah, dan kami berdua menuju ke kamar tidur
dengan mesra.
◇◇◇◇
Ketika
aku terbangun, Luna sedang tidur
di sampingku.
Wajahnya
yang disinari cahaya pagi yang lembut
dari celah tirai terlihat damai menghadap ke langit. Selimut yang menutupi
hingga dadanya bergerak naik turun dengan tenang.
Aku sudah
cukup terbiasa melihat wajahnya tanpa makeup yang tetap terlihat sedikit muda
dan imut. Aku merasa dia tidak perlu berdandan, karena aku menyukai Luna yang
apa adanya seperti ini.
Sementara
menunggu waktu alarm yang dipasang Luna berbunyi,
aku menikmati momen melihat ekspresi
tidurnya. Mungkin karena itu, aku
terbiasa bangun sedikit lebih awal dari waktu bangunnya.
Ketika
aku terjaga, mataku langsung bertemu dengan matanya, dan saat melihat mata
besar Luna, aku merasa malu dan tidak bisa menatapnya dengan leluasa.
Bagi pria
sepertiku, waktu ketika dia tidur adalah waktu yang sangat berharga untuk
mengingat setiap detail penampilannya.
Tiba-tiba,
bulu matanya bergetar kecil, dan kedua matanya terbuka sedikit.
“Ryuuto…?”
Tatapan
lembabnya yang seakan menyimpan embun pagi membuatku merasa canggung.
“Syukurlah,
Ryuuto masih ada di sini.”
Luna
tersenyum lembut. Saat dia membalikkan badannya
untuk menghadapku, suara kain yang bergesekan terdengar erotis.
“Aku
bermimpi Ryuuto pergi jauh dan kita tidak bisa bertemu lagi…”
Kata-katanya
membuatku terkejut karena ada hal yang belum sempat kukatakan padanya.
“Hehe,
rasanya aneh ya. Padahal itu sudah lama
tidak terjadi.”
Sambil
tertawa malu, Luna memelukku.
“……Iya.”
Aku
merasa sedikit lega karena wajahku tidak terlihat, dan dengan perasaan campur
aduk, aku memeluk Luna.
Aku
mempercayai bahwa pagi bahagia ini akan terus berlanjut di
masa depan.
◇◇◇◇
Kehidupan
bersama kami berjalan lancar, tapi tentu saja semuanya tidak hanya penuh cinta, ada juga
masalah-masalah kecil yang biasa terjadi.
"Ryuuto,
sudah kubilang jangan masukkan kaus kaki
yang dibalik ke dalam keranjang cucian!”
Pada hari
Minggu, saat kami selesai sarapan dan bersantai, aku
mendengar suara Luna dari arah kamar mandi tempat mesin cuci
berada.
“Ah,
maaf.”
Aku
berdiri dan sambil membawa piring yang sudah selesai makan ke dapur, dan mengintip ke kamar mandi.
“Kalau
dipakai, kan dibalik lagi, jadi tidak apa-apa dicuci seperti itu, kan?”
Luna yang
sedang memasukkan pakaian ke dalam mesin cuci menoleh ke arahku sambil berkata,
“Eh?”
“Bukannya
itu kelihatan aneh kalau menyimpannya dalam keadaan
terbalik?"
“Umm…”
Menurutku
tidak masalah, tetapi mungkin itu tergantung pada kesadaran estetika
masing-masing.
“……Baiklah,
aku akan hati-hati. Maaf.”
“Mouu~,
tolong ya?”
Luna
tersenyum manis seraya mendongak ke arahku.
“Ya.”
Karena
aku tidak pernah mendapat teguran keras di rumah, aku merasa telah melakukan
kesalahan selama ini. Kalau diingat-ingat
kembali, aku tidak pernah menyimpan kaus kaki yang terbalik.
“……Hehe.”
Tiba-tiba,
Luna tertawa lucu.
“Ada
apa?”
Saat aku
bertanya, Luna berbicara
dengan sedikit malu sekaligus gembira.
“Rasanya
seperti ini, aku merasa kita sudah seperti pasangan yang tinggal
bersama."
“……Memang
benar.”
Memang ada
kesan seperti itu. Ketika aku berpikir kami melakukan hal-hal yang umum dalam
kehidupan bersama, tiba-tiba aku merasa malu.
“Ryuuto,
aku pikir kamu orang yang lebih teratur dariku, jadi aku merasa senang bisa
mengetahui sisi baru dari dirimu!”
Luna
tersenyum dan itu membuatku merasa senang juga. Dan aku bertekad untuk selalu
membalik kaus kaki saat melepasnya.
◇◇◇◇
Tentu
saja, ada kalanya aku juga mengetahui sisi baru dari Luna.
Peristiwa
tersebut terjadi pada hari Minggu saat kami berencana
pergi ke pusat perbelanjaan bersama. Baik
saat pergi ke sekolah atau bekerja di hari biasa, Luna membutuhkan waktu yang
sangat lama untuk bersiap-siap.
Aku
sampai bertanya-tanya, “Apa yang sedang dia lakukan?” saat dia duduk di depan meja
rias dan mengaplikasikan riasannya
dengan teliti. Setelah itu, dia tidak keluar dari kamar tidur untuk memilih
pakaian selama beberapa waktu, dan menyisir rambutnya juga memakan waktu
lama.
“Hei,
Ryuuto?”
Saat riasannya selesai dan dia mulai memilih
pakaian, Luna memanggilku dari dalam kamar.
Dia
terlihat bingung dengan dua atasan yang ada di tangannya.
“Menurutmu
mana yang lebih bagus?”
Akhirnya,
muncul juga! Ini adalah masalah klasik yang sering didengar di mana “kamu harus menebak mana yang dia
anggap bagus.”
“Karena
hari ini hujan, aku pikir mungkin pakai sepatu bot panjang dengan rok mini,
tapi aku merasa sepatu bot terlalu berat untuk musim ini, jadi kupikir sepatu
bot pendek transparan mungkin bisa dipakai, tapi kalau transparan ‘kan bisa basah, ya? Kalau basah,
kaki akan dingin, jadi mungkin lebih baik atasan yang terbuat dari bahan
sweater yang lebih tebal. Menurutmu bagaimana?”
Setelah
berkata begitu, dia mengembalikan salah satu atasan ke lemari.
“…………”
Eh? Apanya yang ‘mana yang lebih bagus’?
Apa aku harus memilih antara dua pilihan? Tapi, sepertinya Luna sudah memiliki
jawabannya sendiri, bukan?
“……Umm,
yah. Yang
itu mungkin lebih bagus.”
Saat aku
menjawab dengan ragu, ekspresi Luna menjadi cerah.
“Benar
kan! Syukurlah, terima kasih!”
Dia
berkata sambil tersenyum bahagia.
“Sudah
kuduga, ada baiknya berkonsultasi dengan Ryuuto!”
“Ahaha.”
Apa itu benar-benar
konsultasi?
Tapi, tah, jika dia bisa menyusin pemikirannya setelah berbicara padaku, kurasa
itu saja sudah cukup berarti.
Setelah
lima belas menit berlalu,
“……Apa
masih lama?”
Saat aku
melihat ke wastafel, Luna sedang mengeriting rambutnya dengan catokan.
“Masih
lima menit lagi!”
Luna
menjawab dengan suara panik.
“Rasanya
hari ini aku tidak
bisa tampil maksimal. Jadi butuh waktu sedikit lebih lama!”
“Be-Begitu ya.”
Meskipun
dia sudah cantik, aku bertanya-tanya mengapa dia harus “tampil maksimal” seperti
itu... Namun, jika Luna bilang begitu, kurasa aku tidak
punya pilihan lain selain menunggu.
Ketika
kami akhirnya bisa keluar rumah, di luar justru sedang hujan.
Kami
berjalan sambil memegang payung menuju stasiun dan saat naik kereta, Luna
melihat dirinya sendiri di cermin jendela dan menghela napas jengkel.
“Ah,
parah banget. Padahal sudah dikeriting dengan baik, tapi
hujan malah membuatnya jadi berantakan...”
"Itu
bisa hilang karena air?”
Luna yang
tampak bingung mulai menjelaskan padaku yang tidak tahu.
“Karena
kalau mandi, rambutnya pasti akan rontok, kan? Begitulah yang kumaksud...”
“Begitu
ya.”
Tapi, basah karena air adalah hal yang biasa
dalam kehidupan sehari-hari, dan di musim panas pasti banyak berkeringat. Aku
berpikir, jika berpenampilan seperti Luna, pasti banyak batasan dalam bertindak
untuk menjaga penampilannya.
Setelah
sampai di pusat perbelanjaan, Luna masih merasa tidak nyaman dengan
rambutnya.
“Sayang
sekali, padahal sudah dikeriting dengan baik,
tapi jadi berantakan begini...”
“…Tidak
apa-apa. Kamu tetap kelihatan cantik,
kok?”
Sambil
bingung harus mengatakan apa, aku mengucapkan itu.
“…Terima
kasih...”
Namun, Luna
masih terlihat tidak senang.
Apa lagi
yang harus kukatakan...
Setelah
menunggu lama dan mendengar keluhannya, aku merasa... lalu tersadar.
Begitu ya,
jadi ini masalah perasaan.
Aku
membayangkan bagaimana perasaan Luna
saat itu, yang ingin mengeriting rambutnya bahkan jika itu berarti membuatku
menunggu, yang mana usahanya justru menjadi sia-sia.
