Chapter 3
Setelah
libur panjang di bulan Mei
berakhir, praktik mengajarku pun
dimulai.
Ketika
aku masuk universitas, banyak teman-teman
di sekitarku yang mengambil program pendidikan, dan karena saat SMA, Kurose-san
pernah bilang “Kamu
sepertinya cocok jadi guru,”
aku jadi mengambil program pendidikan ini
dengan tujuan untuk memperluas pilihan masa depan.
Seiring
berjalannya waktu, semakin banyak mahasiswa yang terpaksa putus kuliah karena kesulitan
mendapatkan kuota SKS,
tetapi aku, karena disiplin bawaan, tetap hadir di kelas yang harus dihadiri
dan menyelesaikan tugas yang harus diserahkan, sehingga aku tidak merasakan
kesulitan yang berarti dalam mendapatkan SKS.
Setelah
mengumpulkan banyak kredit, aku merasa sangat disayangkan jika aku tidak mengambil lisensi
mengajar, jadi aku memutuskan untuk ikut praktik mengajar yang merupakan syarat
wajib. Selain itu, karena sudah memasuki bulan Mei tahun keempat dan belum
melakukan pencarian kerja yang serius, aku merasa perlu memiliki jaminan untuk
masa depan, terutama jika tidak bisa pergi ke tempat Fujinami-san.
Tempat
praktikku adalah SMA Seirin, sekolah asalku. Meskipun aku bisa memilih untuk praktik di
SMP, aku mendaftar di SMA karena merasa lebih mudah mengajar siswa SMA yang
lebih dekat dengan orang dewasa
dibandingkan siswa SMP.
Mungkin,
tanpa disadari, aku juga ingin kembali ke ruang
di mana aku dan Luna
menghabiskan waktu bersama.
“Eh,
jasmu keren banget!”
Di pagi
hari hari pertama, saat aku melihat penampilanku di cermin besar di kamar
tidur, Luna datang dan berseru.
“Baru
pertama kalinya aku melihat
Ryuuto memakai jas!”
“Bukannya
aku pernah mengirim foto waktu upacara masuk universitas?”
“Tapi ini
pertama kalinya aku melihat secara langsung!”
Setelah
berkata demikian, dia
memandangku dengan seksama, lalu tiba-tiba memelukku.
“Jas
itu membuatmu kelihatan
seperti pria dewasa, bikin jantungku
berdebar-debar…”
Dia
berkata begitu sambil memelukku erat-erat. Dari pakaian rumahnya yang
mengembang, aku merasakan sentuhan lembut dari tubuhnya.
“…Tu-Tunggu, Luna.”
Aku
segera menjauh darinya.
“Aku
sudah mau berangkat sekarang…”
Jika dia terus memelukku, tubuh mudaku
bisa saja terpengaruh.
Biasanya Luna
lebih sering keluar rumah lebih awal, tapi selama tiga minggu ke depan, aku
yang akan keluar lebih awal. Memikirkan hal itu, aku teringat bahwa menjadi
guru itu ternyata sangat sulit, terutama karena harus bangun pagi… sesuatu yang
tidak pernah aku pikirkan saat masih jadi siswa.
“Uhm,
baiklah.”
Luna
tersenyum sedikit kecewa dan mundur setengah langkah.
“…Eh!
Ikatan dasimu kelihatan miring,
biar aku perbaiki.”
Sembari
berkata demikian, dia mengulurkan tangannya ke dadaku dan merapikan
dasiku.
Lalu, dia menatapku dari jarak dekat
dengan senyuman.
“Kalau
Ryuuto sudah bekerja, aku ingin setiap pagi mengikatkan dasi untukmu~♡”
“…………”
“…Ada
apa? Tidak mau?”
Karena
aku tidak menjawab apa-apa,
Luna bertanya dengan cemas.
“Eh,
ah, tidak… aku hanya merasa sangat
senang.”
Aku
menjawab dengan cepat, dan Luna tersenyum penuh kasih.
“Hehe,
Ryuuto tuh memang sangat pemalu, ya.”
“…………”
Memang,
apa yang kukatakan barusan bukanlah kebohongan.
Jika aku
mendapatkan pekerjaan dan pergi ke Indonesia mulai April, maukah kamu menikah
dan ikut denganku?
Kata-kata
yang terlintas di kepalaku, perlahan kutelan tanpa mengucapkannya. Waktu sampai
berangkat dari rumah tinggal sepuluh menit lagi. Aku tidak bisa terlambat di
hari pertama praktik mengajar, dan sekarang bukanlah waktu yang tepat untuk
membahas hal yang begitu penting.
◇◇◇◇
SMA Seirin terletak sekitar sepuluh
menit berjalan kaki dari Stasiun O, sama seperti saat aku bersekolah dulu. Pemandangan
di jalan menuju sekolah hampir sama, tetapi ada beberapa toko baru yang tidak
aku kenal, dan tempat yang dulunya adalah bangunan kini menjadi lahan parkir, membuatku tersadar bahwa
sudah cukup lama waktu berlalu sejak
aku lulus.
“Kashima-kun? Sudah lama tidak bertemu!”
Saat aku menuju ruangan yang ditunjukkan di meja
administrasi, seorang wanita melambaikan tangannya
dari ujung lorong.
Dia
adalah Matsumoto-sensei,
wali kelasku saat aku
kelas dua dulu.
“Selamat
pagi, memang sudah lama.”
Aku
menghampiri Matsumoto-sensei
yang berhenti dan menundukkan kepala untuk menyapa.
“Kamu sudah
tahun keempat, ya. Kamu kuliah di Universitas Houou,
‘kan?”
“Ya.
Anda mengingatnya dengan baik.”
“Tentu
saja. Aku masih mengingatnya karena kelas
Kashima-kun banyak sekali peristiwa.
Saat itu aku juga
masih di tahun kedua atau ketiga, jadi masih
ada banyak hal yang membingungkanku.”
Matsumoto-sensei tersenyum seperti melihat
cucunya. Aku merasa heran, apakah dia selalu sering
berbicari seperti ini? Jika dia saat itu tahun kedua atau
ketiga, sekarang dia pasti sudah di usia tiga puluhan. Penampilan sederhana dan
rambut hitam pendeknya tidak banyak berubah sejak aku diajar olehnya.
“…Memangnya ada banyak hal yang terjadi?”
Karena
peristiwa terbesar dalam kehidupanku
adalah memulai hubungan dengan Luna, aku tidak memiliki banyak kenangan tentang
kehidupan sekolahku di masa kelas 2.
Usai mendengar
pertanyaanku, Matsumoto-sensei
tersenyum dengan sedikit rasa malu.
“Ada banyak
siswa yang sulit diatur dalam hal pakaian dan rambut, jadi itu cukup berat bagi
guru baru. Hubungan antara Shirakawa-san dan Kurose-san juga… aku cukup terkejut karena tidak mengetahuinya.”
“Ah…
memang, itu benar.”
“Aku berharap semuanya baik-baik saja.”
