Chapter 5
Sejak menghadiri malam pemakaman kakek Luna,
aku terus memikirkan masa depanku
bersama Luna.
── Kurasa kakek merasa bahagia. Setelah menikah
dengan nenek selama lebih dari empat puluh tahun, mereka bisa bersama sampai
akhir.
── Luna adalah
anak yang ceria dan menyenangkan, tapi dia sangat mudah merasa kesepian. Kamu
sudah mengetahuinya sendiri, ‘kan? Jadi, aku benar-benar senang
dia bisa tinggal bersama Kashima-kun. Sekarang dia tidak perlu merasa kesepian
lagi.
Aku tidak
ingin Luna merasakan kesepian. Tapi di
saat yang sama, aku sendiri merasa sangat kesepian saat terpisah dari Luna.
Sampai
kami tinggal bersama, aku tidak menyadari seberapa besar aku menginginkan Luna.
“Selamat
datang kembali~!”
Saat dia
menyambutku dengan mengenakan pakaian rumah dan celemek,
aku merasa senang, dan ketika makan malam sudah siap, rasanya luar biasa bisa
menikmati nasi hangat yang baru dimasak. Jika masih dalam proses memasak, ada
kesenangan tersendiri bisa berdiri di dapur bersamanya.
Jika aku
pulang lebih cepat, aku memang
sedikit merasa kesepian, tapi menyiapkan bak
mandi untuk Luna atau berjuang dengan masakan yang belum terbiasa juga merupakan waktu yang baik untuk memikirkan
Luna.
“Aku pulang!”
Suatu hari, saat aku sedang memasak sembari melamun, Luna mendadak memelukku dari belakang.
“Woahh!”
Karena
aku mengira aku sendirian di rumah, aku terkejut hingga jantungku hampir
melompat.
“Luna...!
Selamat datang kembali...”
“Ahaha,
maaf sudah mengejutkanmu! Karena Ryuuto terlalu fokus memasak sih, jadi kamu tidak menyadariku sama sekali."
Dia
berkata begitu sambil melihat ke arah tanganku.
“…Apa
kamu sedang mencoba membuat nikujaga?”
Aku
sedang merebus kentang, wortel, bawang, dan daging sapi tipis dengan menstuyu di dalam panci. Mungkin itulah sebabnya jadi mudah
ditebak.
Suara
mendidih dan suara kipas angin menguasai pendengaranku hingga aku tidak
menyadari pintu depan terbuka.
“Ya.
Aku memasaknya sambil mengingat-ingat saat membuatnya di rumah Sayo-san saat musim panas kelas dua SMA dulu...”
“Eh,
hebat sekali Ryuuto, ingatanmu bagus! Aku bahkan sudah tidak ingat resep yang
dibuat saat itu!”
“Aku
juga tidak ingat dengan jelas, jadi aku tidak tahu apakah bisa membuatnya
dengan baik.”
Saat aku
berkata demikian dengan senyum canggung, Luna
melihat ke dalam panci.
“Eh,
tapi kelihatannya enak, kok? Aku coba sedikit ya~♡”
Seraya
berkata begitu, dia
mengambil sendok dari tempat cuci, lalu mengambil sepotong kentang yang
terbalut daging sapi dan bawang dari panci.
“Fuu,
fuu”
Setelah
meniup kentang dengan hati-hati, Luna memakannya dalam satu suapan.
Aku
menatap Luna yang mengunyah dengan pipi mengembang, menunggu momen tegang.
“…Yup! Nikujaga buatan Ryuuto enak
banget!”
Dengan
senyuman lebar Luna, wajahku pun ikut ceria.
“Bagus.
Kalau begitu, kita matikan apinya sekarang. Rasanya
akan lebih meresap jika sudah agak dingin.”
“Begitu
ya, padahal aku sudah tidak sabar ingin memakannya.”
“Bak
mandinya juga sudah siap, tapi kamu mau yang mana dulu?"
“Wahh, terima kasih!”
Luna yang
menggabungkan kedua tangan dengan gembira, kemudian mengaitkan kedua tangan di
bawah dagunya dan menatapku.
“…Kalau
begitu, bagaimana kalau kita mandi bersama~♡?”
Dengan
tatapan menawannya, aku merasa terpesona dan mengangguk tanpa bisa menahan
diri.
“Ya.”
Kurasa Nikujaganya bisa dipanaskan kembali jika
terlalu dingin, jadi kupikir itu
tidak masalah.
◇◇◇◇
Kehidupan
sehari-hari yang kuhabiskan
bersama Luna sangat menyenangkan.
Meskipun
laporan kuliahku mulai semakin menumpuk atau kelelahan karena kerja paruh waktu. Selama aku mempunyai waktu
bersama Luna di penghujung
hari, aku bisa melewatinya.
Sebaliknya,
sebelum kami tinggal bersama, aku bertanya-tanya bagaimana aku bisa melewati
hari-hari itu. Saking
pentingnya, waktu bersama Luna telah menjadi momen penyembuhan yang tak
tergantikan bagiku.
