Chapter 3 — 24 Maret (Kamis) Asamura Yuuta
Pagi hari di
hari ketiga perjalanan kelulusan merupakan jadwalnya Maru Tomokazu. Artinya, kami
akan berziarah ke tempat suci.
Dan
mengikuti contoh dari hari-hari sebelumnya, Maru, pria yang paling mengenal
area di sekitar Stasiun Universitas Kansai, adalah pemandu yang tepat untuk
acara hari ini. Maru sendiri sudah sangat antusias bahkan sebelum kami
meninggalkan hotel. Tanyakan apa saja padaku, katanya.
Itu sangat
membantu, tapi karena perjalanan ini direncanakan oleh aku dan Ayase-san untuk
membangun persahabatan secara aktif, aku merasa tidak enak jika terlalu
bergantung padanya. Rasanya tidak baik terus-menerus merepotkannya.
“Kurasa aku
bisa membimbingmu sampai lokasi. Aku sudah memeriksanya.”
Saat kami
berangkat dari hotel, aku mencoba untuk sedikit membantu dengan mengatakan itu.
“Baiklah.
Asamura, aku percayakan padamu."
Karena Maru
sudah mempercayakannya padaku, aku memutuskan untuk memimpin dan memandu sampai
ke lokasi.
Hari ini aku
harus berusaha meramaikan suasaba bersama Ayase-san. Tidak baik jika aku
terus-menerus bergantung pada Maru dan Narasaka-san.
Ayase-san diam-diam
mendekatiku dari samping saat aku sedang berjalan dan berbisik di telingaku.
“Kamu
kelihatan bersemangat sekali, ya. Asamura-kun.”
“Tentu saja.”
Pagi ini,
aku mengirimkan satu pesan kepada Ayase-san. Seperti yang sudah kukatakan
sebelumnya, ide untuk merencanakan perjalanan kelulusan ini sebenarnya muncul
karena kami selalu bergantung pada Maru dan Narasaka-san, sehingga kami ingin
bersikap proaktif dan menikmati perjalanan ini dengan lebih santai. Jika terus
seperti ini, hal itu bertentangan dengan semangat 'timbal balik, tapi dengan
memberi lebih banyak'.
Meskipun
terlambat, mulai sekarang aku harus lebih semangat.
“Aku juga
akan berusaha.”
“Tapi yah,
bersenang-senang juga penting.”
Maru dan Narasaka-san
selalu berusaha untuk bersenang-senang terlebih dahulu. Aku ingin mencontoh
semangat itu.
Ayase-san
mengepal kedua tangannya kecil-kecil dan berkata, “Iya”.
◇◇◇◇
Aku kembali
memeriksa tujuan dan rute perjalanan di smartphone-ku.
Tempat suci yang
ingin dikunjungi Maru adalah ‘di sekitar Stasiun Universitas Kansai'.
Jadi, aku
harus mencapai ‘Stasiun Universitas Kansai’ terlebih dahulu, tetapi
sebenarnya ada beberapa rute untuk sampai ke sana. Rute yang kupilih adalah—.
“Pertama-tama,
kita berjalan dari hotel ke depan Stasiun Shin-Osaka. Setelah sampai di sana,
kita akan berjalan di sepanjang rel kereta menuju Stasiun Minamikata.”
“Jadi kita
tidak naik kereta dari Shin-Osaka?”
Aku
mengangguk menjawab pertanyaan Ayase-san.
“Aku bingung
memilih rute mana yang akan digunakan, tapi kali ini aku berpikir untuk hanya
menggunakan jalur Hankyu Kyoto.”
Stasiun
keberangkatannya adalah Stasiun Minami, yang terletak sekitar 10 menit berjalan
kaki menuju selatan dari Stasiun Shin-Osaka. Sekadar informasi, nama stasiun
ini dibaca 'Minamikata' sesuai dengan hurufnya.
“Apa
alasanmu memilih jalur itu?”
“Kita memang
bisa menggunakan Jalur Midosuji untuk satu pemberhentian dan kemudian naik
Jalur Hankyu Kyoto, tapi dalam hal itu akan ada pergantian.”
