Chapter 2
Keesokan
harinya, aku dan Luna bertemu di pagi hari dan menuju ke kantor pelayanan
publik yang buka meskipun hari libur. Aku sudah mengajukan surat pemberitahun pindah dan ada
beberapa hal tentang cara menulis alamat di sana yang tidak aku mengerti, jadi
aku mengisi formulir sambil bertanya kepada petugas di loket dan menyelesaikan
akta pernikahan di tempat itu.
“Jika
Anda mau, mau saya sekalian fotokan juga?” tanya seorang petugas pria di loket, aku aku Luna saling memandang.
“Ah,
iya,
kalau begitu, tolong!”
Luna
menyerahkan smartphone-nya, dan kami berdua mengangkat akta pernikahan. Rasanya sunggug sangat memalukan difoto dengan gaya memegang
akta pernikahan berwarna pink di kedua sisi dan tersenyum kepada orang yang
baru kami temui. Mataku terasa
kering, dan aku terus-menerus berkedip.
“Silakan.
Saya sudah mengambil beberapa foto, silakan diperiksa.
Selamat atas pernikahannya.”
Setelah
smartphone itu dikembalikan, kami menyerahkan akta pernikahan dan meninggalkan
loket, sementara Luna memeriksa galeri foto di ponselnya.
“Ahaha,
Ryuuto, di antara tiga foto, matamu
tertutup di dua foto!”
“Eh?
...lah benar juga.”
Sambil melihat
layar smartphone Luna, aku hanya bisa tersenyum pahit melihat diriku yang
setengah terpejam.
“Tapi
lihat, ini foto yang bagus!”
Foto yang
ditunjukkan Luna adalah foto di mana mataku benar-benar terbuka. Kami berdua
memegang akta pernikahan dan tersenyum bahagia. Jika itu adalah foto orang
lain, aku ingin mengganggu dengan bersin, tetapi saat aku berpikir bahwa aku
sedang berperan dalam foto itu, aku merasa malu sekaligus
senang, dan tetap saja merasa malu sehingga gelisah.
Calon
suami, Kashima Ryuuto, dan
Calon
istri, Shirakawa Luna.
Hanya
dengan melihat tulisan itu di akta pernikahan dalam foto, aku merasa geli dan
bahagia.
“Nanti,
aku akan mengambil foto salinan akta pernikahan dengan dua cincin kawin dan
mengunggahnya ke story Instagramku~ ♡!”
Luna berkata
dengan wajah ceria.
“Kalau
begitu, kita harus segera menyiapkan cincin.”
“Ya!”
Setelah
itu, kami naik kereta menuju Ginza. Untuk membeli cincin kawin. Meskipun ada
foto akta pernikahan dan sebagainya, ada program pertukaran cincin di upacara
pernikahan, jadi kami harus menyiapkan cincin yang serasi sebelum upacara pernikahan. Sebenarnya aku seharusnya sudah
menyiapkannya saat masih di Jepang, tetapi karena masalah skripsi dan urusan pindah serta
persiapan untuk mengosongkan kamar apartemen,
aku sangat sibuk, dan baru bisa membelinya di
menit-menit terakhir seperti ini.
“Apa kamu
benar-benar yakin ingin membeli cincin dari toko
yang aku pilih?”
Pada hari
Minggu pagi menjelang siang hari, kami
duduk berdampingan di dalam kereta yang cukup
ramai. Luna bertanya demikian
padaku, dan aku balas mengangguk.
"Ya.
Sejujurnya, aku sama sekali tidak tahu cincin yang bagus itu yang mana."
Aku
tersenyum pahit dan menjawab. Jika harus jujur, cincin yang dijual di toko
barang-barang di pusat perbelanjaan pun tidak masalah, tapi aku meyakini pasti ada
alasan tertentu mengapa sebagian besar orang
tidak memilihnya di sana, misalnya
saja seperti masalah daya tahan, jadi aku tidak
keberatan membeli dari merek perhiasan.
“Tempat
yang aku pikirkan adalah merek Jepang yang terkenal dengan cincin kawin. Merek
luar negeri harganya mahal. Aku ingin menahan harga sekitar seratus ribu yen* untuk satu cincin.” (TN: Kalau dikonversikan,
sekitaran 12 juta rupiah)
“Begitu ya.”
Meskipun
terasa mengejutkan, setelah aku mencari tahu
sedikit di internet, rata-rata harga cincin kawin pasangan adalah sekitar 270 ribu yen. Luna mengatakan sesuatu dengan
bijak.
Kami
memutuskan untuk membeli cincin kawin sebagai hadiah untuk satu sama lain.
Karena aku sudah berutang kepada orang tuaku, aku tidak bisa terlalu boros.
Meskipun biaya pernikahan tidak perlu dibayar kembali, tapi sampai sekarang aku menjalani
kehidupan di mana meskipun bekerja paruh waktu, aku belum bisa memberikan satu
yen pun kepada orangtuaku, jadi ketika aku
mulai menghasilkan uang, aku berencana untuk membayar kembali dalam batas
kemampuanku.
“…Luna,
apa kamu benar-benar tidak menginginkan cincin
pertunangan?”
Aku
penasaran dan bertanya padanya meskipun sudah
terlalu terlambat, dan Luna mengangguk.
“Ya.
Karena sudah ada ini!”
Luna
mengangkat jari manisnya, di mana terdapat cincin mutiara yang aku berikan
sebagai hadiah ulang tahunnya tahun lalu. Mungkin karena kami akan pergi
melihat cincin, hari ini dia memakainya di tangan kanan.
Bahkan aku
tahu bahwa batu pada cincin pertunangan adalah berlian, itu adalah pengetahuan
umum. Cincin mutiara itu hanya sebagai hadiah ulang tahun, jadi aku mengusulkan
untuk membeli yang berlian, tetapi Luna menolak dengan mengatakan, “Ini saja sudah cukup.”
“Cincin
pertunangan mutiara sedang popular belakangan ini.
Aku sedang mengikuti tren terkini!”
Luna mengatakannya sambil tersenyum cerah,
dan aku tidak tahu apakah dia benar-benar puas dengan mutiara itu atau hanya
berusaha tidak membebaniku, tetapi keimutannya membuat hatiku terharu.
◇◇◇◇
Toko
perhiasan yang aku masuki untuk pertama kalinya terlihat
sangat mewah dan elegan.
Seluruh etalase yang memamerkan produk bersinar dan berkilau
di bawah pencahayaan dari langit-langit.
“Boleh aku
melihat ini?”
Luna
menunjuk etalase dan berkata kepada seorang wanita pegawai yang melayani kami.
“Ini
dia.”
Itu
adalah cincin tipis berwarna perak. Tanpa dekorasi apapun, harganya sedikit di
atas seratus ribu yen. Perhiasan memang mahal.
“Bagaimana
menurutmu, Ryuuto?”
“Ya,
menurutku itu kelihatan bagus…”
Aku sama
sekali tidak mengerti kriteria pemilihan cincin, dan semua cincin terlihat
mirip, jadi aku juga tidak mengerti mengapa Luna memilih yang itu dari banyak
pilihan yang ada.
“Cincin ni
adalah model sederhana tanpa dekorasi, apa Anda tidak
keberatan dengan hal itu?”
“Ya.
…'Suami'-ku biasanya tidak memakai aksesori,
jadi kurasa desain yang sederhana jauh lebih
baik.”
Luna
melihatku sambil mengatakan “suami”. Mungkin
karena dia belum terbiasa, suaranya terdengar seperti penekanan. Aku dibuat terkejut, merasa senang, malu,
dan mataku berkeliling dengan cara yang memalukan.
“Kalau
begitu, kami juga memiliki desain yang sama dengan berlian yang tertanam hanya di cintin istri.”
Pramuniaga
yang paham penjualan itu mengeluarkan cincin-cincin lain dari etalase. Beberapa
cincin dengan satu hingga tiga berlian seukuran biji wijen diletakkan di atas
nampan. Harganya sedikit lebih mahal, sekitar dua hingga tiga puluh ribu yen, tetapi bukan jumlah harga yang tidak terjangkau.
“Ah,
tapi kupiki aku lebih menyukai cincin kawin yang sederhana,” kata Luna sambil melihat
cincin-cincin itu.
“Jadi,
aku ingin mengenakan cincin berlian half-eternity
di atasnya! Karena cincin kawinku terbuat dari platinum, jadi aku ingin cincin itu tidak kelihatan saat aku mengenakan aksesori emas. Aku mempunyai kulit dingin, jadi aku ingin
emas pink sebagai logam dasarnya.”
“Ah,
campuran logam itu memang bagus!”
