Chapter 3 — Ancaman Baru
“Aku
benar-benar bosan...”
Meskipun
aku menghargai apa pun yang diberikan oleh Ojou kepadaku, hanya ada satu hal dari pemberiannya yang
membuatku terganggu.
Dan itu
adalah hari libur.
Aku
jarang mendapati diriku menginginkan waktu pribadi. Jika memungkinkan, aku
lebih suka melayani Ojou di sisinya setiap saat. Namun, untuk beberapa alasan, dia bersikeras memberiku waktu
istirahat seolah-olah itu adalah hal yang paling normal di dunia.
Aku
membayangkan dia
berpikir bahwa jika aku tidak mengambil waktu istirahat yang cukup, itu akan
membuat para pelayan lain kesulitan untuk menikmati waktu mereka sendiri. Aku
mengerti alasannya yang penuh pertimbangan, tetapi kenyataannya, aku sering
tidak tahu apa yang harus kulakukan dengan hari liburku.
Karena
tinggal di kediaman keluarga Hoshine
berarti aku pasti akan menemukan diriku bekerja, aku akhirnya dipaksa masuk ke dalam mobil dan
diturunkan tanpa basa-basi di kota.
“Meong.”
Saat aku
berjalan-jalan tanpa tujuan, suara meow yang menggemaskan terdengar di
telingaku.
Saat
menoleh, aku melihat ada seekor
kucing kecil meringkuk di gang yang remang-remang, terlihat melalui celah di
antara gedung-gedung.
“Apa
ini? Mau cari perhatian?”
“Meong.”
Kucing
itu menguap lalu dengan santai berlari kecil masuk lebih dalam ke gang.
…Melihat
tingkahnya yang berubah-ubah entah bagaimana mengingatkanku pada Ojou.
Karena aku tidak mempunyai tujuan tertentu dan tanpa kegiatan, aku mungkin
sebaiknya mengikuti kucing itu.
“Meong.”
“Oh!”
Kucing
itu melesat dengan anggun, menyelipkan tubuhnya yang ramping melalui celah
sempit. Mana mungkin aku bisa mengikutinya ke
sana. Sayang sekali.
“...Dan
sekarang, aku sedang di mana ini?”
Mengejar
kucing itu telah membawaku lebih dalam ke gang, jauh dari tempatku memulai.
Ah,
sudahlah. Jika aku berkeliaran tanpa tujuan cukup lama, aku pasti akan menemukan jalan keluarnya.
“――Cepetan minggir...!”
“Hah?”
Suara itu
datang dari atas. Siluet berbentuk manusia benar-benar jatuh ke arahku. Hampir
secara naluriah, aku mengulurkan tanganku untuk menangkap sosok misterius yang
turun dari langit.
“Aduh!”
Untuk
sesaat, ingatan tentang ‘Permainan
Kehidupan (Sementara)’
yang kumainkan tempo hari dengan Ojou
terlintas di benakku—ketika aku harus menggendongnya seperti gendongan ala putri.
Kemudian,
lenganku didekap seperti gadis yang sangat ringan.
Dia
mengenakan topi, jadi aku tidak bisa melihat wajahnya dengan jelas. Dilihat
dari penampilannya, dia tampak seusia denganku.
“Uhm… kamu baik-baik saja?”
Aku
dengan hati-hati menurunkan gadis itu ke atas
permukaan tanah. Meskipun
dia sedikit goyah, dia berhasil menjejakkan kedua kakinya dengan kuat di tanah
dan berdiri.
“… Aku
baik-baik saja,” jawabnya lembut.
Setelah
memastikan dia tidak terluka, aku mendongak. Sebuah tali tergantung dari atap,
kemungkinan diikat ke pagar atau sesuatu yang serupa. Dia pasti mencoba turun
menggunakan tali itu.
“… Kamu baik-baik saja? Lenganmu…”
“Tolong,
jangan khawatir. Aku menyerap guncangan dengan tanah.”
“…
Bisakah kamu
benar-benar melakukan itu?”
“Sebagai
seseorang yang melayani Ojou, hal ini wajar saja.”
“…”
Gadis di
depanku, yang mengenakan topinya, tampak terkejut—tidak, bingung adalah kata
yang lebih tepat untuk menggambarkan reaksinya.
“… Haha.”
Namun seketika itu juga, dia
tertawa pelan, bibirnya melengkung membentuk senyuman tipis.
“…Apa-apaan itu? Haha.”
“Aku
tidak ingat mengatakan sesuatu
yang lucu.”
“…Maaf.
Itu hanya… agak lucu.”
“Yah,
asalkan kamu terhibur. Ngomong-ngomong, siapa sebenarnya kamu?”
“…”
Sebelum
dia bisa menjawab, hembusan angin kencang tiba-tiba bertiup melewati gang.
Topinya terbang ke udara, memperlihatkan wajahnya bersama rambutnya yang
terurai.
Rambut
panjangnya menjuntai di punggungnya, dan kulitnya seputih salju yang baru
turun. Dia memiliki kecantikan lembut dan sejuk yang memberinya kualitas yang menawan, mengingatkanku pada bunga yang
mekar di musim dingin.
Dan wajah
itu—tidak salah lagi. Papan reklame besar yang terlihat di balik topinya yang
mengambang memiliki fitur yang sama. Seorang gadis yang terkenal sebagai Diva.
Tidak, itu bukan hanya sekedar mirip. Itu identik.
“Wajah
itu… Namamu adalah…”
“…Habataki
Otoha,” katanya, nadanya diwarnai dengan kepasrahan. Suaranya menegaskan apa
yang sudah kuketahui—gadis ini Diva yang asli.
“…Senang
bertemu denganmu.”
“Ah…
Sama-sama.”
Aku
mendapati diriku sendiri menyapanya secara otomatis. Sementara itu, gadis
itu—sang Diva, Habataki Otoha—mengambil topinya yang terjatuh dan menariknya
rendah SAMPAI menutupi matanya lagi.
“Habataki-san,
kenapa kamu turun dari atap seperti itu?”
“…Saat
ini aku sedang melarikan diri.”
Jawabannya
samar-samar, kurang detail. Kemungkinan besar, dia melarikan diri dari hotel
atau lokasi lain dan dikejar oleh staf atau keamanan.
“Begitu.
Kalau begitu, kamu mungkin
harus segera kembali—sebelum kamu
jatuh lagi.”
“…Itu
bukan pilihan.”
