Ojou-sama no Yousu ga Okashii Volume 1 Chapter 3 Bahasa Indonesia

Chapter 3 — Ancaman Baru

 

 

“Aku benar-benar bosan...

Meskipun aku menghargai apa pun yang diberikan oleh Ojou kepadaku, hanya ada satu hal dari pemberiannya yang membuatku terganggu.

Dan itu adalah hari libur.

Aku jarang mendapati diriku menginginkan waktu pribadi. Jika memungkinkan, aku lebih suka melayani Ojou di sisinya setiap saat. Namun, untuk beberapa alasan, dia bersikeras memberiku waktu istirahat seolah-olah itu adalah hal yang paling normal di dunia.

Aku membayangkan dia berpikir bahwa jika aku tidak mengambil waktu istirahat yang cukup, itu akan membuat para pelayan lain kesulitan untuk menikmati waktu mereka sendiri. Aku mengerti alasannya yang penuh pertimbangan, tetapi kenyataannya, aku sering tidak tahu apa yang harus kulakukan dengan hari liburku.

Karena tinggal di kediaman keluarga Hoshine berarti aku pasti akan menemukan diriku bekerja, aku akhirnya dipaksa masuk ke dalam mobil dan diturunkan tanpa basa-basi di kota.

Meong.

Saat aku berjalan-jalan tanpa tujuan, suara meow yang menggemaskan terdengar di telingaku.

Saat menoleh, aku melihat ada seekor kucing kecil meringkuk di gang yang remang-remang, terlihat melalui celah di antara gedung-gedung.

Apa ini? Mau cari perhatian?

Meong.

Kucing itu menguap lalu dengan santai berlari kecil masuk lebih dalam ke gang.

…Melihat tingkahnya yang berubah-ubah entah bagaimana mengingatkanku pada Ojou. Karena aku tidak mempunyai tujuan tertentu dan tanpa kegiatan, aku mungkin sebaiknya mengikuti kucing itu.

Meong.

Oh!

Kucing itu melesat dengan anggun, menyelipkan tubuhnya yang ramping melalui celah sempit. Mana mungkin aku bisa mengikutinya ke sana. Sayang sekali.

...Dan sekarang, aku sedang di mana ini?

Mengejar kucing itu telah membawaku lebih dalam ke gang, jauh dari tempatku memulai.

Ah, sudahlah. Jika aku berkeliaran tanpa tujuan cukup lama, aku pasti akan menemukan jalan keluarnya.

――Cepetan minggir...!

Hah?”

Suara itu datang dari atas. Siluet berbentuk manusia benar-benar jatuh ke arahku. Hampir secara naluriah, aku mengulurkan tanganku untuk menangkap sosok misterius yang turun dari langit.

Aduh!

Untuk sesaat, ingatan tentang Permainan Kehidupan (Sementara) yang kumainkan tempo hari dengan Ojou terlintas di benakku—ketika aku harus menggendongnya seperti gendongan ala putri.

Kemudian, lenganku didekap seperti gadis yang sangat ringan.

Dia mengenakan topi, jadi aku tidak bisa melihat wajahnya dengan jelas. Dilihat dari penampilannya, dia tampak seusia denganku.

Uhm… kamu baik-baik saja?”

Aku dengan hati-hati menurunkan gadis itu ke atas permukaan tanah. Meskipun dia sedikit goyah, dia berhasil menjejakkan kedua kakinya dengan kuat di tanah dan berdiri.

“… Aku baik-baik saja,” jawabnya lembut.

Setelah memastikan dia tidak terluka, aku mendongak. Sebuah tali tergantung dari atap, kemungkinan diikat ke pagar atau sesuatu yang serupa. Dia pasti mencoba turun menggunakan tali itu.

“… Kamu baik-baik saja? Lenganmu…”

“Tolong, jangan khawatir. Aku menyerap guncangan dengan tanah.”

“… Bisakah kamu benar-benar melakukan itu?”

“Sebagai seseorang yang melayani Ojou, hal ini wajar saja.”

“…”

Gadis di depanku, yang mengenakan topinya, tampak terkejut—tidak, bingung adalah kata yang lebih tepat untuk menggambarkan reaksinya.

“… Haha.”

Namun seketika itu juga, dia tertawa pelan, bibirnya melengkung membentuk senyuman tipis.

“…Apa-apaan itu? Haha.”

“Aku tidak ingat mengatakan sesuatu yang lucu.”

“…Maaf. Itu hanya… agak lucu.”

“Yah, asalkan kamu terhibur. Ngomong-ngomong, siapa sebenarnya kamu?”

“…”

Sebelum dia bisa menjawab, hembusan angin kencang tiba-tiba bertiup melewati gang. Topinya terbang ke udara, memperlihatkan wajahnya bersama rambutnya yang terurai.

Rambut panjangnya menjuntai di punggungnya, dan kulitnya seputih salju yang baru turun. Dia memiliki kecantikan lembut dan sejuk yang memberinya kualitas yang menawan, mengingatkanku pada bunga yang mekar di musim dingin.

Dan wajah itu—tidak salah lagi. Papan reklame besar yang terlihat di balik topinya yang mengambang memiliki fitur yang sama. Seorang gadis yang terkenal sebagai Diva.

Tidak, itu bukan hanya sekedar mirip. Itu identik.

“Wajah itu… Namamu adalah…”

“…Habataki Otoha,” katanya, nadanya diwarnai dengan kepasrahan. Suaranya menegaskan apa yang sudah kuketahui—gadis ini Diva yang asli.

“…Senang bertemu denganmu.”

“Ah… Sama-sama.”

Aku mendapati diriku sendiri menyapanya secara otomatis. Sementara itu, gadis itu—sang Diva, Habataki Otoha—mengambil topinya yang terjatuh dan menariknya rendah SAMPAI menutupi matanya lagi.

“Habataki-san, kenapa kamu turun dari atap seperti itu?”

“…Saat ini aku sedang melarikan diri.”

Jawabannya samar-samar, kurang detail. Kemungkinan besar, dia melarikan diri dari hotel atau lokasi lain dan dikejar oleh staf atau keamanan.