“…Luna
yang sekarang juga cantik, kok.”
Ucapku sambil
melihat ekspresinya yang masih murung.
“Memang
rasanya sangat disayangkan karena
sudah dikeriting tapi jadi berantakan. Luna yang keriting juga... sangat
cantik.”
Kemudian,
wajah Luna langsung kelihatan sumringah
saat melihatku.
“Eh,
senangnya!”
Dia
berkata demikian sambil tersenyum malu-malu.
“Tidak
apa-apa, aku sudah bisa menunjukkan kepada Ryuuto meski hanya sebentar, jadi
aku akan merasa puas!”
Luna
berkata dengan suara ceria dan mengangkat kedua tangannya ke belakang sambil
menatap langit.
“Hehe,
rasanya suasana hatiku jadi
lebih baikan sekarang.”
Dia
berbicara seakan-akan berbicara kepada dirinya sendiri, lalu menunduk.
Sudut
mulutnya yang penuh senyuman bergerak lembut.
“Bgitu ya,
aku ingin Ryuuto memahami perasaanku.”
Kemudian,
dia menatapku dan tersenyum lagi.
“Terima
kasih, Ryuuto!”
Luna mengatakan itu sembari tersenyum cerah,
senyumannya yang begitulah yang
sangat kusukai.
Sejak
saat itu, Luna bisa menikmati belanja sesuai dengan tujuan hari ini.
“Eh,
ada Gelato Pique!”
Saat
berjalan sambil melihat-lihat di dalam mal, Luna berhenti di depan sebuah toko. Toko itu menjual pakaian santai berwarna pastel yang terbuat
dari bahan lembut dan berbulu. Aku menyadari
bahwa pakaian santai yang
biasa dipakai Luna berasal dari sini.
“Boleh
aku melihat-lihat
sebentar?”
“Boleh kok.”
Setelah
aku menjawab demikian,
tanganku ditarik dan aku ikut masuk ke dalam toko.
Fokus utama
penjualannya adalah pakaian rumah untuk wanita muda,
tapi ada juga ukuran untuk bayi dan anak-anak yang dipajang, sungguh
mengagumkan. Aku bahkan tidak punya ingatan mengenakan barang seimut itu saat
kecil.
Saat aku
merenungkan hal itu, Luna yang masih menggenggam tanganku mulai berbicara.
“Pakaian
santai Ryuuto tidak terlalu terlihat
seperti pakaian santai,
ya?”
“Begitu?”
Aku
menjawab sambil berpikir bahwa pakaian ini sudah terlalu kusut untuk dikenakan
ke luar.
Memang sih, mungkin berbeda dengan Luna,
aku jarang membeli pakaian khusus untuk di rumah. Pakaian yang kumiliki semakin
memudar warnanya dan kehilangan ketegangan kainnya, sehingga ketika sudah
merasa malu untuk memakainya di luar, aku menurunkannya menjadi pakaian
rumah.
“Apa
kamu tidak mau mencoba yang seperti ini?”
“Eh, memangnya ada yang untuk pria juga?”
“Ya,
ada yang untuk pria juga, kok. Rasanya
pasti akan terlihat bagus jika dipakai serasi dengan pacar. Lihat!”
Saat aku
melihat ke arah yang ditunjuk Luna, ada dua manekin yang mengenakan piyama
dengan warna berbeda. Manekin yang kecil mengenakan garis-garis berwarna pastel
seperti yang dikenakan Luna, sementara yang besar mengenakan garis-garis dengan
warna yang lebih elegan, mungkin sebagai contoh untuk pasangan.
“…Rasanya
agak memalukan.”
Ketika
membayangkan diriku diselimuti
bahan lembut semacam itu, rasanya
aneh dan membuatku geli.
“Kamu
harus mencobanya!”
Luna
terlihat sedikit kecewa dan meninggalkan toko itu.
“Apa
aku boleh melihat yang ini?”
Saat Luna
berhenti di depan toko lain, aku terdiam.
“Eh…!?”
Ternyata
itu adalah toko pakaian dalam
untuk wanita.
“Ka-Kalau,
aku akan menunggu di
sekitar sini...”
“Eh,
kenapa? Kamu tidak mau mmebantuku
untuk memilihnya?”
“Me-Memilihnya…!?”
Memilih pakaian dalam bersama pacarku!? Apa-apaan dengan acara yang kedengarannya seperti
pasangan Bahagia itu…!
“Ta-Tapi, bukannya toko seperti ini hanya boleh
dimasuki wanita?"
“Enggak juga
kok! Ada juga yang datang sendirian untuk membeli hadiah untuk
pacarnya. Jadi,
sudah sewajarnya kalau pasangan datang bersama-sama!”
“Wajar…?”
Tapi
kurasa itu tidak biasa… Setidaknya, itu bukan hal yang biasa dalam hidupku
hingga sekarang.
“Sebenarnya,
aku sudah ingin datang ke sini bersama
Ryuuto sejak lama! Ayo dong~,
boleh ya?”
Ketika
dia mengatakan itu dan menatapku dengan tatapan manja, aku merasa tidak tega menolaknya.
“Baiklah…”
Pada akhirnya,
aku memasuki toko pakaian dalam wanita
untuk pertama kalinya dalam hidupku.
“Ah,
yang ini lucu banget~♡”
Di sisi
yang berlawanan dari diriku yang merasa
gelisah karena tidak tahu harus melihat ke mana, Luna
dengan percaya diri menjelajahi toko.
“Hei, hei,
lihat ini deh Ryuuto,
menurutmu bagaimana?”
“Eh!?”
Saat aku
melihat ke arah yang ditunjuk, di sana terdapat set
bra dan celana dalam yang digantung di rak.
“Katanya ini bra yang bisa menambah volume!
Bagaimana?”
“Bagaimana
ya...”
Rasanya
malu untuk mengatakan sesuatu, dan aku juga
memperhatikan pelanggan lain yang berada beberapa meter jauhnya serta kasir
yang ada di sana, jadi itu membuatku
semakin bingung.
“Kurasa Luna
sepertinya tidak perlu terlalu menambah volume, deh...”
“Eh,
jadi tidak boleh menambah?”
“Ti-Tidak, bukannya tidak boleh sih, tapi...”
Luna suka
pakaian yang memperlihatkan bagian dadanya, dan aku khawatir jika ada pria lain
yang melihatnya.
“Ehh~, kalau
begitu, kamu
sukanya yang seperti apa, Ryuuto? Warna atau bentuk?”
“Hah...!?”
Aku tidak
pernah membayangkan akan ditanya hal seperti itu.
“Mumpung di
sini, jadi
kasih tahu dong~! Aku
sudah lama memimpikan pacarku memilihkan pakaian dalam untukku~♡”
“..........”
Aku merasa
sangat
sehingga wajahku hampir
memerah.
Tapi,
jika itu adalah mimpinya, aku harus memenuhinya... karena Luna hanya memiliki
satu pacar, yaitu aku... jadi aku menguatkan diri dan menghadapi produk yang
ada.
“…Aku
cukup suka yang seperti ini...”
Aku
menunjukkan ke arah sepasang bra dan
celana dalam hitam berbahan renda yang paling menarik perhatianku. Jika Luna
memakainya, dia pasti
akan terlihat sangat seksi dengan kontras kulit putihnya.
“Begitu
ya. Hitam, ya? Aku sudah punya yang ini...”
Luna
mengeluarkan suara seperti mendengus.
“Kupikir
kamu lebih suka yang putih atau pink, yang lebih manis!"
“Yang
seperti itu juga rasanya memang
bagus...”
Sejujurnya,
jika orang yang memakainya menarik, warna pakaian
dalam apa pun tidak masalah bagiku, tetapi karena Luna
sedang mempertimbangkan dengan serius, aku memilih untuk diam.
“…Oke,
jadi aku pilih yang ini!”
“Eh,
kamu yakin?”
“Ya!
Mumpung ada kesempatan begini, jadi aku
ingin membeli yang sesuai dengan selera Ryuuto.”
Setelah
mengatakan itu, Luna mengambil set renda hitam dan menatapku dengan tatapan
manja sambil tersenyum.
“Ini
akan membuatmu klepek-klepek ♡”
“…!”
Kamu sudah
melakukan seperti itu terus...!
Sambil
merasa terkejut oleh pesonanya yang seksi, aku merasa canggung.
“Apa
Anda ingin mencobanya?”
Luna
menyerahkan produknya kepada kasir, dan dia ditanya seperti itu.
“Aku
biasanya membelinya di sini, jadi tidak apa-apa!”
“Terima
kasih banyak! Mari saya bantu untuk proses pembayaran.”
Jadi, dia
sering membelinya di
sini...
Memikirkan
hal itu saja sudah membuatku gelisah.
Karena
aku merasa tidak nyaman untuk
menjelajahi toko sendirian, jadi aku
keluar duluan dari toko dan menunggu Luna.
“Maaf
sudah membuatmu menunggu♡”
Luna
keluar dari toko dengan senyuman menghiasi
wajahnya.
“Hehe,
enaknya kapan ya aku memakainya?”
Dengan
suasana hati yang baik, dia berkata begitu dan
berjalan di sampingku.
“Kalau Ryuuto,
kapan kamu ingin melihatnya?”
“Eh...”
