Gimai Seikatsu Volume 14 Chapter 3 Bahasa Indonesia

 Chapter 3 — 24 Maret (Kamis) Asamura Yuuta

 

Pagi hari di hari ketiga perjalanan kelulusan merupakan jadwalnya Maru Tomokazu. Artinya, kami akan berziarah ke tempat suci.

Dan mengikuti contoh dari hari-hari sebelumnya, Maru, pria yang paling mengenal area di sekitar Stasiun Universitas Kansai, adalah pemandu yang tepat untuk acara hari ini. Maru sendiri sudah sangat antusias bahkan sebelum kami meninggalkan hotel. Tanyakan apa saja padaku, katanya.

Itu sangat membantu, tapi karena perjalanan ini direncanakan oleh aku dan Ayase-san untuk membangun persahabatan secara aktif, aku merasa tidak enak jika terlalu bergantung padanya. Rasanya tidak baik terus-menerus merepotkannya.

“Kurasa aku bisa membimbingmu sampai lokasi. Aku sudah memeriksanya.”

Saat kami berangkat dari hotel, aku mencoba untuk sedikit membantu dengan mengatakan itu.

“Baiklah. Asamura, aku percayakan padamu."

Karena Maru sudah mempercayakannya padaku, aku memutuskan untuk memimpin dan memandu sampai ke lokasi.

Hari ini aku harus berusaha meramaikan suasaba bersama Ayase-san. Tidak baik jika aku terus-menerus bergantung pada Maru dan Narasaka-san.

Ayase-san diam-diam mendekatiku dari samping saat aku sedang berjalan dan berbisik di telingaku.

“Kamu kelihatan bersemangat sekali, ya. Asamura-kun.”

“Tentu saja.”

Pagi ini, aku mengirimkan satu pesan kepada Ayase-san. Seperti yang sudah kukatakan sebelumnya, ide untuk merencanakan perjalanan kelulusan ini sebenarnya muncul karena kami selalu bergantung pada Maru dan Narasaka-san, sehingga kami ingin bersikap proaktif dan menikmati perjalanan ini dengan lebih santai. Jika terus seperti ini, hal itu bertentangan dengan semangat 'timbal balik, tapi dengan memberi lebih banyak'.

Meskipun terlambat, mulai sekarang aku harus lebih semangat.

“Aku juga akan berusaha.”

“Tapi yah, bersenang-senang juga penting.”

Maru dan Narasaka-san selalu berusaha untuk bersenang-senang terlebih dahulu. Aku ingin mencontoh semangat itu.

Ayase-san mengepal kedua tangannya kecil-kecil dan berkata, “Iya”.

 

◇◇◇◇

 

Aku kembali memeriksa tujuan dan rute perjalanan di smartphone-ku.

Tempat suci yang ingin dikunjungi Maru adalah ‘di sekitar Stasiun Universitas Kansai'.

Jadi, aku harus mencapai ‘Stasiun Universitas Kansai’ terlebih dahulu, tetapi sebenarnya ada beberapa rute untuk sampai ke sana. Rute yang kupilih adalah—.

“Pertama-tama, kita berjalan dari hotel ke depan Stasiun Shin-Osaka. Setelah sampai di sana, kita akan berjalan di sepanjang rel kereta menuju Stasiun Minamikata.”

“Jadi kita tidak naik kereta dari Shin-Osaka?”

Aku mengangguk menjawab pertanyaan Ayase-san. 

“Aku bingung memilih rute mana yang akan digunakan, tapi kali ini aku berpikir untuk hanya menggunakan jalur Hankyu Kyoto.”

Stasiun keberangkatannya adalah Stasiun Minami, yang terletak sekitar 10 menit berjalan kaki menuju selatan dari Stasiun Shin-Osaka. Sekadar informasi, nama stasiun ini dibaca 'Minamikata' sesuai dengan hurufnya. 

“Apa alasanmu memilih jalur itu?”

“Kita memang bisa menggunakan Jalur Midosuji untuk satu pemberhentian dan kemudian naik Jalur Hankyu Kyoto, tapi dalam hal itu akan ada pergantian.”

Mereka bertiga mengangguk setuju. Rasanya sangat membantu karena lebih mudah untuk berbicara dengan mereka. 

Sekadar informasi, aku bisa menyebutkan nama jalur dengan lancar bukan karena aku mengingatnya, tapi karena aku melihat jadwal yang tertera di smartphone-ku. 

“Jadi, salah satu alasannya adalah aku tidak mau tersesat saat pergantian kereta. Lagipula, untuk turun di Jalur Midosuji, kita harus turun di Stasiun Nishi Nakajima Minamikata.”

“Eh? Nama stasiun yang kamu sebutkan sebelumnya berbeda?" 

“Sepertinya itu memang stasiun yang berbeda. Ketika aku mencari informasinya, aplikasi peta mengatakan untuk turun di stasiun itu dan berjalan selama 3 menit ke Stasiun Minamikata.”

Semua orang tampak lesu. Mereka mungkin kembali mengingat betapa sulitnya menemukan jalan keluar dari Stasiun Shin-Osaka dua hari yang lalu. Menurutku, kesederhanaan rute itu penting karena kita tidak tahu daerahnya. Pengalaman menjelajahi labirin asli seperti Dungeon Seeker sudah cukup sekali saja. Namun, ada kemungkinan bahwa saat mencobanya ternyata lebih mudah, jadi kita tidak akan tahu apakah keputusan ini tepat atau tidak sampai kita menyelesaikannya. 

“Selain itu, semua orang sudah berusaha keras di sarapan prasmanan.” 

Setelah aku mengatakan itu, Narasaka-san langsung mengusap perutnya dengan kedua tangan. Maru sudah sering kali memperingatinya bahwa dia makan terlalu banyak. 

“Habisnya, rasanya enak sih. Tomo-kun, semuanya enak di Osaka!” 

“Ya, aku tidak bisa membantahnya,” kata Maru. 

Aku juga tersenyum kecut sambil berkata. 

“Jadi, kupikir rasanya jauh lebih baik jika kita berjalan santai. Hari ini sepertinya kita akan banyak berjalan, jadi agak menakutkan." 

Lagipula, setelah berziarah ke tempat suci, kami akan pergi ke akuarium. Aku yakin kalau malam nanti otot-otot kakiku akan terasa nyeri dan pegal. 

“Kamu masih muda, jadi tidak apa-apa!”

“Aku mungkin menjadi lamban karena terlalu banyak duduk saat ujian.”

Narasaka-san tampak bersemangat, tetapi Ayase-san menghela napas dan berkata.  

“Baiklah, mari kita melakukannya dengan santai. Salah satu tujuan perjalanan ini adalah menikmati perbedaan budaya kehidupan.”

Daripada berjalan di dalam stasiun yang ramai, berjalan di luar rasanya lebih menyenangkan karena bisa melihat pemandangan di sekitar.

Aku memperkirakan akan memakan waktu sekitar 10 menit untuk berjalan kaki, dan karena kami berjalan di sepanjang rel, kupikir kamu tidak akan tersesat di sini. Namun, saat aku melihat pintu masuk stasiun yang bertuliskan 'Stasiun Nishi Nakajima Minamikata', aku merasa lega karena sesuai dengan panduan peta. Begitu ya, jika kami menaiki kereta melalui jalur Midosuji, kami harus turun di sini. Jaraknya memang dekat, karena hanya membutuhkan satu menit perjalanan kereta. 

Kalau begitu, Stasiun Minamikata seharusnya berada sekitar tiga menit berjalan kaki dari sini. Jika kami belok kiri sesuai panduan peta... Ah, ada, itu dia! 

Sekarang setelah aku berhasil melihat stasiunnya, beban yang berada di pundakku sebagai pemandu terasa ringan. Pada saat itu, perutku yang sudah penuh dari sarapan prasmanan juga mulai nyaman. 

Kami menaiki kereta dengan Jalur Hankyu Kyoto dari Stasiun Minamikata. Setelah berganti jalur di kereta swasta, kami sampai di Stasiun Kandai-mae dalam waktu sekitar 15 menit. Dari waktu keberangkatan dari hotel, kami tiba di tujuan sekitar 40 menit. 

Baiklah... sampai di sini semuanya berjalan lancar, tetapi masalahnya baru akan dimulai dari sini. Aku belum pernah menonton anime yang merupakan karya belahan jiwa Maru. Jadi dengan kata lain, dari sini aku harus bergantung pada penjelasan Maru. 

Bukan cuma aku saja yang merasa seperti itu, tapi Ayase-san dan Narasaka-san juga merasakan hal yang sama. 

“Ah, tapi aku berhasil menonton tiga episode pertama di waktu luangku!”

“Jadi, cerita itu..... Umm, sebenarnya anime, ‘kan?” 

Saat Ayase-san bertanya kepada Narasaka-san, dia menganggukkan kepalanya dengan semangat. 

“Benar. Tapi dengar-dengar katanya ada sumber asalnya.”

“Sumber asal yang lebih dalam?”

“Kalau tidak salah awalnya dari game, iya ‘kan, Tomo-kun?

“Iya, itu adalah game adventure yang dirilis cukup lama.”

“Adve... apa?” 

Ayase-san, yang hanya pernah bermain game untuk keluarga, terlihat kebingungan saat mendengar istilah teknis yang muncul. “Hmm, jadi begini...” Maru mulai menjelaskan genre permainan komputer dari awal, jadi aku buru-buru menghentikannya. 

Jika aku membiarkan Maru yang menjelaskannya, ia akan mulai bercerita dengan antusias tentang sejarah permainan dari awal. 

Bukan berarti itu akan membosankan atau mengganggu,etapi Ayase-san yang suka sejarah justru akan terus bertanya dan mendengarkan dengan saksama. Entah dalam artian baik atau buruk, Ayase-san tidak suka membiarkan hal-hal yang tidak dia pahami menjadi tetap tidak dipahami.

Dan ketika berbicara tentang permainan komputer, Ayase-san, yang hanya memiliki pengalaman bermain permainan keluarga di televisi ruang tamu yang pernah dimainkan bersama denganku dan Narasaka-san beberapa waktu yang lalu, mungkin tidak akan memahami hampir semua yang dibicarakan Maru. 

Lantas, apa yang akan terjadi?

Aku bisa membayangkannya. Maru akan mulai menjelaskan sejarah permainan petualangan, bahkan dari asal-usul permainan komputer. Jika ditanya, “Apa itu RPG?”, Maru mungkin akan mulai bercerita tentang 'Dungeons & Dragons', RPG pertama di dunia yang dimulai pada tahun 1974. Penjelasan itu mungkin masih lebih baik daripada jika dia mulai menjelaskan sejarah permainan miniatur yang dimulai pada abad ke-19. Penjelasannya sudah berlebihan. 

