Chapter 5 — Pertempuran Penentuan
Dalam
turnamen permainan bola baru-baru ini, kelas kami—kelas 1-A Akademi Tenjoin—muncul sebagai
pemenang di divisi putra dan putri. Sebagai hadiahnya, kami menerima tiket ke Wonder
Festival Land, salah satu taman hiburan utama di Jepang.
Dengan
menggunakan tiket ini, aku, bersama dengan Eito dan Otoha, alias “si kucing garong,”
memutuskan untuk pergi bersama.
…Sejujurnya,
aku lebih suka pergi berduaan saja dengan Eito. Tidak
diragukan lagi itu akan
menjadi skenario terbaik.
Namun, demi mengantisipasi tindakan Otoha, aku
mengambil tindakan pencegahan, dan akhirnya diputuskan bahwa kami bertiga akan
pergi bersama. Namun, pada dasarnya, ini
adalah kencan di taman hiburan.
Aku
bisa berkompromi untuk sebagian besar hal.
Namun, ketika menyangkut kencan
di taman hiburan, aku tidak bisa melakukannya
dengan setengah-setengah. Aku menginginkan hasil terbaik.
“Terakhir
kali, aku juga kalah dari Eito...”
Aku telah
mengumpulkan keberanian untuk meminta hadiah, tetapi pada akhirnya, aku dilawan
dan dikalahkan olehnya. Mengingat bahwa para kucing
garong akan terus muncul di masa depan,
aku benar-benar ingin memanfaatkan keuntunganku di sini.
“………”
Setelah
mengatur pikiranku dan menenangkan diri, aku mengambil smartphone-ku. Tepat saat aku hendak
menelepon, ada
panggilan masuk. Nama di layarnya bertuliskan Habataki Otoha. Aku hendak
meneleponnya, tetapi aku tidak pernah menyangka dia akan meneleponku terlebih
dahulu.
“Ada
apa? Bukankah sebaiknya kamu
tidur lebih awal untuk mempersiapkan diri besok?”
“Kita
perlu bicara. Kupikir kamu
juga memikirkan hal yang sama.”
“...Begitu ya. Aku baru saja akan
menghubungimu juga.”
Rupanya,
dia tidak berniat menuruti begitu saja dengan
rencanaku.
“Kencan
besok. Kita berdua ingin menghabiskan waktu berdua dengan Eito.”
“...Baiklah.
Tapi akulah yang akan menetapkan aturannya.”
“Itulah
yang ingin kulakukan. Mari kita mulai dengan—”
Setelah
itu, kami bertukar pendapat dan menyelesaikan aturannya.
Tentu
saja, aku telah mempersiapkannya terlebih dahulu, tetapi sepertinya Otoha juga
telah membuat rencana liciknya sendiri. Butuh waktu kurang dari lima menit
untuk menyelesaikan semuanya.
“...Aku
sudah mengirimkan aturan tertulisnya. Tolong konfirmasikan.”
“...Aku sudah mengonfirmasinya. Tidak ada masalah.”
“Sekarang
satu-satunya yang tersisa adalah memutuskan siapa yang akan mulai duluan.”
“...”
Keheningan
sesaat. Dalam pikiranku, aku membayangkan dua samurai saling berhadapan, pedang
terhunus, masing-masing menunggu yang lain untuk melakukan gerakan pertama.
“...Mari
kita putuskan pada hitungan ketiga.”
“Setuju.”
“Satu,
dua...”
“Pertama.” “Kedua.”
Ada keheningan sejenak lagi. Tapi ini tidak
seperti yang sebelumnya, di mana kami mengukur niat masing-masing. Rasanya
lebih seperti Otoha mencoba menguraikan alasanku.
“Ya
ampun. Apa kamu saking terkejutnya karena aku membiarkanmu memulai duluan?”
“Tidak
juga. Hoshine cenderung berpikir dia menyerang tetapi akhirnya malah bermain bertahan.”
“………………………………”
Beberapa
hari yang lalu, kupikir aku berhasil
melakukan gerakan berani, yang mana justru
berakhir di bawah belas kasihan Eito berkat salah satu triknya.
“...Yah.
Kurasa begitu? Mungkin aku hanya sedikit saja memutar otakku sampai sekarang.”
“Sedikit
...?”
“Hei,
jangan mengangkat alis ke arahku."
Tidak
diragukan lagi, dia memiringkan kepalanya dengan cara yang menggemaskan,
wajahnya yang cantik berseri-seri karena rasa penasaran.
Aku bisa membayangkannya dengan gampang,
betapa menawan dan cantiknya ekspresinya.
“Maaf kalau aku memupuskan harapanmu, tapi
aku selalu di depan. Selalu memimpin jalan.”
“Jika
kamu bilang
begitu.”
Ada
sedikit keberanian dalam kata-kataku, tapi itu tidak sepenuhnya tidak berdasar.
Sampai
sekarang, aku telah mencoba berbagai cara untuk mendekati Eito. Namun semuanya
berakhir dengan kegagalan—atau lebih tepatnya, aku dikalahkan. Itulah sebabnya
aku memutuskan untuk mengubah taktikku. Untuk menyesuaikan metodeku.
Jika
menyerang lebih dulu tidak berhasil, maka aku akan dengan sengaja menunggu
kesempatanku dan menyerang dari belakang.
Aku akan
mengambil kendali dengan bergerak sebagai penyerang kedua.
“Ini
pertandingan. Ayo kita melakukannya dengan adil
dan jujur.”
“Aku
tidak menginginkannya dengan cara lain.”
•❅──────✧❅✦❅✧──────❅•
(Sudut
Pandang Eito)
“Eh?
Aku pergi sendiri...?”
“Benar sekali.”
Hari itu
adalah hari saat kami bertiga—Ojou, Otoha, dan aku—seharusnya pergi mengunjungi taman bermain Wonder
Festival Land. Sewaktu
sarapan, Ojou tiba-tiba melontarkan pernyataan tak terduga ini, membuatku
terbelalak kaget.
“Tapi
Ojou, kamu juga sudah menantikan acara
ini, bukan?”
“Jangan
salah paham dulu. Aku
akan bergabung denganmu sore ini... lagipula, aku mengambil giliran kedua.”
“...?
Aku tidak memahami maksudmu,
tapi jika kamu akan
datang nanti, aku akan memberi tahu Otoha-san dan—”
“Tidak
perlu. Aku sudah memberitahu Otoha.”
“Kapan
kamu memberitahunya?”
“Tadi
malam. Hanya sebentar.”
Itu benar-benar
kasus klasik “kapan itu
terjadi?’.
“...Apa?
Anehnya kamu tampak senang sekali.”
“Sama
sekali tidak. Aku hanya merasa senang melihatmu dan Otoha-san akur.”
“……………………"
Dia
memberiku ekspresi yang sangat bernuansa sehingga kata-kata hampir tidak bisa
menggambarkannya.
“Pokoknya,
kamu tinggal pergi ke
tempat pertemuan. Aku akan bergabung denganmu sore ini.”
Dan
dengan itu, di sinilah diriku. Aku meninggalkan kediaman keluarga Tendou terlebih
dahulu dan menuju tempat pertemuan di depan stasiun. Karena hari ini akhir pekan,
tempat itu ramai. Biasanya, tempat ini dipenuhi oleh siswa berseragam, tetapi
hari ini, kebanyakan orang berpakaian kasual.
“...Eito.”
Sebuah
suara lembut seperti lonceng memanggil namaku, dan aku berbalik untuk menanggapinya.
“Selamat
pagi, Otoha-san.”
“Selamat
pagi. ...Dan maaf membuatmu menunggu.”
“Sama
sekali tidak. Aku sendiri baru saja sampai di sini.”
“...
Masih ada satu jam lagi sebelum waktu janjian.
Kenapa kamu datang
sepagi ini, Eito?”
“Ahaha, karena aku sudah menantikan hari ini, jadi
kurasa aku agak terlalu bersemangat.”
“...Jadi kamu sangat
menantikannya, ya.”
“Tentu
saja. Menghabiskan hari libur dengan seseorang sepertimu, Otoha-san? Siapa pun
pasti akan menantikannya.”
Aku meyakini
kalau Ojou juga sama-sama menantikannya.
“....Yeah,
aku juga sudah sangat menantikan bersenang-senang denganmu, Eito.”
“Aku senang
mendengarnya.”
Hari ini,
Otoha-san mengenakan topi dengan gaya rambutnya diikat rapi ke belakang, dan
sepasang kacamata palsu. Meskipun sedang rehat dari kariernya, dia tetap
seorang selebriti. Mungkin itu demi penyamaran.
“Ini pertama
kalinya aku melihatmu mengenakan pakaian kasual sejak akhir pekan itu,
Otoha-san, dan pakaianmu hari ini juga sama memukaunya. Meskipun itu bagian
dari penyamaranmu, kamu berhasil memadukan gayamu yang keren dan canggih dengan
sempurna. Sungguh mengesankan.”
“
... Terima kasih. Itu membuatku senang.”
Dia
tersenyum lembut, ekspresinya terlihat sumrungah
dan hangat. Dia pasti sangat menantikan hari ini. Sayang sekali Ojou memiliki
sesuatu yang
mendesak dan tidak dapat segera bergabung dengan kami. Aku masih tidak tahu apa
masalah yang tiba-tiba itu, meskipun aku mencoba
bertanya padanya.
Jika itu sesuatu yang bisa
kutangani, aku akan dengan senang hati mengurusnya menggantikannya.
“Maafkan
aku. Kurasa kamu sudah
diberitahu, tapi Ojou punya
urusan mendesak hari ini…”
“…Tidak
apa-apa. Lagipula, akulah yang giliran pertama.”
“…?
Uh, begitu…”
Pertama?
Kedua? Ojou dan Otoha-san tampaknya memiliki
semacam pemahaman yang tak terucapkan hari ini. Namun, aku tidak tahu apa
maksud kata-kata mereka.
“Oh,
benar juga. Otoha-san, apa kamu
keberatan menunggu di sini sebentar?”
“Hm?
Ada apa?”
“Ada
sesuatu yang harus kuurus. Aku akan segera kembali.”
“...Baiklah.”
Baiklah
kalau begitu. Pertama, aku harus menghubungi rekan-rekanku yang melayani
keluarga Tendou... Karena Ojou akan bergabung dengan kita di tengah jalan, aku
akan segera mengurus ini dan kembali ke acara jalan-jalan.
•❅──────✧❅✦❅✧──────❅•
(Sudut
Pandang Orang ketiga)
“Hari
ini adalah hari keberuntunganku,”
pria itu terkekeh sendiri dari balik bayangan.
Secara
kebetulan, dirinya berpapasan dan
melihat seorang gadis yang mirip penyanyi wanita pensiunan Habataki Otoha.
Tidak, bukan hanya ‘mirip’.
Instingnya sebagai jurnalis mengatakan demikian. Gadis itu tidak diragukan lagi
adalah Habataki Otoha.
Ketika
dia pertama kali mengumumkan hiatusnya, hal itu menimbulkan kehebohan di
publik. Berita bahwa dia telah pindah ke akademi tertentu dengan cepat menyebar
luas. Dalam
waktu yang singkat, media menyerbu akademi, tetapi
pengungkapan tiba-tiba tentang korupsi seorang politisi mengalihkan perhatian
publik ke tempat lain.
Bagaimanapun,
dunia tidak terlalu tertarik untuk mempertahankan minat pada penyanyi wanita
pensiunan.
Namun,
ada rumor. Gosip yang
menyebutkan bahwa terungkapnya korupsi politisi itu diatur oleh grup Tendou untuk melindungi Habataki
Otoha. Benar atau tidaknya hal ini masih belum jelas, tetapi faktanya grup Tendou memiliki pengaruh yang
cukup untuk menebarkan ketakutan ke seluruh industri.
Pada saat
yang sama, akademi tempat dia bersekolah, Akademi Tenjouin,
juga diliputi oleh berbagai rumor.
Contohnya:
Beberapa
siswa dikatakan memiliki kemampuan yang luar biasa.
Contohnya:
Akademi
itu konon memiliki kekuatan yang sangat besar, cukup untuk memengaruhi dunia
politik.
Bahkan,
rekan-rekannya pun memperingatkannya, “Jangan
terlibat dengan apa pun yang berhubungan dengan tempat itu”. Media
yang mencoba meliput akademi itu sering dianggap sembrono bagi beberapa pihak yang mengetahui kebenarannya.
(Konyol sekali)
Pria itu
meludah dalam hatinya.
Itu
benar-benar kisah yang tidak masuk akal. Hanya satu perusahaan. Hanya satu
akademi. Seberapa besar kekuatan yang sebenarnya bisa mereka miliki?
Pria itu
telah menghancurkan banyak perusahaan dan selebritas melalui artikelnya. Dirinya tidak punya alasan untuk
melakukan itu. Dia hanya menikmati melihat kejatuhan
orang-orang. Melihat orang-orang yang diberkati dengan status, kekayaan, dan
kekuasaan—penuh dengan bakat—direndahkan hingga merangkak di tanah adalah
satu-satunya kesenangannya.
Dirinya tidak pernah ragu untuk
menggunakan cara apa pun yang diperlukan. Memalsukan artikel sudah menjadi sifat yang mendarah daging untuknya.
“Habataki
Otoha sedang hiatus... Mungkin karena dia sedang berpacaran dengan seorang pria?”
Pandangannya
tertuju pada Habataki Otoha yang menyamar dan seorang anak laki-laki muda
dengan fitur yang sangat menawan.
Postur, proporsi, dan perilaku anak laki-laki itu sempurna. Tipe orang yang
sangat dibenci pria itu.
“Tidak,
itu saja tidak cukup... Mungkin penyanyi wanita itu terlalu terikat pada
seorang pria dan menghabiskan kekayaannya untuknya...? Tidak, selama aku
mendapatkan beberapa foto, aku dapat memutarbalikkan cerita sesukaku...”
Pria itu
mencoba untuk menangkap keduanya di kamera—tapi
ia menyadari anak laki-laki itu telah menghilang
entah kemana.
“Hah?
Ke mana dia...?”
Krek.
Suara
seperti sesuatu yang dihancurkan bergema.
“Ap—!?
Ka-Kameraku...!”
Kamera kesayangannya
hancur berkeping-keping, hancur seolah-olah dihancurkan oleh kekuatan yang
sangat besar dalam sekejap.
“Apa-apaan
ini? Apa yang baru saja terjadi!?”
