Chapter 4 — Ojou dan Sang Diva
Berita
tentang kepindahan sang diva yang sedang hiatus itu langsung
menyebar ke sekolah kami.
“Wah!
Dia benar-benar Habataki Otoha!”
“Kenapa
dia pindah ke sekolah kita?!”
“Apa
boleh bertukar informasi kontak...?”
“Permisi!
Aku penggemar beratmu! Bisakah
kita berjabat tangan?!”
Begitu
jam pelajaran pertama setelah perkenalannya berakhir, para siswa
mengerumuninya. Menjelang akhir jam pelajaran kedua, dan kemudian ketiga,
kerumunan bertambah banyak di setiap jeda waktu
istirahat. Pada akhirnya,
ada begitu banyak penonton sehingga kerumunan itu tumpah ruah sampai keluar kelas.
Menjelang
makan siang, pihak OSIS harus
turun tangan langsung untuk mengatasi situasi tersebut dan memperingatkan
semakin banyaknya penonton.
“Aku
tidak percaya dia dipindahkan ke sekolah kita...”
Ojou tampak terkulai di mejanya sejak pagi.
Jarang sekali melihatnya putus asa, tapi aku tidak dapat menebak mengapa dia
begitu kesal.
“Kemungkinan
besar pengaturan pemindahan sudah dibuat beberapa waktu lalu. Hanya waktunya
yang buruk, kurasa...”
Yukimichi
menatap Ojou dengan pandangan penuh simpati.
...Apa
hanya perasaanku saja,
atau aku memang
benar-benar diabaikan di sini?
Bagaimanapun juga, besarnya kerumunan itu berarti
bahwa dari pagi hingga ruang kelas penutup, kami bahkan tidak bisa mendekati
Otoha-san, apalagi berbicara dengannya.
Bahkan Ojou
tampak ragu untuk mendekat, mungkin karena malu.
Namun,
selama perjalanan pulang akhir pekan lalu, dia telah berbicara panjang lebar
dengannya. Mungkin karena akulah satu-satunya koneksi bersama mereka, sebagian
besar percakapan mereka berkisar pada diriku—hal-hal seperti, “Apa sebenarnya hubunganmu dengan Eito?” atau “Apa Eito juga melayanimu?” Dengan kepindahan Otoha-san, aku berharap mereka dapat
memperluas interaksi mereka dan menemukan lebih banyak hal untuk dibicarakan
secara langsung.
Jika itu yang terjadi, mungkin Ojou akan
mendapatkan teman dekat dalam diri Otoha-san.
“Uhmm, Habataki-san! Kamu pasti belum terbiasa dengan sekolah
pada hari pertamamu, kan?”
“Jika kamu tidak keberatan, bagaimana kalau aku mengajakmu
berkeliling?”
“Hei
apa
kamu mencoba menyerobot di depan
kami?!”
Persaingan
atas tugas bergengsi untuk membimbing Habataki Otoha sudah dimulai. Keributan mulai semakin menyebar, dan sepertinya
akan meningkat ke titik di mana OSIS
harus campur tangan lagi, tetapi—
“...Terima
kasih. Tapi aku baik-baik saja.”
Otoha-san,
yang telah mempertahankan ketenangan yang tak tergoyahkan sampai sekarang,
tiba-tiba berdiri dari tempat duduknya. Dia kemudian
dengan tenang berjalan menuju
tempat dudukku.
“...Aku akan meminta Eito untuk menunjukkan tempat ini padaku.”
Hanya
dengan satu kalimat itu, suasana kelas
yang tadinya berisik itu berubah menjadi
keheningan yang mencekam, seolah-olah semua suara telah tersedot keluar dari
ruangan.
Dan
kemudian—
“Apaaaaaaaaa!?”
Keterkejutan
kolektif para siswa meletus seperti gelombang pasang, memecah keheningan dalam
sekejap.
“H-Hei,
Yagiri! Kamu mengenal
Habataki-san!?”
“Tunggu,
ada hubungan apa dengan kalian berdua?
Bagaimana kalian bisa saling mengenal!?”
Gelombang
rasa penasaran yang menyelimutinya kini
mengalihkan perhatiannya sepenuhnya kepadaku. Yah, kurasa ini adalah reaksi
alami saat mengetahui seseorang sepertiku yang mengenal Sang Diva.
Namun,
saat ditanya, “Apa
sebenarnya hubungan kalian?”
Aku merasa kebingungan.
Bisakah
aku menyebutnya kalau kita
teman? Itu terdengar lancang. Kita
hanyalah “teman
yang melarikan diri”? Aku
tidak dapat memikirkan kata-kata yang tepat.
“Hubunganku
dengan Eito adalah...”
Saat aku
masih berusaha mencari jawaban, Otoha-san tampaknya telah mengambil keputusan.
Dia mengangkat jarinya yang ramping dan elegan ke bibirnya. Keanggunan
gerakannya membuat para siswa di sekitarnya terpesona, menyaksikan dengan diam
penuh perhatian.
Setelah
jeda singkat, dia akhirnya berbicara.
“...Itu
rahasia.”
Senyumnya
yang lembut dan seputih salju begitu indah hingga hampir tampak fana.
Rahasia,
ya. Mempertimbangkan keadaan—seperti dia melarikan diri dari rumah atau
fakta bahwa dia tidak dapat bernyanyi lagi, yang keduanya merupakan privaasinya—ini
mungkin jawaban yang paling aman. Dibungkus dalam tabir kerahasiaan, itu adalah
langkah yang bijaksana. Seperti yang diharapkan dari seorang penyanyi terkenal, dia menangani situasi seperti
itu dengan kemahiran yang mudah.
“Hubungan.... rahasia!?”
“Apa
itu berarti kalian, jangan-jangan,
berpacaran!?”
“...Itu
juga rahasia.”
Senyumnya
yang tenang masih tidak
goyah saat dia menjawab pertanyaan teman sekelasnya yang terlalu bersemangat
dengan cara yang sama. Dia mungkin ingin menghindari berbicara terlalu
banyak—agar tidak ada yang terucap tentang perjuangan pribadinya. Membatasi
informasi yang dia bagikan seminimal mungkin adalah caranya untuk melindungi
dirinya sendiri.
"Ojou,
pendekatan Otoha-san sangat mengesankan. Kita bisa belajar banyak darinya.”
“Melindungi
dirinya sendiri? Ini sih jelas-jelas
serangan!”
Ojou
bergumam dengan campuran kekaguman dan frustrasi.
“Memikirkan
semua pelatihan dan pengalaman media itu dapat digunakan dengan sangat
efektif... Rasanya bikin sakit
kepala!”
Nada
suaranya berada di antara rasa hormat yang enggan dan kekesalan yang tulus.
Jelas bahwa, pada saat ini, dia merasa benar-benar kalah.
“...Eito,
ayo pergi.”
Otoha-san
dengan lembut menggenggam kedua tanganku, jari-jarinya sepucat dan sehalus
salju yang baru turun.
“Ojou,
apa ini baik-baik saja?”
“Tentu
saja. Kurasa sebaiknya ada seseorang yang dikenalnya di sana untuk membantunya
beradaptasi,” jawabnya
dengan senyum cerah, bangkit dengan anggun dari tempat duduknya.
“Baiklah,
ayo pergi? Kita tidak ingin menyia-nyiakan
waktu sepulang sekolah yang berharga ini, bukan?”
Sembari
mengatakan itu, Ojou meraih lenganku dan memegangnya erat-erat di sisi lain yang berlawanan dengan Otoha-san.
...Tunggu,
mengapa rasanya seperti dia menekanku? Kata-kata dari momen itu selama “Permainan Kehidupan (sementara)” kembali terngiang di pikiranku.
“...Aku
hanya membutuhkan Eito untuk mengajakku
berkeliling,” sela
Otoha-san dengan tegas.
“Jangan
khawatirkan diriku, “ jawab Ojou dengan lancar. “Kita bisa melakukan apa yang pernah kita lakukan selama liburan terakhir—menghabiskan waktu
bersama, hanya kita bertiga.”
“....”
“.....”
“Itu bukan ‘kita
bertiga’. Hanya ada aku dan Eito saja berduaan,” Otoha-san mengoreksi, nadanya
tidak berubah.
“Ya
ampun. Apa kamu melupakan tentang taman? Kita bertiga ada di sana. Dan jangan lupakan
percakapan seru yang kita lakukan
dalam perjalanan pulang,” balas Ojou
dengan senyum licik.
“............................”
“............................”
Untuk
sesaat—hanya sepersekian detik—aku mendapat gambaran aneh tentang mereka
berdua yang terkunci dalam duel, saling pedang
beradu, sampai-sampai ada percikan
api beterbangan di setiap tangkisan.
Aneh sekali. Mungkin aku hanya terlalu
banyak bekerja. Aku perlu mengendalikan diri—manajemen kesehatan dasar itu
penting. Sepertinya aku masih harus banyak belajar.
“'Kalian
bertiga'? 'Sama seperti
saat liburan'?
Jadi Tendou-san juga ada di sana?”
“Oh, kurasa itu masuk akal! Bukan hanya Yagiri
dan Habataki-san—Tendou-san juga ada di sana!”
“Tentu
saja! Karena Yagiri bekerja untuk Tendou-san.”
Suasana di
dalam kelas rupanya mencapai pemahaman bersama tentang hubungan di antara
kami bertiga.
Ojou
dengan ahli mengalihkan perhatian mereka dari keadaan Otoha-san yang lebih
sensitif—insiden pelariannya dan ketidakmampuannya bernyanyi. Dengan memasukkan
dirinya ke dalam narasi, dia memastikan fokus mereka teralih ke tempat lain. Sungguh, kemahiran sosialnya sama
mengesankannya dengan tanggapan Otoha-san yang halus.
“...Hei,
Eito,” gumam Yukimichi di sampingku,
nadanya diwarnai ketidakpercayaan.
“Ya?
Ada apa?”
“Maksudku,
bagaimana mungkin kamu masih
bisa tetap tenang dengan tekanan seperti itu di kedua sisimu? Jika itu diriku, aku sudah akan
dipotong-potong menjadi ribuan bagian seperti steak yang digulung dengan buruk.
Jujur saja, aku merasa terkesan,
bung.”
“Dari
mana kamu malah menyimpulkannya begitu? Ngomong-ngomong,
mau ikut tur? Kamu orang
yang tepat untuk mendapatkan informasi. Rasanya akan
sangat membantu jika kamu bisa
ikutan.”
“Hati-hati
dengan caramu mengatakannya, Eito.” Yukimichi
menyindir, seringai masam tersungging di bibirnya saat ia mengangkat bahunya
dengan dramatis.
“..................................”
“..................................”
Dari
dekat, dua pasang tatapan tajam yang tak terucapkan—satu dari Ojou dan satu
dari Otoha-san—menatap tajam ke arah Yukimichi.
Tatapan
tajam itu terasa nyata. Apa pun langkah Yukimichi selanjutnya, sepertinya itu
sudah ditimbang, diukur, dan dinilai dengan tenang.
“Satu
kata yang salah bisa mematikan kehidupan di dunia ini, tau?”