“Begitu. Kalau begitu, kamu mungkin harus segera kembali—sebelum kamu jatuh lagi.”

“…Itu bukan pilihan.”

“Dan kenapa begitu?”

“…Karena aku kabur dari rumah.”

Kamu kabur dari rumah?

Semakin banyak alasan baginya untuk kembali, pikirku.

...Terima kasih telah menolongku.

Kamu mau ke mana?

...Aku tidak tahu. Aku hanya perlu terus berlari.

Setelah itu, Habataki Otoha melangkah pergi, seolah tidak terjadi apa-apa.

Rasanya mudah bagiku untuk membiarkannya pergi dan membiarkan semuanya begitu saja. Namun melihatnya melakukan sesuatu yang sembrono seperti memanjat atap dengan tali tipis hanya untuk melarikan diri... yah, itu sudah cukup.

Setelah menyaksikan itu dan bertemu dengannya dalam situasi ini, rasanya salah untuk menutup mata. Sebagai seseorang yang melayani Ojou, mengabaikan seseorang yang membutuhkan bukanlah hal yang benar untuk dilakukan.

Bagi seseorang sepertiku—seorang anak terlantar yang cukup beruntung untuk berdiri di samping Ojou—aku harus bersikap sesuai dengan peran seperti itu.

Tunggu sebentar.

...Ada apa?

Aku merasa khawatir, jadi izinkan aku menemanimu. Setidaknya sampai kamu kembali ke rumah dengan selamat.

...Kamu benar-benar aneh.”

“Sama sekali tidak. Aku hanya berusaha untuk bersikap sebagaimana layaknya seseorang yang melayani Ojou.”

“…”

Habataki Otoha terdiam sejenak sebelum akhirnya mengangguk.

“…Baiklah. Kamu boleh ikut.”

Dia telah memberiku izin untuk menemaninya dalam petualangannya yang tak terkendali.

――――♪♪♪

Tiba-tiba, nada dering ponselku bergema dari kantongku.

Sambil melirik layar, aku melihat nama si penelepon: Ojou.

“…Jangan.

Sebelum aku sempat bereaksi, Habataki Otoha menyambar ponselku dan mengakhiri panggilan.

“Ah!”

“…Aku tidak keberatan jika kamu ikut denganku, tetapi menghubungi orang lain tidak diperbolehkan.”

Kamu cukup berhati-hati, ya?

...Aku hanya ingin menghindari masalah yang tidak perlu.

Apa dia pikir aku akan mulai membocorkan semuanya kepada orang lain? Atau khawatir tentang pihak yang mungkin mengejarnya? Apa pun itu, kurasa aku tidak punya pilihan lain. Meninggalkan Diva yang ceroboh ini, yang mengira tali tipis merupakan rite pelarian yang aman, serta rencananya sendiri, akan menjadi tindakan yang tidak bertanggung jawab. Untuk saat ini, aku akan menurutinya.

(Maafkan aku, Ojou. Aku akan menjelaskannya nanti.)

Sambil meminta maaf dalam hati, aku mematikan ponselku dan memasukkannya kembali ke saku.

Apa ini dapat diterima?

...Ya.

Habataki Otoha mengangguk puas sebelum berjalan pergi dengan langkah pasti, berniat meninggalkan gang itu. Aku mengikutinya tanpa sepatah kata pun, merasa pasrah dengan apa pun yang menanti kami selanjutnya.

 

──────✧❅✦❅✧──────

(Sudut Pandang Hoshine)

 

...Hei, apa kamu sudah berhasil menghubungi Eito?

Tidak, aku sudah mencoba meneleponnya juga, tapi tidak berhasil. Sepertinya teleponnya mati.

Ugh...! Aku punya firasat yang sangat, sangat buruk tentang ini...!

Yah, Tendou-san, intuisimu biasanya tepat...

Kali ini, aku sangat menginginkan kalau intuisi itu salah. Tapi pada saat yang sama, jauh di lubuk hatiku, aku tahu itu mungkin benar.

Argh, seriusan deh! Eito ada di mana sih? Kita harus menemukannya sebelum terlambat...!

 

──────✧❅✦❅✧──────

(Sudut Pandang Eito)

 

Papam reklame, layar besar, dan poster di seluruh kota menampilkan wajah Habataki Otoha. Surealisme saat berjalan tepat di samping Sang Diva itu sendiri sangat sulit diabaikan.

Jadi, kamu beneran Diva, ya.

...Apa kamu meragukan itu?

Haha, maaf. Aku tidak pernah membayangkan kalau ada Diva yang akan jatuh dari atap.

Bukan hal yang aneh bagiku untuk melihat gadis-gadis jatuh entah dari mana, tapi kali ini baru pertama kalinya salah satu dari mereka ternyata adalah penyanyi terkenal.

Ngomong-ngomong, Habataki-san, kenapa kamu kabur dari rumah?

...Fase pemberontakan?”

Kenapa itu terdengar seperti pertanyaan?

...Karena aku sendiri tidak yakin.

Kurasa begitulah cara kerjanya. Aku tidak pernah benar-benar mengalami fase pemberontakan—aku melewatkannya setelah ditinggalkan oleh orang tuaku—jadi aku tidak bisa mengatakan bahwa aku memahaminya dengan baik.

Begitu ya. Kamu tahu, Habataki-san.

...Apa?”

Apa kamu menyadari bahwa kita berjalan berputar-putar terus dari tadi?”

“.....”

Dilihat dari kesunyiannya, dia tidak menyadarinya.

Alun-alun dengan air mancur tempat kami berdiri saat ini—kami telah melewatinya sekitar sepuluh menit yang lalu.

…Apa jangan-jangan, kamu, tipe buta arah?

…Tidak. Indra perasaku hanya… unik.

Ah, begitu. Jadi, kamu memang buta arah.

Sudah kubilang tidak.

Rasanya sulit membaca raut wajahnya karena ekspresinya tidak banyak berubah, tetapi dia kelihatan merajuk. Atau lebih tepatnya, penyanyi wanita ini tidak cocok untuk kabur dari rumah sedikit pun.

