Chapter 8 — Pemesanan White Day
Setelah
ujian akhir semester yang
melelahkan akhirnya selesai,
Amane dan Mahiru merasakan suasana santai yang kembali seperti beberapa minggu
lalu. Perasaan lega saat beban yang ditanggung
hilang tentu dirasakan oleh Amane dan Mahiru yang menghadapi ujian dengan
tenang.
Selama
dua minggu terakhir, mereka terus-menerus belajar setelah makan dan merapikan,
jadi kini setelah selesai makan malam, mereka bisa duduk santai di meja makan
dan berbincang-bincang tanpa beban.
Meskipun
mereka tahu ini hanya istirahat sejenak, saat ini, seraya dipenuhi rasa aman dan pencapaian
setelah ujian selesai, rasanya tidak ada salahnya untuk bersantai.
Amane
yang duduk di seberang Mahiru, yang tampak rileks
menikmati suasana santai, melirik kalender yang muncul di
ponselnya. Waktunya sudah
akhir Februari, dan perayaan White Day semakin
mendekat. (TN: Buat yang belum tahu kapan hari white day,
WD jatuh pada tanggal 14 Maret, sebulan setelah hari valentine)
Ia
belum memberitahu Mahiru tentang rencana White Day. Amane sempat berpikir untuk memberitahunya lebih awal,
tetapi saat itu Mahiru sedang fokus mempersiapkan ujian, dan ia khawatir hal
itu bisa mengganggu konsentrasi Mahiru.
Ada
kemungkinan Mahiru akan lebih serius dalam belajar sebagai hadiah untuk ujian,
tetapi juga ada risiko bahwa dia akan terganggu dan kehilangan fokus. Jadi, Amane
memutuskan untuk menyimpan informasi itu sampai ujian selesai.
Tentu
saja, ia tidak pernah berpikir bahwa Mahiru akan kehilangan fokus sepenuhnya,
dan dari perilaku Mahiru sehari-hari, ia merasa tidak ada masalah. Namun, Amane tidak ingin menambah elemen yang
membuatnya khawatir, jadi ia memilih untuk tidak memberitahu.
“Mahiru,
bisa aku berbicara denganmu sebentar?”
Dengan
perut yang cukup kenyang dan merasa nyaman, Mahiru menatap Amane dengan
penasaran saat dia berdiri dan memanggilnya.
“Ah,
tidak masalah, tapi tunggu sebentar. Aku ingin menyimpan sisa saus daging ke
dalam kulkas.”
“Aku akan
melakukannya. Kamu bisa istirahat di sofa. Terima kasih seperti biasa.”
Meskipun Amane
sering bertanggung jawab di
hari-hari tanpa kerja paruh waktu, jika dirinya
memiliki jadwal kerja paruh waktu, ia hanya bisa menyerahkan
tugas memasak malam kepada Mahiru. Jadi, dalam situasi seperti ini, seharusnya Amane
melakukan pembersihan dengan baik.
Karena Amane
ingin memberi Mahiru waktu untuk beristirahat,
jadi sebelum Mahiru sempat berbicara, ia mulai mengangkut piring-piring ke
dapur, sementara Mahiru menatapnya dengan tatapan tidak puas dari balik meja.
“Mou... Pekerjaanku malah diambil.”
“Sejak
aku mulai kerja paruh waktu, bebanmu mulai semakin
bertambah, jadi aku ingin melakukan ini. Kamu bisa bersantai saja.”
“Bukannya kamu punya sesuatu yang ingin dibicarakan, Amane-kun?”
“Aku
ingin berbicara setelah semuanya tenang.”
Membicarakan
hal penting sambil menyisakan pekerjaan yang harus dilakukan membuat suasana
tidak nyaman, dan Mahiru pasti akan terganggu oleh pikiran tersebut, jadi Amane
berniat untuk segera menyelesaikannya. Untungnya, mencuci piring dan menyimpan
sisa makanan dari makan malam bisa dilakukan dengan cepat, dan dalam waktu
sepuluh menit, mereka seharusnya bisa siap untuk berbicara.
Amane
berniat menyelesaikannya dengan cepat,
tetapi Mahiru yang sebelumnya dia tahan kini datang ke dapur dengan ekspresi
sedikit terkejut dan langsung berdiri di sampingnya. Dengan wajah seolah
berkata “mau bagaimna lagi deh,” dia tampak senang.
“Kalau
begitu, lebih baik kita lakukan bersama agar lebih cepat. Aku akan memindahkan
sisa makanan ke wadah, jadi Amane-kun bisa mencuci piring.”
Mahiru
dengan gerakan yang lebih lincah daripada Amane mulai memindahkan makanan ke
wadah untuk makan malam esok, dan Amane hanya bisa tersenyum kecil.
“…Terima
kasih.”
