Chapter 3
Keesokan
harinya, aku, Luna, dan Kurose-san menuju rumah sakit tempat Kujibayashi-kun
dirawat. Kujibayashi-kun dibawa ke ruang pertolongan pertama di universitas
kemarin dan langsung menuju rumah sakit dengan taksi, lalu menjalani rawat inap
untuk pemeriksaan. Berdasarkan hasil pemeriksaan, jika tidak ada masalah, dirinya bisa langsung keluar sore hari ini.
“Maria, apa kamu tidak masalah mengambil
cuti kerja?”
Luna bertanya kepada Kurose-san di dalam taksi
yang menuju rumah sakit. Barang yang kami beli untuk menjenguk Kujibayashi-kun
diletakkan di pangkuan Kurose-san. Luna duduk di tengah di kursi belakang,
dengan aku dan Kurose-san di kedua sisinya.
“Tidak
masalah. Aku bilang kalau aku sedang tidak
enak badan sedikit dan akan berangkat siang nanti,” jawab Kurose-san dengan wajah
cerah.
Mungkin
karena ada harapan untuk berpindah ke pekerjaan yang diimpikannya, dia menjadi
lebih toleran terhadap pekerjaan saat ini.
“…Aku
khawatir, jadi ingin cepat-cepat
melihat wajahnya dan merasa tenang,”
gumam Kurose-san.
Sekarang
masih sebelum pukul sepuluh pagi. Waktu kunjungan dimulai pukul sepuluh, jadi
kami sudah merencanakan untuk menjadi yang pertama.
Setelah
menuju ke lantai yang ditunjukkan di resepsi, kami menemukan Kujibayashi-kun
yang mengenakan piyama biru yang tampaknya dari rumah sakit, sedang berbaring
di tempat tidur. Kujibayashi-kun mengangkat sandaran tempat tidurnya dan duduk
setengah bersandar sambil membaca buku. Buku akademis dengan label perpustakaan
universitas di sampulnya.
Tangan
kanannya dibalut perban. Dirinya
mengalami patah tulang di pangkal jari telunjuk akibat benturan saat terjatuh.
“Kujibayashi-kun.”
Aku
memanggilnya sambil mengetuk pintu yang terbuka sedikit.
Ruangan itu adalah kamar dua tempat tidur, dan tempat tidur di seberang
tampaknya juga sedang digunakan, tetapi tirainya terbuka dan pasiennya tidak
ada.
“…!”
Kujibayashi-kun
mengangkat wajahnya dari buku dan melihatku, tetapi saat melihat Luna dan
Kurose-san di belakangku, ia menutup mulutnya yang hampir terbuka.
“Permisi.
Kamu sudah mengalami banyak hal, ya,”
kataku.
“Tapi
senang melihat kamu baik-baik saja!”
tambah Luna.
Kami berdua menyapanya, tetapi Kujibayashi-kun tampak
canggung seperti anak kecil yang pemalu. Mungkin dirinya merasa sadar akan keberadaan
Kurose-san.
“Ini,
kami membawakan buah tangan
untuk menjengukmu. Aku akan meletakkannya di sini, ya,” kataku.
Karena
dia akan keluar hari ini, aku memilihkan makanan kecil yang tidak akan
merepotkan jika terlalu banyak barang. Aku membelinya di toko stasiun yang
menjual oleh-oleh sebelum gedung stasiun buka. Aku meletakkannya di tempat
penyimpanan rendah di samping tempat tidurnya.
“…Terima
kasih,”
Kujibayashi-kun
akhirnya mengeluarkan suara dan menundukkan kepalanya.
“Selain
tangan kanan, apa kamu mengalami luka
yang lain?” tanyaku.
“Sisanya
hanya memar dan goresan,”
jawabnya.
“Begitu…
kamu sudah mengalami banyak hal,”
kataku.
Meskipun
begitu, aku senang melihatnya dalam keadaan
baik.
“Apa
kamu sudah mendengar tentang kapan perkiraan kamu bisa sembuh?”