Kemudian
dia menyadari—media penyimpanan yang berisi data itu hilang dari sakunya.
Kemudian
terdengar suara aneh: retak, patah, seperti sesuatu yang keras dihancurkan. Itu
adalah suara aneh dan mengerikan
yang membuatnya ketakutan yang tidak dapat dijelaskan.
Ketika dirinya melihat ke bawah,
pecahan-pecahan media penyimpanannya yang hancur berserakan di kakinya.
“To-Tolong!”
Pria itu
berlari. Dirinya tidak
tahu apa yang membuatnya kabur, tetapi
ia tetap berlari. Rasa niat membunuh yang nyata menusuk kulitnya yang
mendorongnya untuk melarikan diri dengan sembrono.
Dia
berlari.
Dan berlari.
Dan
berlari—
“Gah...!?”
Dampak benturan
tiba-tiba. Tubuhnya terseret ke celah sempit di antara dua bangunan. Dirinya bisa merasakan seseorang
menjepitnya, tetapi wajahnya menempel di dinding, dan ia tidak bisa melihat
penyerangnya.
Cengkeraman
itu seperti catok. Dirinya tidak
bisa menggerakkan kepalanya sedikit pun, tidak peduli seberapa keras dia
mencoba. Keringat, licin dan dingin, mulai merembes dari pori-porinya.
“――――■■■■”
Orang
asing itu membisikkan namanya—nama aslinya.
Mereka
pasti menggunakan modulator suara; Suara itu aneh, tanpa jenis kelamin yang
jelas.
Kemudian
suara itu melanjutkan, menyebutkan alamat rumahnya, nama orang tuanya, lokasi
rumah keluarganya, toko-toko yang sering dikunjunginya, dan bahkan merek
minuman botol yang dibelinya di toserba kemarin.
Setiap
informasi, yang disampaikan dengan sangat rinci, membuat rasa takut yang dingin
muncul dari lubuk hatinya.
“Jauhi Habataki Otoha.”
“...!?”
Saat
kata-kata itu meresap, kesadaran pria itu mulai memudar, perlahan-lahan
menyelinap ke dalam kegelapan.
“...Ini
aku. Ya. Seperti biasa, tolong tangani pembersihannya. ...Tidak, sepertinya ia
tidak secara khusus menargetkan Ojou. ...Mengerti. Aku serahkan padamu.”
Dalam
momen singkat sebelum kehilangan kesadaran, sebuah ingatan muncul. Sebuah
peringatan, yang pernah diberikan kepadanya oleh seorang teman:
“Jangan
terlibat dengan tempat itu.”
—Jangan
pernah mendekati keluarga Tendou. Mereka mempunyai anjing penjaga.
Mengapa
ia mengingat keluarga Tendou sekarang? Dirinya
tidak bisa bahkan menjawab pertanyaan itu saat kesadarannya ditelan seluruhnya
oleh kegelapan.
•❅──────✧❅✦❅✧──────❅•
(Sudut
Pandang Eito)
“Terima
kasih sudah menunggu.”
Setelah
menyelesaikan urusan sepele,
aku segera kembali ke sisi Otoha-san.
“…Apa itu
pekerjaan?”
“Tidak,
bukan,” jawabku.
Otoha-san
tampak meminya maaf.
Meskipun saat ini dia sedang hiatus, dia tetap seorang penyanyi. Mungkin dia
tidak punya banyak kesempatan untuk keluar dan bersenang-senang dengan orang
lain seperti ini.
Mengetahui
seberapa besar dia
menantikan hari ini, aku memberanikan diri untuk melihat jadwalnya sebelumnya.
Hari-harinya sangat padat, tidak menyisakan waktu untuk istirahat santai.
Itulah
tepatnya mengapa aku ingin dia bersenang-senang hari ini. Aku tidak ingin dia
merasa perlu menahan diri atau mengkhawatirkan apa pun.
Jika ada
penyusup yang tidak diinginkan muncul, aku akan menghadapinya. Yang lebih penting, aku tahu Ojou
akan sedih jika ada yang mengganggu temannya.
“Aku
sudah melakukan sedikit persiapan untuk memastikan kamu bisa menikmati hari ini
sepenuhnya,” kataku.
“Persiapan…?”
Otoha-san
memiringkan kepalanya, tampak penasaran
dan menggemaskan. Aku mengulurkan tangan kananku ke arahnya.
Setelah
menunjukkan telapak tanganku yang terbuka dan kosong... Aku membuat bunga kecil
muncul dengan jentikan jariku.
“Ini
dia.”
“...
Wow. Terima kasih,” serunya
dengan lembut, ekspresi keheranan menghiasi
wajahnya.
Otoha-san
menerima bunga itu dengan mata berbinar.
“Ini
bunga favoritku... Bagaimana kamu bisa mengetahuinya?”
“Kamu pernah menyebutkannya dalam
sebuah wawancara majalah, bukan? Aku kebetulan melihatnya di toko di sana.”
“Jadi...
'persiapan' yang kamu
sebutkan adalah trik sulap ini?”
"Ya.
Aku bertekad untuk memastikan kamu
menikmati dirimu sendiri hari ini, Otoha-san.”
Syukurlah.
Salah satu keterampilan yang kupelajari dari Ojou terbukti berguna. Aku senang.
Upaya yang kulakukan untuk meneliti hal-hal untuk membuat Otoha-san bahagia
telah terbayar. Aku senang. Secara kebetulan, aku telah menemukan bunga favorit
Otoha-san di toko terdekat.
“Baiklah,
bagaimana kalau kita pergi sekarang?”
“...
Ya.”
Setelah
bertemu
di tempat pertemuan sesuai
rencana, kami menaiki gerbong
kereta dan menuju Wonder Festival Land.
Perjalanan
dari sini memakan waktu sekitar 30 menit—tidak terlalu lama, tetapi juga tidak
terlalu singkat. Karena sekarang merupakan pagi akhir
pekan, kereta tidak penuh sesak, tetapi masih ada cukup banyak orang.
Untungnya, selain wartawan tadi, tidak seorang pun yang mengenali gadis di
sampingku sebagai Habataki Otoha. Penyamarannya bekerja dengan sempurna.
“Gerbong
ini agak penuh sesak, dan tidak ada kursi yang tersedia... Otoha-san, bagaimana
kalau kita pindah ke gerbong yang tidak terlalu ramai?”
“Tidak perlu, aku tidak masalah di sini. Tapi...
boleh aku berpegangan pada lenganmu saja?”
“Aku
tidak keberatan... Oh, Otoha-san, ada pegangan tangan terbuka di sana.”
“Aku
tidak membutuhkannya. Aku akan berpegangan padamu saja.”
“Kurasa
pegangan tangan itu mungkin lebih stabil…”
“Aku
lebih suka berpegangan padamu.”
“Begitukah?”
Saat aku
memiringkan kepalaku dengan bingung, Otoha-san bersandar padaku.
Mungkin dia tidak suka pegangan tangan kereta. Kalau begitu, aku harus
memastikan untuk menopangnya dengan benar. Hari ini, aku akan berusaha sebaik
mungkin untuk memastikan Otoha-san menikmati dirinya sendiri.
•❅──────✧❅✦❅✧──────❅•
Atraksi-atraksi
itu seakan muncul begitu saja dari halaman buku bergambar.
Taman itu
dipenuhi dengan suara BGM yang menggambarkan suasana dunia. Dari jet coaster
terdengar teriakan yang sesuai dengan reputasinya sebagai salah satu yang
terbaik di dunia. Tokoh-tokoh dalam kostum yang rumit ditampilkan dengan sangat
presisi, menghibur para pengunjung.
“...
Menakjubkan. Rasanya begitu nyata.”
“Otoha-san,
apa kamu baru pertama kalinya mengunjungi taman
hiburan ini?”
“...
Ya, pertama kalinya. Itu sebabnya aku sangat bersemangat.”
Mata
Otoha-san tampak berbinar-binar saat dia melihat atraksi dan
pamflet di sekitarnya.
Sayang
sekali Ojou tidak bisa berada di sini. Jika dia bersama temannya Otoha-san, itu
akan lebih menyenangkan. ... Tidak, tidak ada gunanya memikirkan itu. Ojou
memiliki urusan mendesak yang harus diselesaikan, dan karena itulah,
semuanya terserah padaku untuk memastikan Otoha-san
bersenang-senang.
“Apa
ada tempat yang ingin kamu kunjungi?”
“...
Bagaimana denganmu, Eito? Kamu
baik-baik saja dengan ini?”
“Tolong,
jangan khawatirkan aku. Hari ini tentang memastikan kamu menikmati dirimu sendiri
sepenuhnya!”
“...”
Dan
kemudian itu terjadi.
“—!”
Jari
telunjuk Otoha-san yang pucat dan halus menempel lembut di bibirku.
“...
Semua ini tidak ada gunanya jika
hanya aku saja yang
bersenang-senang.”
Jarinya
tetap berada di bibirku, membuatku agak
kesulitan untuk berbicara.
Jika aku
mencoba mengatakan sesuatu, bibirku mungkin tidak sengaja menyentuh jarinya
yang cantik. Hampir seperti dia telah mengantisipasi hal ini—atau mungkin dia
tidak keberatan jika itu yang terjadi,
mengingat betapa kokohnya jarinya tetap di tempatnya.
“...
Hari ini adalah kencan kita, Eito. Kita harus menikmatinya bersama.”
Benar juga.
Dengan mengambil peran sebagai tuan rumah, aku tidak memudahkan Otoha-san untuk
bersantai dan bersenang-senang. Mengetahui sifatnya yang baik, dia mungkin akan
merasa berkewajiban untuk bersikap perhatian sebagai balasannya.
Ini
kesalahan langkahku. Memikirkan bahwa aku membuatnya menunjukkannya... Sungguh
memalukan. Tidak, aku bisa memikirkannya
nanti. Jika aku tidak mengubah pola pikirku sekarang, aku akan membuatnya
semakin gelisah.
“...Baiklah?”
Saat
Otoha-san melepaskan jarinya, bibirku akhirnya bebas.
“...Kamu benar. Maafkan aku. Aku hampir
saja kembali ke mode kerja lagi.”
“...Memang begitulah dirimu, Eito,
tapi hari ini... tidak, kapan pun kau bersamaku, lupakan pekerjaan. Aku juga
melupakannya.”
Otoha-san
melangkah lebih dekat, berdiri berjinjit untuk mencondongkan tubuhnya. Suaranya
yang lembut, semanis madu, menyentuh telingaku.
“...Hari
ini, aku bukanlah 'Sang Diva’.
Di hadapanmu, aku hanyalah seorang gadis yang
bernama Habataki Otoha.”
Suara merdunya yang memikat jutaan orang,
berbisik begitu intim hingga mengirimkan getaran hangat ke tulang belakangku.
Saat ini, suaranya itu tidak ditujukan untuk
dunia—suaranya itu hanya untukku.
“Eito,
untuk saat ini, lupakan bahwa kau melayani Hoshine dan jadilah... Yagiri Eito
di hadapanku.”
Apa ini
pesona legendaris sang 'Diva'?
Kata-katanya, nadanya, mengalir melalui diriku seperti mantra yang mempesona, membuat tubuhku merasakan sensasi kesemutan
dengan rasa sakit yang menyenangkan.
Sampai
sekarang, aku selalu mengaitkan Otoha-san dengan sesuatu yang halus seperti kehadiran peri. Namun pada saat ini, saat
dia melangkah mundur dengan senyum menggoda dan nakal, dia mengingatkanku pada
iblis kecil yang suka bermain-main. Sisi
keraguannya, yang diharapkan oleh para penggemarnya, aspek lain dari daya
tariknya yang tak terbantahkan.
“Dimengerti.
Jika itu keinginanmu, Otoha-san, aku akan menjadi Yagiri Eito untukmu dan
menemanimu sebagaimana mestinya.”
“...Ya.
Silakan.”
Aku
mengulurkan tanganku, yang diterimanya dengan senyum lembut, jari-jarinya
hangat dan lembut di tanganku.
(...Hanya
Yagiri Eito, ya?)
Gagasan
itu terasa aneh. Sejak hari aku ditinggalkan
oleh keluargaku dan diselamatkan oleh Okou,
dia telah menjadi segalanya bagiku.
Bahkan
sekarang, dan untuk semua hari-hari yang akan datang, aku telah memutuskan
untuk melayani Ojou, mendedikasikan hidupku untuk berguna baginya. Itulah
kehidupan yang telah kupilih untuk dijalani.
…Jadi,
jika kamu melucuti itu dariku,
meninggalkanku sebagai sosok ‘hanya
Yagiri Eito’, apa yang akan tersisa? Aku akan
menjadi apa?
(Aku
harus fokus.)
Apa yang
Otoha-san inginkan hari ini adalah persis seperti itu—"hanya Yagiri Eito.”
Jika itu
yang dia inginkan, maka aku akan memberikan segalanya untuk memastikan dia
menikmati hari ini sepenuhnya.
•❅──────✧❅✦❅✧──────❅•
“Itu
luar biasa! Bunyinya sampai wusss,
lalu boom, lalu bang...!”
Setelah
selesai menaiki roller coaster yang terkenal di dunia, Otoha-san terlihat sangat bersemangat.
Deskripsi
yang sarat onomatope? Yah, perilaku yang begitu
khas dari Otoha-san—tipe orang yang terlahir polos dan intuitif.
Aku mengingat saat latihan basket, dia
pernah berkata, “Umpannya terlalu
cepat. Kamu harus
membuatnya lebih 'mencengkeram' lalu 'swish' agar aku bisa
menangkapnya”. Dan Ojou,
yang juga didorong oleh intuisi, menjawab, “Apa
maksudmu? Aku hanya perlu 'menjentikkan', dan kamu bisa 'memukulnya' balik,
kan?”
Ngomong-ngomong,
mari kesampingkan itu.
Bukannya
aku tidak mempersiapkan diri untuk hari ini. Mengetahui seberapa pentingnya bagi Ojou dan
Otoha-san untuk bersenang-senang, aku sudah melakukan riset tentang Wonder
Festival Land.
Aku
bahkan membuat rencana cadangan, untuk sekedar berjaga-jaga.
Ternyata usaha itu membuahkan hasil. Kami sudah melewati beberapa atraksi,
dan sepertinya Otoha-san sangat menikmatinya.
“Sekarang sudah hampir jam makan siang. Ayo
kita pergi ke satu atraksi lagi, lalu kita bisa makan. Ojou akan segera
bergabung dengan kita juga.”