“Mereka
baik-baik saja, kok.”
Jawabanku
membuat wajah Matsumoto-sensei
terkejut.
“Kalian
berdua masih berpacaran? …Ah, jika kamu tidak ingin
membicarakannya, tidak apa-apa.”
Dia
menambahkan dengan sedikit panik. Mungkin dia sudah tahu tentang hubunganku
dengan Luna.
“Tidak,
um… sekarang, aku sedang tinggal
bersama Shirakawa-san.”
Matanya
terbuka lebar ketika mendengar
itu.
“Eh,
benarkah? Baguslah. Aku ikut senang mendengarnya.
Shirakawa-san, sekarang dia bekerja
di mana?”
“Dia
sudah lama bekerja di bidang fashion, tetapi
sekarang dia ingin menjadi pengasuh anak dan
sedang mengikuti sekolah kejuruan.”
“Begitu ya.”
Matsumoto-sensei
menyipitkan matanya dan
mendengarkan dengan senang hati.
“Jadi Kashima-kun akan menjadi guru SMA,
ya?”
“Eh,
ah, ya. Jika memungkinkan...”
Aku
merasa perlu menjawab demikian agar tidak terkesan tidak sopan sebagai orang
yang akan dibantu, jadi aku mengangguk.
“Kamu
pasti bisa, Kashima-kun.
Dari dulu kamu sudah menjadi murid yang cemerlang.”
Aku
hanya bisa mengangguk pelan
tanpa bisa merespons pujian itu dengan
baik.
“Walaupun
aku bukan pebimbingmu, tapi jika ada yang tidak kamu
mengerti, kami bebas tanyakan
saja padaku. Semoga praktikmu berjalan baik.”
“Terima
kasih.”
Aku
menundukkan kepala dan meninggalkan tempat itu.
Aku
merasa beruntung Matsumoto-sensei
adalah wali kelasku, sambil mengenang kembali acara-acara cerah di masa kelas 2 SMA yang kuhabiskan bersama Luna,
seperti festival olahraga, festival budaya, dan perjalanan sekolah.
Saat aku
pergi ke ruang tunggu untuk mahasiswa praktik, akulah orang pertama yang tiba di sana.
Rupanya tahun
ini ada dua mahasiswa praktik lain selain aku. Keduanya juga lulusan dari
angkatan yang sama, dan sepertinya semua laki-laki, jadi para siswa pasti akan
kecewa.
Saat aku
merenungkan hal itu, tiba-tiba pintu kelas terbuka dan seorang mahasiswa
praktik berpakaian jas masuk.
“Halo!”
Melihat
pemuda yang masuk dengan suasana ceria, aku sejenak berpikir.
Ia siapa,
ya... wajahnya kelihatan sangat
familiar...
“Eh,
tunggu-tunggu, kelihatannya
kamu lupa padaku ya?”
“…………”
Aku tidak
lupa, tetapi namanya tidak muncul di pikiranku.
“Serius!?
Bukannya sikapmu itu terlalu cuek, Kashima Ryuuto!? Kita pernah sekelas tau!”
Setelah
berkata demikian, dia tiba-tiba menarik dasinya dengan kuat, membuatnya
terlihat acak-acakan, dan mengeluarkan ujung kemejanya dari celana.
Melihat
penampilannya yang berantakan, aku langsung ingat.
“Ah,
anggota klub sepak bola…!”
Kalau tidak
salah rambutnya juga tidak
hitam seperti ini, tetapi lebih terang.
“Benar! Ini aku, Oosuga
Shuya, kamu ingat?”
Setelah
mendengar namanya, aku langsung
sepenuhnya ingat. Ia adalah
anggota klub sepak bola yang dipanggil ‘Shuya’ oleh Luna dan teman-temannya.
Aku pernah memergokinya menyatakan cinta pada Luna yang dikira
masih lajang.
“Kalau
Shuya saja sudah dilupakan, keberadaanku
pasti sudah sepenuhnya terlupakan.”
Dari
belakang Oosuga-kun, muncul seorang pria lain yang
sepertinya juga mahasiswa praktik.
“Aku
juga sekelas saat kelas 2 dulu.
Apa kamu masih ingat dengan Sugiura Touto?”
“…Ah…
ya, tentu saja.”
Aku rasa
aku tidak akan pernah bisa mengingat namanya, tapi aku merasa familiar.
Aku meyakini
kalau ia adalah ketua klub teater, yang pernah berperan
sebagai pemeran utama di pertunjukan festival budaya, dan sepertinya ia juga
cukup akrab dengan Oosuga-kun
yang aktif di bidang olahraga.
Dari sekian
banyak orang, aku harus melakukan praktik mengajar dengan kedua orang cowok
gaul seperti mereka... rasanya membuatku
merasa berat.
“Kashima, kamu mengajar mata pelajaran
apa?”
“Eh,
um, IPS...”
“Begitu ya. Kalau
aku sih olahraga.”
Sambil
berbicara begitu, Oosuga-kun duduk di depanku.
Ruang
tunggu mahasiswa praktik menggunakan ruang rapat yang luasnya sekitar setengah
dari ruang kelas biasa, dengan empat meja yang disusun berhadapan seperti saat
makan siang di sekolah SD.
“Kalau aku
sih
mata pelajaran musik. Aku belajar musik vokal di
universitas... oh iya,
kamu kuliah di mana, Kashima?”
Sambil
berkata demikian, Sugiura-kun
duduk di sebelah Oosuga-kun.
“Lah,
memangnya kamu tidak tahu? Kashima kuliah di Universitas Houou lho? Ia sekarang super elit!”
“Eh,
serius!?”
“Ketika
upacara kelulusan dulu, ada banyak kehebohan. Para gadis bilang, 'Kyaa!
Luna memang punya
selera bagus!' Seriusan, aku sangat iri sampai-sampai hampir muntah."
“…………”
Aku tidak
tahu apakah cerita Oosuga-kun
itu benar atau tidak, tapi aku sama sekali tidak mengingatnya. Jika ada dunia di mana para
gadis berteriak memanggil-manggil
namaku, aku ingin sekali melihatnya dengan mataku sendiri.
“…Ehmm, apa
kalian berdua akan mengikuti ujian penerimaan guru?”
Aku
merasa tidak enak hanya diam setelah dipuji, jadi aku mengubah topik
pembicaraan.
“Aku sih iya. Itulah sebabnya aku di sini.”
“Walaupun
bisa wisuda dari sekolah seni, tidak semua
orang bisa hidup sebagai seniman. Tapi jika ingin menjadikan hobi sebagai
pekerjaan, menjadi guru adalah pilihan yang aman.”
“Aku
juga. Aku berharap bisa jadi pemain profesional
di sepak bola, tapi realistisnya mungkin jadi guru olahraga. Jika bisa menjadi
pembimbing klub, aku bisa terlibat dalam sepak bola sampai pensiun.”
“…Be-Begitu ya.”