Luna
bertanya kepada Kujibayashi-kun, dan ia
sedikit ragu sebelum menjawab, “Satu
bulan.”
“Begitu ya... Semoga cepat sembuh. Tangan dominanmu itu yang kanan, ‘kan?”
Mendengar
pertanyaan Luna, Kujibayashi-kun
mengangguk tanpa berkata-kata.
“Kalau
begitu, pasti rasanya cukup merepotkan ya.
Jangan memaksakan diri untuk datang ke pernikahan, ya? Tentu saja, aku akan
senang jika kamu datang.”
“Aku
akan datang tanpa masalah.”
Aku tidak
bisa menahan senyumanku ketika mendengar jawaban Kujibayashi-kun
yang tegas kepada Luna.
Setelah
membahas tentang kecelakaan dan cedera, aku ingin tahu kabar terbaru Kujibayashi-kun.
Aku pernah berkomunikasi melalui pesan dari Indonesia beberapa kali, tetapi ini
adalah pertama kalinya kami bertemu dan berbicara setelah sekitar empat bulan.
Dulu, saat di universitas, kami bahkan sering bertemu setiap hari, jadi ini
terasa cukup lama.
“Bagaimana
dengan kuliah pascasarjanamu?”
“Karena
para dosen dan seniornya tetap sama, jadi tidak ada yang baru. Satu-satunya
perubahan adalah aku diizinkan menggunakan ruang belajar di gedung penelitian.”
Jawaban Kujibayashi-kun
mengalir seperti biasa saat aku bertanya padanya.
“Kamu
sendiri, bagaimana kehidupanmu di
negara asing itu?”
“Karena ini
adalah pengalaman pertama dalam kehidupan kerja, dan juga pertama kali tinggal
sendiri dan hidup di luar negeri, jadi aku
merasa sangat terbebani sampai terbiasa.
Sekarang pun, aku masih belum
sepenuhnya terbiasa.”
“Kesengsaraan
musim panas negara tropis
tidak bisa dibayangkan oleh orang seperti aku yang lebih menyukai
tempat teduh.”
“Namun,
anehnya, itu cukup nyaman. Aku bahkan berpikir bahwa musim panas di Jepang
mungkin lebih menyiksa.”
“Iklim
musim panas di negara kita yang lebih tidak nyaman dibandingkan negara di bawah
garis khatulistiwa adalah masalah serius.”
Sambil
berbicara, aku dan Kujibayashi-kun merasa
tidak nyaman karena Luna dan Kurose-san
juga ada di sana, dan semua orang kecuali Kujibayashi-kun
berdiri.
Hanya ada
satu kursi di samping tempat tidur, jadi semua orang saling menghormati dan
tidak duduk. Mungkin itu sebabnya ada lobi yang tampaknya untuk pertemuan di
sepanjang jalan, dan orang di tempat tidur seberang mungkin sedang pergi ke
sana.
Namun, Kujibayashi-kun
baru saja mengalami cedera kemarin, jadi aku merasa tidak enak jika kami
memaksanya berjalan ke lobi untuk kami.
Yang
paling penting, aku ingin Kurose-san, yang
sejak tadi diam, berbicara dengan Kujibayashi-kun.
“...
Baiklah,
kalau begitu kami permisi dulu karena aku dan Luna
mempunyai sesuatu yang ingin dibicarakan
tentang pernikahan.”
“Eh?”
Luna melihatku
dengan ekspresi terkejut sejenak, tetapi ketika aku melirik Kurose-san dan mengedipkan mata padanya, dia
segera memahami dan mengangguk.
“Kalau
begitu, sampai jumpa lagi, Kujirin!
Semoga kamu cepat sembuh ya!”
“Jaga
kesehatanmu, ya. Sampai jumpa lagi
di pernikahan.”
“…………”
Kurose-san melirik kami saat kami meninggalkan ruangan,
tapi dia tidak mengucapkan apa-apa.
◇◇◇◇
Aku
melangkah keluar di koridor dan mulai berjalan menuju arah
lobi.
“Untuk
sementara, mari kita tunggu Kurose-san di lobi.
... Eh, Luna?”