Yup.
Tepat waktu. Aku sudah merencanakan wahana berikutnya dan memilih tempat untuk
makan siang.
“…
Hampir jam makan siang…”
“Apa ada sesuatu?”
Otoha-san,
yang tadinya sangat bersemangat, tiba-tiba membeku di tempat.
“… Eito, selanjutnya aku ingin pergi ke tempat yang ini.”
Dia
menunjuk ke sebuah tempat di peta taman hiburan yang tercetak di pamflet. Itu
adalah atraksi terbaru yang baru saja dibuka tahun lalu—rumah hantu bernama The
Cursed Manor.
“Oh, atraksi ini? Apa kamu tertarik dengan sesuatu yang seperti ini, Otoha-san?”
“… Ya.
Aku sangat tertarik.”
“Atraksi
ini memang yang paling
populer.”
“… Aku
tahu. Terutama dengan pasangan—konon katanya iru sangat
populer.”
Sepertinya
dia sudah mengerjakan pekerjaan rumahnya tentang atraksi ini sebelumnya.
Otoha-san pasti sudah sangat
menantikan hari ini.
“Baiklah.
Ayo kita langsung ke sana.”
Untungnya,
rumah hantu yang kami tuju dekat dengan area tempat kami berada. Lebih beruntungnya lagi, kami
berhasil masuk saat kerumunan sedang sepi, jadi waktu tunggu kami sangat
singkat.
Daya
tariknya sendiri sederhana: sepasang pengunjung menemukan diri mereka tersesat
di sebuah rumah bergaya Barat dan harus melewatinya untuk mencapai pintu
keluar.
Namun,
makhluk-makhluk di dalamnya dibuat dengan sangat detail, dan efek sensorik yang
dimungkinkan oleh teknologi terkini juga patut
diacungi jempol.
Bahkan
ada peringatan bahwa tempat ini tidak direkomendasikan bagi mereka yang
memiliki riwayat penyakit jantung dan sejenisnya.
Namun karena Otoha-san telah menelitinya sebelumnya dan menyatakan minatnya, aku
berasumsi dia percaya diri dalam menangani horor.
“Apa
kamu menikmati hiburan horor
semacam ini, Otoha-san?”
“...Tidak
sama sekali. Bahkan, aku tidak suka dengan itu.”
……………………Apa?
“Be-Begitukah?
Karena kamu bilang ingin datang ke sini, kupikir kamu menyukai hal semacam ini...”
“...
Aku benar-benar tidak menyukai horor.
Jadi, Eito, maukah kamu melindungiku?”
Saat dia
berbicara, Otoha-san bersandar ke lenganku, dan merangkul lenganku.
Bagi
orang luar, kami mungkin terlihat seperti sepasang kekasih—sesuatu yang dapat
dengan mudah menyebabkan kesalahpahaman.
“Um...
Aku tidak keberatan, tetapi jika kamu
benar-benar tidak menyukainya,
mungkin kita harus keluar sekarang—”
“...
Tidak perlu. Aku akan baik-baik saja.”
“Be-Begitu
ya.”
Tetap
saja, kedekatan ini... agak berlebihan. Aku tahu betul bahwa aku tidak boleh
memikirkan hal-hal yang tidak pantas tentang teman Ojou. Tetapi Otoha-san, yang sudah
berkembang dengan baik seperti dirinya, membuat kedekatannya sangat
mengganggu...
“...
Eito, bagaimana menurut pendapatmu?”
“Pendapatku...
tentang apa?”
“...
Tentang dadaku. Aku yakin itu sama bagusnya dengan Hoshine, bukan?”
“………………………………”
Aku harus menjawab apa untuk pertanyaan semacam itu?!
Sensasi kenyal yang kurasakan melalui
lenganku tentu saja menunjukkan bahwa dia sebanding dengan Ojou, Dari segi
volume... Tidak, tidak, tidak, tidak, tidak! Apa sih yang
sedang kupikirkan?!
“...Selain itu, aku berusaha keras untuk
mengenakan celana dalamku hari ini.”
“I-Itu...
senang mendengarnya...”
Kenapa
dia terdengar sangat bangga akan hal itu?!
“Jadi,
kita bisa terus maju, ya?”
“...Ya.
Semuanya baik-baik saja.”
Tapi
serius... kenapa dia memilih untuk datang ke tempat wisata horor yang tidak dia
sukai?
...Tunggu
sebentar. Tempat wisata ini sangat populer di kalangan pasangan.
Dan
Otoha-san memilih untuk datang ke sini bersamaku. Dia secara khusus memintaku untuk ke sini... Aku mengerti sekarang.
Setelah menghubungkan semua petunjuk,
hanya ada satu kemungkinan kesimpulan.
(Otoha-san
mencoba mengatasi rasa takutnya...!)
Jika
memang begitu, semuanya masuk akal. Tempat wisata ini membutuhkan pasangan. Dia
tidak ingin terlihat rentan di depan temannya, Ojou. Masuk dengan orang asing
tidak akan terasa aman, dan terlebih lagi, Otoha-san adalah seorang selebriti.
Jika dia
mengantre sendirian, Dia akan menarik perhatian yang tidak diinginkan.
Di
situlah aku berperan. Dengan menemaninya sebagai rekan pria, kami membaur di
antara pasangan itu, memungkinkannya untuk fokus sepenuhnya pada penaklukan
rasa takutnya tanpa khawatir.
(Menggunakan
hari liburnya
untuk mengatasi kelemahannya sendiri... Otoha-san benar-benar orang yang sangat ulet.)
Tentunya
dedikasi yang sama inilah yang membantunya mendapatkan gelar [Diva].
Mungkin
dorongan bersama untuk memperbaiki diri ini adalah bagian dari alasan mengapa
dia dan Ojou sangat akur.
“Aku mulai
memahaminya sekarang. Otoha-san, aku lebih dari senang untuk
membantumu dengan ini!”
“...Aku
merasa kamu salah paham dengan sesuatu,
tapi tentu saja. Ayo kita lanjutkan.”
Dan
kemudian, Otoha-san dan aku berjalan bersama-sama ke rumah besar yang
remang-remang.
Interiornya
sangat realistis—sedemikian realistisnya sehingga jika kamu menutup mata
seseorang dan membawanya ke sini, mereka mungkin sepenuhnya yakin itu nyata.
Lantai
papan yang berderit dan sensasi samar udara dingin menambah suasana yang
menakutkan. Musik latarnya seimbang sempurna, alunannya
begitu mendalam hingga membuatmu lupa bahwa ini hanyalah
sebuah wahana atraksi.
“…”
Otoha-san
yang berjalan di sampingku tidak terlihat
begitu ketakutan. Namun, dia masih berpegangan
erat pada lenganku. Dia pasti sedang menekan rasa takutnya. Aku harus tetap
tenang untuk membantunya.
Mengagumi
tekadnya untuk mengatasi rasa takutnya, aku menuntunnya masuk lebih dalam ke dalam rumah
besar itu.
------ kreakk... kreakk... kreakk...
Bunyi
samar bergema dari kegelapan di depan. Ada sesuatu yang bergerak.
Dekorasi
rumah besar yang realistis memperkuat suasana yang meresahkan. Aku mungkin baik-baik saja dengan
hal semacam ini, tetapi mungkin lebih sulit bagi Otoha-san.
“Kamu baik-baik saja, Otoha-san?”
“…Apa
maksudmu?”
Dia
memiringkan kepalanya dengan menggemaskan, jelas-jelas bingung.
Sepertinya
dia tidak mengerti maksud di balik pertanyaanku. Atau mungkin... dia hanya
berpura-pura berani. Jika aku membuatnya lebih sadar akan situasi ini, itu
mungkin hanya akan meningkatkan rasa takutnya.
“Syukurlah kalau kamu baik-baik saja. Mati kita lanjutkan.”
“...Mm.”
Otoha-san
mengangguk, dan karena tidak ada jalan lain yang bisa diambil, kami terus maju.
Suara berderit samar itu semakin keras saat kami berjalan, menarik kami ke
sumbernya.
Akhirnya,
kami sampai di asal suara itu.
Boneka
itu bergerak sendiri, mengeluarkan tawa yang menakutkan.
...Hmm, rasanya masih belum begitu klik denganku.
Mengingat pekerjaanku membela keluarga Tendou, aku sudah sering menjumpai
hal-hal seperti ini. Kalau dipikir-pikir, ada orang yang mencoba menyelinap ke
perkebunan tempo hari, menggunakan boneka menyeramkan yang sama. Ia menyembunyikan pisau dan
senjata di dalam benda itu, yang agak merepotkan. Tapi begitu aku melumpuhkan
semua gawainya dan masuk ke pertarungan
jarak dekat, semuanya berakhir dalam sekejap—rasanya
sama sekali tidak mengesankan.
Tapi
perspektifku tidak penting sekarang. Bagaimana dengan Otoha? Tentunya, dia pasti merasa ngeri dengan boneka aneh
ini...
“………………(menatap)”
Otoha-san diam-diam menatap boneka
berlumuran darah itu, ekspresinya tidak berubah. Dia sama sekali tidak tampak
takut. Reaksinya lebih seperti, “Hah,
itu boneka yang sangat detail”.
Benar-benar netral dan tidak memihak.
“Otoha-san?”
“...Apa?”
“Um...kamu
baik-baik saja?”
“...Apanya?”
Dia
memiringkan kepalanya sedikit, jelas-jelas
tidak mengerti pertanyaanku. Dia tidak berusaha menyembunyikan rasa takutnya...
Tidak, itu jelas bukan itu.
Reaksi
ini sama sekali berbeda.
“Oh,
bukan apa-apa. Aku hanya berpikir kamu
mungkin menganggap boneka itu menakutkan.”
“...!
(Terkesiap!)”
Entah
mengapa, kata-kataku membuat Otoha-san
membeku karena baru saja menyadarinya. Lalu tiba-tiba—
“...K-Kyaa. Nyeremin banget.”
Penyampaiannya
sangat monoton hingga bisa menyaingi dialog dari pertunjukan boneka anak-anak.
“Otoha-san,
kamu sebenarnya tidak takut, kan...?”
“...Itu
tidak benar.”
“Tapi,
maksudku, teriakanmu sangat monoton...”
“...Aku
sangat takut, sangat ketakutan, sampai-sampai
akhirnya aku terdengar monoton.”
Memangnya
seseorang bisa benar-benar
menjadi monoton karena terlalu takut...?
“...Lihat.
Lihat? Aku sangat takut sampai-sampai aku berpegangan erat pada lenganmu.”
“Kamu sudah
memegang lenganku sejak awal...”
“...Masa?”
Ya, kamu memang begitu. Setelah
percakapan seperti itu, bagaimana mungkin aku bisa lupa?
“Baiklah,
bagaimanapun juga... mari kita
terus lanjutkan?”
•❅──────✧❅✦❅✧──────❅•
(Sudut
Pandang Habataki Otoha)
“...Itu benar-benar tidak terduga.”
Menurut
informasi yang telah kuselidiki
sebelumnya, atraksi horor ini sangat populer di kalangan pasangan. ...Dan
bahkan ada cerita tentang orang-orang yang menjadi pasangan karena mengunjungi tempat ini.
Selain
itu, di rumah hantu, mudah untuk secara alami bergantung pada orang di
sebelahmu karena ketakutan. Hal
itu sendiri tampak seperti rencana yang sempurna... atau
begitulah yang kupikirkan. Tapi aku segera menyadari ada cacat kritis dalam
rencana yang telah kubuat.
(...Kalau
dipikir-pikir, aku sama sekali tidak takut dengan hal semacam ini.)
Rumah
bergaya Barat yang dipenuhi suasana mencekam,
boneka-boneka menyeramkan yang gemetar dan mengeluarkan suara sendiri, dan
sekarang monster kerangka yang baru saja muncul... Tidak ada yang menakutkan
sama sekali. Karena aku tidak takut, aku tidak dapat menemukan saat yang tepat
untuk bertindak takut. Pada tingkat ini, aku tidak akan dapat menciptakan
suasana yang sempurna bersamanya.
(...Masih terlalu dini untuk
menyerah.)
Pertama-tama, harus
kuakui: rencanaku ada yang terlewat. Tapi itu bukannya berarti semuanya gagal.
Rumah
berhantu ini masih dalam tahap awal. Semakin jauh kita melangkah, semakin besar
ketakutannya dan semakin rumit pula pengaturan yang harus dilakukan.
(...Aku
akan menunggu sesuatu yang
besar. Saat itu muncul, aku akan berteriak seperti "Kyaa!" Rencana yang
sempurna.)
Dengan
rencana yang sudah direvisi di dalam pikiranku, aku melangkah
lebih jauh ke dalam rumah hantu bersamanya. ...Mataku sudah terbiasa dengan
kegelapan. Karena aku memiliki pengetahuan sebelumnya tentang atraksi itu, aku
samar-samar bisa menebak di mana ketakutan akan muncul.
(Sekarang
aku hanya butuh yang besar... Sesuatu yang akan membuatku bersandar padanya
secara alami karena takut. Begitu itu terjadi, itu akan sempurna...!)
...Anjing
berlumuran darah dengan tulang-tulangnya terbuka. Tidak bagus. Berikutnya.
...Zombie
dengan pisau mencuat di sekujur tubuhnya. Meh. Berikutnya.
...Patung
hambar yang terbuat dari tulang manusia. Tidak berdampak. Berikutnya.
“Fiuh...
Kita sudah cukup jauh. Kita bahkan sudah mencapai lantai atas—bukannya itu berarti kita sudah mendekati
akhir?”
“...!?”
Bagaimana
mungkin ini bisa terjadi?
Saat aku sibuk menganalisis pengaturan dan waktu, entah bagaimana kami berhasil
sampai ke tahap akhir…!
“Otoha-san?”
“...Bukan apa-apa.”
Aku tidak
pernah membayangkan kalau
rumah hantu yang sangat populer seperti ini bisa mengecewakan.
Jika
Hoshine berkontribusi sedikit saja pada desain atraksi ini, mereka benar-benar
perlu merevisinya. Kalau terus begini, aku akan berakhir dengan santai
menikmati atraksi ini bersamanya... Tunggu, bukannya
itu juga baik-baik saja?
(...Untuk
saat ini, apa pun yang muncul berikutnya, aku akan berpura-pura takut. Pastinya!)
Setelah
menenangkan diri, aku terus maju dengan antisipasi untuk ketakutan berikutnya.