“Dan
kenapa begitu?”
“…Karena
aku kabur dari rumah.”
“Kamu kabur dari rumah?”
Semakin
banyak alasan baginya untuk kembali,
pikirku.
“...Terima
kasih telah menolongku.”
“Kamu mau ke mana?”
“...Aku
tidak tahu. Aku hanya perlu terus berlari.”
Setelah
itu, Habataki Otoha melangkah pergi, seolah tidak terjadi apa-apa.
Rasanya
mudah bagiku untuk membiarkannya pergi dan
membiarkan semuanya begitu saja. Namun melihatnya melakukan sesuatu yang
sembrono seperti memanjat atap dengan tali tipis hanya untuk melarikan diri...
yah, itu sudah cukup.
Setelah
menyaksikan itu dan bertemu dengannya dalam situasi ini, rasanya salah untuk
menutup mata. Sebagai seseorang yang melayani Ojou,
mengabaikan seseorang yang membutuhkan bukanlah hal yang benar untuk dilakukan.
Bagi
seseorang sepertiku—seorang anak terlantar yang cukup beruntung untuk berdiri
di samping Ojou—aku harus bersikap sesuai dengan peran seperti itu.
“Tunggu
sebentar.”
“...Ada
apa?”
“Aku
merasa khawatir, jadi izinkan aku
menemanimu. Setidaknya sampai kamu
kembali ke rumah dengan selamat.”
“...Kamu benar-benar aneh.”
“Sama
sekali tidak. Aku hanya berusaha untuk bersikap sebagaimana layaknya seseorang
yang melayani Ojou.”
“…”
Habataki
Otoha terdiam sejenak sebelum akhirnya mengangguk.
“…Baiklah.
Kamu boleh ikut.”
Dia telah
memberiku izin untuk menemaninya dalam petualangannya yang tak terkendali.
――――♪♪♪
Tiba-tiba,
nada dering ponselku bergema dari kantongku.
Sambil
melirik layar, aku melihat nama si penelepon: Ojou.
“…Jangan.”
Sebelum
aku sempat bereaksi, Habataki Otoha menyambar ponselku dan mengakhiri
panggilan.
“Ah!”
“…Aku tidak keberatan jika kamu ikut denganku, tetapi menghubungi
orang lain tidak diperbolehkan.”
“Kamu cukup berhati-hati, ya?”
“...Aku
hanya ingin menghindari masalah yang tidak perlu.”
Apa dia
pikir aku akan mulai membocorkan semuanya kepada orang lain? Atau khawatir
tentang pihak yang mungkin mengejarnya? Apa
pun itu, kurasa aku tidak punya pilihan lain.
Meninggalkan Diva yang ceroboh ini, yang mengira tali tipis merupakan rite pelarian yang aman, serta
rencananya sendiri, akan menjadi tindakan yang tidak bertanggung jawab. Untuk
saat ini, aku akan menurutinya.
(Maafkan aku, Ojou. Aku akan
menjelaskannya nanti.)
Sambil
meminta maaf dalam hati, aku mematikan ponselku dan memasukkannya kembali ke
saku.
“Apa
ini dapat diterima?”
“...Ya.”
Habataki
Otoha mengangguk puas sebelum berjalan pergi dengan langkah pasti, berniat
meninggalkan gang itu. Aku
mengikutinya tanpa sepatah kata pun, merasa pasrah
dengan apa pun yang menanti kami selanjutnya.
•❅──────✧❅✦❅✧──────❅•
(Sudut
Pandang Hoshine)
“...Hei,
apa kamu sudah berhasil menghubungi Eito?”
“Tidak,
aku sudah mencoba meneleponnya juga, tapi tidak berhasil. Sepertinya teleponnya
mati.”
“Ugh...!
Aku punya firasat yang sangat, sangat buruk tentang ini...!”
“Yah,
Tendou-san, intuisimu biasanya tepat...”
Kali ini,
aku sangat menginginkan kalau
intuisi itu salah. Tapi pada saat yang sama, jauh di lubuk hatiku, aku tahu itu
mungkin benar.
“Argh,
seriusan deh! Eito ada di mana sih?
Kita harus menemukannya sebelum terlambat...!”
•❅──────✧❅✦❅✧──────❅•
(Sudut
Pandang Eito)
Papam
reklame, layar besar, dan poster di seluruh kota
menampilkan wajah Habataki Otoha. Surealisme
saat berjalan tepat di samping Sang Diva
itu sendiri sangat sulit
diabaikan.
“Jadi,
kamu beneran Diva, ya.”
“...Apa
kamu meragukan itu?”
“Haha,
maaf. Aku tidak pernah membayangkan kalau ada Diva
yang akan jatuh dari atap.”
Bukan hal
yang aneh bagiku untuk melihat gadis-gadis jatuh entah dari mana, tapi kali ini baru pertama
kalinya salah satu dari mereka ternyata adalah penyanyi terkenal.
“Ngomong-ngomong,
Habataki-san, kenapa kamu kabur
dari rumah?”
“...Fase
pemberontakan?”
“Kenapa
itu terdengar seperti pertanyaan?”
“...Karena
aku sendiri tidak yakin.”
Kurasa
begitulah cara kerjanya. Aku tidak pernah benar-benar mengalami fase
pemberontakan—aku melewatkannya setelah ditinggalkan oleh orang tuaku—jadi
aku tidak bisa mengatakan bahwa aku memahaminya dengan baik.
“Begitu ya. Kamu
tahu, Habataki-san.”
“...Apa?”
“Apa
kamu menyadari bahwa kita berjalan
berputar-putar terus dari tadi?”
“.....”
Dilihat
dari kesunyiannya, dia tidak menyadarinya.
Alun-alun
dengan air mancur tempat kami berdiri saat ini—kami telah melewatinya sekitar
sepuluh menit yang lalu.
“…Apa jangan-jangan, kamu, tipe buta arah?”
“
…Tidak. Indra perasaku hanya… unik.”
“Ah,
begitu. Jadi, kamu memang buta arah.”
“…Sudah kubilang tidak.”
Rasanya
sulit membaca raut wajahnya karena ekspresinya tidak banyak
berubah, tetapi dia kelihatan merajuk.
Atau lebih tepatnya, penyanyi wanita ini tidak cocok untuk kabur dari rumah
sedikit pun.
