Chapter 6 — Menatap Masa Depan
“Aku selalu
merasa tidak nyaman setiap tahun pada waktu begini.”
Karena hari
ini Amane tidak ada kerja paruh waktu, jadi
mereka berencana mengadakan sesi
belajar di kelas setelah sekolah. Saat mengeluarkan buku pelajaran dari tasnya,
Chitose dengan nada murung menggumamkan kata-kata tersebut. Baik Itsuki dan Chitose sama-sama serius
dalam belajar, tetapi Chitose yang tidak suka belajar pasti merasa enggan untuk
melakukannya.
Hal tersebut
merupakan perasaan yang wajar, jadi tidak ada yang perlu
disalahkan. Namun, rasanya sulit untuk belajar
tanpa adanya motivasi, jadi
ketika Amane mengamati Chitose, dia tampak lelah dan
mengeluarkan napas berat.
“Apa
karena jumlah materi yang terlalu banyak?”
“Bener
banget. Rasanya seperti jatuh dari tebing setelah merasa
senang di Hari Valentine. Kenapa kami harus mempelajari seluruh materi tahun
ini, bukan hanya dari ujian sebelumnya saja?”
Chitose
yang masih memegang buku pelajaran membantingnya
ke meja, dan Mahiru dengan lembut memperingatkan, “Buku pelajarannya bisa rusak”. Dia melihat buku Chitose yang
sudah reyot. Sementara itu, buku Mahiru terlihat bersih tanpa lipatan atau
kotoran. Meskipun ada catatan di dalamnya, setidaknya tidak ada gambar-gambar
aneh atau coretan wajah tokoh terkenal seperti yang ada di buku Chitose.
“Yah,
mau bagaimana lagi kalau materi
yang diujikan bakalan seluas itu.
Karena ujian ini merupakan
pemeriksaan seberapa banyak yang kamu ingat dan kuasai dari apa yang telah
dipelajari tahun ini. Ditambah lagi,
ini latihan untuk ujian masuk universitas,
karena ujian sebenarnya akan mencakup lebih banyak topik.”
“Yah,
manusia mengingat sesuatu melalui pengulangan, jadi jika kamu mulai
melupakannya, sekarang bisa menjadi kesempatan yang baik untuk meninjau ulang.”
“Ah,
aku sama sekali tidak senang! Materinya
terlalu banyak!”
Buku
pelajaran itu beradu dengan meja dan
menyebabkan suara keras, tetapi Amane tidak bisa
menghentikan kegundahan Chitose dan hanya bisa melihat buku yang malang itu,
yang terkena pukulan di sampulnya.
“Sekolah
kita cukup padat dalam menyampaikan materi di kelas
satu dan dua.”
“Tentang
masalah materi yang terlalu luas, kita hanya bisa menyerah, Chii. Jika kita
lebih konsisten belajar setiap hari, kita tidak akan mengeluh sampai sejauh
ini.”
“Ugh,
perkataan itu bikin jleb.”
“Upaya dan perilaku sehari-hari akan
terlihat, jadi mari kita sama-sama
berusaha”
Perkataannya
mungkin menyakiti Itsuki
tanpa sadar, yang menyebabkan Itsuki mengerang,
“Ugh”. Tapi ini
adalah kenyataan yang tidak bisa diubah, jadi Amane
berharap mereka berusaha lebih baik ke depannya.
“Ujian
masuk universitas adalah perang total yang menggunakan pengetahuan yang telah
dipelajari dari sekolah SD, SMP, dan SMA, jadi mari anggap ujian kali ini
sebagai latihan. Ini adalah kesempatan yang baik.”
“Hiii.”
“Pada
waktu tahun depan, semuanya akan jauh lebih mudah. Anak-anak kelas tiga akan mempunyai waktu bebas untuk bersekolah.”
Siswa
kelas tiga yang sudah merasa tenang dengan ujian seperti ujian masuk bersama
dan ujian negeri, di luar hari sekolah yang ditentukan, memiliki kebebasan
dalam memilih untuk datang ke sekolah. Meskipun begitu, cukup banyak siswa
kelas tiga yang tetap datang ke sekolah, jadi tidak ada rasa kebebasan yang
terlalu nyata.