Pegawai
toko itu ikut bersemangat dengan cepatnya Luna berbicara. Keduanya menunjukkan
ketertarikan pada perhiasan, dan aku bisa merasakannya.
“Apakah
cincin half-eternity itu ingin Anda padukan dengan cincin
pertunangan? Jika Anda tidak merasa keberatan,
kami mungkin bisa menyarankan sesuatu yang lebih cocok
dengan Anda jika anda
bisa menunjukkan yang asli atau fotonya.”
Ketika
pramuniaga toko tersebut mengatakan hal itu padanya, Luna
langsung terdiam dan berkata, “Ah...”
“…Aku
belum memilikinya. Tapi, setelah membeli cincin kawin, aku sudah lama berpikir
ingin mencoba kombinasi itu, jadi aku berencana membelinya sebagai cincin
fashion nanti.”
Luna menjawab dengan sedikit
canggung, dan pegawai
itu tersenyum seolah mengerti.
“…Begitu
ya. Jika memang demikian, apa Anda benar-benar ingin memilih ini sebagai cincin
pernikahan?”
“Iya.”
Setelah
itu, kami mengukur ukuran cincin sederhana yang pertama kali ditunjukkan dan
mencobanya sebelum memutuskan untuk membelinya. Sambil menunggu pembungkus dan
pembayaran, Luna mulai melihat-lihat di dalam toko dan berkata, “Mumpun sedang ada di sini, aku
ingin melihat semuanya!” Toko perhiasan di hari libur
ramai dengan pasangan dan pengunjung dari luar negeri, jadi aku merasa mungkin
mengganggu jika mengikutinya, jadi
aku berdiri sendirian di dekat etalase yang sedang dilayani.
──Jadi,
aku ingin mengenakan cincin berlian half-eternity
di atasnya! Karena cincin kawinku terbuat dari platinum, jadi aku ingin cincin itu tidak kelihatan
saat aku
mengenakan aksesori emas. Aku mempunyai kulit dingin, jadi aku ingin
emas pink sebagai logam dasarnya.
Sambil
berusaha mengingat apa yang dikatakan Luna dengan cepat, aku mengulanginya di dalam kepala agar bisa
menghafalnya.
Luna
mungkin sebenarnya menginginkan cincin pertunangan seperti itu. Dia tahu bahwa
aku baru empat bulan menjadi pegawai dan tidak memiliki uang, jadi mungkin dia
merasa tidak bisa mengatakannya sendiri.
“…………”
Aku
merasakan perasaan yang campur aduk. Aku berharap Luna
mengatakannya, tapi pada saat yang sama,
dan memahami perasaan Luna yang tidak mengatakan
apa-apa karena meskipun dia mengatakannya, aku tidak bisa
membelinya, itu hanya akan membuat kita berdua
menjadi canggung.
Pada saat
itu, percakapan pasangan yang sedang dilayani di dekat etalase tiba-tiba
terdengar di telingaku.
“Woahh, cantik sekali! Apa
aku beneran boleh memilih ini?”
“Ya, tentu saja, silakan.”
Ada sebuah berlian besar berkilauan di
jari manis wanita tersebut.
Itu pasti cincin pertunangan.
Ketika
aku melihat etalase di depanku, ada cincin dengan desain serupa yang harganya 350 ribu yen. (TN: Kalau dikonversikan ke rupiah, sekitaran
hampir 40 jutaan)
“…………”
Aku
merasa menyedihkan karena tidak berdaya. Aku terus
mengulang-ulang kata ‘half
eternity’ dan
‘pink gold’ dalam hati supaya aku tidak pernah melupakannya,
sampai suatu hari nanti aku bisa membelikannya.
◇◇◇◇
“Perutku
lapar, mari kita cari makan!”
Setelah
mendapatkan cincin dan keluar dari toko pada pukul dua siang, kami memutuskan
untuk mencari tempat makan siang. Jalanan
utama di Ginza menjadi tempat pejalan kaki dan ramai dengan pembeli serta turis
asing.
“…Kalau dipikir-pikir lagi sekarang, aku sama sekali tidak tahu
tentang Ginza. Aku jarang datang ke sini.”
Luna
berkata seolah baru menyadarinya.
“Aku
juga.”
Aku yang
sebenarnya tidak terlalu tahu tentang kota mana pun hanya bisa tersenyum pahit.
“Jadi,
kenapa kamu bilang ingin membeli cincin di Ginza?”
“Hm?
Ah, karena ini adalah pembelian sekali seumur hidup, jadi aku ingin merasakan sedikit
suasana mewah. Aku ingin membelinya di toko jalanan di Ginza, bukan di dalam
department store.”
Sambil
berkata begitu, Luna tersenyum malu-malu.
“Mungkin
ini kedengarannya konyol,
tapi aku sudah lama memimpikan
pernikahan sejak kecil... jadi
aku memiliki beberapa hal ideal seperti itu.”
"Begitu
ya."
Memang,
berbelanja di toko yang menghadap jalanan
utama di Ginza merupakan
pengalaman yang bisa membuat kita merasa sedikit mewah.
“Jadi, kita mau makan siang apa?”
Dengan
banyaknya kerumunan orang
seperti ini, restoran populer yang mudah dijangkau
kemungkin besar pasti akan ramai, tapi aku juga tidak tahu
tempat-tempat restoran tersembunyi yang enak, dan
sepertinya sia-sia sekali jika kami memasuki restoran ritel yang bisa ditemukan di mana saja.
“Ah, kalau begitu, bagaimana kalau kita
pergi ke department store pada saat
seperti ini?”
“Oh,
maksudnya restoran di lantai atas?”
“Yup!
Di sana juga ada banyak toko, jadi sepertinya
kita bisa segera menemukan tempat yang bisa dimasuki.”
Dengan
saran dari Luna, kami berdua memasuki department store terkenal yang
ada di dekat situ. Karena kami cukup lapar, kami menghindari restoran yang ada
antrean dan masuk ke restoran tempura.
“Wah,
sausnya enak! Adonannya juga renyah!
Udangnya panas! Kenyal! Sempurna!”
Luna
berkata dengan ekspresi bahagia setelah menggigit tempura udang yang disajikan.
Entah
karena ini adalah restoran terkenal atau karena berada di Ginza, semua yang
tertera di menu memiliki harga yang cukup tinggi, jadi kami memesan mangkuk tempura yang paling terjangkau.
Dari jendela besar di dinding yang mendapatkan banyak cahaya, kami bisa melihat
pemandangan jalanan Ginza. Di meja dekat jendela, aku duduk berhadapan dengan Luna
dan menikmati hidangan tempura.
“Sudah
lama sekali aku tidak menyantao tempura yang seenak ini! Baru
digoreng, sempurna!”
Luna
melanjutkan makannya dengan lahap.
“Ini
benar-benar sepadan dengan harganya.”
Aku juga
tidak bisa berhenti menggunakan sumpit.
“Seperti
yang diharapkan, makanan Jepang yang dimakan di Jepang itu rasanya jauh lebih enak...”
Aku
merenungkan hal itu dalam-dalam.
“Ah,
benar juga. Kurasa ini akan menjadi tempura terakhir yang kumakan untuk
sementara waktu.”
“Ya.
Syukurlah kita bisa mengunjungi restoran yang enak."
“Benar banget! Ngomong-ngomong, apa di Indonesia tidak ada restoran
makanan Jepang?”
“Ada sih. Mereka
biasanya bisa ditemukan dalam lantai restoran mal. Sushi,
ramen, dan takoyaki cukup sering terlihat.”
“Eh,
takoyaki juga termasuk dalam daftar itu?”
“Ya.
Aku pernah memakannya di pedangan kaki
lima, dan aku dibuat terkejut karena isinya
bukan gurita, melainkan sosis.”
“Ah, kurasa aku pernah mendengar cerita itu
sebelumnya!”
Luna
tertawa. Aku juga ikut tertawa saat mengingat
percakapan yang pernah kami lakukan lewat telepon.
“Di
sini banyak restoran ritel yang
terkenal, jadi tidak akan kesulitan menemukan makanan Jepang... Tapi, entah
bagaimana, suasana toko, perasaan para koki,
pelayan, dan pelanggan... semuanya membuatku merasa bahwa makanan Jepang yang
dimakan di Jepang itu lebih baik.”
Meskipun
aku baru tinggal di luar negeri selama
tiga bulan, setelah kembali ke tanah air, aku terus merasakan hal itu. Aku
pikir Indonesia adalah negara yang baik, tetapi aku juga menyadari bahwa aku
lahir dan dibesarkan di negara ini.