...Baiklah.
Masih ada beberapa atraksi
yang tersisa. Pasti ada sesuatu yang menunggu di balik pintu ini.
Aku
membuka pintu, berdoa agar apa pun yang menunggu akan benar-benar menakutkan.
“Ini...”
Ruangan
di balik pintu itu diselimuti untaian bahan seperti benang, membentang ke
segala arah. Di dalam
untaian itu tergantung sosok manusia (jelas boneka). Tulang-tulang manusia
berserakan di seluruh ruangan (yang juga palsu, tentu saja).
Lalu, di
ujung ruangan.
Di bagian
paling belakang, ada mata merah menyala yang melotot ke arah kami. Seekor
laba-laba besar (model buatan, tentu saja), tubuhnya ditutupi bahan seperti
bulu, dengan beberapa kaki yang bergerak dengan cara mekanis yang menakutkan,
menyambut kami.
“Haah…”
Aku merasa kecewa.
Kenapa
laba-laba raksasa? Rasanya mereka terlalu condong pada klise rumah besar
bergaya Barat yang remang-remang. Sejujurnya, mereka bisa melakukan yang lebih
baik. Jika itu rumah besar, kenapa tidak vampir atau semacamnya? …Tidak, bukan
itu intinya sekarang. Sepertinya tidak ada lagi pengaturan selain ini, jadi
kurasa aku harus puas dengan laba-laba besar ini.
“K-Kyaa!
Menakutkan sekali!”
Rencananya
adalah untuk menempel padanya… Tidak, itu sudah gagal beberapa kali. Itu takkan
banyak berpengaruh pada saat ini. Ruangan ini tidak memiliki apa-apa selain
laba-laba; Aku perlu menjual rasa takut itu dengan lebih meyakinkan.
Bertindak
seolah-olah aku takut pada laba-laba itu, aku melesat keluar dari ruangan.
“O-Otoha-san!?”
Mengabaikan
panggilan Eito, aku
berlari dan berlari melewati rumah besar yang remang-remang—sampai...
“...Aku
tersesat.”
Baru
ketika aku mendapati diriku sendiri, aku ingat: Aku tidak punya kendala arah. Tidak, aku memiliki
indra arah yang unik.
“...Apa
yang sedang kulakukan?”
Tiba-tiba,
gelombang ketenangan menerpaku, dan aku kembali sadar.
Semua
yang telah kulakukan terasa seperti senjata
makan tuan.
...Aku
tidak ingin mengakuinya. Namun pada titik ini, mau
bagaimana lagi. Sepertinya
rencanaku telah gagal. Atau lebih tepatnya, aku merasa seperti mengabaikan
sesuatu yang mendasar.
(...Mungkin
aku terlalu bersemangat.)
Sejak
pindah sekolah, aku menyadari bahwa, terlepas dari segalanya, jarakku dari
Hoshine dan Eito semakin dekat (apakah perasaanku telah sampai padanya atau
tidak adalah masalah lain). Kemudian datanglah hadiah dari turnamen permainan
bola—kesempatan emas. Mungkin aku terlalu terbawa suasana.
...Tidak,
itu hanya alasan. Hanya sekedar pembenaran.
Jauh di
lubuk hatiku, aku sudah tahu kebenarannya. Aku terhanyut. Oleh kegembiraan
cinta pertamaku.
Aku
kehilangan kendali, bertindak berlebihan, kehilangan pandangan dari gambaran
yang lebih besar, dan terus memutar roda... Semuanya begitu baru.
Aku tidak
pernah tahu. Aku tidak pernah menyadari bahwa emosi
cinta bisa sangat mengubahku.
“Otoha-san.”
“...Eito.”
“Kenapa
kau tiba-tiba kabur seperti itu? Aku mencarimu.”
“…”
Ketika
dia bertanya kenapa, sulit untuk menjelaskannya. Terutama kepada Eito sendiri.
“Uh…
Bukan apa-apa.”
Aku tidak
punya pilihan selain menepisnya. Mana
mungkin aku bisa memberitahunya alasan sebenarnya.
“…
Setidaknya aku bisa tahu kamu
sedang berbohong.”
“Ugh…”
Aku punya
firasat dia akan menyadarinya. Bahkan jika Eito biasanya tidak menyadari, siapa
pun akan menyadari ada yang tidak beres dengan perilakuku sebelumnya.
“…Un-Untuk saat ini, kita
harus terus maju.”
Meskipun
ia tahu aku mengelak dari kenyataan, mana mungkin
aku bisa menjelaskannya. Kupikir aku bisa mengabaikannya
dengan terus maju, tapi—
Buk.
Lengan Eito
menghantam dinding, menghalangi jalanku.
“E-Eito...?”
“Membuat
seseorang khawatir dan kemudian mencoba menghindari masalah bukanlah hal yang
baik, Otoha-san.”
Eito
mengatakan ini dengan senyum cerah, tapi... entah bagaimana, itu terasa berbeda
dari sikapnya yang biasa. Ketika
aku secara naluriah mencoba untuk mengalihkan pandangan, tangannya dengan
lembut menangkup pipiku, seolah-olah untuk menghentikanku.
“Kamu mau melihat ke mana?”
“Uh...
um... yah...”
“Sekarang,
kamu sedang berbicara padaku. Lihat
aku dengan benar.”
“Ah...”
Tangannya
yang memegang pipiku terasa lembut namun tegas, menolak untuk
membiarkanku berpaling.
“Berlari-lari
di rumah besar yang remang-remang seperti ini berbahaya. Dan kamu juga akan kesulitan menentukan
arah.”
“Ak-Aku tidak... Maksudku…”
“Iya,
kan?”
“…Ya…”
“Kalau
begitu, bukannya menurutmu ada sesuatu yang harus
kamu katakan?”
“Hah?”
“Kepadaku—orang
yang sudah kamu buat khawatir. Bukannya kamu pikir kamu berutang sesuatu padaku?”
“…”
Eito
tampak berbeda hari ini—sedikit saja, tetapi jelas berbeda dari dirinya yang
biasanya.
Dirinya
tampak sedikit lebih nakal dari biasanya. Tetapi itu bukanlah sesuatu yang
tidak kusukai. Tidak… Aku sama sekali tidak membencinya. Bahkan… mungkin itu
membuat jantungku berdebar kencang.
“Jika
aku mengatakannya… kamu mau
memaafkanku?”
“Semuanya itu
tergantung padamu, Otoha-san.”
Eito
terkekeh pelan. Senyum dan gerakannya begitu memikat, membawa pesona halus yang
terasa hampir berbahaya.
“…Aku
minta ma—ah…”
Tangan Eito
dengan lembut membelai pipiku, sentuhannya disengaja dan lambat.
Rasanya
begitu menggelitik, terasa menyenangkan, dan
meninggalkan sensasi geli yang gelisah. Jari-jarinya bergerak seolah menikmati reaksiku dan bermain-main dengan kegelisahanku.
“Nngh…”
“Ada
apa?”
“I-ini…
geli…”
“Aku
tidak bisa mendengarmu jika kau tidak berbicara dengan benar.”
“Eito,
kamu nakal ih…”
“Ya,
kurasa aku memang sedikit jahil.”
Meskipun dirinya bertingkah nakal, ada
bagian dari diriku yang tidak bisa menghentikan jantungku berdebar-debar karenanya.
“Saat
ini, aku sedang nakal,” katanya, masih membelai pipiku,
nadanya dipenuhi dengan rasa geli. “Itu
karena Otoha-san, yang membuatku sangat khawatir, mencoba menghindari masalah.
Itulah sebabnya aku berakhir seperti ini—menjadi nakal.”
Aku ingin
Eito lebih menyentuhku. Terus berbisik padaku. Aku ingin
momen ini berlangsung selamanya.
“…Otoha-san,
apa kamu suka
digoda seperti ini?”
“Ke-Kenapa
kamu berkata begitu?”
“Karena
kamu membuat ekspresi ketagihan selama ini.”
“I-Itu
tidak benar!”
Ucapannya
mengejutkanku, dan tanpa sadar aku menyentuh wajahku. Jika ada cermin di dekat
sini, aku akan langsung memeriksa pantulan diriku.
“Hanya
bercanda.”
“Ah...
Ugh...”
Syukurlah di
sini remang-remang. Jika tidak, ia akan melihat seberapa merahnya wajahku saat
ini.
“Katakan
saja. Katakan 'Maaf.'”
Pada saat
itu, permintaannya terasa seperti hal tersulit di dunia untuk dilakukan.
Jantungku berdebar kencang, jadi lidahku tidak dapat membentuk kata-kata
dengan benar. Tapi aku harus mengatakannya. Aku telah membuatnya khawatir, bagaimanapun
juga. Aku berutang permintaan maaf yang pantas padanya.
(...
Tidak, bukan itu.)
Bukan
itu. Aku langsung menyadarinya—itu hanya alasan yang dibuat-buat.
(Sebenarnya
...Aku sudah menduganya.)
Mengira
bahwa jika aku mengatakan “Maaf,” Eito mungkin akan menggodaku
lagi.
“...
M-maaf ... nya ...”
Kata-kata
itu tidak keluar dengan benar. Mungkin karena lidahku kelu—atau mungkin karena
jauh di lubuk hatiku, aku ingin dia menggodaku sedikit lagi. Aku bahkan tidak
bisa berkata pada diriku sendiri.
“Kerja
bagus.”
“Ah...”
Tangannya
meninggalkan pipiku. Alih-alih merasa lega karena godaan itu telah berhenti,
aku malah merindukannya. Berharap itu tidak berakhir secepat ini.
“...Baiklah,
bagaimana kalau kita lanjutkan? Kita hampir sampai di pintu keluar.”
“Y-ya...”
Eito
telah kembali sepenuhnya ke dirinya yang biasa. Dirinya dengan lembut memegang tanganku
dan menuntunku maju. Bersama-sama, kami berjalan melewati rumah besar yang
remang-remang dan dengan selamat mencapai pintu keluar.
Ketika
semuanya berakhir, aku menyadari bahwa tidak satu pun rencanaku berjalan
seperti yang kuharapkan.
(...Jika
ada, akulah yang dikalahkan.)
Kupikir
akulah yang bergerak, tetapi di suatu tempat di sepanjang jalan, keadaan telah
berbalik, dan akulah yang menjadi orang yang bertahan.
(...Aku
mungkin jadi sedikit
aneh.)
Debaran
di dadaku—itu tidak terasa seperti hanya karena cinta.
(...Mungkin
godaan Eito tidak seburuk itu)
•❅──────✧❅✦❅✧──────❅•
(Sudut
Pandang Eito)
“Aku
bertindak terlalu jauh...”
Setelah
menyelesaikan atraksi rumah hantu
itu, aku mendapati diriku tenggelam dalam kebencian terhadap diri sendiri.
Mengingat
apa yang terjadi pagi ini, aku khawatir ketika Otoha-san tiba-tiba menghilang
di tempat yang remang-remang. Tidak, jika mengingat kembali sekarang, mungkin
aku terlalu khawatir.
Aku
khawatir, bergegas menghampirinya, dan merasa lega bahwa dia aman.
Namun
kemudian Otoha-san berbohong kepadaku. Aku tahu dia tidak bermaksud jahat. Aku
bahkan tidak marah, tetapi entah bagaimana, sisi nakalku, yang kupikir telah
kukendalikan, sedikit demi sedikit bergerak.
Melihat
mata Otoha-san yang berkaca-kaca membuatku kehilangan kendali sedikit demi
sedikit.
Bagaimana
ini bisa terjadi? Bagaimana aku menjadi seperti ini?
…Tidak peduli
berapa kali aku mengingatnya kembali, pemicunya pastilah “hadiah” untuk Ojou.
Sejak
saat itu, ‘sisi diriku
yang nakal’ mulai
menunjukkan tabiatnya.
Sejujurnya, aku juga terkejut karenanya—oleh bagian diriku ini.
“Kali
ini pasti, aku harus menahan diri “
“...Eito,”
Saat aku
menguatkan diri, Otoha-san menarik lengan bajuku. Wajahnya memerah, mungkin karena
kami baru saja meninggalkan ruang terbatas rumah hantu bertema mansion.
“...Aku
punya urusan yang harus kulakukan,” katanya.
“Jika
itu tugas, aku bisa ikut denganmu,”
aku menawarkan.
Setelah
menyadari bahwa aku bertindak terlalu jauh sebelumnya, aku ingin membantu
semampuku. Namun Otoha-san menggelengkan kepalanya.
“...Tidak,
tidak apa-apa. Hoshine akan segera datang, jadi pergilah bersamanya saja.”
Setelah
meninggalkan kata-kata itu, Otoha-san berjalan cepat sebelum aku bisa
menghentikannya.
“Rasanya
seolah-olah dia tahu persis kapan Ojou akan tiba...”
Saat aku
memiringkan kepalaku karena merasa kebingungan dengan komentar Otoha-san—
“Eito.”
“Ojou.”
Ojou
muncul, seolah bertukar tempat dengan Otoha-san, membuatku membelalakkan mata
karena terkejut. Kata-kata Otoha-san terasa seperti ramalan.
“Maafkan
aku, Ojou. Sepertinya Otoha-san ada urusan mendesak yang harus dilakukan...”
“Aku
tahu.”
Apa
mereka sudah mengatur ini sebelumnya? Jika memang begitu, pernyataan Otoha-san
masuk akal.
“Karena
aku yang berikutnya,” ucap Ojou.
“Yang
berikutnya?” aku
bertanya kembali.
“Itu
bukan apa-apa. Pokoknya, jangan khawatir tentang Otoha. Dia akan kembali pada
akhirnya, jadi sampai saat itu, mari kita bersenang-senang bersama.”
“Dimengerti.”
Jika
mereka berdua sependapat, maka seharusnya semuanya baik-baik saja. Meskipun aku tidak dapat
menyangkal bahwa aku merasa sedikit kesepian, berharap mereka juga mau
memberitahuku, aku jauh lebih senang melihat ikatan mereka semakin dalam.
“Ojou,
tempat atraksi mana yang ingin kamu kunjungi?”
“Coba
aku lihat... Pergi ke atraksi
seperti ini bersamamu akan
menyenangkan, tetapi mungkin kita harus makan siang dulu?”
“Makan
siang?”
Kurasa
memang sudah waktunya. Otoha-san bilang dia punya urusan, tapi kuharap dia masih bisa
makan enak.
“Eito.”