Aku
terkejut melihat dua orang ini ternyata sudah menjadi orang dewasa yang cukup
serius. Maksudku,
aku juga merasa senang bisa
berbicara dengan mereka dengan santai seperti ini. Dulu semasa SMA, bertemu tatapan mata dengan mereka saja
sudah membuatku takut.
Mungkin
sebenarnya tidak ada sistem kasta di sekolah, dan jika aku mau berbicara dengan
mereka saat itu, komunikasi seperti ini bisa saja terjadi?
“Kashima, apa kamu yakin ingin menjadi guru? Bukannya kamu bisa mencoba bekerja di
perusahaan besar, seperti sesuatu di bidang
bisnis dengan nama 'Mansax'?”
“Apa
itu?”
“Itu
perusahaan yang keren. Aku tidak tahu lebih
lengkapnya, sih.”
“Tidak,
aku tidak bisa... aku dari fakultas sastra. Jadi aku
harus berusaha lebih keras.”
Karena
aku sedikit memahami perusahaan yang disebutkan Osuga-kun, aku hanya bisa
tersenyum pahit dan menjawab.
“Jadi
kamu dari fakultas sastra tapi mengajar IPS?
Bukan bahasa Jepang?”
Sugiura-kun bertanya padaku.
“Ya.
Di fakultas sastra ada berbagai jurusan, dan jurusan sastra Jepang untuk guru
bahasa Jepang, sastra Inggris untuk guru bahasa Inggris, tapi jika ingin
mendapatkan lisensi mengajar dari jurusan lain, biasanya menjadi guru IPS.”
“Begitu ya.”
“Jadi
seperti itu, ya."
Keduanya
tampak tidak terlalu tertarik saat menjawabnya.
“Oh iya,
apa kamu seriusan masih
pacaran dengan Luna?”
“Ah,
aku juga mendengar
itu!”
Mendengar
pernyataan Oosuga-kun,
Sugihara-kun juga terlihat bersemangat.
“Dan
katanya kalian sudah mulai tinggal bersama?”
“Woahh, serius!?!”
“Apa
kalian mungkin akan menikah!?”
Mereka
berdua tiba-tiba melihatku dengan penuh kegembiraan. Aku terkejut dengan jaringan
pertemanan mereka di SMA. Memang, mereka adalah orang-orang yang ceria.
“…Menikah,
ya, aku memang berencana begitu, tapi...”
Aku hanya
bisa tersenyum pahit dan menghindari pertanyaan
mereka. Aku teringat bahwa aku harus memberitahu Luna
tentang rencana tawaran pekerjaanku
ke Indonesia.
“Pastinya
bisa, ‘kan?
Kalian sudah tinggal bersama, jadi Luna juga pasti ada niatan begitu, ‘kan?”
“Apa jangan-jangan ada cewek lain yang kamu
incar?”
“Tidak,
bukannya begitu…”
Aku
hampir ditatap sinis oleh keduanya, dan buru-buru membantah, tetapi tidak bisa
mengungkapkan dengan jelas, sehingga suasananya
menjadi canggung. Namun, memikirkan jaringan mereka, aku merasa tidak bisa
mengungkapkan hal ini sebelum berbicara dengan Luna.
“Kalau
ada pernikahan, undang aku, ya!”
“Aku
ingin melihat Luna dalam gaun pengantin. Dia pasti
terlihat sangat menawan. Ah, Luna, benar-benar tipeku!”
Oosuga-kun sendiri tampak
terpesona. Meskipun aku berpikir, “Apa
maksudmu!?”, tapi aku juga merasa sedikit superior daripada dirinya, jadi
aku berharap bisa memaafkan diriku sendiri, mengingat masa-masa sulit di
SMA.
◇◇◇◇
Hari
pertama praktik mengajar berakhir hanya dengan rasa tegang. Setelah menyapa
guru IPS yang akan membimbingku di kelas
dua, aku duduk di belakang kelas dan mengamati pelajaran sepanjang hari.
Besok dan
seterusnya, aku akan melakukan hal yang sama, dan di sela-sela pengamatan
pelajaran, aku akan melakukan penelitian materi untuk membuat rencana pengajaran
untuk kelas simulasi yang dimulai minggu kedua. Meskipun aku sudah memiliki
pengalaman mengajar sebagai pengajar les, aku harus mempersiapkan diri dengan
baik untuk mengajar di depan lebih dari tiga puluh siswa, dan jadwalnya
ternyata cukup padat.
“Rasanya
pasti sulit untuk benar-benar mengajar di kelas! Aku
tidak bisa membayangkannya! Ryuuto memang luar
biasa!”
Malam
harinya, saat aku membuka laptop di meja di sudut ruang tamu, Luna
memanggilku.
“Terima
kasih atas kerja kerasmu♡ Mau kopi?”
Saat aku
menoleh, Luna menawarkan secangkir kopi. Dengan piring kecil di sampingnya, ada
biskuit yang menyertainya.
Kebaikan Luna
membuat hatiku menghangat. Pada saat yang sama, aku teringat
hal yang belum aku katakan padanya.
“…………”
Tidak,
aku harus fokus pada persiapan pelajaran sekarang.
Aku ingin
menjaga hubunganku dengan Luna.
Untuk
itu, aku ingin membahas hal-hal yang berkaitan dengan masa depan kami pada
waktu yang tepat untuk kami berdua.
“…Terima
kasih.”
Sembari
mengatakan itu, aku menerima kopi itu dan menikmatinya dengan
penuh rasa syukur.
“Luna,
kamu boleh tidur lebih dulu. Besok juga ada
jadwal ke sekolah, ‘kan?”
Saat aku
berkata demikian, wajah Luna sedikit terlihat sedih.
“Ya...
baiklah. Selamat malam, Ryuuto.”
Setelah
berkata demikian, dia pergi ke kamar tidur.
“Selamat
malam, Luna.”
Setelah
menyelesaikan pekerjaan hingga titik tertentu
dan mempersiapkan untuk besok, aku menuju kamar tidur. Luna tidur dengan wajah damai dan
mengeluarkan suara napas yang tenang.
“…………”
Melihat
wajahnya, aku teringat bahwa aku belum bisa mengatakannya hari ini, dan kembali
teringat tentang rencana ke Indonesia.
Ada rasa
harapan bahwa Luna akan mau ikut, tetapi aku tidak bisa meminta hal itu
darinya. Karena
itu berarti akan menghambat pembentukan karirnya sebagai pengasuh anak.
Walaupun aku
benar-benar ingin mendukung impian baru Luna, tetapi di sisi lain, aku justru
akan menghalanginya.
Pertentangan
ini membuatku merasa berat untuk berbicara. Meskipun
begitu, terus-menerus menunda memberitahunya
tidak akan menyelesaikan masalah itu sendiri...
“…………”
Besok, aku
harus mengatakannya dengan jelas.
Dengan pemikiran itu, aku berusaha masuk ke
ruang kosong di tempat tidur tanpa mengguncangnya,
dan akhirnya tidur di samping Luna.
