Kimizero Jilid 10 Bab 2 Bahasa Indonesia

Chapter 2

 

Keesokan harinya, aku dan Luna bertemu di pagi hari dan menuju ke kantor pelayanan publik yang buka meskipun hari libur. Aku sudah mengajukan surat pemberitahun pindah dan ada beberapa hal tentang cara menulis alamat di sana yang tidak aku mengerti, jadi aku mengisi formulir sambil bertanya kepada petugas di loket dan menyelesaikan akta pernikahan di tempat itu.

Jika Anda mau, mau saya sekalian fotokan juga? tanya seorang petugas pria di loket, aku aku Luna saling memandang.

Ah, iya, kalau begitu, tolong!

Luna menyerahkan smartphone-nya, dan kami berdua mengangkat akta pernikahan. Rasanya sunggug sangat memalukan difoto dengan gaya memegang akta pernikahan berwarna pink di kedua sisi dan tersenyum kepada orang yang baru kami temui. Mataku terasa kering, dan aku terus-menerus berkedip.

Silakan. Saya sudah mengambil beberapa foto, silakan diperiksa. Selamat atas pernikahannya.

Setelah smartphone itu dikembalikan, kami menyerahkan akta pernikahan dan meninggalkan loket, sementara Luna memeriksa galeri foto di ponselnya.

Ahaha, Ryuuto, di antara tiga foto, matamu tertutup di dua foto!

Eh? ...lah benar juga.

Sambil melihat layar smartphone Luna, aku hanya bisa tersenyum pahit melihat diriku yang setengah terpejam.

Tapi lihat, ini foto yang bagus!

Foto yang ditunjukkan Luna adalah foto di mana mataku benar-benar terbuka. Kami berdua memegang akta pernikahan dan tersenyum bahagia. Jika itu adalah foto orang lain, aku ingin mengganggu dengan bersin, tetapi saat aku berpikir bahwa aku sedang berperan dalam foto itu, aku merasa malu sekaligus senang, dan tetap saja merasa malu sehingga gelisah.

 

Calon suami, Kashima Ryuuto, dan

Calon istri, Shirakawa Luna.

 

Hanya dengan melihat tulisan itu di akta pernikahan dalam foto, aku merasa geli dan bahagia.

Nanti, aku akan mengambil foto salinan akta pernikahan dengan dua cincin kawin dan mengunggahnya ke story Instagramku~ !

Luna berkata dengan wajah ceria.

Kalau begitu, kita harus segera menyiapkan cincin.

Ya!

Setelah itu, kami naik kereta menuju Ginza. Untuk membeli cincin kawin. Meskipun ada foto akta pernikahan dan sebagainya, ada program pertukaran cincin di upacara pernikahan, jadi kami harus menyiapkan cincin yang serasi sebelum upacara pernikahan. Sebenarnya aku seharusnya sudah menyiapkannya saat masih di Jepang, tetapi karena masalah skripsi dan urusan pindah serta persiapan untuk mengosongkan kamar apartemen, aku sangat sibuk, dan baru bisa membelinya di menit-menit terakhir seperti ini.

“Apa kamu benar-benar yakin ingin membeli cincin dari toko yang aku pilih?

Pada hari Minggu pagi menjelang siang hari, kami duduk berdampingan di dalam kereta yang cukup ramai. Luna bertanya demikian padaku, dan aku balas mengangguk.

"Ya. Sejujurnya, aku sama sekali tidak tahu cincin yang bagus itu yang mana."

Aku tersenyum pahit dan menjawab. Jika harus jujur, cincin yang dijual di toko barang-barang di pusat perbelanjaan pun tidak masalah, tapi aku meyakini pasti ada alasan tertentu mengapa sebagian besar orang tidak memilihnya di sana, misalnya saja seperti masalah daya tahan, jadi aku tidak keberatan membeli dari merek perhiasan.

Tempat yang aku pikirkan adalah merek Jepang yang terkenal dengan cincin kawin. Merek luar negeri harganya mahal. Aku ingin menahan harga sekitar seratus ribu yen* untuk satu cincin.(TN: Kalau dikonversikan, sekitaran 12 juta rupiah)

“Begitu ya.

Meskipun terasa mengejutkan, setelah aku mencari tahu sedikit di internet, rata-rata harga cincin kawin pasangan adalah sekitar 270 ribu yen. Luna mengatakan sesuatu dengan bijak.

Kami memutuskan untuk membeli cincin kawin sebagai hadiah untuk satu sama lain. Karena aku sudah berutang kepada orang tuaku, aku tidak bisa terlalu boros. Meskipun biaya pernikahan tidak perlu dibayar kembali, tapi sampai sekarang aku menjalani kehidupan di mana meskipun bekerja paruh waktu, aku belum bisa memberikan satu yen pun kepada orangtuaku, jadi ketika aku mulai menghasilkan uang, aku berencana untuk membayar kembali dalam batas kemampuanku.

…Luna, apa kamu benar-benar tidak menginginkan cincin pertunangan?

Aku penasaran dan bertanya padanya meskipun sudah terlalu terlambat, dan Luna mengangguk.

Ya. Karena sudah ada ini!

Luna mengangkat jari manisnya, di mana terdapat cincin mutiara yang aku berikan sebagai hadiah ulang tahunnya tahun lalu. Mungkin karena kami akan pergi melihat cincin, hari ini dia memakainya di tangan kanan.

Bahkan aku tahu bahwa batu pada cincin pertunangan adalah berlian, itu adalah pengetahuan umum. Cincin mutiara itu hanya sebagai hadiah ulang tahun, jadi aku mengusulkan untuk membeli yang berlian, tetapi Luna menolak dengan mengatakan, Ini saja sudah cukup.

Cincin pertunangan mutiara sedang popular belakangan ini. Aku sedang mengikuti tren terkini!

Luna mengatakannya sambil tersenyum cerah, dan aku tidak tahu apakah dia benar-benar puas dengan mutiara itu atau hanya berusaha tidak membebaniku, tetapi keimutannya membuat hatiku terharu.

 

◇◇◇◇

 

Toko perhiasan yang aku masuki untuk pertama kalinya terlihat sangat mewah dan elegan. Seluruh etalase yang memamerkan produk bersinar dan berkilau di bawah pencahayaan dari langit-langit.

“Boleh aku melihat ini?”

Luna menunjuk etalase dan berkata kepada seorang wanita pegawai yang melayani kami.

Ini dia.

Itu adalah cincin tipis berwarna perak. Tanpa dekorasi apapun, harganya sedikit di atas seratus ribu yen. Perhiasan memang mahal.

Bagaimana menurutmu, Ryuuto?

Ya, menurutku itu kelihatan bagus…

Aku sama sekali tidak mengerti kriteria pemilihan cincin, dan semua cincin terlihat mirip, jadi aku juga tidak mengerti mengapa Luna memilih yang itu dari banyak pilihan yang ada.

“Cincin ni adalah model sederhana tanpa dekorasi, apa Anda tidak keberatan dengan hal itu?

Ya. …'Suami'-ku biasanya tidak memakai aksesori, jadi kurasa desain yang sederhana jauh lebih baik.

Luna melihatku sambil mengatakan suami. Mungkin karena dia belum terbiasa, suaranya terdengar seperti penekanan. Aku dibuat terkejut, merasa senang, malu, dan mataku berkeliling dengan cara yang memalukan.

Kalau begitu, kami juga memiliki desain yang sama dengan berlian yang tertanam hanya di cintin istri.”

Pramuniaga yang paham penjualan itu mengeluarkan cincin-cincin lain dari etalase. Beberapa cincin dengan satu hingga tiga berlian seukuran biji wijen diletakkan di atas nampan. Harganya sedikit lebih mahal, sekitar dua hingga tiga puluh ribu yen, tetapi bukan jumlah harga yang tidak terjangkau.

Ah, tapi kupiki aku lebih menyukai cincin kawin yang sederhana, kata Luna sambil melihat cincin-cincin itu.

Jadi, aku ingin mengenakan cincin berlian half-eternity di atasnya! Karena cincin kawinku terbuat dari platinum, jadi aku ingin cincin itu tidak kelihatan saat aku mengenakan aksesori emas. Aku mempunyai kulit dingin, jadi aku ingin emas pink sebagai logam dasarnya.