Mereka
bertiga mengangguk setuju. Rasanya sangat membantu karena lebih mudah untuk
berbicara dengan mereka.
Sekadar
informasi, aku bisa menyebutkan nama jalur dengan lancar bukan karena aku
mengingatnya, tapi karena aku melihat jadwal yang tertera di
smartphone-ku.
“Jadi, salah
satu alasannya adalah aku tidak mau tersesat saat pergantian kereta. Lagipula,
untuk turun di Jalur Midosuji, kita harus turun di Stasiun Nishi Nakajima Minamikata.”
“Eh? Nama
stasiun yang kamu sebutkan sebelumnya berbeda?"
“Sepertinya
itu memang stasiun yang berbeda. Ketika aku mencari informasinya, aplikasi peta
mengatakan untuk turun di stasiun itu dan berjalan selama 3 menit ke Stasiun
Minamikata.”
Semua orang
tampak lesu. Mereka mungkin kembali mengingat betapa sulitnya menemukan jalan
keluar dari Stasiun Shin-Osaka dua hari yang lalu. Menurutku, kesederhanaan
rute itu penting karena kita tidak tahu daerahnya. Pengalaman menjelajahi
labirin asli seperti Dungeon Seeker sudah cukup sekali saja. Namun, ada
kemungkinan bahwa saat mencobanya ternyata lebih mudah, jadi kita tidak akan
tahu apakah keputusan ini tepat atau tidak sampai kita menyelesaikannya.
“Selain itu,
semua orang sudah berusaha keras di sarapan prasmanan.”
Setelah aku
mengatakan itu, Narasaka-san langsung mengusap perutnya dengan kedua tangan.
Maru sudah sering kali memperingatinya bahwa dia makan terlalu banyak.
“Habisnya,
rasanya enak sih. Tomo-kun, semuanya enak di Osaka!”
“Ya, aku
tidak bisa membantahnya,” kata Maru.
Aku juga
tersenyum kecut sambil berkata.
“Jadi, kupikir
rasanya jauh lebih baik jika kita berjalan santai. Hari ini sepertinya kita
akan banyak berjalan, jadi agak menakutkan."
Lagipula,
setelah berziarah ke tempat suci, kami akan pergi ke akuarium. Aku yakin kalau
malam nanti otot-otot kakiku akan terasa nyeri dan pegal.
“Kamu masih
muda, jadi tidak apa-apa!”
“Aku mungkin
menjadi lamban karena terlalu banyak duduk saat ujian.”
Narasaka-san
tampak bersemangat, tetapi Ayase-san menghela napas dan berkata.
“Baiklah,
mari kita melakukannya dengan santai. Salah satu tujuan perjalanan ini adalah
menikmati perbedaan budaya kehidupan.”
Daripada
berjalan di dalam stasiun yang ramai, berjalan di luar rasanya lebih
menyenangkan karena bisa melihat pemandangan di sekitar.
Aku
memperkirakan akan memakan waktu sekitar 10 menit untuk berjalan kaki, dan karena
kami berjalan di sepanjang rel, kupikir kamu tidak akan tersesat di sini.
Namun, saat aku melihat pintu masuk stasiun yang bertuliskan 'Stasiun Nishi Nakajima
Minamikata', aku merasa lega karena sesuai dengan panduan peta. Begitu ya,
jika kami menaiki kereta melalui jalur Midosuji, kami harus turun di sini. Jaraknya
memang dekat, karena hanya membutuhkan satu menit perjalanan kereta.
Kalau
begitu, Stasiun Minamikata seharusnya berada sekitar tiga menit berjalan kaki
dari sini. Jika kami belok kiri sesuai panduan peta... Ah, ada, itu dia!
Sekarang setelah
aku berhasil melihat stasiunnya, beban yang berada di pundakku sebagai pemandu
terasa ringan. Pada saat itu, perutku yang sudah penuh dari sarapan prasmanan
juga mulai nyaman.
Kami menaiki
kereta dengan Jalur Hankyu Kyoto dari Stasiun Minamikata. Setelah berganti
jalur di kereta swasta, kami sampai di Stasiun Kandai-mae dalam waktu sekitar
15 menit. Dari waktu keberangkatan dari hotel, kami tiba di tujuan sekitar 40
menit.