◇◇◇◇
Namun,
keesokan harinya dan hari-hari berikutnya, aku memiliki
banyak sekali pekerjaan yang harus dilakukan selama
praktik mengajar, jadi aku sama sekali
tidak mempunyai waktu santai untuk berbicara dengan Luna ketika pulang ke rumah.
“…Ngomong-ngomong,
siapa lagi yang ikut praktik mengajar?”
Saat kami
duduk di meja makan untuk sarapan, aku terkejut mendengar pertanyaannya. Aku menyadari seberapa disibukkannya aku dengan
pelajaran simulasi hingga tidak membahas hal-hal dasar seperti itu.
Mungkin Luna
juga memperhatikanku dan sengaja tidak banyak berbicara.
“Ah...
ada Oosuga-kun dan Sugiura-kun. Apa kamu mengingat mereka?”
“Eh,
Shuya dan Touto!? Seriusan! Aku
tak menyangka mereka menjadi guru!”
Luna
menjawab dengan reaksi yang besar. Aku sudah tahu betapa cerianya dia memanggil
nama teman sekelasnya dengan nama depan, jadi aku tidak merasa cemburu...
meskipun aku masih merasa sedikit kesal mungkin karena teringat
saat Oosuga-kun mengungkapkan
perasaannya. Atau mungkin karena tekanan dari pelajaran simulasi yang membuatku
merasa tidak nyaman.
Atau
mungkin...
“…………”
Karena
reaksiku tidak begitu baik, Luna tidak melanjutkan pembicaraan tentang
keduanya.
“…Eh,
Ryuuto, kamu mau jadi guru?”
Saat
ditanya dan melihat ke arahnya, Luna tersenyum dengan penuh perhatian.
“Belakangan
ini, aku banyak mendengar cerita tentang pencarian kerja dari Maria. Tapi,
Ryuuto sepertinya belum mencari kerja, ‘kan?
Jadi, aku berpikir, apa kamu mau jadi guru... Lihat, Maria juga sempat
mengambil kategori pendidikan, tetapi karena praktiknya bertabrakan dengan
pencarian kerja, dia berhenti.”
Ritme
bicaranya sedikit aneh, mungkin karena dia mengamatiku sambil berbicara. Luna
mengatakannya dengan hati-hati.
“…………”
Sebenarnya,
aku tidak sedang marah atau dalam suasana hati yang
buruk. Aku hanya mencari waktu yang tepat untuk memberi
tahuLuna bahwa aku ingin pergi ke Indonesia dengan ajakan Fujinami-san.
“…Kurasa, aku tidak cocok jadi guru.”
Alhasil,
kata-kata yang aku pilih adalah pengungkapan perasaanku yang sebenarnya.
Ini
adalah kesimpulan yang pernah aku capai saat bekerja paruh waktu sebagai
pengajar les, tetapi sekarang aku merasakannya kembali.
“Menjadi
guru... terutama guru di depan banyak siswa, itu pekerjaan yang diawasi oleh orang lain, jadi... bagi
seseorang sepertiku yang merasa tertekan dengan pandangan orang, kurasa pekerjaan itu tidak cocok.”
“Tapi,
jika sudah terbiasa, mungkin rasanya akan
lebih mudah, kan? ...Sekarang, mungkin sulit karena belum terbiasa...”
“…………”
Perkataan Luna
ada benarnya.
Tapi.
“…Aku
tidak tahu apakah kamu masih mengingatnya,
tapi dulu, ketika Luna disarankan oleh Tanikita-san untuk 'menjadi model', kamu mengatakan...”
──Meskipun
sedikit imut dan punya tubuh yang bagus, model itu kan kumpulan orang-orang
seperti itu? Bahkan aku
sendiri tidak percaya bahwa seseorang yang menjalani hidup tanpa beban, tanpa
memikirkan apa pun, dan tanpa berusaha membuat dirinya terlihat baik, tiba-tiba
bisa meraih kesuksesan dengan gemilang.
──Makanya, jika kamu bisa jadi model, mungkin kamu bisa berusaha dari situ,
kan? Memikirkan cara
untuk sukses dan
berusaha keras...
──Itu
benar... orang yang sukses pasti melakukan itu. ...Masalahnya, aku tidak punya semangat untuk
'berusaha sebaik mungkin'.
Setidaknya, dalam hal model atau dunia hiburan...
“Masalahnya
adalah aku tidak punya ‘semangat
untuk berusaha'... Aku juga merasakannya.”
Beban
mental karena selalu dilihat oleh banyak siswa dan ketidakmampuan untuk
mendekati setiap individu karena jumlah yang banyak membuatku merasa tidak bisa
berusaha sebelum merasakan tantangan. Aku bahkan sudah merasakannya di tahap praktik mengajar.
“…Kamu tidak bisa berusaha sebagai
guru?”
Saat Luna
bertanya, aku mengangguk.
“Ya...
Tapi, aku ingin melakukan pekerjaan yang bisa membantu orang lain, memberi
saran, mendukung... Aku rasa pekerjaan seamcam itu
cocok untukku.”
“Be-Begitu ya. Itu berarti... mungkin seperti
perawat? Atau mungkin editor yang pernah kamu sebutkan?”
“…………”
Aku tidak
bisa mengatakannya karena jika aku harus menjelaskan alasanku bisa menjalani
praktik pendidikan sementara Kurose-san yang juga bercita-cita menjadi editor
sedang aktif mencari pekerjaan.
Aku tidak
seharusnya mencampurkan laporan penting yang bisa memengaruhi kehidupan Luna dalam obrolan santai
seperti ini.
“…Hmm,
rasanya sulit ya.”
Saat aku masih tetap diam, Luna memaksakan
senyum dan berkata,
“Tapi,
tidak apa-apa! Aku akan bekerja keras untuk kita berdua sampai Ryuuto menemukan
pekerjaan yang bisa diterima!”
“…………”
Aku
merasa sedikit bersalah karena tampaknya Luna sudah siap untuk membiayai pacar
yang menganggur, jadi aku tersenyum padanya.
“Tidak
apa-apa, aku sudah punya sedikit rencana untuk pekerjaan.”
“…Benarkah?”
“Ya.”
Aku ingin
segera meyakinkannya demi menenangkannya,
tetapi ada masalah lain yang muncul, jadi aku kesulitan untuk
mengatakannya.
Luna akan lulus dari sekolah kejuruannya
pada bulan Juli tahun depan.
Perjalananku
ke Indonesia dimulai pada bulan April.
Jika kami
menikah, kapan waktu yang tepat untuk pergi? Dia baru saja mendapatkan
kualifikasi dan akan mulai bekerja sebagai pengasuh anak yang dia impikan.
Mungkin,
setelah menikah, aku akan terpaksa pergi jauh sendirian. Atau bahkan, apa kami
harus menunda pernikahan? Apa kami akan terpisah begitu saja?
Jika kami tidak membicarakannya, tidak ada yang bisa diputuskan.
Namun, jika dibicarakan, itu bisa merusak kebahagiaan hidup bersama kami saat
ini.