“Meski
aku sendiri yang mengatakannya, tapi kurasa itu
adalah keputusan yang tepat untuk menemanimu. Kamu
begitu sembrono sampai-sampai
aku tidak tega meninggalkanmu sendirian. Aku
bisa mengerti perjuangan orang-orang yang menjagamu.”
“…Kamu ini
sangat blak-blakan, ya?”
“Masa?”
Ojou sendiri terus terang dalam
mengekspresikan dirinya, jadi mungkin aku menirunya.
“Jika
kamu lebih suka aku bersikap lembut padamu, aku bisa
melakukannya."
“…Tidak,
Tidak apa-apa. Jarang sekali ada
orang yang berbicara blak-blakan
kepadaku. Jadi rasanya sedikit berbeda.”
“Begitukah?”
“...Ya.
Kebanyakan orang hanya mencoba menyenangkanku
atau mengukur suasana hatiku dengan hati-hati, karena akan menjadi masalah jika
aku tidak bernyanyi. Meskipun, aku juga mendengar cukup banyak gosip tentangku.
Hal-hal seperti, 'Kamu
tidak pernah tahu apa yang dipikirkannya,' atau 'Dia
menyeramkan karena dia tidak tersenyum.' Hal-hal seperti itu.”
“Yah, kurasa itu hanya karena orang-orang di
sekitarmu tidak terlalu peka.”
“Eh...?”
Dia membelalakkan matanya di balik
topinya saat mendengar ucapanku.
“Meskipun
memang benar bahwa kau terlihat datar di permukaan, tapi nyatanya kamu gampang sekali dibaca.”
...Setidaknya,
dia masih lebih baik dibandingkan
dengan Ojou ketika masih kecil dulu.
Pada waktu
itu, meskipun dia kelihatan
manja dan nakal, dia memiliki kecenderungan untuk mengubur perasaannya yang
sebenarnya jauh di dalam hatinya.
Misalnya seperti saat di hari ulang
tahunnya ketika orang tuanya tidak bisa pulang karena pekerjaan yang tidak
terduga. Dia bertingkah
seolah-olah dia baik-baik saja di sekitar orang lain tetapi akhirnya menangis
sejadi-jadinya saat dia sendirian.
“...Benarkah?”
“Ya.
Reaksimu alami—entah terkejut, tersenyum, atau merajuk. Bagiku, kamu
justru orang yang sangat lugas.”
“...Baru pertama kalinya ada orang yang
mengatakan itu padaku.”
“Kamu pasti dikelilingi orang-orang
yang agak membosankan sampai sekarang.”
“...Heh,
mungkin iya begitu.”
Senyum
tipis muncul di ekspresinya yang tadinya kalem.
“Lihat,
kamu bahkan
tersenyum sekarang.”
“...Ah.”
Mungkin
dia pun terkejut dengan ini, karena reaksinya merupakan kesadaran yang
tiba-tiba.
“Aneh
sekali... padahal aku jarang
tersenyum. Kira-kira kenapa, ya?”
“Di
saat seperti ini, bagaimana kalau memikirkan
apa yang berbeda dari biasanya?”
“Berbeda
dari yang biasanya...?”
Entah
mengapa, dia menatap tajam ke mataku.
...Apa
aku mengatakan sesuatu yang membuatnya kesal?
“...Ngomong-ngomong,
siapa namamu?”
“Aku minta
maaf karena terlambat memperkenalkan diri. Namaku
Yagiri Eito.”
“...Boleh
aku memanggilmu Eito?”
“Iya, aku
tidak keberatan sama sekali.”
Sepertinya
aku tidak mengatakan sesuatu yang menyinggung. Saat aku merasa lega, dia mulai berbicara lagi.
“Kamu juga bisa memanggilku dengan Otoha.”
“Dimengerti.
Kalau begitu, Otoha-san.”
“...Ya,
yang begitu tidak masalah.”
Otoha-san
mengangguk, tampak puas, lalu meraih tanganku.
“...Ayo kita pergi, Eito. Ayo terus berlari.”
“Aku
akan sangat menghargai jika kita bisa menghindari berputar-putar tanpa tujuan
di tempat yang sama lagi.”
“Kalau
begitu, Eito, bawa aku
bersamamu. Yang begitu kedengarannya
akan lebih menyenangkan.”
“Aku
tidak bisa berjanji untuk menghiburmu karena aku hanya menghabiskan hari
liburku dengan bermalas-malasan, tapi... baiklah. Aku akan melakukan yang
terbaik dengan caraku sendiri.”
“...Aku
menantikannya.”
•❅──────✧❅✦❅✧──────❅•
(Sudut
Pandang Hoshine)
Aku terus berkendara
mengelilingi kota untuk mencari Eito, tapi aku aku masih tidak bisa menemukan
tanda-tanda
keberadaannya di mana pun.
Ketika
aku memikirkannya dengan tenang, kurasa itu
wajar saja. Mencari dengan perasaan
panik tidak akan banyak membantu;
menemukan satu orang pun di kota yang luas ini hampir mustahil.
Yang
kubutuhkan adalah petunjuk... tetapi sayangnya,
aku tidak memilikinya. Ponselnya sepertinya mati karena aku tidak bisa
menghubunginya.
…Tidak, masih terlalu cepat untuk menyerah.
Jika
tidak ada petunjuk, aku hanya perlu membuat hipotesis.
Eito hampir
tidak pernah tidak bisa dihubungi. Jika ia disibukkan dengan pekerjaan untuk keluarga
Tendou dan menjadi tidak bisa dihubungi, ia selalu memberitahuku sebelumnya.
Jika itu
masalahnya, mari kita asumsikan ia terjebak dalam masalah yang tidak terduga.
Masalah
macam apa itu?
Kemungkinan yang berkaitan dengan kekerasan itu sendiri cukup rendah.
Aku sudah mengelilingi sepenjuru kota,
dan tidak ada tanda-tanda gangguan seperti itu.
Kalau
bukan itu... maka—meskipun aku lebih suka tidak mempertimbangkannya—penyebab
yang paling mungkin hanyalah
sesuatu yang melibatkan seorang gadis. Itu hanya firasat, tetapi intuisiku
tidak pernah salah.
Tanpa
petunjuk yang kuat, mengandalkan gagasan yang tidak pasti seperti itu adalah
satu-satunya pilihanku saat ini.
Jika itu
masalah yang melibatkan seorang gadis... mungkin penyanyi wanita itu. Aku tidak
ingin mempertimbangkannya, tetapi itu cocok.