Luna
berlutut di luar pintu ruang perawatan, mengarahkan pandangannya ke dalam.
“....Kamu lagi ngapain?”
“Sssttt!
... Aku khawatir apa Maria bisa
mengungkapkan perasaannya dengan baik, jadi aku ingin mengawasinya dari sini.”
Dia
berkata dengan pelan.
“............”
Aku
berpikir bahwa mengawasinya saja
tidak akan banyak membantu, tetapi karena Luna
tidak mau bergerak, aku juga ikut berjongkok di sampingnya.
Aku tidak
bisa melihat wajah Kujibayashi-kun
dari tempatku berjongkok karena tertutup bayangan tirai
yang terbuka. Aku bisa melihat punggung Kurose-san
yang duduk di kursi di samping tempat tidur.
“............”
Keduanya
terdiam sejenak.
“...
Apa kamu sudah makan dengan baik? Mau aku bawakan
sesuatu?”
Kurose-san
membuka percakapan dengan nada khawatir.
“Tidak.”
Kujibayashi-kun
menjawab.
“Apa-apaan dengan cara berbicaramu itu?”
Kemudian,
Kurose-san
berkata dengan nada tegas.
“Berbicaralah
seperti biasanya. Di LINE, kamu berbicara dengan baik, ‘kan?”
“............”
Kujibayashi-kun
langsung dibuat terdiam setelah diingatkan
oleh Kurose-san.
“...
Tangan yang ini tidak ada masalah, ‘kan?”
Yang ditanyakannya tentu saja adalah tangan kirinya
yang dekat dengan Kurose-san.
“Boleh
aku menyentuhnya?”
Aku
merasakan kalau Kujibayashi-kun
mengangguk ragu, dan Kurose-san
meletakkan tangan kanannya di atas tangan kiri yang terletak di atas tempat
tidur.
“...
Tanganmu terasa dingin. Apa ini karena pendingin
udara?”
Kujibayashi-kun
tetap diam saat Kurose-san
berbicara pelan seolah-olah sedang berbicara pada dirinya
sendiri.
“Kamu
memiliki tangan seperti ini. Kita sudah berhubungan selama hampir dua tahun,
tapi aku sama sekali tidak tahu.”
Kurose-san
berkata dengan penuh perasaan.
“...
Tanganmu hangat, ya.”
Setelah
beberapa saat, suara Kujibayashi-kun
terdengar.
“Hehe,
kenapa kamu menggunakan bahasa formal? Kita ini
sebaya, kan?"
Ucap Kurose-san sambul tertawa. Aku teringat saat aku
mengungkapkan perasaan kepada Luna di masa lalu dan merasa
nostalgia.
“Hal yang
sama juga berlaku untuk pesan LINE juga. Mari kita gunakan
bahasa santai mulai sekarang.”
“...
Aku akan berusaha.”
“Kan,
lagi-lagi.”
Kurose-san
tertawa, dan Kujibayashi-kun kembali terdiam.
“...
Aku berharap kita bisa bertemu
lebih cepat.”
Kurose-san
berbicara dengan nada yang tenang dan dipenuhi kesedihan yang mendalam.
“Aku
sudah lama menunggumu untuk mengatakannya 'Mari kita bertemu'."
Sambil
memperkirakan perasaan Kujibayashi-kun yang
tidak menjawab, aku mendengarkan suara Kurose-san.
Luna
juga menahan napasnya sambil
mengawasi di dalam ruang perawatan.
“Ketika
aku mendapat tawaran bekerja di perusahaan
yang sama dengan Kashima-kun dan
meninggalkan Jepang... Aku tiba-tiba membayangkan wajahmu,
dan tak kuasa menahan keinginan untuk bertemu denganmu. Aku bahkan ingin mendengar
suaramu, jadi aku menelepon... tetapi inilah yang terjadi.”
Kurose-san
terdiam sejenak.
Kemudian,
tiba-tiba suara Kujibayashi-kun
terdengar.