Saat aku
mendapati diriku memikirkan Otoha-san yang baru saja pergi, Ojou tiba-tiba
menggembungkan pipinya karena tidak senang. …Uh-oh. Apa aku melakukan sesuatu
yang membuatnya kesal? Tapi aku tidak tahu apa itu!
“Y-Ya,
ada apa...?”
“…Baru
saja, kamu memikirkan gadis lain, bukan?”
“Hah?”
Kata-kata
Ojou benar-benar mengejutkanku.
Pada saat
yang sama, ucapannya sangat tepat
sasaran, yang membuat jantungku berdebar kencang, meskipun aku tidak merasa
bersalah.
…Mengapa
aku merasa begitu tidak nyaman sekarang?
“Yah,
bukan karena memikirkan gadis lain, tapi... aku khawatir
apa Otoha-san berhasil makan siang dengan baik,”
jawabku, mencoba menjelaskan.
“Jangan
khawatir. Dia pasti akan makan siang," kata Ojou dengan percaya diri.
Dia dan
Otoha-san pasti telah mengoordinasikan bahkan detail-detail yang lebih kecil
seperti ini.
“Jadi,
untuk saat ini, fokus saja padaku.”
Perkataannya
yang sangat khas membuatku tersenyum tanpa sengaja. Apa dia
sedikit merajuk, berpikir Otoha-san mungkin akan merebutku darinya?
“Jangan
khawatir. Aku di sini untuk melayanimu, Ojou, selamanya.”
“...Bukan
itu yang kumaksud,” katanya,
menatapku dengan ekspresi canggung. Aku bermaksud mengatakannya sebagai
pernyataan kesetiaan, tetapi tampaknya itu meleset.
“Ngomong-ngomong,
ayo makan siang. Tidak apa-apa, ‘kan?”
“Dimengerti.”
“Kalau
begitu, ayo kita pergi sekarang juga. ...Kau tahu, aku sudah punya tempat dalam
pikiranku. Tempat itu sangat populer di kalangan pasangan di media sosial—”
“Kalau
begitu, bagaimana kalau kita
keluar dulu dari area atraksi? Ada truk yang menunggu di
depan, penuh dengan koki keluarga Tendou, bahan-bahan, dan peralatan.”
“………………………………”
Cahaya kehidupan menghilang dari mata Ojou.
“O-Ojou…?”
“……………………Kenapa?”
“Eh?”
“……………………Kenapa
ada yang seperti itu menunggu di luar?”
“Yah…
um… Kupikir sudah sepantasnya menyiapkan makanan yang pantas untukmu, jadi…”
Huh.
Aneh. Senyum Ojou selalu begitu manis, namun sekarang… entah mengapa, itu
sedikit menakutkan.
“Begitu
ya… Ngomong-ngomong, apa kamu bisa
menghubungi para koki yang menunggu di luar?”
“Ah,
ya… tentu saja…”
“…Bisakah
kau menelepon mereka untukku? Aku ingin mengobrol sebentar.”
Karena tidak dapat menanyakan apa yang
ingin dia bicarakan, aku diam-diam menutup telepon dan menyerahkan ponselku
padanya.
Setelah
beberapa saat:
“Para
koki mengatakan mereka tiba-tiba dipanggil untuk urusan mendesak dan akan
segera pergi.”
“Apa?
Tapi aku tidak mendengar apa pun tentang—”
“Mereka
juga menyarankan kita makan di salah satu tempat di dalam fasilitas taman bermain.”
“Ah…
ya…”
Kekuatan
pernyataannya tidak menyisakan ruang untuk argumen.
Tapi… apa
yang sebenarnya terjadi? Kali ini, aku
membawa koki dari keluarga Tendou. Mereka adalah Para profesional yang telah
menyiapkan makanan untuk Ojou setiap hari sejak dia masih kecil. Mereka
memahami seleranya, memperhatikan keseimbangan gizi, dan dipercaya oleh
keluarga. Aku secara khusus memilih mereka karena keterampilan dan reputasi
mereka dan meminta mereka menunggu di luar, untuk berjaga-jaga.
Jadi...
apa yang tidak disukainya dari itu?
•❅──────✧❅✦❅✧──────❅•
(Sudut
Pandang Tendou Hoshine)
Ketika
mendengar kata “taman
hiburan”,
kebanyakan orang secara alami akan berpikir tentang atraksinya.
Dan
mereka tidak salah. Pergi mengunjungi
taman hiburan dan tidak menaiki atraksinya merupakan
sesuatu yang aneh.
Malahan, buat
apa kita pergi ke sana jika tidak menikmati wahananya?
...Tetapi
itu dengan asumsi bahwa itu murni untuk bersenang-senang.
Ketika berkaitan dengan kencan (meskipun aku
ragu Eito sendiri menyadari hal ini), kamu
perlu memperluas perspektifmu.
Terkait hal itu, aku harus mengatakan bahwa pandangan Otoha terlalu sempit.
Aku
meminta salah satu staf keluarga Tendou untuk mengawasi mereka dengan kamera,
dan ketika aku melihat mereka berdua memasuki atraksi horor, aku langsung
mengerti maksud Otoha.
Dia
mungkin bermaksud menggunakan atraksi horor itu sebagai alasan untuk berpelukan dengan Eito, merangkulnya sepuasnya. Manis, bukan?
Tetapi jika Eito bisa terpengaruh oleh taktik yang begitu lugas, ia pasti sudah
jatuh cinta padaku sejak lama.
Kesalahannya
adalah berpikir bahwa pendekatan konvensional seperti itu akan berhasil sejak
awal. Tidak, kegagalan
Otoha dimulai saat fokusnya hanya pada atraksi.
(Taman
hiburan bukan hanya tentang atraksi, lho.)
Keputusanku
untuk mengambil giliran kedua secara sengaja sudah diperhitungkan sepenuhnya.
Waktu pergantian giliran kami terjadi sebelum
makan siang, yang berarti aku bisa makan bersama Eito. Dan bukan sembarang
makanan.
Makanannya
sendiri sederhana: roti lapis yang bisa dibeli dari kios makanan di taman.
Namun, ini bukan roti lapis biasa—roti lapis menjadi sangat populer berkat
drama romantis yang populer.
Tren ini,
seperti yang terlihat di seluruh media sosial, melibatkan duduk di bangku
tertentu di area yang digunakan untuk syuting drama dan berbagi roti lapis yang
sama dengan karakter utama, meniru adegan romantis dengan pasanganmu.
Benar—inilah rencanaku. Melakukan ini dengan Eito.
Ia pasti akan menyadari, “Oh, ini mirip seperti drama!” dan kemudian... jantungnya akan
mulai berdebar kencang untukku.
Ya ampun,
sungguh strategi yang sempurna. Begitu sempurnanya sampai-sampai aku sendiri merasa takut.
Selain
itu, pilihanku untuk mendapat giliran yang
kedua membuat penilaianku semakin bersinar. Dengan memilih giliran kedua, aku bisa sepenuhnya
memanfaatkan keuntungan dari makan siang bersama.
(Maaf,
Otoha… tapi kali ini adalah
kemenanganku.)
Yang
perlu kulakukan adalah mengundang Eito
untuk makan siang, dan kesuksesan akan berada dalam genggamanku. Tidak ada satu pun kekurangan
dalam strategiku yang sempurna!
“Kalau
begitu, ayo kita berangkat sekarang juga. …Kamu
tahu? Aku sudah punya tempat di pikiranku. Tempat itu sangat populer di
kalangan pasangan di media sosial—”
“Kalau
begitu, bagaimana kalau kita keluar dulu? Ada
truk yang menunggu di luar dengan koki keluarga Tendou, bahan-bahan, dan peralatan,” sela Eito.
“………………………………”
Rencananya
langsung berantakan sejak awal.
“O-Ojou…?”
“……………………Kenapa?”
“Hah?”
“……………………Kenapa
ada yang seperti itu?”
“Yah…
um… mengingat wajar saja untuk menyediakan makanan yang pantas untukmu, Ojou…”
Yah, itu benar,
tapi…!
Kompeten
yang tidak ada gunanya…! Pelayan-pelayanku terlalu
kompeten yang tidak berguna.
…Tidak, rasanya terlalu cepat untuk menyerah.
Tendou Hoshine.
Bagaimana
cara mengatasi kesulitan ini—ini bukan sekadar ujian akal sehatku sebagai putri
keluarga Tendou, bukan?
“...Begitu
ya. Ngomong-ngomong, bisakah kamu
menghubungi para koki yang bersiaga di luar?”
“Ya...ya.
Tentu saja...”
“...Ada
yang ingin kubicarakan dengan mereka.
Bisakah kamu
menelepon mereka untukku?”
Untuk
saat ini, aku mengambil ponsel pintar dari Eito
dan terhubung dengan para koki yang disebutkan.
“Halo.
Ini aku.”
“Kami
benar-benar minta maaf, Ojou-sama...!”
Suara
koki, yang telah melayani keluarga Tendou sejak sebelum aku lahir, terdengar
lebih meminta maaf daripada yang pernah kudengar sebelumnya.
“...Kenapa
kamu meminta maaf?”
“Meskipun
aku sudah mencoba menyangkalnya dengan Eito...
hari ini seharusnya menjadi kencan, bukan?”
Sungguh
koki yang sangat tanggap.
“Benar...
setidaknya, itulah yang ada di dalam pikiranku.”
“Aku
juga berpikir begitu, dan aku berusaha sekuat tenaga untuk menahan diri. Namun,
ketika aku mendapat ceramah
selama sekitar lima jam tentang pentingnya kesehatanmu dan menyediakan makanan
yang layak untukmu, sebagai seseorang yang melayani keluarga Tendou, aku tidak
mungkin menolaknya...”
“Aku
minta maaf tentang Eito-ku...”
Aku tidak
menyangka ia akan
berpidato selama lima jam. Kalau saja semangat itu dapat diarahkan untuk
menumpulkan instingnya yang
terlalu tajam.
“Aku
minta maaf karena membuatmu menunggu dengan sia-sia. Kamu bisa kembali sekarang. Aku akan
memberi tahu Ayah dan Ibu untuk menambahkan sedikit uang tambahan ke gajimu
bulan ini.”
“Oh,
tidak sama sekali. Tolong jangan khawatir tentang itu. Yang lebih penting, aku
akan berdoa dalam hati agar kencanmu berjalan lancar.”
Sungguh
koki yang begitu perhatian.
Mereka
sangat kompeten, bahkan dalam hal yang tidak berhubungan dengan memasak. Aku
akan bernegosiasi dengan Ayah dan Ibu untuk menaikkan gajinya. Mungkin kita
juga harus mengatur bonus khusus.
“Para
koki mengatakan mereka tiba-tiba memiliki urusan
mendadak dan akan segera
kembali nanti.”
“Apa?
Tunggu, aku tidak mendengar apa pun tentang itu...”
“Mereka
bilang mereka ingin kamu memesan makanan di salah satu tempat di dalam
fasilitas itu.”
“Oh,
uh, baiklah...”
Fiuh. Meskipun ada beberapa kendala, tapi ini
sudah cukup.
Begitu
aku melewati rintangan awal, semuanya akan baik-baik saja.
Rencana
sempurnaku dimulai di sini!
•❅──────✧❅✦❅✧──────❅•
(Sudut
Pandang Eito)
“Kami
benar-benar minta maaf. Kami sudah kehabisan stok.”
Roti
lapis yang diincar Ojou, sayangnya, sudah habis terjual.
“Kedai
ini punya lokasi lain, ‘kan? Apa
masih ada yang tersisa di sana...?”
“Yah...
berkat pengaruh drama, permintaannya sangat banyak. Akhir-akhir ini, semuanya
sudah habis terjual di mana-mana sejak pagi.”
Rupanya,
roti lapis ini hanya tersedia di daerah ini, jadi sepertinya tidak mungkin kami
bisa mendapatkannya hari ini.
“Sayang
sekali. Ojou, mungkin kita harus mencoba yang lain...”
“......”
Sekali
lagi, cahaya kehidupan
menghilang dari mata Ojou. Namun, kali ini, sepertinya ada lapisan keputusasaan
tambahan yang menumpuk di atasnya.
Aneh
sekali. Dalam perjalanan ke kedai ini, dia dalam suasana hati yang sangat baik,
penuh percaya diri seolah-olah dia telah memenangkan kemenangan besar (meskipun aku tidak tahu
kemenangan macam apa itu).
“Rencanaku...
yang sempurna...”
Dia
sangat kesal karena tidak mendapatkan roti lapis. Apa dia benar-benar
menantikannya?
Kalau dipikir-pikir,
Ojou adalah penggemar berat drama yang menampilkan roti lapis ini. Dia selalu
menjadi tipe orang yang menonton drama romantis dengan penuh perhatian hingga
dia akan mencatatnya di buku catatan. Mungkin itulah sebabnya dia begitu
bersemangat dengan roti lapis ini—dan mengapa dia merasa sangat kehilangan.
“Uh,
um, Ojou? Aku bisa pergi dan membeli roti lapis untukmu lain kali...”
“Itu
tidak ada artinya sama sekali....”
“Tidak
ada artinya? Apa maksudmu?”
Aku juga
pernah menonton drama itu... Roti lapis itu sendiri tidak istimewa. Tentu,
bahan-bahannya sedikit lebih halus, dan rasanya lebih enak daripada roti lapis
biasa yang dijual di toko swalayan, tapi itu bukanlah sesuatu yang istimewa
yang pantas untuk mendapat reaksi seperti ini.
...Apa aku
melewatkan sesuatu? Aku tidak begitu tertarik pada acara itu seperti Ojou.
Betapa cerobohnya diriku.
Mungkin aku harus menontonnya lagi saat aku pulang.
“...Tidak.
Belum. Masih belum!”
Ojou
tampaknya telah tersadar dari keterkejutannya. Matanya sekarang bersinar dengan
tekad yang kuat saat dia mendapatkan kembali
ketenangannya.
“Eito,
kayo ita pindah."
“Dimengerti.
Dan bagaimana dengan makanannya...?”
“Kita
akan makan sambil jalan. Ayo kita cari sesuatu di sepanjang jalan.”
“Dengan
segala hormat, makan sambil jalan tidak pantas bagi seorang putri keturunan keluarga Tendou...”
“Keluarga
Tendou? Seorang putri? Berikan
gelar yang tidak berguna itu pada anjing-anjing di
jalanan sana, aku tidak peduli.”
“Ojou!?”