“Seharusnya
aku yang bilang begitu…”
Mouu,
Mahiru dengan manisnya memberi sedikit dorongan
pada bahu Amane, dan Amane juga tersenyum sambil berusaha memberikan dorongan
yang lebih ringan, lalu membersihkan saus daging yang menempel di piring dengan
pengikis.
✧ ₊ ✦ ₊ ✧
Seperti
yang dikatakan Mahiru, bekerja berdua lebih cepat daripada sendirian, dan
mereka kembali ke ruang tamu untuk duduk santai di sofa. Amane ingin membuatkan
teh favorit Mahiru, jadi ia meminta izin, dan Mahiru mendekat sambil
menghembuskan napas ke dalam cangkir.
Amane
juga dengan perlahan mencium aroma kopi susu miliknya, menunggu Mahiru untuk
bersantai.
“Jadi,
ada apa?”
Ketika
uap dari teh Mahiru mulai berkurang, dia meletakkan cangkir di atas meja dan menatap Amane.
Amane
merasa sedikit geli ketika ditanya seperti itu,
tetapi karena pertanyaannya langsung, dirinya
merasa tidak baik jika terlalu berlama-lama,
jadi ia meraih telapak tangan kecil Mahiru yang ada di dekatnya.
Telapak
tangan yang sedikit tertutup itu tidak menolak saat Amane menyentuhnya, dan
Mahiru dengan senang hati menerima sentuhan jari Amane di kulitnya.
“Ada
apa? Apa ada yang salah?”
“Tidak,
bukannya begitu…
lebih tepatnya, kurasa ini merupakan
hal baik untuk Mahiru.”
Amane
mengucapkan hal itu tepat saat jari-jemari mereka saling terjalin, dirinya merasa bahwa mungkin ada
kesalahpahaman yang muncul, seolah-olah ia menyentuh Mahiru untuk menghindari
rasa bersalah.
Amane
membersihkan tenggorokannya, dan ekspresi lembut dan manis Mahiru berubah
menjadi tatapan bingung dan kekanak-kanakan, seolah-olah dia sedang terkejut.
“Mahiru,
kamu sudah menanyakan preferensiku dengan baik saat Valentine, ‘kan?”
“Ya,
karena aku ingin kamu sangat senang.”
“Jadi,
aku juga ingin membuatmu merasa
senang, Mahiru.”
“Jadi,
kamu ingin bertanya tentang balasan untuk White Day?”
“Kamu memang
selalu peka.”
Amane
merasa sedikit canggung, tetapi Mahiru dengan cepat menangkap maksudnya.
“Karena
kamu sudah memberi sinyal, tentu saja aku bisa mengerti. Kita berdua ‘kan selalu dekat.”
Setelah
tersenyum, Mahiru menggenggam tangan Amane kembali, dan Amane pun tersenyum,
merasa bahwa ia tidak bisa mengalahkan Mahiru.
“Jadi,
aku memprediksi bahwa kamu akan
bertanya, tetapi sebenarnya… aku sudah memutuskan balasan untuk White Day.”
“Oh,
itu berbeda dari yang kamu katakan sebelumnya. Kenapa kamu harus memberitahuku?”
“Sebenarnya,
aku bukan hanya ingin bertanya
tentang balasan, tetapi aku ingat saat ulang tahun Mahiru, aku bilang bahwa
terlalu banyak kejutan tidak baik, jadi aku hanya ingin memberitahu bahwa aku
sedang mempersiapkannya.”
“Benar
juga.”
Kejutan
tidak selalu diterima dengan baik. Seringkali, itu lebih untuk kepuasan diri si
pemberi, dan terkadang bisa membuat orang yang ingin disenangkan merasa tidak
nyaman.
Saat
ulang tahun Mahiru, Amane tahu bahwa Mahiru memiliki kenangan buruk tentang
hari itu, jadi ia meminta izin terlebih dahulu sebelum merencanakan cara
merayakannya, dan berusaha membuat Mahiru merasa tenang.
“Jadi,
kali ini aku juga ingin memastikan tidak ada kesalahpahaman. Aku ingin
memberikan balasan yang membuat Mahiru senang, dan tidak membuatmu merasa tidak nyaman.”
“Begitu
ya. Terima kasih atas perhatianmu. Tapi aku sudah mengerti, dan tidak perlu
khawatir, karena apa pun yang kamu lakukan untukku biasanya membuatku senang.”
“Karena
aku tahu Mahiru akan senang dengan apa pun yang kulakukan, itulah yang
membuatku bingung.”
Meskipun
sudah diperkirakan, saat kata-kata itu benar-beanr diucapkan,
sebagai pihak yang menyiapkan balasan, Amane merasa ragu apakah ini benar-benar
yang terbaik.