“Meski aku sendiri yang mengatakannya, tapi kurasa itu adalah keputusan yang tepat untuk menemanimu. Kamu begitu sembrono sampai-sampai aku tidak tega meninggalkanmu sendirian. Aku bisa mengerti perjuangan orang-orang yang menjagamu.

…Kamu ini sangat blak-blakan, ya?

“Masa?

Ojou sendiri terus terang dalam mengekspresikan dirinya, jadi mungkin aku menirunya.

Jika kamu lebih suka aku bersikap lembut padamu, aku bisa melakukannya."

…Tidak, Tidak apa-apa. Jarang sekali ada orang yang berbicara blak-blakan kepadaku. Jadi rasanya sedikit berbeda.

Begitukah?

...Ya. Kebanyakan orang hanya mencoba menyenangkanku atau mengukur suasana hatiku dengan hati-hati, karena akan menjadi masalah jika aku tidak bernyanyi. Meskipun, aku juga mendengar cukup banyak gosip tentangku. Hal-hal seperti, 'Kamu tidak pernah tahu apa yang dipikirkannya,' atau 'Dia menyeramkan karena dia tidak tersenyum.' Hal-hal seperti itu.

Yah, kurasa itu hanya karena orang-orang di sekitarmu tidak terlalu peka.

Eh...?

Dia membelalakkan matanya di balik topinya saat mendengar ucapanku.

Meskipun memang benar bahwa kau terlihat datar di permukaan, tapi nyatanya kamu gampang sekali dibaca.

...Setidaknya, dia masih lebih baik dibandingkan dengan Ojou ketika masih kecil dulu.

Pada waktu itu, meskipun dia kelihatan manja dan nakal, dia memiliki kecenderungan untuk mengubur perasaannya yang sebenarnya jauh di dalam hatinya. Misalnya seperti saat di hari ulang tahunnya ketika orang tuanya tidak bisa pulang karena pekerjaan yang tidak terduga. Dia bertingkah seolah-olah dia baik-baik saja di sekitar orang lain tetapi akhirnya menangis sejadi-jadinya saat dia sendirian.

...Benarkah?

Ya. Reaksimu alami—entah terkejut, tersenyum, atau merajuk. Bagiku, kamu justru orang yang sangat lugas.

...Baru pertama kalinya ada orang yang mengatakan itu padaku.

Kamu pasti dikelilingi orang-orang yang agak membosankan sampai sekarang.

...Heh, mungkin iya begitu.”

Senyum tipis muncul di ekspresinya yang tadinya kalem.

Lihat, kamu bahkan tersenyum sekarang.

...Ah.”

Mungkin dia pun terkejut dengan ini, karena reaksinya merupakan kesadaran yang tiba-tiba.

Aneh sekali... padahal aku jarang tersenyum. Kira-kira kenapa, ya?

Di saat seperti ini, bagaimana kalau memikirkan apa yang berbeda dari biasanya?

“Berbeda dari yang biasanya...?

Entah mengapa, dia menatap tajam ke mataku.

...Apa aku mengatakan sesuatu yang membuatnya kesal?

...Ngomong-ngomong, siapa namamu?

“Aku minta maaf karena terlambat memperkenalkan diri. Namaku Yagiri Eito.

...Boleh aku memanggilmu Eito?

“Iya, aku tidak keberatan sama sekali.

Sepertinya aku tidak mengatakan sesuatu yang menyinggung. Saat aku merasa lega, dia mulai berbicara lagi.

Kamu juga bisa memanggilku dengan Otoha.

Dimengerti. Kalau begitu, Otoha-san.

...Ya, yang begitu tidak masalah.

Otoha-san mengangguk, tampak puas, lalu meraih tanganku.

...Ayo kita pergi, Eito. Ayo terus berlari.

Aku akan sangat menghargai jika kita bisa menghindari berputar-putar tanpa tujuan di tempat yang sama lagi.

Kalau begitu, Eito, bawa aku bersamamu. Yang begitu kedengarannya akan lebih menyenangkan.

Aku tidak bisa berjanji untuk menghiburmu karena aku hanya menghabiskan hari liburku dengan bermalas-malasan, tapi... baiklah. Aku akan melakukan yang terbaik dengan caraku sendiri.

...Aku menantikannya.

 

──────✧❅✦❅✧──────

(Sudut Pandang Hoshine)

 

Aku terus berkendara mengelilingi kota untuk mencari Eito, tapi aku aku masih tidak bisa menemukan tanda-tanda keberadaannya di mana pun.

Ketika aku memikirkannya dengan tenang, kurasa itu wajar saja. Mencari dengan perasaan panik tidak akan banyak membantu; menemukan satu orang pun di kota yang luas ini hampir mustahil.

Yang kubutuhkan adalah petunjuk... tetapi sayangnya, aku tidak memilikinya. Ponselnya sepertinya mati karena aku tidak bisa menghubunginya.

…Tidak, masih terlalu cepat untuk menyerah.

Jika tidak ada petunjuk, aku hanya perlu membuat hipotesis.

Eito hampir tidak pernah tidak bisa dihubungi. Jika ia disibukkan dengan pekerjaan untuk keluarga Tendou dan menjadi tidak bisa dihubungi, ia selalu memberitahuku sebelumnya.

Jika itu masalahnya, mari kita asumsikan ia terjebak dalam masalah yang tidak terduga.

Masalah macam apa itu?

Kemungkinan yang berkaitan dengan kekerasan itu sendiri cukup rendah. Aku sudah mengelilingi sepenjuru kota, dan tidak ada tanda-tanda gangguan seperti itu.

Kalau bukan itu... maka—meskipun aku lebih suka tidak mempertimbangkannya—penyebab yang paling mungkin hanyalah sesuatu yang melibatkan seorang gadis. Itu hanya firasat, tetapi intuisiku tidak pernah salah.

Tanpa petunjuk yang kuat, mengandalkan gagasan yang tidak pasti seperti itu adalah satu-satunya pilihanku saat ini.

Jika itu masalah yang melibatkan seorang gadis... mungkin penyanyi wanita itu. Aku tidak ingin mempertimbangkannya, tetapi itu cocok.