Sentimen bahwa membaca sesuatu yang begitu panjang dan membosankan itu menyenangkan adalah sesuatu yang juga aku pahami sebagai pecinta buku, dan dalam arti tertentu, itu adalah rasa persaudaraan. 

Dan Ayase-san yang serius akan mengajukan lebih banyak pertanyaan setiap kali dia menemukan sesuatu yang tidak dia pahami. Maru akan semakin cepat berbicara, menjelaskan bagaimana cerita dan permainan telah menyatu dalam dunia modern, sambil mengaitkan perjuangan para pendahulu... mungkin saat dia selesai, hari sudah berubah gelap. Meskipun rasa penasaran Ayase-san akan terpuaskan, tapi tidak diragukan lagi bahwa itu akan sangat menyimpang dari tujuan perjalanan kami. 

Cuma aku satu-satunya yang bisa menghentikan ini, dan perasaan aneh akan misi itu muncul di dalam hatiku. 

“Untuk saat ini, kurasa itu saja sudah cukup jika dia mengetahui bahwa ada sumber aslinya.”

“Hmm. Yah, kurasa itu ada benarnya.” 

“Jadi kamu mengerti?” 

“Wahai temanku.” 

Narasaka-san langsung menimpali perkataanku. ...Eh? 

Oh, jadi ini berarti, “Jadi kamu mengerti, wahai temanku?” dan juga permainan kata-kata terkait nama depan Maru, salah satu kanji Tomokazu yang mempunyai arti ‘teman’. Apa ini maksudnya agar percakapan ini diberi sentuhan humor? 

“Eh? Memangnya aku harus melakukan itu?” 

“Mufun.”

Dan kemudian dia membuat wajah puas sembari menunjukkan tanda V dengan tangannya. 

“Narasaka, apa yang kamu harapkan dari Asamura?”

Benar sekali. Permintaannya terlalu sulit, mirip seperti seorang pelawak... 

“Ini semua demi menjalani hari-hari dengan lebih menyenangkan.”

“Ada juga yang cocok dan ada juga yang tidak cocok.” 

“Itulah sebabnya aku memberi dukungan. Temannya Tomo-kun juga sama dengan teman.”

“Kamu ini. Hanya karena orang tersebut adalah temannya temanmu, bukan berarti mereka juga menjadi temanmu. Pada dasarnya mereka adalah orang asing. Lagian, bukannya kemarin kamu juga sudah melakukannya, ‘kan?”

“Tomo-kun kamu cuek banget.”

“Kamu yang terlalu bersemangat.”

“Sudah, sudah.” 

Jika mereka berdua dibiarkan terus, mereka sepertinya akan terus melakukan komedi suami-istri tanpa henti—benar-benar lancar dalam percakapan. 

Aku memutuskan untuk menarik kembali alur pembicaraan secara paksa. 

“Ehmmm, jadi  di sinilah tempat suci dari anime yang direkomendasikan Maru, kan?”

Sambil mengatakan itu, aku melihat sekeliling. Kami sekarang berada di bundaran di depan stasiun di Stasiun sekitar Universitas Kansai. Kami memperkirakan waktu ziarah sekitar dua jam dari sini. 

Pertama-tama, kami berjalan-jalan di sekitar tempat yang ingin dikunjungi Maru selama sekitar satu jam. Setelah itu, kami akan kembali ke stasiun untuk makan siang. Kemudian kami akan menuju akuarium, yang merupakan acara utama di sore hari. Itu adalah rencana kasar yang sudah kusiapkan, tapi... 

“Tapi, berziarah tempat suci? Bagaimana kamu melakukannya?” 

Meskipun dia menyetujui rencana perjalanan ini, tapi Ayase-san tampaknya tidak mengerti apa yang ingin dilakukan Maru. 

“Pertama-tama, bukannya anime itu cerita fiksi?”

“Ceritanya, tentu saja, sepenuhnya fiktif. Namun dalam animasi terkini, pemandangan yang digunakan dalam karya tersebut sering kali dimodelkan berdasarkan tempat tertentu dari kenyataan.”

“Walaupun ceritanya dibuat-buat?” 

“Justru karena itulah.”

Ayase-san memiringkan. Sepertinya dia masih tidak mengerti. 

“Karakter anime tidak seharusnya benar-benar ada di sana... Apa itu masih baik-baik saja?”

Kurasa itu pertanyaan yang wajar. Meskipun kupikir mengatakannya akan terlalu blak-blakan. Usai mendengar pertanyaan Ayase-san, Maru secara mengejutkan mengangguk dengan tulus. 

“Itu pertanyaan yang bagus. Aku bisa memahami bahwa ada sebagian orang yang berpikir seperti itu. Namun, bukannya kamu juga bisa berpikir seperti ini? Kita pergi mengunjungi Kastil Osaka dua hari yang lalu, bukan?”

“Kita memang pergi ke sana...”

“Ketika melihat Kastil Osaka dari bawah hutan sakura, apa yang kamu pikirkan, Ayase?” 

“Eh. Hmm. Ya, kastil itu dibangun pada zaman Azuchi-Momoyama, yang berarti sekitar 400 tahun yang lalu. Jadi, kurasa pemandangan dari waktu itu tidak sepenuhnya sama seperti sekarang. Kastil Osaka juga dibangun kembali pada zaman Edo. Aku juga tidak berpikir bahwa pohon sakura di taman itu tetap sama. Namun, orang-orang yang hidup 400 tahun yang lalu juga pasti melihat kastil besar itu di tengah pemandangan musim semi, dan mungkin berpikir, 'Wah, kastil yang besar! Menakjubkan sekali' seperti yang kurasakan. Mungkin mereka juga memikirkan hal yang sama.”

Maru mengangguk seolah-olah berhasil mendapatkan apa yang diinginkannya. 

“Itu dia. Menurutku, kesan Ayase itu cukup wajar bagi seseorang yang mengunjungi bangunan bersejarah.”

“Yah, mungkin begitu...”

“Tapi, apa orang-orang yang hidup pada masa itu benar-benar ada di dalam bangunan yang kita lihat?” 

“…Manusia tidak bisa hidup hingga 400 tahun, jadi itu tidak mungkin." 

“Ada lubang di desa Sanada Yukimura, tetapi Sanada Yukimura tidak ada di sana. Kita bahkan tidak bisa bertemu dengan Tokugawa Ieyasu. Yang tersisa hanyalah jejak mimpi para pejuang.” 

“Jika ada hantunya, aku ingin mendengar ceritanya." 

Ayase-san, meskipun dia cukup penakut, apa itu baik-baik saja? Atau mungkin dia hanya tidak menyadari nuansa horor yang muncul dalam percakapan ini. 

“Tapi, meskipun begitu, hanya dengan melihat pemandangan yang sama dan menghirup udara yang sama di tempat-tempat yang mereka tinggali membuatku merasa terhubung dengan mereka, dan menurutku ada nilai dalam hal itu. Begitulah adanya.”

“Ahh.” 

Begitu ya, Ayase-san mengangguk, seolah mengerti. 

“Jadi, m aksudmu emosi yang muncul saat melihat pemandangan yang menjadi model tersebut akan sama antara karakter fiksi dan diri kita sendiri, begitu?” 

Maru mengangguk. 

Menurutku itu juga masuk akal.

Ayase menyimpulkannya dengan cara yang rumit, tetapi pada dasarnya seperti ini.

Misalnya, katakanlah ada lereng atau tangga curam muncul dalam anime atau film tertentu. 

Perjuangan, rasa sakit, dan keringat yang dirasakan para karakter saat mendaki lereng yang curam, dan emosi yang mereka rasakan saat mencapai puncak dan melihat ke bawah pemandangan kota. 

Hal-hal seperti itu dapat dialami kembali dengan berdiri di pemandangan yang sama. 

Kita bisa membayangkan bahwa karakter dalam video tersebut pasti merasakan emosi tersebut pada saat itu di tempat ini.

Sama seperti ketika melihat jejak kehidupan tokoh sejarah dan merasakan koneksi dengan orang tersebut secara lintas waktu, kita bisa merasakan keterikatan dengan mereka melalui pemandangan yang menjadi model, dan menghidupkan kembali emosi dari karakter fiksi.

Maru mengatakan bahwa itulah esensi dari apa yang disebut sebagai ziarah tempat suci. 

“Ah, kalau begitu, aku bisa sedikit memahami perasaan itu.”

“Sekarang setelah kamu mengerti, ada janji kecil sebelum kita mulai. Meskipun aku merasa ini seperti menggurui Ayase, saat mengunjungi bangunan bersejarah, ada etika yang harus diikuti, ‘kan? Misalnya jangan menyentuh area yang tidak boleh disentuh. Apalagi sampai menggambar grafiti, itu sama sekali tidak diperbolehkan. Sama seperti di museum, jangan membuat keributan atau berlari, dan jangan mengambil foto di tempat yang dilarang." 

“Itu benar.”

Ayase-san mengangguk seolah-olah itu hal yang sudah jelas. 

“Hal yang sama juga berlaku untuk ziarah tempat suci. Sebagian besar, tempat yang dijadikan latar belakang hanyalah tempat tinggal biasa bagi penduduk setempat. Dalam hal ini, jalan tersebut hanyalah jalan biasa bagi mereka. Kita tidak seharusnya mengganggu kehidupan mereka.”

“Oh, jadi itu bukan hanya tempat wisata.”

“Tentu ada beberapa tempat yang secara aktif mempromosikan untuk pengembangan daerah, tapi tidak semua tempat seperti itu, dan bahkan di tempat-tempat tersebut, etika itu masih tetap penting. Tidak semua penduduk menyukai fakta bahwa tempat mereka dijadikan model latar belakang untuk anime.” 

Narasaka-san menambahkan sambil menyela kata-kata Maru. 

“Shibuya juga menjadi latar berbagai cerita fiksi, tapi kita tidak terlalu memikirkannya dalam kehidupan sehari-hari, ‘kan?” 

“Shibuya juga?”

“Ya, ada banyak sekali. Bisa dibilang daerah itu penuh dengan tempat-tempat suci. Kadang-kadang, aku melihat orang-orang yang datang untuk ziarah ke Shibuya. Ikebukuro dan Akihabara cukup populer. Di Saitama, contohnya di sekitar Kasukabe atau Kuil Washinomiya.”

“Rupanya ada banyak... di mana-mana.” 

“Lagian, kita mungkin tidak menyadarinya, tetapi sekolah kita juga mungkin menjadi model untuk suatu anime!”