Ah, campuran logam itu memang bagus!

Pegawai toko itu ikut bersemangat dengan cepatnya Luna berbicara. Keduanya menunjukkan ketertarikan pada perhiasan, dan aku bisa merasakannya.

Apakah cincin half-eternity itu ingin Anda padukan dengan cincin pertunangan? Jika Anda tidak merasa keberatan, kami mungkin bisa menyarankan sesuatu yang lebih cocok dengan Anda jika anda bisa menunjukkan yang asli atau fotonya.

Ketika pramuniaga toko tersebut mengatakan hal itu padanya, Luna langsung terdiam dan berkata, Ah...

…Aku belum memilikinya. Tapi, setelah membeli cincin kawin, aku sudah lama berpikir ingin mencoba kombinasi itu, jadi aku berencana membelinya sebagai cincin fashion nanti.

Luna menjawab dengan sedikit canggung, dan pegawai itu tersenyum seolah mengerti.

…Begitu ya. Jika memang demikian, apa Anda benar-benar ingin memilih ini sebagai cincin pernikahan?

“Iya.

Setelah itu, kami mengukur ukuran cincin sederhana yang pertama kali ditunjukkan dan mencobanya sebelum memutuskan untuk membelinya. Sambil menunggu pembungkus dan pembayaran, Luna mulai melihat-lihat di dalam toko dan berkata, “Mumpun sedang ada di sini, aku ingin melihat semuanya! Toko perhiasan di hari libur ramai dengan pasangan dan pengunjung dari luar negeri, jadi aku merasa mungkin mengganggu jika mengikutinya, jadi aku berdiri sendirian di dekat etalase yang sedang dilayani.

──Jadi, aku ingin mengenakan cincin berlian half-eternity di atasnya! Karena cincin kawinku terbuat dari platinum, jadi aku ingin cincin itu tidak kelihatan saat aku mengenakan aksesori emas. Aku mempunyai kulit dingin, jadi aku ingin emas pink sebagai logam dasarnya.

Sambil berusaha mengingat apa yang dikatakan Luna dengan cepat, aku mengulanginya di dalam kepala agar bisa menghafalnya.

Luna mungkin sebenarnya menginginkan cincin pertunangan seperti itu. Dia tahu bahwa aku baru empat bulan menjadi pegawai dan tidak memiliki uang, jadi mungkin dia merasa tidak bisa mengatakannya sendiri.

…………

Aku merasakan perasaan yang campur aduk. Aku berharap Luna mengatakannya, tapi pada saat yang sama, dan memahami perasaan Luna yang tidak mengatakan apa-apa karena meskipun dia mengatakannya, aku tidak bisa membelinya, itu hanya akan membuat kita berdua menjadi canggung.

Pada saat itu, percakapan pasangan yang sedang dilayani di dekat etalase tiba-tiba terdengar di telingaku.

Woahh, cantik sekali! Apa aku beneran boleh memilih ini?

Ya, tentu saja, silakan.

 Ada sebuah berlian besar berkilauan di jari manis wanita tersebut. Itu pasti cincin pertunangan.

Ketika aku melihat etalase di depanku, ada cincin dengan desain serupa yang harganya 350 ribu yen. (TN: Kalau dikonversikan ke rupiah, sekitaran hampir 40 jutaan)

…………

Aku merasa menyedihkan karena tidak berdaya. Aku terus mengulang-ulang kata half eternity dan pink gold dalam hati supaya aku tidak pernah melupakannya, sampai suatu hari nanti aku bisa membelikannya.

 

◇◇◇◇

 

“Perutku lapar, mari kita cari makan!

Setelah mendapatkan cincin dan keluar dari toko pada pukul dua siang, kami memutuskan untuk mencari tempat makan siang. Jalanan utama di Ginza menjadi tempat pejalan kaki dan ramai dengan pembeli serta turis asing.

Kalau dipikir-pikir lagi sekarang, aku sama sekali tidak tahu tentang Ginza. Aku jarang datang ke sini.

Luna berkata seolah baru menyadarinya.

Aku juga.

Aku yang sebenarnya tidak terlalu tahu tentang kota mana pun hanya bisa tersenyum pahit.

Jadi, kenapa kamu bilang ingin membeli cincin di Ginza?

Hm? Ah, karena ini adalah pembelian sekali seumur hidup, jadi aku ingin merasakan sedikit suasana mewah. Aku ingin membelinya di toko jalanan di Ginza, bukan di dalam department store.

Sambil berkata begitu, Luna tersenyum malu-malu.

Mungkin ini kedengarannya konyol, tapi aku sudah lama memimpikan pernikahan sejak kecil... jadi aku memiliki beberapa hal ideal seperti itu.

"Begitu ya."

Memang, berbelanja di toko yang menghadap jalanan utama di Ginza merupakan pengalaman yang bisa membuat kita merasa sedikit mewah.

Jadi, kita mau makan siang apa?”

Dengan banyaknya kerumunan orang seperti ini, restoran populer yang mudah dijangkau kemungkin besar pasti akan ramai, tapi aku juga tidak tahu tempat-tempat restoran tersembunyi yang enak, dan sepertinya sia-sia sekali jika kami memasuki restoran ritel yang bisa ditemukan di mana saja.

Ah, kalau begitu, bagaimana kalau kita pergi ke department store pada saat seperti ini?

“Oh, maksudnya restoran di lantai atas?

Yup! Di sana juga ada banyak toko, jadi sepertinya kita bisa segera menemukan tempat yang bisa dimasuki.

Dengan saran dari Luna, kami berdua memasuki department store terkenal yang ada di dekat situ. Karena kami cukup lapar, kami menghindari restoran yang ada antrean dan masuk ke restoran tempura.

Wah, sausnya enak! Adonannya juga renyah! Udangnya panas! Kenyal! Sempurna!

Luna berkata dengan ekspresi bahagia setelah menggigit tempura udang yang disajikan.

Entah karena ini adalah restoran terkenal atau karena berada di Ginza, semua yang tertera di menu memiliki harga yang cukup tinggi, jadi kami memesan mangkuk tempura yang paling terjangkau. Dari jendela besar di dinding yang mendapatkan banyak cahaya, kami bisa melihat pemandangan jalanan Ginza. Di meja dekat jendela, aku duduk berhadapan dengan Luna dan menikmati hidangan tempura.

Sudah lama sekali aku tidak menyantao tempura yang seenak ini! Baru digoreng, sempurna!

Luna melanjutkan makannya dengan lahap.

“Ini benar-benar sepadan dengan harganya.

Aku juga tidak bisa berhenti menggunakan sumpit.

“Seperti yang diharapkan, makanan Jepang yang dimakan di Jepang itu rasanya jauh lebih enak...

Aku merenungkan hal itu dalam-dalam.

Ah, benar juga. Kurasa ini akan menjadi tempura terakhir yang kumakan untuk sementara waktu.”

Ya. Syukurlah kita bisa mengunjungi restoran yang enak."

Benar banget! Ngomong-ngomong, apa di Indonesia tidak ada restoran makanan Jepang?

Ada sih. Mereka biasanya bisa ditemukan dalam lantai restoran mal. Sushi, ramen, dan takoyaki cukup sering terlihat.

Eh, takoyaki juga termasuk dalam daftar itu?

Ya. Aku pernah memakannya di pedangan kaki lima, dan aku dibuat terkejut karena isinya bukan gurita, melainkan sosis.

Ah, kurasa aku pernah mendengar cerita itu sebelumnya!

Luna tertawa. Aku juga ikut tertawa saat mengingat percakapan yang pernah kami lakukan lewat telepon.

Di sini banyak restoran ritel yang terkenal, jadi tidak akan kesulitan menemukan makanan Jepang... Tapi, entah bagaimana, suasana toko, perasaan para koki, pelayan, dan pelanggan... semuanya membuatku merasa bahwa makanan Jepang yang dimakan di Jepang itu lebih baik.

Meskipun aku baru tinggal di luar negeri selama tiga bulan, setelah kembali ke tanah air, aku terus merasakan hal itu. Aku pikir Indonesia adalah negara yang baik, tetapi aku juga menyadari bahwa aku lahir dan dibesarkan di negara ini.

Begitu ya. Kalau gitu, mari kita nikmati makanan ini dengan baik...