“Lagi-lagi
begitu, kamu bersikap
terlalu dramatis...”
Astaga.
Kebiasaan buruk Yukimichi muncul lagi. Terkadang, ia tidak bisa menahan diri
untuk tidak melontarkan pernyataan berlebihan ini.
“...Baiklah,
bagaimana kalau kita pergi, Habataki-san?”
“...Tentu.
Ayo pergi bersama-sama, Tendou-san.”
Keduanya
tampaknya sudah cukup akrab. Mungkin, mungkin saja, mereka sedang dalam
perjalanan untuk menjadi teman baik.
•❅──────✧❅✦❅✧──────❅•
“Di
sebelah sana ada kafetaria. Mungkin agak
sulit untuk mengunjunginya sekarang, tetapi setelah keadaan mulai tenang, silakan mencobanya.
Makanannya mendapat ulasan bagus dari para siswa.”
“...
Aku akan mengingatnya. Jika saatnya tiba, maukah kamu ikut denganku, Eito?”
“Tentu
saja. Makan siang bersama kita bertiga pasti lebih
menyenangkan,” sela
Tendou.
“...
Tidak harus kita bertiga.”
“Oh?
Kalau begitu, mari kita undang Kazami dan jadikan empat orang,” imbuhnya sambil menggoda.
Saat aku
terus memandu mereka berkeliling sekolah, percakapan antara Ojou dan Otoha-san
semakin meriah dari waktu ke waktu. Anehnya,
dalam benakku, mereka hampir tampak seperti dua pendekar pedang yang saling
bersilangan pedang. Tetapi tentu saja, itu hanya kelelahanku yang
mempermainkanku.
(Jarang
sekali melihat Ojou mengobrol sebanyak ini dengan gadis lain di sekolah. Dan
Otoha-san... dia berbicara lebih banyak daripada yang dia lakukan ketimbang saat kita berdua pertama kali bertemu)
Mereka
berdua sama-sama tersenyum. Sepertinya mereka lebih akrab
dari yang kukira. Siapa tahu, dengan dorongan yang tepat, mereka bahkan bisa
menjadi teman dekat.
“Di sini
halamannya. Seperti yang bisa kamu
lihat, halamannya luas dan ramai saat istirahat makan siang. Beberapa siswa
bersantai di rumput, sementara yang lain menikmati permainan. Bunga-bunga indah
yang bermekaran di sana merupakan
hasil kerja keras klub berkebun. ...Bagaimana menurutmu? Bagaimana kalau kita
duduk di bangku itu dan beristirahat sambil mengagumi bunga-bunga?”
“...Kedengarannya
bagus. Tidak ada gunanya terus-terusan merasa tegang.”
“...Aku
setuju. Mungkin ada baiknya kita beristirahat
sebentar di sini.”
Pada waktu
yang pas, tur kami membawa kami ke halaman. Aku memandu
mereka berdua ke bangku yang dikelilingi bunga-bunga yang semarak.
...Aku
tidak menyangka mereka akan duduk berdampingan, tetapi tetap saja, melihat
mereka berdua duduk di ujung bangku yang berlawanan terasa... jauh.
Sekilas,
sepertinya mereka tidak begitu akrab. Atau... tunggu. Apa jangan-jangan mereka
berdua—
(—hanya merasa malu?)
Kurasa itu
wajar saja. Dengan adanya aku
sebagai pihak ketiga di sini, baik Ojou maupun Otoha-san
mungkin merasa terlalu malu untuk bersikap hangat satu sama lain. Jika memang
begitu, mungkin mereka memang lebih akur daripada yang terlihat.
(Baiklah
kalau begitu.)
Aku
selalu menyadari bahwa Ojou tidak punya banyak
teman di sekolah ini.
Jika itu
Otoha-san, dia mungkin
bisa menjadi teman yang dibutuhkan Ojou—seseorang yang benar-benar bisa
diajaknya menjalin pertemanan.
Mungkin
ini kedengarannya lancang, tetapi mungkin
aku bisa memberi mereka sedikit dorongan.
“Ojou,
Otoha-san. Kalian berdua pasti merasa haus, ‘kan? Kalau begitu izinkan aku
mengambil sesuatu untuk kita minum. Tolong, tetaplah di sini dan beristirahat.”
Tanpa
memberi mereka kesempatan untuk menjawab, aku segera meninggalkan bangku dan
mulai berjalan pergi.
Aku
benar-benar akan membeli minuman. Hanya saja bukan
dari kafetaria sekolah atau mesin penjual otomatis. Sebaliknya, aku berencana
untuk mampir ke kedai kopi di dekat sekolah.
(Semoga
saja, selama jeda waktu tersebut,
mereka akan menemukan cara untuk lebih terbuka satu sama lain)
•❅──────✧❅✦❅✧──────❅•
(Sudut
Pandang Hoshine)
...Aku
bahkan tidak bisa memanggilnya untuk menghentikannya sebelum Eito pergi menjauh.
Sejujurnya,
apa yang dipikirkan Eito sih?
“…………”
Habataki-san
juga tampak sedikit bingung karena tiba-tiba ditinggal sendirian denganku. Aku
bahkan tidak bisa menyalahkannya—sejujurnya, aku sendiri merasa
sedikit gelisah.
Sampai
beberapa saat yang lalu, aku memiliki momentum untuk mengendalikan si kucing garong yang licik itu. Namun,
dengan kepergian Eito, dorongan itu benar-benar hilang.
Tetap
saja, duduk di sini dalam keheningan yang canggung terasa lebih buruk.
“…Hei.”
“…Apa?”
“…Apa kamu sudah
bisa bernyanyi lagi sekarang?”
“…Ya.
Sedikit demi sedikit, aku bisa bernyanyi lagi sejak hari itu. Aku melakukannya
perlahan-lahan dengan pelajaran, sambil memulihkan diri. Sementara itu, kupikir
aku juga akan menikmati kehidupan sekolah. Kurasa mengalami kehidupan anak SMA dapat memperluas kemampuanku untuk
mengekspresikan diri. Ditambah lagi... Aku ingin meredakan kekhawatiran ayahku.”
“Begitu rupanya. Syukurlah,
kalau begitu.”
“…Apa
kamu mengkhawatirkanku?”
“A-Apa?
Ya enggaklah. Aku hanya... yah, kalau
bicara soal suaramu... meskipun itu menggangguku, bahkan aku harus mengakui
betapa hebatnya itu. Akan sangat disayangkan
jika suaramu hilang— cuma itu
saja.”
“...Bukannya itu sama saja dengan khawatir?”
“Sudah
kubilang tidak!”
Ugh,
gadis ini—apa dia sedikit... naif?
Mungkin
lebih baik mengalihkan pembicaraan.
“Ngomong-ngomong.
Kenapa kamu pindah ke sekolah ini?”
“...Aku
selalu penasaran tentang sekolah ini.
Sekolah ini merupakan tempat ibuku bersekolah.
Tapi aku tidak tahu Eito ada di sini—itu kebetulan yang menyenangkan.”
“Ibumu,
ya... Aku pernah mendengarkan beberapa lagunya sebelumnya. Lagu-lagunya
indah—menggetarkan hati orang dan mewarnai mereka dengan emosi. Bahkan orang
sepertiku harus mengakuinya.”
“...Tentu
saja. Bagaimanapun juga, dia adalah
ibuku.”
“Aku
sudah memikirkan hal ini sejak hari
yang kita lalui bersama—kamu
juga bisa membuat ekspresi seperti ini, ya? Kamu
selalu kelihatan lebih dingin di layar TV.”
“...Semuanya itu berkat Eito.”
Jadi
begitulah adanya. Jujur
saja... Eito. Saat aku mengalihkan pandanganku darimu, inilah hal yang akan dilakukannya. Aku tahu betul hal ini, sebagai
seseorang yang pernah ia selamatkan. Itu membuatnya semakin mudah untuk
memahami perasaannya.
“...Aku
ingin tetap bersamanya. Berada di sisinya. Aku tidak ingin menyerahkannya kepada
siapa pun. Baru pertama
kalinya aku merasa seperti ini. Eito adalah yang pertama bagiku.”
“...Begitu ya.”
Angin
sepoi-sepoi bertiup melewati halaman, dengan lembut menbelai pipi kami.
“Ya.
Aku juga bisa mengerti perasaan itu.”
Karena
kita berdua diselamatkan oleh orang yang sama... dan kita berdua akhirnya jatuh
cinta padanya.
“...Ojou
dari Grup Tendou. Aku hanya pernah melihatmu sebentar di sebuah pesta
sebelumnya, tapi... kamu sangat
berbeda dari yang kuduga.”
“Berbeda
bagaimana? Merasa terkejut karena aku jauh
lebih manis dari yang kamu
bayangkan?”
“Menurutku
kamu lebih menarik dan... menghibur dari yang kuduga.”
“Apa
itu seharusnya pujian?"”
“...Niatnya
begitu.”
Aku tidak
yakin apa aku harus merasa senang atau tidak.
“...Kamu
mempunyai paras yang cantik, menawan, pintar, atletis, dan majikannya Eito. Saingan
yang tangguh.”
“...Yah?
Kamu sendiri juga cantik. Seperti
peri yang baru saja keluar dari buku cerita. Dan meskipun itu membuatku
frustrasi, bahkan aku harus mengakui bakat menyanyimu. Dibandingkan dengan
calon saingan lainnya, kamu adalah
lawan yang tangguh.”
Melakukan
percakapan yang begitu berani dengan gadis lain bukanlah sesuatu yang pernah
kualami sebelumnya di akademi ini.
Itu
perasaan yang aneh.
“Tapi
aku tidak akan kalah.”
“Seharusnya
aku yang bilang begitu.”
Tidak
peduli seberapa tangguh
persaingannya, aku tidak berniat melepaskan Eito.
“Ojou,
Otoha-san.”
Akhirnya,
Eito kembali sambil membawa kantong kertas dari kedai kopi. Dilihat dari waktu
dan ekspresi wajahnya, jelas-jelas
ia sengaja mengincar waktu kedatangannya.
“Maaf
membuat kalian berdua menunggu. …Aku minta maaf
atas keterlambatannya—aku dihentikan oleh seseorang yang aku kenal dalam
perjalanan pulang tadi.”
“Tidak
masalah. Kami juga bersenang-senang di
sini.”
“…Ya.
Itu percakapan yang bermakna.”
“Aku senang
mendengarnya.”
Aku
menerima kopi yang diberikan Eito
kepadaku. Logo pada cangkir itu berasal dari salah satu kedai kopi di bawah naungan Grup Tendou. Tentu saja, Eito pasti tahu
betul preferensiku. Espresso khusus ini mendapat sentuhanku dalam
pengembangannya—aku telah memberikan saran selama pembuatannya, yang
menghasilkan perubahan yang meningkatkan penjualan setelah peluncurannya…
“Tunggu
sebentar.”
“Ojou?”
Naluri aku
berteriak kepada aku. Ada sesuatu yang tidak beres dengan apa yang baru saja
dikatakan Eito.
“Eito,
kamu menyebutkan sebelumnya bahwa kamu dipanggil oleh seseorang yang
kamu kenal, bukan?”
“Ya.