“Tapi
aku tahu ada neraka yang menantiku di depan.”
“Itu
adalah jalan yang harus dilalui, jadi terimalah
dengan pasrah. Kamu bisa memilih untuk tidak melaluinya, tapi
jika begitu, kamu perlu menyiapkan rencana lain untuk masa depanmu.”
“Perkataanmu
masih saja terdengar pedas.”
“Apa,
kamu ingin dimanjakan?”
Amane bisa
saja mengucapkan kata-kata yang lembut dan memotivasi, tetapi
apa itu benar-benar bermanfaat bagi Chitose? Tidak.
Dirinya
tidak ingin membuat Chitose terjerumus dalam
jurang kelam dan sebagai teman, Amane
berharap dia bisa mencapai jalur yang dia inginkan. Untuk itu, ia harus menarik motivasinya,
tetapi karena dirinya tidak
pandai dalam hal itu, jadi ia
akan menyerahkannya kepada Mahiru.
Amane berpikir sejenak tentang apa
yang harus dilakukan jika dia meminta untuk dimanjakan, tetapi Chitose segera menolak.
“Eh,
rasanya bakalan menjijikkan jika kamu bersikap baik
padaku, jadi tidak mau.”
“Aku
mengerti maksudmu, tapi tolong pilih kata-katamu
dengan benar.”
“Habisnya, Amane, kamu lebih tipe yang berpikir
kalau saat-saat seperti ini, lebih baik menusukkan realitas yang menyakitkan
daripada memanjakan dan membuatku terjatuh.”
“Ahhh, Amane
memang punya sisi seperti itu. Kamu membiarkan
Shiina-san yang memberikan dukungan
emosional, dan kalian berdua saling memberikan
hukuman dan hadiah. Kamu tahu bahwa mengungkapkan realitas yang
menyakitkan bisa dianggap buruk, jadi kamu melakukannya sendiri. Saat aku
benar-benar merasa murung,
kamu pasti tidak akan mengatakan hal-hal yang menyakitkan dan hanya mengamati
situasi terlebih dahulu.”
“...
Jika kamu mengerti, jangan dikatakan keras-keras
juga kali, dasar bodoh.”
Kenapa ia
bisa begitu peka dan cepat tanggap dalam hal itu, pikir
Amane sambil melotot ke arah
mereka, tetapi tampaknya al
itu tidak ada pengaruhnya pada mereka berdua.
“Yah,
aku memang mengerti itu sih, tetapi jika berbicara tentang
tingkat ketegasan, Mahirun jauh
lebih spartan. Aku harus mengakui bahwa aku sangat kekurangan di berbagai mata pelajaran.”
“Aku
percaya Chitose-san akan terus mengikuti meskipun ada kesulitan. Aku meyakini hal itu berdasarkan
pengalaman sebelumnya.”
“Uhm,
Mahirun memang pandai memotivasi.”
Dalam hal
ketegasan, Mahiru memang jauh lebih dominan, tetapi cara berkomunikasi dan
suasananya membuatnya tidak terasa berat. Dia sangat pandai membangkitkan rasa
percaya diri dan mendorong orang untuk beruapaya keras,
sehingga meskipun ada arahan yang tegas, itu tidak terasa mengganggu.
Ngomong-ngomong,
saat Amane pertama kali bertemu dengannya, bimbingan
Mahiru juga sangat tajam dan tidak memberi ampun, karena “Jika aku memotivasi dengan kata-kata manis,
kamu pasti akan merasa tidak nyaman”.
Dia benar-benar memperhatikan orang.
“Yahh,
bukan berarti aku tidak punya motivasi, loh?
Aku cuma merasa lelah
dan melampiaskannya
saja, aku tetap berniat untuk berusaha."
“Aku
sudah mengetahui itu.”
Mahiru
sepertinya juga mengerti bahwa sikap Chitose ini hanya karena malas, dan begitu
dia duduk, dia pasti akan melakukannya dengan baik. Meskipun terlihat malas,
dia mengeluarkan kotak pensil dan buku catatan, jadi bisa terlihat jelas bahwa dirinya siap
untuk belajar.