“Begitu
ya. Kalau gitu, mari kita nikmati makanan ini
dengan baik...”
Luna juga
memasang ekspresi sedih di wajahnya saat dia perlahan mendekatkan semangkuk
tempura ke mulutnya.
“Makanan,
bahasa, cuaca, semuanya berbeda
di tempat lain... dan ini akan berlangsung selama bertahun-tahun ke depan."
Ekspresi
wajahnya tampak kesepian, dan ketika aku hampir membuka
mulut untuk mengatakannya, Luna mengangkat wajahnya dan tersenyum padaku.
“Tapi,
tidak apa-apa. Selama ada Ryuuto, aku bisa tinggal
di mana saja.”
Luna
tersenyum cerah ketika berkata demikian.
“Karena
aku adalah 'istri' Ryuuto. Selamanya...”
Sama
seperti saat dia menyebut “suami” sebelumnya, dia mengatakannya dengan malu-malu karena memakai
ungkapan-ungkapan yang tidak biasa diucapkannya.
“Di
tempat di mana tidak ada orang yang aku kenal... satu-satunya orang yang bisa
aku sebut keluarga adalah Ryuuto. Meskipun begitu, selama ada Ryuuto, itu saha sudah cukup.”
“Luna...
Terima kasih.”
Ketika
aku mengucapkan terima kasih lagi, Luna menatapku dan tersenyum manis. Melihat senyumnya yang sangat kusukai itu, aku teringat kata-kata Luna
sebelumnya.
──
Mungkin ini kedengarannya
konyol, tapi aku sudah lama memimpikan
pernikahan sejak kecil...
jadi aku memiliki
beberapa hal ideal
seperti itu.
Kalau
dipikir-pikir kembali, Luna memang selalu menjadi
gadis seperti itu.
──Aku selalu bermimpi agar pacarku memilihkan pakaian dalam untukku~♡
Saat kami
tinggal bersama dan pergi mengunjungi toko lingerie
berdua, Luna mengatakannya dengan penuh kebahagiaan.
Luna
mempunyai banyak ‘mimpi’ kecil
seperti itu.
Meskipun
ada beberapa mimpi yang terasa memalukan
seperti memasuki toko lingerie, tapi aku
tidak bisa menolak permintaannya.
Aku
juga merasa malu saat memasuko boks
Purikura di Harajuku pada semester ketiga kelas 2 SMA.
──Aku hanya bisa mengambil beberapa foto purikura dengan
Ryuuto. Selamanya.
Saat Luna
mengatakannya, aku juga berpikir itu benar. Jika
ada mimpi Luna yang hanya bisa diwujudkan oleh diriku, aku ingin mewujudkannya.
Dia yang
bergantung dan mengandalkanku sampai-sampai rela
mengikuti ke negeri jauh dan asing, adalah... istriku yang tak tergantikan, dan
aku ingin melakukan apa pun yang bisa aku lakukan untuknya.
Luna
adalah istriku, dan hanya aku satu-satunya di dunia ini yang bisa memenuhi
harapan Luna tentang pernikahan. Memikirkan hal itu, aku kembali merasa
khawatir tentang cincin berlian yang tidak bisa kubeli untuknya.
Namun,
jika aku bertanya padanya di sini, “Kamu yakin
tidak menginginkan cincin pertunangan?” Luna pasti akan menjawab dengan
senyuman, “Iya, tidak
apa-apa”.
Berbeda
dengan purikura, harganya cukup tinggi, jadi mungkin dia merasa meminta untuk
mewujudkan mimpinya merupakan tindakan
egois.
“…Ryuuto,
ada apa?”
Luna
memanggilku, dan aku tersadar.
“Jika
tidak segera dimakan, tempuranya akan dingin, loh?”
“Ah,
iya.”
Aku
menyadari bahwa aku telah berpikir terlalu jauh dan menghentikan sumpitku, lalu
aku menikmati sisa hidangan
tempuraku.
Setelah menyelesaikan makan siang, kami berjalan keluar meninggalkan
restoran.
“Maaf,
Luna. Perutku agak sakit... bolehkah aku pergi ke toilet sebentar?”
Saat aku
mengatakan itu, Luna terbelalak karena terkejut.
“Baiklah,
aku mengerti. ...Ah, mungkin itu sebabnya tempura tadi dimakan pelan-pelan? Apa kamu baik-baik saja? Apa aku perlu membeli obat?”
Dia
mengkhawatirkanku lebih dari yang aku duga, dan rasa bersalah menyentuh hatiku.
“Ti-Tidak usah, rasanya baik-baik saja setelah
aku ke toilet...! Tapi, sepertinya aku akan sedikit lama... mungkin aku tidak
akan keluar dari toilet selama sepuluh menit, jadi aku ingin kamu melihat
sesuatu sendirian.”
“Baiklah! Aku juga ingin membeli beberapa pakaian dan sepatu saat masih berada di Jepang, jadi
aku akan melihat-lihat di dalam department store! Kalau begitu, hubungi aku setelah
selesai.”
Setelah
berpisah dengan Luna, aku berpura-pura pergi
ke toilet... lalu berlari menuruni tangga di samping dan keluar dari department
store menuju jalan raya.
Ketika
aku kembali ke toko perhiasan tempat aku membeli cincin pernikahan, pramuniaga
yang melayaniku sebelumnya datang menghampiriku.
“…Selamat
datang kembali? Ada yang bisa saya bantu?”
Dia
bertanya dengan ekspresi seolah-olah aku melupakan sesuatu, dan aku menoleh ke arah
jalan hanya untuk memastikan. Tentu
saja, tidak ada sosok Luna di sana.
“…Umm, aku ingin cincin half-eternity dengan emas pink!”
Dengan
putus asa, aku berhasil
menyampaikan kata-kata yang sudah terpatri di ingatanku sebelum aku melupakannya.
‘Eh?
...Oh, baiklah, saya mengerti.”
Petugas
itu tampak mengerti dan tersenyum.
“Untuk
ukuran, ukuran berapa yang ingin Anda ambil?”
“Eh?
Ukurannya... hmm, aku tadi mengukurnya di sini, dan sepertinya... ah,
apakah aku bisa melihat cincin di dalam kantong ini? Ehem, aku ingin
memberikannya sebagai kejutan, jadi aku ingin segera membelinya, tapi aku agak
terburu-buru...”
Ketika
aku panik mencoba melihat ke dalam kantong kertas cincin yang aku bawa, petugas
itu tersenyum dan berkata, “Tidak
masalah”.
“Baiklah,
saya akan memeriksa data cincin yang Anda beli sebelumnya. Saya pikir ukuran
istri Anda adalah tujuh, tetapi untuk memastikan, saya akan segera memeriksanya
dan membungkusnya.”
“Te-Terima
kasih!”
Aku
merasa lega dengan pelayanan luar biasa dari petugas itu. Cincin batu bulan dan mutiara yang aku beli merupajan ukuran bebas, jadi aku lupa bahwa cincin yang
pantass memiliki ukurannya sendiri.
Dengan
begitu, aku berhasil mendapatkan cincin half-eternity
dalam waktu singkat.
◇◇◇◇
“Ryuuto,
perutmu baik-baik saja?”
Luna yang
kutemui di pintu masuk lantai satu department store bertanya dengan cemas.
“Ya,
sekarang sudah baik-baik saja. Maaf ya
dan terima kasih sudah menungguku.”
Aku
menolak kantong kertas dan pita pembungkus, jadi aku hanya menyembunyikan kotak
berisi cincin di saku celanaku sehingga Luna mungkin tidak akan menduga bahwa aku baru saja berbelanja.
Saat
berjalan di pedestrian jalan raya, aku tiba-tiba bertanya dengan nada santai
kepada Luna.
“…Luna,
apa kamu tidak memiliki impian tentang bagaimana kamu ingin dilamar?”
“Eh?”
Luna
tampak bingung, seolah bertanya mengapa aku membahas hal itu sekarang. Setelah
berpikir sejenak, dia menjawab.
“Hmm,
tapi itu bukan sesuatu yang seharusnya aku minta, dan aku tidak terlalu
memikirkannya secara spesifik... Aku memang mengagumi jika pacarku berlutut di depan Kastil
Cinderella dan membuka cincin saat melamarku.”
Setelah
mengatakan itu, dia menatapku seolah tersadar.
“Ah,
tapi! Aku sangat senang ketika Ryuuto memberiku cincin mutiara dan melamarku! Aku sudah puas dengan itu.”
Dengan
senyuman manis, aku bisa merasakan bahwa dia tidak hanya peduli padaku, tetapi
juga benar-benar merasakannya.