“Ketika
aku mendengar dari telepon bahwa kamu akan pergi dari Jepang, pandangan di depanku tiba-tiba berubah menjadi
gelap. Ketika aku menyadarinya, lantai yang seharusnya ada di bawah kakiku
menghilang.”
Kujibayashi-kun
dengan tenang menceritakan
pengalamannya.
“...
Sesaat sebelum aku terpeleset dari tangga dan jatuh ke lantai, seluruh hidupku
melintas seperti lampu sorot di pikiranku.”
Aku merasa
merinding ketika membayangkan momen itu seolah-olah terjadi
padaku,. Sekali lagi, aku bersyukur karena ia hanya
mengalami cedera ringan.
“Aku
berpikir mungkin aku akan mati dan sangat menyesal. Itu bukan penyesalan karena
tidak bisa menyelesaikan studiku dan meninggal di tengah jalan...”
Setelah berkata sampai
sejauh itu, Kujibayashi-kun sedikit ragu untuk
melanjutkan.
“...
Itu adalah penyesalan karena tidak bisa menyampaikan perasaanku padamu hingga
akhir.”
Suasana hening selama beberapa detik terjadi di dalam ruang perawatan.
“...
Aku menyikaimu. Kurose
Maria-san.”
Tidak
ada semangat yang terasa tegas dan maskulin dalam
pengakuannya, juga tidak ada beban yang seolah mengungkapkan
tekad seumur hidup.
Layaknya
air yang mengalir dari atas ke bawah, seperti matahari yang terbit dan
terbenam, Kujibayashi-kun hanya menyampaikan apa yang ada
di sana dengan cara yang biasa, mengungkapkan perasaannya kepada Kurose-san.
“Ketika kamu
pergi ke sana, aku berharap kalau kamu
bisa mengingat bahwa ada seorang pria yang mendoakan kesehatan dan kebahagiaanmu.”
Aku yakin
itulah semua perasaan Kujibayashi-kun. Aku
memahami bahwa itulah dirinya yang sebenarnya.
“Bodoh...”
Suara Kurose-san
bergetar oleh air mata, dan bahunya mulai bergetar.
“Seharusnya
kamu bilang lebih cepat... Jika tidak, aku bisa lebih...”
Sebelum
menyelesaikan kalimatnya, suara Kurose-san
terhenti karena air mata menghalangi suaranya. Namun, aku bisa mengerti apa
yang ingin dia katakan.
Dia ingin
lebih banyak bertemu, berbicara, dan saling berinteraksi... ingin berbagi waktu
yang menyenangkan. Perasaan itu pasti meluap.
“…Maria…”
Ketika
aku melihat Luna, dia juga ikut
meneteskan air mata.
Kurose-san
merunduk di atas tempat tidur karena
menangis terisak-isak, sementara tangan kiri Kujibayashi-kun
melayang-layang di atas punggungnya.
“…Ayo
pergi, Luna.”
Setelah
memastikan tangannya mendarat dengan aman di punggung Kurose-san,
aku mendorong Luna dan kami meninggalkan ruang perawatan Kujibayashi-kun.
◇◇◇◇
Aku dan Luna
meninggalkan gedung rumah
sakit dan mulai berjalan menuju stasiun yang berjarak sekitar lima belas menit.
Kurose-san
pasti akan berada di samping Kujibayashi-kun selama
waktu yang diizinkan.
“Ah...
Aku benar-benar merasa bahagia untuk Maria...”
Mengusap air
mata yang muncul kembali di sudut matanya dengan ujung jari, Luna
menghela napas pelan. Luna memegang payung lipat,
dan wajahnya yang terteduh tampak sejuk.
“Akhirnya.... Maria
berhasil mendapatkan cinta yang selalu dia
dambakan...”
“Walaupun
tiba-tiba menjadi hubungan jarak jauh sih.”
Hanya itu
yang membuatku merasa kasihan, tetapi setelah hampir dua tahun berkomunikasi
hanya melalui LINE, sepertinya mereka bisa mengatasi kehidupan jarak jauh
selama beberapa tahun.
“Ryuuto.”
Saat aku berpikir
tentang hal itu, Luna memanggilku.
“Ya?”