“Tidak, tidak, itu sih mustahil.”

Maru dengan cepat membantahnya. 

Yah, SMA Suisei hanyalah SMA biasa tanpa ada keunikan khusus selain menjadi sekolah persiapan dengan tingkat akademis yang tinggi. 

Namun terlepas dari itu, aku kembali berpikir tentang bagaimana tren anime belakangan ini yang menggunakan kota nyata sebagai latar belakang karya fiksi memberikan perasaan yang aneh. 

Meskipun disebut secara berlebihan sebagai tempat suci, tapi sebenarnya itu adalah kota yang kita tinggali sehari-hari. Ada perumahan, sekolah, dan pusat perbelanjaan... Namun bagi orang-orang yang menyukai karya tertentu, tempat itu berubah menjadi tempat yang berharga dan layak untuk dikunjungi, sama seperti tempat wisata. Jika dipikir-pikir lagi, rasanya cukup aneh juga. 

“Tapi tak kusangkan Narasaka-san tahu banyak mengenai tempat semacam itu.”

Karena dia mengurus adik-adiknya, aku jadi tidak memiliki kesan bahwa dia sering keluar rumah. 

“Justru sebaliknya, Asamura-kun. Karena aku jarang keluar, daftar tempat yang ingin aku kunjungi sangat menumpuk. Begitu adik-adikku bisa sedikit lebih mandiri, aku ingin melakukan ziarah tempat suci di seluruh Jepang!” 

“Yang menakutkan dari kasus Narasaka, dia mungkin tidak hanya terbatas di Jepang saja.”

“Sembarangan saja, aku juga mengerti bahwa ada tempat yang sulit dijangkau meskipun aku ingin pergi. Tempat yang lebih jauh dari luar angkasa, seperti bulan, mars, atau merkurius.”

Ayase-san terlihat terkejut, tetapi Maru yang tampaknya tahu anime yang dimaksud mengangguk dengan serius. Sepertinya mereka berdua benar-benar berniat pergi jika memungkinkan. Terlalu menakutkan.

 

◇◇◇◇

 

Pokoknya, perjalanan keliling tempat-tempat terkenal dengan Maru sebagai pemandu tur pun dimulai. 

“Ohhh...! Jadi inilah tempat suci dari salah satu karya jiwaku!" 

“Oi, oi, Tomo-kun. Jangan keasyikan sendiri, jelaskan juga pada kami.”

Maru menghela napas dengan penuh perasaan, tetapi Narasaka-san langsung menyela. 

Lagipula, bagi orang yang tidak mengenal karya tersebut, pemandangan yang terlihat hanyalah salah satu bangunan indah yang berdiri di tepi jalan biasa di Osaka. 

“Benar juga. Maaf, Asamura, Ayase.”

“Aku senang hanya dengan berjalan-jalan santai di kota yang tidak aku kenal,” ucap Ayase-san. 

Namun, rasanya masih diragukan apakah orang bisa benar-benar merasakan perbedaan budaya hanya dengan berjalan di jalan-jalan di kota modern Jepang. Paling banter, mungkin hanya bahasa Kansai yang diucapkan oleh orang-orang yang lewat. Tidak ada perbedaan yang terlihat dalam cara bangunan dibangun, bentuk pembatas jalan, atau tanda-tanda di permukaan aspal. Bahkan jika ada perbedaan, aku tidak bisa melihat perbedaannya. 

Gaya hidup dan budayanya tidak berbeda── 

“Tidak juga, Asamura-kun. Lihat ini.”

Ayase-san menunjukkan nomor telepon yang tertera di papan nama sebuah toko. 

“Eh?”

“Kode area-nya 06, ‘kan?”

“Ah.”

Karena belakangan ini aku jarang menelepon ke telepon rumah, jadi aku tidak lagi memperhatikannya. Kode area Tokyo adalah 03, sedangkan Osaka adalah 06. Jadi, mungkin itulah yang membuatku merasa aneh dengan papan nama yang kutemui di mana-mana. 

Aku menyadari betapa kurangnya kemampuan observasiku. Menginginkan untuk merasakan budaya yang tidak dikenal adalah pernyataan yang mengecewakan. Jika aku tidak memiliki kepekaan untuk merasakan perbedaan, kurasa itu tidak ada gunanya meskipun aku pergi ke negara asing. 

“Selain itu, aroma bunganya.”

“Aroma?” 

“Apa kamu tahu perkiraan berbunganya pohon sakura tahun ini?”

“Ah... apa sudah mulai mekar?”

“Kalau di Tokyo sudah. Tanggal 20. Tapi, Osaka tanggal 23, jadi kemarin.”

“Eh, jadi Osaka lebih lambat?”

Entah kenapa, aku berpikir kalau yang di Tokyo lebih lambat. 

“Sebenarnya begitu. Jadi, lihat, sama seperti di Kastil Osaka pada hari pertama.”

Memang benar. Bunga-bunga sakuranya baru mulai mekar. 

“Ketika kita berjalan seperti ini, aroma bunganya bisa tercium dari berbagai tempat, tetapi terasa lebih lembut dibandingkan di Tokyo. Hanya selisih beberapa hari, tetapi masih ada sedikit sisa musim dingin di berbagai tempat.”

“Begitu ya.”

“Yah, Asamura yang melamun bukanlah hal baru.” 

Karena kami berteman dekat, kata-kata itu tidak ada rasa sungkan dan membuatku sangat menyesal. 

“Maafkan aku.”

"Apa boleh buat, setiap orang memiliki kelebihan dan kekurangan. Aku percaya, karena Asamura tidak terlalu memperhatikan detail, jadi kamu memiliki kemampuan untuk melihat gambaran besar.”

“Begitu ya.”

“Kelebihan juga bisa menjadi kekurangan, dan kekurangan bisa menjadi kelebihan. Ayase mungkin cenderung terikat pada hal-hal yang ada di depannya karena dia melihat hal-hal dengan detail, mungkin. Tapi, aku juga tidak tahu sih.”

“Ucapan terakhirmu merusak semuanya, Tomo-kun!”

“Penilaian orang lain sebaiknya didengar setengah hati saja, atau bahkan hanya sepuluh persen." 

“Tomo-kun memang terlalu sensitif, ya.”

Narasaka-san berkata tajam, membuat Maru mengernyitkan wajahnya. Dari reaksinya yang tidak langsung membantah, sepertinya dia merasa tersentuh di titik yang sensitif. Maru—sensitif? Maksudnya, ia peka terhadap lingkungan sekitar, terlalu khawatir, dan terlalu memperhatikan penilaian orang lain? 

Dari sudut pandangku, Maru selalu terlihat percaya diri dan tidak mempermasalahkan hal-hal kecil. Namun, setelah memikirkan itu, aku jadi teringat kembali. Jika dirinya bukan orang yang sensitif, rasanya tidak mungkin ia bisa menjadi kapten klub bisbol. Ia adalah pemimpin dari lebih dari 20 anggota klub bisbol. Jika dirinya tidak memperhatikan setiap anggota, tentu saja ia tidak bisa mengelola mereka dengan baik. 

Maru jelas-jelas bukan tipe orang yang menerima semua yang datang dan tidak mengejar yang pergi, sama seperti diriku. Sepertinya Narasaka-san lebih mengenal Maru dibandingkan aku yang sudah berteman selama tiga tahun, dan itu membuatku sedikit merasa tertekan. 

“Yah, untuk saat ini, mari kita bahas karya jiwaku.”

Maru berkata tegas, berusaha mengubah suasana. 

“Jelaskan dengan benar, ya.” Ucap Narasaka-san.

“Serahkan padaku.”

Dengan semangat seolah ingin memukul dadanya, Maru mulai menceritakan cerita anime yang membuatnya terharu. Ia menjelaskan bagaimana pemandangan yang terlihat di depan mereka muncul dalam cerita tersebut. Menurut Maru, tempat yang menjadi model untuk adegan dalam cerita tidak hanya ada di Osaka, tetapi juga di berbagai tempat di Jepang. Bahkan ada yang berasal dari Tokyo. 

Dengan kata lain, pihak produksinya menggabungkan berbagai pemandangan untuk menciptakan kota fiktif—begitu? 

“Nilai-nilai seperti ziarah tempat suci belum begitu menyebar saat itu.”

“Jadi itu adalah karya yang sudah cukup lama, ya.”

“Lagipula, game asli yang menjadi dasar cerita ini dirilis tidak lama setelah aku lahir. Aku telah bersama game itu sepanjang sejarahnya. Mau tak mau aku merasakan takdir di sini!”

Meski Maru mengatakan itu, semua orang di sini lahir di tahun yang sama. 

“Dan anime-nya ditayangkan tiga tahun kemudian. Itu berarti aku baru berusia tiga tahun saat anime-nya pertama kali ditayangkan.”

“Maru.. saat umur tiga tahun.”

“Tomo-kun versi balita! Aku ingin melihatnya. Tunjukkan album fotonya nanti ya!”

Ketika Narasaka-san berkata demikian, Maru langsung memasang wajah yang sangat tidak suka. 

“Kenapa aku harus melakukan hal seperti mengirim garam kepada musuh? Kalau kamu bersikeras, kamu juga harus menunjukkannya padaku. Biar adil.” 

“Kamu ingin melihat kekasihmu dalam keadaan alaminya? Tomo-kun, kamu mesum, ya.” 

“…Memangnya kamu ini bodoh apa!?” 

“Fufu, jangan malu-malu begitu. Maaya-sama sudah tahu semuanya!”

“Siapa juga yang merasa malu.”

Kita sudah melenceng dari topik. 

“Jadi, kapan kamu pertama kali bertemu dengan karya yang ditakdirkan itu?”

Mana mungkin ia sudah menontonnya saat berusia tiga tahun, ‘kan? 

“Hmm. Ah, maaf. Jadi, tentu saja aku tidak menontonnya secara real-time. Aku pertama kali menontonnya saat aku mengikuti ujian masuk SMA.”

“Kamu menonton anime bahkan saat mengikuti ujian masuk?” 

“Itu cuma cara untunk melepaskan stres. Tapi anime itu benar-benar menyentuhku. Aku merasa sangat terharu. Ini adalah cerita yang bagus.”

“Semua gadis yang muncul juga kelihatan sangat imut, ya.”

Oh iya, Narasaka-san pernah bilang kalau dia sudah sedikit menontonnya. 

“Ayo, Tomo-kun, tunjukkan, biarkan aku melihatnnya!” 