Itu jelas
tidak baik. Itu terlalu mahal untuk dijadikan makanan anjing. Lagipula, bahkan
anjing-anjing mungkin akan bingung.
“Dengar baik-baik, Eito. Di dunia ini, ada sesuatu yang jauh lebih penting daripada
hal-hal sepele seperti itu.”
“Menurutku
nama keluarga Tendou bukanlah hal yang sepele, tapi... boleh aku bertanya apa
yang begitu penting?”
“Lokasi
syuting drama itu.”
“Ojou???”
Tentu,
lokasi syuting drama itu penting... mungkin. Kudengar beberapa lokasi menjadi
populer berkat pengaruh acara itu. Ya, itu memang
penting.
Tapi. Tetap
saja.
(Memangnya itu… lebih
penting daripada nama Tendou…?)
Dia
mengatakannya dengan sangat berani hingga aku mulai merasa bingung.
Ini tidak
mungkin benar… Tidak, tunggu. Jika Ojou seyakin ini, mungkin akulah yang salah?
Apa yang terjadi di sini?
Sambil
bergulat dengan kebingunganku, aku mengikuti di belakang Ojou.
“Ojou,
aku akan membeli makan
siang, jadi harap tunggu sebentar. Apa ada makanan yang
kamu inginkan?”
“Asalkan
itu membuatku kenyang, aku tidak peduli. Prioritas saat ini adalah berpindah ke tempat lain.”
"M-Mengerti…”
Asalkan
itu membuatku kenyang—bukannya itu agak terlalu liar untuk
seseorang dengan status seperti dia? Tetap saja, aku mengambil hot dog dan
minuman dari kedai makanan terdekat. Aku mempertimbangkan untuk membeli churros
tetapi memutuskan untuk membeli hot dog karena itu lebih mirip sandwich.
“Maaf
membuatmu menunggu.”
“Terima
kasih. Sekarang, ayo cepat.”
Ojou
mengambil hot dog dan minuman dan terus berjalan cepat ke depan.
Tatapannya
yang berapi-api dan penuh tekad tetap tertuju ke depan saat dia menggigit roti dengan mulut
kecilnya sambil bergerak—tanpa melirik sedikit pun ke arah hot dog.
…
Anehnya, itu cocok untuknya.
Taman
hiburan ini terbagi menjadi beberapa area, masing-masing bertema ‘cerita’ yang berbeda. Dalam drama, emosi
para karakter sering dikaitkan dengan tema area tersebut.
Oh iya, benar juga. Salah satu adegan paling ikonik
dalam drama tersebut menampilkan karakter
pria dan wanita berkencan, duduk di bangku di samping sebuah objek bertema kelinci
dan arloji saku, sambil memakan roti lapis.
… Ah, itu
dia. Objek dengan motif kelinci dan arloji saku. Dan di sana, bangku tempat…
“…
Sudah penuh…!?”
Ojou itu
berdiri di sana, benar-benar tercengang.
Bangku
yang dimaksud dipenuhi para pasangan,
seolah-olah mereka mencoba mengalahkan satu sama lain. Mereka mengambil foto,
menggoda, dan menikmati kencan mereka sepenuhnya.
… Ah,
sekarang aku mengerti. Pasti itulah
sebabnya roti lapisnya terjual
habis.
Tetap
saja, harus kukatakan… itu tidak benar-benar menggambarkan suasana dalam drama. Kalau boleh jujur,
kerumunan orang merusak suasana romantis nan manis yang seharusnya ada dalam
adegan itu.
Yah,
pasangan-pasangan itu mungkin tidak peduli. Selama mereka bisa berkencan, atau
lebih baik lagi, mengambil foto yang bagus, mungkin itu saja yang penting bagi
mereka.
“Ojou,
apa yang ingin kamu lakukan?
Kita bisa menunggu giliran, tapi...”
“...Tidak,
jangan. Sepertinya suasananya tidak tepat...”
Ah... sangat disayangkan. Ojou
tampak sangat kecewa. Dia pasti sudah tidak sabar untuk mengunjungi lokasi
syuting drama itu.
•❅──────✧❅✦❅✧──────❅•
(Sudut
Pandang Tendou Hoshine)
Itu
benar-benar tak terduga. Tidak, lebih tepatnya, tidak ada yang berjalan dengan
baik sejak awal. Aku seharusnya berlari menaiki tangga menuju kemenangan,
tetapi sebaliknya, rasanya seperti tersandung batu dan sekarang terjatuh tak
berdaya.
Tidak. Masih terlalu cepat untuk menyerah,
Tendou Hoshine.
Karakter
sejati seseorang diuji saat menghadapi kesulitan. Hanya menghitung sesuatu yang telah hilang dan berkubang
dalam keputusasaan tidak akan memperbaiki situasi.
Aku harus
melihat dengan saksama. Pasti ada sesuatu yang bisa kulakukan sekarang—petunjuk
untuk menerobos kesulitan ini...!
Saat aku
mengamati sekelilingku, aku melihat bangku yang seharusnya kugunakan ditempati
oleh pasangan yang saling menyuapi churros yang mereka beli.
Salah
satunya polos, dan yang lainnya sepertinya cokelat.
“Cokelatnya enak banget! Hei, aku ingin mencoba yang
polos dong. Boleh aku mencicipinya?”
“Tentu.
Sini, katakan 'ahh.'”
“Ahh...
Mmm! Lezatnya! Mau coba yang cokelat?”
“Ya, ya.
Ahh…”
Mereka
saling menyuapi churros, satu demi satu.
Ini—ini
dia! Ya, ini sesuatu yang bisa kulakukan tanpa terikat pada tempat tertentu!
Dan… dan bahkan ada kesempatan untuk ciuman tidak langsung! Ini perkembangan
yang alami…! Rencana yang sempurna!
“H-Hei, Eito. Boleh aku… bolehkah aku
mencicipi punyamu? Aku akan membiarkanmu mencoba punyaku juga.”
“Ojou,
tidak ada yang bisa dicicipi; ini hot dog yang sama…”
Sial…!
Kenapa aku merasa puas
dengan hot dog…!?
Kalau begini
sih tidak memungkinkan untuk mencicipi sama sekali! Kalau saja
itu churros—churros akan diizinkan untuk dijadikan alasan yang masuk akal untuk
saling menyuapi!
Tidak. Masih terlalu dini untuk menyerah. Aku
akan mencari alasan acak untuk membuat pencicipan terjadi…!
“Terima
kasih untuk makanannya.”
Ia...
sudah selesai makan!?
“Ka-Kamu
makannya cepat sekali, ya?”
“Aku
sering makan saat istirahat kerja, jadi aku sudah terbiasa.”
Sekarang
setelah dia menyebutkannya, rasanya
masuk akal. Itu menjelaskan banyak hal.
Tapi
tunggu dulu. Eito, bukankah kamu masih siswa SMA? Bukannya ini terlalu ngelunjak untuk seseorang seusiamu?
Bukankah seharusnya kamu setidaknya makan dengan perlahan? Ini perlu
keluhan—tidak, protes resmi kepada Ayah...
“Itu
pasti tidak mengenyangkan, bukan? Ini, aku akan membaginya denganmu.”
“Terima
kasih, tapi aku tidak begitu lapar sampai-sampai aku mengambil makanan darimu, Ojou.
Aku menghargai perhatianmu.”
“Makanlah
lebih banyak! Kamu ‘kan remaja
laki-laki yang sedang tumbuh!”
“Kenapa
kamu begitu putus asa!?”
Tentu
saja aku putus asa! Sejauh ini tidak ada yang berjalan dengan baik! Rencanaku yang sempurna hancur
berkeping-keping!
“Jangan
khawatirkan aku, Ojou. Santai saja dan nikmati makananmu.”
“(Nom
nom nom… gulp.) Eito. Bukannya kamu ingin sesuatu yang manis setelah
makan?”
“Cepat
sekali...!? O-Ojou!?"
“Kamu ingin sesuatu yang manis, iya ‘kan?”
“Uh,
ya... kurasa...”
(Aku
takkan menyerah di sini...! Paling tidak, aku akan mewujudkan momen
'Ahh'!)
Sekarang
pertanyaannya adalah: apa yang harus kita makan? Aku harus menghindari
mengulangi kesalahan memilih sesuatu seperti hot dog tadi. Aku perlu berpikir
cepat dan strategis, menemukan pilihan terbaik yang memungkinkan dalam waktu
sesingkat-singkatnya.
Ini benar-benar masalah yang sulit...
lebih sulit daripada mendapat nilai sempurna di setiap mata pelajaran pada
ujian sekolah. Setidaknya ujian memiliki jawaban yang pasti—itu membuatnya
mudah dibandingkan dengan ujian lainnya.
Sejujurnya, aku tidak keberatan seseorang membuat panduan strategi untuk
situasi ini. Aku akan membayar berapa pun yang mereka minta. Tidak, aku harus fokus! Aku mulai terganggu.
Masalah sekarang ialah apa yang
harus dimakan.
Churros
tidak boleh. Yah, pilihan itu
tidak buruk, tetapi makan sambil berjalan mungkin akan membuatku dimarahi oleh Eito
lagi. Ditambah lagi, aku baru saja mengacaukan sesuatu dari kedai makanan. Mengulangi kesalahan
yang sama tidak dapat diterima.
Itu
berarti sesuatu di dalam ruangan akan lebih baik. Aku cukup yakin ada restoran
di dekat sini. Jika aku memesan hidangan penutup di sana, itu akan
menyelesaikan semuanya. Selain itu, di restoran, Eito tidak akan punya alasan
untuk memarahiku, dan aku bisa makan dengan tenang.
Sudah
diputuskan. Aku sudah menghafal peta taman hiburan itu hingga detail terkecil
dan tahu lokasi pastiku hingga koordinatnya. Aku sudah menghitung rute
terpendek ke restoran itu. Sempurna. Kali ini, semuanya akan sempurna! (Semuanya terjadi dalam
0,002 detik.)
“Aku
merasa pikiranmu yang cemerlang itu baru saja digunakan untuk sesuatu yang sama
sekali tidak penting, Ojou.”
“Sama
sekali tidak. Bahkan, bisa dibilang ini adalah yang paling sering kugunakan.”
Ujian
sekolah jauh lebih membuang-buang waktu. Aku bisa mengisi semua lembar jawaban
dalam lima menit, dan kemudian aku mandek, tidak dapat melakukan apa pun lagi. Jadi,
aku akhirnya menggunakan sisa waktu ujian untuk bertukar pikiran tentang
cara-cara untuk memenangkan hati Eito.
Meskipun, karena setiap rencana yang telah kubuat sejauh ini gagal, kurasa
waktu ujian itu benar-benar terbuang sia-sia.
“Eito,
ayo kita makan pencuci mulut di restoran.”
Jadi,
kami berjalan menuju restoran bersama.
Karena hari ini pengunjungnya sedang
ramai, ada sedikit waktu tunggu, tapi mau
bagaimana lagi. Itu akan memotong waktu yang kami rencanakan
untuk bertemu Otoha nanti, tetapi itu masih dalam batas yang dapat diterima.
Tidak… Aku hanya harus memaksa diriku untuk menerimanya. Ya, aku akan mengizinkannya.
Aku akan memaksa diriku untuk mengizinkannya.
Restoran
itu, meskipun disajikan dengan tema pembangunan dunia, rasanya justru lebih mirip dengan tempat
jajanan. Kamu memesan makanan di konter, menemukan kursi yang tersedia, dan
menunggu. Ketika makananmu sudah siap, kamu kembali ke konter untuk
mengambilnya.
Aku
memesan pencuci mulut yang ada dalam pikiranku (memastikan untuk memilih
rasa yang berbeda untuk masing-masing) dan duduk di meja yang kosong. Setelah
semua perjalanan yang kami lakukan, lega rasanya akhirnya bisa duduk dan
beristirahat. ...Ah, air dinginnya sangat menyegarkan. Rasanya seperti
menenangkan dan menyejukkanku setelah semua yang tidak berjalan dengan baik
hari ini.
“Siapa
yang mengira air bisa terasa seenak ini…”
“Air
yang biasa kamu minum di perkebunan seharusnya memiliki kualitas yang tak
tertandingi, baik dari segi rasa maupun kehalusan.”
Memang,
dari segi biaya, itu mungkin benar. Namun, air di perkebunan tidak membuatku
merasa nyaman seperti ini.
“...Ah,
sepertinya makanan penutup kita sudah siap.”
Bel kecil
yang diberikan kepada kami di meja kasir mulai bergetar dan mengeluarkan bunyi
alarm untuk menandakan makanan sudah matang. Eito lalu segera berdiri.
“Aku
akan segera membawanya. Mohon tunggu di sini sebentar.”
Aku sempat berpikir untuk pergi bersamanya
tapi segera memutuskan untuk tidak melakukannya. Bagaimanapun juga, seseorang harus tetap tinggal
untuk menjaga meja.
“Baiklah,
aku mengandalkanmu. Cepat kembali, ya?”
“Dimengerti.”
Dengan
senyum yang membuat jantungku berdebar kencang hanya dengan melihatnya, Eito dengan anggun berjalan pergi untuk mengambil
makanan penutup.
Aku ingin
terus memperhatikan Eito, tapi ia dengan cepat menghilang di antara kerumunan.
Karena
tidak ada kegiatan lain yang bisa
kulakukan untuk menenangkan
pikiranku sambil menunggunya kembali, aku memejamkan mata dan fokus pada
suara-suara di sekitarku. Bukannya aku mengharapkan sesuatu yang sangat
menarik—ini hanyalah
bagian dari penelitianku. Dengan mendengarkan percakapan antara pasangan atau
keluarga, aku bisa mengumpulkan petunjuk untuk strategiku untuk memenangkan
hati Eito. …Bukan berarti sejauh ini strategi
itu tidak pernah membuahkan hasil yang berguna.
Aku tidak
bermaksud menyombongkan diri, tapi aku memiliki
indra pendengaran yang
sangat baik. Bukan hanya karena aku mendengar dengan baik—aku juga bisa
membedakan suara dengan tepat. Bahkan sekarang, aku bisa mendengar tangisan
bayi dan percakapan di sekitarnya yang hampir tidak terdengar. Aku bahkan bisa
menebak jenis kelamin bayi hanya dari suara tangisannya.