Berdasarkan pola masa lalu dan instingku, tebakanku akan seperti ini: Situasi di mana Habataki Otoha jatuh dari atas, dan Eito akhirnya menangkapnya, membuat mereka menghabiskan waktu sersama.’

Kejadian semacam itu pernah terjadi beberapa kali sebelumnya... gadis-gadis jatuh dari atas dan Eito menangkap mereka.

Saat aku merasa gelisah, ponselku bergetar karena ada panggilan masuk. Rupanya itu dari Kazami.

Yo! Aku menyelidikinya menggunakan koneksiku dan jaringan keluarga Tendo. Aku berhasil mendapat beberapa informasi tentang Habataki Otoha.

Bagaimana hasilnya?

“Ini masih menjadi rahasia, tapi sepertinya dia melarikan diri dari hotel tempat dia menginap.

...Kapan itu terjadi?

Pagi ini.

………………………………

Aku secara naluriah memegang kepalaku dengan kedua tanganku.

Dan dari apa yang kudengar, ada tanda-tanda bahwa dia mencoba untuk turun dari atap gedung yang dia tinggalkan menggunakan tali…

Biar kutebak, talinya sudah usang, dan putus di tengah jalan, bukan?

Eh, bagaimana kamu bisa mengetahuinya?

…Hanya firasat. Sebut saja itu pengalaman.

Sudah kudugan rupanya instingku benar. Baru pertama kalinya aku benar-benar berharap itu tidak terjadi.

Apa kamu tahu di mana gedung dengan tali yang putus itu? Aku harus menuju ke tempat kejadian dan mengikuti jejaknya.

Aku tahu sih, tapi… kamu kedengarannya sangat panik.

Tentu saja aku panik! Setiap detik yang kita sia-siakan di sini, bakalan ada lebih banyak pertanda cinta yang dikibarkan…!

 

──────✧❅✦❅✧──────

(Sudut Pandang Eito)

 

Meskipun kami bisa dibilang sedang kabur, tapi kami tidak memiliki tujuan tertentu, dan aku bukanlah tipe orang yang sering keluar untuk bersenang-senang.

...Ini pertama kalinya aku ke arena permainan.

Jadi, aku memutuskan untuk mengajaknya ke tempat yang memang diperuntukkan untuk bermain.

Daerah itu tidak terlalu ramai dibandingkan dengan jalan-jalan utama, yang mana itu juga demi mengurangi risiko orang-oran mengenali Otoha-san. Meskipun dia sendiri berkata, Jika kamu bertindak percaya diri, orang-orang secara mengejutkan tidak akan memperhatikan, lebih baik selalu berhati-hati.

Apa kamu sering ke sini, Eito?

Tidak terlalu sering, tetapi kadang-kadang, seorang teman mengajakku saat aku sedang libur.

Saat kami memasuki arena permainan, kami disambut oleh suara permainan elektronik yang kacau dan ramai.

Sepertinya ada beberapa permainan baru yang dipasang, tetapi secara keseluruhan, jajaran mesinnya tidak jauh berbeda dari terakhir kali aku ke sini bersama Yukimichi.

Apa ada permainan yang menarik perhatianmu?”

...Yang itu. Aku ingin mencobanya.

Otoha-san menunjuk ke sebuah permainan di belakang dari arena permainan. Bentuknya menyerupai ban berjalan, dengan monitor besar di depannya.

Permainan dansa? Aku tidak masalah sih, tapi…

Ketika memutuskan arena permainan sebagai tujuan kami, ini adalah salah satu hal pertama yang terlintas dalam pikiran.

Aku tidak tahu detail lengkap mengapa dia kabur dari rumah, tetapi jika sesuatu yang tidak menyenangkan terjadi, membuatnya bergerak dan berkeringat mungkin akan membantunya merasa lebih baik.

Namun, penyanyi wanita yang satu ini sedang hiatus dari aktivitasnya.

Sepertinya bukan karena kesehatan fisiknya. Lagi pula, dia punya energi untuk melarikan diri dari hotel dan mencoba memanjat tali dari atap. Bahkan sekarang, setelah mengamatinya dengan saksama, aku belum melihat tanda-tanda penyakit, atau indikasi bahwa kesehatannya akan memburuk. Cara jalannya tidak menunjukkan kejanggalan—bahkan, kekuatan inti tubuhnya yang luar biasa terlihat sekilas, yang menurutku cukup mengesankan.

Karena alasan itu, aku berasumsi hiatus itu mungkin karena beberapa alasan mental atau musikal. Itulah sebabnya awalnya aku berpikir untuk tidak menyarankan permainan dansa… tetapi aku tidak menyangka dia akan memilihnya sendiri.

“Kamu yakin tentang ini?

Yakin tentang apa?

Otoha-san memiringkan kepalanya dengan raut kebingungan, tidak menunjukkan tanda-tanda keraguan atau kekhawatiran.

...Lupakan apa yang kukatakan tadi. Ayo.

Untungnya, tidak ada yang memainkan permainan itu saat ini.

Sepertinya kamu bebas memilih tingkat kesulitannya. Kita harus mulai dengan yang termudah?

Aku ingin tingkat yang paling sulit.

Sungguh kepercayaan diri yang tinggi sekali. Sikap seperti itu sedikit mengingatkanku pada Ojou.

Maukah kamu bergabung denganku, Eito?

Tentu. Baru pertama kalinya aku memainkan permainan ini, jadi aku tidak yakin apa aku bisa mengikutinya, tapi jika kamu tidak keberatan denganku, aku akan memainkannya bersamamu.

Rupanya, permainan ini juga mendukung permainan kooperatif.

Kami berdua akan menari bersama, dan poin kami akan digabungkan untuk menentukan skor akhir. Setelah memasukkan kredit dan menavigasi menu, kami mencapai layar pemilihan lagu. ...Mari kita lihat apakah kita dapat menemukan sesuatu yang menarik.

Oh, lihat. Ada salah satu lagumu di sini, Otoha-san. Bagaimana kalau kita memainkan ini?”

Ya, tidak apa-apa.

Baiklah, mari kita mulai.