Chitose
menghela napas dalam-dalam dan dengan cekatan memutar pensil sebelum
menggenggamnya, lalu mengarahkan pandangannya ke Mahiru yang selalu tersenyum seperti biasa.
“Mahirun, apa kamu
tidak merasa terganggu dengan segala hal tentang ujian?”
“Uhm,
jika ditanya apa aku menyukainya atau tidak dengan ujian itu sendiri, aku lebih condong ke sisi tidak
suka.”
“Wah,
tidak disangka.”
Hal tersebut
rupanya sampai membuat Itsuki terkejut juga, ia berkedip-kedip dengan mata
besar dan menatap Mahiru.
Entah dia
menyadari tatapan itu atau tidak, Mahiru dengan senyum santai mengusap sampul
buku referensi yang diambilnya dengan ujung jarinya. Hanya Itsuki yang tahu
bahwa buku referensi itu sudah sepenuhnya dikerjakan.
“Aku suka
belajar, kamu tahu, karena belajar berarti mempelajari hal-hal yang tidak
diketahui dan menjadikannya sebagai bekal nanti. Aku jadi merasa senang karena
bisa memahami hal yang sebelumnya tidak dimengerti dan bisa melakukan hal yang
sebelumnya tidak kubisa.”
Selain
memiliki sifat yang serius, Mahiru juga memiliki rasa penasaran yang tinggi dan
semangat untuk mengeksplorasi. Dia menikmati bisa mengetahui hal-hal yang tidak
diketahui, sehingga dia melihat berbagai jenis buku dan video, serta mencoba
berbagai hal sebagai hobi.
Karena
itulah, Mahiru tidak merasa terbebani sama sekali dalam belajar, tetapi ketika
berbicara tentang belajar untuk ujian, tampaknya ceritanya berbeda.
“Namun,
belajar untuk ujian itu sedikit berbeda dari kesenanganku.”
“Berbeda?”
“Tentu saja,
memahami materi yang dianggap perlu itu menyenangkan, tetapi ada unsur paksaan
di dalamnya... Aku menikmati tindakan mengubah yang tidak diketahui menjadi
yang diketahui secara sukarela, jadi aku tidak menemukan banyak kesenangan
dalam pekerjaan yang ditetapkan oleh orang lain.”
Meskipun dia
mengerti bahwa itu adalah sesuatu yang harus dilakukan sebagai seorang pelajar,
Mahiru yang tersenyum tipis tampaknya berubah menjadi senyum yang mengandung
kelelahan.
“Menurutmu,
universitas itu tempat apa?”
“Eh? Kenapa
tiba-tiba tanya begitu? Hmm, mungkin sebagai tempat persiapan terakhir untuk
terjun ke dalam masyarakat? Ada banyak tempat di mana kita bisa mendapatkan
kualifikasi.”
“Bagian itu
juga benar. Pada akhirnya, itu digunakan untuk membantu orang mendapatkan pekerjaan.
Hal tersebut khususnya berlaku di masyarakat, ada penyaringan berdasarkan
pendidikan, jadi kebutuhan pendidikan tinggi semakin penting.”
Universitas
adalah lembaga penelitian sekaligus lembaga pendidikan, tetapi dalam masyarakat
modern, banyak orang lebih membayangkan yang terakhir. Ada pemahaman yang kuat
bahwa universitas adalah lembaga untuk melatih sumber daya manusia yang berkualitas
untuk masyarakat.
“Menurutmu
sendiri bagaimana, Mahirun?”
“Ya, aku
sendiri menganggapnya sebagai lembaga untuk mencari ilmu pengetahuan. Tentu
saja, aku juga percaya bahwa itu memiliki peran sebagai lembaga pendidikan,
karena tujuannya juga termasuk membantu mahasiswa mendapatkan pengetahuan dan
budaya di bidang spesialisasi.”
“...
Ngomong-ngomong, apa ini ada hubungannya dengan apakah kamu membenci ujian?”
“Jadi,
kembali pada pertanyaan tentang apa yang tidak mengenakkan dari ujian masuk.