Berdasarkan
pola masa lalu dan instingku,
tebakanku akan seperti ini: ‘Situasi
di mana Habataki Otoha jatuh dari atas, dan Eito akhirnya menangkapnya,
membuat mereka menghabiskan waktu sersama.’
Kejadian
semacam itu pernah terjadi beberapa kali sebelumnya...
gadis-gadis jatuh dari atas dan Eito
menangkap mereka.
Saat aku
merasa gelisah, ponselku bergetar karena ada panggilan masuk. Rupanya itu dari Kazami.
“Yo!
Aku menyelidikinya menggunakan koneksiku
dan jaringan keluarga Tendo. Aku berhasil mendapat
beberapa informasi tentang Habataki Otoha.”
“Bagaimana
hasilnya?”
“Ini masih
menjadi rahasia, tapi sepertinya
dia melarikan diri dari hotel tempat dia menginap.”
“...Kapan itu terjadi?”
“Pagi
ini.”
“………………………………”
Aku
secara naluriah memegang kepalaku dengan kedua tanganku.
“Dan
dari apa yang kudengar, ada tanda-tanda
bahwa dia mencoba untuk turun dari atap gedung yang dia tinggalkan menggunakan
tali…”
“Biar
kutebak, talinya sudah usang, dan putus di tengah jalan,
bukan?”
“Eh,
bagaimana kamu bisa mengetahuinya?”
“…Hanya
firasat. Sebut saja itu pengalaman.”
Sudah
kudugan rupanya instingku benar. Baru pertama kalinya aku
benar-benar berharap itu tidak terjadi.
“Apa
kamu tahu di mana gedung dengan tali
yang putus itu? Aku harus menuju ke tempat kejadian dan mengikuti jejaknya.”
“Aku
tahu sih, tapi… kamu kedengarannya sangat panik.”
“Tentu
saja aku panik! Setiap detik yang kita sia-siakan
di sini, bakalan ada lebih banyak pertanda
cinta yang dikibarkan…!”
•❅──────✧❅✦❅✧──────❅•
(Sudut
Pandang Eito)
Meskipun
kami bisa dibilang sedang ‘kabur’, tapi kami
tidak memiliki tujuan tertentu, dan aku bukanlah tipe orang yang sering keluar
untuk bersenang-senang.
“...Ini
pertama kalinya aku ke arena permainan.”
Jadi, aku
memutuskan untuk mengajaknya ke ‘tempat
yang memang diperuntukkan untuk bermain’.
Daerah
itu tidak terlalu ramai dibandingkan dengan jalan-jalan utama, yang mana itu juga demi mengurangi
risiko orang-oran
mengenali Otoha-san. Meskipun dia sendiri berkata, “Jika kamu bertindak percaya diri,
orang-orang secara mengejutkan tidak akan memperhatikan,” lebih baik selalu berhati-hati.
“Apa
kamu sering ke sini, Eito?”
“Tidak
terlalu sering, tetapi kadang-kadang, seorang teman mengajakku saat aku sedang
libur.”
Saat kami
memasuki arena permainan, kami disambut oleh suara permainan elektronik yang
kacau dan ramai.
Sepertinya
ada beberapa permainan baru yang dipasang, tetapi secara keseluruhan, jajaran
mesinnya tidak jauh berbeda dari terakhir kali aku ke sini bersama Yukimichi.
“Apa
ada permainan yang menarik perhatianmu?”
“...Yang itu. Aku ingin mencobanya.”
Otoha-san
menunjuk ke sebuah permainan di belakang dari arena permainan. Bentuknya menyerupai ban
berjalan, dengan monitor besar di depannya.
“Permainan
dansa? Aku tidak masalah sih, tapi…”
Ketika
memutuskan arena permainan sebagai tujuan kami, ini adalah salah satu hal
pertama yang terlintas dalam pikiran.
Aku tidak
tahu detail lengkap mengapa dia kabur dari rumah, tetapi jika sesuatu yang
tidak menyenangkan terjadi, membuatnya bergerak dan berkeringat mungkin akan
membantunya merasa lebih baik.
Namun,
penyanyi wanita yang satu ini
sedang hiatus dari aktivitasnya.
Sepertinya
bukan karena kesehatan fisiknya. Lagi pula, dia punya energi untuk melarikan
diri dari hotel dan mencoba memanjat tali dari atap. Bahkan sekarang, setelah
mengamatinya dengan saksama, aku belum melihat tanda-tanda penyakit, atau indikasi bahwa
kesehatannya akan memburuk. Cara jalannya
tidak menunjukkan kejanggalan—bahkan, kekuatan inti tubuhnya yang luar biasa
terlihat sekilas, yang menurutku cukup mengesankan.
Karena
alasan itu, aku berasumsi hiatus itu mungkin karena beberapa alasan mental atau
musikal. Itulah sebabnya awalnya aku berpikir untuk tidak menyarankan permainan
dansa… tetapi aku tidak menyangka dia akan
memilihnya sendiri.
“Kamu yakin tentang ini?”
“Yakin
tentang apa?”
Otoha-san
memiringkan kepalanya dengan raut kebingungan,
tidak menunjukkan tanda-tanda keraguan atau kekhawatiran.
“...Lupakan apa yang kukatakan tadi. Ayo.”
Untungnya,
tidak ada yang memainkan permainan itu saat ini.
“Sepertinya
kamu bebas memilih tingkat kesulitannya. Kita harus mulai dengan yang termudah?”
“Aku
ingin tingkat yang paling sulit.”
Sungguh kepercayaan diri yang tinggi sekali. Sikap
seperti itu sedikit mengingatkanku pada Ojou.
“Maukah
kamu bergabung denganku, Eito?”
“Tentu.
Baru pertama kalinya aku memainkan
permainan ini, jadi aku tidak yakin apa aku bisa mengikutinya, tapi jika kamu tidak keberatan denganku, aku akan memainkannya bersamamu.”
Rupanya,
permainan ini juga mendukung permainan kooperatif.
Kami
berdua akan menari bersama, dan poin kami akan digabungkan untuk menentukan skor
akhir. Setelah memasukkan kredit dan menavigasi menu, kami mencapai layar
pemilihan lagu. ...Mari kita lihat apakah kita dapat menemukan sesuatu yang
menarik.
“Oh,
lihat. Ada salah satu lagumu di sini, Otoha-san. Bagaimana
kalau kita memainkan ini?”
“Ya,
tidak apa-apa.”
“Baiklah,
mari kita mulai.”