Saat permainan dimulai, musik yang pernah kudengar di iklan mulai diputar, dan tanda irama mulai bermunculan di layar. Permainan ini melibatkan langkah atau lompatan seirama dengan tanda yang selaras dengan irama, tetapi karena kami memilih tingkat kesulitan yang paling sulit, pengaturan waktunya sangat cepat.

Wah...

Mengandallkan irama dan refleksku sendiri, aku melangkah mengikuti alunan lagu. Sejauh ini, semuanya baik-baik saja—tidak ada kesalahan di tahap awal.

Aku mulai menguasai permainan dan tidak melihat adanya masalah besar.

――――...

Aku melirik Otoha-san di sampingku untuk memeriksa kemajuannya. Dia melakukan langkah-langkah anggun dengan sempurna, juga tanpa satu pun kesalahan. Gerakannya elegan dan keren, kombinasi yang hampir membuatku kehilangan fokus sejenak—karena penampilannya begitu mempesona.

Berbanding terbalik dengan teknikku yang sangat bergantung pada refleks yang terlatih dan posisi yang kokoh, tekniknya pada dasarnya berbeda.

Langkah-langkahnya tampak sangat senada dengan musik itu sendiri, seolah-olah dirancang untuk selaras dengan lagu dan irama. Ada kekuatan yang memikat dalam caranya bergerak, kekuatan yang menyentuh hati siapa pun yang menonton.

Dan yang terpenting—dia tampak benar-benar bersenang-senang.

Sembari menari mengikuti alunan musik, dia memancarkan kegembiraan yang menular, bahkan membuat para penonton merasa bersemangat.

(Hah…?)

Namun di tengah-tengah semua itu, aku melihat sesuatu yang samar—bayangan kesedihan. Tidak, ini bukan sekadar ketegangan. Itu kesedihan.

Akhirnya, musik pun berhenti dan lagu pun berakhir.

Saat mesin menghitung skor kami dan kami mengambil waktu sejenak untuk mengatur napas,

...Eito, kamu sungguh luar biasa, katanya.

Benarkah? Kurasa kamu lah yang lebih mengesankan, Otoha-san.

Meskipun ini pertama kalinya kamu berdansa denganku, kamu berhasil mengimbanginya.

Aku hanya mengandalkan refleksku yang terlatih dan pijakan yang kokoh untuk menyelesaikannya.

Itu sama sekali tidak benar. Kepekaan ritmemu juga tidak buruk... dengan sedikit latihan, kamu bahkan bisa tampil di panggung bersamaku.

Hahaha, itu akan menjadi suatu kehormatan, kataku sambil tertawa.

Tapi... matanya berbinar karena kegembiraan.

Sekali lagi. Ayo berdansa bersama lagi.

Tentu, siapa takut.

Kami memainkan permainan itu lagi dan memperoleh skor tinggi. Namun, saat penonton mulai berkumpul dan kami mulai menarik terlalu banyak perhatian, kami memutuskan untuk pergi meninggalkan area pusat permainan.

Huff… huff… Maaf. Aku benar-benar ceroboh—tidak kusangka bakalan ada banyak orang yang berkumpul.”

Tidak, aku juga merasa bersalah karena tidak memperhatikan sekelilingku.

Sambil mengatur napas, kami sampai di taman yang luas dengan kolam besar. Karena sedang hari libur, ada lebih banyak orang di sekitar daripada biasanya, tetapi tidak seramai pusat permainan atau jalan utama. Selama kami bersikap normal, kami mungkin tidak akan mencolok.

…Terima kasih. Sudah lama sekali sejak terakhir kali aku bersenang-senang seperti ini.

“Aku turut merasa senang jika kamu menikmatinya.

Dari sana, kami tidak melakukan apa pun secara khusus. Kami berdua hanya menatap kolam besar itu bersama-sama. Berbeda dengan suasana pusat permainan yang ramai sebelumnya, momen yang tenang dan damai berlalu di antara kami.

…Boleh aku bertanya sesuatu?

Silakan.

…Kenapa kamu ikut denganku ketika aku kabur dari rumah? Kamu bilang kamu khawatir padaku, tapi… Kurasa ada alasan lain yang lebih penting.”

Memang benar kalau aku khawatir padamu, Otoha-san. Tapi... saat aku melihatmu, mau tak mau aku jadi teringat pada Ojou di masa lalu.

...Ojou yang kamu layani?

Ya. Dia pernah mencoba kabur dari rumah juga. Dia ingin menarik perhatian orang tuanya yang sibuk—dia ingin mereka memperhatikannya. Itulah sebabnya aku juga tidak bisa meninggalkanmu sendirian.

...

Otoha langsung terdiam, tampak merenungkan sesuatu di dalam pikirannya. Deruan semilir angin membelai daun telinga kami, dan keheningan samar mulai merayapi di antara kami.

...Boleh aku menanyakan sesuatu padamu juga? Mungkin agak pribadi.

...Baiklah.

Saat ini, kamu sedang beristirahat dari kariermu, bukan?

Otoha-san mengangguk pelan sebagai tanda setuju.

“Apa jangan-jangan... kamu tidak bisa bernyanyi?

Usai mendengar hal ini, pandangan mata Otoha-san membelalak karena terkejut.

...Bagaimana kamu tahu?

“Setelah melihatmu hari ini, aku tahu kalau itu bukan masalah fisik. Jadi satu-satunya kemungkinan hanyalah masalah mental. Jika itu cukup serius untuk membuatmu menghentikan kariermu... yah, aku punya firasat.

Kamu memang hebat... Eito. Ya, memang persis seperti perkataanmu.

Otoha-san dengan lembut meletakkan tangannya di tenggorokannya.

Aku bisa bicara dengan normal. Tapi saat aku mencoba bernyanyi... apa pun yang kulakukan, suaraku tidak akan keluar.

...Begitu. Maafkan aku karena terlalu menyelidikinya.

Tidak apa-apa, jangan khawatir. Aku tidak keberatan.

Kesedihan samar yang ditunjukkan Otoha-san sebelumnya selama permainan dansa kemungkinan besar terkait dengan ketidakmampuannya dalam bernyanyi.

Sesuai dengan tebakanmu, dokterku juga mengatakan itu sesuatu yang psikologis, ucapnya.