Semakin
aku merasakannya, semakin aku bingung tentang pilihan apa yang harus diambil ketika waktu untuk mengambil
keputusan yang semakin mendekat.
◇◇◇◇
“Nee,
Ryuuto. Boleh aku menginap di rumah Nenek Sayo
malam ini?”
Pada
suatu Sabtu pagi, Luna mengatakan itu sebelum dia berangkat kerja.
“Eh?
Boleh saja sih, tapi rasanya terlalu tiba-tiba ya.”
“Ya,
aku baru saja berpikir untuk melakukannya.”
“Apa ada sesuatu yang terjadi dengan
Sayo-san?”
Aku bertanya
padanya sembari aku mengingat betapa lemah Sayo-san saat upcara pemakaman dan Luna menggelengkan kepalanya perlahan.
“…Sejak
pemakaman kakek, Nenek Sayo
tampaknya tidak bersemangat. Tadi pagi, Mao-kun
menghubungiku.”
“Apa
dia merasa tidak enak badan?"
“Enggak.
Tubuhnya tampak sehat, tapi… perasaannya. Dia mungkin teringat saat kakek buyutku meninggal
dan merasa kasihan pada nenek serta merasa sedikit depresi.”
“Begitu
ya…”
Itu memang membuatku khawatir. Meskipun Sayo-san kelihatan sehat-sehat saja, dia sudah hampir berusia satu abad, jadi perubahan kecil dalam
perasaan atau lingkungan bisa mempengaruhi kesehatan fisiknya.
“Aku
juga sudah lama tidak mengunjungi
Chiba, dan sebelumnya aku tidak bisa banyak bicara, jadi kupikir jika aku bertemu dan
mengobrol dengannya, mungkin dia akan merasa sedikit lebih baikan.”
“Ya,
itu bagus.”
Jika memang begitu, aku berharap dia bisa
pergi untuk menyemangati dan mendukung nenek buyutnya.
“Tolong sampaikan
salamku untuk Sayo-san dan Mao-san ya.”
“Kalau tidak
salah, Mao-kun bilang kalau mulai hari ini dirinya akan pergi melakukan perjalanan.
Mungkin itu juga alasan ia menghubungiku. Mungkin ia khawatir meninggalkan Nenek Sayo
sendirian.”
“Ah,
begitu…”
“Maaf banget ya, padahal besok adalah hari libur yang
sangat berharga, tapi aku malah tidak
ada.”
“Enggak
apa-apa, kok.”
Meski sebenarnya
aku merasa kesepian, tapi agar Luna bisa meninggalkan rumah dengan tenang, aku membalasnya sambil tersenyum.
Besok
adalah hari libur penuh Luna yang hanya terjadi dua kali dalam sebulan, dan meskipun aku tidak
memiliki rencana khusus, aku berharap bisa menghabiskan waktu bersamanya
sepanjang hari, jadi rasanya semakin
disayangkan.
“Besok, kamu akan kembali jam berapa?”
“Hmm,
aku belum memutuskannya sih,
tapi aku ingin kembali sebelum gelap. Soalnya, Senin sudah masuk sekolah.”
“Baiklah.”
Aku
berpikir mungkin kami bisa makan malam bersama, tetapi tergantung pada keadaan
Sayo-san, mungkin dia akan pulang sampai larut malam, jadi
aku tidak menyebutkan hal itu agar tidak memberi tekanan pada waktu
pulang.
“Nee,
Ryuuto?”
Saat aku
berusaha mengantar Luna yang membawa barang menuju pintu, dia menoleh sebelum
mencapai ambang pintu.
“…Aku
akan benar-benar memikirkannya.”
Dia
berkata demikian sambil tersenyum lembut.
“Aku
tidak ingin jauh darimu, tapi aku juga ingin mendukung mimpimu. Karena kamu sudah mendukung mimpiku.”
Usai mendengar
itu, aku bertanya-tanya apakah
dia sedang membicarakan tentang pergi ke Indonesia.
“Ya,
terima kasih.”
Aku juga
membalasnya dengan senyuman, tetapi ada sedikit
suasana canggung yang mengambang. Aku
tidak ingin mengantarnya dengan suasana seperti ini, jadi aku mencari topik
yang lebih ceria.
“Sabtu
depan adalah hari ulang tahunmu, ‘kan? Apa ada
sesuatu yang ingin kamu minta?”
Aku
merasa pertanyaan itu agak konyol, tapi aku sudah kehabisan ide.
“Ah iya, benar! Sudah mau minggu depan ya? Rasanya
cepat sekali...”
Saat berkata
begitu, Luna terlihat merenung.
“Ulang
tahunku yang keenam sebagai pasangan...
kita sudah bersama lebih dari lima tahun, ya.”
“Ya,
benar...”
Apa ini sudah
yang keenam ya?
Jika memang begitu, pantas saja kalau aku sudah kehabisan ide...
pikirku sambil merenung.
“…Ryuuto, kamu bilang kalau kamu akan pergi ke Indonesia
selama 'beberapa tahun', ‘kan?”