Ketika
aku melihat ke samping, Luna tersenyum dan
menatapku.
“Terima
kasih banyak karena selalu menjaga Maria.”
Tatapannya
dipenuhi dengan rasa terima kasih yang tulus.
“Mulai
sekarang, tolong jaga adikku terus ya.”
“Mulai
sekarang...?”
Ketika
aku mengulang pertanyaannya, Luna tertawa seolah berkata, “Apa kamu lupa?”.
“Kalian berdua akan bekerja di tempat
yang sama, kan?”
“Oh,
benar juga... Sama seperti saat di penerbitan
Iidabashi.”
Karena
kami baru saja bekerja bersama, jika aku bertemu Kurose-san
dan Fujinami-san setiap hari, aku bisa saja
salah mengira Jakarta sebagai perusahaan penerbit
Iidabashi.
Luna tiba-tiba mengalihkan pandangannya dariku dan berjalan
sambil menengadah melihat langit-langit hitam payungnya.
Hari ini
Tokyo sangat cerah. Sinar matahari yang begitu kuat
setelah musim hujan menyinari kepalaku yang tidak terhalang.
“…Akhir-akhir
ini, aku sangat merasa bahwa aku dan Maria adalah
satu kesatuan…”
Tiba-tiba
Luna
mengalihkan pandangannya ke bawah dan berkata demikian.
“Bagian
diriku yang tersembunyi adalah Maria. Bagian
tersembunyi Maria adalah aku. Tidak masalah siapa yang
dilahirkan lebih dulu…”
Ketika
aku berusaha untuk membalas ucapan penuh perasaan itu, Luna
mengangkat wajahnya dan tersenyum padaku.
“Terima
kasih telah menyukai kami berdua.”
Melihat
rasa terima kasih yang tulus muncul di
matanya, aku menjadi tidak bisa berkata apa-apa.
Saat aku
mengungkapkan perasaanku kepada Kurose-san dan
ditolak di kelas satu SMP.
Saat aku
menasihati Kurose-san di tangga sebelum atap.
Saat aku
memeluk Kurose-san di gudang gym.
Saat aku
dipeluk sambil menangis di taman.
Beberapa
kenangan itu muncul di benakku, tetapi semua itu tersedot oleh senyuman indah Luna
di depanku.
Luna
melanjutkan perkataannya.
“Dan
terima kasih telah memperkenalkan teman penting kepada Maria.”
“…Ah,
tidak… sama-sama.”
Jika
bukan karena Kurose-san, aku mungkin tidak akan memahami
kebaikan hati Kujibayashi-kun. Dalam pengertian itu, aku juga
berterima kasih kepada Kurose-san. Aku berdoa untuk kebahagiaan
abadi Kurose-san dan Kujibayashi-kun.
“…Hei,
Ryuuto?
Apa kamu punya rencana setelah ini?”
Ketika
suasana menjadi hening, Luna bertanya padaku.
Luna
menatapku dengan pipi yang memerah.
“Eh?
Umm, aku ada janji dengan Icchi dan Nisshi
jam enam…”
“Kalau sebelum
itu?”
“Tidak
ada sih, tapi aku membawa ini untuk
ditulis di suatu tempat.”
Sambil
berkata demikian, aku mengeluarkan file dari tas. Di dalamnya terdapat puluhan
kartu tempat duduk untuk pernikahan.
Karena Luna
ingin menulis pesan untuk setiap tamu di belakang kartu tempat duduk yang
dicetak namanya, aku merasa tidak enak jika tidak menulis untuk tamu undangan
dari pihak pengantin pria, jadi
aku membawa kartu tempat duduk untuk tamuku sendiri. Karena di rumah sepertinya
sulit untuk berkonsentrasi, aku berencana untuk menulisnya
di kafe yang tidak terlalu ramai sebelum pertemuan malam.
“Uwahh!
Ngomong-ngomong, aku juga belum menulis untuk tamuku sendiri!”
“Selain itu, Luna,
bukannya kamu bilang hari ini akan pergi
untuk mengurus surat pindah? Kantor pemerintah tutup lebih awal, jadi kita
harus pergi sebelum sore.”