Luna juga memasang ekspresi sedih di wajahnya saat dia perlahan mendekatkan semangkuk tempura ke mulutnya.

Makanan, bahasa, cuaca, semuanya berbeda di tempat lain... dan ini akan berlangsung selama bertahun-tahun ke depan."

Ekspresi wajahnya tampak kesepian, dan ketika aku hampir membuka mulut untuk mengatakannya, Luna mengangkat wajahnya dan tersenyum padaku.

Tapi, tidak apa-apa. Selama ada Ryuuto, aku bisa tinggal di mana saja.

Luna tersenyum cerah ketika berkata demikian.

“Karena aku adalah 'istri' Ryuuto. Selamanya...

Sama seperti saat dia menyebut suami sebelumnya, dia mengatakannya dengan malu-malu karena memakai ungkapan-ungkapan yang tidak biasa diucapkannya.

Di tempat di mana tidak ada orang yang aku kenal... satu-satunya orang yang bisa aku sebut keluarga adalah Ryuuto. Meskipun begitu, selama ada Ryuuto, itu saha sudah cukup.

Luna... Terima kasih.

Ketika aku mengucapkan terima kasih lagi, Luna menatapku dan tersenyum manis. Melihat senyumnya yang sangat kusukai itu, aku teringat kata-kata Luna sebelumnya.

── Mungkin ini kedengarannya konyol, tapi aku sudah lama memimpikan pernikahan sejak kecil... jadi aku memiliki beberapa hal ideal seperti itu.

Kalau dipikir-pikir kembali, Luna memang selalu menjadi gadis seperti itu.

──Aku selalu bermimpi agar pacarku memilihkan pakaian dalam untukku~

Saat kami tinggal bersama dan pergi mengunjungi toko lingerie berdua, Luna mengatakannya dengan penuh kebahagiaan.

Luna mempunyai banyak mimpi kecil seperti itu.

Meskipun ada beberapa mimpi yang terasa memalukan seperti memasuki toko lingerie, tapi aku tidak bisa menolak permintaannya.

Aku juga merasa malu saat memasuko boks Purikura di Harajuku pada semester ketiga kelas 2 SMA.

──Aku hanya bisa mengambil beberapa foto purikura dengan Ryuuto. Selamanya.

Saat Luna mengatakannya, aku juga berpikir itu benar. Jika ada mimpi Luna yang hanya bisa diwujudkan oleh diriku, aku ingin mewujudkannya.

Dia yang bergantung dan mengandalkanku sampai-sampai rela mengikuti ke negeri jauh dan asing, adalah... istriku yang tak tergantikan, dan aku ingin melakukan apa pun yang bisa aku lakukan untuknya.

Luna adalah istriku, dan hanya aku satu-satunya di dunia ini yang bisa memenuhi harapan Luna tentang pernikahan. Memikirkan hal itu, aku kembali merasa khawatir tentang cincin berlian yang tidak bisa kubeli untuknya.

Namun, jika aku bertanya padanya di sini, “Kamu yakin tidak menginginkan cincin pertunangan? Luna pasti akan menjawab dengan senyuman, “Iya, tidak apa-apa.

Berbeda dengan purikura, harganya cukup tinggi, jadi mungkin dia merasa meminta untuk mewujudkan mimpinya merupakan tindakan egois.

…Ryuuto, ada apa?

Luna memanggilku, dan aku tersadar.

Jika tidak segera dimakan, tempuranya akan dingin, loh?

Ah, iya.

Aku menyadari bahwa aku telah berpikir terlalu jauh dan menghentikan sumpitku, lalu aku menikmati sisa hidangan tempuraku.

Setelah menyelesaikan makan siang, kami berjalan keluar meninggalkan restoran.

Maaf, Luna. Perutku agak sakit... bolehkah aku pergi ke toilet sebentar?

Saat aku mengatakan itu, Luna terbelalak karena terkejut.

“Baiklah, aku mengerti. ...Ah, mungkin itu sebabnya tempura tadi dimakan pelan-pelan? Apa kamu baik-baik saja? Apa aku perlu membeli obat?

Dia mengkhawatirkanku lebih dari yang aku duga, dan rasa bersalah menyentuh hatiku.

Ti-Tidak usah, rasanya baik-baik saja setelah aku ke toilet...! Tapi, sepertinya aku akan sedikit lama... mungkin aku tidak akan keluar dari toilet selama sepuluh menit, jadi aku ingin kamu melihat sesuatu sendirian.

Baiklah! Aku juga ingin membeli beberapa pakaian dan sepatu saat masih berada di Jepang, jadi aku akan melihat-lihat di dalam department store! Kalau begitu, hubungi aku setelah selesai.

 

Setelah berpisah dengan Luna, aku berpura-pura pergi ke toilet... lalu berlari menuruni tangga di samping dan keluar dari department store menuju jalan raya.

Ketika aku kembali ke toko perhiasan tempat aku membeli cincin pernikahan, pramuniaga yang melayaniku sebelumnya datang menghampiriku.

…Selamat datang kembali? Ada yang bisa saya bantu?

Dia bertanya dengan ekspresi seolah-olah aku melupakan sesuatu, dan aku menoleh ke arah jalan hanya untuk memastikan. Tentu saja, tidak ada sosok Luna di sana.

Umm, aku ingin cincin half-eternity dengan emas pink!

Dengan putus asa, aku berhasil menyampaikan kata-kata yang sudah terpatri di ingatanku sebelum aku melupakannya.

Eh? ...Oh, baiklah, saya mengerti.

Petugas itu tampak mengerti dan tersenyum.

Untuk ukuran, ukuran berapa yang ingin Anda ambil?

Eh? Ukurannya... hmm, aku tadi mengukurnya di sini, dan sepertinya... ah, apakah aku bisa melihat cincin di dalam kantong ini? Ehem, aku ingin memberikannya sebagai kejutan, jadi aku ingin segera membelinya, tapi aku agak terburu-buru...

Ketika aku panik mencoba melihat ke dalam kantong kertas cincin yang aku bawa, petugas itu tersenyum dan berkata, Tidak masalah”.

Baiklah, saya akan memeriksa data cincin yang Anda beli sebelumnya. Saya pikir ukuran istri Anda adalah tujuh, tetapi untuk memastikan, saya akan segera memeriksanya dan membungkusnya.

“Te-Terima kasih!

Aku merasa lega dengan pelayanan luar biasa dari petugas itu. Cincin batu bulan dan mutiara yang aku beli merupajan ukuran bebas, jadi aku lupa bahwa cincin yang pantass memiliki ukurannya sendiri.

Dengan begitu, aku berhasil mendapatkan cincin half-eternity dalam waktu singkat.

 

◇◇◇◇

 

Ryuuto, perutmu baik-baik saja?

Luna yang kutemui di pintu masuk lantai satu department store bertanya dengan cemas.

Ya, sekarang sudah baik-baik saja. Maaf ya dan terima kasih sudah menungguku.

Aku menolak kantong kertas dan pita pembungkus, jadi aku hanya menyembunyikan kotak berisi cincin di saku celanaku sehingga Luna mungkin tidak akan menduga bahwa aku baru saja berbelanja.

Saat berjalan di pedestrian jalan raya, aku tiba-tiba bertanya dengan nada santai kepada Luna.

…Luna, apa kamu tidak memiliki impian tentang bagaimana kamu ingin dilamar?

Eh?

Luna tampak bingung, seolah bertanya mengapa aku membahas hal itu sekarang. Setelah berpikir sejenak, dia menjawab.

Hmm, tapi itu bukan sesuatu yang seharusnya aku minta, dan aku tidak terlalu memikirkannya secara spesifik... Aku memang mengagumi jika pacarku berlutut di depan Kastil Cinderella dan membuka cincin saat melamarku.

Setelah mengatakan itu, dia menatapku seolah tersadar.

Ah, tapi! Aku sangat senang ketika Ryuuto memberiku cincin mutiara dan melamarku! Aku sudah puas dengan itu.

Dengan senyuman manis, aku bisa merasakan bahwa dia tidak hanya peduli padaku, tetapi juga benar-benar merasakannya.

Jadi, mungkin ini bukan sesuatu yang dia harapkan. Namun, jika ada hal yang bisa membuat Luna sedikit bahagia, aku ingin melakukannya.