Tiba-tiba,
aku tersadar kembali saat Luna
mengatakan itu.
“Y-Ya.”
Ketika aku
merasa bingung mengapa dia
mencoba membahas topik itu kembali meskipun aku ingin membahasnya, Luna menundukkan kepalanya seraya berkata.
“Setelah
aku mencari-cari di
internet, ruapanya 'beberapa
tahun' itu bisa berarti
dua atau tiga tahun.”
“Ya...”
Sepertinya
aku juga pernah mendengar hal itu. Aku tidak tahu apakah Fujinami-san
mengatakannya dengan maksud seperti itu.
“…Jangka waktu dua atau tiga tahun itu jauh
lebih singkat daripada waktu yang sudah kita
habiskan bersama... bahkan jika
kita harus terpisah, ikatan yang telah kita
bangun selama ini akan mendukung kita, ‘kan?”
“Eh...”
Apa itu
berarti....
Apa Luna
berniat tinggal di Jepang? Sementara aku menyadari betapa berharganya Luna, apa
dia sudah menguatkan tekadnya?
Di
hadapanku yang kehilangan kata-kata, Luna mengangkat wajahnya dan menunjukkan
senyuman cerah. Ekspresinya terlihat sedikit dipaksakan.
“Kamu
boleh bekerja di tempat mana pun
yang kamu suka, Ryuuto. Aku
akan selalu menunggumu dengan semangat di Jepang.”
Setelah
mengatakannya, Luna tersenyum dan membalikkan
badannya untuk mengenakan sepatu.
“…………”
Aku tidak
bisa berkata apa-apa.
Karena akulah yang ingin pergi ke
Indonesia.
“…Baiklah,
kalau begitu aku pergi dulu ya.”
Saat Luna
berkata begitu sambil menoleh, ekspresi kesepian memenuhi raut wajahnya.
Hal itu membuatku merasa sedikit terselamatkan.
Setelah
menatap wajahku selama beberapa detik, Luna tiba-tiba menyipitkan matanya dengan penuh rasa sakit.
“…Jangan
membuat wajah seperti itu. Kita baik-baik saja, kita bisa melakukannya.”
Dengan
mengatakan itu, dia melangkah satu langkah lebih dekat dan meletakkan kedua
tangannya di pipiku.
“Ryuuto,
aku sangat mencintaimu...”
Dengan
suara lembut seperti desahan, Luna menempelkan bibirnya pada bibirku. Wajahnya
yang mengenakan sepatu hak
tinggi terasa dekat, dan aku memeluk punggung Luna dengan erat.
Ciuman
selamat tinggal yang biasa terasa seperti ciuman perpisahan hari ini.
Saat kami
berpisah, aku merasakan sensasi seperti benang yang tertarik. Mungkin itu
karena lip gloss Luna yang sudah dia aplikasikan untuk pergi kerja.
“…………”
Kami
saling menatap dalam jarak dekat.
Luna selalu terlihat cantik seperti biasa. Dia
semakin bersinar dibandingkan lima tahun yang lalu. Luna tersenyum sambil terus
menatap mataku. Senyuman yang
membuatku merasa tenang, bagaikan
senyuman dewi.
“Aku
pergi ya.”
Dia
mengatakannya sekali lagi, lalu dengan enggan membelakangiku.
“Ya...
selamat jalan.”
Pertemuan
berikutnya akan terjadi paling cepat setelah tiga puluh jam.
Entah
kenapa, perasaan rindu ini terasa sangat menyiksa, mungkin
karena kami sedang menikmati hari-hari manis bersama.
Atau
mungkin karena aku menyadari kemungkinan perpisahan selama beberapa tahun yang
mungkin akan datang.
Sambil
menatap pintu depan yang tertutup setelah Luna menghilang, aku tidak bisa
bergerak untuk sementara waktu.
“…………”
Tiba-tiba,
aku menyadari sensasi ketidaknyamanan
di sekitar bibirku dan menggosokkan bibir atas dan bawah.
Sensasi
kesemutan ini terasa familiar.
Pada saat
itu, suara getaran dari smartphone di atas meja memecah keheningan.
Setelah
bergerak untuk melihat smartphone, aku melihat pesan dari Luna.
[Ryuuto,
maaf! Hari
ini saat berdandan sambil berpikir, jadi aku
tanpa sadar memakai lip maximizer. Bibirmu terasa kesemutan, kan?]
“Ah...”
Benar,
itu ketidaknyamanan yang aku rasakan. Aku
teringat saat kami berdua sedang melihat-lihat tempat
tinggal. Sensasi kesemutan setelah ciuman di dalam lemari
itu sama.
[Tidak
apa-apa. Hati-hati di jalan.]
Setelah aku mengirim pesan itu, Luna segera
membalas.
[Mungkin lebih baik untuk segera menghapusnya dan
memakai pelembap bibir!]
Setelah
membalas pesan itu dengan “Baik,
terima kasih,” aku
masih tidak berusaha menyeka bibirku
untuk sementara waktu.