Karena
itulah, aku terus mencari alasan dalam
pikiranku dan menunda pembicaraan tersebut. Aku tahu itu.
Waktu
yang aku dapatkan dengan Luna sangat berharga...
“…………”
Mungkin Luna
menyadari bahwa aku tidak berniat mengungkapkan detail tentang ‘pekerjaan yang ingin aku lakukan’, sehingga dia mengubah suasana
dan tersenyum cerah.
“…Ngomong-ngomong,
bagaimana dengan siswi SMA? Apa kamu
menganggap kalau gadis muda itu imut?”
Dia
berkata demikian dengan tatapan yang seolah-olah menggoda, dengan campuran cemburu.
“Mahasiswa
dari Universitas Houou pasti sangat populer di kalangan
gadis-gadis, kan?”
“Itu
tidak benar, kok.”
Aku hanya
bisa tersenyum pahit.
“Pada
hari pertama, ada yang bertanya 'Apa
Sensei sudah punya pacar?' dan aku
menjawab 'Kami tinggal bersama', jadi itu saja.”
Ada siswa
yang tampak ingin tahu lebih banyak tentang pacarku, tetapi karena aku bukan
tipe orang yang membahas hal-hal seperti itu, mereka tampaknya menyerah untuk
menggodaku.
“Eh,
benar begitu? Padahal aku sudah
sangat siap untuk bersaing dengan gadis SMA!”
“Itu
bukan persaingan. ...kemenangannya terlalu
mudah.”
Meskipun
aku merasa malu, aku sudah bisa mengatakan hal seperti ini, yang merupakan
kemajuan besar sejak masa SMA.
“Ufufu, senangnya♡”
Berkat Luna,
suasana di meja makan menjadi lebih hangat, dan aku merasa lebih rileks. Kemudian, aku menyadari bahwa aku
selalu tegang di rumah. Aku merasa bersalah kepada Luna karena membawa
ketegangan dari praktik mengajar
ke dalam rumah setiap hari.
Dalam
situasi seperti ini, aku tidak bisa membicarakan rencana ke Indonesia. Pada
saat yang sama, aku menyadari bahwa aku bukan tipe orang yang bisa berusaha
dalam pekerjaan yang tidak cocok untukku.
Setelah
praktik ini selesai dan mentalku sudah
merasa tenang, aku akan membicarakannya lagi.
Setelah
berpikir demikian, hari ini aku berangkat menuju sekolah SMA-ku dulu sambil diantar oleh Luna.
◇◇◇◇
Setelah praktik mengajar resmi dimulai,
semuanya terasa sangat cepat. Dengan umpan balik dari guru pembimbing, aku merevisi rencana pengajaran
untuk kelas berikutnya, mengubah cara mengajar berdasarkan reaksi siswa, dan
ada banyak hal yang perlu diperbaiki. Setiap kali aku merasa kewalahan dan
berpikir, “Ternyata
aku tidak cocok jadi guru,”
tetapi karena itu adalah pengalaman sekali seumur hidup, aku berusaha
keras.
Akhirnya,
praktik selama tiga minggu pun berakhir.
Entah
bagaimana, aku merasa terikat dengan siswa yang aku ajar, dan guru yang
bertanggung jawab sangat baik padaku, sehingga perpisahan terakhir terasa
menyedihkan.
Di ruang
tunggu, kami saling memberi semangat dan bekerja sama mempersiapkan
pelajaran... teman-temanku, Oosuga-kun dan Sugiura-kun, juga merasakan
persahabatan yang hangat... meskipun aku tidak tahu apakah itu tumbuh, tetapi
karena ajakan mereka “Ayo kita minum-minum hari ini!” kami memutuskan untuk merayakan
di Stasiun A. Kami berpikir jika pergi ke Stasiun O yang lebih dekat, mungkin
kami akan terlihat oleh siswa atau guru, jadi kami tidak bisa bersenang-senang.
◇◇◇◇
“““Bersulang~!”””
Karena
keduanya adalah orang yang suka bir, meskipun aku tidak terlalu menyukainya,
aku juga bersulang dengan bir.
Restoran
izakaya yang mereka pilih adalah restoran masakan Okinawa, dan di dalamnya
terdengar lagu rakyat Okinawa. Pembatas meja terbuat dari anyaman bambu, dan
tirai dengan pola bingata menggantung di sana-sini, interiornya juga bernuansa
Okinawa, memberikan suasana tropis yang khas.
Di ruang
santai seperti itu, sambil menikmati goya champuru dan umibudo, minuman kami bertiga semakin mengalir.
“Kashima,
setelah kamu pulang hari ini pasti ada Luna yang menunggumu di rumah, kan? Enak ya...”
Oosuga-kun
yang duduk di depanku tiba-tiba berkata dengan nada penuh rasa isi. Mungkin karena sudah meminum dua gelas, keadaannya mulai sedikit mabuk.
“Serius,
Luna itu cewek yang bagus. Aku pengen pacaran sama dia.”
“…………”
“Ah,
tidak apa-apa, tidak apa-apa. Aku juga sekarang punya pacar, kok.”
Oosuga-kun
tertawa lepas karena mungkin ia
menyadari tatapanku yang curiga.
“Kamu
dari masa SMA selalu punya pacar, ‘kan?”
Sugiura-kun
yang duduk di sampingku langsung menyela.
“Tapi,
jika aku bisa pacaran dengan Luna, aku akan putus kapan saja!”
Serius?
Jadi, saat aku mengungkapkan perasaanku kepada Luna, ia sebenarnya sudah punya
pacar lain? Ia
benar-benar pria playboy yang
tidak bisa dimaafkan... aku
mengepalkan tanganku di dalam hati.
“Ah,
aku akan bilang ke pacarmu yang
sekarang!”
Sugiura-kun
berkata dengan nada bercanda, sambil mengambil ponsel.
“Hei,
jangan! Jika aku masih berpacaran
dengan dia, aku pasti tidak akan putus!”
Melihat
Oosuga-kun yang terbata-bata menjelaskan, aku berpikir, “Hmm?”
“…Apa
Sugiura-kun kenal dengan pacar
Oosuga-kun yang sekarang?”
Saat aku
bertanya begitu, Sugiura-kun mengangguk seolah
itu hal yang wajar.
“Kashima
juga seharusnya mengenalnya, ‘kan?
Dia teman sekelas kita di SMA.”
“Eh?”
“Pacarku
juga begitu. Kaneda Yuna, kamu masih mengingatnya? Dulu dia berpenampilan Gyaru semasa
SMA, dan aku rasa dia akrab dengan Shirakawa-san.”
Setelah mendengar
itu, aku mencoba mengingat-ingat kenangan
yang jauh di masa lalu.
Yuna…
Yuna… Sepertinya aku pernah mendengar namanya, dan wajahnya pun samar-samar
terbayang.
Ah, gadis itu,
ya, di layar LINE yang ditunjukkan oleh Luna…
Luna Yuna
Akari (3)
Yuna: Nikoru sedang berkencan dengan cowok polos dari kelas, haha.