Baiklah...
sampai di sini semuanya berjalan lancar, tetapi masalahnya baru akan dimulai
dari sini. Aku belum pernah menonton anime yang merupakan karya belahan jiwa
Maru. Jadi dengan kata lain, dari sini aku harus bergantung pada penjelasan
Maru.
Bukan cuma
aku saja yang merasa seperti itu, tapi Ayase-san dan Narasaka-san juga merasakan
hal yang sama.
“Ah, tapi
aku berhasil menonton tiga episode pertama di waktu luangku!”
“Jadi,
cerita itu..... Umm, sebenarnya anime, ‘kan?”
Saat
Ayase-san bertanya kepada Narasaka-san, dia menganggukkan kepalanya dengan
semangat.
“Benar. Tapi
dengar-dengar katanya ada sumber asalnya.”
“Sumber asal
yang lebih dalam?”
“Kalau tidak
salah awalnya dari game, iya ‘kan, Tomo-kun?
“Iya, itu
adalah game adventure yang dirilis cukup lama.”
“Adve...
apa?”
Ayase-san,
yang hanya pernah bermain game untuk keluarga, terlihat kebingungan saat
mendengar istilah teknis yang muncul. “Hmm, jadi begini...” Maru mulai
menjelaskan genre permainan komputer dari awal, jadi aku buru-buru
menghentikannya.
Jika aku
membiarkan Maru yang menjelaskannya, ia akan mulai bercerita dengan antusias
tentang sejarah permainan dari awal.
Bukan
berarti itu akan membosankan atau mengganggu,etapi Ayase-san yang suka sejarah
justru akan terus bertanya dan mendengarkan dengan saksama. Entah dalam artian
baik atau buruk, Ayase-san tidak suka membiarkan hal-hal yang tidak dia pahami menjadi
tetap tidak dipahami.
Dan ketika
berbicara tentang permainan komputer, Ayase-san, yang hanya memiliki pengalaman
bermain permainan keluarga di televisi ruang tamu yang pernah dimainkan bersama
denganku dan Narasaka-san beberapa waktu yang lalu, mungkin tidak akan memahami
hampir semua yang dibicarakan Maru.
Lantas, apa
yang akan terjadi?
Aku bisa
membayangkannya. Maru akan mulai menjelaskan sejarah permainan petualangan,
bahkan dari asal-usul permainan komputer. Jika ditanya, “Apa itu RPG?”, Maru
mungkin akan mulai bercerita tentang 'Dungeons & Dragons', RPG
pertama di dunia yang dimulai pada tahun 1974. Penjelasan itu mungkin masih
lebih baik daripada jika dia mulai menjelaskan sejarah permainan miniatur yang
dimulai pada abad ke-19. Penjelasannya sudah berlebihan.
Sentimen
bahwa membaca sesuatu yang begitu panjang dan membosankan itu menyenangkan
adalah sesuatu yang juga aku pahami sebagai pecinta buku, dan dalam arti
tertentu, itu adalah rasa persaudaraan.
Dan
Ayase-san yang serius akan mengajukan lebih banyak pertanyaan setiap kali dia
menemukan sesuatu yang tidak dia pahami. Maru akan semakin cepat berbicara,
menjelaskan bagaimana cerita dan permainan telah menyatu dalam dunia modern,
sambil mengaitkan perjuangan para pendahulu... mungkin saat dia selesai, hari
sudah berubah gelap. Meskipun rasa penasaran Ayase-san akan terpuaskan, tapi
tidak diragukan lagi bahwa itu akan sangat menyimpang dari tujuan perjalanan
kami.
Cuma aku satu-satunya
yang bisa menghentikan ini, dan perasaan aneh akan misi itu muncul di dalam
hatiku.
“Untuk saat
ini, kurasa itu saja sudah cukup jika dia mengetahui bahwa ada sumber aslinya.”
“Hmm. Yah, kurasa
itu ada benarnya.”
“Jadi kamu
mengerti?”
“Wahai temanku.”
Narasaka-san
langsung menimpali perkataanku. ...Eh?