Apa kamu tahu apa penyebabnya?

...Aku tidak tahu. Tapi tepat sebelum aku kehilangan kemampuan bernyanyi, ayahku berkata padaku, 'Kamu tidak perlu bernyanyi lagi.'

Menyuruh seorang penyanyi wanita untuk tidak bernyanyi... Ayahmu sungguh membuat pernyataan yang cukup berani.

Ayahku... ia tidak pernah tampak senang saat aku bernyanyi, Otoha-san menjawab dengan lembut.

Dengan ekspresi yang jauh dan samar, dia mulai berjalan perlahan di sepanjang tepi kolam, langkahnya mengikuti lekukannya yang lembut.

Ibuku juga seorang penyanyi. Namun, dia meninggal saat aku masih sangat kecil. Ayahku sangat terpukul... Jadi, aku mulai bernyanyi untuknya. Ayahku menyukai nyanyian ibuku.

Tindakannya benar-benar terdengar seperti khas anak kecil, yang mencoba dengan caranya sendiri untuk menghibur ayahnya yang sedang berduka.

...Bagiku, bernyanyi merupakan sarana untuk mencapai tujuan. Sebuah alat. Sesuatu yang kugunakan untuk menghibur ayahku. Tidak lebih maupun kurang. Jika ayahku mengatakan aku tidak perlu bernyanyi lagi, itu berarti nyanyianku sudah tidak diperlukan lagi. Itulah sebabnya aku pikir aku tidak bisa bernyanyi lagi. Itulah sesuatu yang tidak aku butuhkan lagi...

“Kurasa itu kurang benar.

Tanpa berpikir, aku menyela perkataan Otoha-san saat dia mencoba menarik kesimpulannya.

...Kenapa?

“Habisnya, Otoha-san, kamu suka bernyanyi, bukan?

Suka... bernyanyi? Aku?

Otoha-san tampak kebingungan dengan kata-kataku. Sepertinya dia sendiri tidak menyadarinya.

...Kenapa kamu bisa berpikir begitu?

Saat permainan dansa tadi... kamu terlihat sangat bersenang-senang. Kamu bersinar sangat terang sehingga sangat memukau untuk ditonton. Namun di saat yang sama, kamu juga terlihat sedih. Menurutku kamu menikmati musik karena kamu benar-benar suka bernyanyi, dan itulah mengapa tidak bisa bernyanyi terasa sangat menyakitkan. Dan juga...

Aku memejamkan mata, mengingat kenangan itu perlahan-lahan—suara lagu-lagunya dari iklan atau layar lebar di kota.

...Lagu-lagumu menjangkau begitu banyak orang, bahkan dalam kehidupan sehari-hari. Setiap kali aku mendengarnya, mau tak mau aku jadi berpikir, 'Orang ini benar-benar suka bernyanyi dari lubuk hatinya.'

Itu sama sekali... tidak benar...

Bukannya memang begitu? Apa kamu benar-benar tidak pernah menikmati bernyanyi, bahkan sekali pun?

……………………

Otoha-san terdiam mendengar pertanyaanku. Itu adalah keheningan yang dimaksudkan untuk dirinya sendiri—momen merenungkan diri, mempertanyakan perasaannya terhadap bernyanyi.

……………………Begitu ya. Kurasa… Aku benar-benar suka bernyanyi.

Baru sekarang kamu menyadarinya?

…Ya. Sepertinya begitu.

Seolah-olah beban berat mulai terangkat dari pundaknya, senyuman yang lembut dan tenang muncul di wajah Otoha-san.

…Selama ini, aku menganggap bernyanyi hanya sebagai sarana untuk mencapai tujuan. Sebuah alat. Sesuatu untuk menghibur ayahku. Karena itu, aku yakin aku tidak diizinkan untuk menikmatinya sendiri. Tapi… pada suatu saat, aku mulai menyukainya tanpa menyadarinya.

Dia berbicara pelan, seolah-olah menegaskan perasaannya sendiri dengan setiap kata.

Kurasa alasan kenapa kamu tidak bisa bernyanyi lagi adalah karena kamu sangat suka bernyanyi, dan mendengar ayahmu menolaknya sangat menyakitkan, ucapku lembut.

…Apa yang harus kulakukan?

Sederhana saja. Pertama, pulanglah dan bicaralah dengan ayahmu. Katakan padanya bagaimana perasaanmu yang sebenarnya.

Tapi… kurasa ayahku membenci nyanyianku.

Apa kamu benar-benar mempercayai hal itu? Kurasa tidak.

…Kenapa kamu berpikir begitu?

“Bahkan orang sepertiku, yang baru saja bertemu denganmu hari ini, dapat melihat seberapa besar kamu suka bernyanyi. Mana  mungkin ayahmu tidak menyadarinya. Kurasa ia punya alasan—mungkin ia mengatakan hal-hal itu untuk menjauhimu dengan sengaja, dengan caranya sendiri.”

“…………”

“Coba pulanglah dulu, dan luangkan waktu untuk berbicara dengannya. Aku yakin ia merasa khawatir padamu.”

...Baiklah. Aku akan mencoba berbicara dengan ayahku.

Tampaknya dia telah mengambil keputusan. Langkah ragu-ragu dan goyah dari sebelumnya telah hilang; sekarang dia berdiri dengan kokoh, membumi dengan tujuan.

Terima kasih... Eito. Kau membantuku menyadari sesuatu yang sangat penting.

Jangan sebutkan itu. Aku tidak melakukan banyak hal.

Tidak, bagiku... itu adalah sesuatu yang benar-benar penting.

Sebelum aku menyadarinya, matahari telah mulai terbenam. Angin sepoi-sepoi bertiup, membelai rambut panjang sang diva dengan riang. Pemandangan itu terasa bagaikan ilusi, seolah-olah alam itu sendiri sedang merayakan tekad dan tekadnya yang baru ditemukan.

“Baiklah, sepertinya petualanganmu untuk melarikan diri telah berakhir. Aku akan mengantarmu pulang,” kataku.

“Ya. Terima kasih.”

Tepat saat Otoha-san hendak melangkah pulang, dia tiba-tiba berhenti.