Ketika
dia mengatakan hal seperti itu, aku jadi merasa grogi
dan malu.
“Ka-Kapan
saja... kapan saja yang Luna suka...”
“Baiklah~♡”
Setelah
menjawab demikian sambil tersenyum,
Luna melingkarkan tangannya di lenganku seolah ingin menempel erat denganku.
“Ayo
makan di luar karena sudah lama banget enggak,
setelah itu ayo pulang♡”
“Ya,
benar.”
Kelembutan
dan kehangatan yang kurasakan di lengan membuatku merasa gelisah sekaligus
senang. Dengan perasaan yang dipenuhi kepuasan,
aku menuju ke lantai restoran bersama Luna.
◇◇◇◇
Mengingat
ini adalah pertama kalinya kami hidup bersama, menurutku kehidupan bersama kami berjalan cukup
lancar.
Kami
membagi pekerjaan rumah tangga secara kasar berdasarkan aturan “siapa
yang menyadari, dia yang melakukannya,”
tapi karena kami berdua memiliki sedikit waktu untuk mengurus rumah, cucian pun sering menumpuk dan debu juga
mudah menumpuk.
Ketika
kami menghabiskan banyak waktu di luar karena kegiatan
kuliah dan pekerjaan paruh waktu, sering kali kami hanya
makan di luar dan pulang untuk tidur.
Luna yang
sibuk dengan studi sekolah kejuruannya dan
pekerjaannya hanya memiliki dua hari libur dalam sebulan. Bulan ini, karena
pindahan, bahkan dua hari itu pun tidak ada. Liburan panjang sudah dekat, tapi
itu tidak berpengaruh pada pekerjaan di industri pakaian.
Pada hari
Minggu sebelum libur Hari Buruh, kami akan menerima tamu pertama di rumah kami.
Kakak perempuan Luna, Kitty-san,
dan Kurose-san. Mereka akan datang untuk makan malam di rumah kami.
Sekitar
jam tiga sore pada hari itu, Luna yang bekerja pagi pulang dari
pekerjaannya.
“Aku pulang!”
“Selamat
datang kembali.”
Aku
berlutut di ruang tamu, menggunakan alat pembersih dengan selotip, yang biasa
disebut “korokoro,” untuk mengangkat rambut yang
menempel di karpet.
“Eh,
apa kamu sudah membersihkannya, Ryuuto?”
“Ya.
Mungkin caranya salah-salah...”
Karena
aku masih pemula
dalam mengurus rumah, jadi aku merasa tidak mahir... pikirku sambil tersenyum kaku.
“Terima
kasih! Maaf, sebenarnya aku ingin kamu beristirahat,
tapi ini benar-benar sangat
membantu!”
Luna
mencuci tangannya dan sibuk dengan rutinitas setelah pulang.
“Aku akan pergi berbelanja untuk makan
malam!”
“Ya...”
Aku merasa sedih
karena meskipun kami baru bertemu, dia harus pergi lagi, tetapi saat Luna
mengenakan sepatu di pintu masuk, dia menatapku.
“…Ralat deh, apa Ryuuto
mau ikutan juga?”
Dia mengajakku dengan ekspresi bercanda,
dan aku merasa senang dan bangkit berdiri.
“Ya,
aku ikut.”
◇◇◇◇
Kemudian,
kami pergi berbelanja di supermarket
terdekat.
“Kira-kira menu
apa yang harus kita buat, ya?”
Sambil
mendorong keranjang belanjaan,
Luna melihat-lihat rak dan
bingung.
“Ryuuto,
malam ini kamu mau makan apa?”
“Kalau
boleh memilih sesuai suasana hatiku sih,
aku ingin tonkatsu.”
“Makanan
yang digoreng, ya? Bukannya
itu merepotkan? Apalagi besok
juga harus bangun pagi.”
“Ya,
memang... masih ada
urusan minyak juga, ‘kan?”
“Betul
banget!”
Ibuku
menggunakan obat untuk mengerasakan minyak, tapi memikirkan semua itu membuatku
malas. (TN: Di jepang, minyak bekas
memasak enggak boleh dibuang sembarang begitu saja, minyak bekas perlu
dipadatkan dulu memakai bahan khusus sebelum dibuang ke tempat sampah khusus)
Ketika mengingat-ingat
kembali saat aku tinggal di rumah orang tuaku, aku tidak perlu
repot-repot membuat makanan sendiri, jadi aku tidak memikirkan semua kesulitan
itu. Sekarang, aku merenungkan hal itu.
“Kalau
begitu, rasanya lebih baik jika kita membelinya di toko khusus! Mau beli? Di
depan stasiun ada restoran tonkatsu, kan?”
“Tidak,
kalau begitu menu lain saja.”
“Kamu yakin?”
“Ya.”
Karena
sepertinya harganya akan
lebih mahal dibanding
membuatnya sendiri, jadi sekarang
bukan saat yang tepat untuk berfoya-foya dengan
sesuatu yang mewah.
“Kamu
sudah bilang akan menjamu Onee-san
dan Kurose-san, ‘kan?
Kalau membeli yang sudah jadi, kelihatannya seolah-olah kamu tidak
berusaha, kan?”
“Itu
juga benar!”
Luna
tertawa seolah-olah baru ingat.
“Jadi,
Ryuuto, ada makanan lain yang kamu mau?”
“Um...
karaage juga makanan gorengan... bagaimana dengan babi asam manis?”
“Babi asam
manis?”
Luna melebarkan matanya.
“Aku
belum pernah membuatnya, tapi aku ingin menambah variasi, jadi mungkin bisa
dicoba. Nanasnya juga rasanyaenak,
kan?”
“....Ka-Kamu mau memasukkan nanas ke dalamnya?”
Ketika
aku menatapnya dengan keheranan, Luna justru menatapku seolah itu hal yang
biasa.
“Hmm?
Justru hidangan babi asam manis tuh harus ada nanasnya, ‘kan?”
“..........”
“Jangan-jangan,
Ryuuto, kamu tidak menyukai nanas?”
Dia
bertanya dengan nada menggoda, dan aku menjawab
terbata-bata.
“Ti-Tidak, yah... aku bukannya tidak menyukainya sih, tapi...
nanas yang ada di babi asam manis...
agak sulit dimakan bagiku...”
“Begitu,
ya.”
Luna
terlihat kecewa.
“Ngomong-ngomong,
ayahku juga tidak menyukai
nanas. Ia selalu memberikannya padaku.”
“Aku
akan memakannya jika disajikan.”
Hanya
saja, jika aku yang membuatnya, aku tidak akan repot-repot memasukkan
nanas.
“Kalau
begitu, kurasa kita akan membatalkan babi asam manis. Hmm, ternyata ini lumayan sulit juga, ya.”
“Karena selera
makan itu memang berbeda-beda, sih.”
“Padahal
kupikir aku sudah mengetahui kesukaan makanan
Ryuuto, tapi ternyata masih banyak yang belum aku ketahui ya.”
Luna
tersenyum pahit. Berbeda
dengan memesan di restoran, ketika harus membuat sendiri, aku harus memikirkan
banyak hal, dan aku ingin rasanya sesuai dengan seleraku.
“Kalau
begitu, bagaimana dengan kari?”
Aku mengusulkan menu tersebut karena berpikir
ini pasti bisa diterima. Makanan itu
juga menu yang biasa dipakai dalam praktik memasak atau memasak saat berkemah,
dan merupakan makanan favorit banyak orang.
“Seingatku,
kakakmu bilang dia menyukai kari, ‘kan?”
“Oh iya, benar! Mari kita buat kari!”
Ekspresi Luna
menjadi cerah.
“Tapi,
memangnya tidak masalah ya memasak yang sesederhana itu? Kira-kira, apa Maria akan kecewa?”
“Kurose-san
tidak menyukai kari?”
“Tidak,
keluargaku semua suka kari!”
“Kalau
begitu, tidak apa-apa, ‘kan?”
Setelah
aku mengatakan itu, Luna tertawa.
“Benar!
Oh, kalau begitu, aku akan membelikannya kue
Mont Blanc yang disukai Maria sebagai hidangan pencuci
mulut! Aku harus mengingat untuk mampir
ke toko kue di depan stasiun.”
“Aku
akan mengingatnya untukmu. Oh, aku yang akan mendorong
keranjang. Maaf, aku tidak menyadarinya.”
Kemudian,
aku menerima keranjang belanjaan dari
Luna dan berbelok ke arah bagian sayuran.
“Maaf
sudah mengganggumu. Aku sebenarnya ingin
kamu bisa bersantai di hari libur.”
“Tidak
apa-apa. ...Karena aku ingin
bersama denganmu.”
Saat
mengutarakan perasaanku yang sebenarnya
dengan malu-malu, Luna tersenyum bahagia.
“Begitu,
ya. Makanya aku mengajakmu.”
Dia
berkata sambil meletakkan tangannya di atas tanganku yang memegang pegangan
keranjang dorong.
“...Aku senang sudah mengajakmu.”
Kami
saling bertatapan dekat dan tersenyum lembut satu sama lain. Setelah itu, kami membeli
bahan-bahan untuk kari dan kue Mont
Blanc sebelum pulang ke rumah.
◇◇◇◇
Setelah
itu, kami berdua berdiri di dapur.