Akari: Serius? Itu sangat lucu!
Jadi, itu
dia ‘Yuna’ yang menyebutku “cowok polos”!
“Yuna
masih berpacaran sama aku setelah masuk
universitas. Ketika aku bermain dengan Shuya, Yuna datang bersama teman-teman
SMA-nya, dan akhirnya dia menjalin hubungan dengan salah satu dari mereka.”
“Itu
Miyu… namanya Fujii Miyu.
Dia pacarku yang sekarang.”
Sepertinya
aku juga pernah mendengar nama itu dari Luna.
Secara
bersamaan, aku menyadari bahwa dia adalah bagian dari jaringan teman sekelas
mereka. Termasuk Yamana-san dan Tanikita-san, aku juga sedikit mengetahui bahwa
teman-teman perempuan Luna dari SMA sering saling memberi kabar melalui
SNS.
“Hubungan Sugin juga sudah lama banget, ya. Kalau tidak salah dari awal
kelas dua SMA, kan? Keren, ya?”
“Ya,
meskipun kami beberapa kali putus dan sempat pacaran dengan orang lain. Tapi, aku merasa paling nyaman bersama Yuna, dan
tiba-tiba kami saling menghubungi lagi, dan akhirnya kembali bersama.”
Sugiura-kun
bercerita dengan ekspresi yang mirip mengeluh namun juga tersenyum.
“Kalau tidak
salah saat kelas dua SMA? Ketika aku sedang berkencan dengan
Yuna di dekat Stasiun O sepulang
sekolah, aku melihat Kashima dan Yamana-san. Aku bilang kepada Yuna, 'Ayo ambil foto mereka, kelihatannya lucu banget!'
Sekarang aku pikir-pikir lagi, apakah itu karena kamu ingin mencari tahu
Shirakawa-san? Yamana-san kan mantan yankee.”
“…………”
Jadi itu
semua ulah kamu, ya!
Karena
foto itu, ada momen aneh antara aku dan Luna, tetapi aku melihat sisi imut Luna
yang cemburu, jadi aku memaafkan Sugiura-kun dalam hati.
“Aku
juga jadi mengingat
foto skandal Kashima. Itu terjadi
saat musim panas kelas dua SMA, ‘kan?
Ada anak dari tim sepak bola yang bilang dia punya foto yang dikirim oleh teman
SMP. Ketika aku lihat, itu foto Kashima dan Kurose-san yang sedang berpelukan, dan karena kelihatannya menarik, jadi aku menyebarkannya ke seluruh angkatan.”
Jadi
kamu pelakunya!
Itulah yang menjadi penyebab mengapa aku
tidak berkomunikasi dengan Luna selama dua minggu di liburan musim panas, dan
berbeda dengan Sugiura-kun, rasanya sulit untuk memaafkannya… aku menggigit
gigi belakangku sejenak.
Tapi semua kejadian itu sudah
berlalu, dan jika aku menilik kembali ke belakang,
semuanya adalah kenangan masa muda.
“Ah,
kejadian itu memang bikin
heboh. Shirakawa-san baru saja mengumumkan bahwa dia pacaran dengan
Kashima."
“Beneran
banget. Setelah itu, ketika terungkap bahwa Kashima
selingkuh dan putus, aku pikir itu kesempatan Luna untuk kembali lajang, jadi aku berusaha keras
menyebarkannya.”
“Tidak,
itu…!”
Aku
hampir menyangkal dengan semangat, tetapi karena ada kehormatan Kurose-san, aku
tidak tahu bagaimana menjelaskannya dan terdiam.
“…Yah,
pokoknya itu bukan tentang perselingkuhan atau semacamnya.”
“Memangnya
itu mungkin!?”
“Apa kammu jangan-jangan melakukan
hubungan dengan kakak beradik kembar
sekaligus!?”
“Serius?
Aku sangat iri! Aku ingin hidup seperti Kashima!”
“Seperti
yang diharapkan dari Cowok Houou, kamu
memang hebat! Bermain dengan wanita juga sukses!”
“Mas pelayan,
kami dua highball lagi, tolong!”
“Anheho!?
Eh, tidak ada tequila!?”
“Sugiura-san,
ini sudah keterlaluan!”
“Ya,
keterlaluan! Keterlaluan!”
“…………”
Kedua
orang itu entah bagaimana mulai meminum
highball dengan cepat, dan aku hanya bisa bertepuk tangan mengikuti suasana
sambil tersenyum.
Karena
aku tidak memiliki teman pria seperti ini di sekitarku, suasana ini terasa
segar dan menyenangkan.
Jika
bukan karena hal seperti ini, kurasa aku tidak akan pernah ikut dalam pertemuan
minum seperti ini seumur hidupku, jadi aku merasa senang telah datang untuk
praktik mengajar dalam arti memperluas wawasan.
Kedua
orang yang minum dengan cepat itu, seperti yang diperkirakan, langsung mabuk berat.
“…Serius,
Kashima. Kamu harus menghargai
Luna dan menjaganya baik-baik, ya.”
Pada akhirnya, Oosuga-kun hanya mengulang dan mengigau itu.
“Menjadi
jujur adalah hal baik dari dirimu.”
Aku
mendengarkan ceramah yang entah sudah keberapa kali dengan mengangguk-angguk.
Sugiura-kun, di sampingku, bersandar di dinding dengan tangan disilangkan dan
tertidur.
“Jangan
buat rahasia. Jangan sampai membuat Luna
menangis.”
Kata-kata
itu membuatku terkejut.
Kata
rahasia mengingatkanku pada undangan dari Fujinami-san.
“…………”
Setelah
berpikir sejenak dan mengangkat wajahku.
Oosuga-kun
juga tertidur. Ia sudah terkulai lemas di atas meja.
“…Hah?”
Maksudku,
ini akan jadi bagaimana?
Apa aku
boleh pulang?
Siapa
yang akan membayar tagihan?
“Hei,
Oosuga-kun? Sugiura-kun?”
Aku
terburu-buru membangunkan keduanya, tetapi mereka berdua hanya mengeluarkan
suara “uhmm” dan tidak berusaha membuka
mata.
“…………”
Aku
terdiam.
Pada saat
yang sama, aku teringat bahwa pernah ada kejadian serupa di masa lalu… saat aku
pergi ke izakaya tempat kerja paruh waktu Yamana-san bersama Icchi dan Nisshi.
Mereka berdua meminum
minuman yang mencurigakan dan mabuk, dan aku merasa putus asa seperti
sekarang.
Saat itu,
Yamana-san, yang merupakan tersangka dalam kasus itu,
bertanggung jawab dan menjaga mereka berdua, tapi kali ini apa yang harus
kulakukan?
Saat aku
berpikir seperti itu, ponsel Sugiura-kun yang terletak di atas meja bergetar
dengan layar panggilan masuk.
Ketika melihat
nama penelepon yang ditampilkan ‘Yuna’, aku
merasa seolah-olah menemukan secercah harapan dan segera menggeser tombol
panggilan.