Kupikir itu adalah permintaan yang tidak masuk akal, tetapi yang mengejutkan, anime itu masih memiliki situs resmi yang aktif meskipun sudah 15 tahun sejak ditayangkan. Bahkan, situs tersebut diperbarui secara berkala. Artinya, ini adalah konten yang masih relevan. 

Maru mengarahkan layar ponselnya ke arah kami. Sepertinya itu adalah halaman pengenalan karakter. Aku melihatnya bersama Ayase-san. 

Dari sudut pandang orang luar, kami mungkin terlihat seperti wisatawan yang berjalan-jalan menyusuri tempat wisata, lalu berhenti sejenak untuk memeriksa peta. 

Padahal yang kami lihat adalah ilustrasi gadis dari dunia dua dimensi. 

“Lihat, lihat, karakter ini imut, ‘kan? Saki dan Asamura-kun, karakter mana yang kalian suka?”

“Kalau ditanya begitu…” 

Aku juga suka membaca buku, tetapi aku belum pernah berpikir untuk menikmati cerita berdasarkan penampilan karakter. Ketika Maru membeli barang-barang tiga dimensi di toko anime, aku ikut menemaninya, tetapi aku sendiri belum pernah membelinya. 

“Heh, tidak kusangka. Kupikir meja Asamura-kun juga mempunyai tiga baris figurin gadis yang berjejer.”

…Tunggu. 

“Sebenarnya, aku ingin tahu bagaimana Narasaka-san sampai pada kesimpulan tentang mejaku.”

“Yang serupa menarik yang serupa?”

Aku dan Ayase-san diam-diam melihat ke arah Maru. 

“Tunggu! Itu tidak benar. Yang ada di mejaku hanya model robot yang diproduksi massal.”

“Ihh, dasar Tomo-kun, jangan malu-malu begitu.”

“Aku tidak malu! Ah, itulah sebabnya aku tidak ingin kamu masuk ke dalam kamarku.”

“Jadi dia pernah masuk ke sana, ya.” 

Ayase-san bergumam pelan. Wajah Maru yang biasanya tenang kini terlihat gugup dan panik, sehingga itu adalah momen yang langka. Namun, jika percakapan ini terus berlanjut, kami tidak akan punya waktu untuk berkeliling akuarium. 

“Maru, lanjutkan.”

Aku mendesaknya untuk memulai tur lagi.

“Ini adalah latar belakang sampul edisi terbatas pertama DVD volume 6.” 

Tunggu, tunggu, tunggu. Aku baru saja mendengar sesuatu yang mirip seperti mantra sekarang. 

“Apa katamu?”

“Ini dia.”

Sambil berkata begitu, Maru mengeluarkan sesuatu dari ranselnya yang tampaknya adalah ilustrasi sampul DVD. Dengan latar belakang yang digambar dengan indah, karakter-karakter tersebut ditampilkan. Sepertinya ia sengaja mengeluarkan sampulnya dan memasukkannya ke dalam map transparan. Jadi, inilah asal-usul mantra sebelumnya. 

Dan pemandangan yang terlihat ini—. 

“Sama…”

Melalui file transparan, pemandangan yang terlihat dan gambar pada sampulnya memiliki sudut pandang yang cukup dekat, sehingga aku bisa memahami bahwa model gambar tersebut berasal dari sini. 

“Mana, mana. Ohh~!”

Narasaka-san yang mengintip dari sampingku juga terkejut melihatnya. 

Ayase-san juga melirik sekilas, lalu menjauhkan wajahnya dan berkata dengan emosi mendalam, 

“Setelah tahu cara melihatnya, rasanya tidak aneh jika orang-orang yang muncul dalam cerita itu seolah-olah berinteraksi di pemandangan yang terlihat.”

“‘Kan?”

Maru berkata dengan senang, dan Ayase-san mengangguk. 

“Aku tertarik pada bangunan atau situs bersejarah yang tetap utuh, tetapi mungkin aku tidak terlalu menyadari bahwa orang-orang pernah tinggal di sana pada zaman ketika itu dibangun.”

“Jadi minat Ayase lebih condong kepada bangunan, ya?” 

“Aku berpikir bahwa ada bagusnya jika sesuatu bisa tetap dalam bentuk yang sama selama ratusan tahun…”

Itulah sebabnya Ayase-san suka mengunjungi situs bersejarah. Karena bangunan tersebut masih tetap sama seperti saat itu. 

Mungkin Ayase-san juga sudah menyadari bahwa perasaan mengagumi sesuatu yang tidak berubah muncul karena pengalaman menyedihkan akibat perubahan yang terjadi. 

Keluarga Ayase-san berantakan di tengah jalan. Bisnis ayah kandungnya mengalami kebangkrutan, dan suasana di rumah menjadi tegang hingga berujung pada perceraian. Pemandangan indah dari masa-masa bahagia itu lenyap tanpa jejak. 

Itulah sebabnya dia mengagumi hal-hal yang tidak berubah. 

“Tapi, cara melihat seperti ini juga bagus. Mereka yang tidak ada di dunia nyata ini, tetapi—”

Ayase-san mengalihkan pandangannya. Di dalam pemandangan yang terlihat ada apartemen dua lantai dengan tangga luar, saluran air di depan, pagar pengaman berkarat, dan di seberang jalan sempit ada mesin penjual otomatis. 

“—Jika mereka tinggal di sini, kita bisa membayangkan kalau mereka mungkin menyeberangi jalan sempit ini untuk membeli jus di mesin penjual otomatis, Tangga logam eksternal itu kelihatannya akan terdengar berisik saat digunakan naik dan turun.” 

Maru mengangguk. 

“Ah, tidak mungkin semua hal dalam cerita bisa diceritakan. Jika terlalu banyak bercerita, kita tidak akan tahu apa ceritanya. Dan detail-detail yang terlewat mungkin jelas bagi mereka yang membuatnya, tetapi tidak ada petunjuk bagi kita yang menontonnya. Kita tidak seimajinatif mereka yang membuat anime atau film.”

Aku merasa mengerti apa yang ingin disampaikan Maru.

Jika seseorang memiliki imajinasi dan kemampuan observasi, bahkan tanpa pergi ke Kastil Osaka, mereka mungkin bisa membayangkan kehidupan orang-orang pada masa itu dengan jelas hanya dengan membaca buku teks. Seperti yang pertama kali ditemukan oleh Ayase-san mengenai perbedaan kecil antara kota Tokyo dan kota Osaka. 

Namun, aku sama sekali tidak menyadarinya. 

Meskipun begitu, ketika aku benar-benar pergi mengunjungi Kastil Osaka dan melihat ke atas dari bawah pohon sakura, aku bisa sedikit membayangkan bagaimana perasaan orang-orang pada masa itu. Seratus kali mendengar tidak ada bandingnya dengan satu kali melihat. 

Maru berkata dengan wajah sedikit malu, 

“Yah, dalam kasusku, aku hanya ingin tahu lebih banyak tentang karakter yang aku sukai. Dengan memikirkan hal itu, aku bisa menikmati karya tersebut lebih dalam. Mungkin ini hanya pemikiran yang kuyakini.”

“Itu hobi, jadi membaca lebih dalam juga tidak masalah sama sekali,” kata Narasaka-san dengan senyum. 

“Pendekatan seperti itu terdengar baru bagiku. Jadi, Maru-kun tertarik untuk mengenal manusia, ya? Apa manusia itu nyata atau tidak, itu tidak masalah.”

Mendengar Ayase-san mengatakan itu, Maru membuka mulutnya dengan terkejut seolah-olah dirinya baru saja diberi tahu sesuatu yang tak terduga. 

“Uh, oh. Iya, benar…”

“Aku belum pernah memikirkan hal seperti itu, jadi rasanya benar-benar baru. Ya, mungkin ini adalah pengalaman yang baik. Terima kasih.”

Ketika Ayase-san mengucapkan terima kasih, Maru bergumam, “Tidak terlalu.”

“Malunya kelihatan tuh.”

“Dibilangin jangan menggodaku.”

Kemudian, kami mengikuti panduan Maru-sensei lagi dan berjalan-jalan di sekitar kota Osaka. 

Ketika kami kembali ke depan stasiun untuk makan siang, meskipun kami belum melihatnya, kami merasa seolah-olah telah mengalami salah satu karya menyentuh jiwa Maru. 

 

◇◇◇◇

 

Setelah makan siang, kami menuju ke tujuan sore kami, yaitu Akuarium. 

Dari Stasiun Universitas Kansai, kami melakukan satu kali pergantian kereta hingga sampai di Stasiun Osakakou. Waktu yang dibutuhkan sekitar 45 menit. Kali ini aku yang memimpin, tetapi kami tiba di Stasiun Osakakou tanpa banyak kebingungan. 

“Kurasa kita harus menitipkan barang bawaan di loker.”

“Aku setuju. Lebih baik berkeliling museum atau galeri seni dengan barang bawaan ringan.”

Karena ini adalah hari terakhir, kami sudah check-out dari hotel. Kami telah bergerak dengan membawa barang selama dua malam tiga hari, dan meskipun pagi berjalan santai, kami mulai merasa lelah di sore hari. Di dalam gedung Akuarium itu mungkin agak gelap, sehingga langkah kami bisa menjadi tidak stabil. Kami tidak ingin berjalan dengan membawa barang besar di tempat seperti itu. 

“Kurasa di akuarium juga menyediakan loker, tetapi… apa kita mungkin harus berjalan cukup jauh dari sini?”

“Tempatnya tidak terlalu jauh. Sepertinya hanya berjarak sekitar enam menit jalan kaki. Namun, jika seandainya loker di akuarium penuh, aku lebih suka menitipkan barang di sini.”

Ayase-san tampaknya setuju dengan jawabanku.

Setelah keluar dari gerbang, kami menemukan loker setelah berjalan sedikit, jadi kami memutuskan untuk menitipkan barang perjalanan kami di sana. Tentu saja, kami masih membawa barang berharga kami. 

“Kalau tidak salah gedung akuariumnya ada di sisi utara stasiun. Sepertinya ke arah sini.”

Sambil berkata demikian, aku melihat aplikasi peta dan berjalan di depan. Setelah melewati gerbang, ada lorong yang mengarah ke utara. Aku menemukan papan nama akuarium yang kami tuju di dinding, dan merasa lega. Sepertinya kami berada di jalan yang benar. 

“Asamura-kun, kamu tidak pernah tersesat, ya~”

“Karena aku melihat peta saat berjalan, jadi tidak…”

“Di dunia ini, ada beberapa orang yang masih tetap tersesat meskipun sudah melihat peta, loh~” 

Narasaka-san berkata dengan serius. Sepertinya dia memiliki kenalan yang dikenal sebagai orang yang buta arah. 