Jadi,
mungkin ini bukan sesuatu yang dia harapkan. Namun, jika ada hal yang bisa
membuat Luna sedikit bahagia, aku ingin melakukannya.
Aku ingin
membuatnya senang.
Karena dia
adalah satu-satunya wanita tercintaku dalam kehidupanku.
Di area pejalan kaki di jalan
raya, para wisatawan asing berhenti di sekitar tengah untuk berfoto.
Orang-orang yang berjalan melewati mereka, jadi aku berhenti di tengah dan
berlutut agar tidak mengganggu arus pejalan
kaki.
“…Ryuuto?”
Luna
tampak kebingungan.
“…………”
Ah, gawat,
rasanya jauh lebih memalukan dari yang aku bayangkan. Tapi,
jika aku mundur sekarang, itu akan lebih buruk.
Meskipun
bukan di depan Kastil Cinderella, tetapi di pedestrian Ginza yang dipenuhi
orang Jepang dan asing. Mungkin gedung bergaya Barat dari Wako Department Store
yang dihiasi dengan jam besar bisa terlihat seperti kastil.
Aku
mengeluarkan kotak cincin dari dalam saku.
Ketika
aku membuka tutupnya, di dalamnya terdapat cincin half-eternity yang baru saja aku beli.
Eternity
adalah cincin dengan desain berlian kecil yang disusun rapat dalam garis, dan
cincin dengan berlian yang mengelilingi seluruh bagian disebut full eternity,
sedangkan yang hanya setengah lingkaran disebut half-eternity. Aku tahu itu setelah
dijelaskan oleh petugas toko tadi.
“…………”
Luna
membuka matanya lebar-lebar, tampak bingung dengan apa yang terjadi, bergantian
menatapku yang berlutut di depannya dan cincin itu.
Meskipun aku bisa merasakan tatapan orang-orang di
sekitar, aku hanya menatap Luna dan berkata.
“…Sekali
lagi, maukah kamu menikah denganku?”
Luna
menutup mulutnya dengan kedua tangan. Air mata mulai menggenang di matanya.
“…Aku
sudah menjawabnya, tau…”
Luna berkata
sembari berlinangan air mata.
“…Iya,
benar juga.”
Aku
tersenyum kecut dan mengambil tangan kirinya, lalu memasangkan cincin di jari
manisnya.
“Wow!
Congratulations!”
Seorang
wisatawan yang terlihat berasal dari Eropa atau Amerika memberi ucapan selamat saat dirinya lewat.
Aku
berdiri sambil tersenyum malu-malu dan
memeluk bahu Luna untuk menghentikan isak tangisnya.
Ada
kursi dan meja seperti di teras kafe yang diletakkan di sana-sini di area pejalan kaki. Aku
mengajak Luna yang sedang menangis untuk duduk di salah satu kursi yang
kebetulan kosong.
Setelah
beberapa saat, Luna mengelap air
matanya dengan tisu yang aku berikan dan menatap tangan kirinya.
“…Eh,
tunggu dulu, ini luar biasa!”
Dia berseru ketika menatap cincin di jari
manisnya dengan penuh rasa ingin tahu.
“Bukannya ini cincin half-eternity
dari emas pink…! Kenapa
kamu tahu apa yang aku inginkan?”
“Bukannya
kamu tadi berbicara dengan petugas toko?”
“Eh,
hanya itu saja!? Bukankah itu luar biasa!? Ryuuto, kamu tidak tertarik dengan
perhiasan, ‘kan?”
Luna
menatapku dengan ekspresi terkejut.
“Aku
yakin kalau Ryuuto berbicara dengan petugas toko tentang nama model gundam plastik yang kamu inginkan, aku
tidak akan bisa mengingatnya di tempat itu!”
“…Memang,
aku tidak tertarik pada perhiasan, tapi… aku tertarik pada sesuatu yang kamu sukai, Luna.”
Aku
mengatakan hal itu meskipun aku merasa malu.
“Ryuuto…”
Mata Luna
kembali berkaca-kaca. Dia menundukkan kepala seolah-olah menahan air mata.
“…Memang, Ryuuto selalu seperti itu… Sejak zaman
tapioka, kamu selalu begitu…”
Dia
kembali menekan tisu ringan di matanya dan menatapku.
“Aku
suka memberi kejutan dan juga menerima kejutan, dan aku selalu melakukan
hal-hal yang 'akan membuatku senang jika seseorang melakukan ini untukku',
tetapi sebaliknya, hampir tidak ada yang memberi kejutan untukku… Meskipun
begitu, aku selalu meyakinkan diriku sendiri dengan mengatakan, 'Ini adalah
hal yang ingin aku lakukan', jadi aku berusaha untuk tidak berharap pada
orang lain.”
Luna
berbicara sambil sesekali mengalihkan pandangannya.
“Ryuuto
tuh mirip seperti
dewa… Sejak dari zaman
tapioka, kamu selalu begitu. Kamu jenius dalam membuatku bahagia. Meskipun
terlihat tidak pandai memberi kejutan, itu sangat curang.”
“Memang,
aku tidak ahli dalam hal itu. Aku belum pernah melakukannya untuk orang lain.”
Aku
tersenyum kecut dan berkata.
“Tapi,
karena aku sudah melihatmu selama ini… Hanya satu orang… Aku penasaran apa aku
sudah menjadi sedikit lebih baik dalam membuatmu
bahagia, Luna?”
“Ryuuto…”
Luna berusaha menahan air mata yang kembali
menggenang sambil tersenyum tipis padaku. Kemudian, dia menatap
cincin half-eternity di tangan kirinya.
“Aku
benar-benar bahagia… Tapi, apa aku benar-benar boleh menerima ini? Apa ini tidak
terlalu memaksakan?”
“Tidak
apa-apa kok.”
Aku
tersenyum kecut, karena bagaimanapun juga ini adalah pembayaran untuk orang
tua… Jika aku bekerja keras, aku seharusnya dapat membayar kembali
biaya pinjaman half-eternity
yang jumlahnya hanya 80 ribu yen pada
akhir tahun ini.
Karena
merasa khawatir padaku, Luna menatapku dan tersenyum.
“Aku
tidak menikah hanya karena menginginkan cincin… Jika hanya ingin cincin
mahal, seharusnya aku menikah dengan orang kaya yang bisa membelikan itu, kan?
Tapi tidak, aku ingin menikah dengan orang yang aku cintai, jadi impian tentang
cincin itu bukanlah yang utama. Aku sangat senang bisa menikah dengan Ryuuto.”
Dia
berkata demikian sambil menundukkan kepalanya.
“Tapi…”
Sambil
berkata begitu, Luna mengangkat tangan kirinya seolah ingin menunjukkannya ke
langit dan menatap jari manisnya.
Di tengah
udara musim panas yang agak lembap, warna pink emas di cincin itu berkilau,
memantulkan langit biru.
“Jika
orang yang aku cintai bisa mewujudkan impianku, aku akan sangat, sangat… sangat
bahagia…!”
Air mata
berkilau di sudut mata Luna.
Bagiku, pemandangan itu jauh lebih
indah dan tak ternilai daripada berlian yang ada di cincin. Aku merasa
bersyukur bisa melihat wajah Luna di momen yang hanya terjadi sekali seumur
hidup ini, dan merasa puas
dengan hasil kejutan ini.
◇◇◇◇
Setelah
itu, aku dan Luna menghabiskan waktu di kafe sebelum naik kereta ke arah rumah
keluarga Kurose-san.
Hari ini,
kami akan melaporkan pernikahan kami
kepada ibu kandung Luna.
Ketika
kami tiba tepat waktu pada pukul enam sore, sepertinya ibu kandung Luna baru saja pulang, dengan
barang-barang masih berserakan di depan pintu dan terlihat sibuk.
“Maaf
ya, pekerjaanku sedikit
molor jadi pulangnya terlambat.”
“Tidak,
maafkan kami juga karena datang di waktu yang sibuk… Ini, oleh-oleh dari
Indonesia.”
Ketika
aku menyerahkan cokelat wafer yang banyak dijual di toko oleh-oleh bandara,
ibunya berkata, “Wah, kelihatannya enak! Aku suka cokelat!” dengan senang hati. Aku merasa
reaksi ini mirip dengan Luna.
“Aku
tidak sempat berbelanja, jadi aku akan pergi membeli beberapa bahan sekarang. Kalian
berdua akan makan malam di sini, ‘kan?”
“Apa itu
boleh? Asyikk!”