Saat
permainan dimulai, musik yang pernah kudengar di iklan mulai diputar, dan tanda irama mulai
bermunculan di
layar. Permainan ini melibatkan langkah atau lompatan seirama dengan tanda yang selaras dengan irama,
tetapi karena kami memilih tingkat kesulitan yang paling sulit, pengaturan
waktunya sangat cepat.
“Wah...”
Mengandallkan irama dan refleksku sendiri,
aku melangkah mengikuti alunan lagu.
Sejauh ini, semuanya baik-baik saja—tidak ada kesalahan di tahap awal.
Aku mulai
menguasai permainan dan tidak melihat adanya masalah besar.
“――――...”
Aku
melirik Otoha-san di sampingku untuk memeriksa kemajuannya. Dia melakukan
langkah-langkah anggun dengan sempurna, juga tanpa satu pun kesalahan. Gerakannya
elegan dan keren, kombinasi yang hampir membuatku kehilangan fokus sejenak—karena penampilannya begitu mempesona.
Berbanding
terbalik dengan teknikku yang sangat bergantung pada refleks
yang terlatih dan posisi yang kokoh, tekniknya pada dasarnya berbeda.
Langkah-langkahnya
tampak sangat senada dengan
musik itu sendiri, seolah-olah dirancang untuk selaras dengan lagu dan irama.
Ada kekuatan yang memikat dalam caranya
bergerak, kekuatan yang menyentuh hati siapa pun yang menonton.
Dan yang
terpenting—dia tampak
benar-benar bersenang-senang.
Sembari menari
mengikuti alunan musik, dia
memancarkan kegembiraan yang menular, bahkan membuat para penonton merasa
bersemangat.
(Hah…?)
Namun di
tengah-tengah semua itu, aku
melihat sesuatu yang samar—bayangan kesedihan. Tidak, ini bukan sekadar
ketegangan. Itu kesedihan.
Akhirnya,
musik pun berhenti dan lagu pun berakhir.
Saat
mesin menghitung skor kami dan kami mengambil waktu sejenak untuk mengatur
napas,
“...Eito,
kamu sungguh luar biasa,” katanya.
“Benarkah?
Kurasa kamu lah yang lebih mengesankan,
Otoha-san.”
“Meskipun
ini pertama kalinya kamu
berdansa denganku, kamu
berhasil mengimbanginya.”
“Aku
hanya mengandalkan
refleksku yang terlatih dan pijakan yang kokoh untuk menyelesaikannya.”
“Itu sama sekali tidak benar. Kepekaan ritmemu juga tidak buruk...
dengan sedikit latihan, kamu
bahkan bisa tampil di panggung bersamaku.”
“Hahaha, itu akan menjadi suatu kehormatan,” kataku sambil tertawa.
Tapi...
matanya berbinar karena kegembiraan.
“Sekali
lagi. Ayo berdansa bersama lagi.”
“Tentu,
siapa takut.”
Kami
memainkan permainan itu lagi dan memperoleh skor tinggi. Namun, saat penonton
mulai berkumpul dan kami mulai menarik terlalu banyak perhatian, kami
memutuskan untuk pergi meninggalkan area pusat
permainan.
“Huff…
huff… Maaf. Aku benar-benar ceroboh—tidak kusangka bakalan ada
banyak orang yang berkumpul.”
“Tidak,
aku juga merasa bersalah karena tidak
memperhatikan sekelilingku.”
Sambil
mengatur napas, kami sampai di taman yang luas dengan kolam besar. Karena sedang hari libur, ada lebih banyak
orang di sekitar daripada biasanya, tetapi tidak seramai pusat permainan atau
jalan utama. Selama kami bersikap normal, kami mungkin tidak akan mencolok.
“…Terima
kasih. Sudah lama sekali sejak
terakhir kali aku bersenang-senang seperti ini.”
“Aku turut
merasa senang jika kamu
menikmatinya.”
Dari
sana, kami tidak melakukan apa pun secara khusus. Kami berdua hanya menatap
kolam besar itu bersama-sama. Berbeda
dengan suasana pusat permainan yang ramai sebelumnya, momen yang tenang dan
damai berlalu di antara kami.
“…Boleh
aku bertanya sesuatu?”
“Silakan.”
“…Kenapa
kamu ikut denganku ketika aku kabur
dari rumah? Kamu bilang
kamu khawatir padaku, tapi… Kurasa
ada alasan lain yang lebih penting.”
“Memang
benar kalau aku khawatir padamu, Otoha-san.
Tapi... saat aku melihatmu, mau tak mau aku
jadi teringat pada Ojou di
masa lalu.”
“...Ojou
yang kamu layani?”
“Ya.
Dia pernah mencoba kabur dari rumah juga. Dia ingin menarik perhatian orang
tuanya yang sibuk—dia ingin
mereka memperhatikannya. Itulah
sebabnya aku juga tidak bisa meninggalkanmu sendirian.”
“...”
Otoha langsung terdiam, tampak merenungkan sesuatu di dalam
pikirannya. Deruan semilir angin membelai daun
telinga kami, dan keheningan samar mulai merayapi di antara kami.
“...Boleh
aku menanyakan sesuatu padamu juga? Mungkin agak pribadi.”
“...Baiklah.”
“Saat
ini, kamu sedang beristirahat dari kariermu, bukan?”
Otoha-san
mengangguk pelan sebagai tanda
setuju.
“Apa jangan-jangan...
kamu tidak bisa bernyanyi?”
Usai mendengar
hal ini, pandangan mata Otoha-san membelalak karena
terkejut.
“...Bagaimana
kamu tahu?”
“Setelah melihatmu
hari ini, aku tahu kalau itu
bukan masalah fisik. Jadi satu-satunya
kemungkinan hanyalah masalah mental. Jika itu cukup
serius untuk membuatmu menghentikan kariermu... yah, aku punya firasat.”
“Kamu
memang hebat... Eito. Ya,
memang persis seperti perkataanmu.”
Otoha-san dengan lembut meletakkan
tangannya di tenggorokannya.
“Aku
bisa bicara dengan normal. Tapi saat aku mencoba bernyanyi... apa pun yang
kulakukan, suaraku tidak akan keluar.”
“...Begitu. Maafkan aku karena terlalu
menyelidikinya.”
“Tidak apa-apa, jangan khawatir. Aku
tidak keberatan.”
Kesedihan
samar yang ditunjukkan Otoha-san
sebelumnya selama permainan dansa kemungkinan besar terkait dengan
ketidakmampuannya dalam bernyanyi.