Aku ingin
merasakan kehadiran Luna.
Biarkan
saja tetap terasa pedih.
Aku ingin
merasakannya hingga ke dalam hatiku.
Jika aku
berada di tempat yang jauh terpisah di seberang
lautan, aku takkan bisa
merasakan rasa sakit ini.
◇◇◇◇
Malam
itu, aku tidur lebih awal dari biasanya.
Ketika aku sedang sendirian, makan dan mandi bisa
selesai dengan cepat, jadi tidak ada kegiatan yang
bisa dilakukan. Luna
dan aku sering menonton film bersama sebelum hari libur.
Kami
duduk berdampingan di sofa, menyiapkan popcorn dan minuman bersoda untuk menciptakan suasana.
Jika
filmnya panjang, kadang-kadang aku tertidur di tengah jalan, atau saat
berdekatan, kami mulai berciuman dan menjadi tidak fokus pada film, sehingga
harus menonton film yang sama lagi di lain hari.
Aku belum
pernah menonton film sebanyak ini sepanjang
hidupku, tetapi karena Luna memilih film-film terkenal
dan klasik, aku mulai berpikir bahwa menonton film itu menyenangkan.
Namun,
aku tidak merasa ingin menontonnya sendirian.
Layanan
streaming yang Luna langgani bisa diakses, jadi aku
masih bisa menontonnya sendirian jika aku mengoperasikan remote
TV.
Setelah
berbaring, aku memutar video terbaru KEN di smartphone, tetapi tanpa sadar, ada banyak anak-anak yang tidak
kukenal muncul, dan aku menjadi lelah hanya mengingat nama dan avatar mereka.
Ternyata tanpa kusadari, aku sudah tidak bisa
mengikuti video KEN lagi.
Tempat
tidur double terasa terlalu luas saat aku sendirian.
Karena
cuaca belakangan ini semakin lembap, alas
pendingin yang aku pasang membuat tempat tidur terasa semakin dingin. Karena itulah, tidurku
menjadi tidak nyenyak, dan saat fajar, aku terbangun untuk buang air
kecil.
Di luar
sudah tampak terang, cahaya samar masuk dari tirai, dan ruangan tidak
sepenuhnya gelap. Karena terlalu malas
menyalakan lampu, jadi aku
langsung pergi ke toilet.
Saat
kembali ke kamar tidur, aku berjalan dengan langkah goyah dalam kegelapan.
Dan
kemudian, aku tanpa sengaja menginjak sesuatu.
“Aduh...!”
Itu
adalah kaki meja Luna. Kami berdua sama-sama
masih mahasiswa, jadi di sudut ruang tamu ada meja untuk masing-masing. Meja Luna
lebih dekat dengan kamar tidur, dan aku tersandung kakinya.
Dampak
dari itu membuat barang-barang di meja Luna jatuh.
“Ah...
maaf...!”
Meskipun
tidak ada Luna, aku
secara otomatis meminta maaf sambil mengambil barang-barang yang jatuh. Saat mengambil salah satu barang,
aku merasakan ketidaknyamanan dan menatapnya.
Itu
tampak seperti potongan kardus. Ukurannya seukuran papan kamaboko, seola-olah itu sengaja dipotong.
“…Apa
ini?”
Kupikir itu
sampah, jadi aku hampir membuangnya ke tempat sampah, lalu tanpa sengaja
membaliknya.
Yang
menarik perhatianku adalah
tulisan [Kashima Luna]. Tulisan
tangan dengan
huruf tipis seolah ditulis dengan pensil mekanik.
Setelah melihat
itu, aku jadi teringat. Tak lama setelah kami mulai tinggal
bersama, Luna menulis nama pernikahannya
di kardus.
──Mungkin aku harus memotongnya dan menyimpan ini.
Aku juga
teringat Luna yang mengatakannya sambil bercanda.
“……Ternyata
kamu benar-benar menyimpannya……”
Dia
sengaja memotongnya dengan gunting.
“……Luna……”
Aku
berdiri sendirian di ruangan dan
menatap tulisan yang ada di
kotak kardus itu.
Jika dilihat
seperti ini, rasanya seperti papan nama.
──……Entahlah,
banyak yang bilang soal nama keluarga yang berbeda setelah menikah, ‘kan? Tapi aku tetap mengaguminya, menjadi
nama keluarga orang yang aku cintai……
──Kashima Luna…… ya.
Saat
mengingat ekspresi Luna yang
tersenyum dengan pipi memerah, hatiku diliputi
perasaan sesak.
Aku tidak
bisa membayangkan kalau aku tidak bisa melihat senyumnya yang begitu selama
bertahun-tahun.
Setiap
malam menaiki tempat tidur yang tidak dihangatkan oleh Luna, dan menatap langit-langit sendirian sembari memejamkan mata.
Aku tidak
bisa membayangkan bahwa malam seperti ini akan berlangsung selama ratusan hari!!!