Luna
dengan ceria terlihat senang, dan aku berpikir mungkin sebaiknya aku menahan
diri, tetapi karena kami sudah menjadi keluarga, aku merasa tidak sopan jika
tidak makan malam bersama Luna, jadi aku memutuskan untuk tetap tinggal.
“…Ibu
mertua.”
Aku merasa ragu sejenak, tetapi karena
orang inilah yang melahirkan Luna, aku memanggilnya seperti itu.
“Aku
memutuskan untuk menikahi Luna-san…”
Karena
ibu Luna tampaknya siap untuk pergi berbelanja, aku merasa mungkin agak konyol
jika menunggu sampai dia kembali, jadi aku langsung membahas topik ini meskipun
di depan pintu.
“Kami
telah mengajukan formulir pendaftaran
pernikahan kami pagi ini. Maaf
jika kami terlambat memberi kabar.”
Mendengar
kata-kataku, ibu Luna menggelengkan kepala sambil tersenyum.
“Selamat
untuk kalian berdua! Ryuuto-kun,
tolong jaga Luna baik-baik ya.”
Ekspresi wajahnya
yang menyampaikan ucapan tersebut menunjukkan kebahagiaan yang tulus, dan aku
merasa bersyukur bahwa Luna adalah putrinya.
Setelah
itu, ibu Luna kemudian pergi
berbelanja, dan neneknya keluar untuk menyapa kami sebelum kembali ke
kamarnya.
Saat aku
dan Luna masuk ke dalam ruang
tamu, di sana sudah ada
Kurose-san.
“Selamat atas pernikahan kalian, Luna,
Kasima-kun.”
Dia
berdiri dari sofa dan memberi ucapan selamat dengan senyuman.
“Maria,
kamu libur kerja hari ini?”
“Iya,
aku hanya bekerja dari hari Senin
sampai Jumat.”
“Oh,
begitu ya.”
Kurose-san
tidak jadi bekerja di penerbitan. Aku mendengar bahwa dia memilih untuk bekerja
di perusahaan besar yang paling terkenal di antara tawaran yang dia
terima.
Karena
Fujinami-san sudah berpesan padaku
untuk tidak membicarakan hal itu, dan aku juga merasa
sedikit bersalah karena Kurose-san awalnya ingin menjadi
editor. Aku kemudian menyampaikan
kepada Kurose-san tepat sebelum aku berhenti dari pekerjaan paruh waktu di penerbit Iidabashi pada semester akhir masa kuliahku bahwa alasan
perjalananku ke Indonesia adalah untuk
menjadi editor di perusahaan Fujinami-san.
Kami
bertiga duduk mengelilingi meja rendah di ruang tamu dan saling bercerita
tentang keadaan masing-masing.
“Keadaan kami sih kurang
lebih seperti itu, tapi Maria?
Bagaimana pekerjaanmu?”
Saat Luna bertanya kepadanya,
ekspresi Kurose-san tiba-tiba menjadi suram.
“…Ternyata
semua orang bertanya tentang itu kepada para pekerja baru, ya. Yah, kurasa
itu wajar sih.”
“Eh?
Kenapa?”
Luna
terlihat terkejut dan membuka matanya lebar-lebar. Kurose-san menjawab sambil
menundukkan kepala.
“Aku
sebenarnya tidak ingin terlalu banyak membicarakan
pekerjaanku. …Kalau
tidak hati-hati, aku bakalan mengeluh melulu,
jadi tidak banyak yang bisa dibicarakan.”
“Tidak ada
salahnya mengeluh juga. Kita ‘kan keluarga!”
Luna
tersenyum cerah seolah ingin menghibur.
“Apa kamu tidak menikmati
pekerjaanmu?”
Ketika
ditanya demikian, Kurose-san mengangguk sambil
menunduk.
“…Secara
singkat, iya.”
Dia
menghela napas dan melanjutkan.
“Mentorku adalah seorang wanita berusia
tiga puluhan… dia sudah menikah dan tidak mempunyai anak, tipe orang yang jelas-jelas tipe wanita
karir… itu sih baik-baik saja, tetapi dia bertanya kepadaku, 'Kamu termasuk golongan yang
mana? Jika kamu tidak bisa mengabdikan segalanya untuk pekerjaan, mengapa
membuang waktuku
untuk mengajarkanmu? Jadi, bisakah kamu memberi tahu rencana hidupmu?'”
“Rencana
hidup?”
Luna
menatap ke arahku dengan wajah bingung.
“Hmm,
kurasa ini tentang perencanaan hidup, seperti apa akan menikah atau tidak, dan
jika ya, pada usia berapa, apakah akan punya anak, dan jika ya, berapa banyak
yang akan dimiliki, dan sebagainya.”
Aku tidak
tahu pasti apa yang dimaksud mentornya,
tetapi aku menjawab dengan asumsi bahwa itu adalah hal-hal yang ingin diketahui
oleh orang-orang di tempat kerja.
“Eh,
kenapa kamu ditanyai hal seperti itu sekarang? Bukannya hal semacam itu sulit
dijawab?”
Luna
berkata dengan keheranan dan Kurose-san juga
mengangguk.
“Benar,
‘kan? Perencanaan hidup… meskipun
kamu sudah memutuskan sesuatu,
tidak semuanya akan terjadi seperti yang
direncanakan. Meskipun kamu berniat mengabdikan segalanya untuk pekerjaan, bisa
saja kamu jatuh cinta, ingin menikah, dan memiliki anak. Jika itu terjadi,
rencana yang kamu buat sendiri menjadi tidak berarti. Pasanganmu mungkin saja
dipindahkan karena pekerjaan… dan ada juga situasi seperti yang dialami Luna.
Jika itu terjadi dan kamu ingin ikut, kamu harus berhenti dari pekerjaanmu
sekarang. Meskipun kamu ingin melanjutkan, di tempat kerja seperti ini.”
“Jadi,
apa kamu menjawabnya seperti itu?”
ketika Luna bertanya demikian,
dan Kurose-san menggelengkan kepala.
“Mana
mungkin aku bisa mengatakannya, aku takut. …Mungkin dia adalah
orang yang bisa menjalankan rencana hidup yang dia buat meskipun sudah memiliki
keluarga… Sebaliknya, kurasa dia tidak mau memberi
pengarahan kepada orang-orang yang berkemauan lemah dan tidak mampu merencakan kehidupannya
sendiri.”
“Hee…
dia orang yang luar biasa…”
“Itulah
sebabnya aku hanya menjawab, 'Ya, saat ini saya masih
berusaha sebaik mungkin
mengingat pekerjaan yang ada di depan saya, jadi saya belum bisa memikirkan
masa depan…' dan dia tampak terkejut. Jelas dia merasa aku tidak mendapatkan bimbingan yang
baik, mungkin dia sudah menyerah.”
Dengan
nada putus asa, Kurose-san berkata dengan muak,
“Makanya,
pekerjaan ini tidak menyenangkan… dan hubungan di tempat kerja juga sedikit
sulit. Mungkin ada sedikit orang yang individualis, entah dalam artian baik maupun buruk… mungkin itu
yang bisa kukatakan. Jika tidak selalu memperhatikan sekitar, kamu bisa terlihat
mencolok, jadi aku tidak
bisa santai. Baik saat bekerja maupun di luar itu.”
Mendengar
itu, Luna tampak bersimpati.
“Bekerja
di perusahaan besar ternyata lumayan berat ya…”
“Ketika
berbicara dengan rekan-rekan yang menjalani pelatihan bersamaku, sepertinya
setiap cabang memiliki karakter yang sangat berbeda, tetapi kebetulan tempatku
ditempatkan tidak cocok untukku.”
“Tapi,
kamu baru sebulan ditempatkan, ‘kan?
Mungkin seiring berjalannya waktu,
kamu akan merasa lebih cocok?”
Kurose-san
memiringkan kepalanya dengan ekspresi skeptis.
“Apa iya…?”
Dia
berkata sambil kembali menundukkan kepala.
“Aku
percaya bahwa ketidaknyamanan yang dirasakan di awal, baik terhadap orang
maupun perusahaan, cukup akurat.”
Kurose-san
melanjutkan saat kami, aku dan Luna, mendengarkan.
“Saat
aku mulai bekerja paruh waktu di penerbit
Iidabashi,
suasana di departemen editorial terasa sangat akrab. Pekerjaan editor itu tidak
terlalu banyak melibatkan kerja sama dengan orang lain, bukan? Meskipun ada
kolaborasi dan konsultasi, pekerjaan yang diberikan pada dasarnya adalah
tanggung jawab diri sendiri. Setiap orang mencurahkan hati dan jiwa mereka
untuk pekerjaan masing-masing… aku rasa itu membuat suasana kerja terasa penuh
semangat.”