“Sesuai dengan tebakanmu,
dokterku juga mengatakan itu sesuatu yang psikologis,” ucapnya.
“Apa kamu tahu apa penyebabnya?”
“...Aku
tidak tahu. Tapi tepat sebelum aku kehilangan kemampuan bernyanyi, ayahku
berkata padaku, 'Kamu
tidak perlu bernyanyi lagi.'”
“Menyuruh
seorang penyanyi wanita untuk tidak bernyanyi... Ayahmu sungguh membuat pernyataan yang cukup
berani.”
“Ayahku...
ia tidak pernah tampak senang saat aku bernyanyi,”
Otoha-san menjawab dengan lembut.
Dengan
ekspresi yang jauh dan samar, dia mulai berjalan perlahan di sepanjang tepi
kolam, langkahnya mengikuti lekukannya yang lembut.
“Ibuku
juga seorang penyanyi. Namun, dia meninggal saat aku masih sangat kecil. Ayahku sangat terpukul... Jadi,
aku mulai bernyanyi untuknya. Ayahku menyukai nyanyian ibuku.”
Tindakannya
benar-benar terdengar seperti khas anak kecil, yang mencoba
dengan caranya sendiri untuk menghibur ayahnya yang sedang berduka.
“...Bagiku,
bernyanyi merupakan sarana
untuk mencapai tujuan. Sebuah alat. Sesuatu yang kugunakan untuk menghibur ayahku.
Tidak lebih maupun kurang.
Jika ayahku mengatakan aku tidak perlu bernyanyi lagi, itu berarti nyanyianku sudah tidak diperlukan lagi. Itulah sebabnya aku pikir aku
tidak bisa bernyanyi lagi. Itulah sesuatu yang tidak aku butuhkan lagi...”
“Kurasa
itu kurang benar.”
Tanpa
berpikir, aku menyela perkataan Otoha-san
saat dia mencoba menarik kesimpulannya.
“...Kenapa?”
“Habisnya,
Otoha-san, kamu suka bernyanyi, bukan?”
“Suka...
bernyanyi? Aku?”
Otoha-san
tampak kebingungan dengan
kata-kataku. Sepertinya dia sendiri tidak menyadarinya.
“...Kenapa
kamu bisa berpikir begitu?”
“Saat
permainan dansa tadi... kamu
terlihat sangat bersenang-senang. Kamu
bersinar sangat terang sehingga sangat memukau untuk ditonton. Namun di saat
yang sama, kamu juga
terlihat sedih. Menurutku kamu
menikmati musik karena kamu
benar-benar suka bernyanyi, dan itulah mengapa tidak bisa bernyanyi terasa
sangat menyakitkan. Dan juga...”
Aku
memejamkan mata, mengingat kenangan itu perlahan-lahan—suara lagu-lagunya dari
iklan atau layar lebar di kota.
“...Lagu-lagumu
menjangkau begitu banyak orang, bahkan dalam kehidupan sehari-hari. Setiap kali
aku mendengarnya, mau tak mau aku jadi
berpikir, 'Orang ini benar-benar suka bernyanyi dari lubuk hatinya.'”
“Itu
sama sekali... tidak benar...”
“Bukannya memang begitu? Apa kamu benar-benar tidak pernah
menikmati bernyanyi, bahkan sekali pun?”
“……………………”
Otoha-san
terdiam mendengar pertanyaanku. Itu adalah keheningan yang dimaksudkan untuk
dirinya sendiri—momen merenungkan
diri, mempertanyakan perasaannya
terhadap bernyanyi.
“……………………Begitu ya. Kurasa… Aku benar-benar suka bernyanyi.”
“Baru
sekarang kamu
menyadarinya?”
“…Ya.
Sepertinya begitu.”
Seolah-olah beban berat mulai terangkat dari pundaknya, senyuman yang lembut dan tenang muncul di
wajah Otoha-san.
“…Selama
ini, aku menganggap bernyanyi hanya sebagai sarana untuk mencapai tujuan.
Sebuah alat. Sesuatu untuk menghibur ayahku. Karena itu, aku yakin aku tidak
diizinkan untuk menikmatinya sendiri. Tapi… pada suatu saat, aku mulai
menyukainya tanpa menyadarinya.”
Dia
berbicara pelan, seolah-olah menegaskan perasaannya sendiri dengan setiap kata.
“Kurasa
alasan kenapa kamu tidak bisa bernyanyi lagi adalah
karena kamu sangat
suka bernyanyi, dan mendengar ayahmu menolaknya sangat menyakitkan,” ucapku
lembut.
“…Apa
yang harus kulakukan?”
“Sederhana
saja. Pertama, pulanglah dan bicaralah dengan ayahmu. Katakan padanya bagaimana
perasaanmu yang sebenarnya.”
“Tapi…
kurasa ayahku membenci nyanyianku.”
“Apa
kamu benar-benar mempercayai hal itu?
Kurasa tidak.”
“…Kenapa
kamu berpikir begitu?”
“Bahkan
orang sepertiku, yang baru saja bertemu denganmu hari ini, dapat melihat seberapa
besar kamu suka bernyanyi. Mana mungkin
ayahmu tidak menyadarinya. Kurasa ia punya alasan—mungkin ia mengatakan hal-hal
itu untuk menjauhimu dengan sengaja, dengan caranya sendiri.”
“…………”
“Coba pulanglah
dulu, dan luangkan waktu untuk berbicara dengannya. Aku yakin ia merasa khawatir
padamu.”
“...Baiklah.
Aku akan mencoba berbicara dengan ayahku.”
Tampaknya
dia telah mengambil keputusan. Langkah ragu-ragu dan goyah dari sebelumnya
telah hilang; sekarang dia berdiri dengan kokoh, membumi dengan tujuan.
“Terima
kasih... Eito. Kau membantuku menyadari sesuatu yang sangat penting.”
“Jangan
sebutkan itu. Aku tidak melakukan banyak
hal.”
“Tidak,
bagiku... itu adalah sesuatu yang benar-benar penting.”
Sebelum
aku menyadarinya, matahari telah mulai terbenam. Angin sepoi-sepoi bertiup, membelai rambut panjang sang diva dengan riang. Pemandangan itu terasa bagaikan ilusi, seolah-olah alam itu
sendiri sedang merayakan tekad dan tekadnya yang baru ditemukan.