Memangnya ada masalah dengan itu?”
“Siapa
dia, dan apa yang mereka inginkan?”
“Dia
adalah anggota tim basket putri dari Kelas C. Dia bilang dia punya permintaan
mendesak dariku.”
“Oh,
begitu ya? Permintaan mendesak, ya...”
Kalau
tidak salah, hanya ada satu gadis dari Kelas C di tim basket. Dia seharusnya
menjadi bintang yang sedang naik daun yang bahkan berhasil masuk ke tingkat
nasional saat SMP. Seorang anak ajaib yang pernah ditampilkan di majalah
sebagai pemain yang patut
ditonton.
“Dan
apa hubunganmu dengannya?”
“Pada suatu
hari dia punya beberapa kekhawatiran tentang basket, dan
aku tidak sengaja bertemu dengannya. Aku hanya mendengarkan dan membantunya
berlatih sedikit.”
Ah,
begitu ya. Sekarang semuanya jadi masuk akal. Dulu sewaktu SMP, ada saat ketika Eito
tampak asyik membaca buku tentang basket dan latihan. Ia bahkan mulai membuat bekal
makan siang bento yang sangat seimbang ini di pagi hari. Aku bahkan merasa penasaran mengapa
ia tiba-tiba begitu peduli dengan basket... Yah, sekarang misterinya jadi terpecahkan.
“...Dan
apa permintaan ini?”
Sepertinya
Habataki-san juga langsung mengerti.
“Dia
bilang kalau timnya menang di turnamen olahraga mendatang, dia ingin aku
bergabung dengan tim basket putri sebagai pelatih atau, idealnya, menjadi
partner latihan eksklusifnya.”
“…”
“…”
Keheningan
antara aku dan Habataki-san hampir memekakkan telinga.
“Begitu rupanya, jadi begitu ya. Partner latihan pribadi, ya…?”
“Ah,
aku mengerti. Jadi begitulah adanya. Ini adalah salah satu situasi di mana
dimulai sebagai partner latihan dan akhirnya berubah menjadi partner hidup atau
semacamnya.”
“Eito,
aku akan pulang dari sini hari ini. Bisakah kamu
mengambil tasku dari kelas? Oh, dan ambilkan juga tas Habataki-san saat kamu mengambilnya.”
“Dimengerti.
Mohon tunggu di sini sebentar.”
“Tentu
saja. Aku mengandalkanmu.”
Setelah
itu, Eito bergegas pergi lagi. Ia
mungkin akan kembali lebih cepat dari sebelumnya, tetapi beberapa saat saja
sudah cukup untuk apa yang ada dalam pikiranku.
“Hei,
Habataki-san, apa kamu tahu apa cabang olahraga berikutnya untuk
divisi putri di turnamen bola nanti?”
“...Bola
basket.”
“Benar.
Ngomong-ngomong, apa kamu punya pengalaman bermain bola basket?”
“...Aku
belum pernah bermain sebelumnya. Tapi aku lumayan jago dalam aktivitas fisik.”
“Aku
juga belum banyak bermain, tapi kurasa aku punya firasat bagus untuk itu.”
“...Kalau
begitu, kita berdua perlu latihan.”
“Tepat
sekali. Pertama-tama, kita
perlu akses ke peralatan yang tepat dan pelatih untuk membimbing kita.”
“...Jika
kita ingin siap tepat waktu untuk turnamen, kita perlu latihan intensif. Aku
tidak yakin Ojou-sama
sepertimu bisa melakukannya.”
“Jaga
ucapanmu. Aku lebih khawatir dengan penyanyi glamor di sini—kamu mungkin
pingsan di tengah jalan.”
“...Itu
omong kosong. Latihan keras adalah bagian dari kehidupanku sehari-hari.”
Kami berdua saling menatap, tatapan tak
tergoyahkan. ...Tujuannya jelas. Tekad kami, saling menguntungkan.
“Aku
akan mengurus pengaturan peralatan latihan dan mencari pelatih.”
“...Aku
akan membereskan semua rencana
sepulang sekolahku.”
•❅──────✧❅✦❅✧──────❅•
(Sudut
Pandang Eito)
Turnamen
bola di Akademi Tenjoin merupakan acara besar bagi para siswa, terlebih karena
acara tersebut menawarkan hadiah.
Hal ini
tidak selalu terjadi. Pada suatu saat, reformasi diperkenalkan oleh OSIS dan Komite Harmoni—sebuah
kelompok yang dibentuk untuk menjembatani kesenjangan antara siswa internal dan
eksternal. Perubahan ini menghasilkan sistem hadiah saat ini, yang secara
signifikan meningkatkan taruhan dan antusiasme untuk turnamen tersebut.
Hasilnya,
suasana kelas menjadi sangat ramai dengan semangat tinggi saat
para siswa menunggu. Para atlet, khususnya, tampak sangat bersemangat. Mereka
yang tergabung dalam klub yang relevan dengan acara turnamen memikul beban
harapan rekan-rekan mereka.
“Meskipun
begitu... meskipun kami berada di tim basket, kami bahkan tidak berhasil
mencapai bangku cadangan,” keluh
seorang gadis.
“Dan
ditambah lagi Kelas C memiliki
Oda-san...”
Oda
Honami. Seorang siswa baru dan
sudah menjadi pemain inti di tim basket putri—atau lebih tepatnya, bintang yang
sedang naik daun di dunia basket putri. Dia
telah menghadapi kesulitan selama masa SMP,
tetapi setelah mengatasi tantangan tersebut, dia
terus bermain di turnamen nasional, membuktikan kemampuan hebatnya.
“Hanya
Kelas C yang memiliki Oda-san di tim basket, tetapi meskipun begitu…”
“Ya,
tidak peduli seberapa
banyak orang seperti kita yang ada di tim; itu tidak akan membuat perbedaan…”
Kedua
orang ini—Aikawa dan Ueno—adalah siswa internal yang memiliki pengalaman
tingkat lanjut di sekolah SMP
yang sama dengan Oda-san. Mereka jelas memahami tingkat keterampilannya dengan
sangat baik.
“Itu
tidak benar,” sela aku.
“Aikawa-san memiliki kesadaran
spasial yang sangat baik dan terampil dalam membuat keputusan cepat dalam
situasi yang tidak terduga. Kecepatan dan ketepatan umpanmu luar biasa.
Ueno-san, kamu memiliki stamina untuk terus berlari dari awal pertandingan
hingga akhir, dan akurasi tembakanmu cukup mengesankan. Yang terpenting, kalian
berdua memiliki fondasi yang kokoh. Kemampuanmu untuk tetap berpegang pada
dasar-dasar melalui latihan yang terus-menerus merupakan bukti dedikasimu. Apa kalian tidak mengingatnya? Selama masa SMP dulu, ketika
Oda-san mengundangku untuk menonton latihan tim basket putri sebentar?”
“Ya,
aku mengingatnya, kok. Tapi kupikir kamu hanya
menonton Oda-san saja.”
“Itu
sama sekali tidak benar. Aku mengingat usaha semua orang di tim.
Aikawa-san, Ueno-san, dan semua anggota lainnya—kalian semua bekerja keras
untuk turnamen nasional. Dedikasi dan tekad kalian sama cemerlangnya dengan
Oda-san.”
Mungkin
karena aku telah menyaksikan Ojou berjuang
tanpa henti sejak dia masih muda, tidak pernah membiarkan bakatnya membuatnya
sombong. Bagiku, mereka yang bekerja keras selalu tampak berseri-seri.
Mendukung orang-orang seperti itu sudah menjadi sifat keduaku.
“Oh iya, benar. Jika kalian mau, silakan gunakan ini dengan
semua orang.”
“Apa
ini... tas pendingin? Apa isinya?”
“Tas
ini diisi dengan barang-barang untuk mengisi ulang energi—onigiri, bungkus jeli, dan semacamnya.
Aku juga menyertakan minuman. Tolong bagikan dengan Ojou dan yang lainnya.”
“Kamu sudah berusaha keras menyiapkan
ini untuk kami?”
“Tunggu...
apakah semua ini buatan tangan? Kamu harus
membuatnya pagi-pagi sekali untuk menyiapkan semuanya...”
“Setidaknya
hanya ini yang bisa kulakukan.”
Sebenarnya,
aku ingin berpartisipasi dalam pertandingan dan mendukung Ojou secara langsung.
Namun, karena aku tidak bisa mengikuti pertandingan putri, hanya menawarkan
bantuan kecil ini yang bisa kulakukan—dan itu membuatku sangat frustrasi.
“...Terima
kasih, Yagiri-kun.”
“Benar...
kita tidak boleh menyerah sebelum pertandingan dimulai. Oke, kami juga akan
melakukan yang terbaik!”
“Ya,
silakan lakukan dengan semangat. Aku
akan mendukung kalian dari
pinggir lapangan.”
Mendukung
mereka dari balik bayang-bayang—inilah upaya
terbaik yang bisa kulakukan sebagai seseorang yang melayani Ojou.
“—Cukup sampai di situ, Eito.”
“...Angkat
tanganmu dan jangan bergerak.”
Ojou dan
Otoha-san mulai memasuki
kelas. Keduanya telah berganti pakaian di ruang ganti dan sekarang mengenakan
seragam atletik Akademi Tenjoin. Mungkin untuk memudahkan pergerakan, rambut
mereka diikat ke belakang menjadi ekor kuda.
“Mengapa
aku disuruh mengangkat tanganku...?”
““Kamu
tinggal diam saja. Kumohon.””
Aku
menuruti perintah itu, Tetapi aku tidak tahu mengapa aku diperintahkan untuk
mengangkat tanganku. Ojou
dan Otoha-san melirik sebentar ke arah Aikawa-san dan Ueno-san sebelum bertukar
ekspresi yang sangat menyakitkan.
“Mustahil...
hanya dalam waktu singkat saat kita
sedang berganti...!?”
“...Efisiensi
mereka... hampir menakutkan...”
Aku tidak
sepenuhnya memahami apa yang terjadi, tetapi satu hal yang pasti—keduanya telah
terikat pada gelombang yang aneh. Mereka
telah berlatih bersama hampir setiap hari menjelang turnamen hari ini.
“Eito,
sebaiknya kamu pergi
ke sisi anak laki-laki sekarang.”
“Tapi
masih ada waktu sebelum turnamen dimulai...”
“...Kamu tidak boleh membuat mereka
menunggu.”
Dengan begitu, keduanya dengan lembut tapi
tegas mendorongku, praktis mendorongku ke arah Yukimichi dan yang lainnya.
“Ah,
um, Ojou! Semuanya! Semoga beruntung di
pertandingan kalian nanti!”
Aku berseru
keras saat disuruh
pergi, tetapi mereka sudah fokus, tekad mereka bersinar saat mereka bersiap
untuk pertandingan yang akan datang.
•❅──────✧❅✦❅✧──────❅•
(Sudut
Pandang Hoshine)
Aku membusungkan dadaku dengan senyum tipis dan
menyatakan:
“Di
atas segalanya, kita punya alasan untuk menang!”
Sesaat
kebingungan muncul di wajah
Aikawa-san dan Ueno-san sebelum mereka terkekeh.