Sebenarnya,
kemampuanku tidak terbatas pada pendengaran. Penglihatanku tajam, indra
penciumanku tajam, dan indera perasaku sensitif. Dan jangan lupakan bentuk
tubuhku—tubuhku sempurna. Jika ada yang mewujudkan ungkapan “proporsi sempurna”, itulah diriku. Aku sepenuhnya sadar bahwa
penampilanku menarik bagi kebanyakan anak laki-laki.
Kalaupun
ada, keunggulanku mungkin membuat orang lain merasa tidak mampu di dekatku. Itu
mungkin sedikit masalah, tapi hei, aku ini Tendo
Hoshine. Jadi apa boleh buat.
…Tetap
saja, terlepas dari semua ini, Eito tetap sama sekali tidak menyadari
perasaanku.
“――――Bisa diam kagak sih!?”
Saat aku
duduk sambil mendesah sendiri, aku mendengar suara marah yang tidak
menyenangkan datang dari meja di dekatku.
“Memangnya
kamu tidak bisa menghentikan bocah nakal itu dari merengek!?
Bikin orang lain jengkel tau!”
“Aku
sangat minta maaf... Aku benar-benar minta maaf...”
Sepertinya
ada semacam masalah yang sedang terjadi.
Suara
frustrasi datang dari sekelompok pria usia kuliah yang duduk di meja di dekatku, mereka
kesal dengan suara bayi
yang menangis. Ada dua dari mereka... tidak, tiga. Mereka berbadan tegap,
dengan yang terpendek di antara mereka tingginya sekitar 183
“Kenapa
kamu membawa anak kecil ke tempat
seperti ini!? Kamu
mengganggu orang lain!”
“Kami
akan segera pergi... Maafkan aku...”
Ayah bayi
itu tampaknya adalah orang yang pemalu. Mungkin berusia awal tiga puluhan, ia
membungkuk berulang kali kepada para pemuda sambil
meminta maaf dengan tulus.
Para
mahasiswa itu menyeringai puas, jelas-jelas menikmati rasa superioritas. Namun
bagiku, ayah itu adalah orang yang memiliki martabat sejati.
Menahan
penghinaan demi melindungi sesuatu yang berharga—itulah yang namanya kekuatan sejati.
“Menyedihkan banget, iya ‘kan? Hei, om, bukannya kamu
seharusnya seorang pria?”
“Merendahkan
diri seperti itu—apa kau tidak malu?"
“Hei,
Nak. Jangan tumbuh menjadi pecundang yang menyedihkan seperti ayahmu, oke?
Hahaha!”
Perkataan
mereka jelas-jelas
ditujukan kepada anaknya, tindakan mereka tidak lebih
dari perbuatan tercela dan pengecut.
“Suaramu terlalu melengking. Bisa tidak kamu
tutup mulutmu?”
Rasanya
seolah seluruh tempat itu telah menjadi sunyi. Tidak, pada kenyataannya,
keheningan yang mendalam telah menyelimuti udara.
Apa itu hanya kebetulan? Bahkan bayi
itu sampai berhenti menangis.
Yah,
mungkin bayi itu begitu tersentuh oleh sikapku—datang jauh-jauh dari tempat
dudukku hanya untuk melihat mereka—sehingga mereka memutuskan untuk berhenti
menangis sama sekali.
“...Hah?”
"Tunggu.
Apa kamu berbicara kepada kami?”
“Siapa
lagi yang akan kuajak bicara? Sejujurnya, orang-orang kotor sepertimu pasti
memiliki otak yang membusuk.”
“Yah,
yah... Kamu punya
banyak hal untuk dikatakan, bukan?"
Ketiga
mahasiswa itu berdiri dari tempat duduk mereka, menjulang di atasku seperti
bayangan yang menjulang tinggi. Sikap
mereka menunjukkan dengan jelas—mereka tahu persis betapa mengesankannya fisik
mereka.
“Apa?
Memangnya kamu punya masalah dengan kami
atau semacamnya?”
“Tentu
saja ada. Bayi menangis—itu praktis
adalah hak mereka. Tentu, bisa dimaklumi kalau
kalian mungkin merasa terganggu sebagai orang asing yang
tidak berhubungan, tetapi menggunakan intimidasi? Tingkah kalian justru sangat kekanak-kanakan.”
“Dasar
bocah tengik... Jangan sombong dulu.”
“Ya
ampun. Tidak sebanyak dirimu.”
Bau
alkoholnya sangat menyengat, dan dari kelihatannya, mereka benar-benar mabuk.
Tempat ini tidak menjual minuman beralkohol, jadi... apa mereka
menyelundupkannya? Lain kali aku harus memastikan mereka memperketat
pemeriksaan keamanan untuk barang selundupan.
“Kamu pikir aku tidak akan memukulmu
hanya karena kau seorang wanita?!"
Kepalan
tinju besar datang menghantamku. Namun, tinju itu tidak pernah mengenai
sasarannya.
Sebelum
itu terjadi—seseorang melangkah masuk. Tangan Eito mencengkeram lengan itu
sambil mengayunkan tinjunya, menjepitnya dengan kekuatan seperti catok baja.
“Kupiki aku sudah memintamu untuk menunggu.”
“Aku
memang menunggu. Itu sebabnya aku
berdiri di sini seperti ini, bukan?”
“Aku
tidak keberatan dengan kecerobohanmu, tetapi rasanya
merepotkan jika kamu
bertindak mengharapkanku untuk campur tangan.”
“Itu
tidak akan berubah. Aku selalu mengandalkanmu. Namun... apa pria itu akan baik-baik saja?”
Pria yang
lengannya dicengkeram Eito menjadi pucat, mulutnya terbuka dan tertutup seperti
ikan yang terengah-engah. Bukan
sekadar rasa sakit—ia mungkin sudah kehilangan semua rasa di lengannya
sekarang.
“Ini tindakan membela diri.”
Eito
tersenyum cerah dan menyenangkan, tetapi... oh, ia marah.
“Loe
sebenarnya siapa sih?!”
“Yang benar
saja!”
Dua orang
lainnya menerjang Eito.
Melakukan kekerasan di tempat umum seperti ini—mereka sama sekali tidak
menyadari keadaan di sekitar mereka.
Menghadapi
dua berandalan yang berubah menjadi petarung
ini, Eito tetap tenang. Dalam sekejap mata, salah satu dari mereka terkapar ke
tanah, sementara yang lain mengalami dislokasi sendi bahu. Gerakan-gerakan itu
begitu tepat dan mulus sehingga bagi para penonton, kedua penyerang itu pasti
tampak seperti tersandung dan jatuh sendiri.
“Baiklah,
aku akan mengajak kedua pria ini keluar untuk mengobrol sebentar.”
“Silakan.”
“Jangan
khawatir. Aku akan menangani ini dengan hati-hati, agar tidak membawa aib bagi
nama keluarga Ojou.”
Dengan
senyum ceria, Eito dengan mudah meraih ketiga mahasiswa itu dan membawa mereka
keluar dari toko.
“Uh...
um, terima kasih banyak.”
Ayah dari
keluarga yang tersisa menundukkan kepalanya dengan sopan kepadaku, berusaha
keras untuk menunjukkan rasa terima kasihnya.
“Silakan
buat kenangan indah bersama.”
Setelah
meninggalkan kata-kata yang diperlukan, aku mengikuti Eito keluar.
Pada
akhirnya, aku tidak jadi makan hidangan penutup, tetapi itu tidak bisa
dihindari. Mana mungkin
aku bisa menutup mata terhadap hal seperti itu—aku tidak akan bisa memaafkan
diriku sendiri jika aku melakukannya.
Ketika
aku melangkah keluar, Eito sudah selesai mengurus semuanya dan sedang
menungguku.
“Eito,
ayo kita makan hidangan penutup kali ini.”
Rencananya
sedikit berubah, tetapi tujuannya tetap tidak berubah.
Masih ada
waktu, dan kami selalu bisa makan hidangan penutup di tempat berikutnya. Kali
ini, aku akan memastikan untuk melakukan tindakan
menyuapi sambil mengatakan ‘ahhn’.
Itulah
yang kupikirkan... namun...
"Sejujurnya...
kamu benar-benar
orang yang sangat merepotkan, Ojou.”
“Ah...”
Tiga
puluh menit kemudian,
Aku mendapati diriku terpojok di
dinding di kamar hotel terdekat,
dengan Eito berdiri di hadapanku.
•❅──────✧❅✦❅✧──────❅•
Setelah
keributan di kedai makanan, aku
bertekad untuk akhirnya makan hidangan penutup kali ini. Lagipula, aku masih belum
melakukan hal ‘ahh’. Kami bahkan belum menikmati
momen yang manis dan romantis.
“Ojou.”
“Eh?
Ap-Apa...?”
Tapi
kemudian, Eito tiba-tiba memegang tanganku dan mulai menuntunku ke suatu
tempat.
“Ki-Kita mau
pergi ke mana...?”
“...........”
Eito
tidak menjawab pertanyaanku. Sebelum aku menyadarinya, kami telah meninggalkan
taman hiburan, tetapi Eito tidak berhenti. Merasa penasaran
dengan ke mana kami akan pergi, aku diam-diam menurutinya
sampai...
(Ho-Hotel...?!)
Tanpa
ragu, Eito membawaku langsung ke sebuah hotel yang berafiliasi dengan taman
hiburan itu. Ia memesan
kamar dengan peringkat tertinggi yang tersedia saat itu dan, tanpa penjelasan
apa pun, dirinya langsung
membawaku ke sana.
“Um...
Eito...? Kenapa kita di hotel...?”
“...........”
Aku
mencoba bertanya di lift, tetapi seperti yang diharapkan, Eito masih tidak mau menjawabnya.
Pada titik
ini, aku tidak punya pilihan selain tetap diam. Atau lebih tepatnya, aku
terlalu bingung dengan sikap tegas Eito untuk memikirkan hal lain—jantungku
berdebar tak terkendali.
…Hotel.
Hotel adalah, yah, fasilitas penginapan. Tempat di mana kamu menyewa kamar untuk tidur dan
bermalam.
Tapi bagi
seorang pria dan wanita untuk menginap di kamar yang sama… maksudnya begitu, ‘kan? Tidak apa-apa. Aku tidak
mengharapkan ini, tapi aku selalu siap. Pakaian dalamku selalu sempurna.
(...Tunggu.
Tunggu sebentar.)
Tenangkan dirimu, Tendou Hoshine. Aku
mungkin menjadi bingung, tapi aku perlu memikirkan ini dengan matang.
Mari kita
tinjau polanya sejauh ini. Berapa kali aku membiarkan diriku terbawa suasana,
hanya untuk berakhir dengan salah membaca situasi?
Aku, Tendou Hoshine. Aku tidak
membuat kesalahan yang sama berulang-ulang.
…Yah?
Mungkin hanya sedikit. Ya, mungkin hanya sedikit. Aku mungkin telah mengulangi
kesalahan yang sama sebelumnya. Tapi itu semua masa lalu.
(Ini
mungkin kesalahpahaman lain di pihakku... Tapi tetap saja, mengapa Eito
membawaku ke hotel?)
Aku
memikirkan berbagai kemungkinan di dalam pikiranku, menyusunnya
satu per satu.
Hipotesis
Satu: Untuk membiarkanku beristirahat karena aku lelah berjalan.
…Hmm. Itu
tidak sepenuhnya mustahil. Tapi apa ia benar-benar akan berusaha keras untuk
membawaku ke hotel untuk itu? Sebuah bangku di suatu tempat sudah lebih dari
cukup. Bahkan jika restoran sebelumnya bukanlah pilihan, ada tempat lain yang
bisa kami kunjungi. Hipotesis ini? Ditolak.
Hipotesis
Dua: Untuk makan bersama.
...Ini
bukan skenario yang sepenuhnya mustahil. Lagipula, hotel ini memang punya
restoran. Tapi jika memang begitu, bukankah setidaknya ia perlu menjelaskannya kepadaku? Dirinya tidak perlu menyeretku dengan
paksa ke hotel seperti ini. Dan bahkan sekarang, lift sudah melewati lantai
dengan ruang makan. Jadi, hipotesis ini ditolak.
Hipotesis
Tiga: Melakukan itu bersamaku di atas kasur
...Tidak
mungkin. Sama sekali tidak. Pemikiran
itu saja sudah membuatku ingin menangis.
Pada
akhirnya, tanpa tahu apa yang sedang terjadi, lift berhenti, dan Eito membawaku ke sebuah kamar di
lantai atas hotel.
Meskipun
aku telah dibawa ke sini, anehnya merasa
janggal. Atau lebih tepatnya,
aku sangat gugup hingga aku tidak bisa berbuat
apa-apa.
Karena...
ini berbeda.
Berbeda saat
berduaan di kamar di mansion. ...Baiklah, oke. Berbagi ranjang yang sama saat
mengenakan lingerie adalah
masalah yang cukup besar, tetapi mari kita kesampingkan itu. Karena tidak ada yang terjadi saat itu.
Tetapi
diseret ke kamar yang sama di hotel merupakan
sesuatu yang sama sekali baru.
...Gawat. Ini benar-benar berbahaya. Semakin
aku mencoba untuk tetap tenang, aku justru
semakin gugup.
“Ojou.”
“A-Apa...?”
“Tolong
lepaskan.”
“Ap—Apanya, huh...?”
Kata-kata
yang kudengar begitu tidak dapat dipercaya sehingga aku secara refleks meminta
klarifikasi.
“Hah?
Apa maksudmu? Apanya...?”
“Sudah
kubilang—tolong cepat lepas.”
“Jangan
bilang kalau maksudmu itu... pakaianku, ‘kan?”
“Ya,
pakaianmu."
“Ap-Apaaaa!?”
Aku
tergagap. Tentu saja, aku tergagap. Siapa pun akan begitu jika berada di dalam
situasi ini.
“Ka-Kamu
ingin aku melepas pakaianku!?"
“Benar sekali.”
“Ke-Kenapa!?”
“Tidak
ada alasan 'kenapa'
tentang itu. Ojou tinggal melepaskannya saja.”
“Ahh,
ahhh…”
Ini sangat gawat. Otakku tidak berfungsi
dengan baik. Mana mungkin hal semacam ini terjadi. Mana mungkin ini nyata. Membayangkan Eito
menyeretku ke hotel dan menyuruhku melepas pakaianku—ini benar-benar tidak masuk akal. Ini
pasti mimpi. Ini pasti mimpi. Lagipula, ini terlalu nyaman bagiku…!
“Mau sampai
berapa kamu berencana untuk terus mengenakan pakaian itu?”