“Dan parahnya lagi, orang-orang seperti itu biasanya berjalan dengan percaya diri. Mereka menarik semua orang dan berjalan cepat, sehingga kita mengira mereka tahu jalan dan mengikuti mereka, tetapi setelah berjalan jauh, mereka malah bertanya, 'Eh, kita mau ke mana, ya?' Seriusan, ayahku benar-benar buta arah!” 

Narasaka-san mengatakan itulah kelemahan keluarganya. 

Yah, kurasa itu bukan kelemahan yang terlalu besar. Karena mereka adalah manusia, tidak mungkin hanya terdiri dari orang-orang yang seperti dewa yang serba bisa. 

“Menurut peta, sepertinya kita hanya perlu berjalan lurus dan belok kiri sekali. Kurasa ini bukan jalan yang membingungkan, jadi tidak masalah.” 

Sambil memimpin, aku juga memperhatikan pemandangan di sekitar. 

Aku merasakan kalau langit di sini terasa lebih luas dibandingkan dengan kota Shibuya. Jalan dua jalur yang ada di kiri dan kanan (dikenal sebagai Jalan 287 Minato) juga lebar. Dari peta yang terlihat seperti papan catur, mungkin ini adalah tanah baru seperti lahan reklamasi Teluk Tokyo. 

Waktu menunjukkan sudah hampir pukul 2 siang, dan jumlah orang yang berjalan di trotoar tidak terlalu banyak. Sekolah-sekolah di sekitar Osaka sepertinya sudah libur musim semi mulai tanggal 25, jadi mungkin setelah hari ini akan lebih ramai. Yah, kami sudah merencanakan jadwal untuk menghindari keramaian, jadi seharusnya tidak terlalu ramai. 

“Ah, lihat!”

Narasaka-san menunjuk ke depan jalan. 

“Ada bianglala! Besar banget!” 

Aku melihat sesuatu yang muncul di balik gedung, dan saat kami mendekat, aku menyadari itu adalah roda bianglala yang terlihat dari samping. Bianglala itu terlihat seperti tiang tipis yang menjulang ke langit. Walaupun aku melihatnya dari samping, aku bisa memahami bahwa itu adalah struktur lingkaran. 

“Menurut peta, itu adalah 'Bianglala Tenpozan'.”

“Hmm. Sepertinya itu adalah salah satu bianglala terbesar di dunia dengan diameter 100 meter dan tinggi 112,5 meter.”

“Woahh, salah satu yang terbesar di dunia!”

“Tidak boleh.”

Maru berkata tanpa ragu. 

“Ehhh! Aku bahkan belum mengatakan apa-apa!?” 

“Kamu ingin menaikinya, ‘kan?”

Narasaka-san mengangguk cepat seperti hewan kecil. 

“Jika kita menaikinya, kita takkan mempunyai waktu untuk mengunjungi akuarium.”

“Uuuuu…”

“Bersabarlah.”

“Uuu, baiklah…” 

“Aku bisa mengerti mengapa kata 'terbesar di dunia' menarik perhatian Maaya. Aku juga mungkin ingin menaikinya jika ada waktu.”

“Kabarnya ada kursi dengan lantai transparan.”

Begitu Maru berbicara, jantungku langsung bergetar. Apa-apaan itu, kedengarannya terlalu menakutkan. 

Namun, Narasaka-san dan Ayase-san membuka mata mereka lebar-lebar dan dan berseru “Ohh~” sambil tersenyum cerah seolah-olah terkena cahaya. Inilah sebabnya mengapa para penggemar wahana ekstrem seperti ini… 

“Tapi kali ini, kita harus bersabar,” ucap Maru sambil melihat ke arahku.

Hmm, jadi ini berarti mereka mengalah karena aku merekomendasikan akuarium… Narasaka-san dan Ayase-san mengangguk meskipun dengan ekspresi sedikit kecewa. 

Ketika kami mendekat hingga bisa melihat bianglala dengan sudut yang membuat leherku sakit, kami tiba di jalan lebar yang bersilangan. Di peta tertulis “Jalan Ichijou”. Jika kami menyeberang jalan dan belok kiri, gedung akuarium seharusnya sudah terlihat. 

“Ada jerapah.” 

Aku mengangkat wajahku dari aplikasi peta ketika mendengar ucapan Ayase-san. Hah, ada jerapah di sini? 

Saat melihatnya lagi lebih dekat, rupanya itu bukan jerapah asli, melainkan patung jerapah raksasa yang tampaknya terbuat dari blok mainan, tingginya tiga kali tinggi manusia. Patung itu berdiri tepat di sudut jalan. Tapi, kenapa ada mainan jerapah di sini? 

Aku buru-buru melihat kembali aplikasi peta. 

“Hahaa, jadi karena ini ya. Sepertinya ada taman bermain bertema blok mainan di dekat sini.”

“Eh, seriusan!?” 

“Narasaka.”

“Ah, aku tahu kok. Selama ini kita sudah banyak melakukan hal-hal yang sesuai dengan minat kita. Kita pasti akan pergi ke akuarium.” 

Yah, jika sampai dibilang segitunya, harapan untuk pergi ke akuarium jadi semakin berat. 

“Aku hanya berpikir bahwa adik-adikku pasti akan senang,” kata Narasaka-san.

Maru menjawab bahwa dia bisa membawanya lain kali, tapi Narasaka-san mengeluh bahwa dia tidak bisa mengurus jumlah itu sendirian. Ngomong-ngomong, ada berapa banyak adik Narasaka-san ya? Sampai sekarang, aku masih belum tahu. Dia mengatakan “banyak sekali,” tetapi secara logika, mungkin ada tiga atau empat orang. Dia adalah kakak yang baik yang selalu memikirkan adik-adiknya. 

Setelah berjalan lima menit, aku melihat bangunan yang tampaknya merupakan akuarium yang kami tuju. 

“Sepertinya itu akuarium yang kita cari,” kataku sambil menutup aplikasi peta dan berbicara kepada semua orang. 

 

◇◇◇◇

 

Kami mengantri di loket tiket. Kupikir loket itu kosong, tapi antrean di depan loket ternyata cukup panjang. 

“Yang paling menarik dari tempat ini adalah pameran permanen yang menggunakan banyak akuarium.”

Aku membagikan informasi yang sudah aku catat di ponsel sebelumnya. 

Konsep pameran permanen adalah ‘Menciptakan kembali ekosistem lautan Pasifik’. Setiap akuarium mereproduksi lingkungan dari berbagai tempat di samudera Pasifik, dan kita bisa melihat jenis makhluk hidup apa yang ada di daerah tersebut. 

Ayase-san bertanya. 

“Berbagai bagian samudera pasifik?” 

“Yah, di brosur juga tertulis begitu, tapi seperti Jepang, Kepulauan Aleut, Teluk Monterey, Teluk Panama… seperti semua tempar yang mengelilingi samudera Pasifik.” 

“Aleutian?”

Narasaka-san mengucapkannya seolah-olah dia baru pertama kalinya mendengar nama tempat tersebut, padahal dia seharusnya termasuk dalam kelompok yang lulus dari universitas negeri paling sulit di Jepang… 

“Tidak, aku tahu. Aku tahu. Hmm, itu nama antara negara bagian Alaska dan Semenanjung Kamchatka!”

“Benar sekali.”

“Seperti yang bisa ditebak dari namanya, Teluk Panama terletak di Terusan Panama, ‘kan?”

Maru berkata. 

“Itu adalah pintu masuk di sisi Pasifik dari kanal.”

“Jadi, letaknya hampir di sekitar garis khatulistiwa. Hmm. Sekitar 8 hingga 9 derajat lintang utara.”

Sepertinya Maru mencari informasi di ponselnya. Dirinya menunjukkan peta Pasifik yang diambil dari suatu tempat. Ia juga mencari lokasi Teluk Monterey. Ternyata teluk itu terletak di pantai Pasifik California di Amerika serikat bagian barat. 

“Sepertinya mereka menciptakan kembali lingkungan dari berbagai tempat dan memelihara makhluk laut di sana.”

“Ah, ada juga Antartika! Penguin, beruang kutub!”

Narasaka-san berkata dengan senang. Ah, itu salah. 

“Itu kesalahpahaman umum, tapi sebenarnya beruang kutub tidak ada di area Antartika.”

“Hah?” Narasaka-san terkejut. 

Oh, jadi itu bukan kekeliruan, tapi dia benar-benar tidak mengetahuinya. 

“Beruang kutub tinggal di daerah Kutub Utara, di sisi utara Bumi. Itulah sebabnya mereka tidak ada di Antartika. Sebaliknya, penguin adalah makhluk dari belahan selatan, jadi mereka tidak ada di belahan utara. Kedua spesies ini sebenarnya tidak hidup berdampingan secara alami. Selain itu, ada berbagai jenis penguin yang juga tinggal di tempat-tempat yang tidak dingin.” 

“Hee~” 

“Aku tidak pernah mengetahuinya. Asamura-kun, kamu sangat tahu banyak, ya.” 

Aku merasa sedikit malu ketika Ayase-san berkata demikian. 

“Kalau gitu, mari kita masuk.”

Kami akhirnya tiba di loket tiket dan membeli empat tiket masuk untuk masuk ke dalam. 

 

◇◇◇◇

 

Singkatnya, ini adalah dunia biru. 

Seperti yang kuduga, seluruh bagian dalam akuarium agak gelap dan didominasi oleh warna biru. Bukan hanya dindingnya saja, tapi mungkin juga panel akuarium yang transparan diberi warna. 

“Kenapa sampai bisa sebiru ini ya?” 

“Jangan sampai jatuh, oke?”

Maru mengikuti Narasaka-san. Sepertinya ia khawatir karena lantainya miring. 

“Tenang saja. Meskipun sedang senang, aku tidak berlebihan, kok?” 

Maru memandang Narasaka-san dengan tatapan curiga, tetapi sebenarnya itu benar. 

Baik di kebun binatang maupun di akuarium, hewan secara instinktif tidak suka suara keras. Tentu saja, mengetuk akuarium adalah hal yang tidak boleh dan dilarang. Karena itu juga mengganggu pengunjung lain yang sedang menikmati. 

Oleh karena itu, percakapan secara alami menjadi pelan. 

Narasaka-san yang berbicara dengan Maru mengerti hal itu. Meskipun nada bicaranya sama seperti biasa, volume suaranya sangat terjaga. Dengan kata lain, dia memang mengendalikan dirinya. 

Lalu mengapa dia mengatakan sesuatu yang tidak penting seperti itu? 