“Haha,
sungguh kepercayaan diri yang luar
biasa. Yah, aku agak mengerti apa yang kamu
katakan.”
“Alasan,
ya... Ya, kamu memang benar. Kita sudah sejauh ini,
jadi kalah akan menyebalkan. Mari kita berikan yang terbaik!”
Respons
mereka membuatku dan Habataki-san mengangguk ringan.
“Tepat
sekali. Itulah semangatnya. Mari kita singkirkan sikap malu-malu itu dan
berikan semua yang kita punya.”
“...Setuju.
Kita bisa menang.”
Perkataan
Habataki-san yang tenang namun tegas hanya memperkuat energi di udara.
Ketika melihat
Aikawa-san dan Ueno-san, kebimbangan
dan keragu-raguan mereka hilang. Keduanya sekarang memiliki ekspresi tekad
atlet yang siap menghadapi tantangan mereka.
“Baiklah,
mari kita melakukan sedikit pemanasan.
Penting untuk benar-benar siap sebelum pertandingan!”
“Setuju!
Jika sudah sejauh ini, kita harus mengerahkan segenap kemampuan kita!”
Jadi,
kami fokus pada persiapan akhir sebelum pertandingan. Tekad itu terlihat jelas,
dan persatuan tim kami telah menguat. Sekarang, yang tersisa hanyalah
memberikan segalanya kepada kami di lapangan.
“Kami
berdua, Habataki-san dan aku, menjalani latihan yang melelahkan yang membuat
darah, keringat, dan air mata kami bercucuran
untuk turnamen olahraga ini,”
aku menyatakan dengan penuh percaya diri.
““Latihan
yang melelahkan...?””
Mereka
berdua menatapku kosong menanggapi pernyataanku.
...Aneh
sekali. Ini adalah bagian di mana mereka seharusnya terkesan dan bertepuk
tangan. Apa jangan-jangan mereka
salah paham dan mengira kami melakukan latihan setengah hati?
“Benar
sekali. Itu bukan latihan setengah-setengah.
Kami menyewa seluruh fasilitas dan bahkan mempekerjakan mantan pelatih profesional
untuk melatih kami secara menyeluruh.”
“Woah, itu luar biasa. Seperti yang
diharapkan dari putri konglomerat Grup Tendou....”
“Benarkah?
Apa itu beneran,
Habataki-san...?”
“Mm-hmm.
Benar sekali. Aku bekerja keras karena aku benar-benar ingin menang.”
Dengan
ekspresi datarnya yang
tidak berubah, Habataki-san mengangguk kecil dan membuat tkamu perdamaian.
Melihat ekspresi kami, Aikawa-san dan Ueno-san
saling bertukar pandang dan kemudian—
“Pfft...
heheh...”
“Hahaha!”
Entah
mengapa, mereka berdua justru tertawa
terbahak-bahak.
“Ah,
maaf, maaf! Kami tidak mengolok-olokmu atau semacamnya.”
“Hanya
saja... rasanya terlalu intens untuk sebuah
turnamen olahraga biasa sehingga membuatku lengah... haha!”
Rupanya,
mereka tidak mengejek kami.
Tetap
saja, aku tidak menyangka akan ditertawakan. Menjadi serius tentang sebuah
turnamen olahraga merupakan
hal yang wajar. Terutama karena kami bertekad untuk menghentikan pencuri kucing
licik itu apa pun yang terjadi.
“Tetap
saja, 'latihan melelahkan yang membuat darah, keringat, dan air matamu mengucur'...?”
“Tendou-san,
rupanya kamu itu orang yang lebih menghibur dari yang
kubayangkan.”
“Apa—!?
Me-Menghibur?”
Mereka
mengatakannya lagi. Menghibur? Perkataan mereka
membuatnya terdengar seperti aku semacam pelawak atau semacamnya!
“...Ya.
Tendou-san memang sangat
menghibur. Dan menyenangkan.”
“Ahaha!
Habataki-san, kamu juga
lebih menghibur dari yang kuduga.”
“Ngomong-ngomong,
jika kalian melakukan latihan yang begitu
intens, kamu bisa
saja mengundang kami untuk bergabung.”
Aku telah
mempertimbangkan kemungkinan itu. Tapi...
“Kalian
berdua punya latihan klub basket sepulang sekolah, bukan?”
“...Mana mungkin aku memintamu untuk memotong
kegiatan klubmu hanya untuk turnamen olahraga.”
Ketika
aku mengatakan itu, Aikawa-san dan Ueno-san membelalakkan mata mereka karena
terkejut.
“Tendou-san...
kamu ternyata sangat perhatian, ya?”
“Ya,
ya. Kau lebih bisa diterima dari yang kukira.”
Mereka
tampaknya mencari kata-kata yang tepat, perlahan-lahan menyusun pikiran mereka.
“Bagaimana
mengatakannya ya... Bukannya kamu terlihat
menakutkan atau semacamnya, tapi...”
“Kamu merasa seperti... sosok yang tidak terjangkau? Rasanya seperti kamu berada di luar jangkauan kami,
sulit untuk mendekatimu. Tapi jika kamu
menghibur seperti ini, mungkin kami seharusnya berbicara denganmu lebih awal.”
...Jadi
begitu pandangan mereka kepadaku.
Bukannya aku peduli juga sih.
“Yah,
yah, latihan yang intens, ya? Sebagai anggota klub basket, kami tidak bisa
membiarkanmu mengalahkan kami.”
“Ya,
aku merasa bersemangat sekarang! Mari kita raih kemenangan bersama!”
Pokoknya,
moral mereka yang meningkat merupakan pertanda
yang baik.
“Kita
tidak mengincarnya—kita akan menang. Jangan salah paham.”
“...Tidak
ada pilihan lain.”
Ketika
Habataki-san dan aku menyatakan ini dengan tegas, Aikawa-san dan Ueno-san
mengangguk setuju.
“Kamu benar! Tidak ada ruang untuk
ragu-ragu, ya?”
“Mari
kita menangkan ini! Hanya kita berempat!”
•❅──────✧❅✦❅✧──────❅•
(Sudut
Pandang Eito)
Saat ini,
pertandingan pertama turnamen putri kemungkinan akan segera berakhir.
Aku ingin
menyemangati Ojou, tetapi
dia telah terlebih dahulu menghentikanku dengan berkata, “Aku tidak butuh dukunganmu. Kamu bisa tunggu
saja hasilnya.” Dengan
berat hati, aku harus menghormati keinginannya.
Mengingat kepribadiannya, dia
pasti sudah mengamankan kemenangan di pertandingan pertamanya. Dengan semua
sesi latihan yang dia curahkan setelah sekolah, dan mengingat perbedaan tingkat
keterampilan, hampir mustahil rasanya membayangkan
dia bisa kalah.
“Yo,
Eito! Akhirnya ketemu juga. Aku sedari tadi mencarimu,” seru Yukimichi sambil berjalan
ke halaman.
“Yukimichi.
Apa pertandinganmu akan segera dimulai?”
“Ya.
Aku cuma ingin menanyakan kabarmu. Kamu
biasanya tepat waktu, tetapi bakalan
jadi bencana jika kamu datang terlambat. Ini tentang menjaga moral tetap
tinggi, tahu?”
“Kamu
tampaknya sangat bersemangat tentang turnamen ini. Apa ada alasannya?”
“Heh,
tentu saja aku bersemangat! Bagi anak SMA, ini bukan hanya tentang mencapai
tujuan akademis; kamu harus mencurahkan hatimu ke
dalam olahraga, bekerja keras, dan menjalani masa muda yang murni dan sehat
penuh dengan—”
“Dan
alasanmu yang sebenarnya?”
“...Untuk
memenangkan tiket Wonder Festival Land eksklusif itu dan menjadi magnet cewek.”
“Sejujurnya. Aku suka itu.”
Hadiah
untuk turnamen itu bervariasi berdasarkan tingkat kelas. Untuk kelas satu, hadiahnya adalah tiket eksklusif ke Wonder Festival
Land, taman hiburan yang sangat populer yang dibicarakan semua orang. Tiketnya
dijual dengan harga selangit secara daring, sehingga sangat sulit didapatkan.
Ngomong-ngomong,
Wonder Festival Land dioperasikan oleh anak perusahaan di bawah Grup Tendou. Beberapa atraksi
didesain ulang berdasarkan saran dari Ojou, yang menghasilkan peningkatan
substansial dalam pendapatan dan reputasi.
“Kamu tahu, selain dirimu, rasanya sungguh mengesankan bagaimana
para lelaki di kelas kita bersemangat dengan tiket taman hiburan.”
“Tiket
eksklusif Wonder Festival Land bukan sekadar tiket saja, bung.
Itu adalah kunci ajaib yang menarik perhatian para gadis di seluruh dunia.
Tentu saja semua orang bersemangat tentang itu! Dan dengarkan ini baik-baik, Eito, aku merasa tidak masalah kamu
mengatakan itu kepadaku, tetapi jangan berani-beraninya kamu membicarakannya di depan cowok lain.”
“Aku
tidak merencanakannya, tetapi... mengapa tidak?”
“Karena
jika kamu menghargai hidupmu, kamu harus tetap tutup mulut.”
Masuk akal—aku
menghargai hidupku. Jika aku mati, aku tidak akan bisa melayani Ojou lagi.
“Wah,
apa kamu melihat pertandingan basket
putri kelas satu tadi? Itu gila banget,”
kata seseorang di dekat kami.
“Yeah.
Jujur saja, itu membuatku tercengang,”
siswa lain menimpali.
Mendengar
percakapan ini di antara beberapa siswa laki-laki, mau tak mau aku jadi
mendengarkan lebih dekat.
“Mereka
benar-benar mengalahkan Kelas D.”
“Dengan
penampilan itu, mereka bahkan mungkin mengalahkan kelas favorit—Kelas C.”
Seperti
yang diharapkan dari Ojou, tampaknya pertandingannya berjalan tanpa hambatan,
menghasilkan kemenangan tanpa cela.
“Hei,
hei, kalian. Mengapa kalian menonton basket dengan sangat serius? Itu bukan hal
yang seharusnya kalian fokuskan,”
suara lain ikut menyela.
Pembicaraan
tentang pertandingan basket yang mengesankan dari Ojou tiba-tiba terganggu oleh
kedatangan seorang siswa laki-laki yang kekar. Senyumnya yang sombong dan
ekspresi mengejeknya segera mengubah nada pembicaraan.
“Dan
apa yang kamu lihat?” salah
satu siswa bertanya, mengerutkan kening pada pendatang baru itu.
“Bukannya itu sudah jelas?” jawabnya, senyumnya melebar. “Tubuh Tendou... tubuhnya yang montok
itu loh.”
•❅──────✧❅✦❅✧──────❅•
(Sudut
Pandang Yukimichi)
“Memisahkan
kelompok untuk anak laki-laki dan perempuan itu menyebalkan, ya, ‘kan? Maksudku, kenapa tidak
mengajak mereka bermain basket sepulang sekolah saja? Mungkin, di tengah
kekacauan ini, aku bisa, tahu, tanpa sengaja menyentuh payudaranya yang besar atau semacamnya.”