Aku masih
belum terbiasa memasak. Saat Luna menyiapkan makanan,
itu adalah masakan rumahan yang baik, tetapi saat aku yang menyiapkannya, biasanya aku hanya memanaskan makanan siap
saji atau menggoreng pangsit beku.
Meski
begitu, aku merasa senang bisa melakukan sesuatu bersama Luna, jadi hari ini
kami memutuskan untuk menyiapkan makan malam bersama.
Menu yang
akan kami sajikan adalah kari nasi dan bagna cauda. Bagna cauda adalah semacam
salad, dan Luna sudah membeli saus bagna cauda di supermarket.
“...Entah
kenapa, aku teringat saat membuat nikujaga di rumah nenek buyut Sayo.”
Luna mendadak bergumam seraya berhenti
memotong kentang.
Bahan-bahan lainnya sudah mendidih dalam panci di atas kompor. Menurut Luna,
kentang harus dimasukkan terakhir agar tidak terlalu lembek.
“Tingkat
kemampuanku dalam memasak hampir tidak berubah sejak saat itu.”
Itu bukan
hal yang bisa dibanggakan, jadi aku mengatakannya sambil tersenyum kaku.
Saat itu,
aku hanya berniat membantu Luna, tetapi sekarang aku ingin lebih berguna. Aku
mulai berpikir seperti itu karena kami mulai tinggal bersama.
“Mau
bagaimana lagu, Ryuuto sedang belajar untuk ujian dan jadwal kuliah yang padat.”
“Padahal
aku tidak terlalu sibuk belajar.”
“Tapi,
kamu juga belajar untuk menjadi guru, ‘kan?
Kamu mengambil lebih banyak SKS daripada orang kebanyakan.”
“Oh
ya, program pendidikan guru? Itu benar.”
Karena
ada orang seperti Kujibayashi-kun
yang selalu belajar di sekitarku, aku masih sering
merasa seperti mahasiswa yang banyak bermain.
“...Seharusnya
aku lebih banyak memasak saat masih ada waktu."
“Eh,
kenapa?”
“Karena
aku lebih banyak menghabiskan waktu di
rumah daripada kamu... Jika aku bisa memasak lebih baik, aku bisa menyiapkan
makanan yang lebih baik untukmu.”
Di tengah
persiapan pagi yang sibuk, aku melihat Luna berusaha keras membuat sarapan
untukku, dan aku merasa gatal ingin bisa memasak.
“…Aku
berharap bisa melakukannya sedikit demi sedikit. Aku akan mencari resep di
situs dan mencoba membuat yang sederhana.”
“Ryuuto…”
Luna
menatapku dengan wajah bahagia, lalu sedikit merasa bersalah.
“…Maaf
ya. Aku terlalu sibuk, jadi aku tidak bisa membuatkan tiga kali
makan untukmu…”
“Eh,
tidak, tidak apa-apa kok.”
Aku
buru-buru membantahnya karena tidak
ingin terdengar sarkastik.
“Kita
bisa melakukannya Bersama-sama.”
Meskipun
kata-kataku mungkin kurang berdampak,
aku tersenyum padanya.
Luna juga
menatapku dan membalas senyumku,
“Ya!”
Dia mengangguk penuh semangat.
“…Baiklah,
mari kita memasukkan kentang
ini."
Luna
mengambil talenan yang berisi kentang yang sudah dipotong dan memasukkannya ke dalam
panci.
“Lalu masukkan
roux juga….”
Selanjutnya,
Luna berusaha memasukkan roux yang dikeluarkan dari kotak.
“Luna,
Luna. Bukankah kamu seharusnya
mematikan api kompornya dulu saat
memasukkan roux? Aku baru saja membaca cara membuatnya di kotak.”
“Eh,
seriusan? …Benar juga! Eh, aku selalu
memasukkannya sambil mendidih! Tapi rasanya tetap
enak, kan?”
Sambil
berkata demikian, Luna mematikan api kompor.
“Eh,
tapi Ryuuto, cara memotong mentimunmu juga salah,
kan? Ini bagna cauda!”
“Eh?”
Karena
papan talenan sudah kosong, jadi aku berusaha menunjukkan
kemampuan dengan segera memotong mentimun, tapi terkejut dan berhenti.
Karena
ini salad, jadi pasti
harus dipotong melingkar. Itulah
yang kupikirkan saat memotongnya.
Sebenarnya,
bagna cauda itu apaan ya? Aku pernah mendengarnya, tetapi karena bukan menu yang
pernah aku beli atau pesan, jadi aku tidak
begitu paham.
“Kita
menyantap sayuran yang dipotong berbentuk stik yang
dicelup! Kalau begitu, itu tidak
jadi stik, ‘kan?”
“Ah…
benar juga.”
“Ya
ampun!”
Bahkkan saat
mengatakan itu, Luna tertawa.
“Kalau
begitu, kita buat saja salad cincang dan tuangkan saus bagna cauda!”
“Salad
cincang…?”
“Semua
sayuran dipotong dadu kecil.”
“Oh,
baiklah.”
Kalau
begitu, potongan tebal yang melingkar itu pas. Dengan beberapa perubahan di berbagai aspek,
persiapan makan malam pun berjalan dengan lancar.
Setelah
jam enam sore, Onee-san
dan Kurose-san datang berkunjung ke rumah kami.
“Permisi!"
“Permisi, maaf mengganggu.”
"Selamat
datang! Onee-chan, Maria.”
“Wah,
luar biasa! Sangat luas!”
Begitu mereka masuk ke dalam ruangan, Onee-san langsung berseru.
“Bukannya
rumah Onee-chan saja yang terlalu sempit? Ruangan
itu seharusnya diperuntukkan tinggal
sendiri, ‘kan? Memangnya kamu tidak mau pindah?”
Mendengar
perkataan Kurose-san, Onee-san
hanya bisa tersenyum kaku.
“Pindah
rumah itu bikin ribet, iya ‘kan? Apalagi itu juga membutuhkan biaya.
Lagi pula, Rai-kun juga bisa pergi kerja dari sana,
jadi mungkin kami bisa mempertimbkannya nanti kalau sudah
punya anak.”
Rupanya
Onee-san masih tinggal di ruangan apartemen sempit itu. Aku
merasa sedikit senang mengetahui bahwa tempat pertama kami dan Luna tidak
hilang.
“Eh,
baunya sangat harum! Malam ini kita makan kari? Horee!”
Melihat Onee-san yang dengan ceria menyambut kari
yang sebenarnya aku sendiri tidak
yakin apa itu bisa disajikan untuk tamu, Luna dan aku saling bertukar
senyum.
◇◇◇◇
Meja
makan yang dikelilingi empat orang itu terasa lebih
ramai dari biasanya.
Meja
makan untuk dua orang yang kami beli
bisa diperpanjang dengan menarik papan yang disimpan di bawah, sehingga bisa menampung
maksimal empat orang. Ketika membeli di IKEA, aku meragukan kapan fungsi ini
akan digunakan, tetapi ternyata itu lebih
cepat dari yang kuharapkan.
“Rasa
karinya enak seperti buatan sendiri!
Apa ada parutan
apel di dalamnya?”
“Ada,
ada!”
“Enaknya! Akhir-akhir ini aku hanya memakan hidangan yang siap saji, jadi rasanya senang sekali~~”
Onee-san
terlihat bahagia saat menikmati kari.
“Salad
ini juga berbeda dan enak.”
Kurose-san
berkata demikian sambil memakan salad cincang, Luna dan aku tertawa bersamaan.
“Benarkah?
Syukurlah!”
“Sebenarnya
ada sedikit perubahan menu karena ketidakmampuanku…”
“Begitu?
Rasanya enak, sausnya terasa seperti bagna cauda.”
“Ahaha…”
Itu
memang benar. Aku merasa senang jika
mereka menyukainya.
“Aku tak
pernah menyangka kalau kari babi dalam bentuk siap saji tuh sangat jarang sekali. Aku merasa sangat berstukur dengan rasa kari buatan rumah
kita!”
Onee-san
masih menikmati nasi kari.
“Mungkin
daging babi dalam kari itu sendiri yang termasuk
minoritas?”
“Eh,
begitu ya? Daging apa yang biasa ada
di kari rumahmu, Ryuuto-kun?”
“Di
rumah kami biasanya daging
sapi. Yang tebal untuk direbus."
“Bukannya
itu daging mahal?!”
“Itu
jenis makanan yang hanya bisa disajikan
dengan semur daging sapi saat Natal dan sebagainya, lho?!"
Onee-san
dan Luna mencondongkan tubuh mereka
ke depan dengan gembira setelah mendengar jawabanku.
“Ti-Tidak…
di rumah kami tidak pernah membuat semur daging sapi, jadi mungkin itu sebagai
penggantinya?”
“Tidak,
tidak, kari jauh lebih sering dibuat kali!”
“Apa kamu berasal dari keluarga kaya,
Ryuuto-kun!”
“Bukannya begitu… hidangan kari hanya muncul sebulan sekali
paling banyak.”
“Serius!?
Di rumahku hampir setiap minggu ada kari!”
“Benar!
Entah kenapa selalu setiap hari Jumat!”
“Sampai
sekarang, keluarga Kurose juga begitu. Rasanya aneh,
ya?”
Kurose-san
juga tertawa saat berkata demikian.
“Di
rumahku juga, kalau seminggu sekali mungkin tidak pakai daging sapi.”
“Daging
sapi memang mahal. Apalagi yang lokal.”