“Karena
itu memang kenyataannya. Balasan yang kamu siapkan dengan memikirkan tentangku
itu sendiri sudah membuatku merasa senang.”
“Itu
justru membuat harapanmu semakin
tinggi. Jika itu adalah sesuatu yang asal-asalan, pasti akan muncul pertanyaan
apa aku benar-benar memilihnya setelah
berpikir panjang.”
“Apa
kamu akan melakukannya dengan sembarangan?”
“Tentu
saja tidak. Aku akan memikirkanmu
dan berusaha memberikan balasan yang bisa membuatmu senang, Mahiru.”
Amane
tahu bahwa Mahiru biasanya akan senang dengan
hadiah apa pun, dan dengan pemikiran tersebut, ia
memutuskan balasan untuk White Day. Namun, ada sedikit rasa malu bagi Amane
untuk mengungkapkannya.
“Ah, umm, jadi begini…”
“Ya.”
“Kalau
kamu tidak keberatan, aku
berpikir untuk mengundangmu ke tempat kerjaku pada White Day nanti.”
“…Eh?”
Gerakan
Mahiru tiba-tiba terhenti.
Dengan
ekspresi tenang menunggu kata-kata Amane, matanya terbuka lebar.
“Yah,
kamu selalu ingin melihatnya dari dulu,
‘kan? Aku sudah menundanya cukup
lama, tapi sekarang aku sudah terbiasa dan mendapat
kepercayaan dari senior-senior, jadi kurasa sudah aman. Meskipun tidak bisa
sepenuhnya eksklusif atau
menghabiskan waktu hanya berdua, jika kamu
baik-baik saja dengan itu…”
“Apa
itu benar-benar diperbolehkan!? Benarkah!?”
Mahiru
yang sebelumnya kaku kini bergerak lebih cepat dari yang diharapkan.
Dia
menggenggam tangan Amane dengan kuat namun tidak menyakitkan, wajahnya memerah
dan matanya dipenuhi harapan saat dia mendekat.
Senyum
lembutnya tiba-tiba berubah menjadi senyum kekanak-kanakan, dan perubahan itu
membuat Amane tersenyum juga, bukan karena heran, tetapi karena itu sangat
menggemaskan dan menyenangkan.
Melihat
senyum polos yang tidak pernah ditunjukkan di sekolah, Amane merasa lega karena
ini bisa membuat Mahiru senang.
“Kamu
sangat antusias, ya.”
“Tentu
saja, karena aku sudah menahan diri untuk
melihat sisi keren Amane-kun.”
“Entah
aku terlihat keren atau tidak, itu masih
diperdebatkan.”
“Bagiku,
kamu kelihatan keren.”
Rupanya Mahiru
berniat tidak
ingin mengalah, karena dia menatap
Amane dengan serius, dan Amane hanya bisa mengangkat bahunya.
“…Aku
berpikir untuk menunjukkan sisi keren yang bisa kamu lihat. Aku merasa itu
sedikit kurang sebagai balasan untuk cokelat yang kamu berikan, tetapi ini balasan terbaik yang bisa kupikirkan supaya kamu merasa senang. Apa itu kurang baik?”
“Aku tidak
punya alasan untuk menolaknya. Aku sudah lama menantikannya."
“Syukurlah.”
Dari
ekspresi dan gerakan tubuh Mahiru, Amane bisa merasakan betapa senangnya dia
dan betapa besar harapannya.
Karena
Mahiru sudah begitu senang dengan pengumuman ini, Amane sedikit khawatir apa
dia akan terlalu bersemangat saat datang ke kafe.
Namun, karena ini mengenai
Mahiru, dia tidak akan bertindak berlebihan atau panik di tempat umum, meskipun
perasaannya yang sebenarnya mungkin berbeda.
Melihat
Mahiru yang tampak begitu bahagia hingga hampir bersenandung, Amane merasa sedikit tertekan
dengan harapan yang tinggi itu. Namun, hal itu juga mendorongnya untuk berusaha
memenuhi harapan Mahiru, jadi sekarang ia hanya akan mengamati kebahagiaan
Mahiru.
“Aku
sudah meminta untuk pulang lebih awal pada hari
itu, jadi aku ingin menunjukkan padamu bagaimana aku bekerja
dengan baik, dan setelah itu kita bisa sedikit jalan-jalan
setelah aku selesai bekerja.”
“Jalan-jalan…?”
“Ada
beberapa toko seleksi di dekat
tempat kerjaku. Ada toko yang menjual peralatan masak, peralatan makan, dan
bahan makanan. Bagaimana kalau kita pergi bersama untuk melihat-lihat? Aku
ingat kamu bilang ingin membeli talenan baru,
‘kan? Mari kita beli bersama. Maaf
jika ini terdengar kurang menarik.”