Aku ingin membuatnya senang.

Karena dia adalah satu-satunya wanita tercintaku dalam kehidupanku.

Di area pejalan kaki di jalan raya, para wisatawan asing berhenti di sekitar tengah untuk berfoto. Orang-orang yang berjalan melewati mereka, jadi aku berhenti di tengah dan berlutut agar tidak mengganggu arus pejalan kaki.

…Ryuuto?

Luna tampak kebingungan.

…………

Ah, gawat, rasanya jauh lebih memalukan dari yang aku bayangkan. Tapi, jika aku mundur sekarang, itu akan lebih buruk.

Meskipun bukan di depan Kastil Cinderella, tetapi di pedestrian Ginza yang dipenuhi orang Jepang dan asing. Mungkin gedung bergaya Barat dari Wako Department Store yang dihiasi dengan jam besar bisa terlihat seperti kastil.

Aku mengeluarkan kotak cincin dari dalam saku.

Ketika aku membuka tutupnya, di dalamnya terdapat cincin half-eternity yang baru saja aku beli.

Eternity adalah cincin dengan desain berlian kecil yang disusun rapat dalam garis, dan cincin dengan berlian yang mengelilingi seluruh bagian disebut full eternity, sedangkan yang hanya setengah lingkaran disebut half-eternity. Aku tahu itu setelah dijelaskan oleh petugas toko tadi.

…………

Luna membuka matanya lebar-lebar, tampak bingung dengan apa yang terjadi, bergantian menatapku yang berlutut di depannya dan cincin itu.

Meskipun aku bisa merasakan tatapan orang-orang di sekitar, aku hanya menatap Luna dan berkata.

…Sekali lagi, maukah kamu menikah denganku?

Luna menutup mulutnya dengan kedua tangan. Air mata mulai menggenang di matanya.

…Aku sudah menjawabnya, tau

Luna berkata sembari berlinangan air mata.

…Iya, benar juga.

Aku tersenyum kecut dan mengambil tangan kirinya, lalu memasangkan cincin di jari manisnya.

Wow! Congratulations!

Seorang wisatawan yang terlihat berasal dari Eropa atau Amerika memberi ucapan selamat saat dirinya lewat.

Aku berdiri sambil tersenyum malu-malu dan memeluk bahu Luna untuk menghentikan isak tangisnya.

Ada kursi dan meja seperti di teras kafe yang diletakkan di sana-sini di area pejalan kaki. Aku mengajak Luna yang sedang menangis untuk duduk di salah satu kursi yang kebetulan kosong.

Setelah beberapa saat, Luna mengelap air matanya dengan tisu yang aku berikan dan menatap tangan kirinya.

…Eh, tunggu dulu, ini luar biasa!

Dia berseru ketika menatap cincin di jari manisnya dengan penuh rasa ingin tahu.

“Bukannya ini cincin half-eternity dari emas pink…! Kenapa kamu tahu apa yang aku inginkan?

“Bukannya kamu tadi berbicara dengan petugas toko?

Eh, hanya itu saja!? Bukankah itu luar biasa!? Ryuuto, kamu tidak tertarik dengan perhiasan, kan?

Luna menatapku dengan ekspresi terkejut.

Aku yakin kalau Ryuuto berbicara dengan petugas toko tentang nama model gundam plastik yang kamu inginkan, aku tidak akan bisa mengingatnya di tempat itu!

…Memang, aku tidak tertarik pada perhiasan, tapi… aku tertarik pada sesuatu yang kamu sukai, Luna.

Aku mengatakan hal itu meskipun aku merasa malu.

Ryuuto…

Mata Luna kembali berkaca-kaca. Dia menundukkan kepala seolah-olah menahan air mata.

Memang, Ryuuto selalu seperti itu… Sejak zaman tapioka, kamu selalu begitu…

Dia kembali menekan tisu ringan di matanya dan menatapku.

Aku suka memberi kejutan dan juga menerima kejutan, dan aku selalu melakukan hal-hal yang 'akan membuatku senang jika seseorang melakukan ini untukku', tetapi sebaliknya, hampir tidak ada yang memberi kejutan untukku… Meskipun begitu, aku selalu meyakinkan diriku sendiri dengan mengatakan, 'Ini adalah hal yang ingin aku lakukan', jadi aku berusaha untuk tidak berharap pada orang lain.

Luna berbicara sambil sesekali mengalihkan pandangannya.

Ryuuto tuh mirip seperti dewa… Sejak dari zaman tapioka, kamu selalu begitu. Kamu jenius dalam membuatku bahagia. Meskipun terlihat tidak pandai memberi kejutan, itu sangat curang.

Memang, aku tidak ahli dalam hal itu. Aku belum pernah melakukannya untuk orang lain.

Aku tersenyum kecut dan berkata.

Tapi, karena aku sudah melihatmu selama ini… Hanya satu orang… Aku penasaran apa aku sudah menjadi sedikit lebih baik dalam membuatmu bahagia, Luna?”

Ryuuto…

Luna berusaha menahan air mata yang kembali menggenang sambil tersenyum tipis padaku. Kemudian, dia menatap cincin half-eternity di tangan kirinya.

“Aku benar-benar bahagia… Tapi, apa aku benar-benar boleh menerima ini? Apa ini tidak terlalu memaksakan?

“Tidak apa-apa kok.

Aku tersenyum kecut, karena bagaimanapun juga ini adalah pembayaran untuk orang tua… Jika aku bekerja keras, aku seharusnya dapat membayar kembali biaya pinjaman half-eternity yang jumlahnya hanya 80 ribu yen pada akhir tahun ini.

Karena merasa khawatir padaku, Luna menatapku dan tersenyum.

Aku tidak menikah hanya karena menginginkan cincin… Jika hanya ingin cincin mahal, seharusnya aku menikah dengan orang kaya yang bisa membelikan itu, kan? Tapi tidak, aku ingin menikah dengan orang yang aku cintai, jadi impian tentang cincin itu bukanlah yang utama. Aku sangat senang bisa menikah dengan Ryuuto.

Dia berkata demikian sambil menundukkan kepalanya.

Tapi…

Sambil berkata begitu, Luna mengangkat tangan kirinya seolah ingin menunjukkannya ke langit dan menatap jari manisnya.

Di tengah udara musim panas yang agak lembap, warna pink emas di cincin itu berkilau, memantulkan langit biru.

Jika orang yang aku cintai bisa mewujudkan impianku, aku akan sangat, sangat… sangat bahagia…!

Air mata berkilau di sudut mata Luna.

Bagiku, pemandangan itu jauh lebih indah dan tak ternilai daripada berlian yang ada di cincin. Aku merasa bersyukur bisa melihat wajah Luna di momen yang hanya terjadi sekali seumur hidup ini, dan merasa puas dengan hasil kejutan ini.

 

◇◇◇◇

 

Setelah itu, aku dan Luna menghabiskan waktu di kafe sebelum naik kereta ke arah rumah keluarga Kurose-san.

Hari ini, kami akan melaporkan pernikahan kami kepada ibu kandung Luna.

Ketika kami tiba tepat waktu pada pukul enam sore, sepertinya ibu kandung Luna baru saja pulang, dengan barang-barang masih berserakan di depan pintu dan terlihat sibuk.

Maaf ya, pekerjaanku sedikit molor jadi pulangnya terlambat.

Tidak, maafkan kami juga karena datang di waktu yang sibuk… Ini, oleh-oleh dari Indonesia.

Ketika aku menyerahkan cokelat wafer yang banyak dijual di toko oleh-oleh bandara, ibunya berkata, Wah, kelihatannya enak! Aku suka cokelat! dengan senang hati. Aku merasa reaksi ini mirip dengan Luna.

Aku tidak sempat berbelanja, jadi aku akan pergi membeli beberapa bahan sekarang. Kalian berdua akan makan malam di sini, kan?

“Apa itu boleh? Asyikk!

Luna dengan ceria terlihat senang, dan aku berpikir mungkin sebaiknya aku menahan diri, tetapi karena kami sudah menjadi keluarga, aku merasa tidak sopan jika tidak makan malam bersama Luna, jadi aku memutuskan untuk tetap tinggal. 

…Ibu mertua.

