Chapter 2 — 23 Maret (Hari Rabu) Asamura Yuuta
Seekor naga
yang terbuat dari baja membelah langit biru yang menjulang tinggi. Rel yang
mirip seperti tangga itu melengkung seperti gelombang berputar dan kembali ke
tempat semula. Tak perlu ditanya lagi, jelas-jelas wahana yang memacu adrenalin.
“Eh, kita
langsung menaiki ini...?”
“Kan, kamu
ingin tahu rekomendasi, kan?”
“Ya, bisa
dibilang begitu.”
Rencana
perjalanan hari kedua yang sudah ditetapkan diriku dan Ayase-san adalah
mengunjungi taman hiburan. Kami memilih tempat-tempat yang direkomendasikan
Narasaka-san. Namun, ajy dan Ayase-san tidak begitu mengenal fasilitas hiburan
semacam ini. Jadi, meskipun tujuan sudah ditentukan, kami tidak memiliki
pengetahuan tentang cara menikmati tempat itu, dan kami meminta Narasaka-san
untuk memberikan panduan konkret pada hari itu.
“Nuhuhuhu!
Ya, jika membicarakan tentang Universal Studio Japan, sudah jelas maksudnya
yang ini!”
Meskipun dia
mengatakannya dengan percaya diri...
Aku sekali
lagi melihat ke arah wahana tersebut. Aku melihat kendaraan tanpa pagar yang
berjalan di atas rel besi dengan kecepatan yang luar biasa. Suara teriakan yang
memekik bisa terdengar sampai ke sini. Melihat kendaraan bergerak di atas rel
besi dengan suara gaduh membuat detak jantungku meningkat.
“Sepertinya
menyenangkan!” kata Narasaka-san. “Aku sangat merekomendasikan ini!”
Benarkah?
Bukankah
seharusnya ada yang lebih... santai? Kupikir di taman hiburan seperti ini juga
ada hal-hal yang lebih santai.
“Kamu
benar-benar, ingin menaikinya?”
“Asamura-kun.
Tidak, Yuuta-niichan!”
“Aku bukan
kakak Narasaka-san.”
Narasaka-san
menggelengkan kepalanya.
“Apa yang
kamu katakan? Kakak teman berarti sama dengan kakak sendiri! Ini adalah hukum
alam, Asamura-kun. Dan teman adik perempuan berarti sama dengan adik sendiri, atau
begitulah yang dikatakan seseorang!”
“Tidak ada
yang bilang begitu.”
“Mou, merepotkan
banget sih. Sedikit saja dianggap kakak juga tidak ada salahnya, ‘kan.”
Apa
maksudnya sedikit dianggap kakak?
“Asamura-kun,
sebenarnya, meskipun mungkin tidak banyak yang tahu, di USJ ada wahana yang memacu
adrenalin sebanyak jari di tangan.”
“H-Hee.”
“Dan hari
ini adalah hari taman hiburan. Kita berencana untuk menghabiskan sepanjang hari
menikmati USJ. Kesimpulan apa yang bisa kita ambil dari ini?”
“...Mengunjungi
berbagai atraksi di dalam taman...”
“Nonononon!”
Entah kenapa
Narasaka-san menolak dengan bahasa Prancis.
“Tentu saja
kalau kita harus menaklukkan wahana yang mengerikan dulu!”
Sepertinya
itu sudah ditentukan.
Narasaka-san
terlihat sangat bersemangat dengan senyum yang cerah. Sebagai perencana, aku
sangat ingin mendukungnya. Aku benar-benar berniat begitu dari lubuk hatiku.
Namun, aku adalah orang yang bahkan ragu untuk naik pesawat ke Singapura saat
perjalanan sekolah. Menaklukkan wahana yang mengerikan sejak pagi terasa berat.
Apa tidak ada yang menolak?
“Ayo kita
pergi, Tomo-kun!”
“Oh.”
Jadi kamu
juga ikutan, ya, Maru.
Aku
penasaran apa begini yang dirasakan Julius Caesar setelah dikhianati oleh
Brutus?