Setelah
tahun baru, sebuah toko roti yang buka pagi-pagi sekali dibuka di dekat rumah,
jadi pada hari libur, mereka berdua sering pergi mencari sarapan, atau ketika
sibuk dan tidak punya waktu untuk membuat bekal, mereka membelinya untuk makan
siang.
Baik Amane
maupun Mahiru adalah penggemar nasi di pagi hari, tetapi mereka juga menyukai
roti, jadi mereka semakin sering menikmati roti yang baru dipanggang untuk
sarapan.
Kadang-kadang
mereka membeli satu roti tawar utuh, dan di situlah papan talenan dibutuhkan. Namun, baru-baru
ini, Amane secara tidak sengaja merusak talenan
yang dibawa oleh Mahiru.
Ada
goresan yang pasti tidak akan muncul dengan penggunaan normal, dan meskipun
masih bisa digunakan, itu membuat Mahiru merasa sedih.
Amane
yang meminta maaf berencana untuk memberikan papan talenan baru, tetapi karena mereka akan
menggunakannya berdua, ia berpikir untuk memilih sesuatu yang sesuai dengan
selera mereka.
“Kamu tidak
mau?”
Dia
sedikit khawatir apakah itu terlalu lemah sebagai balasan atau tidak cukup
layak sebagai balasan, tetapi kekhawatirannya menghilang ketika Mahiru
menggelengkan kepala dengan rambut pirangnya yang bergelombang.
“Tidak,
aku sangat senang hingga tersenyum.”
“Aku
khawatir apa ini benar-benar bisa dianggap sebagai balasan. Rasanya seperti
perpanjangan dari kehidupan sehari-hari, jadi aku merasa bimbang apa hadiah semacam ini bisa dibilang bagus.”
“Aku
sangat mencintai kehidupan sehari-hari itu. Lagipula, ini adalah usulan yang
kamu pikirkan agar aku senang, ‘kan?”
“Tentu
saja. Meskipun ada kekhawatiran, tapi aku
lebih mengutamakan apa kamu akan senang atau tidak, dan apa
balasan ini pantas untuk usaha yang kamu lakukan saat membuat cokelat.”
“Kalau
begitu, kamu tidak perlu khawatir. Hanya dengan mendengarnya saja sudah membuat
hatiku berdebar, Amane-kun.”
“Itu
bisa terlihat dari ekspresimu.”
Kata ‘senang’ sangat cocok untuknya,
menunjukkan suasana hati yang ceria seolah ada bunga atau not musik yang melayang-layang di latar belakang, jadi
tidak diragukan sedikit pun bahwa ini adalah sanjungan.
“Aku
merasa tidak enakan karena telah
membuatmu menunggu.”
“Aku
memang sudah menunggunya kok? ...Tapi, aku juga mengerti
perasaan Amane-kun, jadi aku tidak bisa menyalahkanmu. Aku juga tidak ingin
bertemu dengan Amane-kun dalam keadaan setengah-setengah, dan jika menunjukkan
diri, aku ingin dilihat dalam keadaan cantik dan bersih.”
Entah
karena sifat aslinya, Mahiru memiliki disiplin diri yang kuat.
Mahiru
tidak menunjukkan sikap santai bahkan kepada Amane. Pada dasarnya, dia hanya menunjukkan
penampilan yang rapi dan tenang. Sementara Amane, jika dengan orang yang dekat,
cukup santai dan menunjukkan penampilan yang agak berantakan.
Mungkin karena
kesadaran bahwa ini adalah rumah orang lain, Mahiru terlihat sangat teratur,
dan itu sedikit mengecewakan.
(Jika
kita mulai tinggal bersama, apa aku bisa
memiliki lebih banyak kesempatan untuk melihat Mahiru dalam keadaan santai?)
Memikirkan
hal itu membuat Amane semakin
menantikan masa depan.
“Kamu masih terlihat lucu dengan pakaian
kusut dan rambut acak-acakan, Mahitu.
Atau lebih tepatnya, kamu memang
imut.”
“…Mulai
sekarang aku harus bangun lebih cepat dari Amane-kun. Padahal sekarang kita sudah sama-sama impas.”
“Eh,
tidak mau. Terkadang, kesenangan aku akan diambil. …Aku harus mencari cara agar
Mahiru bisa tidur nyenyak.”
“Tolong
berhenti merencanakan itu, mouu.”
Mahiru
menunjukkan sisi santainya pada saat yang langka,
atau lebih tepatnya, sisi tak berdaya yang sangat imut, dan jika itu tidak bisa
dilihat lagi, itu akan menjadi kerugian besar buat
Amane.
Aku harus
mencari cara agar bisa melihatnya lebih sering, pikir Amane
dengan serius, sementara wajah Mahiru tampak memerah dan menepuk paha Amane
dengan satu tangan yang tidak tahu harus berbuat apa.