“Dia sedang manja.”

Ayase-san bergumam demikian. Mengenai Narasaka-san. Dia biasanya berada dalam posisi merawat, jadi dia manja kepada orang yang merawatnya. 

“Hei, Asamura-kun.”

“Ada apa?”

“Seperti yang dikatakan Maaya tadi, kenapa tempat ini begitu biru? Karena ini lautan?”

Hmm, dari mana aku harus menjelaskannya, ya? 

“Akuarium ini memiliki akuarium terbesar yang disebut akuarium Pasifik di tengah, tetapi… umm… kedalamannya sembilan meter, lebar 34 meter, dan panjang 32 meter.”

“Kedalaman sembilan meter… cukup dalam, ya.” 

“Dan sebenarnya, cahaya matahari, tepatnya cahaya yang terlihat, itu memiliki jarak yang berbeda untuk masuk ke dalam air tergantung pada warnanya. Daya pancarnya berbeda-beda. Cahaya merah cepat diserap oleh air, jadi jika sedikit menyelam, cahaya itu tidak akan sampai. Secara spesifik, hampir semua cahaya diserap dalam kedalaman 10 meter.”

Ayase-san terlihat terkejut. 

“Eh, kamu bilang kalau akuarium besar di sini memiliki kedalaman sembilan meter, ‘kan?”

“Benar. Jadi hampir tidak ada panjang gelombang cahaya merah yang mencapai dasar akuarium. Sementara itu, cahaya biru bisa menembus lebih dalam. Konon, cahaya biru bisa mencapai lebih dari kedalaman 100 meter. Artinya, laut yang dalam sekitar 10 meter harus dipenuhi dengan warna biru.” 

“Hee, begitu ya…”

“Jadi, kurasa beginilah rupa dunia bagi ikan dan makhluk yang hidup di kedalaman lebih dalam dari permukaan laut...”

Sambil berkata begitu, aku melambaikan tangan ke arah akuarium. 

“Dasar laut adalah dunia biru…”

“Kalau seukuran ini, meskipun disebut dasar, itu masih tergolong dangkal jika dibandingkan dengan seluruh lautan. Lebih dalam lagi, kedalaman di bawah 200 meter disebut 'lautan dalam' dalam biologi kelautan, dan pada kedalaman segitu, cahaya matahari sudah tidak sampai, jadi bukan hanya biru, melainkan sudah berubah menjadi dunia kegelapan. Seperti Palung Mariana yang kedalamannya sekitar 10.000 meter.”

“Pengetahuanmu lumayan luas, ya. Kamu bahkan mengingatnya dengan baik.” 

“Benarkah?”

“Sepertinya bukan karena belajar untuk ujian. Ngomong-ngomong, kamu pernah bilang bahwa kamu memelihara ikan hias. Apa kamu belajar saat itu?”

“Entahlah…”

Tentu saja, ada juga fakta bahwa aku melakukan riset sebelumnya, tetapi hal-hal yang aku ceritakan sekarang bisa diambil dari ingatanku. 

“Oh, tapi… sekarang setelah kamu mengatakannya, aku jadi ingat. Dulu waktu kecil, aku cukup suka melihat ensiklopedia.”

Bukan hanya tentang hewan saja, tapi juga ensiklopedia tentang luar angkasa dan kendaraan. Itu waktu aku masih di taman kanak-kanak. 

Ayahku mempunyai banyak ensiklopedia semacam itu, dan aku juga pernah dibelikan buku bergambar. Aku yang lebih suka di dalam ruangan sering mengeluarkan ensiklopedia itu dan melihat-lihat. 

“Sewaktu kecil, kita pasti ingin memamerkan ilmu yang sudah dipelajari, kan?”

“Masa?”

“Ternyata Ayase-san berbeda. Yah, mungkin tergantung orangnya. Aku termasuk tipe seperti itu. Jadi, aku tipe anak yang akan menceritakan semua yang kupelajari dari buku ensiklopedia.”

Meskipun aku merasa aneh mengatakannya sendiri, tidak diragukan lagi bahwa aku adalah anak yang cerdas. Dan orang tuaku tidak pernah menolak rasa penasaranku yang seperti itu. Jadi, aku dengan bangga mengungkapkan pengetahuan yang sekarang terasa tidak berarti, seperti ‘Meskipun mirip ikan, paus adalah mamalia” atau ‘Tahun cahaya bukanlah satuan waktu, tetapi satuan jarak”. Jika ada lubang, aku ingin memasukinya karena terlalu malu. Ketika bertemu anak-anak yang melakukan hal yang sama, aku merasa malu dan ingin melarikan diri. 

“Namun, berbagi pengetahuan yang didapat dengan orang lain tampaknya membantu mengingat. Fakta yang kupelajari saat itu masih teringat sampai sekarang.”

Berbicara kepada orang lain membuatnya lebih mudah diingat. Karena orang tuaku mengetahui itu, jadi mereka mendengarkan pengetahuanku dengan wajah yang tertarik dan sabar. 

“Jadi, kamu mengingat yang sebelumnya dengan cara seperti itu?” 

“Umm. Tidak, pengetahuan yang didapat dari buku yang ditujukan untuk anak-anak di kelas 1 SD tidak terlalu signifikan.”

Beruang kutub ada di Kutub Utara. Penguin ada di belahan selatan. Itu sih sudah jelas. 

“Tapi aku tidak selalu mengejar pengetahuan tentang ikan. Jika aku benar-benar menyukai ikan, kurasa aku akan memamerkan pengetahuan setiap kali melihat masakan ikan Ayase-san. Misalnya, Ikan yang disebut sanma itu.... Namun sekarang, aku hanya bisa mengenali ikan yang aku makan dengan susah payah.”

Setelah aku mengatakannya, Ayase-san menunjukkan senyuman kecil. 

“Memang bisa jadi begitu.” 

“‘Kan?”

Namun, mungkin karena kenangan tentang membaca ensiklopedia di masa kecil muncul kembali, aku jadi teringat lebih banyak hal. Orang yang mendengarkan pengetahuanku saat itu adalah ayah dan ibuku. “Yuuta, kamu tahu banyak ya. Ceritakan juga pada ibu ya,” kata ibuku sambil tersenyum mendengarkan pengetahuan yang aku sampaikan dengan percaya diri. 

Saat aku berusia sekitar empat atau lima tahun di mana aku masih belum masuk sekolah SD, saat itu suasana di rumah masih cukup baik… 

Aku merasa senang ketika ibuku memujiku, “Kamu hebat sekali, Yuuta”. Namun, sekarang aku berpikir bahwa perilakuku yang seperti itu mungkin membuat ibuku bersemangat untuk mendorongku mengikuti ujian masuk sekolah dasar dan ujian masuk SMP. 

Dan kegagalan dalam dua kali ujian tersebut menjauhkanku dari rasa ingin tahuku. 

Setelah suasana di rumah menjadi tegang dan ibuku pergi, aku tidak menunjukkan sedikit pun keinginan untuk mempelajari hal baru. Tidak ada yang memujiku lagi. Ayahku mengkhawatirkanku karena aku hanya berdiam diri di rumah tanpa melakukan apa-apa bahkan di hari liburku, jadi ia membawaku ke kebun binatang dan museum sains. Pada sekitaran waktu yang sama, aku mulai lagi membaca buku dan menikmati mengunjungi pameran… lalu, mirip seperti air yang meresap ke pasir kering, aku kembali ──

“Itulah sebabnya. Kurasa aku mempelajari informasi numerik detail seperti ‘tekanan air meningkat 1 atmosfer ketika kamu menyelam 10 meter’ dan ‘cahaya menempuh jarak 9,46 triliun kilometer dalam setahun’ jauh setelah aku mulai membaca buku. Aku bahkan tidak ingat di mana aku mempelajarinya.” 

“Begitu ya.”

Saat kami sedang berbincang, Narasaka-san dan Maru kembali dari depan jalur. 

“Oi, ada ikan yang besar di akuarium besar sana loh!” 

“Itu luar biasa!”

Maru berkata begitu, dan Narasaka-san menambahkan dengan sedikit bersemangat. 

Oi, oi. Kalian berdua tidak menyampaikan apa-apa. Hanya bilang ‘besar’ dan ‘luar biasa’. Meskipun begitu, aku bisa menebak apa yang ingin mereka katakan. 

“Ayase-san, ayo pergi. Mungkin itulah daya tarik utama di akuarium ini. Yang katanya kita hanya bisa melihatnya di sini.”

“Ah,” sepertinya Ayase-san juga mengingatnya. 

“Itu pasti semacam hiu. Hiu Paus, kan?” 

“Ya, itu dia. Dengar-dengar ukurannya sangat besar, tapi sejujurnya, baru pertama kalinya aku melihatnya.”

Meskipun begitu, seberapa besar ukurannya ya?

 

◇◇◇◇

 

Akuarium besar yang dibicarakan Maru dan Narasaka-san adalah pameran utama di akuarium, yaitu akuarium samudera Pasifik. Akuarium Pasifik terletak di tengah gedung, dan para pengunjung turun mengikuti jalur spiral di sekitar akuarium tengah. Jadi, pengunjung dapat melihat akuarium raksasa ini berkali-kali saat berjalan ke bawah. Kedalamannya sembilan meter, setara dengan ketinggian gedung sekolah tiga lantai, dan lebarnya 34 meter, yang berarti setara dengan empat hingga lima ruang kelas. Itu hampir setengah dari ukuran gedung sekolah. 

“Lalu, yang besar itu apa?”

Ketika aku bertanya, Maru menunjuk ke arah atas kanan di balik kaca akrilik. 

“Itu. Sekarang dia akan datang ke sini.”

“Akan datang?”

Aku dengan cepat mengalihkan pandanganku dan tanpa sengaja mengeluarkan suara “Woah.” 

“Itu… hiu paus?”

Ayase-san juga bergumam dengan suara terkejut. 

Ikan raksasa itu perlahan-lahan berenang ke arah kami dari atas. Besar sekali. Mungkin dari ujung hidung hingga ekornya sekitar empat hingga lima meter. 

Karena hiu paus adalah sejenis hiu, bentuk keseluruhannya mirip seperti hiu. Namun, hiu yang biasanya kita bayangkan memiliki bentuk aerodinamis dengan hidung yang runcing. Kemarin, di USJ, aku memesan kotak makan siang yang dicetak dengan gambar hiu dari film hiu, dan hiu yang digambar di sana juga memiliki hidung yang runcing. Namun, kepala hiu paus, seperti yang bisa dilihat, tidak runcing. Wajahnya datar dan lebar. Mulutnya juga besar dan datar. 