“Kalau
urusan artikel majalah, biasanya
ditulis secara bergantian oleh semua orang, kan?”
“Tapi,
jika ditentukan bahwa satu halaman sampai lima halaman adalah tanggung jawab
Kashima-kun, maka menulis lima
halaman itu adalah pekerjaan Kashima-kun
saja, dan dia bisa memutuskan apa
yang akan ditulis dan dengan gaya penulisan seperti apa, kan?”
“Itu
benar.”
Mendengar
jawabanku, Kurose-san tersenyum tipis dan melanjutkan.
“Sebaliknya,
pekerjaan yang sedang aku jalani sekarang adalah sesuatu yang harus ditulis
dengan berdiskusi dan bekerja sama dengan beberapa orang, seperti itu. Jika
dipaksakan untuk disamakan dengan pekerjaan editor. Jadi, sebelum membahas isi
pekerjaan, aku harus terus-menerus memperhatikan orang lain.”
“Itu
pasti melelahkan…”
Aku
membayangkannya dan juga tersenyum pahit.
“Kashima-kun juga memiliki sifat yang mirip denganku, jadi mungkin kamu tidak cocok dengan pekerjaan itu juga.”
Kurose-san
tertawa.
“Kalau
begitu, mungkin kalian berdua juga tidak cocok menjadi pengasuh anak. Setelah
mengikuti praktik, aku merasa tempat itu tampaknya tidak bisa berjalan tanpa
kerja sama dengan orang lain.”
Luna menimpali, dan kami bertiga tertawa.
“…Bagaimana denganmu, Kashima-kun? Apa pekerjaanmu
menyenangkan?"
Kurose-san bertanya demikian padaku dan aku
mengangguk ragu.
“Ya…”
Setelah
mendengar keluhan Kurose-san tentang pekerjaannya, rasanya canggung untuk
berbicara tentang kepuasan pekerjaan yang dia inginkan sebagai editor.
“Kurasa
karena aku masih banyak yang belum terbiasa dengan
pekerjaan dan lingkungan, aku baru akan merasakan kesenangan yang sebenarnya ke
depannya.”
Aku
berhenti di situ dan tersenyum samar.
Setelah
menatapku sejenak, Kurose-san menghela napas.
“Enak
ya… Aku juga sebenarnya ingin menjadi editor. Kenapa Fujinami-san tidak
menghubungiku? Padahal aku bisa
pergi ke mana saja, bahkan ke Indonesia pun tidak masalah.”
Melihatnya ekspresinya yang seperti itu,
aku teringat kata-kata Fujinami-san.
──Kami
kekurangan orang di sini, jadi aku
ingin merekrut beberapa editor lagi. Kashima-kun, jika kamu mempunyai koneksi yang baik,
bisakah kamu membawa
mereka dari Jepang?
“…Jika
kamu memang tidak keberatan bekerja
di Indonesia, sepertinya departemen editorku masih mencari editor kok?”
“Eh?”
Kurose-san
menatapku dengan terkejut.
“Kamu serius
bilang begitu?”
“I-Iya.”
Aku tidak
menyangka dia akan seantusias ini,
jadi aku menjelaskan dengan sedikit gugup.
“Fujinami-san
terus-menerus bilang kekurangan orang, tetapi tidak pernah melakukan rekrutmen
besar-besaran, jadi mungkin ia memilih-milih orang untuk direkrut. Di
departemen editorku pada dasarnya merupakan
pekerjaan satu orang dan sepertinya Fujinami-san lebih
suka mengumpulkan orang-orang yang cocok untuknya. Jika itu Kurose-san, karena kalian sudah saling
mengenal dengan baik, jadi mungkin kamu akan
diterima.”
Namun,
Kurose-san sudah memiliki pekerjaan tetap di Jepang, jadi aku berpikir dia
mungkin tidak akan datang.
Tetapi mata Kurose-san justru berbinar-binar.
“Aku
mau! Aku juga ingin menjadi editor
di Indonesia!”
Luna
tampak terkejut.
“Eh,
serius!? Maria, kamu serius ngomong begitu!?”
“Serius!
Aku sudah lama merasa iri
pada Kashima-kun. Sejujurnya, aku merasa cemburu.”
“O-Oke,
tunggu dulu sebentar, aku
akan bertanya Fujinami-san.”
Sebelum
memberikan harapan yang terlalu tinggi, aku mengambil ponsel untuk mendengar
pendapat Fujinami-san.
“Kurose-san
bilang dia ingin menjadi editor di departemen kita, bagaimana menurutmu?”
Untuk saat
ini aku mengirim pesan itu melalui aplikasi chat kerja.
Karena departemen kami juga tutup di akhir pekan, aku pikir balasannya mungkin
besok, tetapi tiba-tiba aku menerima panggilan dari Fujinami-san.
“Halo,
Kashima-kun,
apa itu benar?”
Setelah
keluar dari ruang tamu menuju koridor dan menjawab telepon, Fujinami-san
langsung bertanya dengan penuh semangat.
“Ah,
ya… sekarang aku berada di
rumah Kurose-san bersama istriku.”
“Apa dia bilang kalau dia akan pindah dari perusahaan
tempatnya bekerja sekarang?”
“I-Iya, kurasa begitu."
Karena
pembicaraan belum sampai ke tahap itu, aku merasa sedikit panik.
“Apa itu
beneran baik-baik saja? Karena departemen editorial di
Indonesia ini satu-satunya yang memiliki fungsi untuk melatih editor dari awal,
jika dia bergabung dengan kami, dia harus datang ke sini.”
“Sepertinya
hal itu tidak masalah baginya.”
“Benarkah?
…Hmm…”
Fujinami-san
terdiam sejenak di telepon.
“…Kurasa itu benar-benar mustahil ya?”
Aku
bertanya, berpikir mungkin tidak semudah itu, dan Fujinami-san menjawab, “Tidak, bukannya begitu”.
“Baik-baik
saja kok. Tapi di departemen editorial sekarang hanya berisi laki-laki saja, ‘kan? Aku sempat berpikir apakah
itu akan mengganggu etika, tetapi kemudian aku sadar bahwa semua orang selain
aku sudah menikah atau punya pacar.”
“…Jadi,
ini baik-baik saja?”
“Ya,
baik-baik saja. Karena aku
yang memiliki hak pengangkatan di departemen editorial.”
Fujinami-san
berkata dengan santai.
“Selain
itu, Kurose-san adalah adik ipar Kashima-kun,
‘kan? Jika kakaknya ada di sini,
kurasa itu akan lebih menguatkan daripada datang sendirian, jadi kurasa itu bakalan sempurna.”
Sambil
berbicara seolah-olah
meyakinkan dirinya sendiri,
Fujinami-san bertanya padaku,
“Kapan
dia bisa datang? Jika dia mengajukan pengunduran diri di perusahaan sekarang,
dia bisa keluar paling cepat akhir bulan depan, ‘kan?
Apa kita bisa merekrutnya mulai September? Ah, tetapi karena ada pengajuan
visa, mungkin lebih realistis mulai Oktober?”
“Eh,
tunggu sebentar. Aku harus bertanya kepadanya
dulu…”
“Ah,
baiklah, jika begitu, aku akan berbicara langsung
padanya, jadi bisakan kamu
memberikan informasi kontaknya padaku?”
“Ah,
ya…! Dia sedang ada di sini sekarang, jadi aku akan bertanya sebentar.”
“Ah,
kalau begitu, bisakah kamu menyerahkan panggilan ini
ke Kurose-san?”
“Y-ya,
aku mengerti.”
Segala
sesuatunya berjalan begitu lancar sampai-sampai aki merasa
panik saat kembali ke ruang tamu dan menyerahkan ponsel ke Kurose-san.
“Halo,
ini Kurose. …Ya, sudah lama tidak bertemu. Eh!? Umm… bagaimana ya… eh, agen pengunduran diri!? Tidak, tidak
apa-apa, aku akan mengatakannya sendiri… ya, ya! Oke, aku mengerti! Sebisa
mungkin segera!”
Aku tidak
tahu apa yang dikatakan Fujinami-san,
tetapi Kurose-san tampak bingung dan kesulitan mengikuti perkembangan yang
cepat ini.
“…………”
Setelah
selesai berbicara dengan Fujinami-san, Kurose-san tampak linglung selama beberapa saat.
Aku
mengerti perasaannya. Dalam hitungan menit, kehidupannya
telah berubah.
"…Kurose-san,
apa kamu benar-benar yakin dengan hal ini?”
Ketika
aku bertanya, dia tampak tidak mendengarkan, jadi aku saling memandang dengan Luna.