Tapi, wahana
yang mengerikan sebagai tumpangan pertama... Ini bukan karena aku merasa takut
atau semacamnya, tetapi lebih kepada persiapan mental.
“Asamura-kun,
kamu tidak perlu memaksakan diri.”
“Bagaimana
dengan Ayase-san?”
“Aku sudah
lama tidak ke sini, jadi aku sangat menantikannya.”
Karena dia
takut petir dan film horor, jadi kupikir dia pasti tidak menyukai hal-hal yang
menakutkan. Tapi ternyata, Ayase-san bisa naik wahana yang mengerikan. Kenapa
bisa begitu? Ngomong-ngomong, dia juga tidak menunjukkan tanda-tanda takut saat
naik pesawat untuk perjalanan sekolah.
“Yah, aku
juga tidak benci-benci amat...”
“Ayo,
sini-sini!”
Narasaka-san
yang sudah berjalan di depan melambai-lambai memberi isyarat supaya segera
menyusulnya.
...Eh?
Kakiku
berhenti saat melihat papan nama atraksi.
“Di sini tertulis
'Back Drop'.”
"Itulag
yang menjadi daya tariknya.”
“Tunggu,
tunggu, tunggu.”
Tentu saja
tidak ada yang mau menunggu.
Untungnya
(atau sayangnya), wahana itu tidak ramai, dan kami berempat sudah duduk di
wahana Back Drop dengan waktu tunggu sekitar 15 menit. Yang mengejutkanku
adalah, sebelum naik, kami harus menyerahkan semua barang-barang di saku.
Artinya, tubuh kami akan diguncang cukup keras. Ketika berputar, tubuh kami
akan terjepit oleh gaya sentrifugal, tapi barang-barang yang tidak terikat pada
tubuh akan jatuh karena gravitasi. Tentu saja, barang-barang kecil seperti
kunci dan koin di saku akan jatuh.
...Seriusan?
Setelah menaikinya,
bagian atas tubuhku terbuka ke luar, dan telapak kakiku hampir tidak menyentuh
lantai sama sekali saat duduk, mungkin demi bisa memberikan sensasi seperti
sedang melayang. Setelah panduan singkat dari petugas, wahana mulai bergerak di
atas rel dengan suara bergetar. Ini sudah dimulai. Apa benar-benar akan
bergerak dengan punggung menghadap ke arah yang dituju...? Ya, itu tertulis di
sana, jadi sepertinya memang begitu.
Aku menelan
ludah tanpa sadar.
Kenapa
wahana yang mengerikan selalu mengambil waktu yang sangat lama sebelum
jatuh?
...Tidak,
aku tahu. Tentu saja, jeda waktu tersebut merangsang imajinasi orang-orang dan
meningkatkan rasa takut mereka. Esensi hiburannya adalah ketegangan dan
pembebasan. Ketika seseorang ditegangkan hingga batasnya, dan kemudian dibebaskan
secara mendalam, otak akan... bersemangat. Ya, inilah hiburannya. Meskipun
terlihat berbahaya, sebenarnya wahana ini sangat aman. Jika wahana itu
benar-benar berbahaya, maka tidak akan bisa dianggap sebagai hiburan.
Keamanannya mungkin lebih tinggi daripada pesawat terbang. Meskipun aku tidak
tahu, pasti seperti itu. Namun, sampai di mana kami sudah naik sekarang?
Ketidakpastian tentang tujuan membuat orang-orang semakin merasa cemas... Dan
di tengah jalan, ada atap yang menutupi dan semakin mengaburkan pandangan.
Ketika
wahana terus naik dan menanjak, bangunan dan orang-orang di tanah semakin
kecil. Punggungku sedikit terangkat dari kursi, dan beban terasa pada pengaman
di depan tubuhku. Kami terus menanjak, terus menanjak naik... Sampai setinggi
mana kami akan naik? Ah, orang-orang itu sudah terlihat sangat kecil...
Tubuhku
terjatuh ke belakang. Suatu guncangan seperti melewati sesuatu terasa menyebar
ke seluruh tubuh.