“Benar juga! Waaah, ada banyak sekali yang harus
dilakukan!”
Luna
segera membuat wajah sedih “pien~”.
“...Begitu ya… Jadi setelah makan siang kita
bubar, ya…”
“Ya…
Aku akan pergi ke stasiun
O untuk pertemuan, jadi aku akan pergi bersamamu sampai stasiun O, ya?”
Luna
yang tampak sedih membuatku merasa kasihan, dan aku juga ingin bersama, jadi
aku berkata demikian.
“Kita
bisa bertemu lagi besok.”
“Ya…”
“Kalau
kita sudah di sana, kita bisa bersama setiap hari.”
“…Iya,
kan…”
Ketika
dia melihatku dengan wajah seperti itu, aku ingin memeluknya dan itu membuatku
bingung.
Aku juga
sudah menekan keinginanku untuk berhubungan intim dengannya......
Meskipun
begitu, kami berada di tengah kota besar Tokyo.
Di
trotoar jalan utama yang dipenuhi gedung perkantoran, minimarket, dan
restoran.
Di tengah
hari yang terik, meskipun ingin melakukan sesuatu, aku tidak bisa
bergerak.
“…Bagaimana
kalau kita masuk ke suatu tempat dan makan siang?”
Saat aku
memanggil Luna, dia juga mengangguk dengan alis yang
sedikit turun.
“Ya,
benar…”
Setelah
itu, aku dan Luna menikmati makan siang yang sehat bersama.
◇◇◇◇
Setelah
itu, aku dan Luna pergi ke stasiun
O dan berpisah. Aku menulis kartu tempat duduk di restoran ritel di depan stasiun O, lalu menuju ke pintu masuk
pada pukul enam.
“Halo,
Kasshi,
lama tidak bertemu!”
“Nisshi,
lama tidak bertemu! Enaknya bagaimana?
Mau pergi ke tempat biasa saja?”
“Ya,
benar.”
Setelah
bertemu Nisshi, kami berjalan menuju restoran keluarga
bergaya Cina yang sering kami kunjungi saat SMA.
“Sayang sekali buat Icchi. Padahal
nasi goreng di sana adalah favoritnya.”
“Iya.
Tapi yah mau bagaimana lagi…”
Aku baru
saja menerima pesan dari Icchi bahwa dirinya tidak bisa datang karena
demam akibat flu yang didapat dari anaknya. Sayang sekali, sepertinya aku tidak
akan punya kesempatan untuk bertemu Icchi sampai
hari pernikahan.
“Bagaimana
dengan Indonesia? Setiap hari merasa seperti liburan tropis?”
“Tidak
juga. Aku hanya bolak-balik antara rumah dan kantor, dan Jakarta adalah kota
besar, jadi tidak ada perasaan seperti di tempat
resor.”
“Begitu
ya. Jadi, Kasshi sudah menjadi budak
perusahaan yang baik.”
“Ahaha.
Nisshi,
kamu sendiri gimana dengan
pekerjaanmu?”
Nisshi
mulai mencari pekerjaan sejak musim gugur semester akhir
masa kuliahnya dan bekerja di departemen hukum perusahaan kecil
di bidang IT. Dia tiba-tiba beralih arah karena ujian sekolah hukum tampaknya
sulit, tetapi sambil bekerja, dia belajar dan ingin mendapatkan kualifikasi
seperti notulen pengadilan di kemudian
hari.
“Ya,
begitulah.”
Nisshi
selalu menjawab seperti itu, entah itu dalam artian
baik maupun buruk. Namun, melihat wajahnya, sepertinya pekerjaannya cukup
lancar.
Setelah
kami tiba di restoran keluarga, kami duduk di meja dan melihat menu untuk memesan.
“Kelihatannya
mereka ada promosi porsi
besar-besaran.”
“Oh,
Icchi
pasti akan senang jika ia ada di sini.”
“Ketika
aku memikirkan Icchi, aku jadi ingin makan nasi goreng.”