“Intinya,
aku tidak bisa memperlakukanmu secara khusus, tapi aku sudah memberitahukan
tempat kerja paruh waktuku. …kumohon
berharap dengan sewajarnya. Sewajarnya saja, oke.”
“…Jika
kamu bilang begitu lebih dulu, aku akan merasa gelisah terus-menerus.”
Melihat keadaan Mahiru sekarang,
sepertinya kekhawatiran itu benar, jadi Amane
merasa lega tidak mengatakannya sebelum ujian, sambil mengelus punggung Mahiru
yang tampak gelisah.
“Maaf,
tapi kupikir lebih baik jika aku
mengatakannya dengan jelas. Aku juga ingin menyusun rencana dengan baik.”
“Aku
tidak menyalahkanmu. Aku hanya merasa senang.”
“…Kamu
sangat ingin melihatnya, ya.”
“Tentu
saja. Dengan harapan penuh.”
Dari
setiap kata yang diucapkan Mahiru, Amane
merasakan ketulusan dan sedikit kekhawatiran bahwa mungkin dia terlalu berharap.
“Ngomong-ngomong, apa foto-foto
diperbolehkan?”
“…Aku
akan bertanya pada Owner nanti.”
Secara
umum, izin diberikan hanya untuk mengambil
gambar barang yang disediakan dan dekorasi dalam toko,
tetapi mengambil foto karyawan tidak diperbolehkan.
Mungkin
jika yang bersangkutan memberikan izin, itu bisa saja, tetapi akan merepotkan
jika pelanggan lain meniru, jadi lebih baik meminta pendapat Fumika. Jika
pengambilan gambar tidak diperbolehkan, mungkin lebih baik meminta Fumika untuk mengambil foto Amane dalam seragam secara
diam-diam.
“Jadi kamu
tidak merasa keberatan, ya?”
“Karena aku
sudah membuatmu menunggu, dan jika ini bisa menyenangkan Mahiru untuk
sementara, ya sudah."
“Hehe,
aku sangat menantikannya. Kalau pun tidak bisa, yah tidak apa-apa.”
Selama
itu bisa menambah sedikit kebahagiaan Mahiru, Amane
tidak keberatan dan ingin memenuhi keinginannya sebisa mungkin.
Amane
berjanji untuk menanyakan langsung pada pekerjaan berikutnya, dengan asumsi dirinya akan ditanya tentang Mahiru.
“Oh
iya. Pada hari White Day nanti, boleh aku berganti pakaian
dulu?”
“Boleh-boleh saja, memangnya kenapa?”
“Bukan
apa-apa, aku hanya ingin tampil rapi karena aku akan
pergi ke tempat kerja Amane-kun.”
“Kamu tidak
perlu sampai segitunya… kamu hanya datang sebagai pelanggan, ‘kan?”
“Itu
masalah perasaanku! Lagipula, di sana nanti
ada rekan kerja Amane-kun juga, bukan?”
“Tentu
saja.”
“Kalau
begitu, aku harus memperkenalkan diri. Aku ingin terlihat baik di hadapan mereka.”
Karena dirinya bekerja di kafe dan jarang
bekerja sendirian, pasti ada orang lain yang bekerja di sana. Amane belum bertemu orang-orang yang
biasanya bekerja di pagi hari pada hari kerja, jadi dirinya hanya tahu nama mereka. Namun, Amane cukup akrab dengan sebagian
besar orang di sana.
Karena
Amane pernah menceritakan kalau dirinya sudah memiliki pacar, jika ia memperkenalkan Mahiru, mereka pasti akan berkata, “Oh, jadi dialah orangnya.”
“Karena aku
ingin diperkenalkan dengan percaya diri sebagai pacarmu jadi aku harus berpakaian yang
layak. Selain itu, kita akan pergi setelah itu, jadi aku ingin berdandan.”
“Kalau
begitu, aku juga harus membawa pakaian. Karena kamu
juga ingin berdandan, jadi aku
tidak ingin berdiri di sampingmu hanya dengan mengenakan seragam.”
Jika itu yang ingin dilakukan Mahiru, Amane merasa tidak enakan untuk menghentikannya, dan jika
dipikir-pikir, tidak baik juga jika mereka
berjalan keluyuran dengan seragam, jadi
lebih baik kalau mereka berganti
pakaian.
Selain itu,
jika dilihat dari suasana hatinya,
bisa dipastikan bahwa Mahiru akan berdandan dengan baik, jadi lebih baik Amane
juga menyesuaikan diri agar keduanya merasa nyaman dan serasi. Selain itu, Mahiru juga suka
melihat Amane berdandan, jadi ini mungkin bisa menjadi salah satu hadiah balasan.
Amane
mulai merencanakan hari White Day di dalam pikirannya seraya memutuskan dalam hati untuk
memilih pakaian untuk hari itu dari lemari, dan Mahiru tersenyum malu-malu.