Pandanganku
langsung dipenuhi dengan langit biru dalam sekejap.
Pada momen
berikutnya, pemandangan menjadi kabur.
Aku
merasakan sensasi terjatuh yang terlepas dari langit biru. Dengan kemiringan
yang agak curam, aku jatuh dari belakang, lebih baik sedikit daripada jatuh
bebas. Angin mengaum di dekat telingaku. Teriakan histeris terdengar serempak
dari sekeliling. Sementara itu, aku berusaha menggertakkan gigiku agar tidak
menggigit lidah. Suara roda yang berderak di rel bisa terdengar jelas. Meskipun
musik dari speaker di dekat telinga membuat keadaan terasa sedikit lebih baik,
tubuhku tetap bergetar hebat. Ini pasti aman, ‘kan? Mana mungkin kami akan
dilempar ke udara di tengah jalan, ‘kan? Meskipun aku tahu itu tidak mungkin
secara logika, tubuhku tetap dikuasai rasa takut.
Aku jugua
bisa mendenga teriakan dari Ayase-san yang duduk di sampingku, tetapi anehnya,
teriakannya terdengar menyenangkan.
Roller
coaster yang meluncur cepat langsung turun sekaligus, naik dan turun satu demi
satu saat meluncur melalui taman.
Namun, aku
tidak punya waktu untuk melihat sekeliling. Tubuhku terus terombang-ambing ke
kiri dan kanan, dan percepatan yang tiba-tiba menekan tubuhku ke kursi.
U...
waaaaaaa.
Sebelum
suara terkejutku keluar, kecepatannya mulai menurun.
Guncangannya
perlahan-lahan mereda. Dalam keadaan bingung, wahana berhenti. Suara bising
sebelum pengumuman dari speaker terdengar samar, dan pengumuman untuk turun
mulai disiarkan. Sambil gemetaran dari sisi ke
sisi,, aku memaksa kakiku yang bergetar untuk berdiri dan akhirnya berhasil
turun.
“Rasanya
menyenangkan!”
“Yah,
lumayan.”
Aku
mendengar suara Narasaka-san dan Maru, tetapi aku tidak punya waktu untuk
setuju atau berkomentar.
“Sudah lama aku
tidak menaikinya, tapi tetap saja menyenangkan!"
Suara ceria
Ayase-san terdengar sedikit jauh di telingaku.
◇◇◇◇
Saat aku turun,
kakiku terus gemetaran seperti anak rusa yang baru lahir.
Jantungku
juga berdebar kencang. Detak jantungku cepat. Dunia berguncang. Mirip seperti gempa
berkekuatan 3 atau 4 skala Richter. Aku akhirnya duduk di bangku dekat wahana
tersebut.
“Saki, aku
akan mencarikan minuman untukmu.”
“Ah, tunggu.
Aku ikut.”
Maru dan Narasaka-san
pergi entah ke mana.
“Kamu
baik-baik saja?”
Ayase-san
yang membantuku sampai ke bangku duduk di sebelahku, menundukkan kepalanya
untuk melihat wajahku. Wajahnya terlalu dekat. Jantungku berdebar kencang
dengan cara yang berbeda.
“Ak-Aku...
baik-baik saja.”
“Mau aku
carikan ruang kesehatan untuk memeriksa kondisimu?”
“Tidak
sampai sejauh itu. Maaf, sudah merepotkan.”
"Itu
tidak masalah. Jangan khawatir."
Saat dia
mengatakan ini, dia menempelkan tangannya di dahiku, tapi aku tidak demam.
“Tanganku
juga dingin, jadi mungkin aku tidak bisa merasakannya.”
Mungkin itu
karena dia terus memegang palang pengaman logam.
“Sepertinya
kamu tidak demam.”
“Benarkah?”
Sambil
mengatakan itu, dia mengangkat poninya dan menempelkan dahinya padaku.
“Hmm... aku tidak tahu.”