Ucap
Onee-san
seraya menghela napas.
“Suatu saat nanti aku akan mencoba membuatnya setelah
gajian! Kari daging sapi.”
Luna
berbicara dengan ceria, dan aku pun tertawa.
“Kamu yakin? Daging sapi kan mahal?”
“Iya.
Jadi, satu kali saja setelah gajian, setiap bulan kari daging sapi.
Gimana?”
“Bagus!”
Aku
tersenyum sambil menyantap kari.
“Jika waktunya tiba, aku
akan membuatnya dengan cara yang sama seperti di rumahnya Ryuuto!
Hari ini seratus persen kari rumahku.”
“Baiklah.
Aku akan bertanya
orang tuaku tentang
cara membuat kari.”
Saat
dipikir-pikir, meskipun kami mengenakan seragam yang sama dan bersekolah di
tempat yang sama, kami tumbuh di keluarga yang sangat berbeda.
Kurasa
mungkin kami perlu untuk saling mengenal budaya keluarga
masing-masing dan menciptakan budaya keluarga baru.
“…Kari
daging babi juga enak, kok.”
Sambil menyantap hidangan kariku, aku mengungkapkan perasaan yang
mendalam.
“Benar, ‘kan? Kari kami selalu seperti ini!”
Luna
tersenyum bahagia.
“Rasa ini
memang menenangkan!”
“Aneh,
ya, meskipun sudah sering memakannya, tapi
rasanya tidak pernah bosan.”
Onee-san
dan Kurose-san juga dengan lahap menyuapkan sendok ke dalam mulut mereka. Aku duduk di meja makan bersama
orang-orang dari keluarga Shirakawa.
“Hmm,
enaknya.”
Kari dari
rumah Luna yang pertama kali aku coba memiliki rasa yang aneh namun nostalgis. Aku senang bisa merasakan rasa
dari keluarga yang telah membesarkan Luna.
Mungkin,
anak-anak kami yang mungkin lahir suatu saat nanti akan menganggap kari ini
sebagai kari biasa.
Mereka
mungkin akan merasa “beruntung” mendapatkan kari daging sapi spesial yang hanya
muncul sebulan sekali.
Aku
membayangkan bagaimana budaya keluarga terbentuk, dan merasakan semangat untuk
masa depan yang mungkin akan datang.
◇◇◇◇
“Bagaimana
rasanya hidup bersama? Apa kalian sudah terbiasa? …Ah,
montblanc ini enak sekali.”
Kurose-san
bertanya demikian saat menikmati waktu minum teh setelah makan, Luna pun membalasnya sambil tersenyum.
“Ya!
Hanya saja, keadaannya jadi lebih
sibuk dari yang aku kira, jadi kami kesulitan untuk menghabiskan waktu
berdua.”
“Tinggal
bersama itu bukan tentang berkencan, tapi tentang kehidupan sehari-hari,
ya.”
Onee-san ikut menyahut sambil menikmati kopi
dari mugnya. Suaranya terdengar penuh pengalaman.
“Jadi,
tidak hanya sekedar hal-hal
menyenangkan, tetapi juga ada hal-hal merepotkan dan sulit. Sekarang, kami
benar-benar kesulitan karena tidak ada uang!”
“Aku
juga! Tapi memang, tidak mempunyai waktu senggang
adalah hal yang paling sulit!”
Luna ikut setuju.
“Tapi, bukannya semua itu bisa diselesaikan jika punya uang? Sambil bekerja, kita
bisa menyewa jasa pekerja rumah
tangga, dan pulang ke rumah yang bersih dengan makanan siap saji! Jika menang undian lotre, kamu bahkan tidak perlu bekerja, kan?
Semua masalah selesai!”
“Benar
juga! Mungkin aku harus beli tiket lotere!”
Melihat Onee-san dan Luna yang antusias
membicarakan mimpi-mimpi itu, Kurose-san yang sudah menyelesaikan kue montblancnya membuka suara dengan
tenang.
“…Kalau aku sih, meskipun ada uang, aku tetap ingin bekerja.”
“Tapi itu
juga jika pekerjaan yang disukai, kan?”
Setelah
mendengar Luna, Kurose-san melihat kedua kakaknya dan berkata, “Iya sih…”
“Luna dan
Onee-chan juga melakukan apa yang kalian suka dan
berusaha menjadikannya pekerjaan, ‘kan?
Kalau begitu, tidak peduli berapa
pun uangnya, kalian pasti ingin
bekerja, ‘kan?”
“…Iya,
benar sih.”
“Kalau
sudah dibilang begitu, memang benar juha!”
Mereka
berdua langsung mengangguk setuju.
“Jadi,
sepertinya memang lebih baik kalau kita
bekerja, menabung, dan menciptakan waktu luang.”
Luna
mendongak ke langit-langit seolah mengeluh.
“Mari kita berusaha sebaik mungkin. Aku akan menabung banyak uang, dan di masa
tua nanti pergi berlibur bersama Ryuuto, melakukan hal-hal yang kita suka!”
Mendengar
itu, aku tak sengaja membayangkan masa tua seperti itu, dan hal tersebut menghangatkan hatiku.
“Aku
juga! Di masa tua, aku ingin pindah ke Kamakura bersama Rai-kun.”
Seakan-akan terpengaruh oleh Luna, Onee-san
juga mengungkapkan ambisi masa tuanya.
“Karena itu tempat wisata, pasti mahal,
‘kan?”
“Masa?
Kalau begitu aku harus menabung!”
“Aku
juga!”
Melihat
kedua kakak perempuannya yang seperti itu,
Kurose-san tertawa geli.
“Kalian
berdua sudah memikirkan masa tua, ya.”
Setelah
berkata demikian, wajahnya tiba-tiba teringat sesuatu, dia melirik ke arahku sejenak,
lalu kembali melihat kakak-kakaknya.
“Ngomong-ngomong,
kalian berdua, apa kalian
sudah mendengar tentang kabar kakek dari ibu?”
“Oh,
ya…”
“Aku sudah mendengarnya. Katanya
ia sudah lama dirawat di rumah sakit, kan?”
Setelah
ditanya kakaknya, Kurose-san mengangguk.
“Ya.
Sekarang ia dirawat di rumah sakit perawatan paliatif, bukan di rumah sakit
yang dulu… Jadi, kalian berdua harus siap-siap jika ada kabar.”
“…Ya…”
“…Baiklah.”
Luna dan Onee-san mengangguk dengan wajah murung. Aku pernah mendengar sedikit dari
Luna sebelumnya, bahwa kakek dari pihak ibunya
yang tinggal bersama Kurose-san menderita demensia sekaligus kanker, dan
terkadang harus dirawat di rumah sakit untuk pemeriksaan dan pengobatan. Namun,
kali ini sepertinya kondisinya sudah serius dan harus bersiap-siap.
“Maaf ya,
padahal kalian sudah repot-repot mengundangku tapi membahas hal yang suram,
Kashima-kun.”
Kurose-san
mencoba tersenyum padaku saat meminta maaf,
dan aku buru-buru menggeleng.
“Tidak
apa-apa, kok. Jarang
sekali kalian bertiga bisa berkumpul seperti, jadi mari kita membicarakan banyak hal.”
“Memang,
benar! Sudah lama sekali kita tidak kumpul-kumpul!”
Luna menanggapo dengan suara ceria, dan suasana
di meja makan kembali normal.
“Lagian maksudku, aku ingin bertanya tentang Maria!”
Onee-san
kemudian mengalihkan pembicaraan kepada Kurose-san.
“Maria tuh tidak pernah berbicara
tentang dirinya sendiri kecuali aku bertanya terlebih dahulu!”
“Aku juga
ingin mendengar cerita cintanya! Bagaimana hubunganmu
dengan Kujirin?”
“Kujirin?”
“Teman
kuliahnya Ryuuto! Bukannya aku pernah menceritakannya ketika kita mengobrol
di rumah?”
“Oh, aku
ingat! Kalian masih berkomunikasi lewat LINE, kan? Bagaimana kabarnya!?”
Onee-san
melihat Kurose-san dengan semangat, tetapi Kurose-san tetap mempertahankan ekspresi tenang.
“Tidak
ada yang spesial kok… Kami hanya saling berkirim pesan LINE saja.”
“Kamu tidak pernah bertemu dengannya?”
“Ya. Aku
sedang mencari kerja, dan ia juga sibuk, jadi mungkin tidak ada waktu.”
Kurose-san
berkata dengan wajah serius sambil meneguk teh dari cangkirnya.
“Eh~? Bukannya Kujirin
tidak sedang mencari pekerjaan dan ingin
melanjutkan ke pascasarjana?”
“Ya,
benar.”
Setelah
ditanya Luna, aku balas
mengangguk.
“Tapi,
ujian masuk pascasarjana diadakan
di musim gugur, ‘kan? Jadi ia seharusnya sibuk dengan belajarnya, kan?”
Kurose-san
berkata begitu.
“Ya,
memang begitu… tapi selama ini Kujibayashi-kun selalu belajar
seperti hobi, jadi sepertinya tidak ada tekanan khusus padanya.”
Aku belum
pernah melihat mahasiswa yang belajar dengan sukarela seperti dia sebelum masuk
universitas. Kupikir
orang-orang seperti itu memang ditakdirkan menjadi akademisi.