“Hey,
kamu masih belum pulang juga? Katanya
akan datang setelah acara menium-minum selesai, jadi aku menunggu!
Aku sudah menulis di pesan juga, jadi tolong
beli tisu toilet, ya?”
Ketika
aku mengaktifkan speaker, suara perempuan yang cepat dan tidak sabaran terdengar.
“…Halo?”
Aku
berbicara perlahan-lahan
ke arah ponsel.
“Eh,
siapa?”
“Ini aku,
Kashima, orang yang
bersama Sugiura-kun dalam praktik mengajar…”
“Eh,
seriusan!? Nostalgia
banget! Hei, nanti
undang aku ke pernikahanmu, ya!?”
“…………”
Kenapa
dia dan pacarnya berusaha untuk diundang ke pernikahan? Sambil berpikir begitu,
aku mempercepat penyampaian maksudku.
“Sekarang
aku sedang minum-minum
dengan Sugiura-kun dan Oosuga-kun, tetapi mereka berdua sudah ketiduran karena terlalu mabuk, jadi
aku butuh bantuan…”
“Ah,
serius!? Lagi!? Di mana!?”
“Di
restoran masakan Okinawa di depan Stasiun A…”
“Baiklah,
aku akan datang menjemput dengan mobil! Ada Shuya
juga, kan? Aku akan mengajak
Miyu!”
Sepertinya
kejadian semacam ini sudah menjadi
kebiasaan mereka, jadi aku merasa terbantu karena percakapan ini berlangsung
cepat. Jika orang yang waras datang, mungkin kami bisa mengumpulkan biaya
minum.
Sekitar
tiga puluh menit kemudian, Yuna-san menghubungi ponsel Sugiura-kun lagi, dan
aku membantu Sugiura-kun dan Oosuga-kun satu per satu untuk keluar dari
restoran dan memasukkan mereka ke dalam mobil Solio milik Yuna-san yang
terparkir di pinggir jalan.
“Makasih banyak ya, Kashima-kun.”
“Maaf
ya.”
Yuna-san
dan Miyu-san juga keluar dari mobil dan berbicara padaku dengan tampak
menyesal.
Berbeda
dengan Luna dan Yamana-san yang masih terlihat seperti gadis-gadis, mereka
berdua sudah tampil dengan penampilan yang sangat kasual. Mereka terlihat
seperti wanita biasa berusia dua puluhan yang mungkin tidak akan aku kenali
jika bertemu di jalan.
“Tidak
apa-apa, jadi… aku pamit pulang dulu…”
Sambil
mengangguk, aku berusaha menuju arah stasiun.
“Ah iya,
maksudku, di mana rumahmu, Kashima-kun?”
“Katanya sekarang kamu tinggal bersama dengan Luna, ya?”
Mendengar
pertanyaan itu, aku berhenti sejenak.
“Oh,
iya. Aku tinggal di Kota K…”
“Eh,
bukannya itu jauh banget!? Bukannya itu di luar distrik 23! Memangnya
masih ada kereta!?”
Karena
masih pukul 10 malam lebih, tentu saja masih ada. Seberapa
jauh sih menurut mereka?
“Aku
akan mengantarmu, kalau mau, silakan naik!”
“Eh!?
Tidak usah, masih ada banyak kereta yang beroperasi kok…”
“Tidak
apa-apa~, tidak apa-apa~! Aku juga ingin bertemu dengan Luna!”
“Eh…!?”
Pada akhirnya,
entah kenapa, aku terpaksa
diantar oleh Yuna-san ke rumahku di kota K.
◇◇◇◇
Kursi
belakang yang dipenuhi dengan dua orang mabuk yang tidur nyenyak tidak terlalu
nyaman. Sambil berharap Miyu-san mau menggantikan tempat duduk di sampingku,
aku tetap bersandar pada Oosuga-kun dan menikmati perjalanan selama sekitar
satu jam.
Dua orang
di depan menyanyikan lagu yang mengalun dari ponsel dan terlibat dalam obrolan ala perempuan, sambil sesekali
berbicara padaku dengan perhatian. Aku merasa lega karena biaya minum yang aku
bayarkan juga bisa diselesaikan.
Saat aku
gelisah menunggu waktu kedatangan yang diperkirakan oleh navigasi mobil,
“Shuya
bilang ia merasa senang bisa bertemu Kashima-kun
di praktik mengajar,” kata
Miyu-san sambil sedikit menunjukkan wajahnya dari kursi depan.
“Eh…
masa?”
“Ya.
'Dulu hawa keberadaannya hampir
tidak pernah ada, tapi setelah diajak bicara,
ternyata ia sebenarnya orang
yang baik. Seharusnya aku lebih banyak bicara dengannya dari dulu,' katanya.”
Meskipun
penilaian tentang masa SMA itu berbeda, aku merasa senang mendengar bahwa ia
memikirkan hal itu. Aku juga merasa senang bisa berbicara dengan Oosuga-kun dan
yang lainnya lebih dari yang aku duga.
“Kashima-kun
memang sangat biasa saja! Ketika mendengar ia berpacaran
dengan Luna, aku berpikir, 'Seriusan?'.”
Yuna-san
juga tertawa sambil memegang setir. Aku tidak tahu apakah dia ingat pernah
memanggilku “pria
biasa,” tapi ketika melihat ekspresinya, sepertinya
tidak ada niatan buruk,
jadi aku merasa bisa memaafkannya.
“Tapi,
setelah mendengar banyak dari Luna, aku yakin ia orang yang baik.”
“Iya ‘kan? Mereka bahkan sudah
berpacaran sangat lama.”
“Waktu
kelas tiga, kita sekelas dengan Luna, ‘kan?
Setiap hari kita mendengar ceritanya.”
“Oh iya, benar. Katanya persiapan ujian masuk Kashima-kun
sangat sulit, jadi mereka berdua tidak bisa banyak
bermain.”
Ketika
kelas dibagi berdasarkan jalur karir dan tingkat kemampuan saat kelas tiga SMA,
Luna ternyata tidak berada di grup yang sama dengan teman-teman perjalanan
sekolahnya, tetapi kedua orang ini adalah teman sekelasnya.
“Luna
itu tipe yang ingin bersama pacarnya setiap hari, ‘kan? Karena kelasnya berbeda dan
mereka tidak bisa bermain setelah sekolah atau di akhir pekan, pasti sangat
sulit baginya.”
“Kadang-kadang
dia terlihat stres. Dia bilang, 'Aku ingin bilang lebih sering ingin bertemu dengannya, tapi
itu akan mengganggu belajarnya Ryuuto,
jadi aku tidak bisa bilang.'”
Jadi
seperti itu… Aku tahu dia merasa kesepian, tetapi aku tidak tahu dia sampai secemas itu dalam pikirannya.
“Saat
mereka mulai tinggal bersama, aku lihat di Instagram, ‘akhirnya!’ pikirku.”