Eito
melangkah lebih dekat. Secara naluriah aku melangkah mundur untuk menyamakan
langkah.
Namun, Eito tidak berhenti sama sekali. Ia terus melangkah maju, dan tak lama kemudian aku
mendapati diriku terpojok ke
dinding...
“Kau
benar-benar Ojou-sama yang
merepotkan, ya?”
“Ahhh....”
Agar aku
tidak bisa melarikan diri, Eito
menempelkan tangannya ke dinding, mengurungku.
Tidak,
aku tidak bisa melarikan diri... Tidak, memangnya
aku bisa? Seharusnya tidak. Oh, tetapi aku sangat gugup.
Aku sudah siap, tetapi aku tidak pernah mengira momen ini akan datang begitu
tiba-tiba.
“Aku
ingin kamu melepaskan pakaian itu, Ojou. Jika memungkinkan, aku akan merobeknya
dengan tanganku sendiri.”
“M-Mengerti,
tapi... tapi...”
“Tetapi?”
“K-Kakiku
gemetar... Aku tidak bisa berjalan sendiri...”
Aku
merasa lututku hampir menyerah. Ini bukan rasa takut, ini hanya kegembiraan
yang berlebihan. Aku penasaran
apa ia bisa mendengar jantungku berdebar. Wajahku pasti merah padam. Tubuhku terasa sangat panas. mana mungkin aku bisa berjalan ke
tempat tidur sendiri.
“Tidak
apa-apa,” bisiknya di telingaku sambil tersenyum tipis.
“Tapi
tolong lepas bajumu sendiri.”
“...Kamu tidak mau membantuku
melepaskannya?”
“Tentu
saja tidak. Tolong lakukan sendiri.”
Aku harus
melepasnya sendiri. Dengan kata
lain, kurasa
ia ingin melihatku melepaskan bajuku perlahan dan merasa malu-malu.
“Ja-Jadi, itu hobimu...?”
“Hobi?”
Eito memiringkan
kepalanya sedikit, tapi mungkin itu juga bagian dari... kesukaannya. Mungkin ia
tipe yang sangat peduli dengan situasi atau suasana.
“Baiklah,
aku akan menggendongmu.”
“Ah...!”
Saat ia
berbicara, Eito dengan mudah mengangkatku ke dalam pelukannya dan mulai
berjalan.
“...!”
Aku secara
naluriah menutup mataku. Aku terlalu gugup dan malu untuk menatap wajahnya
secara langsung. Aku hanya bisa membiarkannya melakukan apa yang ia inginkan.
Tapi itu tidak masalah. Ini tidak masalah.
Aku tidak
menyangka hal itu akan
terjadi hari ini, tapi aku sudah siap. Tidak apa-apa. Aku akan baik-baik saja.
“Tolong buka
matamu, Ojou.”
“Mm...”
Aku
membukanya. Cahaya dari langit-langit memenuhi pandanganku, dan ruangan itu
menjadi jelas.
“… Kamar
mandi?”
Tempat yang
ia tuju bukan tempat tidur—melainkan kamar mandi.
Sementara
aku berdiri di sana dengan kebingungan, Eito dengan lembut
menurunkanku.
“Um… Eito?”
“Setelah
kamu melepas pakaianmu, tolong taruh
di tas ini.”
“Hah…?”
“Ada
jubah mandi di sana yang bisa dipakai.”
“O-Oke…”
Setelah
mengatakan, Eito meninggalkan kamar mandi dan meninggalkan
sendirian.
…Kenapa
kamar mandi?
Usai ditinggal
sendirian, tanda tanya melayang di benakku. Tapi aku segera menyadari
alasannya.
“O-Oh iya,
benar juga… Aku harus mandi dulu…”
Eito
pasti menghargai ketertiban dalam segala hal. Aku juga menghargai itu—aku senang bisa membersihkan diri terlebih dahulu. Aku
banyak berjalan hari ini dan berkeringat.
Setelah
selesai mandi, aku melangkah keluar
dari kamar mandi. Setelah itu, dengan tangan gemetaran, aku berganti ke jubah mandi dan
kemudian berjalan ke tempat Eito duduk di tempat tidur.
“U-Um... Eito... Aku sudah selesai
mandi...”
“Begitu
ya.”
Eito
berdiri dari tempat tidur dan berjalan ke arahku—
“...!”
Aku secara
naluriah menutup mataku. ...Ah, ini dia. Ia
akan menggendongku ke tempat tidur. Kemudian Eito akan mendorongku ke bawah,
melakukan apapun semaunya, dan aku
akan menaiki tangga menuju kedewasaan. Kami akan punya lima anak—dua laki-laki
dan tiga perempuan. Anak laki-laki kami
pasti tampan, seperti Eito, dan dikagumi oleh anak perempuan. Di sisi lain,
anak perempuan mungkin akan dipenuhi rasa percaya
diri, seperti diriku.
Pada hari
libur, kami akan pergi jalan-jalan bersama keluarga, dan aku akan berbagi
cerita romantis dengan mereka. Oh, tapi sebelum itu
semua, kami harus pergi berkencan sebagai sepasang kekasih. Lalu tibalah
saatnya pernikahan... Tunggu, bukankah urutannya agak aneh?
Tidak,
itu sudah tidak penting lagi. Siapa juga yang peduli dengan urutan? Yang
penting adalah mewujudkannya. Setelah itu beres, sisanya akan berjalan dengan
sendirinya. Lagipula, Aku adalah Tendou Hoshine,
putri dari keluarga Tendou yang terpandang. Uang? Kami punya lebih dari cukup
untuk membungkam semua rintangan di jalan kami. Dengan kekuatan finansial yang
luar biasa, aku bisa menyingkirkan apapun yang mengancam untuk menghalangi
jalan kami.
“Ojou.”
“Ah! E-Eito! Aku hanya sedang berpikir… Aku ingin memulai
dengan anak laki-laki terlebih dahulu—”
“Aku akan
segera membuang pakaian-pakaian ini dan mencari yang baru.”
“…Hah?”
“Jangan
khawatir. Aku akan memastikan kita mendapatkan pengganti yang tepat untuk
pakaian-pakaian ini juga.”
“Umm, Eito?”
“Ada
apa?”
“…Cuma itu saja?”
“Apanya?”
“Maksudku…
uhmm…”
“Ah,
jangan khawatir. Aku sudah menyiapkan pakaian ganti yang takkan mengurangi kecantikan maupun martabatmu, Ojou.”
“Bukan
itu yang kumaksud.”
Aku
merasa seperti kita benar-benar berbicara tanpa
sepemahaman.
…Tenanglah.
Di saat-saat seperti ini, sebaiknya
menyelesaikan masalah dari awal.
Kenapa
semua ini bisa terjadi? Mari
kita lihat... oh, benar. Itu bermula ketika aku tiba-tiba dibawa ke hotel.
“Hei...
kenapa kamu membawaku ke hotel?”
“Karena
aku ingin kamu berganti
pakaian.”
“...Berganti
pakaian? Kamu repot-repot membawaku
ke hotel hanya supaya aku
bisa berganti pakaian?”
“Aku
memang membawa Ojou kemari supaya kamu
bisa berganti pakaian."
“Tidak
ada yang lain?”
“Tidak
ada yang lain. Apa maksudmu dengan 'yang
lain'?”
“..................”
Aku
berlutut tanpa berpikir.
Semua
ketegangan, kegembiraan, dan semua hal lainnya mencair dalam sekejap, hancur berkeping-keping menjadi
pasir.
•❅──────✧❅✦❅✧──────❅•
(Sudut
Pandang Eito)
“Berganti...
hanya berganti pakaian... Apa ini berarti aku menjadi gugup hanya karena
berganti pakaian seperti orang mesum...?”
Cahaya kehidupan telah menghilang dari mata Ojou
saat dia berlutut karena kalah.
Apa dia
kelelahan seperti ini karena kita berjalan begitu jauh hari ini? Mungkin itu
sebabnya. Dia juga belum sempat makan hidangan penutup. Begitu pakaiannya tiba,
aku akan langsung membawanya ke restoran hotel. Setidaknya,
makanan di sini seharusnya jauh lebih cocok untuknya daripada kedai makanan mana pun di taman
hiburan.
“..........”
Aku
melirik pakaian yang disiapkan untuk Ojou, yang terlipat rapi di dalam tas.
Kilasan
adegan sebelumnya di restoran taman hiburan muncul di benakku—perilakunya yang tidak kenal takut dan tak
tergoyahkan saat dia menghadapi para mahasiswa yang mabuk itu.
...Sejujurnya,
bahkan saat berdiri di dekat mereka, bau alkoholnya sangat menyengat.
Pemikiran bahwa para bajingan itu
berdiri begitu dekat dengan Ojou, sehingga bau
alkohol mereka yang menjijikkan mungkin menempel di rambutnya yang indah atau
pakaiannya yang bersih, membuat darahku mendidih. Aku tak tahan membayangkannya mengenakan pakaian ini lagi.
“...Mungkin
aku terlalu protektif.”
Aku
sendiri menyadari hal itu. Tindakanku mungkin dianggap keterlaluan. Tidak, mungkin itu
bukan sekadar sikap protektif yang berlebihan. Itu sesuatu yang lebih egois.
Sikap posesif, mungkin.
“Sungguh
menyedihkan...”
Hak apa
yang kumiliki untuk merasa posesif?
Ojou
adalah majikanku, seseorang yang harus
kulayani. Dan aku tidak lebih dari sekadar pelayan. Hak apa yang kumiliki untuk
menyimpan sikap posesif seperti itu? Perasaan
semacam itu tidak sangat
kurang ajar terhadap Ojou.
“.....”
Sesaat,
aku mendapati diriku tenggelam dalam pikiran.
Apa ini
beneran baik-baik saja?
Jika aku
terus bersikap terlalu protektif seperti ini, bukankah aku hanya akan berakhir
menahannya?
Aku
mungkin menghambat pertumbuhannya dan
pengalamannya. Kalau dipikir-pikir lagi, fakta bahwa dia tidak punya banyak
teman sebelum Otoha-san datang mungkin karena salahku.
Karena aku selalu berada di sisinya, selalu fokus
mendukungnya di masa sekarang, tanpa mempertimbangkan apa yang akan terjadi.
“...Sepertinya aku perlu memikirkan ulang semuanya.”
Sejujurnya,
aku tidak pernah menyadari betapa kuatnya perasaan posesifku. Aku
tidak pernah mengira akan merasakan hal itu terhadap Ojou.
Akhir-akhir
ini, aku menemukan sisi-sisi diriku yang tidak kuketahui keberadaannya. Namun,
apa perasaan ini benar-benar untuknya... itu masalah lain.
“Aku
masih punya jalan panjang.”
•❅──────✧❅✦❅✧──────❅•
Pada saat
pakaian yang sudah disiapkan tiba dan kami keluar dari hotel bersama, matahari
sudah hampir terbenam sepenuhnya. Otoha-san, setelah kembali dari urusannya, bergabung kembali dengan
kami, dan kami akhirnya melanjutkan rencana kami untuk menghabiskan waktu bersama
bertiga. Sayangnya, hampir tidak ada waktu tersisa untuk bermain.
“.....”
“......”
Lebih parahnya lagi, baik Ojou maupun Otoha-san
tampak sangat murung. Bahkan ketika aku mencoba
berbicara dengan mereka, tanggapan mereka jauh dan setengah hati.
“Haah..........”
“Haah..........”
Jelas ada
sesuatu yang membuat mereka merasa sedih. Namun untuk beberapa alasan,
sinkronisasi mereka luar biasa—bahkan desahan mereka sangat sinkron.
“Um…
kalian berdua… apa terjadi sesuatu?”
“Lebih
seperti tidak terjadi apa-apa...”
“Uh,
yah… parade akan segera dimulai, lho. Bahkan katanya
ada pertunjukkan kembang api!”
“…Oh,
benarkah…”
“…Benarkah…”
Ini bukan pertanda bagus...!
Kedua mata mereka benar-benar tak bernyawa...!
Tidak
peduli apa yang kukatakan atau bagaimana aku mencoba melibatkan mereka, reaksi
mereka tetap datar. Sepertinya aku harus memberi mereka waktu.
Parade
dan kembang api adalah atraksi utama taman hiburan ini. Aku hanya bisa berharap
mereka bisa sedikit mengangkat semangat mereka...
•❅──────✧❅✦❅✧──────❅•
(Sudut
Pandang Tendou Hoshine)
Jalan
utama menjadi hidup dengan parade karakter yang menyala dalam lampu LED,
pertunjukan mereka yang semarak terjalin dalam tontonan yang menggembirakan. Di
atas langit, kembang api dalam spektrum
warna menghiasi langit malam, mekar seperti bunga-bunga cerah di kanvas gelap.
...Namun,
terlepas dari kemegahannya, aku tidak bisa memaksakan diri untuk merasa
gembira.
“............”
Di
sebelahku, Otoha diam-diam menatap langit malam, reaksinya tenang.
Tentu
saja, dia selalu menjadi seseorang yang tidak mudah menunjukkan emosinya,
tetapi sekarang dia tampak benar-benar tanpa emosi. Matanya... tak bernyawa.
“...Hoshine.
Matamu tampak seperti ikan mati.”
“Kamu juga sama...”
“...Aku
tahu.”
“Sudah
kuduga...”
Ah, indah
sekali—kembang apinya, paradenya, semuanya. Jika aku menonton ini dalam keadaan
yang berbeda, kupikir aku akan
menganggapnya menakjubkan. Tetapi bagiku dan Otoha saat ini, kecemerlangan yang
memukau itu hanya menonjolkan kekalahan kami.
“Kurasa...
kita sebut saja ini seri.”
“...Lebih tepatnya seperti saling menghancurkan.”
“Aku
berusaha untuk tidak mengatakan itu...”
Kencan
ini adalah pertarungan diam-diam antara aku dan Otoha. Setidaknya, itulah yang
kupikirkan. Dan aku cukup yakin dia menganggapnya
dengan cara yang sama. Tapi pertarungan itu
sendiri adalah kesalahan kami sejak awal.
Ini,
dalam satu hal, adalah pertarungan melawan Eito...
Saat kami
gagal fokus pada orang yang seharusnya kami perhatikan, kekalahan kami sudah
dipastikan.
““Haah...””
Desahan
kami yang serempak, harmoni kekalahan yang sempurna, melayang ke langit malam,
berpadu mulus dengan gema kembang api yang memudar.