Aku merasa ragu sejenak, tetapi karena orang inilah yang melahirkan Luna, aku memanggilnya seperti itu. 

“Aku memutuskan untuk menikahi Luna-san

Karena ibu Luna tampaknya siap untuk pergi berbelanja, aku merasa mungkin agak konyol jika menunggu sampai dia kembali, jadi aku langsung membahas topik ini meskipun di depan pintu. 

“Kami telah mengajukan formulir pendaftaran pernikahan kami pagi ini. Maaf jika kami terlambat memberi kabar.

Mendengar kata-kataku, ibu Luna menggelengkan kepala sambil tersenyum. 

Selamat untuk kalian berdua! Ryuuto-kun, tolong jaga Luna baik-baik ya. 

Ekspresi wajahnya yang menyampaikan ucapan tersebut menunjukkan kebahagiaan yang tulus, dan aku merasa bersyukur bahwa Luna adalah putrinya.

 

Setelah itu, ibu Luna kemudian pergi berbelanja, dan neneknya keluar untuk menyapa kami sebelum kembali ke kamarnya. 

Saat aku dan Luna masuk ke dalam ruang tamu, di sana sudah ada Kurose-san. 

Selamat atas pernikahan kalian, Luna, Kasima-kun. 

Dia berdiri dari sofa dan memberi ucapan selamat dengan senyuman. 

“Maria, kamu libur kerja hari ini? 

Iya, aku hanya bekerja dari hari Senin sampai Jumat. 

Oh, begitu ya.

Kurose-san tidak jadi bekerja di penerbitan. Aku mendengar bahwa dia memilih untuk bekerja di perusahaan besar yang paling terkenal di antara tawaran yang dia terima. 

Karena Fujinami-san sudah berpesan padaku untuk tidak membicarakan hal itu, dan aku juga merasa sedikit bersalah karena Kurose-san awalnya ingin menjadi editor. Aku kemudian menyampaikan kepada Kurose-san tepat sebelum aku berhenti dari pekerjaan paruh waktu di penerbit Iidabashi pada semester akhir masa kuliahku bahwa alasan perjalananku ke Indonesia adalah untuk menjadi editor di perusahaan Fujinami-san. 

Kami bertiga duduk mengelilingi meja rendah di ruang tamu dan saling bercerita tentang keadaan masing-masing. 

Keadaan kami sih kurang lebih seperti itu, tapi Maria? Bagaimana pekerjaanmu?

Saat Luna bertanya kepadanya, ekspresi Kurose-san tiba-tiba menjadi suram. 

…Ternyata semua orang bertanya tentang itu kepada para pekerja baru, ya. Yah, kurasa itu wajar sih.

Eh? Kenapa?

Luna terlihat terkejut dan membuka matanya lebar-lebar. Kurose-san menjawab sambil menundukkan kepala. 

Aku sebenarnya tidak ingin terlalu banyak membicarakan pekerjaanku. …Kalau tidak hati-hati, aku bakalan mengeluh melulu, jadi tidak banyak yang bisa dibicarakan.

“Tidak ada salahnya mengeluh juga. Kita kan keluarga!

Luna tersenyum cerah seolah ingin menghibur. 

Apa kamu tidak menikmati pekerjaanmu?

Ketika ditanya demikian, Kurose-san mengangguk sambil menunduk. 

…Secara singkat, iya.

Dia menghela napas dan melanjutkan. 

Mentorku adalah seorang wanita berusia tiga puluhan… dia sudah menikah dan tidak mempunyai anak, tipe orang yang jelas-jelas tipe wanita karir… itu sih baik-baik saja, tetapi dia bertanya kepadaku, 'Kamu termasuk golongan yang mana? Jika kamu tidak bisa mengabdikan segalanya untuk pekerjaan, mengapa membuang waktuku untuk mengajarkanmu? Jadi, bisakah kamu memberi tahu rencana hidupmu?' 

Rencana hidup?

Luna menatap ke arahku dengan wajah bingung. 

Hmm, kurasa ini tentang perencanaan hidup, seperti apa akan menikah atau tidak, dan jika ya, pada usia berapa, apakah akan punya anak, dan jika ya, berapa banyak yang akan dimiliki, dan sebagainya.” 

Aku tidak tahu pasti apa yang dimaksud mentornya, tetapi aku menjawab dengan asumsi bahwa itu adalah hal-hal yang ingin diketahui oleh orang-orang di tempat kerja. 

Eh, kenapa kamu ditanyai hal seperti itu sekarang? Bukannya hal semacam itu sulit dijawab?

Luna berkata dengan keheranan dan Kurose-san juga mengangguk. 

Benar, kan? Perencanaan hidup… meskipun kamu sudah memutuskan sesuatu, tidak semuanya akan terjadi seperti yang direncanakan. Meskipun kamu berniat mengabdikan segalanya untuk pekerjaan, bisa saja kamu jatuh cinta, ingin menikah, dan memiliki anak. Jika itu terjadi, rencana yang kamu buat sendiri menjadi tidak berarti. Pasanganmu mungkin saja dipindahkan karena pekerjaan… dan ada juga situasi seperti yang dialami Luna. Jika itu terjadi dan kamu ingin ikut, kamu harus berhenti dari pekerjaanmu sekarang. Meskipun kamu ingin melanjutkan, di tempat kerja seperti ini. 

Jadi, apa kamu menjawabnya seperti itu? 

ketika Luna bertanya demikian, dan Kurose-san menggelengkan kepala. 

“Mana mungkin aku bisa mengatakannya, aku takut. …Mungkin dia adalah orang yang bisa menjalankan rencana hidup yang dia buat meskipun sudah memiliki keluarga… Sebaliknya, kurasa dia tidak mau memberi pengarahan kepada orang-orang yang berkemauan lemah dan tidak mampu merencakan kehidupannya sendiri. 

“Heedia orang yang luar biasa… 

“Itulah sebabnya aku hanya menjawab, 'Ya, saat ini saya masih berusaha sebaik mungkin mengingat pekerjaan yang ada di depan saya, jadi saya belum bisa memikirkan masa depan…' dan dia tampak terkejut. Jelas dia merasa aku tidak mendapatkan bimbingan yang baik, mungkin dia sudah menyerah.

Dengan nada putus asa, Kurose-san berkata dengan muak

“Makanya, pekerjaan ini tidak menyenangkan… dan hubungan di tempat kerja juga sedikit sulit. Mungkin ada sedikit orang yang individualis, entah dalam artian baik maupun buruk… mungkin itu yang bisa kukatakan. Jika tidak selalu memperhatikan sekitar, kamu bisa terlihat mencolok, jadi aku tidak bisa santai. Baik saat bekerja maupun di luar itu.”

Mendengar itu, Luna tampak bersimpati. 

“Bekerja di perusahaan besar ternyata lumayan berat ya 

Ketika berbicara dengan rekan-rekan yang menjalani pelatihan bersamaku, sepertinya setiap cabang memiliki karakter yang sangat berbeda, tetapi kebetulan tempatku ditempatkan tidak cocok untukku.

Tapi, kamu baru sebulan ditempatkan, kan? Mungkin seiring berjalannya waktu, kamu akan merasa lebih cocok? 

Kurose-san memiringkan kepalanya dengan ekspresi skeptis

“Apa iya…?

Dia berkata sambil kembali menundukkan kepala. 

Aku percaya bahwa ketidaknyamanan yang dirasakan di awal, baik terhadap orang maupun perusahaan, cukup akurat.

Kurose-san melanjutkan saat kami, aku dan Luna, mendengarkan. 

Saat aku mulai bekerja paruh waktu di penerbit Iidabashi, suasana di departemen editorial terasa sangat akrab. Pekerjaan editor itu tidak terlalu banyak melibatkan kerja sama dengan orang lain, bukan? Meskipun ada kolaborasi dan konsultasi, pekerjaan yang diberikan pada dasarnya adalah tanggung jawab diri sendiri. Setiap orang mencurahkan hati dan jiwa mereka untuk pekerjaan masing-masing… aku rasa itu membuat suasana kerja terasa penuh semangat. 

“Kalau urusan artikel majalah, biasanya ditulis secara bergantian oleh semua orang, kan? 