“Baiklah,
sepertinya petualanganmu untuk melarikan diri telah berakhir. Aku akan
mengantarmu pulang,” kataku.
“Ya. Terima
kasih.”
Tepat saat
Otoha-san hendak melangkah pulang, dia tiba-tiba berhenti.
“Hei,
Eito. Kalau aku ingin kabur lagi... maukah kau ikut denganku?”
“Semoga
saja tidak sampai seperti itu. Tapi... kalau itu memang
benar-benar yang kamu inginkan, aku akan membawamu
pergi lagi.”
“Begitu
ya... hehe. Kalau begitu, aku akan mengandalkanmu,” jawabnya sambil mengangguk puas.
Senyumnya
kali ini bukan senyum yang anggun dan terlatih seperti yang kulihat di iklan
atau di layar lebar—itu senyum alami dan berseri-seri dari seorang gadis
seusianya, jauh lebih menawan daripada apa pun yang pernah ditunjukkannya
sebelumnya.
“――――Eito!”
Sebuah
suara yang terdengar familiar
membuatku menoleh secara naluriah.
Seorang
gadis dengan rambut pirang panjang berkibar di belakangnya berlari ke arah
kami.
“Ojou!?
Apa yang kamu lakukan
di sini?" tanyaku dengan nada
terkejut.
“Haah...
haah... Apa yang kulakukan di sini? Kamu
benar-benar tidak bisa
dihubungi! Aku punya firasat buruk, jadi aku mencarimu. Aku mendengar tentang
keributan di arena permainan dan akhirnya menggunakan pencarian skala penuh
dengan setiap sumber daya yang bisa kukumpulkan untuk mengumpulkan informasi...
dan...”
Saat dia
mengatur napas, matanya tertuju pada Otoha-san, yang berdiri di sampingku.
Tubuhnya langsung menegang, seolah berubah menjadi batu.
“Oh,
aku lupa menjelaskannya. Ojou, orang ini adalah...”
“...Habataki
Otoha-san, kan?"
“Seperti
yang diharapkan, kamu mengenalnya, bukan? Lagipula, dia penyanyi yang
terkenal.”
“Ya,
benar. ...Hehe... Kupikir begitu... Seperti yang kuduga... Jelas hanya dengan
melihatnya saja sudah terlambat...”
Bahkan Ojou
tampak terkejut melihat kemunculan tiba-tiba sang
diva. Cahaya
tampaknya telah menghilang dari matanya—pastinya karena dia terlalu terkejut.
“Sepertinya
aku telah membuatmu khawatir. Aku akan mengantar Otoha-san pulang sekarang...”
“Itu
sama sekali tidak perlu. Dia bisa naik
mobil kita.”
“...Tidak
usah repot-repot. Aku akan pulang jalan
kaki dengan Eito.”
“Ya
ampun, jangan sungkan-sungkan begitu. Masih ada banyak ruang di mobil, dan
yang lebih penting, ini jauh lebih cepat. Jika kamu
mau, aku bahkan bisa pulang jalan kaki dengan Eito saja.”
“Itu
benar! Aku yakin ayah Otoha-san juga khawatir, jadi akan lebih baik jika dia
pulang secepat mungkin.”
Seperti
yang diharapkan dari Ojou, dia dengan cepat menilai situasi dan membuat
keputusan yang logis.
“...Baiklah.
Aku akan membiarkanmu mengantarku dengan mobilmu. Tapi kamu tidak perlu khawatir
tentangku—ayo kita bertiga pergi bersama.”
“Ara,
sungguh perhatian sekali. Terima kasih.”
Dengan
saran Otoha-san, kami bertiga masuk ke dalam mobil bersama.
Di dalam mobil, Ojou dan Otoha-san sedang
mengobrol dengan bersemangat. Melihat percakapan mereka berdua, aku diam-diam berpikir bahwa
mereka berdua bisa menjadi teman baik.
•❅──────✧❅✦❅✧──────❅•
(Sudut
Pandang Otoha)
Kenangan
yang kumiliki tentang ibuku sebenarnya cukup terbatas.
Itu
karena dia meninggal sebelum kami sempat menciptakan banyak kenangan bersama.
Meski begitu, aku masih ingat suara nyanyiannya yang indah—suara yang begitu
memesona hingga melembutkan wajah ayahku yang biasanya tegas. Bagiku, lagu-lagu
ibuku begitu ajaib dan menakjubkan.
Namun itu
hanya terjadi sampai ibuku meninggal. Saat itu, ayahku sepertinya tidak
melakukan apa pun selain menangis.
Aku mulai
bernyanyi karena aku ingin meringankan kesedihan ayahku.
Aku ingin
bisa menyanyikan lagu-lagu ajaib seperti yang dilakukan ibuku.
Bagiku,
bernyanyi hanyalah sarana untuk mencapai tujuan, alat—tidak lebih, tidak
kurang. Menyandang gelar sebagai “Diva” adalah sesuatu yang terjadi
begitu saja selama aku mengejar lagu-lagu ajaib ibuku. Itu bukanlah sesuatu
yang kuinginkan.
Jika
ayahku bisa mendapatkan kembali kekuatannya, maka aku tidak peduli dengan
diriku sendiri.
"Cih...
si Penyanyi wanita itu, aku tidak
tahu apa yang ada di kepalanya. Dia seharusnya memikirkan betapa frustrasinya
kita harus menenangkannya...”
——Itulah sebabnya hal tersebut tidak menggangguku, tidak
peduli apa yang dikatakan orang di belakangku.
“Dia
tidak pernah tersenyum. Itu menyeramkan... seperti dia hanya robot yang
bernyanyi.”
——Itu
sebabnya hal itu tidak menggangguku, bahkan jika aku berakhir sendirian.
“Jangan
bernyanyi lagi.”
——Tetapi
ayahku menolakku bernyanyi.
“Aku
bahkan tidak ingin mendengar lagu-lagumu.”
Sembari
membelakangiku, ayahku menolak dan mengabaikan lagu-laguku tanpa melirik ke
arahku. Pada saat itu, aku tidak merasakan
apa-apa—atau lebih tepatnya, aku pura-pura tidak merasakan apa-apa.
Aku pergi
bekerja seperti biasa, berniat untuk bernyanyi seperti biasa.
“——Ah...
ah...?”
Tetapi
aku tidak bisa bernyanyi lagi.