“Aku
sih senang jika Maria mau datang ke Indonesia… Tapi, selain Ryuuto, aku pikir
tidak ada orang dekat yang kumiliki
di sana…”
Ekspresi
seperti itu menunjukkan kebahagiaan yang mengalir dari kata-katanya. Aku
berpikir bahwa dia pasti merasa kesepian, dan rasa penyesalan terhadap Luna
serta harapan agar urusan Kurose-san dapat terwujud muncul dalam
pikiranku.
“…Aku
juga merasa akan senang jika bisa bersama Luna.”
Kurose-san
tampak sedikit kembali ke dirinya sendiri dan berkata pelan.
“Aku
punya beberapa teman baik, tapi aku tidak memiliki keterikatan lain di Jepang.”
“Itu
tidak masalah, karena kita tidak akan tinggal selamanya di sana juga.”
Ketika
aku berkata demikian sambil
tersenyum, Kurose-san juga mengangkat sudut bibirnya.
“Lebih
penting lagi, aku merasakan kebahagiaan
yang lebih besar karena
bisa mewujudkan impianku.”
“Tapi,
Maria…”
Saat itu,
Luna berbicara.
“Bagaimana
dengan Kujirin?”
“…Apa
maksudmu dengan bagaimana?”
Kurose-san
menjawab dengan alis yang berkerut.
“Tidak
ada yang berubah. Kami akan terus berkomunikasi lewat LINE. Jadi, baik di
Jepang maupun di Indonesia, itu sama saja, ‘kan?”
“…………”
Luna
menundukkan alisnya dan menatap adik kembarnya.
“Jika
Maria merasa baik-baik saja dengan itu, maka itu tidak
masalah…”
“…Tapi,
iya juga.”
Kurose-san
sepertinya mulai berpikir ulang.
“Mungkin
sebaiknya aku harus memberitahunya dulu. Kami akan bertemu di pesta pernikahan, jadi bisa saja saat
itu, tetapi jika kami berkomunikasi setiap hari lewat LINE, tidak memberi tahu
saat sudah pasti terasa aneh juga.”
Setelah
berkata begitu, Kurose-san mengambil ponselnya dan tiba-tiba menatap kami.
“…Aku penasaran apa lebih baik melaporkan
hal semacam ini melalui telepon daripada melalui pesan teks?”
“Eh,
begitu? Bagaimana menurutmu, Ryuuto?”
“Yah,
mungkin etika yang tepat sebagai orang dewasa…”
Aku lebih
suka menerima pesan dari orang lain lewat email daripada telepon, tetapi
menurut pandangan masyarakat, urutan kesopanan tampaknya menurun dari tatap
muka, telepon, hingga email.
“Kalau
begitu, boleh aku menelepon sekarang? Jika sendirian, aku merasa ragu untuk
menghubunginya.”
“Begitu?
Bukannya lebih nyaman berbicara saat
sendirian?”
Luna menimpali dengan tertawa,
tetapi aku sedikit mengerti perasaan Kurose-san. Orang-orang seperti kami tidak gampang bersosialisasi saat
berada di kamar sendiri.
“Tidak
apa-apa kok.”
Ketika
aku berkata demikian, Kurose-san mulai mengoperasikan ponselnya.
“…Ngomong-ngomong,
ini pertama kalinya aku berbicara lewat telepon dengan orang itu.”
Dia
berkata pelan seolah-olah sedang bergumam
pada dirinya sendiri, lalu Kurose-san menempelkan ponsel ke
telinganya.
Pada hari
Minggu pukul setengah tujuh malam,
apa yang sedang dilakukan Kujibayashi-kun? Meskipun ia telah menjadi mahasiswa
pascasarjana sejak April, apa ia sedang belajar di perpustakaan universitas
seperti di hari liburnya saat masih menjadi mahasiswa? Aku berpikir jika ia
sedang dalam perjalanan untuk makan malam, mungkin ia tidak akan menyadarinya.
“…Ah,
halo? Ini Kurose Maria.”
Kurose-san
mulai berbicara, dan aku tahu Kujibayashi-kun menjawab telepon.
Aku tidak
bisa membayangkan bagaimana Kujibayashi-kun akan merespons telepon dari seorang
gadis, jadi aku menunggu dengan tegang sambil memikirkan perasaannya.
“Hallo?”
Kurose-san
bertanya dengan curiga. Tidak jelas apakah teleponnya jauh atau Kujibayashi-kun
hanya terdiam karena tidak tahu harus menjawab apa, tetapi tampaknya tidak ada
respons.
“Ah,
ini aku, Kurose Maria.”
Akhirnya,
suara dari pihal lain mulai terdengar.
Aku merasa lega.
“Aku ingin
memberitahu sesuatu.”
Nada
suaranya terasa kaku untuk seorang teman yang sudah hampir dua tahun
berkomunikasi setiap hari lewat LINE, tetapi mungkin inilah jarak antara mereka
saat ini.
“Aku
sepertinya akan bekerja di departemen editorial
yang sama dengan Kashima-kun,
dan aku akan pindah ke Indonesia mulai musim gugur.”
Setelah
mengatakannya, Kurose-san terdiam.
“…Halo?”
Kurose-san
kembali memanggil dengan wajah yang tampak bingung.
“Ah,
ya. …Jadi, aku ingin mengucapkan terima kasih kepada Kujibayashi-kun. Terima
kasih telah menghubungiku selama ini. Mungkin setelah aku pergi, karena
perbedaan waktu, aku tidak bisa menghubungi seperti sebelumnya. Aku rasa akan
sulit untuk ketemuan juga… eah, tapi kita juga tidak pernah
bertemu di sini, ya?”
Kurose-san
berkata sambil tersenyum pahit.
“Aku
berharap kita bisa lebih sering bertemu.
…Jadi, aku menantikan untuk bertemu di pesta pernikahan
minggu depan.”
Di wajah
Kurose-san terlihat senyuman yang disertai nuansa kesepian.
Aku
bertanya-tanya, bagaimana perasaan Kujibayashi-kun saat ini.
Saat aku
berpikir begitu, tiba-tiba terdengar suara gaduh.
Brak,
gedebuk, ckrekkk, bukkk!
Dari ujung lain ponsel Kurose-san, terdengar
suara bising yang cukup keras meskipun bukan panggilan speaker. Suara itu
seperti suara ponsel yang jatuh dari tempat tinggi.
“…Eh…?”
Kurose-san
secara otomatis menjauhkan ponselnya dari telinga dan menatap layar dengan kebingungan, tidak tahu apa yang
terjadi.
“Hallo,
hallo? Kamu baik-baik saja? Apa ponselmu jatuh?”
Meskipun
Kurose-san memanggil, tampaknya tidak ada jawaban.
Karena
tidak tahu apa yang terjadi dan tidak bisa memutuskan telepon tanpa jawaban, Kurose-san
meletakkan ponselnya di meja dan beralih ke mode speaker.
“Suara
tadi itu, suara apa?”
Luna
mengungkapkan kekhawatirannya, dan Kurose-san juga mengerutkan kening sambil
menggelengkan kepala.
“Entahlah?
Kira-kira, apa ponselnya jatuh?”
“Dari
mana? Dari jendela lantai dua?”
“Eh,
dalam situasi seperti apa? Jika terdengar berarti tidak rusak, kan…”
Kami bertiga saling memandang, lalu saat itu.
“Hallo,
apa ini sedang dalam panggilan?”
Terdengar
suara pria yang berbeda dari Kujibayashi-kun dari ponsel
Kurose-san.
“Ah,
ya...!”
Kurose-san
menjawab dengan sedikit panik.
“Apa
ponsel ini milik mahasiswa yang memakai kacamata?”
“…?
Iya, benar…”
“Ini
adalah gedung penelitian Universitas Houou,
dan orang tersebut baru saja tergelincir dari atas tangga dan jatuh ke lantai.”
“Eh!?”
Mendengar berita tersebut, Kurose-san menutup
mulutnya dengan tangan dan terdiam. Aku dan Luna saling memandang lagi.
“Saat
ini, dia sedang dibantu oleh mahasiswa yang lewat dan sedang dibawa ke ruang
pertolongan. Kami ingin mengembalikan ponsel ini kepadanya, tetapi sepertinya dia
sedang kesakitan dan tidak dalam keadaan untuk berbicara, jadi bolehkah kami
memutuskan panggilan?”
“…Ya…”
Suara
Kurose-san terdengar bergetar
karena kegelisahan saat menjawab.
“Terima
kasih telah memberi tahu…”
Setelah
Kurose-san mengucapkan terima kasih kepada pria itu dan telepon terputus, kami
semua terdiam sejenak.