“Kalau gitu, berarti ia masih punya waktu
untuk berkencan dengan Maria, kan?”
Ditanya
oleh Luna, aku mengangguk lagi.
“Kurasa begitu…”
“Kalau
begitu, kenapa ia tidak mengajak Maria? Apa ia tidak menyukainya?”
“Kurasa bukan itu masalahnya…”
Kujibayashi-kun
pada dasarnya bertindak berdasarkan pandangannya bahwa “jika tidak ada perasaan suka, maka tidak perlu saling
menghubungi”.
Jadi, ia mungkin berpikir bahwa "karena kita saling menghubungi,
perasaanku pasti sudah disampaikan kepada lawan."
──Kalau
begitu, jika Kurose-san selalu membalas pesan, itu berarti dia juga memiliki
perasaan suka terhadap Kujibayashi-kun, kan? Bukankah sudah saatnya untuk
mengundangnya makan?
Ketika
aku mengatakan itu,
──Aku
tidak mengerti cara berpikir perempuan.
Ia
tetap bersikukuh dengan pendapatnya, sehingga aku pun tidak bisa memahami apa
yang dipikirkan Kujibayashi-kun. Sebenarnya aku sedikit mengerti.
Kemungkinan
besar, karena kurangnya percaya diri yang sering
dialami oleh cowok introvert (aku juga pernah begitu), ia kesulitan
untuk mengambil langkah selanjutnya. Dalam kasusku, Luna yang aktif mendekati,
jadi aku terbantu, tetapi Kurose-san bukan tipe seperti itu, dan dia tidak
mengerti perasaan Kujibayashi-kun, jadi hubungan
mereka jadi semakin sulit.
Namun,
aku merasa tidak berhak
mengungkapkan perasaan Kujibayashi-kun kepada
Kurose-san di sini, dan aku sendiri juga belum mendengar
perasaan pasti darinya, jadi aku merasa frustrasi karena tidak bisa mengatakan
apa-apa.
“Tidak
apa-apa. Tujuanku adalah 'membuat teman laki-laki'.”
Seperti
yang dikatakan Kurose-san, pada awalnya
dia jatuh cinta pada Naoki Sato, seorang komikus tampan yang sudah menikah, dan
aku serta Luna menyarankan agar dia “membuat
teman laki-laki untuk membangun kekebalan terhadap pria,” yang menjadi awal hubungan
dengan Kujibayashi-kun.
“Awalnya
memang begitu, tapi kamu juga
berpikir bahwa tidak ada salahnya
bisa berpacaran, kan?”
“Tidak
masalah. Jika pihak lain tidak
berniat untuk melanjutkan ke sana, aku sudah cukup dengan keadaan sekarang.”
Meskipun
begitu, ekspresi Kurose-san menunjukkan ketidakpuasan. Jenis ketidakpuasan apa
yang dia rasakan, aku yang tidak paham perasaan perempuan tidak bisa memahaminya, tetapi setidaknya itu berarti
dia memiliki perasaan lebih dari sekadar teman terhadap Kujibayashi-kun.
Kalau
begitu, seharusnya Kujibayashi-kun lebih
berinisiatif, tapi aku mengerti bahwa tantangan
seperti itu cukup sulit
bagi cowok pemalu.
“…Susah
ya, antara laki-laki dan perempuan.”
Onee-san
mengungkapkan dengan dalam, seolah ingin merangkum seluruh kejadian.
“Kalau
bicara soal sulit...”
Di saat
itu, Luna mengerutkan wajahnya dan berkata.
“Aku tak
pernah menyangka kalau tinggal bersama lebih sulit dari yang
aku kira."
“Apaan ini? Apa kamu sudah bertengkar dengan
Ryuto-kun?”
Onee-san
berkata sambil menggoda, bergantian melihat wajahku dan Luna.
“Bukannya begitu.”
Luna
menggelengkan kepala dengan bingung.
Aku juga
merasa tegang, merasa penasaran
dengan pembicaraan apa yang akan dia sampaikan.
“Sebelum
tinggal bersama, aku berpikir seandainya aku bisa mengerjakan semua pekerjaan
rumah. Tapi, setelah mulai tinggal bersama, meskipun pembagian tugasnya sudah
dibagi, tapi ternyata itu cukup sulit. Aku merasa senang karena Ryuuto
sering membantu, tapi aku merasa
bersalah karena 'aku lah yang
seharusnya melakukan itu.'”
Ketika Luna
mengeluhkan hal itu, dan
kakak perempuannya ikut
mengangguk-angguk.
“Ah,
aku paham banget. Aku juga begitu. Selama
ini, aku selalu berpikir bahwa aku ingin
mengerjakan semua urusan rumah! Aku harus
melakukannya!"
“Serius!?”
Luna
terlihat terkejut. Aku
juga terkejut dengan perasaan Luna yang tidak kuketahui sebelumnya. Tapi, ada hal yang terlintas
dalam pikiranku.
──Terima
kasih! Maaf ya, sebenarnya aku ingin kamu istirahat, tapi ini sangat membantu!
──Maaf,
aku sibuk, jadi tidak bisa memasak tiga kali sehari untukmu...
Bukan
hanya hari ini saja, Luna
terkadang merasa bersalah saat aku mengerjakan pekerjaan rumah. Aku berpikir
mungkin karena kami baru tinggal bersama, jadi dia masih merasa sungkan.
Kakak
perempuannya lalu berkata kepada Luna,
“Aku
sekarang sudah merasa puas jika bisa melakukan hal-hal yang bisa aku lakukan
sendiri. Aku tidak merasa bersalah jika meminta bantuan dari Rai-kun.”
“Begitu
ya?”
Sambil
menunggu nasihat tentang bagaimana dia
bisa berpikir demikian, Luna melirikku, dan kakak perempuannya tiba-tiba menatapku.
“Nee,
di rumah Ryuuto-kun, apa ayahmu mengerjakan
pekerjaan rumah?”
“Eh?”
Aku
terkejut dengan pertanyaan yang tak terduga dan seketika mengingat-ingatnya kembali.
“…Tidak,
di rumahku hampir semuanya
dikerjakan oleh ibu. Dia ibu rumah tangga. Ayahku
hanya membuang sampah dan kadang-kadang
mencuci piring.”
Setelah mendengar
itu, Onee-san tertawa.
“Mirip
dengan rumahku.”
“Benar!”
“Ketika
kami berlima, Luna, Maria, dan aku masih tinggal bersama, ibuku
tidak bekerja. Aku belum pernah melihat ayah mengerjakan pekerjaan rumah.”
“Setelah
bercerai juga begitu. Sejak
pindah ke rumah baru, nenek Shirakawa yang mengerjakan pekerjaan rumah, jadi
ayah tetap tidak melakukan apa-apa. Setelah Haruna dan yang lainnya lahir, ia
mulai sedikit terlibat dalam pengasuhan.”
“Begitu
ya. Aku sudah cukup terkejut bahwa ayah kita terlibat dalam pengasuhan.”
“Seriusan,
meski cuma 'sedikit' sih."
Perkataan Luna membuat kakak perempuannya
tertawa. Setelah itu, wajahnya menjadi lebih serius dan menunduk.
“Aku
menyadari sesuatu. Alasanya kenapa
aku berpikir bahwa aku harus mengerjakan pekerjaan rumah, itu karena gambaran
ibu saat kita masih tinggal
bersama dulu.”
Dia
berkata demikian sambil melihat Luna.
“Bukannya
itulah yang menjadi alasan kenapa Luna merasa
bersalah karena tidak bisa mengerjakan pekerjaan rumah seperti yang kamu inginkan?”
“…Ah,
mungkin.”
Luna
menunduk saat menjawab. Kakak perempuannya lalu
melanjutkan.
“Sewaktu
masih kecil dulu, Rai-kun selalu bersama ibunya, oke?
Jadi ia berjanji pada ibunya untuk 'karena kita tinggal
berdua, mari kita bagi pekerjaan rumah.' Ia
selalu menganggap itu hal yang wajar, jadi setelah memutuskan untuk menikah, ia
berkata, 'Aku merasa bersalah jika terlalu banyak dibantu oleh Kitty-chan.
Aku ingin kamu
menyisakan bagianku,'.”
“…Keduanya
memang memiliki kesan sebagai ibu rumah tangga.”
Dan kemudian,
Kurose-san yang sedari tadi mendengarkan
dalam diam sepertiku, mulai berbicara.
“Aku
sudah lebih lama tinggal dengan ibu setelah bercerai.”
“Begitu.
Di rumah Kurose sekarang, ibu, nenek, dan Maria membagi pekerjaan rumah, kan?”
“Benar.
Kalau tidak, mustahil bagi orang yang bekerja seharian di luar untuk pulang dan
mengerjakan semua pekerjaan rumah. Aku melihatnya dan berpikir begitu.”
Mendengar
hal itu, Luna menunduk dengan
ekspresi sedikit sedih.
“Begitu...
Aku berpikir 'aku ingin jadi ibu rumah tangga seperti ibuku' dan
berusaha mengerjakan semua pekerjaan rumah, tapi... ibuku juga sekarang sudah
berbeda dari saat kami tinggal bersama.”
“Benar.
Itulah sebabnya kamu juga
harus memperbarui cara berpikirmu, Luna.”
Onee-san
mengangguk penuh semangat ketike mendengar perkataan Kurose-san.