Oh, jadi ini
berarti, “Jadi kamu mengerti, wahai temanku?” dan juga permainan
kata-kata terkait nama depan Maru, salah satu kanji Tomokazu yang mempunyai arti
‘teman’. Apa ini maksudnya agar percakapan ini diberi sentuhan
humor?
“Eh? Memangnya
aku harus melakukan itu?”
“Mufun.”
Dan kemudian
dia membuat wajah puas sembari menunjukkan tanda V dengan tangannya.
“Narasaka,
apa yang kamu harapkan dari Asamura?”
Benar sekali.
Permintaannya terlalu sulit, mirip seperti seorang pelawak...
“Ini semua demi
menjalani hari-hari dengan lebih menyenangkan.”
“Ada juga
yang cocok dan ada juga yang tidak cocok.”
“Itulah
sebabnya aku memberi dukungan. Temannya Tomo-kun juga sama dengan teman.”
“Kamu ini.
Hanya karena orang tersebut adalah temannya temanmu, bukan berarti mereka juga
menjadi temanmu. Pada dasarnya mereka adalah orang asing. Lagian, bukannya
kemarin kamu juga sudah melakukannya, ‘kan?”
“Tomo-kun kamu
cuek banget.”
“Kamu yang
terlalu bersemangat.”
“Sudah,
sudah.”
Jika mereka
berdua dibiarkan terus, mereka sepertinya akan terus melakukan komedi
suami-istri tanpa henti—benar-benar lancar dalam percakapan.
Aku
memutuskan untuk menarik kembali alur pembicaraan secara paksa.
“Ehmmm, jadi
di sinilah tempat suci dari anime yang
direkomendasikan Maru, kan?”
Sambil
mengatakan itu, aku melihat sekeliling. Kami sekarang berada di bundaran di
depan stasiun di Stasiun sekitar Universitas Kansai. Kami memperkirakan waktu
ziarah sekitar dua jam dari sini.
Pertama-tama,
kami berjalan-jalan di sekitar tempat yang ingin dikunjungi Maru selama sekitar
satu jam. Setelah itu, kami akan kembali ke stasiun untuk makan siang. Kemudian
kami akan menuju akuarium, yang merupakan acara utama di sore hari. Itu adalah
rencana kasar yang sudah kusiapkan, tapi...
“Tapi, berziarah
tempat suci? Bagaimana kamu melakukannya?”
Meskipun dia
menyetujui rencana perjalanan ini, tapi Ayase-san tampaknya tidak mengerti apa
yang ingin dilakukan Maru.
“Pertama-tama,
bukannya anime itu cerita fiksi?”
“Ceritanya,
tentu saja, sepenuhnya fiktif. Namun dalam animasi terkini, pemandangan yang
digunakan dalam karya tersebut sering kali dimodelkan berdasarkan tempat
tertentu dari kenyataan.”
“Walaupun
ceritanya dibuat-buat?”
“Justru
karena itulah.”
Ayase-san memiringkan.
Sepertinya dia masih tidak mengerti.
“Karakter
anime tidak seharusnya benar-benar ada di sana... Apa itu masih baik-baik saja?”
Kurasa itu
pertanyaan yang wajar. Meskipun kupikir mengatakannya akan terlalu blak-blakan.
Usai mendengar pertanyaan Ayase-san, Maru secara mengejutkan mengangguk dengan
tulus.
“Itu
pertanyaan yang bagus. Aku bisa memahami bahwa ada sebagian orang yang berpikir
seperti itu. Namun, bukannya kamu juga bisa berpikir seperti ini? Kita pergi
mengunjungi Kastil Osaka dua hari yang lalu, bukan?”
“Kita memang
pergi ke sana...”
“Ketika
melihat Kastil Osaka dari bawah hutan sakura, apa yang kamu pikirkan, Ayase?”
“Eh. Hmm.
Ya, kastil itu dibangun pada zaman Azuchi-Momoyama, yang berarti sekitar 400
tahun yang lalu. Jadi, kurasa pemandangan dari waktu itu tidak sepenuhnya sama
seperti sekarang. Kastil Osaka juga dibangun kembali pada zaman Edo. Aku juga
tidak berpikir bahwa pohon sakura di taman itu tetap sama. Namun, orang-orang
yang hidup 400 tahun yang lalu juga pasti melihat kastil besar itu di tengah
pemandangan musim semi, dan mungkin berpikir, 'Wah, kastil yang besar!