Aku bisa
melakukan percakapan normal dan berbicara dengan baik. Tetapi ketika aku
mencoba bernyanyi, tidak ada suara yang keluar. Dokter mengatakan kepadaku
bahwa itu disebabkan masalah psikologis,
tetapi aku tidak dapat memikirkan penyebabnya.
Tetap
saja, karena aku tidak bisa bernyanyi, aku harus menunda aktivitasku.
Bila memikirkannya
kembali sekarang... Kurasa aku sedang syok. Ditolak oleh
ayahku telah menyakitiku Aku menyadari bahwa lebih dari apa pun, aku ingin ayahku
memperhatikan aku. Aku ingin ayahku tidak pernah menatapku dan selalu
membelakangiku, untuk menatapku.
Satu-satunya
orang yang menyadari hal itu dan memberitahuku adalah Eito.
Aku
bertemu dengannya secara kebetulan—seorang anak laki-laki yang misterius.
Ia
memperlakukanku bukan sebagai “Diva”
tetapi sebagai Habataki Otoha.
Ia
tidak memberi perhatian berlebih, ia juga
tidak mencoba menyenangkanku. Sebaliknya, ia membantuku mengenali perasaan yang
telah aku pendam dalam-dalam. Ia
dengan lembut membentuk emosi yang bahkan tidak aku sadari keberadaannya.
“...Ayah.”
Semuanya berkat
Eito, aku bisa kembali
ke rumah dan menghadapi ayahku seperti ini. Waktu singkat yang aku habiskan
bersamanya memberiku keberanian yang luar biasa.
“Aku
suka nyanyian. Aku suka bernyanyi. …Itulah
sebabnya aku ingin terus bernyanyi—bukan hanya untuk ayah, tetapi juga untuk
diriku sendiri.”
Ketika aku
mengucapkan kata-kata itu setelah kembali ke rumah, ayahku mendengarkan dengan
diam.
“…Kupikir
kau bernyanyi karena kau terjebak di masa lalu. Kupikir, bagimu, bernyanyi
adalah simbol masa lalu.”
Namun, ia
melanjutkan.
“Karena
kekuranganku sendiri, aku akhirnya mengikatmu pada masa lalu. Aku
mengisolasimu… Aku ingin kamu terbebas dari ‘masa lalu’ yang diwakili
oleh nyanyian dan melangkah menuju masa depan. Itulah yang kupikirkan...”
Kali ini,
ayahku menatap mataku.
“...Namun, kenyataannya, akulah
yang terjebak di masa lalu. Kamu
sudah mengarahkan pandanganmu ke
masa depan. Maaf karena telah memojokkanmu dengan tidak perlu.”
“Tidak
apa-apa. Aku mengerti sekarang. Aku mengerti bagaimana perasaan Ayah.”
Ketika ia
menyuruhku untuk tidak bernyanyi, itu adalah caranya untuk berharap agar aku
melangkah maju ke masa depan. Saat itu, ketika ia memunggungiku, ia pasti juga
sedang berjuang.
(...Terima
kasih banyak, Eito.)
Saat aku
membayangkan anak laki-laki itu dalam pikiranku, aku menyimpan perasaan hangat
yang telah bersemi di dadaku dekat dengan hatiku.
•❅──────✧❅✦❅✧──────❅•
(Sudut
Pandang Hoshine)
“Meskipun
liburan baru saja berakhir, rasanya aku tidak banyak beristirahat…”
Keributan
yang disebabkan oleh sang diva
selama akhir pekan telah teratasi dengan aman, dan kami berhasil memulai minggu
baru tanpa insiden. Namun
entah mengapa, hatiku terasa lebih lelah daripada sebelum liburan.
“Ojou,
jika kamu merasa tidak enak badan,
mungkin kamu harus mengambil cuti. Aku
bisa segera mengatur mobil untukmu.”
“Aku
baik-baik saja. Ini lebih merupakan masalah mental daripada fisik.”
“?”
Seperti
biasa, Eito tampaknya tidak memahami sumber stresku.
Aku
sering kali mendapati diriku berpapasan dengannya dalam hal-hal yang penting,
tetapi kali ini sangat besar. Bagaimanapun, pihak lain yang terlibat, meskipun
saat ini sedang hiatus, tidak lain adalah “Sang
Diva” yang terkenal itu.
Saat aku
melihat wajahnya ketika tiba di sisi Eito, aku langsung menyadarinya.
Perasaan
luar biasa “Aku sudah terlambat…!”
masih bergolak di dalam dadaku.
Sejujurnya, kurasa aku pantas dipuji karena tidak pingsan. …Tetapi Si Penyanyi sudah pulang sekarang.
Tentunya,
dia adalah saingan yang tangguh—seperti kucing garong handal—tetapi
justru karena itu, sepertinya kita tidak akan bertemu lagi sekarang setelah
masalahnya telah terselesaikan. Tampaknya dia telah menemukan penyelesaian atas
masalahnya sendiri.
“Pokoknya, aku baik-baik saja, sungguh.”
“Jika kamu berkata begitu... Tetapi tolong
jangan terlalu memaksakan diri.”
“Terima
kasih.”
Lonceng
yang menandakan dimulainya kelas berbunyi,
dan ketika semua orang bergegas untuk duduk, guru memasuki kelas.
“Baiklah,
semuanya, duduklah. Hari ini, kita akan memperkenalkan murid pindahan baru!”
Pengumuman
tunggal guru tersebut menyebabkan kelas langsung ramai dengan kegembiraan.
Murid
pindahan adalah kejadian langka dalam kehidupan sekolah. Tidak heran semua
orang menjadi sangat berisik... namun, aku punya firasat buruk tentang ini.
Bagiku, perasaan ini cenderung tepat sasaran.
“Kamu boleh masuk sekarang.”
Mendengar panggilan
guru, pintu kelas ruangan
itu terbuka, dan seorang gadis melangkah masuk, kehadirannya
langsung menimbulkan kegaduhan di antara para siswa.
Rambut
peraknya yang panjang dan terurai bergoyang mengikuti gerakannya. Profilnya
yang keren menyerupai kepingan salju yang halus.
Akhir-akhir
ini, tiada hari di mana dia tidak muncul di TV, media
sosial, atau iklan.
“...Namaku Habataki Otoha. Senang bertemu
dengan kalian semua.”
(Yang benar saja!?)
Tanpa
mengatakan itu, aku secara naluriah menjatuhkan diri ke atas mejaku karena tidak percaya.
Sebelumnya | Daftar isi | Selanjutnya