Ujian masuk di masyarakat modern tampaknya merupakan tindakan untuk memenuhi
standar yang ditetapkan untuk tujuan meletakkan dasar di masyarakat. Saat ini,
universitas terlalu kuat sebagai pabrik produksi dalam roda gigi masyarakat.
Jika berpikir tentang belajar untuk naik ke jalur produksi itu, motivasi akan
lebih rendah dibandingkan dengan yang bersifat sukarela.”
“...
Maksudnya?”
“Artinya, aku
akan melakukannya karena diperlukan, tetapi jika aku menganggapnya cuma sebagai
menjadi roda gigi masyarakat, aku sama sekali tidak merasa termotivasi.”
“Kebanyakan
memang begitu.”
Meskipun
disusun dengan kasar dan dipaksakan, tampaknya tidak ada kesalahan besar,
Mahiru memberikan tepuk tangan kepada Amane.
“Walaupun
aku sudah membicarannya sampai sejauh itu, tetapi perasaanku tidak jauh berbeda
dengan Chitose-san. Ini adalah perasaan yang dimiliki sebagian besar siswa
ujian. Hanya saja, aku suka belajar, jadi cuma itu satu-satunya perbedaanku
dengan Chitose-san.”
“Begitu ya. Aku
sih tidak mengerti rasanya bisa menyukai belajar.”
“Hmm, aku
merasa pencapaian dan kepuasan ketika memahami hal-hal yang tidak diketahui
melalui belajar, tetapi Chitose-san mungkin tidak merasakannya. Mungkin,
Chitose-san lebih mudah merasakan pencapaian dari hasil tindakan nyata daripada
belajar. Misalnya, jika kamu tidak bisa melakukan salto ke belakang tapi
setelah berlatih kamu bisa melakukannya, kamu akan merasakan sebuah pencapaian,
kan?”
“Ya, pastinya.
Rasanya seperti 'Aku berhasil!' Jika waktu lariku semakin cepat,
semangatku juga meningkat.”
“Sebenarnya bukan
begitu maksudku, tetapi bagiku, belajar mempunyai makna seperti itu.”
“Jadi begitu
ya!”
Wajah
Chitose menjadi cerah saat dia akhirnya tampak mengerti, tetapi dia masih tidak
dapat menghilangkan rasa tidak sukanya belajar, sehingga ketiga orang lainnya
saling memandang dengan bingung.
“Menurutku,
ketidaksukaan Chii terhadap belajar begitu kuat sehingga bahkan saat dia mulai
mengerti, hal pertama yang dia rasakan adalah kelelahan dan perasaan ingin
menyelesaikannya. Kegembiraannya pun hampir sirna.”
“Mungkin
meskipun ada rasa pencapaian karena sudah selesai, pencapaian karena memahami
hal tersebut terasa tipis.”
“Betul
banget, betul banget, kamu memahamiku dengan baik... eh, kenapa kalian mulai
menganalasisku? Hentikan, aku merasa telanjang!”
“Sepertinya
kita perlu memikirkan cara untuk meningkatkan motivasi Chitose setelah dia
benar-benar telanjang.”
Mahiru
mengucapkan hal yang terdengar berbahaya, dan Chitose secara refleks memeluk
tubuhnya sendiri, tetapi Mahiru tidak menunjukkan tanda-tanda untuk
berhenti.
Tindakan
mencari cara agar Chitose bisa termotivasi ini terasa sangat bersahabat, tetapi
sebagai objek analisis, Chitose tampaknya tidak bisa tenang dan bergetar
seperti hewan kecil.
Hanya saja, Itsuki
tampaknya tidak memberikan dukungan sama sekali, mungkin ia juga berpikir bahwa
ini adalah hal yang perlu dilakukan.
“Yang paling
jelas dan efektif adalah imbalan, kan?”
“Tapi
meskipun ada hadiah, jika itu menjadi kebiasaan, otak akan terbiasa dengan
stimulasi. Manusia tidak akan terangsang tanpa stimulasi tertentu, jadi dalam
hal mendorong kemandirian, stimulasi itu sendiri penting, tetapi variasi juga
menjadi lebih penting.”