Menakjubkan sekali' seperti yang kurasakan. Mungkin mereka juga memikirkan
hal yang sama.”
Maru mengangguk
seolah-olah berhasil mendapatkan apa yang diinginkannya.
“Itu dia.
Menurutku, kesan Ayase itu cukup wajar bagi seseorang yang mengunjungi bangunan
bersejarah.”
“Yah,
mungkin begitu...”
“Tapi, apa
orang-orang yang hidup pada masa itu benar-benar ada di dalam bangunan yang
kita lihat?”
“…Manusia
tidak bisa hidup hingga 400 tahun, jadi itu tidak mungkin."
“Ada lubang
di desa Sanada Yukimura, tetapi Sanada Yukimura tidak ada di sana. Kita bahkan
tidak bisa bertemu dengan Tokugawa Ieyasu. Yang tersisa hanyalah jejak mimpi
para pejuang.”
“Jika ada
hantunya, aku ingin mendengar ceritanya."
Ayase-san,
meskipun dia cukup penakut, apa itu baik-baik saja? Atau mungkin dia hanya
tidak menyadari nuansa horor yang muncul dalam percakapan ini.
“Tapi,
meskipun begitu, hanya dengan melihat pemandangan yang sama dan menghirup udara
yang sama di tempat-tempat yang mereka tinggali membuatku merasa terhubung
dengan mereka, dan menurutku ada nilai dalam hal itu. Begitulah adanya.”
“Ahh.”
Begitu ya, Ayase-san mengangguk, seolah mengerti.
“Jadi, m
aksudmu emosi yang muncul saat melihat pemandangan yang menjadi model tersebut
akan sama antara karakter fiksi dan diri kita sendiri, begitu?”
Maru
mengangguk.
Menurutku
itu juga masuk akal.
Ayase
menyimpulkannya dengan cara yang rumit, tetapi pada dasarnya seperti ini.
Misalnya,
katakanlah ada lereng atau tangga curam muncul dalam anime atau film tertentu.
Perjuangan,
rasa sakit, dan keringat yang dirasakan para karakter saat mendaki lereng yang
curam, dan emosi yang mereka rasakan saat mencapai puncak dan melihat ke bawah
pemandangan kota.
Hal-hal
seperti itu dapat dialami kembali dengan berdiri di pemandangan yang sama.
Kita bisa
membayangkan bahwa karakter dalam video tersebut pasti merasakan emosi tersebut
pada saat itu di tempat ini.
Sama seperti
ketika melihat jejak kehidupan tokoh sejarah dan merasakan koneksi dengan orang
tersebut secara lintas waktu, kita bisa merasakan keterikatan dengan mereka
melalui pemandangan yang menjadi model, dan menghidupkan kembali emosi dari
karakter fiksi.
Maru
mengatakan bahwa itulah esensi dari apa yang disebut sebagai ziarah tempat
suci.
“Ah, kalau
begitu, aku bisa sedikit memahami perasaan itu.”
“Sekarang setelah
kamu mengerti, ada janji kecil sebelum kita mulai. Meskipun aku merasa ini
seperti menggurui Ayase, saat mengunjungi bangunan bersejarah, ada etika yang
harus diikuti, ‘kan? Misalnya jangan menyentuh area yang tidak boleh disentuh. Apalagi
sampai menggambar grafiti, itu sama sekali tidak diperbolehkan. Sama seperti di
museum, jangan membuat keributan atau berlari, dan jangan mengambil foto di tempat
yang dilarang."
“Itu benar.”
Ayase-san
mengangguk seolah-olah itu hal yang sudah jelas.
“Hal yang
sama juga berlaku untuk ziarah tempat suci. Sebagian besar, tempat yang dijadikan
latar belakang hanyalah tempat tinggal biasa bagi penduduk setempat. Dalam hal
ini, jalan tersebut hanyalah jalan biasa bagi mereka. Kita tidak seharusnya
mengganggu kehidupan mereka.”