“Seperti yang diharapkan, ikan ini memang disebut sebagai ikan yang terbesar di dunia.”

“Sepertinya ikan itu bisa menggigit kepala kita...” 

Mendengar kata-kata Ayase-san, aku merasa inilah saat yang tepat untuk menunjukkan hasil penelitianku. Inilah momen yang tepat untuk memamerkan pengetahuan. 

“Tahu enggak hiu paus itu makan apa?”

“Eh...?”

Ayase-san berpikir sambil mengikuti gerakan ikan raksasa itu dengan matanya. 

“Umm... Karena dia sebesar itu, mungkin ikan besar, atau sejenisnya?”

“Plankton.”

“Eh? ... Plankton itu, yang... makhluk kecil itu, ‘kan?”

“Benar. Makhluk seperti daphnia atau ganggang hijau. Plankton adalah istilah umum untuk organisme kecil di dalam air yang tidak bisa melawan arus, jadi makanan utamanya adalah makhluk yang sangat kecil.”

“... Memangnya itu cukup, ya?”

“Dikatakan bahwa mereka harus makan sekitar delapan kilogram per hari.”

Pengetahuan ini merupakan hasil dari persiapanku sebelumnya. 

“De-Delapan kilo...!”

“Hiu paus membuka mulut besar dan menyedot air laut di sekitarnya. Di dalam mulutnya, hiu paus menyaring dan hanya mengirim plankton yang tersisa ke perut mereka. Meskipun tubuhnya besar, sifatnya lembut dan tidak menyerang manusia.”

Ikan itu tampak sedikit konyol dengan wajah yang tenang. Besar dan terlihat kuat, tetapi sifatnya lembut. Gerakannya juga lambat. Ia berenang perlahan hingga ke bagian bawah akuarium dan kembali naik dengan santai. 

“Padahal ukurannya begitu besar, tapi... bersifat lembut...” 

“Hiu paus adalah hewan ovovivipar, artinya telurnya menetas di dalam rahim, dan setelah mencapai ukuran tertentu, mereka dilahirkan. Dengan kata lain, saat keluar dari rahim ibunya, mereka sudah cukup berkembang. Diperkirakan ada sekitar 300 ekor lahir dalam sekali melahirkan, tetapi karena tidak dirawat, jumlah yang bertahan hidup sangat sedikit.”

“Tidak dirawat?”

“Benar. Ini adalah contoh dari banyak kelahiran tetapi sedikit yang selamat. Fenomena ini sering terjadi pada ikan, hewan amfibi, dan serangga.” 

“Apa semua ikan seperti itu?" 

“Sebenarnya, itu juga menjadi perhatianku saat aku melakukan menyelidikinya.”

Mungkin, apa yang diperhatikan oleh Ayase-san dan apa yang kurasakan adalah karena kami berdua pernah merasakan pengalaman ditinggalkan oleh salah satu orang tua kami. Meski demikian, tidak ada gunanya mempertanyakan strategi spesies yang tidak mengandalkan pengasuhan sebagai dasar kelangsungan hidup mereka. 

Selain itu──. 

“Saat aku mencari informasi lebih lanjut, aku menemukan situs yang menjelaskan bahwa definisi 'pengasuhan' bisa dalam artian sempit atau luas.” 

“Definisi pengasuhan?”

“Dalam arti luas, 'pengasuhan' dapat diartikan sebagai 'meningkatkan kemungkinan kelangsungan hidup anak.' Sampai di sini jelas, ‘kan?” 

Melihat Ayase-san mengangguk, aku melanjutkan. 

“Hampir semua ikan yang hidup di laut bertelur dengan menyebarkan telur mereka ke seluruh lautan. Telur-telur itu terbawa arus, jadi meskipun mereka ingin merawatnya, telur-telur itu bisa terbawa jauh ke tempat yang bahkan induknya sendiri tidak tahu. Telur-telur tersebut bisa mati atau dimakan ikan lain sebelum menetas.”

“O-Oke.”

“Namun, hal itu tidak terjadi pada ikan ovovivipar. Karena telur tetap berada di dalam rahim sang induk sampai mencapai ukuran tertentu. Dengan kata lain, dalam arti luas, periode di mana telur menetas di dalam rahim dapat dianggap sebagai pengasuhan. Mereka meningkatkan kemungkinan kelangsungan hidup dari telur hingga menjadi larva.”

Ayase-san mengangguk tanda mengerti. 

“Dalam hal itu, sulit untuk menilai apakah 300 ekor yang dilahirkan itu banyak atau sedikit. Mungkin jika mereka hanya bertelur tanpa merawatnya, mereka bisa menghasilkan lebih banyak telur.” 

“Oh, begitu. Jadi 300 ekor itu setelah mereka dirawat agar lebih mudah bertahan hidup.”

“Benar. Jika mereka melahirkan 300 ekor, mereka termasuk dalam kategori banyak kelahiran tetapi sedikit yang selamat.”

“Jadi, yang selamat sangat sedikit...” 

“Tapi, jika dipikir-pikir, itu mungkin wajar.”

“Eh?”

“Sebab, kalau ikan jantan dan betina menghasilkan keturunan, selama lebih dari dua keturunannya bertahan hidup sampai mereka melahirkan generasi berikutnya, jumlah mereka tidak akan berkurang. Namun, lautan di dunia tidak penuh dengan hiu paus, ‘kan? Dengan kata lain, bisa dikatakan bahwa jika tidak melahirkan 300 ekor, spesies hiu paus tidak bisa bertahan.”

“Umm, jadi itu berarti....mereka kesulitan untuk bertahan hidup?”

“Setelah tumbuh besar, mereka mungkin tidak dimakan oleh ikan lain, tetapi bisa dibilang mereka tidak memiliki strategi kelangsungan hidup selain tumbuh besar. Mereka tidak memiliki cara untuk menyerang musuh, tidak seperti ikan piranha yang memiliki gigi tajam, atau kepiting dan lobster yang memiliki penjepit. Mereka juga tidak bisa mengeluarkan tinta untuk membuat tabir asap, dan tidak bisa berenang cepat. Sejak awal mereka bahkan tidak punya sifat agresif.” 

“Tidak ada cara lain untuk melindungi diri selain tumbuh besar...” 

“Yah begitulah.” 

“Padahal mereka hiu.”

Yah, memang ada berbagai jenis hiu. Tidak semua hiu adalah hiu pemangsa yang menyerang manusia dengan gigi tajamnya. 

“Itulah sebabnya aku berpikir bisa menjadi sebesar ini merupakan perjuangan yang sulit. Mereka telah bertahan hidup sampai sekarang.” 

Sambil melihat hiu paus yang kembali mendekat, aku bergumam seperti itu. 

“Tapi jika mereka sudah tumbuh sebesar ini, mereka bisa hidup lebih lama.”

Aku tidak tahu apakah umur hiu paus yang dipelihara di akuarium lebih panjang atau lebih pendek dibandingkan dengan yang hidup di alam liar, tetapi berdasarkan informasi yang kucari, umur mereka sekitar 100 tahun. Artinya, tidak jauh berbeda dengan manusia. 

Ketika aku memberitahu Ayase-san tentang itu, dia sepertinya merasakan ketertarikan baru pada hiu paus. 

“Dalam artian begitu, manusia juga dibesarkan di dalam perut sebelum lahir, jadi pengasuhan anak dalam arti luas dimulai bahkan sebelum lahir, ya?” 

Aku terkejut dengan perkataan Ayase-san. 

Itu adalah sesuatu yang belum pernah kupikirkan. Jika dipikir-pikir, dalam kasus manusia, proses pengasuhan itu ada banyak tahapannya. 

“Tunggu. Mungkin jika hiu paus memperpanjang periode pengasuhan, mereka bisa bertahan hidup meskipun lahir dalam jumlah yang lebih sedikit?”

“Eh, maksudmu jika induk hiu membesarkan anaknya di dalam perut hingga lebih besar?”

“Ya. Misalnya, jika mereka bisa tumbuh hingga 10 kali lebih besar sebelum melahirkan, maka jumlahnya bisa berkurang hingga sepuluh kali.”

“Kurasa tidak sesederhana itu... Tapi secara teori, mungkin saja benar.” 

“Tapi, meskipun dikurangi menjadi sepersepuluh, jumlahnya tetap saja 30 ekor... Melahirkannya pasti sulit. Rasanya mirip seperti melahirkan bayi kembar 3 sampai sepuluh kali, loh, Asamura-kun...”

Ayase-san, apa kamu sedang ngelantur lagi? 

“Tidak, dalam hal ini kita berbicara tentang jumlah kelahiran dalam sekali melahirkan, jadi kita tidak bisa membaginya menjadi sepuluh kali.” 

Dan kenapa aku serius memikirkan ini juga? 

“Tiga puluh ekor! Itu pasti tidak mungkin!” 

“Eh?”

“Anak-anak. Mana mungkin aku bisa melahirkan sebanyak itu. Setidaknya, tolong lahirkan kembar 3! Dengan cara dibagi! Jika begitu, aku akan berusaha untuk membantu!”

“Kamu... akan membantu?”

“Ehh?”

“Eh.”

“Ah, ehmm... Maksudku bukan itu, aku berharap kamu merespons tentang yang dibagi...”

Oh, jadi dia menunggu tanggapan. 

“Jangan-jangan, kamu ingin meniru seperti yang dilakukan Narasaka-san kemarin...”

“Ah, eh... iya.” 

Aku tanpa sadar melihat ke sekeliling. Ya, setidaknya tidak ada orang lain di sekitar kami. Narasaka-san terlihat sedikit jauh, berbicara dengan ikan pari besar yang tenggelam ke lantai. Baiklah, sepertinya tidak ada yang mendengar leluconnya selain aku. 

“E-Eh? Apa jangan-jangan itu lelucon yang cukup memalukan?” 

Di tengah pemandangan biru, Ayase-san tampak memerah—atau kelihatannya seperti begitu. Namun, dalam keadaan gelap, warna merah terlihat lebih suram. Sepertinya wajahnya terlihat pucat, dan aku jadi khawatir. 

“Umm... kenapa begitu? Ini bukan tentang pembayaran utang." 

Sial, aku mengucapkannya dengan datar. 

“…Tolong dilupakan saja.”

“…Mengerti.” 

Tidak, maksudku, pria mana yang jantungnya tidak berdegup kencang dan terkesiap jika pacarnya tiba-tiba mengatakan sesuatu seperti, 'Jika itu kembar tiga, aku akan berusaha membantu,' ...Kurasa tidak ada.