“Sepertinya
kita harus menggunakan metode hadiah dan hukuman, ya.”
“Tapi
terlalu bergantung pada rangsangan eksternal seperti kita juga bukan hal yang
baik. Akan lebih baik jika dia bisa menyiapkan atau membayangkan imbalan
sendiri, tetapi keinginan dari dirinya sendiri yang paling penting.”
“Ikkun,
orang-orang ini menakutkan."
"Ini semua
demi kamu, Chii, jadi terima saja.”
“Ikkun juga
kejam!”
Chitose yang
ditinggalkan dengan mudah, atau lebih tepatnya diawasi, tidak dipaksa oleh
Mahiru yang sebelumnya sudah menyatakan, “Aku tidak akan memaksamu.”
“Alangkah
baiknya jika motivasimu muncul secara sukarela. Sejujurnya, jika kamu tidak
suka, tidak apa-apa jika tetap tidak suka, karena memaksa justru bisa berdampak
negatif. Terutama, jika dipaksa melakukan sesuatu tanpa memahami maknanya, itu
sangat tidak menyenangkan, dan mempertahankan motivasi dalam keadaan seperti
itu adalah hal yang mustahil.”
Tidak ada
orang yang senang diperintah untuk melakukan sesuatu tanpa memahami logika di
baliknya.
Pada
akhirnya, motivasi berasal dari diri sendiri, jadi jika dipaksa untuk
mengeluarkannya, kemungkinan besar tidak akan berhasil. Persiapan untuk
memunculkan motivasi itulah yang bisa dibantu dari luar merupakan batas
kemampuan mereka.
“Namun, situasinya
adalah kita terpaksa melakukannya, jadi sebaiknya memahami bahwa meskipun tetap
tidak suka, kita harus melakukan yang minimal agar tidak mengganggu apa yang
ingin kita lakukan di masa depan.”
Itulah yang
perlu dipahami.
Kadang-kadang,
jika tidak memahami logika, hati tidak akan bergerak. Hal sebaliknya juga
berlaku.
“Apa yang
ingin dilakukan di masa depan.”
“Misalnya,
jika suatu saat kamu ingin memiliki pekerjaan tertentu, dan pekerjaan itu
mengharuskanmu mendapatkan lisensi, maka biasanya kamu akan berusaha untuk
mendapatkan lisensi itu, ‘kan?”
“Iya.”
“Tetapi,
jika lisensi yang penting itu, misalnya... kamu tidak bisa mendapatkannya tanpa
gelar sarjana, bagaimana?”
“……Aku harus
masuk universitas.”
“Benar.
Tapi, jika kamu tidak pernah pergi ke universitas, kamu tidak akan bisa mulai
dari titik itu, ‘kan? Waktu yang terbuang, biasanya butuh setidaknya dua tahun,
atau sekitar empat tahun. Selama waktu itu, mungkin kamu akan berpikir, 'Ah,
seandainya aku lebih siap saat itu, seandainya aku tidak bermain-main.'”
Mahiru
menggambar Chitose yang tampak imut dengan ekspresi bingung di atas kertas
dengan pensil tajam. Dia cukup mahir menggambar, jadi hasil dari rasa ingin
tahunya dan semangat eksplorasi terlihat di sini, membuat Amane jadi sedikit
tersenyum.
“Meski ini
hanya contoh dan bukan kenyataan. Namun, aku pikir sering kali kita merasa,
'Seandainya aku melakukan ini saat itu, seandainya aku berusaha lebih keras.' Penyesalan
seperti itu sangat membekas.”
Mahiru
berbicara seolah-olah itu adalah pengalaman pribadinya, mungkin ada penyesalan
yang bahkan tidak diketahui Amane.
Namun,
tatapan tenangnya yang tidak menunjukkan penyesalan atau penderitaan itu
diarahkan pada Chitose. Sebaliknya, Chitose tampak gelisah seperti gelombang
riak kecil.
“Demi
menghindari penyesalan seperti itu, kita harus mempersiapkan pilihan. Karena
alasan itu, aku merasa bahwa persiapan secara mental tidaklah sulit.”