“...Rasanya seperti kencan yang dijadwalkan,
ya.”
“Kurasa memang beginilah
sebenarnya acara kencan. Tapi aku benar-benar minta maaf karena
sepertinya tidak bisa berlama-lama karena masalah waktu.”
Meskipun
bisa dibilang ini adalah kencan, tujuan yang dituju adalah tempat kerja paruh
waktu dan area pertokoan,
sehingga sepertinya tidak ada daya tarik, dan mungkin akan menjadi bahan
lelucon bagi Itsuki dan Chitose.
“Bagiku,
meskipun menghabiskan waktu berssama merupakan hal yang
penting, tetapi kepadatannya lebih penting, dan hanya dengan bersama Amane-kun saja sudah cukup memuaskanku.”
“Terima
kasih atas kata-kata manisnya. Aku ingin berkencan denganmu lebih lama nanti, tapi...”
“Kalau
begitu, silakan ajak aku berkencan di hari lain. ...Pergi bersama dari rumah
juga baik, tapi berjanji untuk saling bertemu
di suatu tempat juga cukup menyenangkan.”
Belakangan
ini, karena pekerjaan paruh waktu dan belajar untuk ujian, mereka tidak
memiliki kesempatan untuk bersenang-senang berdua, tetapi sekarang setelah
ujian selesai dan persiapan untuk White Day hampir selesai, mereka pasti akan
memiliki lebih banyak waktu.
Meskipun Amane berencana untuk bekerja paruh
waktu selama liburan musim semi, ia
tidak berniat untuk mengisi semua hari
liburannya untuk bekerja, dan Amane juga ingin menghabiskan
waktu bersama Mahiru.
“Kalau
begitu, mari kita pergi saat hari libur nanti.
Secara pribadi, aku masih merasa belum cukup untuk balasan White Day.”
“Padahal bukan begitu maksudku... tapi aku
senang jika kita bisa melakukannya nanti. Aku
menantikannya.”
“Benar.
...Yah, pertama-tama aku akan berusaha agar terlihat baik.”
“Aku
berharap begitu, hehe.”
Melihat
Mahiru yang benar-benar tampak sangat menantikannya,
Amane memutuskan untuk lebih bersemangat pada hari White Day dan menggenggam
tangan Mahiru yang semakin hangat.
✧ ₊ ✦ ₊ ✧
Keesokan
harinya, Amane yang memiliki sesuatu untuk dibicarakan mengenai pekerjaan paruh
waktunya, pergi mengunjungi area tangga menuju depan atap tempat di mana Souji
berada selama istirahat siang, dan ternyata tidak hanya Souji yang ada di sana, tetapi juga
Ayaka.
Meskipun
kadang-kadang dia makan dengan gadis-gadis lain, hari ini sepertinya dia makan bersama Souji, dia dengan sopan menggelar tikar piknik dan membuka bekal
makanannya.
Ayaka
juga terlibat, dan saat Amane berbicara
tentang urusan pekerjaan paruh waktu dengan Souji,
dirinya juga membahas tentang White Day, dan
Ayaka tampak senang sambil bertepuk tangan dengan
gembira.
“Hee, jadi akhirnya Fujimiya-kun akan
menunjukkan debut mode pekerjanya kepada Shiina-san, ya?”
“Aku
sadar sudah membuatnya menunggu.”
“Hehe,
Shiina-san sudah gelisah terus-menerus,
dan kadang-kadang menatapku dengan tatapan iri.”
“Terlihat
iri? Tapi kamu tidak
datang saat aku ada ‘kan, Kido?”
Karena
tidak ingin dilihat dalam keadaan yang tidak biasa, Amane sudah
memberitahu Itsuki dan Chitose untuk tidak datang ke tempat kerja paruh waktunya, tetapi karena ada alasan bahwa Ayaka memperkenalkan pekerjaan ini padanya, jadi Amane tidak bisa mengatakan
apa-apa jika penampilan seragam kafenya dilihat.
Namun, bertentangan dengan perkiraannya,
Ayaka tidak pernah muncul di depan Amane saat dirinya
bekerja.
Sepertinya
wajah Amane menunjukkan tanda tanya, dan Ayaka tersenyum canggung. “Yah, aku merasa tidak enakan kepada Shiina-san kalau
aku duluan yang melihatnya.”
“Aku
tidak pergi saat shift Fujimiya-kun,
tetapi saat hanya ada Sou-chan, aku
biasa datang bermain, atau lebih tepatnya sebagai pelanggan. Mungkin itu yang
membuatnya iri.”
“Kamu sengaja datang saat Itomaki-san
tidak ada, ya?”
Meskipun
tidak sepenuhnya bohong bahwa dia menghormati Mahiru, tampaknya itulah yang menjadi alasan utamanya.