“Benar sekali. Tidak apa-apa, kalau itu Ryuuto-kun,
dia pasti mengerti kesulitan Luna!”
“Y-Ya. Tentu saja.”
Rasanya
seperti ada tekanan, tetapi anehnya tidak terasa buruk. Itu karena aku tahu
Kurose-san dan Onee-san
benar-benar mempedulikan Luna.
Yang
terpenting, aku sendiri ingin mendukung Luna.
“Kari
dan salad hari ini, kami pergi berbelanja bersama dan memasaknya bersama!”
“Itu
bagus. Rasanya benar-benar seperti
pasangan yang tinggal bersama."
“Rasanya
seru sekali memasak berdua! Akan sangat baik jika bisa
membuatnya di Rinkiohen. Di rumah, Rai-kun lebih ahli memasak, tapi saat ada
waktu, aku juga kadang memasak. Memasak untuk orang yang disukai itu memang
membuat kita bahagia.”
“Aku
setuju banget!”
Luna
mengangguk besar mendengar pernyataan kakak perempuannya.
“Aku
juga, jika ada waktu, bolehkah aku memasak untuk Ryuuto?”
“Ya,
tentu saja, itu menyenangkan.”
“Terima
kasih, Ryuuto♡”
Dihadapan
mereka berdua, dia
tersenyum manis padaku
dan aku merasa sedikit malu, jadi aku membalas dengan senyuman sambil
mengalihkan pandanganku.
Tinggal
bersama membuat hal-hal yang sebelumnya tidak terlihat menjadi jelas. Luna
ternyata lebih pekerja keras dan peduli pada keluarganya daripada yang aku
duga.
Saling
memahami dan saling peduli.
Membayangkan
posisi satu sama lain.
Mungkin,
begitulah orang-orang
menjadi keluarga.
Meja
makan yang dikelilingi oleh Onee-san
dan Kurose-san serta kami berdua
mengajarkan hal-hal seperti itu.
◇◇◇◇
Di tengah
semua itu, aku menerima pesan dari Fujinami-san yang mengatakan “Mari kita bertemu setelah sekian
lama.”
“Ada banyak
hal yang ingin dibicarakan. Jadi aku
ingin bertemu langsung dengan Kashima-kun untuk melaporkan beberapa hal.”
Fujinami-san
langsung memulai pembicaraan setelah kami bertemu di lounge
hotel di Tokyo yang telah ditentukan sebagai
tempat pertemuan.
Meski ini
pertama kalinya aku mengunjungi
hotel ini, sejak pertama kali ditunjukkan tempat duduk, menurutku hotel ini lebih kelihatan berkelas dibanding hotel bisnis,
tetapi tidak semewah hotel mewah. Suasananya pun pas untuk orang dewasa yang
ingin membahas
hal-hal serius.
Lounge
yang terbuka dengan langit-langit tinggi ini memiliki dekorasi tanaman tiruan
di sana-sini, dan cahaya terang masuk melalui dinding kaca yang besar. Karena
ini adalah hari kerja di tengah libur panjang, ada kelompok orang dewasa yang
tampaknya sedang melakukan negosiasi bisnis dan para wanita yang asyik
mengobrol, keduanya mengisi meja dengan proporsi yang hampir sama.
Di tengah
suasana itu, ketika dua cangkir kopi pesanan
kami tiba, Fujinami-san berbicara kepadaku dengan serius.
“Pertama-tama, lokasinya. Lokasinya diputuskan akan di
Indonesia. Tempat yang sering dikunjungi orang Jepang adalah Bali, tetapi ibukotanya adalah Jakarta
di Pulau Jawa.”
“…Begitu
ya.”
Aku tidak
bisa merasakan apa-apa tentang negara atau tempat yang bernama Indonesia, sehingga aku hanya bisa mengangguk dengan kosong. Aku merasa malu dengan
ketidaktahuanku.
“Sebenarnya,
hal ini sudah diputuskan sejak lama,
tetapi baru-baru ini berbagai permohonan telah disetujui, dan akhirnya bisnis
ini sudah resmi diakui, jadi aku bisa
membicarakannya.”
Fujinami-san
melanjutkan penjelasannya dengan nada yang sama seperti saat dia membahas
pekerjaan di perusahaan penerbit Iidabashi.
“Setelah
anggota utama melakukan perjalanan, kami akan mulai beroperasi secara bertahap.
Aku mulai pada bulan Juli. Sebenarnya, aku ingin pergi lebih cepat, tapi ada
banyak hal yang ingin aku selesaikan sementara masih di Jepang... misalnya,
mengamankan lulusan baru yang menjanjikan, kan?”
Setelah
mengatakannya dengan nada bercanda, wajah Fujinami-san menjadi serius.
“Jika
memungkinkan, aku ingin menyelesaikan
kontrak kerja dengan Kashima-kun
sebelum aku pergi ke luar negeri, bagaimana menurutmu?”
“Eh...?”
Saat aku
ragu-ragu untuk menjawab, Fujinami-san menatapku dengan tatapan penasaran.
“Jangan-jangan,
kamu sedang bingung? Apa kamu sudah mendapatkan tawaran dari tempat lain?”
“Ah...
tidak, sebenarnya, aku belum memberitahu pacarku.”
Saat aku
mengaku, mata Fujinami-san terbelalak.
“Eh,
belum? Kalian berdua sudah
mulai tinggal bersama, ‘kan?
Bukannya kamu berniat untuk menikah?”
“Aku
memang berniat begitu, tetapi aku masih membicarakan
tentang pergi ke luar negeri.”
“Jika
kamu mau begabung dengan kami,
sebaiknya aku segera memberitahunya, karena aku akan berada di luar negeri. Kita
berdua harus melakukan banyak persiapan.”
“Begitu...
ya.”
“Yah,
kami masih ada sedikit waktu, jadi
tolong selesaikan bulan depan.”
“…Baik.”
Sekarang
adalah awal bulan Mei, dan bulan depan adalah bulan Juni. Aku merasa tidak
banyak waktu tersisa sebelum kontrak kerja harus diselesaikan.
“Kira-kira,
apa ada pertanyaan sejauh ini?”
Isi kepalaku
yang penuh dengan pemikiran
tentang Luna, berusaha berpikir sambil melamun.
“…Fujinami-san, apa kamu yang menjadi presiden
perusahaannya?”
Ketika
aku mengajukan pertanyaan sederhana yang tiba-tiba terlintas di pikiranku,
Fujinami-san tertawa geli.
“Tidak,
tidak. Dalam dokumen yang aku kirimkan, ada yang menyebutkan hal itu, tetapi
sepertinya kamu tidak membacanya, ya?”
“Eh?
Ah, maaf... itu agak sulit.”
Fujinami-san
memang sudah mengirimkan beberapa
dokumen terkait perusahaan, tapi aku tidak merasa tertarik untuk membaca
deretan tulisan yang bersifat administratif itu dan hanya mengabaikannya.
“Ada
seorang mantan editor senior yang merupakan
keturunan pendiri penerbit Iidabashi, dan dia adalah investor utama.
Dia mengajak beberapa editor muda yang dia kenal baik secara pribadi dan
profesional untuk memulai bisnis baru. Namun, karena dia lebih fokus pada
manajemen, dalam hal konten operasional, mungkin aku yang akan mengelola divisi
editorial baru ini. Setidaknya, aku akan menjadi atasan langsung Kashima-kun.”
“Begitu
ya.”
“Apa ada lagi? Apa ada yang ingin kamu
tanyakan?”
Saat itu,
aku memutuskan untuk bertanya tentang sesuatu yang sedikit menggangguku.
“…Fujinami-san,
mengapa kamu berpikir aku cocok menjadi editor?"
Sejak
awal bekerja paruh waktu, Fujinami-san terus mengatakan bahwa aku cocok menjadi
editor, dan akhirnya aku mulai mempercayainya, tapi aku masih bingung tentang
apa yang membuatku kelihatan cocok,
padahal aku belum melakukan pekerjaan editing yang nyata.
Fujinami-san
mendengarkan pertanyaanku sambil tersenyum sedikit dan mengambil seteguk
kopi.
“…Karena
aku pikir kamu adalah orang yang bisa berempati
dengan orang lain.”
Fujinami-san
mengatakannya sambil
meletakkan cangkir di piring.
“Ketika
aku mendengar bahwa kamu memiliki pacar yang manis, aku merasa itu masuk akal. Aku pikir esensi dari apa yang
dicari wanita dari pria adalah hal semacam itu.”
Setelah
mengatakannya, ia tiba-tiba menatap keluar jendela.
Karena
menghadap ke area pintu masuk,
mungkin pemandangannya tidak begitu menarik, sehingga kaca jendela diproses
dengan pola garis-garis seperti kaca buram, dan tidak ada pemandangan khusus
yang terlihat.
“…Aku
tidak cocok dengan itu. Baik sebagai editor maupun sebagai calon pacar.”
“…………”
Aku
merasa tidak enak untuk mengiyakan atau membantah, jadi aku tetap diam, dan
Fujinami-san menatapku sambil tersenyum.
“Karena
itulah, aku ingin lebih fokus pada
menciptakan lingkungan di mana aku bisa membina editor yang unggul, dan bersama
penulis, menghasilkan karya berkualitas… mungkin semacam divisi editorial 'Showa' baru di
era baru ini.”