Jika suhu
tubuhku jauh lebih tinggi dari suhu tubuhnya, dia akan merasakan panas, jadi dia bisa mengetahui apakah aku demam atau tidak—seharusnya begitu. Aku berpikir
bahwa Ayase-san sangat tahu tentang metode pengukuran suhu tubuh yang hanya
pernah kulihat dalam cerita lama. Di zaman sekarang, di mana termometer sudah menjadi penggunaan umum, kurasa aku belum pernah melihat ada orang yang mengukur suhu dengan menempelkan
dahi satu sama lain.
Tapi yang
lebih penting, mendekatkan wajahnya
sampai sedekat itu
justru membuat detak jantungku meningkat. Apa rasa berdebar ini disebabkan oleh
wahana yang menakutkan, atau karena aku melihat wajah Ayase-san dari jarak yang
bisa mengukur panjang bulu matanya? Aku tidak
bisa membedakannya dari kecepatan detak jantungku. Ah, jadi ini yang namanya efek jembatan
gantung—tidak, itu bukan itu. Tenangkan dirimu, Asamura Yuuta.
Aku
mengangkat wajah dan menarik napas dalam-dalam. Fyuh.
Kemudian aku
melihat Maru dan yang lainnya mendekat ke arahku.
“Kamu
sudah pulih, Asamura?”
“Ini.
Aku membelikan minuman!”
Mereka
berdua yang kembali langsung memberikan minuman padaku.
“Terima
kasih.”
“Asamura,
kamu bisa istirahat sedikit lebih lama. Kami akan cepat-cepat menyelesaikan
yang berikutnya.”
“Selanjutnya,
kita akan jadi dinosaurus dan terbang di udara!”
“Kalau
boleh dibilang, rasanya lebih seperti ditarik oleh dinosaurus.”
Maru
berkata sambil melemparkan pandangan. Saat aku menoleh, di depan ada... itu
adalah pterosaurus? Ada wahana dengan model dinosaurus bersayap. Yang mengerikan,
wahana itu bukanlah kendaraan berbentuk kotak yang dimasuki, melainkan
menggantungkan tubuh sepenuhnya secara sejajar
dengan rel.
“Maru
dan yang lainnya... mau naik itu?”
“Kita
harus cepat menjelajahinya, atau
hari akan gelap sebelum kita menyelesaikan semuanya! Kita harus selesai sebelum
siang, dan di sore hari, kita bisa dengan santai mencoba wahana lainnya!”
Menaiki
sejumlah wahana menakutkan di waktu pagi...
betapa beraninya mereka.
“Baiklah,
aku pergi sekarang!”
“Jika
kamu mau tetap beristirahat, kita
bisa bertemu di sini."
“Ba-Baiklah.”
“Aku
juga akan beristirahat
sebentar di sini.”
Ayase-san
berkata demikian dan mengantarkan Maru dan Narasaka-san
pergi.
Jelas-jelas dia tidak ingin meninggalkanku
sendirian. Aku merasa sudah
merepotkannya.
“Maaf,
Ayase-san, aku yakin kamu ingin
bersenang-senang juga.”
“Enggak
apa-apa, kok. Yang lebih penting, sebaiknya
kamu minum untuk menjaga hidrasi.”
Meskipun
aku tidak mengalami dehidrasi, aku merasa mulutku sangat kering, dan aku merasa jauh lebih baik setelah
meneguk sedikit minuman yang diberikan (itu adalah es teh oolong).
Namun,
situasi ini sama sekali
tidak terduga.
Sebelum mengunjungi USJ, aku berusaha mencari
informasi dengan menjelajahi media sosial. Yang terlihat hanyalah foto-foto
gadis-gadis ceria yang bersenang-senang, dan sebagian besar foto yang diposting
adalah mereka yang mengenakan telinga karakter sambil menikmati minuman
berwarna-warni. Sekarang aku berpikir mungkin itu adalah prasangka, tapi aku
benar-benar mengira Narasaka-san juga akan bersenang-senang dengan santai—
Namun,
dari awal, kami sudah menaiki
wahana yang menakutkan.