“Karena
tanteku terlalu perhatian. Aku hanya ingin melihat tempat Sou-chan bekerja, dan rasanya tidak
nyaman jika pemiliknya terlalu memperhatikan.”
Meskipun dia tidak membencinya, Ayaka mengaku
kurang suka jika diperlakukan seperti anak kucing yang dimanjakan, jadi dia
tidak mendekat secara aktif.
“Apa kamu
ingin melihat tempatku bekerja atau ingin melihat otot-ototku bergerak?”
“Hmm,
keduanya?”
“Kamu sungguh serakah sekali, ya...”
“Habisnya aku ingin melihat So-chan,
jadi tidak masalah, ‘kan?”
“...Itu memang benar.”
Souji
tampak tidak dapat berkata apa-apa saat Ayaka tersenyum cerah dan nakal
padanya, dan malah membuat huruf kanji '一' dengan bibirnya yang terkatup rapayt, membuat
Souji menyadari bahwa dirinya tidak bisa berbuat apa-apa jika
Ayaka menatapnya langsung.
Meskipun
Soji adalah tipe yang cukup tenang, tampaknya ia memiliki perasaan yang kuat
untuk Ayaka, dan ia juga bisa merasa malu, sehingga ia merasakan kehangatan dan
kedekatan lebih dari sebelumnya.
“Terima
kasih untuk santapannya.”
“Fujimiya.”
“Kadang-kadang
aku juga ingin berada di posisi ini.”
“Fujimiya-kun
selalu tidak bisa mengalahkan Shiina-san dan merasa malu, ya, sangat manja.”
“...Kido,
kamu mendingan diam saja.”
“Baiklah.”
Melihatnya
tertawa dan dengan patuh melangkah mundur sambil berkata “akan merepotkan
kalau Fujimiya-kun memihak Sou-chan”, Amane berhasil mendesak Ayaka dan
duduk dengan keras di tepi kursi, sambil berpikir bahwa dirinya mungkin bisa
membantu Souji membalas dendam nanti..
“Jadi,
aku sudah memeriksa jadwal kerja dan mengetahui bahwa Fujimiya akan bekerja pada White Day. Dengan begini, Shiina-san akhirnya bisa tenang, ya?”
“Ya,
karena aku sudah membuatnya menunggu terlalu lama.”
Mahiru
sendiri tampaknya berusaha untuk tidak menunjukkan kegelisahannya, tetapi Amane tahu bahwa
dia sudah menunggu dengan sabar, dan mungkin Ayaka juga merasakannya dari
matanya.
“Memang
ada itu, tapi kamu bisa
membuatnya merasa tenang. Dari yang aku dengar dari Ayaka, Shiina-san khawatir
tentang Fujimiya.”
“Khawatir?”
“Ah,
Shiina-san benar-benar merasa cemas
karena Fujimiya-kun sangat populer.”
“Ya, aku
pernah mendenganya, satu-satunya hal yang membuatku populer di kafe itu
hanyalah populer di kalangan bapak-bapak
atau ibu-ibu paruh baya. Ditambah
lagi, merekalah yang menggodaku tentang menjodohkanku dengan cucu
mereka.”
Amane
sudah membahas hal itu dengan Mahiru sebelumnya,
tapi orang-orang yang ia ajak berbicara ialah orang yang memiliki pengalaman
hidup lebih banyak dari usianya saat ini, yang juga melibatkan pria dan wanita,
membuat hal itu berbeda dari apa yang dibayangkan
Mahiru.
Tentu
saja, mengenai hal yang membuat Mahiru khawatir, Amane
juga berusaha untuk tidak bertindak lebih dari sekadar pelayan agar tidak
membuatnya cemas, dan pada dasarnya, jarang
sekali ada wanita muda yang datang ke sana selama jam kerja Amane.
Namun, ia merasa
ada ketidaknyamanan yang tidak bisa dihindari, jadi Amane selalu berusaha untuk
memperhatikan hal itu dan
memberikan dukungan.
“Aku
membayangkan situasi itu meskipun aku tidak melihatnya secara langsung, tapi sepertinya
Fujimiya-kun sepertinya memang lebih populer di
kalangan orang dewasa yang sudah merasakan asam manis
kehidupan.”
“Sejujurnya,
aku tidak mengerti mengapa mereka
mendekatiku.”
“Ya,
mungkin karena kamu memiliki aura yang jujur? Fujimiya-kun, kamu tidak terlihat seperti
orang yang nakal dari auramu.
Belakangan ini, auramu juga semakin lembut, terlihat lebih cerah dan jujur,
seperti pemuda yang baik.”
“Kurasa hal itu juga bisa berlaku untuk
Miyamoto-san.”