“Aku
juga. Hari ini mungkin aku pesan nasi goreng dengan ayam goreng.”
Dan
begitulah kami berbicara seperti ini, saat aku bersama Nisshi,
kami selalu membicarakan Icchi,
dan saat aku bersama Icchi,
kami membicarakan Nisshi. Jika
aku tidak ada, aku penasaran apakah mereka berdua membicarakanku, dan itu
membuatku sedikit malu.
“Ngomong-ngomong,
anak Icchi sekarang umur
berapa?”
“Hm?
Umm, sepertinya lahir pada bulan April tahun lalu… jadi kurasa sekarang berumur satu tahun
tiga bulan”
“Ah,
sudah selama itu ya. Rasanya baru kemarin
lahir.”
“Benar,
waktu terasa semakin cepat berlalu setiap tahun.”
Saat itu,
pelayan membawa makanan ke meja kami.
“Maaf sudah membuat Anda
menunggu!”
Piring berat diletakkan dengan suara gedebuk berat di hadapanku dan Nisshi. Itu
adalah menu porsi yang jelas-jelas
terdiri dari nasi goreng yang dipenuhi dengan banyak ayam goreng dan
gyoza.
“Eh!?”
Melihat
kami saling memandang dengan terkejut, pelayan itu
memeriksa pesanan di tangannya.
“Ah,
maaf, itu untuk meja lain.”
Pelayan langsung meminta maaf dan segera menarik
piring itu pergi.
Kami
kembali saling memandang.
“Woahh, tadi
itu bikin kaget banget.”
“Mana
mungkin aku bisa makan sebanyak
itu."
“Benar.
Karena kita bukan Icchi.”
Sambil
berkata demikian, aku jadi
teringat Icchi yang
pernah makan pasta porsi besar di tempat kerja Nisshi.
“…Haha.”
“Ada
apa?”
Aku tidak
bisa menahan tawaku ketika mengingatnya, dan Nisshi
bertanya.
“Ah, bukan apa-apa, aku hanya mengingat
saat aku dan Icchi mengunjungi
tempat kerja paruh waktumu, dan kemudian Asako-san
membawa pasta porsi besar yang ilegal.”
Setelah mendengar
kata-kataku, Nisshi tiba-tiba terlihat gelisah. Aku merasa penasaran, dan Nisshi
membuka mulutnya dengan sedikit canggung.
“…Oh iya, ngomong-ngomong.”
“Hm?”
“Aku
mulai berpacaran dengan Asako
sejak bulan lalu.”
“Eh!?”
Aku tidak
percaya dan menatap Nisshi.
“Asako yang
dimaksud itu Asako-san!?”
“Ya,
Asako
Wakana yang bekerja bersama di
tempat kerja paruh waktuku.”
Nisshi
menjawab sambil menggerakkan mulutnya.
“Eh,
begitu!? Bagaimana ceritanya?”
“…Ketika
aku bilang kalau aku sudah putus
dengan pacarku, dia
langsung menghubungiku hampir setiap hari untuk 'Ayo berkencan'. Aku
baru saja ditolak oleh gadis yang
sudah aku suka sejak SMA, jadi aku tidak dalam suasana hati untuk itu.”
Nisshi
berbicara dengan ekspresi canggung dan
mengindari tatapanku.
“Tapi
setelah beberapa bulan, aku memutuskan untuk mencari
pekerjaan,
mendapatkan tawaran kerja, dan mulai bersemangat
menjalani kehidupan baru lagi… Tapi dia masih sering mengajakku, jadi aku berpikir gadis yang mau mengajakku dengan
begitu gigih adalah sesuatu yang langka, jadi aku mulai sesekali pergi
bersamanya… Dan ketika aku melihatnya, dia kecil dan imut, serta ceria dan
menyenangkan… yah intinya,
aku mulai menyukainya.”
“Begitu ya… aku senang
mendengarnya.”
Entah
kenapa, aku merasa kagum dengan ketekunan Asako-san.
Jika
dipikir-pikir, sudah lebih dari setahun sejak Nisshi
berpisah dengan Yamana-san.