"Ah,
orang tuaku juga mengatakan hal yang sama. Penyesalan selalu datang terlambat,
jadi lebih baik melakukan apa yang bisa kita lakukan saat itu agar tidak
menyesal. Selain itu, demi meningkatkan pilihan kita, penting untuk menjaga dan
mengembangkan minat dan keinginan.”
Baik Shuuto
maupun Shihoko juga cukup toleran dan membiarkan Amane melakukan apa yang
disukainya, tetapi mereka memang mengatakan bahwa hal-hal yang harus dilakukan
sebaiknya diselesaikan lebih awal agar tidak berdampak di kemudian hari. Meskipun
terkadang Amane merasa enggan, mereka dengan lembut menjelaskan alasannya dan
mengatakan bahwa jika dilakukan, itu akan menjadi menyenangkan, serta memuji
Amane untuk meningkatkan semangatnya.
Selain itu, setiap
kali Amane ingin melakukan sesuatu atas inisiatifnya sendiri, mereka
menghormati perasaannya. Itulah sebabnya Amane ada di tempatnya sekarang.
“Kalau
dipikir-pikir lagi, mereka memberiku kebebasan untuk mencoba hampir semua hal
ketika aku tertarik pada sesuatu, dan mereka mengajarkan tentang nilai dan
kesenangan dari tantangan sejak awal. Jadi aku tidak merasa belajar itu
menyusahkan, dan rasanya menyenangkan jika aku menganggapnya sebagai persiapan.
Karena aku bisa melihatnya sebagai sesuatu yang harus dilakukan, aku bisa
berusaha.”
“Aku yakin Shihoko-san
dan Shuuto-san pasti mengajarimu pola pikir dan cara pandang seperti itu, ya.
Jika mereka memaksa untuk melakukan sesuatu, mungkin tidak akan terjadi seperti
itu.”
“Kurasa
memang begitu.”
Jika
demikian, kemungkinan besar Amane
akan melawan secara biasa dan pasti akan menjadi orang yang kurang termotivasi
dibandingkan sekarang.
“Pokoknya,
jika kamu memahami bahwa melakukan sesuatu
akan menguntungkan di kemudian hari, kurasa motivasimu akan meningkat. Aku tidak ingin kamu menyerah pada apa yang kamu inginkan, Chitose.”
Ketika Amane
mengakhiri perkataannya, Chitose dengan lembut berkata, “Aku mengerti secara logika,
tetapi...”
“Gimana ya,
entah kenapa, baik Mahirun maupun Amane, kalian berdua sangat memahami situasi.”
Chitose
mengungkapkan pendapatnya yang campur aduk antara pujian dan keheranan, dan
Amane serta Mahiru saling bertukar pandang sambil tersenyum kecut karena mereka
menyadari hal itu.
“Kita
sering mendengar bahwa kesenangan berasal dari penderitaan dan penderitaan juga
berasal dari kesenangan. Aku tidak berpikir kita harus mengalami kesulitan apa
pun, tetapi jika itu adalah kesulitan yang diperlukan, aku bersedia
menghadapinya. Jika itu bisa mengasah diriku sebagai manusia.”
Amane sempat
merasa sedikit tertekan dalam sosok Mahiru yang penuh
percaya diri saat berlatih setiap hari, tetapi mungkin Itsuki dan Chitose
merasakan hal yang sama.
Mahiru
dengan berani menunjukkan senyum cerahnya kepada
dua orang yang kehilangan kata-kata.
“Yah, aku akan bersantai ketika bisa,
kok? Aku tidak menyukai kesulitan,
aku hanya melakukannya untuk menjadi diriku yang bisa aku terima. Tanpa
memaksakan diri merupakan hal
yang terbaik.”
“Meski
begitu, Shiina-san luar biasa, aku benar-benar terinspirasi. Lebih baik
menyesal karena melakukan sesuatu daripada menyesal karena tidak melakukannya.
...Aku juga harus berusaha lebih keras.”
Mungkin
terinspirasi oleh sikap Mahiru, hanya Amane yang bisa melihat Itsuki mengepalkan tangannya di bawah
meja.