“Woah. Itu benar-benar hal terparah yang
pernah kudengar darimu sejauh ini.”
“Jangan
sok suci. Kalau kalian tertarik, kalian juga bisa bergabung. Siapa tahu,
mungkin kalian beruntung dan bisa merasakannya.”
“Mana
mungkin itu bisa terjadi.
Dasar idiot.”
Tawa
kasar siswa laki-laki kekar itu perlahan menghilang.
Sampai
suaranya benar-benar menghilang, Kazami Yukimichi—aku—tidak berani memaksa diriku untuk melihat wajah Eito sama
sekali.
Eito,
yang berdiri mematung, tidak bergerak sedikit pun, seolah-olah tubuhnya telah
berubah menjadi batu. Kalau dirinya
tidak menahan diri, ia mungkin telah melepaskan niat membunuh, baik dirinya dan aku mengetahui hal itu.
Eito
selalu berusaha menjadi orang yang melayani
majikannya, Tendou Hoshine. Dirinya
selalu sadar akan perannya dan tidak ingin mencoreng nama baik Hoshine. Sosok terbuang seperti dirinya tidak berani menodao kehormatannya. Ia tidak boleh membebani majikannya dengan masalah yang tidak
perlu. Itulah sebabnya Eito selalu
berusaha menjadi “orang
baik dan terhormat
yang layak bagi majikannya”.
...Yah,
justru karena rasa tanggung jawab itulah dia tanpa sengaja memicu segala macam pertanda di mana-mana, yang pasti rumit
bagi Tendou sendiri untuk mengatasinya.
Bagaimanapun,
mungkin itulah sebabnya dirinya
sekarang bersikap rendah hati—untuk menghindari menciptakan lebih banyak
masalah bagi majikannya.
...Meskipun, sejujurnya, intensitas kemarahannya yang sebenarnya terpancar
darinya.
“...Yukimichi.
Orang tadi itu, ia dari
Kelas 1-E, bukan?”
“Y-ya...
memang. Tunggu, bagaimana kamu bisa
mengetahuinya?”
“Karena
ini sekolah tempat Ojou bersekolah,
aku sudah menghafal wajah,
nama, dan kelas yang ditetapkan untuk semua siswa... Jadi, lawan kita adalah...”
“....
Pertandingan berikutnya.”
“Tepat
sekali. Waktunya sangat pas sekali.”
Wajah Eito
menunjukkan senyum ceria, tetapi aura gelap dan mengancam yang terpancar
darinya sangat jelas bagiku. Aura itu begitu menakutkan sampai-sampai aku merasa bersyukur bahwa ia bukan musuhku.
“Sebagai
anak SMA, ini bukan hanya tentang akademis. Kita perlu mendedikasikan diri
untuk olahraga, berkeringat dengan jujur, dan menikmati masa muda yang sehat.
Mari kita pastikan tidak ada hama yang berpikir untuk terlibat dalam omong
kosong seperti itu.”
Sejujurnya,
kupikir pertandingan mendatang melawan Kelas 1-E akan menjadi tantangan
terbesar kita.
Bagaimanapun juga, tim sepak bola mereka—yang
menampilkan pria kekar yang baru saja melangkah lebih jauh dari sekadar
menginjak titik lemah Eito dan
langsung menginjaknya—terdiri dari beberapa pemain terbaik di kelas kami.
...Tetapi sekarang, aku tidak merasa perlu khawatir tentang pertandingan itu.
Tekad Eito sudah melampaui siapa pun di tim kami. Bahkan, mungkin lebih baik
merasa kasihan pada lawan. Lagipula,
ini hanyalah turnamen olahraga sekolah. Hanya pertandingan sepak bola biasa.
Selama pertandingan tetap dalam batasan aturan, tidak akan ada masalah.
Misalnya,
bahkan jika harga diri para pemain sepak bola itu hancur sampai-sampai mereka
kehilangan keinginan untuk melakukan apa pun setelah sekolah, secara teknis itu
masih dalam aturan.
“Baiklah
kalau begitu... kurasa kita sepaham.”
Aku
menggenggam kedua tanganku dalam pikiranku, diam-diam memanjatkan doa untuk
pemain sepak bola kekar yang bahkan hampir tidak kukenal itu.
Ngomong-ngomong,
Kelas 1-A kami meraih kemenangan telak yang belum pernah terjadi sebelumnya,
mengamankan tiket undangan khusus ke taman
hiburan Wonder Festival Land sebagai hadiah kejuaraan.
•❅──────✧❅✦❅✧──────❅•
(Sudut
Pandang Eito)
——Hasilnya,
Sepertinya
pertandingan divisi putri turnamen
olahraga angkatan kelas satu di
Akademi Tenjoin, Kelas 1-A milik Ojou itu berhasil
memetik kemenangan.
“...Itu
adalah pertarungan yang sengit.”
Otoha-san,
berbicara di halaman sekolah, tampaknya mengenang pertandingan itu. Dia
mengangguk dengan sungguh-sungguh, dengan jelas merenungkan kejadiannya.
“...Seperti
yang diharapkan dari bintang baru dunia basket putri SMA. Jika bukan karena
kerja sama tim dan kontribusi Hoshine, kita pasti kalah.”
“Benar sekali. Keterampilan Oda-san sungguh luar biasa, tetapi bagimu dan Ojou
sampai bisa mengalahkan tim yang
beranggotakan seseorang sehebat dirinya—bahkan
dengan kerja sama tim—itu adalah bukti kemampuanmu, Otoha-san.”
Meskipun
keterampilan individu sangat penting,
pertandingan basket pada dasarnya
adalah olahraga tim.
Selain
itu, ini adalah turnamen olahraga, dan sebagian besar rekan satu timnya adalah
amatir. Jumlah pemain juga tidak lazim dibandingkan dengan pertandingan
reguler. Meskipun dalam kondisi yang tidak biasa, kecemerlangan taktik Ojou dan Otoha-san bersinar cerah.
“...Tentu
saja... mana mungkin aku akan kalah... dengan
Otoha dan semua orang di timku...”
Ojou
berbicara dengan percaya diri ketika duduk
di bangku di samping Otoha. Namun, dia jelas-jelas hampir tertidur, kelopak matanya tampak seperti bisa menutup
kapan saja.
“...
Aku tidak akan... kalah... dengan beberapa... kucing
garong...”
“Dia
benar-benar kelelahan.”
Ojou bersandar di bahu Otoha, hampir
tertidur—tidak, dia pasti tertidur sekarang.
“Dia
berlatih keras untuk persiapan turnamen hari ini. Sekarang setelah
ketegangannya hilang, kelelahan pasti menimpanya sekaligus,” ucap
Otoha-san, menatapnya dengan ekspresi
lembut.
“...Eito,
kamu terlihat bahagia. Kenapa begitu?”
“Aku
memang merasa senang dengan kemenangan Ojou
dan Otoha-san—tetapi
yang membuatku paling bahagia adalah seberapa
dekatnya hubungan kalian berdua.”
Kebetulan,
bangku tempat Ojou dan Otoha-san sekarang duduk adalah bangku yang sama yang
mereka gunakan pada hari pertama setelah pindah.
Saat itu,
mereka duduk di ujung bangku yang berlawanan. Tapi sekarang, bahu mereka
bersentuhan saat mereka bersandar
satu sama lain.
Pemandangan
Ojou dan Otoha-san seperti ini sepertinya mencerminkan bagaimana hubungan
mereka berkembang. Hal itu
membuatku merasa benar-benar bahagia dan menghangatkan hatiku.
“…Benarkah?”
“Ya.
Sebelum aku menyadarinya, kalian berdua mulai memanggil satu sama lain dengan
nama depan kalian.”
“…Itu
hanya dalam alur pertandingan.”
Mereka
berdua keras kepala dan bukan orang yang paling lugas.
Aku yakin
mereka sudah mengakui keterampilan satu sama lain sejak lama—mungkin saat sesi
latihan sepulang sekolah. Tapi keduanya tidak mau
mengakuinya, jadi mereka tidak bisa memaksa diri untuk memanggil nama depan satu sama lain.
Kemudian,
karena terjebak dalam intensitas pertandingan, mereka pasti secara alami mulai
memanggil satu sama lain dengan cara itu tanpa menyadarinya.
“Kalian berdua mungkin sudah menjadi teman baik, iya ‘kan?”
“…Mungkin
begitu.”
Otoha-san
menatap Ojou, yang tertidur lelap di bahunya, dan tersenyum lembut.
Bagiku,
itu jelas—dia tampak benar-benar bahagia, hampir kegirangan.
“Hoshine
adalah temanku … Ya. Temanku.”
Fakta
bahwa Ojou adalah temannya tampaknya tertanam alami di hati Otoha-san.
“…Tapi,
dia bukan hanya temanku saja.”
“Dan
maksudmu?”
“…Dia juga sainganku.”
Saingan,
ya? Itu masuk akal. Aku selalu merasakan ketegangan halus di antara mereka,
seolah-olah mereka terus-menerus bersaing. Bahkan selama latihan, mereka saling
mendorong maju, berkembang pesat bersama.
“…Itulah
sebabnya, sebagai saingan, aku tidak bisa membiarkan ini berlalu begitu saja.”
Setelah
melirik sekilas ke Ojou yang tertidur di bahunya, Otoha-san berbalik menatapku
sepenuhnya.
“…Eito.
Aku ingin hadiah.”
“Hadiah…
karena memenangkan turnamen olahraga?”
“…Ya. Karena aku sudah bekerja
keras.”
“Memang
benar. Kamu sudah berjuang sekuat tenaga,”
jawabku sambil mengangguk.
…Tunggu dulu sebentar?
“Uhmm… Apa maksudmu aku harus memberimu hadiah?”
Saat aku
meminta klarifikasi, Otoha-san mengangguk tegas.
“Hadiah
untuk menang sebagai peserta kelas satu
adalah 'Tiket Undangan Spesial Wonder Festival Land'... Ayo kita gunakan
itu untuk berkencan.”
Karena
aku menang dalam pertandingan sepak
bola dan Otoha-san dan Ojou menang dalam bola basket, kami masing-masing punya
satu tiket undangan spesial ini. Membiarkannya terbuang sia-sia akan sangat disayangkan. Selain itu—
“Ah,
masalah itu. Jangan khawatir; Ojou sudah memberitahuku.”
“………………………………Apa
maksudmu???”
“Kamu tahu, rencana menggunakan tiket
hadiah untuk pergi ke Wonder Festival Land? Bersamaku, Otoha-san, dan Ojou—hanya
kita bertiga.”
“Kita bertiga…?”
Aneh.
Otoha-san bereaksi seolah-olah ini pertama kalinya dia mendengarnya.
“Ojou
sudah memberitahuku tadi malam.
Dia berkata, 'Jika kita memenangkan turnamen olahraga, mari kita gunakan
tiket hadiah sebagai hadiah dan pergi bersama, hanya kita bertiga.' Dia
juga menambahkan, 'Aku yakin Habataki-san akan bertanya kepadamu tentang hal
itu nanti.' Jadi secara alami,
kupikir itulah maksudnya.”