Tindakan Ayase-san yang mencoba meniru Narasaka-san dan membuat lelucon pertamanya, harus berakhir dengan kegagalan karena diriku kurang berpengalaman sebagai pasangan lawakannya. Aku merasa sudah seharusnya kehilangan semua bantal duduk. Aku merasa sangat menyesal. 

Setiap orang memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing.

 

◇◇◇◇

 

Ketika kami menaiki kereta shinkansen, cahaya senja telah menghilang dan langit sudah menjadi gelap. 

Seolah-olah merindukan perjalanan yang berakhir begitu cepat, kami berbagi kenangan. Tidak ada yang tidur. Itu adalah perjalanan yang melelahkanKupikir kami akan langsung tertidur begitu duduk, tapi tidak ada yang—benar-benar tidak ada yang tidur dan kami terus mengobrol satu sama kalian. 

“Panduan Asamura-kun di Akuarium bagus sekali, ya,” kata Narasaka-san tiba-tiba. 

Tak berselang lama dia berkata demikian, pengumuman bahwa kami akan segera tiba di Shinagawa mulai terdengar. 

“Kenapa kamu kelihatan terkejut begitu?”

“Ah, tidak... Aku cuma merasa kalau aku belum bisa memberikan panduan yang baik sampai membuatku pantas mendapat pujian.”

“Yah, memang sih? Di awal-awal, Asamura-kun hanya bermesra-mesraan dengan Saki, ‘kan?”

“Tidak!”

Ayase-san langsung membantah, tetapi aku berpikir untuk menerima kritiknya dengan lapang dada. Bukan soal bercandanya, tetapi soal tidak bisa memberikan panduan dengan baik. 

Di dalam gedung Akuarium tadi terdapat kafe, dan kami beristirahat sejenak di sana. Kafe di tempat seperti ini sering kali menawarkan menu yang sesuai dengan pameran, dan Akuarium tidak terkecuali, dengan menu seperti ‘Hotdog kuda laut’ dan ‘Soft Ice Cream Hiu Paus’. Yang pertama adalah sosis yang sangat panjang di antara roti panjang, dan yang kedua adalah es krim berwarna tubuh hiu paus. Makanan berwarna biru sering kali bisa membuat selera makan berkurang (mungkin karena di alam jarang ada makanan berwarna biru), tetapi es krim yang dibagi menjadi dua warna, mengingatkanku pada bagian punggung hiu paus yang berwarna abu-abu kebiruan dan bagian perutnya yang putih, dengan mudah mengingatkan pada ikan besar yang baru saja kami lihat, dan wajahnya yang menggemaskan membuatku bisa memakannya tanpa banyak keberatan. Rasanya enak. Tidak, kenangan tentang makanan tidak terlalu penting. Kami masing-masing memesan sesuai dengan tingkat rasa lapar kami, sambil menjilati es krim dan minum kopi, kami menyegarkan diri dari kelelahan berjalan-jalan, tapi kemudian aku terlambat merenungkan tindakanku.

Aku memilih Akuarium karena sesuai dengan seleraku, yang berarti bahwa tempat ini mungkin tidak terlalu menarik bagi ketiga orang lainnya. Karena itulah, aku merasa perlu untuk memastikan mereka tidak merasa bosan. Terlebih lagi, perjalanan kelulusan ini juga merupakan cara kami, aku dan Ayase-san, untuk menunjukkan rasa terima kasih kepada Maru dan Narasaka-san yang selalu membantu kami. 

Dengan pemikiran itu, di bagian kedua perjalanan, aku berusaha menyisipkan pengetahuan yang sudah kupersiapkan sebelumnya (tentu saja, dalam batas yang tidak mengganggu) saat kami menjelajahi pameran, meskipun sebenarnya aku tidak yakin seberapa baik aku melakukannya. 

“Rasanya seperti mengunjungi museum sambil mendengarkan pemandu, cukup menarik dan seru.” 

“Syukurlah jika kamu merasa begitu.”

Aku menjawab sambil merasa lega. Yah, jika pengetahuan seadanya itu bisa membuat mereka terhibur, aku merasa beruntung. 

“Kita hampir sampai,” kata Maru. 

Di luar jendela, aku bisa melihat gemerlapnya lampu kota Tokyo di bawah malam yang gelap. 

Walaupun kamu cuma melakukan selama 3 hari, tetapi aku merasa lega. 

Kata ‘kampung halaman’ dan istilah ‘kota besar’ sering kali dianggap jauh berbeda. Dalam pelbagai novel dan cerita, pemandangan kembali ke kampung halaman biasanya menggambarkan perjalanan ke daerah pedesaan. Jarang sekali ada adegan yang menggambarkan seseorang yang berkata ‘kembali ke Tokyo’ saat pulang. Sebegitu jauhnya kata ‘pulang ke kampung halaman’ dengan ‘kota besar’. 

Namun, ketika aku melihat lampu-lampu kota Tokyo, aku merasa lega. Aku menyadari bahwa aku benar-benar seorang anak kota. 

Tiba-tiba, aku melihat wajah Ayase-san yang terpantul di kaca jendela. 

Matanya yang menatap lampu kota terlihat sedikit basah. 

“Saki, kamu menangis?”

Narasaka-san bertanya kepada Ayase-san yang duduk di depannya. 

“Aku tidak menangis.”

“Ah~ baiklah, baiklah.”

Narasaka-san memeluk Ayase-san dan mengelus kepalanya. 

“Sudah kubilang aku tidak menangis...”

“Sudahlah, sudahlah.”

Maru bergumam pelan sambil menatap ke luar jendela melewati Narasaka-san. 

“Yah, perjalanan ini cukup menyenangkan.”

Aku juga mengangguk. 

Narasaka-san masih memeluk kepala Ayase-san di dadanya. 

“Bukannya berarti kita akan berpisah selamanya, oke?”

“Dibilangin aku tidak menangis.”

“Begitu ya, begitu ya.” 

Mouu! ...Kurasa Maaya dan Maru-kun sih baik-baik saja. Karena kalian kuliah di universitas yang sama.”

Ayase-san berkata sedikit dengan nada kecewa. 

Meskipun pertemuan diikuti dengan perpisahan merupakan hal yang lumrah dalam hidup, ada hubungan yang ingin kita jaga, dan meskipun hidup ini lebih banyak tentang pertemuan, pada akhirnya waktu yang kami bagi bersama pasti akan berakhir. 

Aku merasakan firasat bahwa kehidupan kampus pasti akan jauh lebih sibuk dibandingkan masa SMA. 

Ayase-san perlahan-lahan menjauhkan tubuhnya dari Narasaka-san. 

Entah bagaimana, hubungan antara mereka yang semakin dekat membuatku merasakan keanehan dalam hidup—meskipun mungkin itu terdengar berlebihan. 

“Sepertinya kita takkan pernah berkumpul berempat untuk melakukan sesuatu seperti ini lagi,” kata Ayase-san dengan pelan. 

“Apa iya begitu~?” 

“Mungkin. Kurasa saat kita menjadi dewasa, waktu yang bisa kita gunakan hanya untuk diri sendiri akan semakin berkurang. Seharusnya aku lebih banyak bermain dengan Maaya....”

Perkataan Ayase-san membuatku teringat pada ruang kelas tempat kami belajar sebelum kelulusan. Aku mengingat sosok Ayase-san yang perlahan melihat sekeliling kelas yang hampir kosong di antara waktu belajar mandiri. 

“Bukannya aku menyesalinya, tapi entah kenapa rasanya sayang sekali.” 

“Itu bisa dengan mudah diperbaiki. Kita masih muda, iya ‘kan? Oh, bagaimana kalau kita melakukan sesuatu bersama berempat lagi?” 

Narasaka-san tiba-tiba mengusulkan hal tersebut, dan Ayase-san menatapnya seolah-olah ingin menanyakan apa yang sedang dia bicarakan. 

“Apa yang kamu maksud dengan sesuatu?” 

“Umm, ah itu dia. Bagaimana kalau kita buat video bersama? Kita berempat. Mumpung sedang tren belakangan ini.”

Maru pun ikut memberikan tatapan bingung kepada Narasaka-san. 

“Dunia hiburan tidak semudah itu, tau.”

“Kita tidak perlu terlalu serius, ini hanya untuk bersenang-senang!” 

“Narasaka, kamu mengerti. ‘kan? Meskipun itu cuma untuk bersenang-senang, apa pun yang kita bagikan ke dunia memiliki tanggung jawab tersendiri. Ini bukan hanya tentang bersenang-senang di antara teman ──” 

“Bagaimana kalau kita buat saluran YouTube tentang harta karun Maru-kun?”

“Aku tidak memiliki harta karun yang bisa dipamerkan. Harta karun terbesarku paling hanya ────”

Kita sudah mulai melenceng dari topik. 

Shinkansen meluncur masuk ke peron. 

“Ayo, kita harus turun.”

Aku mendesak mereka sehingga percakapan itu tiba-tiba berakhir di sana, dan kami semua turun dari kereta.

Narasaka-san dan Maru masih saling berdebat sambil menyeret koper mereka. 

“Pertama-tama, kamu memang selalu begitu...”

“Mungkin saluran YouTube yang menyiarkan kehidupan mesra antara Saki dan Asamura-kun juga bisa menjadi pilihan bagus. Kurasa itu akan menarik.”

Mendengar percakapan yang terputus-putus itu membuatku merasa merinding dengan membayangkan betapa mengerikannya ide itu. Seharusnya itu adalah ide untuk melakukan sesuatu bersama berempat, tapi kenapa pembicaraannya malah melenceng menjadi tentang aku dan Ayase-san? 

“Sudah berakhir, ya?” 

Aku menoleh saat mendengar suara dari belakang. Ayase-san yang mengikuti dari belakang dengan santai terlihat sedikit lelah, tapi dia tetap menunjukkan rasa puas di wajahnya. 

Setelah keluar dari gerbang stasiun shinkansen, kami berpisah ke jalur masing-masing. Aku dan Ayase-san sama-sama menuju rumah kami di Shibuya. 

Sambil menyusuri jalan pulang yang biasa, kami berbicara tentang perjalanan selama tiga hari itu. 

—Yah, itu adalah perjalanan yang menyenangkan. 

Perkataan Maru kembali bergema di telingaku. Aku juga merasa begitu, Maru. 

 

Perjalanan kelulusan kami telah selesai, dan kehidupan SMA kami berempat pun telah berakhir.

 

 

Sebelumnya  |  Daftar isi  |  Selanjutnya

Posting Komentar

Budayakan berkomentar supaya yang ngerjain project-nya tambah semangat

Lebih baru Lebih lama