“Ya,
aku pikir setelah lulus mereka langsung tinggal bersama.”
“Setidaknya
sekarang Luna tidak perlu merasa kesepian lagi, itu sangat bagus!”
“Benar,
Instagram Luna akhir-akhir ini terlihat sangat bahagia, aku jadi iri!”
“…………”
Usai mendengar
percakapan mereka, aku merasa campur aduk. Jika aku pergi ke luar negeri, apa
yang akan dilakukan Luna?
“…Oh!
Di sana itu Luna, kan?”
“Eh?
Oh iya, benar!”
Setelah
Miyu-san berkata demikian, Yuna-san menekan lampu hazard. Dia kemudian
menepikan mobil di pinggir jalan.
Ketika
aku melihatnya, Luna
berdiri di trotoar dekat sana. Apartemen kami tidak jauh dari situ.
Karena
aku sudah mengirim pesan untuk menjelaskan
situasi, mungkin dia menunggu untuk menyapa Yuna-san dan yang lainnya sesuai
waktu kedatangan. Dia tidak mengenakan pakaian santai seperti biasanya, tetapi
mengenakan pakaian untuk pergi bekerja atau sekolah. Aku merasa sedikit
bersalah jika dia sengaja mengganti pakaiannya.
“Miyu!
Yuna! Lama tidak ketemu!”
Jendela
kursi depan terbuka, dan Luna tampaknya menyadari kehadiranku, lalu berlari ke
arahku dan berkata,
“Benar-benar
lama kita tidak bertemu, ya?”
“Karena
aku melihatmu di Instagram setiap hari, jadi rasanya tidak seperti itu.”
“Aku
juga! Kapan terakhir kita bertemu langsung
begini? Dua tahun lalu di pertemuan gadis-gadis?”
“Ehh~ sudah
selama itu!?”
Sementara
para gadis berbicara, aku mencoba menyandarkan tubuh Oosuga-kun ke arah Sugiura-kun
dan berusaha keluar.
Saat
itu,
“Oi,
Kashimaa…”
Tiba-tiba,
Oosuga-kun meraih
pergelangan tanganku.
“Apa,
ada apa?”
Karena
aku bukan orang yang terbiasa dengan budaya bersentuhan, aku panik dan
bertanya, tetapi Oosuga-kun tidak menjawab. Malahan,
wajahnya yang cenderung menunduk masih terlihat seperti orang yang tidur.
“…………”
Ini
mungkin perilaku aneh karena mabuk… aku mencoba melepas genggamannya
dan keluar.
Dalam
momen itu, Oosuga-kun kembali berbicara.
“Katakan
dengan jelas…”
“…Eh…?”
“…
jika kamu membuat Luna menangis, aku tidak akan memaafkanmu…”
Setelah
mengatakannya, Oosuga-kun melepaskan pergelangan tanganku. Meskipun begitu, aku masih tidak
bisa bergerak di dalam mobil untuk sementara waktu.
“…………”
Oosuga-kun
pasti tidak tahu tentang rencanaku pergi ke Indonesia.
Namun,
aku merasa ada makna dalam kebetulan ini.
“Hei
Luna, mau minum teh sebentar di sekitar sini?”
“Ah,
aku beneran mau-mau saja sih, tapi
besok harus bangun pagi."
“Baiklah!
Kalau begitu, mari kita membicarakannya lagi lain kali!”
“Ya!
Aku akan menghubungimu!”
Saat
percakapan para gadis mulai mereda, aku turun dari mobil.
“Ah,
Ryuuto, selamat datang kembali ♡”
Meskipun dia sedang berada di depan
teman-teman, Luna tersenyum padaku seperti biasa.
“Aku pulang…”
Aku
merasa sedikit malu dan menanggapi
dengan lebih dingin dari biasanya.
“Jadi,
sampai di sini saja! Sampai ketemu lagi!”
“Ya!”
“Terima
kasih… banyak.”
Sambil
melambai tangan bersama Luna, aku memberi salam dengan sedikit formal saat
mobil pergi.
“…Luar
biasa! Aku tak menyangka bisa
bertemu Yuna dan Miyu!”
Sambil
mengamati Luna yang terlihat bersemangat karena bertemu teman lama…
──Katakan
dengan jelas…
Suara
Oosuga-kun terus berulang di kepalaku.
“Ryuuto, kamu tidak banyak minum, kan?
Tapi, kamu pasti lelah setelah praktik
mengajar, ‘kan?
Bagaimana kalau kita bersulang berdua di rumah?”
Jika aku yang biasanya, pada titik ini tekadku mungkin akan
runtuh dan aku akan menunda lagi.
“…Ryuuto?”
Melihatku
tidak bergerak, Luna yang sudah siap melangkah mendadak
berhenti.
──Katakan…
jika kamu membuat Luna menangis, aku tidak akan memaafkanmu…
“…………”
Aku tidak
pernah menyangka bahwa aku akan memberikan kabar besar di titik penting dalam
hidupku kepada Luna, karena dipicu
oleh "Shuya" itu.
Takdir
memang sangat aneh. Hidup penuh dengan pertemuan kebetulan dengan orang lain,
dan selalu ada hal-hal tak terduga yang terjadi.
Pertemuan
dengan Fujinami-san yang kini sedang berusaha mengubah hidupku secara
besar-besaran pun, jika ditelusuri, adalah hasil dari pertemuanku dengan
Kurose-san. Dan…
Kepada Luna, yang merupakan pertemuan terbaik dalam hidupku.
Dengan
tekad yang terpendam, aku membuka mulut.
“Aku
berencana untuk bekerja di Indonesia mulai April
tahun depan.”
Dalam sekejap,
wajah Luna tampak kehilangan kata-kata. Matanya membelalak kaget, dan dia menatapku tanpa bisa
berkata-kata.
“Sebenarnya
aku sudah ingin mengatakan ini sejak lama, tapi maaf, aku baru bisa mengatakannya sekarang. Fujinami-san yang keluar dari Penerbit Iidabashi
mengundangku untuk bergabung sebagai editor di perusahaan baru. Jadi, aku tidak
mencari kerja di Jepang.”
Luna
semakin terdiam, dan setelah beberapa saat, akhirnya dia mengeluarkan
suara.
“…Indonesia…?
Maksudmu, di luar
negeri…?”
Aku hanya mengangguk dengan diam.
Sekarang sudah lewat pukul sebelas malam,
dan jumlah orang di sekitar sudah sangat sedikit. Setellah memasuki jalan yang satu ini, jalan tersebut akan menuju
apartemen kami, tetapi karena ini adalah jalan besar dengan beberapa toko,
masih ada lalu lintas mobil.
Di tepi
trotoar yang cukup lebar, kami saling menatap.
Wajah Luna,
yang sesekali terkena cahaya lampu mobil yang lewat, berubah bayangan. Setiap
momen yang diambil, Luna selalu terlihat cantik.
Sambil
memikirkan hal itu, aku terus menunggu perkataan
berikutnya dari Luna dalam keheningan yang terasa abadi.