Kami mengunjungi USJ pagi-pagi sekali, dan mungkin ada untungnya aku tidak
makan terlalu banyak di sarapan buffet sebelum datang. Jika perutku kenyang, mungkin aku akan merasa sedikit
mual.
“Fyuh.
Aku sudah lebih tenang sekarang.”
“Syukurlah.”
Dengan
nada suara yang terdengar lega,
Ayase-san mendekatkan tubuhnya ke arahku.
“Aku
sedikit khawatir.”
“Yah,
tidak apa-apa. Aku cuma sedikit terkejut. Sekarang aku sudah baik-baik saja.”
“Kamu
tidak perlu memaksakan diri. Jika kamu merasa tidak nyaman, aku bisa menunggu
di sini sampai kamu merasa lebih baikan.”
“Kalau itu
sih jelas-jelas terlalu merepotkan.”
Sepertinya
Ayase-san juga tidak benci
dengan taman hiburan seperti ini.
Lagipula,
aku sendiri juga sama.
“Aku
akan menjadi mahasiswa mulai musim semi nanti.
Aku tidak ingin melewatkan kesempatan untuk mendapatkan pengalaman baru.”
Aku ingin
mencobanya tanpa prasangka walaupun aku merasa tidak terlalu nyaman.
Aku
mengumpulkan keberanian dan berdiri.
“Yuk,
kita lanjutkan.”
“Eh...
serius? Kamu tidak memaksakan diri, ‘kan?”
“Tentu
saja. Sebaliknya, perasaan detak
jantungku yang meningkat ini justru membuatku kecanduan.”
“Kamu
mengatakan sesuatu yang
berbahaya, ya. Aku
mengerti perasaan itu karena aku menyukainya
sih.”
Tapi...Ayase-san melanjutkan.
“Kamu bisa berhenti kapan saja
jika kamu merasa tidak sanggup melakukannya,
oke?”
“Aku
tahu kok.”
Mungkin setelah
menaiki wahana menegangkan berikutnya, aku akan ambruk dengan kakiku yang kembali
seperti anak rusa yang baru lahir—meskipun itu mungkin terlalu berlebihan—.
Aku yang dulu pasti sangat benci
menunjukkan diriku yang seperti itu di depan Ayase-san. Itulah sebabnya aku
terlalu memaksakan diri saat kamp pelatihan
musim panas di kelas tigaku.
Tapi
sekarang perasaanku sedikit berubah. Aku tidak keberatan menunjukkan sisi
diriku yang menyedihkan. Aku percaya Ayase-san tidak akan membenciku karena
itu.
Daripada
merasa ragu untuk berubah, saat ini aku lebih
tertarik mencari tahu tentang wahana yang disukai Ayase-san. Aku
ingin menghargai keinginannya untuk mendukungku sama seperti aku ingin
mendukungnya.
Dan jika
dia mau mendekat seperti ini, aku merasa itulah keuntungan bagiku. Meskipun aku takkan mengatakannya dengan lantang sih.
“Aku
akan mengirim pesan kepada Maru dan
yang lainnya. Kamu mau naik yang mana?”
“Aku
mau naik yang itu, yang ditarik
pterosaurus!”
...Eh?
“Itu
kelihatannya menakutkan, tapi juga
menyenangkan!”
Aku
hampir mengatakan bahwa aku lebih suka yang lebih tenang, tetapi aku menutup
mulutku dan dengan senyuman kecil,
aku mengangguk pada Ayase-san, “Baiklah.”
◇◇◇◇
Seperti yang dijanjikan, Maru dan Narasaka-san menghabiskan
seluruh pagi untuk menaklukkan semua
wahana menakutkan.
“Ha!
Kenyang~kenyang~!”
“Tapi
kita baru mau makan sekarang, ‘kan?”
“Maksudnya
aku sudah puas! Mungkin aku sudah cukup dengan wahana menakutkan untuk
sementara waktu.”
“'Sementara waktu' menurut Narasaka berarti paling lama dua bulan...”
“Jangan
begitu domg, Tomo-kun. Rasanya lebih lama
dari itu kok.”