“Ia
terpeleset dari atas tangga dan jatuh ke lantai…?”
Aku
mengulang apa yang dikatakan pria itu. Aku tidak
pernah menyangka bahwa Kujibayashi-kun, yang memiliki
sifat hati-hati seperti melihat ke
kanan dan kiri sebelum menyeberang, bisa melakukan hal itu.
“Kurasa ia
pasti sangat terkejut mendengar bahwa Maria akan pergi ke Indonesia…”
Ucap Luna.
“Apa itu
salahku…?”
Kurose-san
bergumam dengan wajah pucat, dan Luna
segera menggelengkan kepala.
“Itu
bukan salahmu, ia hanya kurang beruntung
saja sampai terpeleset… pokoknya, itu bukan salahmu, Maria.”
“Tapi,
jika aku tidak menelepon, hal ini mungkin
tidak akan terjadi…”
“Maria…”
Luna yang
berdiri di samping Kurose-san yang penuh kesedihan langsung memeluknya.
“Apa
yang harus kulakukan…
jika terjadi sesuatu pada orang itu, aku…”
Akhirnya,
mata Kurose-san mulai berkaca-kaca dan menangis terisak-isak.
Merasa cemas, aku mencari kata-kata untuk menghiburnya.
“Te-Tenang
saja, Kurose-san. Pria itu
bilang kalau ia sedang kesakitan, jadi dia masih
sadar, dan sepertinya tidak ada masalah serius dengan nyawanya. Jika ia bisa
menuju ruang pertolongan sambil dibantu orang lain, menurutku itu hanya luka ringan.”
“Benar sekali, Maria. Jatuh dari tangga
biasanya tidak sampai menyebabkan cedera parah.”
Kami
berusaha menenangkan Kurose-san, tetapi dia hanya terus menangis.
“…Tidak,
aku… aku tidak ingin kehilangan orang itu…”
Kurose-san
masih terisak dengan kedua tangan menutupi wajahnya.
“…Aku
menyukai orang itu…”
Kurose-san
mengatakannya dengan suara yang lemah dan bercampur air
mata.
“Walaupun
kita hanya berteman seumur hidup, tolong jangan mati… Aku ingin kamu terus mengirim
pesan setiap hari…”
“…Maria…”
Luna juga
menunjukkan ekspresi sedih, memeluk bahu adiknya dengan kuat.
“Aku
suka kata-kata yang dia berikan… Rasanya seperti dia memahami perasaanku…
Meskipun kita terpisah, meskipun tidak bertemu… hal
itulah yang membuatku berpikir untuk terus berusaha hari ini…”
Kurose-san
mengucapkan itu perlahan, dan Luna sedikit tersenyum.
“Kenapa
kamu tidak bilang itu langsung
padanya? Ia pasti akan
senang mendengarnya.”
“…Tidak…”
Sambil
terisak, Kurose-san berkata dengan suara yang tertekan.
“Kenapa
harus dari aku…? Aku ingin dicintai… Jika tidak dicintai, aku tidak bisa
bahagia… Aku juga ingin dicintai oleh seorang pria, seperti Luna…”
Akhirnya,
aku mengerti bahwa itu adalah perasaan sebenarnya Kurose-san.
Kurose-san
sudah lama menyukai Kujibayashi-kun.
Namun,
karena Kujibayashi-kun tidak menunjukkan tanda-tanda suka, dia menjadi keras
kepala dan tidak menunjukkan perasaan cintanya atau mengatakan “Mari bertemu”.
Tiba-tiba,
aku teringat Kurose-san saat kelas dua SMA.
──Aku tidak bisa bahagia jika tidak menjadi gadis
yang dicintai. Aku harus
jadi yang pertama.
Aku
berharap dia bisa bebas dari pemikiran itu. Kurose-san tidak lagi
sendirian.
Aku ingin
dia bisa menemukan kebahagiaan, setelah merasa tidak dipilih oleh ayahnya dan
mengumpulkan dendam terhadap kakaknya.
Tolong terimalah cinta dari Kujibayashi-kun
dengan baik.
“…Kurose-san,
kamu dicintai.”
Saat aku
mengatakannya, Kurose-san sedikit berhenti menangis dan menatapku.
“Di
dalam ponsel itu… ada banyak
cinta dari Kujibayashi-kun yang sudah disampaikan, bukan?”
Ketika
aku menunjuk ponsel yang diletakkan di atas meja, Kurose-san hanya menatapnya
dengan diam.
“Kurose-san,
sebenarnya kamu juga mengetahuinya, ‘kan?
Memangnya Kujibayashi-kun tipe orang yang bisa mengirimkan pesan
setiap hari kepada gadis yang tidak disukainya begitu saja? Apalagi, sudah
hampir dua tahun tidak bertemu… memikirkan kata-kata yang bisa membuat orang
tersebut merasa diperhatikan… itu bukan hal yang bisa dilakukan kepada
seseorang yang hanya dianggap teman.”
Aku
berbicara kepada Kurose-san yang diam-diam mendengarkan kata-kataku.
“Jadi,
aku berharap kamu bisa tenang dan menyampaikan perasaanmu kepada
Kujibayashi-kun. Kalian pasti memiliki perasaan yang sama.”
“…Jika
ia masih hidup.”
Mungkin
sedikit tenang, Kurose-san menjawab dengan wajah yang tampak malu.
“Ia
masih hidup kok! Bukannya ia dibantu
menuju ruang pertolongan! Jika kondisinya parah, mereka pasti sudah memanggil ambulans!”
“Benar.
Nanti kita akan tanya kabarnya langsung. Aku juga akan menghubunginya dan berkata 'Aku
dengar dari Kurose-san kalau kamu jatuh
dari tangga, apakah kamu baik-baik saja?'”
Luna dan
aku berkata, lalu saling bertukar pandang dan entah bagaimana kami bertiga
tertawa.
◇◇◇◇
Setelah itu,
ibu mertua pulang dan kami makan malam yang
telah dia siapkan bersama Luna dan keluarga Kurose.
Kami juga
menerima kabar dari Kujibayashi-kun. Ternyata, ia tidak hanya terpeleset
sedikit, tetapi terjatuh
dengan cukup parah dan mengalami benturan keras di seluruh tubuh, termasuk
kepala. Setelah pergi ke rumah sakit, ia akan menjalani pemeriksaan sebagai
tindakan pencegahan dan harus dirawat semalam.
Kami
merasa lega bahwa tidak ada yang serius terjadi.
Setelah
berpamitan dengan keluarga Kurose, aku dan Luna naik kereta menuju Stasiun A.
Karena sudah malam, aku memutuskan untuk mengantar Luna sampai rumahnya.
“Kalau
begitu, sampai jumpa, Ryuuto. Hari ini… terima kasih.”
Sambil
mengatakan hal itu di depan rumah, Luna menunjukkan
jari manis tangan kirinya kepadaku dengan senyuman.
“Ya,
terima kasih juga.”
Aku tidak
tahu apa yang dia syukuri. Mungkin untuk keberadaannya secara keseluruhan. Di tengah malam yang tenang di
kawasan perumahan, aku dan Luna saling menatap di depan pintu masuk
rumahnya.
“…………”
Hari ini aku hanya bisa menggenggam tangannya… pikirku, ketika Luna tiba-tiba
mendekatkan wajahnya.
Secara
refleks, aku menutup mata, dan merasakan sentuhan bibir Luna di bibirku.
Kehangatan kulitnya yang alami membuat jantungku berdebar. Aku sadar bahwa dia
belum mengoleskan lip balm setelah makan.
Aku ingin
merasakan Luna lebih dekat… tetapi, saat aku berpikir demikian, bibirnya
menjauh.
“…Sampai
jumpa, besok.”
Luna
menatapku dan berbisik dengan sedikit malu.
“…Ya.
Sampai jumpa besok.”
Aku hanya
bisa menjawab demikian, lalu tersenyum sambil berbalik.
Saat
berjalan sambil menoleh, aku melihat Luna melambai dari pintu depan.
Setelah
memastikan dia masuk ke dalam, aku berhenti menoleh dan melanjutkan perjalanan
ke stasiun.
“…Hah.”
Saat
teringat sentuhan bibir Luna, sebuah desahan penuh kerinduan keluar.
Tapi, apa boleh buat.
Setelah
kembali ke Indonesia, aku bisa hidup bersama Luna setiap hari, jadi ini hanya
perlu ditahan sampai saat itu.
Sambil
berkata demikian pada diriku sendiri, aku berjalan cepat menyusuri jalan di
malam hari itu.