“…………”
Sembari memegang
erat papan nama kardus dan merasa kalau aku tidak sanggup menahan perasaanku lagi, aku melihat smartphone yang
terhubung dengan kabel di samping tempat tidur.
Jam menunjukkan
pukul enam. Kereta sudah mulai beroperasi.
Aku akan
pergi menemuinya.
Aku akan
menyampaikan perasaanku sekarang kepada Luna.
Dengan pemikiran itu, aku sudah sepenuhnya
terjaga dan mulai bersiap-siap
dengan terburu-buru.
◇◇◇◇
Aku tiba di stasiun terdekat rumah
Sayo-san di Chiba sekitar pukul sepuluh pagi.
Aku
datang sampai sejauh ini secara impulsif, tetapi jika aku pergi ke rumah Sayo-san sekarang, aku akan mengganggu momen interaksi
antara cicit dan nenek buyut.
Tentu saja,
aku tidak memberi tahu Luna bahwa aku akan datang
kemari. Sejak pesan selamat malam kemarin, aku juga
tidak menerima kabar dari Luna.
Meskipun sedang berada di depan stasiun, aku tidak menjumpai adanya keramaian seperti di
depan stasiun Tokyo. Namun, aku memilih jalan yang tampak sedikit ramai dan
berjalan-jalan di pagi hari.
Aku berjalan
menyusuri jalan yang jarang ada penduduknya, sambil
melirik toko-toko kecil yang dikelola secara pribadi, toko daging dan toko
sayur yang sedikit mengingatkanku pada masa lalu.
Pandangan
mataku tiba-tiba tertuju pada sebuah toko yang
memiliki suasana sedikit berbeda dari toko lainnya. Toko tersebut memiliki kaca bergaya barat, jadi kupikir
itu mungkin salon kecantikan atau toko kue. Di dalam
toko itu terdapat berbagai aksesori dan barang-barang kecil
yang dipajang.
Aku
merasakan sensasi déjà vu
dengan suasana display tersebut dan berhenti sejenak di depan toko.
Di pintu
masuk toko, terdapat papan kayu putih yang tertulis:
Toko
Aksesoris Buatan Tangan dan Batu
Alam: Artemis
“Aksesoris buatan tangan……”
Tiba-tiba,
aku teringat pada stan di festival musim panas yang pernah aku kunjungi.
Suasana
aksesoris batu alam berwarna-warni yang
disusun di atas kain dengan warna lembut sangat mirip dengan stan itu. Meski aku hanya meliriknya secara sekilas,
tapi aku masih mengingat kesan aksesori yang stylish
dan menyenangkan saat itu.
Meski aku
tidak menyangka hal itu mungkin terjadi, aku merasa jika memang demikian, maka
itu pasti takdir. Jadi, aku memberanikan
diri dan masuk ke dalam toko.
“Selamat
datang!”
Orang
yang duduk di belakang kasir berdiri dan menyapaku. Dia adalah seorang wanita
muda yang tampak stylish. Aku merasa sepertinya aku mengenalnya.
“……Umm, aku minta maaf jika aku salah, tapi……”
Biasanya aku
bukan tipe yang banyak bicara dengan pegawai toko, tetapi aku memberanikan diri
untuk bertanya.
“Apa
Anda pernah berjualan di festival musim panas?”
“Ah,
iya,
betul!”
Pegawai
itu mengangguk dengan terkejut.
“Di
festival musim panas Obon, selain stan makanan
biasa, ada zona untuk orang-orang yang memiliki toko lokal, dan aku
berpartisipasi di sana setiap tahun.”
Ternyata memang benar. Ingatanku tidak sepenuhnya
hilang.
“Lima
tahun yang lalu, aku pernah
membeli cincin sebagai hadiah untuk pacarku di stan itu.”
Aku
merasa senang dan tersenyum saat mengatakannya.
“Begitu
ya! Terima kasih banyak!”
Pegawai
itu mengucapkan terima kasih dengan mata yang bersinar.
“……Aku
ingin memberikan hadiah lagi untuk pacar yang sama……”
Sambil
berkata demikian, aku mengalihkan pandanganku ke
arah aksesoris
yang dipajang di dalam toko.
“Aku
sudah memberikan batu bulan sebagai batu kelahirannya, jadi aku bingung harus
bagaimana……”
“Batu
bulan, berarti dia lahir di bulan Juni, ya?”
Pegawai
itu juga datang mendekatiku dan melihat produk
bersama.
“Apa
Anda tahu? Batu kelahiran itu tidak hanya satu untuk setiap bulan.”
“Eh,
benar begitu?"
Aku
terkejut, dan pegawai itu mengambil satu cincin dari rak dan menunjukkannya kepadaku.
“Bagaimana
dengan yang ini?”
◇◇◇◇
Masih
belum banyak orang di tepi pantai
pada bulan Juni.
Dari
jauh, aku bisa melihat sosok peselancar yang terlihat sepanjang tahun, dan
karena ini sebelum pembukaan pantai, tidak ada bayangan orang lain di pinggir laut.