Hei, Eito. Kalau aku ingin kabur lagi... maukah kau ikut denganku?

Semoga saja tidak sampai seperti itu. Tapi... kalau itu memang benar-benar yang kamu inginkan, aku akan membawamu pergi lagi.

Begitu ya... hehe. Kalau begitu, aku akan mengandalkanmu,jawabnya sambil mengangguk puas.

Senyumnya kali ini bukan senyum yang anggun dan terlatih seperti yang kulihat di iklan atau di layar lebar—itu senyum alami dan berseri-seri dari seorang gadis seusianya, jauh lebih menawan daripada apa pun yang pernah ditunjukkannya sebelumnya.

――――Eito!

Sebuah suara yang terdengar familiar membuatku menoleh secara naluriah.

Seorang gadis dengan rambut pirang panjang berkibar di belakangnya berlari ke arah kami.

Ojou!? Apa yang kamu lakukan di sini?" tanyaku dengan nada terkejut.

Haah... haah... Apa yang kulakukan di sini? Kamu benar-benar tidak bisa dihubungi! Aku punya firasat buruk, jadi aku mencarimu. Aku mendengar tentang keributan di arena permainan dan akhirnya menggunakan pencarian skala penuh dengan setiap sumber daya yang bisa kukumpulkan untuk mengumpulkan informasi... dan...

Saat dia mengatur napas, matanya tertuju pada Otoha-san, yang berdiri di sampingku. Tubuhnya langsung menegang, seolah berubah menjadi batu.

Oh, aku lupa menjelaskannya. Ojou, orang ini adalah...

...Habataki Otoha-san, kan?"

Seperti yang diharapkan, kamu mengenalnya, bukan? Lagipula, dia penyanyi yang terkenal.

Ya, benar. ...Hehe... Kupikir begitu... Seperti yang kuduga... Jelas hanya dengan melihatnya saja sudah terlambat...

Bahkan Ojou tampak terkejut melihat kemunculan tiba-tiba sang diva. Cahaya tampaknya telah menghilang dari matanya—pastinya karena dia terlalu terkejut.

Sepertinya aku telah membuatmu khawatir. Aku akan mengantar Otoha-san pulang sekarang...

Itu sama sekali tidak perlu. Dia bisa naik mobil kita.

...Tidak usah repot-repot. Aku akan pulang jalan kaki dengan Eito.

Ya ampun, jangan sungkan-sungkan begitu. Masih ada banyak ruang di mobil, dan yang lebih penting, ini jauh lebih cepat. Jika kamu mau, aku bahkan bisa pulang jalan kaki dengan Eito saja.

Itu benar! Aku yakin ayah Otoha-san juga khawatir, jadi akan lebih baik jika dia pulang secepat mungkin.

Seperti yang diharapkan dari Ojou, dia dengan cepat menilai situasi dan membuat keputusan yang logis.

...Baiklah. Aku akan membiarkanmu mengantarku dengan mobilmu. Tapi kamu tidak perlu khawatir tentangku—ayo kita bertiga pergi bersama.

“Ara, sungguh perhatian sekali. Terima kasih.

Dengan saran Otoha-san, kami bertiga masuk ke dalam mobil bersama.

Di dalam mobil, Ojou dan Otoha-san sedang mengobrol dengan bersemangat. Melihat percakapan mereka berdua, aku diam-diam berpikir bahwa mereka berdua bisa menjadi teman baik.

 

──────✧❅✦❅✧──────

(Sudut Pandang Otoha)

 

Kenangan yang kumiliki tentang ibuku sebenarnya cukup terbatas.

Itu karena dia meninggal sebelum kami sempat menciptakan banyak kenangan bersama. Meski begitu, aku masih ingat suara nyanyiannya yang indah—suara yang begitu memesona hingga melembutkan wajah ayahku yang biasanya tegas. Bagiku, lagu-lagu ibuku begitu ajaib dan menakjubkan.

Namun itu hanya terjadi sampai ibuku meninggal. Saat itu, ayahku sepertinya tidak melakukan apa pun selain menangis.

Aku mulai bernyanyi karena aku ingin meringankan kesedihan ayahku.

Aku ingin bisa menyanyikan lagu-lagu ajaib seperti yang dilakukan ibuku.

Bagiku, bernyanyi hanyalah sarana untuk mencapai tujuan, alat—tidak lebih, tidak kurang. Menyandang gelar sebagai “Diva” adalah sesuatu yang terjadi begitu saja selama aku mengejar lagu-lagu ajaib ibuku. Itu bukanlah sesuatu yang kuinginkan.

Jika ayahku bisa mendapatkan kembali kekuatannya, maka aku tidak peduli dengan diriku sendiri.

"Cih... si Penyanyi wanita itu, aku tidak tahu apa yang ada di kepalanya. Dia seharusnya memikirkan betapa frustrasinya kita harus menenangkannya...

——Itulah sebabnya hal tersebut tidak menggangguku, tidak peduli apa yang dikatakan orang di belakangku.

Dia tidak pernah tersenyum. Itu menyeramkan... seperti dia hanya robot yang bernyanyi.”

——Itu sebabnya hal itu tidak menggangguku, bahkan jika aku berakhir sendirian.

Jangan bernyanyi lagi.

——Tetapi ayahku menolakku bernyanyi.

Aku bahkan tidak ingin mendengar lagu-lagumu.

Sembari membelakangiku, ayahku menolak dan mengabaikan lagu-laguku tanpa melirik ke arahku. Pada saat itu, aku tidak merasakan apa-apa—atau lebih tepatnya, aku pura-pura tidak merasakan apa-apa.

Aku pergi bekerja seperti biasa, berniat untuk bernyanyi seperti biasa.

——Ah... ah...?

Tetapi aku tidak bisa bernyanyi lagi.

Aku bisa melakukan percakapan normal dan berbicara dengan baik. Tetapi ketika aku mencoba bernyanyi, tidak ada suara yang keluar. Dokter mengatakan kepadaku bahwa itu disebabkan masalah psikologis, tetapi aku tidak dapat memikirkan penyebabnya.