Itsuki
sebenarnya sudah memiliki motivasi dan tindakan yang jelas, tetapi cara
berpikirnya mungkin terasa mengambang. Sekarang, dirinya tampak lebih terarah,
seolah-olah menginjakkan kaki di tanah dan memandang masa depan.
“Aku
tidak ingin hanya aku yang berleha-leha
sementara kalian berdua bekerja keras, dan pada akhirnya, aku tetap harus
melakukannya, jadi aku harus berusaha.”
“Benar.
Sekarang terserah pada Chitose-san.”
Mahiru
tidak akan memaksakan siapapun.
Chitose
pernah mengeluh bahwa Mahiru sangat ketat dalam hal belajar, tetapi itu
sebenarnya merupakan sesuatu
yang diinginkan Chitose untuk diajarkan. Mahiru selalu tahu bahwa memaksakan
diri tidak akan meningkatkan motivasi Chitose.
Namun,
dengan Chitose yang sekarang, sepertinya tidak ada
yang perlu dikhawatirkan tentang motivasinya.
“Aku
akan berusaha sebaik mungkin, aku
tidak ingin terpisah dari Ikkun. Jika
kemungkinan terburuk terjadi, kita mungkin akan melarikan diri bersama, jadi
aku juga harus berusaha kerjas untuk memastikan bahwa
aku bisa menjalani kehidupan dengan baik.”
“Itu
semangat yang bagus. Aku juga akan membantu sebisa mungkin. Mari kita segera
mulai persiapan untuk ujian akhir tahun.”
“Ahhh!”
Meskipun
itu adalah momen yang sangat serius di
mana semua orang bergantian berbicara tentang antusiasme mereka, tapi satu kalimat dari Mahiru membuat
Chitose mengeluarkan suara menyedihkan, gemetar, dan bernada tinggi yang hanya
bisa digambarkan sebagai ‘sungguh konyol’.
Suara itu
terlalu imut dan konyol untuk disebut teriakan, dan Amane tidak bisa menahan
diri untuk menyipitkan matanya sambil menatap sumber suara dengan curiga.
“Apa
yang terjadi dengan teriakan aneh begitu segera setelah kembali ke topik awal?”
“Mungkin
dia baru menyadari kesulitan di depan matanya. Semangat!”
“Kalian
berdua terlihat ceria, tapi bagaimana dengan situasi kalian?”
“Aku?
Sebenarnya, aku selalu melakukan ulasan secara berkala, dan jika berbicara
tentang ujian akhir semester, aku sudah memperluas materi dan mengerjakan buku
referensi secara perlahan. Ingatan itu terbangun dari pengulangan.”
“Aku
juga belajar bersama Amane-kun, dan saat sendirian, aku biasanya melakukan
ulasan atau mengerjakan buku referensi. Jadi, tidak ada yang perlu
dikhawatirkan.”
Amane
selalu meninjnau ulang
pelajaran yang dipelajari hari itu dan mempersiapkan pelajaran berikutnya saat
dalam perjalanan pulang dari kerja paruh waktu, berusaha agar pekerjaannya
tidak mempengaruhi nilai akademisnya. Dirinya
juga berusaha memperdalam pemahaman dengan belajar bersama Mahiru.
Mahiru
sendiri tampaknya sudah mempelajari materi yang diperlukan untuk ujian masuk
universitas sebelumnya, jadi sebagian besar hanyalah pengulasan ulang, dan dia lebih fokus pada
belajar untuk ujian dibandingkan dengan pelajaran di sekolah.
Meski
demikian, dia mempertahankan peringkat pertama dengan
nyaman. Jadi, kecerdasan Mahiru yang
didukung kerja kerasnya bukanlah sesuatu yang bisa dianggap remeh.
“Akulah yang salah karena sudah bertanya
kepada kalian berdua. Chii, ayo kita sama-sama berusaha...”
“Ya...”
Sementara
Amane dan Mahiru memiringkan kepala mereka dengan bingung, mengatakan bahwa
belajar setiap hari merupakan hal yang wajar,
Itsuki dan Chitose cuma mengangkat bahu mereka dengan putus asa.