Menurut Oohashi, walaupun Miyamoto terlihat seperti anak berandalan, tetapi
sebenarnya ia memiliki penampilan yang agak ringan, sementara tatapan dan
sikapnya justru menunjukkan keseriusan yang kontras dengan penampilannya yang
ringan.
“Orang-orang
seperti Miyamoto-san yang setengah serius dan setengah humoris cenderung
populer di kalangan anak muda. Ia
cukup serius dan ramah, sehingga disukai oleh berbagai kalangan usia.”
“Lebih tepatnya, Miyamoto-san sepertinya mendapat pengawasan lembut
pelanggan tetap.”
“Ah...”
Amane penasaran apa Miyamoto
tahu bahwa perasaannya terhadap Oohashi
diketahui oleh pelanggan tetap? Jika tidak, mungkin lebih baik jika ia tidak mengetahuinya.
“Dan Sou-chan terlihat serius dan kekar,
jadi sepertinya sulit untuk mendekatinya. Tapi, Sou-chan itu lucu, sih.”
“Aku tidak senang mendengarnya.”
“Kalau
begitu, aku akan memujimu dengan
tampan dan lucu.”
“...Lakukan
saja sesukamu.”
“Jadi,
kamu setuju dengan itu ya, Kayano...”
Mungkin lebih
tepatnya, ia membiarkan Ayaka melakukan apapun
yang dia mau, tetapi ia menerima penilaian terakhir tanpa keberatan atau
keluhan, jadi entah bagaimana, Souji
tampaknya sangat toleran
terhadap Ayaka.
Amane
jarang melihat Souji
menunjukkan emosinya dan menganggapnya sebagai orang yang dingin, tetapi di
depan Ayaka, tampaknya ia tidak bisa berbuat banyak.
“Ngomong-ngomong,
sepertinya Shiina-san memang khawatir tentang Fujimiya-kun yang tampaknya
populer di kalangan beberapa pelanggan, jadi dia ingin melihat langsung untuk
merasa tenang.”
“Dia tidak meragukan sedikit pun
tentang perselingkuhan, ya,
Mahiru.”
“Eh, kalau itu sih
bukannya mustahil? Apalagi ini tentang Fujimiya-kun.”
“Tidak
mungkin, tidak mungkin.”
Apa itu
berarti mereka berdua bisa dipercaya?
“...Aku merasa senang dengan kepercayaan itu,
tapi itu berarti aku sangat terbuka dan terbaca
dengan jelas, ‘kan?”
“Yah, kamu sangat menyukainya sampai-sampai siapapun
bisa memahaminya dengan jelas.”
“Lebih
tepatnya, sepertinya tidak ada
yang perlu diragukan lagi bahwa
Fujimiya bekerja keras karena ia
ingin melakukan sesuatu untuk Shiina-san.”
“Terima
kasih atas itu.”
Ini
pujian, ‘kan...?
Amane merasa pipinya
sedikit berkedut saat
Ayaka memberinya penilaian yang tampaknya tidak berbahaya, “Cintamu kelihatan melimpah sekali.” Dirinya merasa ingin berkomentar, “Apa
itu baik-baik saja?”.
Mungkin
dirinya perlu lebih memikirkan sikapnya
terhadap Mahiru di depan orang lain. Mungkin, atau lebih tepatnya menurut
pendapat mereka, ekspresi wajah Amane tampaknya tidak berfungsi dengan baik.
Amane
tidak ingin menunjukkan wajahnya yang memalukan kepada orang lain, jadi ia
berjanji dalam hati untuk lebih berhati-hati, sementara Ayaka tampaknya
menyadari sesuatu dan tertawa.
“Aku
ingin segera melihat Shiina-san menjadi lemas dan tidak berdaya.”
“Sayang sekali, hanya aku yang bisa
melihatnya.”
“Hmm, itu
juga benar. Kalau begitu, semoga saja aku bisa segera melihat Fujimiya-kun yang malu-malu dan Shiina-san yang tersenyum cengengesan.”
“Pemahamanmu mengenai kami rasanya begitu aneh.”
“Bukannya
memang begitu pemahaman dari orang-orang terdekatmu? Coba tanyakan saja pada Akazawa-kun atau Chii-chan.”
“...Baiklah,
mereka mungkin akan mengiyakan.”
Mungkin
lebih tepatnya, mereka pasti akan mengiyakan. Baru-baru ini, Amane baru saja berbagi perasaannya
terhadap Mahiru dengan Itsuki, dan pasti akan mendapatkan persetujuan serta
ejekan. Dan Amane merasakan otot wajahnya berkedut
melihat masa depan seperti itu.
“Pasti memang begitu, ‘kan?”
“Sudah kuduga”,
ujar Ayaka sambil tertawa geli, dan ketika Amane
tidak bisa menahan diri untuk memberikan tatapan penuh dendam, dia malah
semakin tertawa.