Tapi, jika ditentukan bahwa satu halaman sampai lima halaman adalah tanggung jawab Kashima-kun, maka menulis lima halaman itu adalah pekerjaan Kashima-kun saja, dan dia bisa memutuskan apa yang akan ditulis dan dengan gaya penulisan seperti apa, kan?

Itu benar.

Mendengar jawabanku, Kurose-san tersenyum tipis dan melanjutkan. 

Sebaliknya, pekerjaan yang sedang aku jalani sekarang adalah sesuatu yang harus ditulis dengan berdiskusi dan bekerja sama dengan beberapa orang, seperti itu. Jika dipaksakan untuk disamakan dengan pekerjaan editor. Jadi, sebelum membahas isi pekerjaan, aku harus terus-menerus memperhatikan orang lain.

Itu pasti melelahkan…

Aku membayangkannya dan juga tersenyum pahit. 

Kashima-kun juga memiliki sifat yang mirip denganku, jadi mungkin kamu tidak cocok dengan pekerjaan itu juga.

Kurose-san tertawa. 

Kalau begitu, mungkin kalian berdua juga tidak cocok menjadi pengasuh anak. Setelah mengikuti praktik, aku merasa tempat itu tampaknya tidak bisa berjalan tanpa kerja sama dengan orang lain.

Luna menimpali, dan kami bertiga tertawa. 

Bagaimana denganmu, Kashima-kun? Apa pekerjaanmu menyenangkan?" 

Kurose-san bertanya demikian padaku dan aku mengangguk ragu. 

Ya…

Setelah mendengar keluhan Kurose-san tentang pekerjaannya, rasanya canggung untuk berbicara tentang kepuasan pekerjaan yang dia inginkan sebagai editor. 

“Kurasa karena aku masih banyak yang belum terbiasa dengan pekerjaan dan lingkungan, aku baru akan merasakan kesenangan yang sebenarnya ke depannya.

Aku berhenti di situ dan tersenyum samar.

Setelah menatapku sejenak, Kurose-san menghela napas. 

Enak ya… Aku juga sebenarnya ingin menjadi editor. Kenapa Fujinami-san tidak menghubungiku? Padahal aku bisa pergi ke mana saja, bahkan ke Indonesia pun tidak masalah. 

Melihatnya ekspresinya yang seperti itu, aku teringat kata-kata Fujinami-san. 

──Kami kekurangan orang di sini, jadi aku ingin merekrut beberapa editor lagi. Kashima-kun, jika kamu mempunyai koneksi yang baik, bisakah kamu membawa mereka dari Jepang? 

…Jika kamu memang tidak keberatan bekerja di Indonesia, sepertinya departemen editorku masih mencari editor kok?

Eh?

Kurose-san menatapku dengan terkejut. 

“Kamu serius bilang begitu? 

“I-Iya. 

Aku tidak menyangka dia akan seantusias ini, jadi aku menjelaskan dengan sedikit gugup. 

Fujinami-san terus-menerus bilang kekurangan orang, tetapi tidak pernah melakukan rekrutmen besar-besaran, jadi mungkin ia memilih-milih orang untuk direkrut. Di departemen editorku pada dasarnya merupakan pekerjaan satu orang dan sepertinya Fujinami-san lebih suka mengumpulkan orang-orang yang cocok untuknya. Jika itu Kurose-san, karena kalian sudah saling mengenal dengan baik, jadi mungkin kamu akan diterima. 

Namun, Kurose-san sudah memiliki pekerjaan tetap di Jepang, jadi aku berpikir dia mungkin tidak akan datang. 

Tetapi mata Kurose-san justru berbinar-binar

Aku mau! Aku juga ingin menjadi editor di Indonesia!

Luna tampak terkejut. 

Eh, serius!? Maria, kamu serius ngomong begitu!?

Serius! Aku sudah lama merasa iri pada Kashima-kun. Sejujurnya, aku merasa cemburu.

“O-Oke, tunggu dulu sebentar, aku akan bertanya Fujinami-san.

Sebelum memberikan harapan yang terlalu tinggi, aku mengambil ponsel untuk mendengar pendapat Fujinami-san. 

 

Kurose-san bilang dia ingin menjadi editor di departemen kita, bagaimana menurutmu? 

 

Untuk saat ini aku mengirim pesan itu melalui aplikasi chat kerja. Karena departemen kami juga tutup di akhir pekan, aku pikir balasannya mungkin besok, tetapi tiba-tiba aku menerima panggilan dari Fujinami-san. 

Halo, Kashima-kun, apa itu benar?

Setelah keluar dari ruang tamu menuju koridor dan menjawab telepon, Fujinami-san langsung bertanya dengan penuh semangat. 

Ah, ya… sekarang aku berada di rumah Kurose-san bersama istriku.

Apa dia bilang kalau dia akan pindah dari perusahaan tempatnya bekerja sekarang? 

“I-Iya, kurasa begitu." 

Karena pembicaraan belum sampai ke tahap itu, aku merasa sedikit panik. 

“Apa itu beneran baik-baik saja? Karena departemen editorial di Indonesia ini satu-satunya yang memiliki fungsi untuk melatih editor dari awal, jika dia bergabung dengan kami, dia harus datang ke sini. 

“Sepertinya hal itu tidak masalah baginya.

Benarkah? …Hmm…

Fujinami-san terdiam sejenak di telepon. 

Kurasa itu benar-benar mustahil ya?

Aku bertanya, berpikir mungkin tidak semudah itu, dan Fujinami-san menjawab, Tidak, bukannya begitu”.

“Baik-baik saja kok. Tapi di departemen editorial sekarang hanya berisi laki-laki saja, kan? Aku sempat berpikir apakah itu akan mengganggu etika, tetapi kemudian aku sadar bahwa semua orang selain aku sudah menikah atau punya pacar.

…Jadi, ini baik-baik saja?

Ya, baik-baik saja. Karena aku yang memiliki hak pengangkatan di departemen editorial. 

Fujinami-san berkata dengan santai. 

Selain itu, Kurose-san adalah adik ipar Kashima-kun, kan? Jika kakaknya ada di sini, kurasa itu akan lebih menguatkan daripada datang sendirian, jadi kurasa itu bakalan sempurna.

Sambil berbicara seolah-olah meyakinkan dirinya sendiri, Fujinami-san bertanya padaku,

Kapan dia bisa datang? Jika dia mengajukan pengunduran diri di perusahaan sekarang, dia bisa keluar paling cepat akhir bulan depan, kan? Apa kita bisa merekrutnya mulai September? Ah, tetapi karena ada pengajuan visa, mungkin lebih realistis mulai Oktober?

Eh, tunggu sebentar. Aku harus bertanya kepadanya dulu… 

Ah, baiklah, jika begitu, aku akan berbicara langsung padanya, jadi bisakan kamu memberikan informasi kontaknya padaku?

Ah, ya…! Dia sedang ada di sini sekarang, jadi aku akan bertanya sebentar.

Ah, kalau begitu, bisakah kamu menyerahkan panggilan ini ke Kurose-san?

Y-ya, aku mengerti.

Segala sesuatunya berjalan begitu lancar sampai-sampai aki merasa panik saat kembali ke ruang tamu dan menyerahkan ponsel ke Kurose-san. 

Halo, ini Kurose. …Ya, sudah lama tidak bertemu. Eh!? Umm… bagaimana ya… eh, agen pengunduran diri!? Tidak, tidak apa-apa, aku akan mengatakannya sendiri… ya, ya! Oke, aku mengerti! Sebisa mungkin segera! 

Aku tidak tahu apa yang dikatakan Fujinami-san, tetapi Kurose-san tampak bingung dan kesulitan mengikuti perkembangan yang cepat ini. 

…………

Setelah selesai berbicara dengan Fujinami-san, Kurose-san tampak linglung selama beberapa saat. 

Aku mengerti perasaannya. Dalam hitungan menit, kehidupannya telah berubah. 

"…Kurose-san, apa kamu benar-benar yakin dengan hal ini?

Ketika aku bertanya, dia tampak tidak mendengarkan, jadi aku saling memandang dengan Luna. 