Kalau
dipikir-pikir, tadi malam dia masih memanggilnya dengan sebutan “Habataki-san”. Aku sudah memperhatikan
sebelumnya ketika dia memanggilnya “Otoha” sebagai gantinya—itu
mengejutkanku sejenak.
“……………………Tidak
mungkin... Apa dia sudah memprediksi tindakanku sebelumnya...?!”
Otoha-san
menatap Ojou yang sedang tidur di bahunya dengan ekspresi terheran-heran.
“...Seperti
yang diharapkan dari seorang saingan... dia benar-benar
lawan yang tangguh...!”
“?
Ya, benar. Kurasa Ojou memang
luar biasa.”
Aku tidak
begitu yakin persaingan macam apa yang dia bicarakan, tetapi karena dia berkata
“seperti yang diharapkan,” sepertinya dia sedang memuji Ojou.
“Baiklah.
Ayo cepat pulang sebelum terlambat."
Aku tidak tega membangunkan Ojou yang tertidur
di bangku. Dengan hati-hati, seolah sedang memegang harta karun yang berharga,
aku dengan lembut menggendong Ojou dalam pelukanku.
Entah
mengapa, Otoha-san menatapku dengan pandangan iri
saat dia melihat ini.
“...
Mau bagaimana lagi. Aku akan membiarkanmu merasakan
itu untuk hari ini.”
Sambil
berkata demikian, Otoha-san juga bangkit dari bangku.
“...
Tapi. Aku mungkin menginginkan hadiah yang berbeda di lain waktu. Tentu saja,
darimu.”
“Ahaha.
Jika itu sesuatu yang bisa kulakukan, aku akan melakukan apa saja untukmu.”
“...
Baiklah. Aku akan memikirkannya.”
•❅──────✧❅✦❅✧──────❅•
“Ojou.
Tolong bangun, Ojou.”
Bahkan
setelah kami tiba di rumah, Ojou tetap tertidur. Dia berbaring dengan damai di tempat tidurnya, kelopak
matanya tertutup saat dia
bernapas dengan lembut dalam tidurnya.
Tidur
terlalu banyak di siang hari akan membuatnya sulit tidur di malam hari.
Idealnya, aku ingin dia bangun
sekarang... tetapi karena ia, sepertiku, sudah mandi di akademi, aku juga ingin
membiarkannya beristirahat sedikit lebih lama.
“Sekarang sudah hampir waktunya makan malam.
Tolong bangun.”
“Mmnn—...
tidak mau...”
Sepertinya
dia sudah bangun, tetapi... ini
masih—tidak, dia masih
dalam keadaan setengah tertidur.
Membangunkan
Ojou di pagi hari selalu menjadi tantangan. Biasanya, para pembantu yang
mengurusnya, tetapi kadang-kadang aku dipanggil untuk melakukannya sendiri.
“Eito,
tidurlah bersamaku...”
“Aku
tidak bisa melakukan itu. Ayolah, kau harus bangun.”
“Tidakkkkkk...”
Mungkin
karena dia memiliki begitu sedikit
kesempatan untuk dimanja oleh orang tuanya, baik di masa kecilnya maupun
sekarang, Ojou menjadi sangat kekanak-kanakan saat dia dalam keadaan mengigau. Dalam
keadaan ini, dia jarang mendengarkan apa yang dikatakan orang lain. Aku pernah
mendengar para pelayan juga sering berjuang dengan hal ini.
Salah
satu pelayan pernah mengajariku sebuah trik.
Jika kamu
langsung menolaknya, itu akan menjadi bumerang. Kuncinya adalah memanjakannya
sedikit terlebih dahulu untuk membuatnya mau bekerja sama.
“Baiklah,
baiklah. Kalau begitu cuma sebentar
saja, aku akan berbaring denganmu.”
Aku
tersenyum kecut saat aku bergabung dengannya di tempat tidur.
“Mmm—...?”
Saat Ojou
melihat wajahku saat aku bergabung dengannya di tempat tidur, ekspresinya
melembut menjadi senyum yang santai dan lembut.
“Eito...
Hehe~♪”
Oh, dia
sedang dalam suasana hati yang baik sekarang. Mungkin sebentar lagi, dia akan
mulai mendengarkanku.
“Peluk—♪”
Masih
dalam semangat tinggi, Ojou tiba-tiba memelukku. Rasanya mirip seperti seseorang yang sedang memeluk boneka atau bantal
tubuh—dia melakukannya tanpa ragu-ragu sama sekali.
“Tunggu…
Ojou?”
“♪~”
Dia
sepertinya tidak mendengarku sama sekali. Tapi satu hal yang bisa kurasakan
adalah raut wajah bahagianya yang begitu murni. Setidaknya, kukira begitu
karena aku tidak bisa melihat wajahnya dengan jelas.
Kenapa?
Karena kepalaku saat ini menempel di dadanya yang berkembang dengan baik dan
lembut, membuatku menjadi
sulit bernapas, apalagi berpikir jernih.
“Eito...”
...Ini gawat. Suaranya semakin mengantuk
setiap detiknya. Dia jelas-jelas
berencana untuk tertidur lagi.
Tapi mana mungkin aku bisa dengan paksa
melepaskannya dariku.
"Hadiah...
Mmm...”
“......”
Hadiah,
ya...
Dia
benar. Bukan hanya karena memenangkan turnamen olahraga, tapi hari ini juga
merupakan hari yang penting—hari ketika Ojou mendapat teman baru.
Pada
akhirnya, satu-satunya hadiah yang bisa kuberikan padanya adalah menuruti
keinginannya sedikit.
“Happ!”
Setelah berhasil
melarikan diri dari bukit kembarnya
yang lembut dan kenyal, aku
mengamankan napasku sekali lagi, dan
dengan lembut mengusap rambutnya yang halus nan
lembut.
“...Khusus untuk hari ini saja, oke?”
Setelah
melirik sekilas ke wajahnya yang manis saat tidur, aku memasrahkan diriku untuk
menjadi bantal peluknya sekali lagi.
Dia
mungkin akan bangun di tengah malam, tapi... yah, aku akan menghadapinya saat
waktunya tiba.
•❅──────✧❅✦❅✧──────❅•
(Sudut
Pandang Hoshine)
“Mm...?”
Kesadaranku
yang samar-samar mulai terbangun.
Gelap.
Hangat, nyaman... dan sensasi ini... Aku berada di tempat tidur.
“Mm—...”
Aku
menyadari bahwa aku pasti tertidur di suatu titik tanpa menyadarinya.
Dilihat
dari waktunya, sekarang mungkin masih malam. Di luar
tidak cerah—gelap. Jika sudah pagi,
para pembantu pasti sudah datang untuk membangunkanku.
Haruskah
aku bangun? Tetapi jika aku melakukannya sekarang, aku mungkin akan terbangun
dan tidak bisa tidur lagi. Selain itu, untuk beberapa alasan, aku merasakan
penolakan yang tidak biasa terhadap gagasan untuk “bangun” hari ini.
Aneh sekali. Aku tidak pernah merasa begitu
kuat untuk tidak ingin meninggalkan tempat tidurku sebelumnya. Aku selalu buruk
dalam hal bangun, tetapi... kehangatan yang menenangkan ini—rasa aman ini—aku
tidak ingin melepaskannya.
Itu
benar. Aku tidak ingin melepaskannya... Tetapi melepaskan apa?
Bantalku?
Tidak, itu tidak mungkin. Bantalku tidak sehangat ini, dan ukurannya tidak cocok.
Bantal
tubuh? Tidak, itu juga bukan. Aku bahkan tidak mempunyainya.
Boneka
binatang? Tidak, jelas bukan itu juga.
Ukurannya terlalu besar, dan aku bersumpah
aku bisa mendengar sesuatu seperti napas.
Dengan
hati-hati, aku membuka mataku.
“……Eito?”
Sesuatu
yang telah kupeluk selama ini,
tanpa menyadarinya, tidak salah lagi adalah… dirinya.
Satu-satunya Eito.
(Apa?
Apa? Kenapa? Bagaimana?)
Aku tidak
bisa memahaminya. Ada terlalu
banyak informasi yang perlu
diproses, dan pikiranku berputar dalam kebingungan.
Tidak.
Tenanglah. Pada saat-saat seperti ini, hal pertama yang harus dilakukan adalah
menenangkan diri, Tendou Hoshine.
Tenanglah,
tetaplah tenang, dan susun fakta-fakta tentang apa yang terjadi di depanmu.
Fakta 1:
Entah bagaimana aku tertidur.
Fakta 2:
Ketika aku bangun, aku memeluk Eito saat ketiduran.
Kesimpulan
yang dapat kuambil dari ini adalah… tidak ada! Tidak ada kesimpulan, tidak ada
sama sekali!
(Ugh,
seriusan!
Bagaimana aku bisa tetap merasa tenang
dalam situasi seperti ini!?)
Kalau ini
tentang saran perbaikan untuk atraksi taman hiburan atau menu baru di ritel kedai kopi nasional, aku bisa
menghasilkan banyak ide. Kalau ini
tentang meraih peringkat tinggi dalam ujian tiruan nasional atau unggul dalam
olahraga, aku juga bisa.
Tapi
memahami situasi ini? Itu lebih sulit dari apa pun. Sebenarnya, itu benar-benar
mustahil.
…Tetap
saja, kenapa Eito membiarkanku memeluknya dengan begitu tenang seperti ini?
Mungkinkah
ia tidak keberatan? Tapi bagaimana kalau ia keberatan? Bagaimana kalau dirinya tidak nyaman? Pemikiran semacam itu membuatku takut, tapi… Aku
perlu melihat wajah Eito. Kalau ia tampak kesal, aku harus minta maaf.
“Sssshhh… ssshh…”
Tunggu.
Makhluk menggemaskan apa ini?
…Sekarang
setelah kupikir-pikir lagi, aku
hampir tidak pernah melihat wajah tidur Eito. Lagipula, ia tidak tidur sampai
aku tertidur lebih dulu.
“Jadi
ini wajah yang kamu buat saat tidur…”
Imutnya.
Eito memiliki wajah yang tampan, tetapi saat sedang
tertidur, ia terlihat sedikit lebih polos—hampir seperti anak
kecil.
“Hehe...”
Aku
mencoba menepuk-nepuk
kepalanya dengan lembut. Rambutnya begitu halus dan lembut, rasanya luar biasa
saat disentuh. Mungkin aku akan bertanya apa aku bisa melakukan ini lebih
sering mulai sekarang.
“…………”
Tapi
tunggu. Apa beneran tidak masalah bahwa aku hanya merasa
puas dengan menepuk-nepuk
kepalanya?
Apa aku
terlalu fokus pada sesuatu yang kecil (yah, itu sama sekali tidak kecil,
tetapi mari kita sebut begitu untuk saat ini) dan mungkin membiarkan
sesuatu yang lebih besar berlalu begitu saja?
Tenanglah.
Tendou Hoshine, tenangkan dirimu.
Bernapaslah,
tetap tenang, dan susun fakta-fakta dari situasi ini.
Fakta 1:
Sekarang malam hari.
Fakta 2: Eito
ada di sini.
Fakta 3:
Kami berada di tempat tidur.