Sambil
berkata begitu, Narasaka-san mengangkat empat jari dan tersenyum. Empat
bulan... itu bukan waktu yang bisa disebut 'sementara waktu'.
Maru menggelengkan kepala dengan nada lelah.
“Aku
bisa tahan setengah tahun.”
Itu tidak
jauh berbeda dengan Narasaka-san. Kurasa
kamu juga sama dengannya,
Maru.
Ngomong-ngomong, setelah itu aku menaiki dua wahana menakutkan lagi, dan itu sudah batas
kemampuanku. Aku berjuang untuk menahan rasa asam yang muncul kembali ke
lambungku. Ayase-san bilang dia akan terus menemaniku, tetapi aku merasa itu
terlalu merepotkan, jadi aku menyerahkannya kepada Narasaka-san dan yang
lainnya. Dia tampak menyesal karena hanya satu wahana yang kurang untuk
menyelesaikan semuanya, tapi kurasa itu sudah lebih dari cukup.
Restoran yang kami kunjungi untuk makan siang mengusung tema
galangan kapal.
Aku
mendengar bahwa itu pernah
muncul dalam film, tetapi aku tidak tahu nama restorannya, jadi aku bertanya kepada Maru.
Dia bilang itu adalah film tentang serangan hiu. Karena ada banyak film tentang
serangan hiu, dirinya bilang, “Itu loh yang pertama,” dan
langsung mengerti.
Aku
memang belum pernah menontonnya, tetapi film itu terkenal. Ia lalu mengajakku untuk menonton
bersama berempat, tetapi ketika melihat Ayase-san yang mengernyitkan wajah di
sebelahku, aku tersenyum kecut dan menolak. Dia tidak suka film horor.
Mereka
menjual
paket sandwich dan minuman dengan harga
yang cukup terjangkau, jadi kami memilih beberapa jenis berbeda sedikit demi
sedikit.
“Ini,
mungkin sandwich baguette?”
Ayase-san
berkata demikian, tetapi Narasaka-san langsung menyangkalnya.
“Baguette
itu roti Prancis, ‘kan?
Karena ini tidak terlihat keras di permukaannya, ini mungkin sandwich roti
koppe!”
“Begitu, ya.”
Meskipun
saat itu sedang waktu
makan siang, kami tidak perlu menunggu terlalu lama untuk sampai ke kasir.
Mungkin karena ini adalah hari kerja sebelum liburan musim semi. Setelah
membayar, kami menerima menu yang sesuai dengan perkiraan Narasaka-san, yaitu
sandwich dengan isian daging dan udang di antara roti koppe yang lembut. “Lihat,” ucap Narasaka-san sambil tersenyum.
Di wadah kertas tempat roti tersebut, ada gambar hiu yang menunjukkan gigi
tajamnya. Dengan rahang besar, hiu itu tampak seolah akan memakan roti. Jadi,
inilah hiu dari film hiu...
“Film
ini... aku pasti tidak ingin menontonnya.”
Ayase-san mengambil sandwich-nya dengan hati-hati.
Bahkan gambar gigi di cetakan pun membuatnya takut.
Kami
berhasil mendapatkan tempat di teras yang kosong.
Setelah
duduk, kami saling menunjukkan isi sandwich masing-masing, sambil dengan
semangat mengirimkan roti dan minuman ke perut kami yang semakin lapar.
Setelah beristirahat sejenak, kami
melanjutkan ke giliran sore. Kami
perlahan-lahan menjelajahi atraksi yang direkomendasikan Narasaka-san. Berbeda dengan intensitas pagi
yang menggebu-gebu, banyak wahana
di sini yang lebih santai dan tenang.
Yah, meskipun
ada juga beberapa wahana yang selevel dengan
seluncuran air.
Ngomong-ngomong,
sudah lama sekali sejak aku menyadari bahwa USJ dikenal dengan atraksi film
Hollywood. Aku juga baru menyadarinya setelah banyak mencari informasi di media
sosial.
“Baru-baru
ini, mereka telah melampaui batas film Hollywood dan secara aktif berkolaborasi
dengan anime dan game terkenal di dunia!”