Hari
libur membuat pantai sedikit ramai, tapi semua orang sepertinya datang untuk
berjalan-jalan seperti diriku, tidak
ada yang berhenti untuk melakukan sesuatu. Matahari tidak bersinar sepenuhnya
karena tertutup awan, tetapi setidaknya tidak turun
hujan, jadi cuacanya
cukup baik untuk waktu seperti ini. Ketika aku bergerak sedikit, udara terasa
hangat dan aku berhati-hati agar pasir tidak masuk ke dalam sepatu.
Kemudian,
aku menemukannya. Rumah pantai Mao-san [LUNA
MARINE]. Sepertinya masih dalam proses
pembangunan, tetapi papan namanya sudah terpasang dan bagian dek putihnya juga
sudah selesai. Saat mendekati dek, aku teringat restoran yang pernah aku kunjungi di American Village
di Okinawa. Sewaktu menikmati makanan di teras bersama Luna, aku berpikir bahwa tampilannya terlihat mirip dengan [LUNA MARINE], dan jika melihatnya dari sudut pandang ini,
suasananya memang serupa.
──Aku
senang bisa berada di sini bersama Luna…
──Aku
harap kamu tidak perlu memikirkan apapun lagi. Tentang masa lalu. Tentang masa
depan yang terlalu jauh…
──Aku,
hari ini… meskipun aku mati di sini… aku merasa
bahagia. Karena bisa bersama Luna.
──Mulai
sekarang… mari kita hargai masa 'sekarang'
yang bisa kita nikmati berdua.
Mengingat
apa yang aku katakan kepada Luna saat itu, aku menyadari bahwa apa yang ingin
kusampaikan padanya sekarang tidaklah salah.
“Eh?
Ryuuto…!?”
Pada saat
itu, aku mendengar suara orang memanggil namaku dari
belakang. Itu suara Luna.
Ketika aku menoleh, Luna melihatku dengan wajah terkejut. Aku juga pasti
memiliki ekspresi yang sama.
“Eh,
serius, kamu datang!? Tapi aku
tidak dapat kabar apapun…!?”
Luna
dengan panik mengeluarkan ponselnya, dan aku hanya mengangguk canggung, “U-uh, ya.”
“…Aku
merindukanmu, jadi aku datang untuk menjemput.
Aku berencana untuk menghubungimu sebentar lagi…”
“Begitu ya…!”
Luna
tersenyum simpul karena bahagia.
“Aku
baru saja selesai sarapan dan berbicara dengan Nenel
Sayo tentang 'pembukaan rumah pantai'…
jadi aku penasaran bagaimana keadaan rumah pantai, dan datang untuk
berjalan-jalan.”
Dia
berkata sambil menatapku dan tersenyum.
“Aku tidak
menyangka bisa bertemu Ryuuto di sini…”
“Aku
juga terkejut dan tidak menyangka Luna akan
datang kemari.”
“…Kejadian seperti ini jadi mengingatkanku pada
liburan musim panas kelas dua SMA, ya.”
“Iya,
benar.”
Kami
saling bertatapan dan tertawa ringan.
“Waktu itu
juga rasanya sangat menyenangkan. Aku bisa bekerja paruh waktu berdua dengan
Ryuuto.”
“Apalagi itu
adalah pekerjaan paruh waktu pertamaku dalam hidupku.”
“Aku
juga!”
Luna mengatakannya dengan nada ceria, lalu
tiba-tiba dia tersenyum
dan mendongakkan dagunya.
“Kalau
dipikir-pikir, kita sudah melakukannya, ya. ...Melakukan
hal-hal pertama bersama-sama.”
Luna yang
terlihat senang dan malu-malu membuatku tersenyum kembali.
“Mulai
sekarang, mari kita menjalani kehidupan seperti itu. ...Di samping satu
sama lain.”
Saat Luna
melihatku dengan tatapan heran mendengar kata-kataku yang terakhir, aku membuka
mulutku dengan penuh tekad.
“Lagipula,
aku ingin Luna selalu berada di sampingku.”
“Ryuuto...
aku juga ingin berada di sisimu...”
“Jadi,
jika Luna lulus dan segera menjadi pengasuh di Jepang... aku juga akan mencari
pekerjaan di Jepang.”
Pandangan
mata Luna terbelalak dan terdiam.
“Jadi,
aku ingin kita menikah setelah lulus.”
Inilah
kesimpulanku yang sudah kupikirkan
sejak semalam.
“Umm...
aku memang ingin menikah, tapi tunggu
sebentar!”
Luna
memberikan isyarat ‘tunggu’ seolah-olah tidak bisa memahami perkataanku.
“Apa
maksudnya dengan mencari pekerjaan di Jepang? Apa kamu akan
bekerja di perusahaan yang bukan milik Fujinami-san?”
Aku hanya
mengangguk diam.
“Kamu belum
mendapat tawaran pekerjaan yang pasti di perusahaan Jepang, ‘kan?”
“Mulai
sekarang aku akan mencari pekerjaan.”
“Berharap
jadi editor?”