“………………………………Begitu ya.”
Aku tidak
akan menjelaskan bagaimana atau mengapa, tetapi… mungkin, murni karena
kebetulan, melalui suatu kekuatan yang tidak dapat dihindari, dan sepenuhnya
karena kecelakaan (catatan: itu bukan kecelakaan dari sudut pandangku),
sesuatu bisa saja terjadi di sini.
“……!”
Jantungku
berdegup kencang di dadaku. Berdebar sangat
kencang, sampai-sampai seolah memenuhi
ruangan dengan iramanya.
Secara
naluriah aku mulai mendekat, tetapi kemudian—tiba-tiba—aku menyadari sesuatu.
(Kami
baru saja mengikuti turnamen olahraga hari ini, dan kami berdua berkeringat cukup banyak…)
Aku
memang sudah mandi di akademi, untuk
berjaga-jaga. Meski begitu, itu tetap menggangguku. Hanya untuk berjaga-jaga.
Ya, hanya untuk berjaga-jaga. Bukannya aku terbawa suasana. Jelas bukan karena itu.
“Baiklah.”
Aku
menepis rasa nyaman yang tak tertahankan itu sekaligus dan memutuskan untuk
bangun lebih dulu.
Kabut
dari sebelumnya hilang seolah-olah itu adalah kebohongan, dan kepalaku sekarang terasa jernih.
Aku akan
mandi. Aku tidak boleh membuang-buang
waktu, jadi aku akan menyiapkan makanan ringan saat melakukannya. Jika perutku
keroncongan pada saat-saat kritis,
itu bisa merusak suasana hati atau semacamnya.
Aku tidak
boleh menyia-nyiakan waktu sekarang (karena ini tidak
dapat disangkal hal yang benar untuk dilakukan, tidak peduli apa kata orang).
Pastinya Eito juga akan segera bangun. Sebelum itu terjadi...!
Aku
bergegas semampuku, membersihkan diri lebih menyeluruh daripada yang pernah
kulakukan dalam hidupku, memakan
makanan ringan, menggosok gigi, dan mengenakan gaun
makam khusus yang kubeli khusus untuk acara seperti
ini... Kemudian, aku kembali ke medan perang.
Yang
tersisa hanyalah naik kembali ke tempat tidur seolah-olah tidak terjadi
apa-apa. Aku bahkan sudah menyiapkan dialogku.
[Oh,
wow, sungguh mengejutkan. Aku sama sekali
tidak tahu kalau kamu ada di sini.]
Sungguh
penampilan yang sempurna... Mungkin aku punya bakat akting terpendam.
“...Baiklah.
Tidak apa-apa. Aku akan baik-baik saja," aku meyakinkan diriku sendiri.
Meskipun
rasa malu mulai menyelimuti diriku, akan tetapi keberanianku lebih besar ketimbang itu.
...Karena
saat ini, aku sudah sangat menyukainya.
Yang
tersisa hanyalah membuka pintu ini dan merangkak ke tempat tidur. Hanya itu saja. Tidak lebih. Itu hanya
naik ke tempat tidurku—bukan masalah besar.
“Aku
akan masuk... Baiklah. Aku akan masuk sekarang...! Aku akan hitung sampai tiga
lalu masuk...! Tiga, dua...”
“Ojou,
apa kamu sedang bersiap-siap untuk tidur malam ini?”
“Ya.
Yah, bukan tidur, tapi kembali ke tempat tidur. Ini pertarungan.”
“...?
Begitu ya. Kamu tampak sangat kelelahan hari ini, jadi beristirahatlah dengan baik.”
“Ya.
Selamat malam, Eito.”
Baiklah,
mari kita atur ulang.
Kali ini
pasti, aku akan hitung sampai tiga dan masuk...! Tiga, dua...
Satu...
Nol... ...
………………………………………………
“...Eito?”
“Iya, ada
apa, Ojou?”
“...Kamu sudah bangun?”
“Ya.
Sebenarnya, aku juga sempat ketiduran entah
kapan... Maaf, aku tidak bermaksud begitu.”
“Begitu...
Tidak, maksudku, tidak apa-apa jika kamu ketiduran,
tapi...”
Melihat
lebih dekat, aku melihat Eito sudah … Ia
mengganti seragamnya dengan kemeja, dan rambutnya tampak sedikit basah.
“...Apa
kamu berencana mau tidur juga, Eito?”
“Ah,
ya. Aku sudah mandi dan bersiap-siap untuk
tidur.”
Jadi,
saat aku masih terjaga, Eito sudah melakukan hal yang sama.
…Sungguh
keterlaluan! Semua itu karena aku sempat ragu-ragu
saat itu...! Ah, tidak. Itu bohong. Mana
mungkin aku ragu-ragu! Itu terjadi begitu saja secara kebetulan!
“Baiklah,
selamat malam, Ojou.”
Eito
menundukkan kepalanya dengan sopan.
...Sepertinya
momen itu telah berlalu lagi. Ah... Pada akhirnya, kali ini juga...
“Ah,
ya... Selamat malam...”
Aku mulai
berbalik dan kembali ke dalam kamarku,
seperti yang selalu kulakukan—
“...Tunggu.”
Aku telah
meraih ujung kemeja Eito.
“Ojou?”
“...Hari
ini, aku sudah bekerja
sangat keras.”
“Ya,
kamu memang sudah berjuang.
Meskipun sangat disayangkan aku tidak bisa
melihat
pertandinganmu secara langsung, kurasa
kamu benar-benar berusaha semaksimal mungkin.”
“Itulah sebabnya... aku ingin hadiah.”
Aku
sepenuhnya menyadari betapa anehnya permintaanku itu. Namun jika aku mundur
sekarang, seperti yang selalu kulakukan, aku merasa tidak akan pernah bisa
maju.
“Kamu
pasti lelah, dan aku juga terlalu lelah... Jadi, ya. Tidurlah
bersamaku. Kurasa itu akan membantu kita
berdua pulih... Tetaplah di sisiku saat aku tidur, dan itu sudah cukup... Apa permintaanku terlalu berlebihan?”
Itu
adalah permintaan yang sangat kekanak-kanakan dan
memalukan, tetapi aku tidak mampu lagi mengkhawatirkan penampilan.
“...Heh.”
“...Eito?"
Entah
mengapa, Eito justru tersenyum.
“Ah,
maafkan aku. Ojou, kamu
mengatakan hal yang sama persis
saat kamu tidur tadi.”
“A-Apa!?”
Gagasan
bahwa aku tanpa sadar meminta hadiah... Apa-apaan itu? Agak... memalukan.
“Jika
kamu tidak keberatan, aku akan
menjadi bantal tubuhmu yang mendukung untuk membantumu tidur dengan nyenyak.”
“Ba-Baiklah...
Ya. Silakan."
Sambil
mengumpulkan keberanian, aku merentangkan kedua tanganku, seperti anak kecil
yang meminta untuk digendong.
“...
Gendong aku. Sampai ke tempat
tidur.”
“Sesuai
keinginanmu, Ojou.”
Setelah
itu, Eito dengan lembut mengangkatku ke dalam pelukannya.
“Lagipula,
ini adalah hadiahmu.”
•❅──────✧❅✦❅✧──────❅•
(Sudut
Pandang Eito)
Ojou,
yang digendong dalam pelukanku, tampak diam
seperti kucing pemalu. Dia
membiarkan dirinya digendong tanpa protes dan tetap diam sampai aku
membaringkannya di tempat tidur. Bahkan, untuk sesaat, aku khawatir tubuhnya
akan berubah menjadi batu karena seberapa
kaku tubuhnya.
“Apa
aku... berat?”
“Sama
sekali tidak. Kamu
seringan bulu.”
“...
Lagi-lagi
begitu, kamu selalu mengatakan
hal-hal seperti itu.”
“Aku
hanya mengatakan faktanya saja.”
Ojou, yang mungkin merasa malu, tiba-tiba memalingkan
wajahnya dariku. Meski begitu, sambil tetap membelakangiku,
dia bergumam pelan.
“...
Hei. Kamu tidak mau tidur denganku?”
Tampaknya
Ojou sedang dalam suasana hati yang sangat penuh kasih sayang malam ini. Akhir-akhir ini,
aku lebih banyak melihat sisi dirinya yang ceria dan riang, jadi versi dirinya yang
lebih rentan ini terasa familier.
“Jangan
khawatir. Aku tidak akan pergi ke mana pun.”
“...
Tapi bukan itu yang kumaksud, tau.”
Dia
terdengar sedikit tidak puas, membuatku terkekeh pelan. Sembari mengumpulkan keberanian, aku
dengan hormat berlutut di tempat tidur di sampingnya.
“Kalau
begitu, permisi.”
Seprai
putih bersih itu kusut karena berat badanku, dan derit samar tempat tidur
menyatu dengan ruangan yang remang-remang. Aku
berbaring dengan lembut di
samping Ojou.
“...”
Sembari berbaring
telentang, aku memejamkan mata.
Aku tidak
begitu lemah hingga benar-benar kelelahan karena sesuatu seperti festival
olahraga, tetapi aktivitas itu sudah cukup untuk memberiku latihan yang baik.
Pada tingkat ini, aku merasa bisa tertidur lagi dalam waktu singkat.
“...Eito. Kamu masih
bangun?”
“Iya, aku
masih bangun."
Aku
tidak tahu apa yang dilakukan Ojou dengan mata
terpejam, tetapi aku bisa mendengar suara gemerisik samar.
Beberapa saat kemudian, sesuatu yang hangat dan lembut menekanku.
“Ojou?”
“...Pengganti
bantal tubuh. Seharusnya itulah yang menjadi
hadiahku, bukan?”
Aku
membuka mataku karena terkejut, dan sumber kehangatan serta kelembutan itu menjadi jelas.
Ojou yang mengenakan gaun malam merah muda lembut yang anggun
sekaligus menggemaskan, menempel padaku.
“Ah,
memang,”
jawabku.
“Hmm...
Itu sebabnya, biarkan aku tidur seperti ini malam ini.”
“Tentu
saja. Silakan beristirahat sesukamu.”
Ojou
membenamkan wajahnya di dadaku dan memejamkan matanya.
Mungkin
karena jarak kami yang begitu dekat, aroma bunga yang manis—mungkin dari
mandinya—melayang lembut
di udara. Melihatnya bersantai dengan begitu percaya padaku, kelembutan yang
dalam membengkak di dadaku.
Ketika Ojou
masih muda, dia sering merasa kesepian karena orang tua tercintanya begitu
sibuk dengan pekerjaan.
Namun,
karena tidak ingin mereka memperhatikan hal itu,
dia memendam kesedihan dan kesepiannya, terkadang menangis diam-diam sendirian (meskipun
aku selalu memastikan untuk berada di sisinya saat itu terjadi).
Mungkin
sebagai hasilnya, dia menjadi agak tidak terbiasa mengungkapkan perasaannya
yang sebenarnya atau bergantung pada orang lain.
Meskipun
dia dapat menangani percakapan santai atau interaksi yang sopan dengan mudah, dia hanya memiliki
beberapa orang yang benar-benar bisa dia sebut sebagai
teman. Selain aku dan staf di rumah besar, mungkin hanya
Yukimichi dan segelintir orang lain yang bisa melihat jati dirinya yang
sebenarnya.