Aku sih senang jika Maria mau datang ke Indonesia… Tapi, selain Ryuuto, aku pikir tidak ada orang dekat yang kumiliki di sana

Ekspresi seperti itu menunjukkan kebahagiaan yang mengalir dari kata-katanya. Aku berpikir bahwa dia pasti merasa kesepian, dan rasa penyesalan terhadap Luna serta harapan agar urusan Kurose-san dapat terwujud muncul dalam pikiranku. 

…Aku juga merasa akan senang jika bisa bersama Luna.

Kurose-san tampak sedikit kembali ke dirinya sendiri dan berkata pelan. 

Aku punya beberapa teman baik, tapi aku tidak memiliki keterikatan lain di Jepang.

Itu tidak masalah, karena kita tidak akan tinggal selamanya di sana juga. 

Ketika aku berkata demikian sambil tersenyum, Kurose-san juga mengangkat sudut bibirnya. 

Lebih penting lagi, aku merasakan kebahagiaan yang lebih besar karena bisa mewujudkan impianku.

Tapi, Maria…

Saat itu, Luna berbicara. 

Bagaimana dengan Kujirin? 

…Apa maksudmu dengan bagaimana?

Kurose-san menjawab dengan alis yang berkerut. 

Tidak ada yang berubah. Kami akan terus berkomunikasi lewat LINE. Jadi, baik di Jepang maupun di Indonesia, itu sama saja, kan?

…………

Luna menundukkan alisnya dan menatap adik kembarnya. 

Jika Maria merasa baik-baik saja dengan itu, maka itu tidak masalah… 

…Tapi, iya juga.

Kurose-san sepertinya mulai berpikir ulang. 

Mungkin sebaiknya aku harus memberitahunya dulu. Kami akan bertemu di pesta pernikahan, jadi bisa saja saat itu, tetapi jika kami berkomunikasi setiap hari lewat LINE, tidak memberi tahu saat sudah pasti terasa aneh juga. 

Setelah berkata begitu, Kurose-san mengambil ponselnya dan tiba-tiba menatap kami. 

Aku penasaran apa lebih baik melaporkan hal semacam ini melalui telepon daripada melalui pesan teks? 

Eh, begitu? Bagaimana menurutmu, Ryuuto?

Yah, mungkin etika yang tepat sebagai orang dewasa…

Aku lebih suka menerima pesan dari orang lain lewat email daripada telepon, tetapi menurut pandangan masyarakat, urutan kesopanan tampaknya menurun dari tatap muka, telepon, hingga email. 

Kalau begitu, boleh aku menelepon sekarang? Jika sendirian, aku merasa ragu untuk menghubunginya. 

Begitu? Bukannya lebih nyaman berbicara saat sendirian?

Luna menimpali dengan tertawa, tetapi aku sedikit mengerti perasaan Kurose-san. Orang-orang seperti kami tidak gampang bersosialisasi saat berada di kamar sendiri. 

“Tidak apa-apa kok.

Ketika aku berkata demikian, Kurose-san mulai mengoperasikan ponselnya. 

…Ngomong-ngomong, ini pertama kalinya aku berbicara lewat telepon dengan orang itu. 

Dia berkata pelan seolah-olah sedang bergumam pada dirinya sendiri, lalu Kurose-san menempelkan ponsel ke telinganya.

Pada hari Minggu pukul setengah tujuh malam, apa yang sedang dilakukan Kujibayashi-kun? Meskipun ia telah menjadi mahasiswa pascasarjana sejak April, apa ia sedang belajar di perpustakaan universitas seperti di hari liburnya saat masih menjadi mahasiswa? Aku berpikir jika ia sedang dalam perjalanan untuk makan malam, mungkin ia tidak akan menyadarinya. 

…Ah, halo? Ini Kurose Maria.

Kurose-san mulai berbicara, dan aku tahu Kujibayashi-kun menjawab telepon. 

Aku tidak bisa membayangkan bagaimana Kujibayashi-kun akan merespons telepon dari seorang gadis, jadi aku menunggu dengan tegang sambil memikirkan perasaannya. 

Hallo?

Kurose-san bertanya dengan curiga. Tidak jelas apakah teleponnya jauh atau Kujibayashi-kun hanya terdiam karena tidak tahu harus menjawab apa, tetapi tampaknya tidak ada respons. 

Ah, ini aku, Kurose Maria.

Akhirnya, suara dari pihal lain mulai terdengar. Aku merasa lega. 

“Aku ingin memberitahu sesuatu. 

Nada suaranya terasa kaku untuk seorang teman yang sudah hampir dua tahun berkomunikasi setiap hari lewat LINE, tetapi mungkin inilah jarak antara mereka saat ini. 

Aku sepertinya akan bekerja di departemen editorial yang sama dengan Kashima-kun, dan aku akan pindah ke Indonesia mulai musim gugur. 

Setelah mengatakannya, Kurose-san terdiam. 

…Halo? 

Kurose-san kembali memanggil dengan wajah yang tampak bingung. 

Ah, ya. …Jadi, aku ingin mengucapkan terima kasih kepada Kujibayashi-kun. Terima kasih telah menghubungiku selama ini. Mungkin setelah aku pergi, karena perbedaan waktu, aku tidak bisa menghubungi seperti sebelumnya. Aku rasa akan sulit untuk ketemuan juga… eah, tapi kita juga tidak pernah bertemu di sini, ya?

Kurose-san berkata sambil tersenyum pahit. 

Aku berharap kita bisa lebih sering bertemu. …Jadi, aku menantikan untuk bertemu di pesta pernikahan minggu depan. 

Di wajah Kurose-san terlihat senyuman yang disertai nuansa kesepian. 

Aku bertanya-tanya, bagaimana perasaan Kujibayashi-kun saat ini. 

Saat aku berpikir begitu, tiba-tiba terdengar suara gaduh. 

 

Brak, gedebuk, ckrekkk, bukkk

 

Dari ujung lain ponsel Kurose-san, terdengar suara bising yang cukup keras meskipun bukan panggilan speaker. Suara itu seperti suara ponsel yang jatuh dari tempat tinggi. 

…Eh…?

Kurose-san secara otomatis menjauhkan ponselnya dari telinga dan menatap layar dengan kebingungan, tidak tahu apa yang terjadi. 

Hallo, hallo? Kamu baik-baik saja? Apa ponselmu jatuh? 

Meskipun Kurose-san memanggil, tampaknya tidak ada jawaban. 

Karena tidak tahu apa yang terjadi dan tidak bisa memutuskan telepon tanpa jawaban, Kurose-san meletakkan ponselnya di meja dan beralih ke mode speaker. 

Suara tadi itu, suara apa?

Luna mengungkapkan kekhawatirannya, dan Kurose-san juga mengerutkan kening sambil menggelengkan kepala. 

Entahlah? Kira-kira, apa ponselnya jatuh?

Dari mana? Dari jendela lantai dua? 

Eh, dalam situasi seperti apa? Jika terdengar berarti tidak rusak, kan… 

Kami bertiga saling memandang, lalu saat itu. 

Hallo, apa ini sedang dalam panggilan? 

Terdengar suara pria yang berbeda dari Kujibayashi-kun dari ponsel Kurose-san

Ah, ya...!”

Kurose-san menjawab dengan sedikit panik. 

Apa ponsel ini milik mahasiswa yang memakai kacamata?

…? Iya, benar…

Ini adalah gedung penelitian Universitas Houou, dan orang tersebut baru saja tergelincir dari atas tangga dan jatuh ke lantai. 

Eh!?

Mendengar berita tersebut, Kurose-san menutup mulutnya dengan tangan dan terdiam. Aku dan Luna saling memandang lagi. 

Saat ini, dia sedang dibantu oleh mahasiswa yang lewat dan sedang dibawa ke ruang pertolongan. Kami ingin mengembalikan ponsel ini kepadanya, tetapi sepertinya dia sedang kesakitan dan tidak dalam keadaan untuk berbicara, jadi bolehkah kami memutuskan panggilan?

…Ya…

Suara Kurose-san terdengar bergetar karena kegelisahan saat menjawab

Terima kasih telah memberi tahu… 

Setelah Kurose-san mengucapkan terima kasih kepada pria itu dan telepon terputus, kami semua terdiam sejenak. 

“Ia terpeleset dari atas tangga dan jatuh ke lantai…? 