“Aku juga
akan memikirkan hal itu ke
depannya... tapi karena aku mulai terlambat, sepertinya aku tidak bisa terlalu
memilih-milih jenis pekerjaan.”
Saat melihat
upaya Kurose-san yang bercita-cita jadi
editor, aku menyadari bahwa menjadi editor untuk lulusan
baru itu sangat sulit.
“Tapi,
aku pasti akan menemukan pekerjaan apapun... Pekerjaan adalah bagian dari kehidupan, bukan seluruh kehidupan itu sendiri. Jika dipikirkan,
sepertinya aku tidak
perlu terlalu berat memikirkannya.”
Bahkan Icchi pun terpaksa bekerja, ia mulai melakukan pekerjaan fisik
yang tidak biasa baginya, dan aku pikir manusia bisa melakukan apapun demi
bertahan hidup.
“Aku
telah memikirkan apa yang benar-benar penting dalam hidupku. Aku menyadari
bahwa yang paling penting bagiku adalah... Luna yang
tersenyum di sampingku, hari ini dan besok.”
“Ryuuto...”
Luna
tersenyum bahagia.
“Aku
juga... aku juga berpikir begitu. Ryuuto adalah orang
yang terpenting di dalam
hidupku.”
Setelah
mengatakannya, ekspresinya sedikit rumit.
“Tapi...
maaf. Aku sedikit bingung.”
“Apa
maksudmu?”
Ketika
aku bertanya balik, Luna
membuka mulutnya dengan ragu.
“Aku...
terus-menerus memikirkan apakah aku bisa terpisah dari Ryuuto selama beberapa
tahun... Jadi, aku sama sekali tidak membayangkan kamu akan mengatakan hal
seperti itu... Aku pikir kamu sudah memutuskan untuk pergi ke Indonesia.”
“...Aku
juga memikirkan kemungkinan tentang
hidup terpisah.”
Aku
mungkin terlalu bergantung padanya.
Meskipun begitu, aku berpikir Luna pasti akan datang bersamaku.
Kemarin,
ketika Luna mengungkapkan tekadnya untuk menungguku
di Jepang, aku baru bisa membayangkan kehidupan terpisah darinya dengan nyata. Dan, aku merasakan penolakan yang
kuat terhadap hal itu.
“…Mengenai pekerjaan, sejujurnya… aku merasa pasti ada
orang lain yang bisa menggantikanku. Aku sendiri juga tidak
tahu apakah aku benar-benar cocok dengan pekerjaan ini, aku harus mencobanya
untuk mengetahuinya.”
Luna
mendengarkan dengan seksama.
“Namun,
berkat semangat Fujinami-san lah yang membuatku ingin
menjadi editor.”
Aku
teringat sosok Fujinami-san yang berbicara penuh semangat di lounge hotel
beberapa hari yang lalu.
“Fujinami-san
mempercayaiku... Si Editor
yang sangat kompeten dan pernah menangani karya anime besar, Fujinami-san
mengatakan berkali-kali bahwa aku 'cocok jadi editor'... dan untuk itu,
aku ingin berusaha sekuat tenaga, dan akhirnya menemukan 'pekerjaan yang
ingin kulakukan'.”
Selain
itu, ketika membantu Raion-san dalam menulis lirik dan
mengoreksi LINE Kujibayashi-kun, membuatku mulai berpikir bahwa “mungkin aku memang cocok”.
“Jadi
sekarang, aku hanya tidak ingin menjadi editor saja, tapi aku juga ingin bekerja di bawah
Fujinami-san dan mendapat bimbingannya... Sebaliknya, jika aku ingin
mencari pekerjaan biasa di Jepang untuk jadi editor, aku tidak memiliki
semangat seperti Kurose-san.”
Sambil
memastikan perasaanku sendiri,
aku mengungkapkan pikiran jujurku kepada Luna.
“Jika
ada jenis pekerjaan yang kuinginkan sampai-sampai
harus membuatku bersujud untuk memohonnya, kurasa
aku sudah mencarinya sendiri... tetapi dalam hidupku sejauh ini, aku tidak
menemukan pekerjaan seperti itu.”
Melihat
wajah Luna yang cemas, aku segera melanjutkan.
“Tapi,
jika aku benar-benar serius mencari pekerjaan, mungkin aku bisa menemukan
perusahaan seperti itu, dan aku berencana untuk mencarinya.”
Setelah mendengar itu, Luna yang sebelumnya
mendengarkan dengan seksama, menunjukkan senyum kecil.
“…Tapi,
aku merasa Ryuuto tidak cocok untuk aktivitas seperti itu.”
“Eh?”
“Ryuuto, kamu sama sekali tidak percaya diri.
Jika menemukan perusahaan yang ingin dimasuki, sepertinya kamu akan berkata, 'Jika
tidak memberatkan, tolong pekerjakan
aku...'”
“…Y-Ya, benar...”
Dia
sangat memahamiku. Seperti
yang diharapkan karena kami sudah bersama lebih dari lima tahun.