…Dan
sekarang, Ojou telah mendapatkan teman-teman di akademi.
Kurasa
ini perkembangan yang signifikan baginya,
dan aku benar-benar ingin merayakannya hari ini.
Jika aku
diizinkan, aku ingin memeluknya dan membiarkan kebahagiaan dan kasih sayang yang luar biasa ini mengalir
dengan bebas.
“Kamu bisa... memelukku jika kau mau.”
“—Tunggu,
apa?”
Ucapannya
seolah-olah dia telah membaca pikiranku, membuatku sesaat tidak dapat menjawab.
“Li-Lihat? Hari ini adalah festival
olahraga, jadi kamu pasti merasa Lelah juga, kan?”
Ah, jadi
itu yang dia maksud. Ojou khawatir dengan kelelahanku.
Itu
membuatku terkejut... Tentu saja, dia sangat tanggap. Dia mewarisi intuisi dari
ibunya yang orang-orang bisikkan hampir bisa melihat masa depan. Tapi membaca
pikiranku? Itu mustahil.
“Tolong
jangan khawatirkan aku. Memang
benar aku sedikit memaksakan diri hari ini, tapi aku tidak terlalu lemah sampai
kelelahan karena festival olahraga.”
“Kamu
merasa lelah, bukan?”
“Ojou,
jangan repot-repot mencemaskanku...”
“Eito.
Kamu sangat kelelahan hari ini.”
...Apa
ini? Aku merasakan tekanan yang sangat besar dan tak terbantahkan.
“Uh...
ya. Aku merasa lelah.”
“Bagus.
Kalau begitu, peluklah aku dan hilangkan rasa lelahmu.”
“Apa?”
“...Apa?
Memangnya aku tidak cukup baik sebagai
bantal tubuh?”
“Sama
sekali tidak. Kalau boleh jujur, ini adalah kemewahan yang tidak akan pernah
kudapatkan... Maksudku, tidak, bukan itu—”
Hampir
saja. Aku hampir terhanyut oleh kata-kata Ojou.
“Um...
Ojou, kamu yakin tentang ini? Jika ada
yang lelah hari ini, mungkin itu Ojou.”
“Tidak
apa-apa. Ini akan membantuku rileks.”
“Dimengerti.
Kalau begitu, seperti yang kamu
inginkan.”
Ojou sudah bekerja sangat keras hari ini.
Jika ini hadiahnya, maka aku akan menuruti keinginan kecilnya ini.
“Permisi,
kalau begitu.”
Aku
dengan lembut dan hati-hati memeluk Ojou di
dalam pelukanku, seolah-olah sedang memeluk sepotong kaca yang rapuh.
Tubuhnya
lembut, anggun, lembut, dan hangat... jenis kehadiran yang ingin kamu lindungi.
“...Ah...”
“Jika
ini membuatmu tidak nyaman, aku bisa segera menghentikannya—”
“Bu-Bukan begitu!”
Begitu
aku memeluknya, tubuhnya tiba-tiba tersentak.
“Hanya
saja... dipeluk seperti ini di balik selimut, jantungku berdebar kencang. Mana mungkin aku merasa tidak nyaman denganmu, Eito.”
“Begitu.
Syukurlah kalau begitu.”
Itu
benar-benar melegakan. Dari lubuk hatiku, aku merasakan kelegaan yang luar
biasa.
Lebih
dari dibenci oleh semua orang di dunia, gambaran
untuk tidak disukai oleh Ojou adalah hal yang paling menakutkan dari semuanya.
“...”
Sebelum
aku menyadarinya, tanganku membelai lembut rambut Ojou.
“Hyah!”
“Oh,
maafkan aku. Aku tidak bermaksud untuk—aku
melakukannya secara naluriah.”
“Ti-Tidak
apa-apa. Jika itu Eito... kamu bebas melakukannya semaumu.”
Apa yang
kulakukan? Bahkan jika itu tidak disengaja, aku sudah keterlaluan. Hanya berada di ranjang yang
sama, memeluknya seperti ini, sudah cukup keterlaluan. Namun, di sinilah aku, malah terbawa suasana.
“...Bagaimana
dengan sisanya?”
“S-Sisanya?”
“Kamu tidak
mau membelai kepalaku lagi?”
Ojou
menatapku dengan mata menengadah di dalam
pelukanku. Melihatnya seperti itu membangkitkan dorongan jahil di dalam diriku.
“...Apa
itu yang kamu inginkan?”
“...Ya.”
“Kalau
begitu, kau harus memintanya dengan benar.”
“Eh...”
Bahkan
aku tidak yakin apa yang kukatakan. Namun pemandangan Ojou yang biasanya ceria
dan percaya diri itu bersikap begitu manis dan bergantung dalam pelukanku
membangkitkan sisi lain dari
diriku yang tidak kuketahui keberadaannya.
“Jika
kamu tidak memintanya, aku
tidak akan membelai kepalamu.”
“Ugh...”
Tanpa
menyadarinya, aku mengulurkan tangan dan menempelkan tanganku di pipinya.
...Ah.
Ini gawat. Melihatnya menatapku dengan
mata berkaca-kaca hanya membuatku semakin kehilangan kendali diri. Ini salah.
Aku tahu ini salah, tetapi aku tidak bisa berhenti.
Apa aku
selalu berkemauan lemah seperti ini?
“...Kumohon.”
“Sungguh suara yang indah bagaikan burung.
Tetapi aku tidak bisa mendengarmu dengan jelas.”
“...Eito
hari ini agak jahat."
“Memang,
sepertinya aku agak jahat sekarang.”
Biasanya,
dia akan menatapku dengan tatapan protes, tapi malam ini, Ojou tidak memiliki
semangat seperti biasanya. Sikap itu hanya membuatku semakin sulit untuk
menahan diri.
“Apa
yang Ojou ingin aku lakukan?”
“...Ingin
kamu lakukan.”
Suaranya terdengar kecil. Tapi saat aku membelai
pipinya dengan lembut, wajahnya memerah, dan dia berbicara lagi.
“...Aku
ingin Eito-ku mengelus
kepalaku.”
“Bagus
sekali.”
“Mmm...”
Senyum
yang lolos dariku—senyum macam apa itu Aku menghindari berpikir terlalu dalam
tentang hal itu sambil membelai rambutnya dengan lembut. Ojou dalam pelukanku
tampak malu-malu, tetapi
dia membiarkanku melanjutkan tanpa perlawanan.
“Selamat
malam, Ojou. Semoga kamu bisa bermimpi
indah.”
Jika ini
terus berlanjut, sesuatu pasti akan hancur. Dengan mengerahkan sisa tekadku,
aku membiarkan diriku tertidur.
•❅──────✧❅✦❅✧──────❅•
(Sudut
Pandang Hoshine)
Bermandikan
sinar matahari pagi yang mengalir melalui jendela, aku dipenuhi dengan rasa
kekalahan yang mendalam.
“..................................”
Aku mengerahkan segalanya
sepanjang malam tadi. Sungguh, aku melakukan yang terbaik. Aku bahkan bertekad untuk menyelesaikan
semuanya saat itu juga, mengumpulkan setiap ons keberanian yang bisa
kukumpulkan.
Tapi
ketika aku membuka tutupnya...
“Tidak
kusangka kalau aku akan kalah lagi...”
Kalah. Aku benar-benar kalah telak. Itulah
satu-satunya cara untuk menggambarkannya, dan tidak ada cara lain untuk
menggambarkannya.
Ketika
aku bangun, Eito-ku tidak lagi berada di tempat tidur. Ruang di sampingku benar-benar kosong, seolah-olah dirinya tidak pernah ada di sana.
Sebagai
catatan, aku mengenakan “baju
perangku”, sebuah negligee.
Dan pada suatu saat di malam hari, pakaian itu bergeser sedikit, dengan salah
satu tali terlepas dari bahuku... tetapi tampaknya hal itu sama sekali tidak diperhatikan.
“Apa
aku... tidak semenarik itu?”
Maksudku,
aku menyadari betul bentuk tubuhku. Itulah sebabnya aku mencoba menggunakannya. Aku bertekad untuk
menggunakan apa pun yang kumiliki. Namun, bahkan ketika ia melihatku dalam
keadaan yang sangat acak-acakan dan tak berdaya begitu,
Eito-ku tampaknya tidak melakukan apa pun.
Kurasa
itu sikap yang sopan darinya. Namun, sebagai seseorang yang telah masuk dengan
niat penuh untuk menang, itu sedikit mengecewakan.
…Yah, Eito
tadi malam tidak persis seperti yang kusebut “jantan,” tetapi… itulah pesonanya.
“Ugh…
itu sangat tidak adil.”
Hanya
mengingat bagaimana aku akhirnya memohon membuatku malu. Namun, aku juga merasa
senang dengan Eito yang bertingkah nakal
itu. …Yang ada justru aku mungkin benar-benar
menyukai Eito yang seperti
itu.
“...Aku
penasaran apa ia akan
menggodaku lagi jika aku memintanya.”
Memikirkan
pemikiran yang tidak tahu malu
seperti itu membuatku merasa semakin malu.
•❅──────✧❅✦❅✧──────❅•
(Sudut
Pandang Eito)
Bermandikan
sinar matahari pagi yang masuk melalui jendela, aku diliputi perasaan benci pada diriku sendiri.
“..................................”
Dari
semua hal, akhirnya aku melakukan itu pada Ojou yang kulayani.
“Mmm...”
Ojou
sendiri kini tertidur lelap di sampingku, tampak damai dan puas.
Pakaiannya
pasti bergeser saat dia tidur. Salah satu tali bahunya terlepas, membiarkan
bahunya yang halus dan pucat terekspos tanpa beban apa pun di dunia ini.
“...Sejujurnya.
Kamu terlalu tak berdaya.”
Aku
membelai kepalanya dengan lembut, dan bahkan saat dia tidur, dia mengeluarkan
suara lembut yang menggemaskan.
...Ya.
Mulai sekarang, aku mungkin harus mencari alasan untuk menolak jika aku
diperintahkan untuk bertindak sebagai bantal tubuh lagi. Aku lebih suka
menghindari terulangnya situasi tadi malam demi kebaikanku sendiri.
Jari-jemariku menyisir rambutnya yang
halus dan keemasan, sehalus benang sutra yang dipintal, menyisirnya dengan
lembut. Di bawah sinar matahari, rambut keemasannya berkilauan dan berkilauan.
Aku diam-diam mencium rambutnya
yang indah itu.
“Tolong
jangan tawarkan aku hadiah seperti itu lagi. Itu terlalu menggoda.”
Dengan
ciuman terakhir itu, aku menyingkirkan dorongan nakal yang muncul, mendorongnya
kembali ke lubuk hatiku.
…Tetapi
sekarang setelah aku menyadari sisi diriku yang suka bertingkah jahil seperti ini, aku merasa akan
menjadi tantangan yang cukup berat untuk mengendalikannya mulai sekarang.
Sebelumnya | Daftar isi | Selanjutnya