Waktu terasa sangat cepat berlalu.
Saat itu,
pesanan kami akhirnya tiba di meja, dan kami mulai makan nasi goreng ayam
goreng ukuran normal.
“Ngomong-ngomong,
Asako
juga bilang ingin ikut di acara kedua pesta
pernikahan Kasshi, bagaimana?”
Saat Nisshi
mengatakannya sambil makan, aku menghentikan tanganku yang membawa sendok ke
mulut.
“Eh?”
“Kalau
tidak bisa, tidak masalah, tapi dia terus-menerus bilang 'Tanya saja'.”
“…Mungkin
tidak masalah. Karena masalah daftar
tamunya diatur oleh Luna, jadi aku akan bilang padanya.”
Meskipun
kehadiran di acara kedua sudah dicatat secara sementara, kami juga menyambut
partisipasi mendadak pada hari itu, jadi sepertinya tidak ada masalah.
“Terima
kasih, ya.”
“…Tapi,
apa kamu yakin baik-baik saja?”
“Hm?
Apa maksudmu?”
Ketika Nisshi
bertanya balik, aku menjawab dengan ragu.
“Karena mungkin
Yamana-san akan datang ke acara kedua…”
“Oh,
ya.”
Nisshi
mengangguk seolah itu hal yang biasa.
“Asako
juga tahu tentang itu, maksudku, justru karena alasan
itulah dia ingin datang…”
“Eh?”
“Dia
bilang, 'Aku
ingin tahu wanita seperti
apa yang disukai Senpai selama
bertahun-tahun! Aku
ingin menjadi wanita yang sesuai dengan selera Senpai, jadi aku akan mengambil referensi dari
mana saja!'”
“Eh—!”
Kuat
sekali…!
“Kalau itu aku, aku bahkan tidak ingin tahu wajah mantan
pacarnya dan tidak bisa membayangkan untuk mengambil referensi darinya…”
“Benar.
Dia keren banget, ‘kan.”
“…………”
Entah
bagaimana pembicaraan kami
berakhir di situ, dan ketika kami makan nasi goreng dalam
keheningan, tiba-tiba aku menyadari sesuatu.
Ngomong-ngomong,
Nisshi
tahu wajah mantan pacar Yamana-san,
Sekiya-san, dan berusaha untuk menjadi
pengacara yang bisa bersaing dengan dokter karena
terinspirasi dari jalur karier Sekiya-san.
“…………”
Jika
dipikir-pikir begitu, Nisshi
juga cukup kuat, dan mungkin dia dan Asako-san
adalah orang yang serupa dan saling cocok.
“…Kurasa, aku mungkin sudah salah dalam
cara berpacaran selama ini.”
Nisshi
berkata pelan sambil mengumpulkan sisa nasi goreng di piring
dengan sendok.
“Kurasa
di suatu tempat dalam hatiku, aku tahu bahwa Nikoru tidak
akan pernah menyukaiku seperti dia menyukai ‘Senpai’-nya.”
Ia
mengucapkan itu dengan nada seperti berbisik, menatap sisa nasi goreng yang
hanya cukup untuk satu suapan di sendoknya.
“Tapi,
aku berpikir bahwa cinta itulah yang
menyakitkan, sulit, dan menyedihkan. …Mungkin, aku terjebak dalam diri sendiri
yang seperti itu.”
Mendengar
kata-kata teman yang tenang, aku juga mendengarkan dengan hening. Di restoran keluarga
yang ramai saat makan malam, hanya meja kami yang berada dalam suasana
tenang.
“Tapi,
aku menyadari bahwa aku juga berhak
untuk pergi ke dunia yang lebih lembut dan hangat.”
“…Begitu ya.”
Aku meyakini
kalau
Nisshi
pasti berada di dunia yang lembut dan hangat sekarang.
Ia telah menemukannya di sebelah
wanita bernama Asako-san.
Melihat Nisshi
yang dengan bahagia menghabiskan suapan terakhir nasi gorengnya, aku merayakan
jalan baru yang akan dilaluinya
bersama pasangan barunya.