Tetap saja, karena aku tidak bisa bernyanyi, aku harus menunda aktivitasku.

Bila memikirkannya kembali sekarang... Kurasa aku sedang syok. Ditolak oleh ayahku telah menyakitiku Aku menyadari bahwa lebih dari apa pun, aku ingin ayahku memperhatikan aku. Aku ingin ayahku tidak pernah menatapku dan selalu membelakangiku, untuk menatapku.

Satu-satunya orang yang menyadari hal itu dan memberitahuku adalah Eito.

Aku bertemu dengannya secara kebetulan—seorang anak laki-laki yang misterius.

Ia memperlakukanku bukan sebagai “Diva” tetapi sebagai Habataki Otoha.

Ia tidak memberi perhatian berlebih, ia juga tidak mencoba menyenangkanku. Sebaliknya, ia membantuku mengenali perasaan yang telah aku pendam dalam-dalam. Ia dengan lembut membentuk emosi yang bahkan tidak aku sadari keberadaannya.

...Ayah.

Semuanya berkat Eito, aku bisa kembali ke rumah dan menghadapi ayahku seperti ini. Waktu singkat yang aku habiskan bersamanya memberiku keberanian yang luar biasa.

Aku suka nyanyian. Aku suka bernyanyi. …Itulah sebabnya aku ingin terus bernyanyi—bukan hanya untuk ayah, tetapi juga untuk diriku sendiri.

Ketika aku mengucapkan kata-kata itu setelah kembali ke rumah, ayahku mendengarkan dengan diam.

“…Kupikir kau bernyanyi karena kau terjebak di masa lalu. Kupikir, bagimu, bernyanyi adalah simbol masa lalu.”

Namun, ia melanjutkan.

“Karena kekuranganku sendiri, aku akhirnya mengikatmu pada masa lalu. Aku mengisolasimu… Aku ingin kamu terbebas dari ‘masa lalu’ yang diwakili oleh nyanyian dan melangkah menuju masa depan. Itulah yang kupikirkan...”

Kali ini, ayahku menatap mataku.

...Namun, kenyataannya, akulah yang terjebak di masa lalu. Kamu sudah mengarahkan pandanganmu ke masa depan. Maaf karena telah memojokkanmu dengan tidak perlu.

Tidak apa-apa. Aku mengerti sekarang. Aku mengerti bagaimana perasaan Ayah.

Ketika ia menyuruhku untuk tidak bernyanyi, itu adalah caranya untuk berharap agar aku melangkah maju ke masa depan. Saat itu, ketika ia memunggungiku, ia pasti juga sedang berjuang.

(...Terima kasih banyak, Eito.)

Saat aku membayangkan anak laki-laki itu dalam pikiranku, aku menyimpan perasaan hangat yang telah bersemi di dadaku dekat dengan hatiku.

 

──────✧❅✦❅✧──────

(Sudut Pandang Hoshine)

 

“Meskipun liburan baru saja berakhir, rasanya aku tidak banyak beristirahat…”

Keributan yang disebabkan oleh sang diva selama akhir pekan telah teratasi dengan aman, dan kami berhasil memulai minggu baru tanpa insiden. Namun entah mengapa, hatiku terasa lebih lelah daripada sebelum liburan.

“Ojou, jika kamu merasa tidak enak badan, mungkin kamu harus mengambil cuti. Aku bisa segera mengatur mobil untukmu.”

“Aku baik-baik saja. Ini lebih merupakan masalah mental daripada fisik.”

“?”

Seperti biasa, Eito tampaknya tidak memahami sumber stresku.

Aku sering kali mendapati diriku berpapasan dengannya dalam hal-hal yang penting, tetapi kali ini sangat besar. Bagaimanapun, pihak lain yang terlibat, meskipun saat ini sedang hiatus, tidak lain adalah “Sang Diva yang terkenal itu.

Saat aku melihat wajahnya ketika tiba di sisi Eito, aku langsung menyadarinya.

Perasaan luar biasa “Aku sudah terlambat…!” masih bergolak di dalam dadaku. Sejujurnya, kurasa aku pantas dipuji karena tidak pingsan. …Tetapi Si Penyanyi sudah pulang sekarang.

Tentunya, dia adalah saingan yang tangguh—seperti kucing garong handaltetapi justru karena itu, sepertinya kita tidak akan bertemu lagi sekarang setelah masalahnya telah terselesaikan. Tampaknya dia telah menemukan penyelesaian atas masalahnya sendiri.

Pokoknya, aku baik-baik saja, sungguh.”

“Jika kamu berkata begitu... Tetapi tolong jangan terlalu memaksakan diri.”

“Terima kasih.”

Lonceng yang menandakan dimulainya kelas berbunyi, dan ketika semua orang bergegas untuk duduk, guru memasuki kelas.

“Baiklah, semuanya, duduklah. Hari ini, kita akan memperkenalkan murid pindahan baru!”

Pengumuman tunggal guru tersebut menyebabkan kelas langsung ramai dengan kegembiraan.

Murid pindahan adalah kejadian langka dalam kehidupan sekolah. Tidak heran semua orang menjadi sangat berisik... namun, aku punya firasat buruk tentang ini. Bagiku, perasaan ini cenderung tepat sasaran.

“Kamu boleh masuk sekarang.”

Mendengar panggilan guru, pintu kelas ruangan itu terbuka, dan seorang gadis melangkah masuk, kehadirannya langsung menimbulkan kegaduhan di antara para siswa.

Rambut peraknya yang panjang dan terurai bergoyang mengikuti gerakannya. Profilnya yang keren menyerupai kepingan salju yang halus.

Akhir-akhir ini, tiada hari di mana dia tidak muncul di TV, media sosial, atau iklan.

...Namaku Habataki Otoha. Senang bertemu dengan kalian semua.

(Yang benar saja!?)

Tanpa mengatakan itu, aku secara naluriah menjatuhkan diri ke atas mejaku karena tidak percaya.

 

 

 

Sebelumnya  |  Daftar isi  |  Selanjutnya

close

Posting Komentar

Budayakan berkomentar supaya yang ngerjain project-nya tambah semangat

Lebih baru Lebih lama