“…Aku
menyukai bagian itu darimu, Ryuuto.”
Setelah
tersenyum, dia melanjutkan, “Ah.”
“Bagian
itu 'juga'?”
Dengan
tawa kecil, Luna tiba-tiba menjadi serius.
“…Tapi,
apa kebaikan Ryuuto itu bisa dipahami dalam pencarian kerja?”
“Eh?”
“Menurutku, para pencari kerja yang menarik perhatian dengan berkata,
'Biarkan aku melakukannya!' atau 'Aku ingin pekerjaan ini!' mungkin
lebih diuntungkan, bukan? ...Sama seperti cinta.”
Setelah
mengatakannya, wajah Luna sedikit murung.
“Sampai
kelas dua SMA, aku tidak punya pandangan yang baik tentang orang-orang yang
mengurus personalia, jadi aku hanya memilih pacar yang seperti itu. Karena aku
sudah mengatakan ini, aku berpikir mereka pasti akan menghargaiku, tetapi
kenyataannya sangat berbeda.”
Melihat
senyum getirnya, hatiku
masih terasa sedikit sakit.
Karena
itulah, aku semakin ingin menjaga dan
melindunginya.
“Aku merasa kalau hal yang sama juga berlaku pada
perusahaan juga. ...Aku percaya bahwa HRD perusahaan besar lebih memiliki
pandangan lebih luas dibandingkan
aku yang dulu. Tapi, karena banyaknya pencari kerja, jika tidak ada yang bisa
mempromosikan diri dengan baik, mereka akan tenggelam, bukan?”
“Itu
mungkin benar...”
“Jadi,
sebagai pacarmu, aku
sangat senang karena Fujinami-san mengundang Ryuuto setelah memahami sifat dan
kemampuan Ryuuto dengan baik.”
Luna
tersenyum dan berbicara dengan tenang, aku yakin dia benar-benar merasakannya.
Kehangatan itu membuat hatiku bergetar.
“Aku
ingin Ryuuto bekerja di tempat yang bisa menghargai kelebihan Ryuuto dan
memberinya penilaian yang tepat.”
“…………”
Aku juga
berharap bisa bekerja di perusahaan seperti itu. Namun, saat ini hanya
Fujinami-san yang memiliki perusahaan seperti itu, dan itu berarti aku harus
pergi ke Indonesia.
“Jadi,
meskipun sangat disayangkan...
tapi...”
Setelah
menundukkan kepala, Luna mengangkat wajahnya dan menatapku.
“Aku
benar-benar senang Ryuuto menganggapku
lebih penting daripada pekerjaan. Sungguh...!”
Dengan
senyuman cerah itu, hatiku terasa lembut dan hangat.
“Aku
sangat senang. Sebenarnya, aku merasa sedikit kesepian sampai saat ini.”
“Luna
juga?”
“Ya...
Kemarin, setelah lama tidak bertemu Ryuuto, aku tidur sendirian di lantai dua
rumah Nenek Sayo... Ah, aku merindukan
Ryuuto. Jadi, aku datang ke rumah pantai yang penuh kenangan bersamamu.”
Terdengar
suara burung pemangsa dari atas.
Angin laut yang terus berhembus mengingatkanku pada lima tahun yang lalu.
“Terima
kasih sudah menjemputku, Ryuuto.”
Luna
mengatakannya dengan
senyuman yang sangat aku cintai.
“Ayo
kita pulang bersama, ke rumah kita.”
“Ya.”
Dia
memegang tanganku dengan nada bercanda dan kami mulai berjalan di sepanjang
pantai sambil bergandengan tangan.
“Sebelum
itu, gimana kalau kamu
menyapa Nenek Sayo? Kurasa dia akan senang
melihatmu!"
“Jika itu tidak mengganggu, aku tidak masalah.”
“Tentu
saja tidak~! Nenek
Sayo bahkan bertanya, 'Kenapa Ryu-kun tidak datang bersama denganmu?' Dia
pasti akan sangat senang!”
Setelah
itu, kami menyapa Sayo-san, kamu bertiga berbincang tentang
keluarga dan hal-hal ringan, hingga kami diundang untuk makan siang dan
camilan, dan aku pulang ke Tokyo bersama Luna.
◇◇◇◇
Malam
itu, kalian berdua naik ke tempat tidur bersama sebelum tertidur. Luna menggenggam tanganku di
dalam selimut dan menatapku sambil berbisik.
“Mari kita
selalu bersama, ya.”
“Ya...”
Karena hari ini aku bangun pagi terlalu awal, rasa kantuk langsung menyergapku
begitu aku berbaring, dan aku mengangguk berulang
kali kepada Luna dalam
keadaan setengah sadar.
“Aku
sudah memutuskan. Aku tidak akan terpisah dari Ryuuto... Di mana pun dan kapan
pun, selama ada Ryuuto, aku baik-baik saja.”
Setelah
mendengar kata-kata itu, aku tidak bisa memastikan apakah itu mimpi atau
kenyataan, karena aku sudah sangat mengantuk