“…Tapi,
Fujinami-san, kamu sebenarnya adalah editor yang sangat berbakat, ‘kan? Meskipun masih muda, kamu
sudah menghasilkan banyak karya yang sukses.”
Dengan niat
untuk memberikan dukungan, Fujinami-san tersenyum lagi.
“Aku
memang telah menghasilkan karya yang sukses, tetapi aku juga telah membuat
banyak karya yang dihentikan. Aku mengerjakan banyak proyek. Kurasa aku memiliki kemampuan untuk
menangani banyak hal, tetapi waktu yang aku alokasikan untuk pekerjaan ini jauh
lebih banyak dibandingkan orang lain. Kepala editor Kuramaga menggodaku dengan sebutan
'perusahaan hitam satu orang'. Karena itu, aku merasa tidak puas hanya
menjadi karyawan tetap di perusahaan yang sudah lama berdiri.”
Setelah
mengatakannya, Fujinami-san tertawa dengan nada merendah.
“Selain
itu, alasan kenapa aku mampu mempertahankan mentalitas untuk
terus membuat proyek baru meskipun aku terus menerus
menghentikan banyak proyek karena
aku tidak terlalu terikat pada setiap penulis. Ketika kita terlalu terikat,
kita pasti merasa depresi
ketika karya tersebut tidak laku. Ketika ide yang kita ajukan tidak terjual,
kita merasa bertanggung jawab.”
“Jadi begitu
ya.”
Melihatku
mengangguk, Fujinami-san tersenyum lagi.
“Kamu
mungkin tipe yang seperti itu. Tapi sebenarnya, aku ingin Kashima-kun menjadi
editor yang hebat.”
Aku
menatapnya dengan bingung, dan Fujinami-san mulai berbicara lagi.
“Bahkan ketika
penulis bisa mengekspresikan apa yang mereka inginkan atau ketika ide kita diwujudkan, karya tersebut masih belum
tentu laku atau tidak. Itu tidak terlalu berarti, jadi
jangan merasa terlalu bertanggung jawab.”
Aku
mendengarkan dengan serius sambil mengangguk.
“Jika
karya tidak laku, kita bisa merasa depresi
bersama, tetapi kita harus saling membantu untuk bangkit lagi dan melanjutkan
ke proyek berikutnya.”
“…Ya.”
“Meski
karya tersebut tidak laku, kemampuan untuk menyelesaikan manga atau novel agar
bisa dibaca orang lain sudah merupakan bakat. Jangan menyerah hanya karena satu
atau dua kali gagal… Jika boleh berharap, selama orang tersebut ingin terus
membuat karya untuk masyarakat, aku berharap kita bisa mendukung mereka sampai
akhir.”
Aku
membayangkan diriku di masa depan sebagai seorang editor, dan ekspresiku
menjadi serius.
Kemudian,
Fujinami-san tiba-tiba melunak ekspresinya.
“Aku
sudah menyukai buku sejak kecil. Aku pernah berpikir untuk menulis sendiri.
Namun, meskipun ide-ide tersebut muncul,
aku tidak bisa mewujudkannya. Jadi, aku benar-benar menghormati para kreator.”
Aku
teringat wajah Fujinami-san yang tampak seperti anak-anak saat berbicara
tentang “Harry Potchari” dari Kujibayashi.
“Aku
ingin menghargai orang-orang. Baik dalam karya maupun dalam proses pembuatan
karya. Manga milik Kamonohashi-sensei, bahkan penjahatnya pun penuh
dengan kemanusiaan, kan? Itulah sebabnya aku suka manga itu. Mungkin kamu sudah
tahu karena dia sering mengatakannya, tetapi di masa mudanya, ia katanya
memiliki banyak selingkuhan dan hidupnya berantakan, tetapi karena ia
menggambar manga seperti itu, tidak ada yang membencinya.”
Setelah
mengatakan itu, dirinya
tersenyum seolah mengingat sesuatu yang lucu, lalu mengencangkan wajahnya untuk
kembali ke topik.
“Metode
sekarang, para editor tinggal menghubungi
penulis yang menerbitkan karyanya
di internet, hanya menerbitkan karya yang banyak view-nya, dan setelah itu bilang
'Silakan berjuang lagi di internet, ya,' tidak akan pernah membangun
hubungan kepercayaan antara penulis dan editor. Aku ingin mereka bekerja sama
dengan baik dan melakukan percobaan dan kesalahan hingga menghasilkan karya
yang sukses.”
Aku
mengangguk sambil mendengarkan dengan seksama.
“Aku
berharap bisa membesarkan editor yang memiliki kemanusiaan seperti itu di bawah asuhanku. Aku merasa Kashima-kun bisa
menjadi editor ideal yang aku inginkan. Itulah sebabnya aku sangat ingin kamu bergabung dengan perusahaanku dan
terus mengajakmu.”
“…Terima
kasih…”
Aku
merasa sedikit geli dan malu, lalu tersenyum canggung. Tiba-tiba, muncul
pertanyaan sederhana di benakku.
“…Apa
kamu tidak menghubungi Kurose-san? Aku pikir Kurose-san lebih bersemangat untuk
menjadi editor sejak awal dibandingkan aku…”
Usai mendengar
itu, Fujinami-san tersenyum samar.
“Ah…
untuk cewek, itu agak sulit, ya?”
“…?”
“Pertama-tama,
jika tiba-tiba mengajak cewek yang baru lulus 'Mau bekerja di Asia
Tenggara?' dia pasti tidak akan mau datang.”
“Apa iya begitu?”
“Apalagi,
jika dia secantik dan secerdas itu, pasti ada banyak
perusahaan besar di Jepang yang mengincarnya.”
“Tapi,
Kurose-san ingin menjadi editor.”
“Jika
dia berusaha, dia bisa jadi editor di Jepang, ‘kan?
Meskipun tidak menjadi editor, masih ada jalan lain
untuk hidup bahagia.”
Itu bukan
keputusan orang luar, tetapi keputusan Kurose-san sendiri,
pikirku.
Ketika aku
memikirkan itu, Fujinami-san tiba-tiba tersenyum dengan raut yang
canggung.
“Masalahnya,
mengajak cewek sendirian itu sulit.
Jika aku melakukan pendekatan pribadi seperti yang aku lakukan pada
Kashima-kun, pasti akan dianggap ada maksud lain, ‘kan? Jika ada salah paham, itu akan
merepotkan."
“Memang
benar…”
Aku penasaran apakah itu perasaannya yang
sebenarnya. Fujinami-san, sebelumnya pernah mengajak Kurose-san makan
berdasarkan saran dariku, jadi mungkin itu juga yang membuatnya canggung.
“Selain
itu, tentang perusahaan baru, jangan terlalu banyak bilang pada Kurose-san atau
orang-orang di penerbit Iidabashi.
Bos kami bukan keturunan langsung dari pendiri, dan bisa terlihat seperti ada
masalah keluarga kecil. Mungkin juga tidak baik jika aku menarik anak magang
dari tempat lama.”
“…Baiklah, aku mengerti.”
Aku
merasa lega tidak memberitahukan Kurose-san sebelumnya. Aku merasa tidak jujur
sebagai pacar jika Luna mengetahui informasi
tentang arah hidupku dari pihak
ketiga, jadi aku tidak memberitahukan siapa pun selain orang tuaku.
◇◇◇◇
Setelah
menyelesaikan satu pekerjaan lagi di lounge, aku meninggalkan hotel dan membuka
smartphone. Ada pesan dari teman sekelompok di LINE seminar.
[Aku
sudah dapat tawaran kerja di perusahaan yang jadi pilihan utama, jadi aku akan
kembali ke seminar setelah liburan!]
Aku tidak
bisa menyembunyikan rasa senang yang meluap saat membaca laporan itu, dan
banyak stiker selamat dan reaksi berkilauan muncul.
Setelah
aku juga memberi reaksi, aku menengadah ke langit.
Bagaimana
perasaan mereka saat menekan stiker dan reaksi untuk pesan ini?
[Kerja bagus!
Selamat ya!]
Hanya
satu mahasiswa tahun keempat yang membalas pesan, dia adalah mahasiswa yang
ingin melanjutkan studi ke pascasarjana.
“…………”
Di atas
kepalaku, langit biru cerah musim semi awal terbentang.
Aku
membayangkan senyuman cerah seperti bunga matahari dari Luna, lalu menunduk. Cerita yang kudengar dari
Fujinami-san membuat hatiku terbakar semangat.
──Aku
merasa Kashima-kun bisa menjadi editor ideal yang aku inginkan.
Aku
diharapkan sebagai pria dewasa yang mampu bekerja seperti Fujinami-san.
Aku ingin
berjuang sebagai editor di bawah bimbingan Fujinami-san. Aku ingin memenuhi
harapan itu. Tetapi,
untuk itu aku harus pergi ke negeri asing.
“…………”
Saat itu,
notifikasi muncul lagi di smartphone.
[Aku
bisa pulang lebih awal hari ini, jadi aku yang akan masak ya♡
Lauknya
yakiniku enggak
masalah?]
Saat aku membaca
pesan dari Luna, aku tidak bisa menahan senyum.
“…………”
Sebaiknya,
aku tidak membahas hal itu hari ini.
Malam
ini, aku akan menikmati yakiniku
dengan Luna.
Dengan pemikiran itu, aku menyimpan
smartphone ke dalam saku celana dan berjalan ringan menuju stasiun.