Narasaka-san
menjelaskannya
untukku.
Ayase-san
bertanya, “Bahkan
jika itu bukan film Hollywood?”
“Benar!”
“Begitu
ya.”
“Yah,
itulah sebabnya ada banyak papan iklan dengan
desain yang terlihat familiar di mana-mana.”
Maru
menambahkan, sambil menunjuk ke berbagai tempat di taman. Begitu kami masuk ke dalam taman
dan melihat sekeliling, ada pemandangan yang sangat familiar bagiku dan
Maru.
Ada banyak
atraksi yang diambil berdasarkan dari
game dan manga. Sayangnya, kami melewatkan semuanya kali ini karena terlalu
populer. Selain itu, Ayase-san hampir tidak mengenal satu pun dari mereka.
Wahana
dalam rute rekomendasi Narasaka-san secara keseluruhan tidak terlalu ramai,
tetapi tetap menyenangkan karena semua atraksi yang terkenal sudah ada. Suara
kami berempat, terkejut dan tertawa, menggemakan di bawah langit Osaka.
Saat
matahari merah terbenam di balik taman, kaki kami sudah terasa lelah dan semua
orang tampak kehabisan tenaga. Tapi itu sangat menyenangkan.
“Taman hiburan itu bagus sekali, iya ‘kan!”
Semua
orang mengangguk setuju dengan kata-kata penutup Narasaka-san. Dia memang
pemandu yang sangat baik. Berkat dirinya, kami jadi
terlalu bersenang-senang sampai
membuat kami lebih lelah daripada kemarin.
“Panduan
Maaya sangat bagus. Terima kasih
juga buat Maru-kun karena sudah membagikan berbagai
pengetahuan yang kamu miliki.”
“Iya dong.
Puji terus, puji terus!”
“Aku
hanya mengatakan apa yang aku tahu. Mungkin ada yang salah, jadi pastikan untuk
memeriksanya lagi.”
“Tidak,
tidak. Maru memiliki pengetahuan yang lebih praktis daripada aku. Jika hanya
sekadar teori, tidak akan ada artinya.”
Aku
membungkukkan kepala kepada Maru yang merendah.
“Ah,
kalau kita bergerak sekarang, kita bisa menaiki
transportasi dengan baik.”
Ayase-san
memeriksa jam dan berkata. Aku juga memeriksa jadwal. Kami segera menuju
stasiun. Karena kami tidak mempunyai
waktu untuk makan malam di restoran, jadi kami membeli bento di minimarket.
Ketika
kami kembali ke hotel, semua orang sudah terlalu lelah untuk berbicara.
Kami masih
ada jadwal satu hari lagi...
“Ini
parah. Sepertinya kita harus tidur cepat hari ini,” kata Maru.
Semua
orang entah bagaimana berhasil mengangguk setuju. Bahkan mengangguk saja sudah
sangat merepotkan.
Setelah
makan malam yang dibeli di minimarket, kami mandi dan segera berbaring.
Dengan
begitulah, hari kedua perjalanan kelulusan
kami pun berakhir.
Sebelum
tertidur, tiba-tiba perasaan penyesalan melintas di pikiranku.
Ah,
seharusnya tidak begini. Aku seharusnya lebih aktif supaya Maru dan Narasaka-san bisa
bersenang-senang... Apa yang sudah kulakukan
hari ini? Aku merasa setengah waktuku
terbuang sia-sia untuk memulihkan diri.
Besok,
aku bertekad untuk lebih baik, sambil berjuang melawan rasa
kantuk yang menyelimutiku seperti
lumpur, aku pun terjatuh ke dalam tidur.
Dan
caraku terjatuh itu, rasanya seperti terseret mundur dalam atraksi yang kami
naiki siang tadi. Rasanya lebih seperti dipaksa kehilangan kesadaran daripada
tidur dengan tenang. Hal itu seolah-olah melambangkan
kecemasanku tentang menghadapi
lingkungan baru dan kehidupan kampus yang
tidak pernah kualami sebelumnya.