Aku mengulang apa yang dikatakan pria itu. Aku tidak pernah menyangka bahwa Kujibayashi-kun, yang memiliki sifat hati-hati seperti melihat ke kanan dan kiri sebelum menyeberang, bisa melakukan hal itu. 

“Kurasa ia pasti sangat terkejut mendengar bahwa Maria akan pergi ke Indonesia…

Ucap Luna

“Apa itu salahku…?

Kurose-san bergumam dengan wajah pucat, dan Luna segera menggelengkan kepala. 

Itu bukan salahmu, ia hanya kurang beruntung saja sampai terpeleset… pokoknya, itu bukan salahmu, Maria.

Tapi, jika aku tidak menelepon, hal ini mungkin tidak akan terjadi…

Maria…

Luna yang berdiri di samping Kurose-san yang penuh kesedihan langsung memeluknya

Apa yang harus kulakukan… jika terjadi sesuatu pada orang itu, aku…

Akhirnya, mata Kurose-san mulai berkaca-kaca dan menangis terisak-isak. Merasa cemas, aku mencari kata-kata untuk menghiburnya. 

Te-Tenang saja, Kurose-san. Pria itu bilang kalau ia sedang kesakitan, jadi dia masih sadar, dan sepertinya tidak ada masalah serius dengan nyawanya. Jika ia bisa menuju ruang pertolongan sambil dibantu orang lain, menurutku itu hanya luka ringan.

Benar sekali, Maria. Jatuh dari tangga biasanya tidak sampai menyebabkan cedera parah. 

Kami berusaha menenangkan Kurose-san, tetapi dia hanya terus menangis. 

…Tidak, aku… aku tidak ingin kehilangan orang itu… 

Kurose-san masih terisak dengan kedua tangan menutupi wajahnya. 

…Aku menyukai orang itu…

Kurose-san mengatakannya dengan suara yang lemah dan bercampur air mata. 

Walaupun kita hanya berteman seumur hidup, tolong jangan mati… Aku ingin kamu terus mengirim pesan setiap hari…

…Maria…

Luna juga menunjukkan ekspresi sedih, memeluk bahu adiknya dengan kuat. 

Aku suka kata-kata yang dia berikan… Rasanya seperti dia memahami perasaanku… Meskipun kita terpisah, meskipun tidak bertemu… hal itulah yang membuatku berpikir untuk terus berusaha hari ini…

Kurose-san mengucapkan itu perlahan, dan Luna sedikit tersenyum. 

Kenapa kamu tidak bilang itu langsung padanya? Ia pasti akan senang mendengarnya.

…Tidak…

Sambil terisak, Kurose-san berkata dengan suara yang tertekan. 

Kenapa harus dari aku…? Aku ingin dicintai… Jika tidak dicintai, aku tidak bisa bahagia… Aku juga ingin dicintai oleh seorang pria, seperti Luna… 

Akhirnya, aku mengerti bahwa itu adalah perasaan sebenarnya Kurose-san. 

Kurose-san sudah lama menyukai Kujibayashi-kun. 

Namun, karena Kujibayashi-kun tidak menunjukkan tanda-tanda suka, dia menjadi keras kepala dan tidak menunjukkan perasaan cintanya atau mengatakan Mari bertemu

Tiba-tiba, aku teringat Kurose-san saat kelas dua SMA. 

──Aku tidak bisa bahagia jika tidak menjadi gadis yang dicintai. Aku harus jadi yang pertama. 

Aku berharap dia bisa bebas dari pemikiran itu. Kurose-san tidak lagi sendirian. 

Aku ingin dia bisa menemukan kebahagiaan, setelah merasa tidak dipilih oleh ayahnya dan mengumpulkan dendam terhadap kakaknya. 

Tolong terimalah cinta dari Kujibayashi-kun dengan baik. 

…Kurose-san, kamu dicintai.

Saat aku mengatakannya, Kurose-san sedikit berhenti menangis dan menatapku. 

Di dalam ponsel itu… ada banyak cinta dari Kujibayashi-kun yang sudah disampaikan, bukan?

Ketika aku menunjuk ponsel yang diletakkan di atas meja, Kurose-san hanya menatapnya dengan diam. 

Kurose-san, sebenarnya kamu juga mengetahuinya, kan? Memangnya Kujibayashi-kun tipe orang yang bisa mengirimkan pesan setiap hari kepada gadis yang tidak disukainya begitu saja? Apalagi, sudah hampir dua tahun tidak bertemu… memikirkan kata-kata yang bisa membuat orang tersebut merasa diperhatikan… itu bukan hal yang bisa dilakukan kepada seseorang yang hanya dianggap teman. 

Aku berbicara kepada Kurose-san yang diam-diam mendengarkan kata-kataku. 

Jadi, aku berharap kamu bisa tenang dan menyampaikan perasaanmu kepada Kujibayashi-kun. Kalian pasti memiliki perasaan yang sama. 

…Jika ia masih hidup.

Mungkin sedikit tenang, Kurose-san menjawab dengan wajah yang tampak malu. 

“Ia masih hidup kok! Bukannya ia dibantu menuju ruang pertolongan! Jika kondisinya parah, mereka pasti sudah memanggil ambulans! 

Benar. Nanti kita akan tanya kabarnya langsung. Aku juga akan menghubunginya dan berkata 'Aku dengar dari Kurose-san kalau kamu jatuh dari tangga, apakah kamu baik-baik saja?' 

Luna dan aku berkata, lalu saling bertukar pandang dan entah bagaimana kami bertiga tertawa. 

 

◇◇◇◇

 

Setelah itu, ibu mertua pulang dan kami makan malam yang telah dia siapkan bersama Luna dan keluarga Kurose. 

Kami juga menerima kabar dari Kujibayashi-kun. Ternyata, ia tidak hanya terpeleset sedikit, tetapi terjatuh dengan cukup parah dan mengalami benturan keras di seluruh tubuh, termasuk kepala. Setelah pergi ke rumah sakit, ia akan menjalani pemeriksaan sebagai tindakan pencegahan dan harus dirawat semalam. 

Kami merasa lega bahwa tidak ada yang serius terjadi. 

Setelah berpamitan dengan keluarga Kurose, aku dan Luna naik kereta menuju Stasiun A. Karena sudah malam, aku memutuskan untuk mengantar Luna sampai rumahnya. 

“Kalau begitu, sampai jumpa, Ryuuto. Hari ini… terima kasih. 

Sambil mengatakan hal itu di depan rumah, Luna menunjukkan jari manis tangan kirinya kepadaku dengan senyuman. 

Ya, terima kasih juga.

Aku tidak tahu apa yang dia syukuri. Mungkin untuk keberadaannya secara keseluruhan. Di tengah malam yang tenang di kawasan perumahan, aku dan Luna saling menatap di depan pintu masuk rumahnya. 

…………

Hari ini aku hanya bisa menggenggam tangannya… pikirku, ketika Luna tiba-tiba mendekatkan wajahnya. 

Secara refleks, aku menutup mata, dan merasakan sentuhan bibir Luna di bibirku. Kehangatan kulitnya yang alami membuat jantungku berdebar. Aku sadar bahwa dia belum mengoleskan lip balm setelah makan. 

Aku ingin merasakan Luna lebih dekat… tetapi, saat aku berpikir demikian, bibirnya menjauh. 

…Sampai jumpa, besok.

Luna menatapku dan berbisik dengan sedikit malu. 

…Ya. Sampai jumpa besok. 

Aku hanya bisa menjawab demikian, lalu tersenyum sambil berbalik. 

Saat berjalan sambil menoleh, aku melihat Luna melambai dari pintu depan

Setelah memastikan dia masuk ke dalam, aku berhenti menoleh dan melanjutkan perjalanan ke stasiun. 

…Hah. 

Saat teringat sentuhan bibir Luna, sebuah desahan penuh kerinduan keluar. 

Tapi, apa boleh buat

Setelah kembali ke Indonesia, aku bisa hidup bersama Luna setiap hari, jadi ini hanya perlu ditahan sampai saat itu. 

Sambil berkata demikian pada diriku sendiri, aku berjalan cepat menyusuri jalan di malam hari itu.

 

 

Sebelumnya Daftar isi  |  Selanjutnya

Posting Komentar

Budayakan berkomentar supaya yang ngerjain project-nya tambah semangat

Lebih baru Lebih lama