“Oh, jadi
itu bukan hanya tempat wisata.”
“Tentu ada beberapa
tempat yang secara aktif mempromosikan untuk pengembangan daerah, tapi tidak
semua tempat seperti itu, dan bahkan di tempat-tempat tersebut, etika itu masih
tetap penting. Tidak semua penduduk menyukai fakta bahwa tempat mereka dijadikan
model latar belakang untuk anime.”
Narasaka-san
menambahkan sambil menyela kata-kata Maru.
“Shibuya
juga menjadi latar berbagai cerita fiksi, tapi kita tidak terlalu memikirkannya
dalam kehidupan sehari-hari, ‘kan?”
“Shibuya
juga?”
“Ya, ada banyak
sekali. Bisa dibilang daerah itu penuh dengan tempat-tempat suci.
Kadang-kadang, aku melihat orang-orang yang datang untuk ziarah ke Shibuya. Ikebukuro
dan Akihabara cukup populer. Di Saitama, contohnya di sekitar Kasukabe atau
Kuil Washinomiya.”
“Rupanya ada
banyak... di mana-mana.”
“Lagian,
kita mungkin tidak menyadarinya, tetapi sekolah kita juga mungkin menjadi model
untuk suatu anime!”
“Tidak,
tidak, itu sih mustahil.”
Maru dengan
cepat membantahnya.
Yah, SMA
Suisei hanyalah SMA biasa tanpa ada keunikan khusus selain menjadi sekolah
persiapan dengan tingkat akademis yang tinggi.
Namun
terlepas dari itu, aku kembali berpikir tentang bagaimana tren anime belakangan
ini yang menggunakan kota nyata sebagai latar belakang karya fiksi memberikan
perasaan yang aneh.
Meskipun
disebut secara berlebihan sebagai tempat suci, tapi sebenarnya itu adalah kota
yang kita tinggali sehari-hari. Ada perumahan, sekolah, dan pusat
perbelanjaan... Namun bagi orang-orang yang menyukai karya tertentu, tempat itu
berubah menjadi tempat yang berharga dan layak untuk dikunjungi, sama seperti
tempat wisata. Jika dipikir-pikir lagi, rasanya cukup aneh juga.
“Tapi tak
kusangkan Narasaka-san tahu banyak mengenai tempat semacam itu.”
Karena dia
mengurus adik-adiknya, aku jadi tidak memiliki kesan bahwa dia sering keluar
rumah.
“Justru
sebaliknya, Asamura-kun. Karena aku jarang keluar, daftar tempat yang ingin aku
kunjungi sangat menumpuk. Begitu adik-adikku bisa sedikit lebih mandiri, aku
ingin melakukan ziarah tempat suci di seluruh Jepang!”
“Yang
menakutkan dari kasus Narasaka, dia mungkin tidak hanya terbatas di Jepang saja.”
“Sembarangan
saja, aku juga mengerti bahwa ada tempat yang sulit dijangkau meskipun aku
ingin pergi. Tempat yang lebih jauh dari luar angkasa, seperti bulan, mars,
atau merkurius.”
Ayase-san
terlihat terkejut, tetapi Maru yang tampaknya tahu anime yang dimaksud
mengangguk dengan serius. Sepertinya mereka berdua benar-benar berniat pergi
jika memungkinkan. Terlalu menakutkan.
◇◇◇◇
Pokoknya,
perjalanan keliling tempat-tempat terkenal dengan Maru sebagai pemandu tur pun
dimulai.
“Ohhh...! Jadi
inilah tempat suci dari salah satu karya jiwaku!"
“Oi, oi,
Tomo-kun. Jangan keasyikan sendiri, jelaskan juga pada kami.”
Maru
menghela napas dengan penuh perasaan, tetapi Narasaka-san langsung
menyela.
Lagipula,
bagi orang yang tidak mengenal karya tersebut, pemandangan yang terlihat
hanyalah salah satu bangunan indah yang berdiri di tepi jalan biasa di
Osaka.
“Benar juga.
Maaf, Asamura, Ayase.”
“Aku senang
hanya dengan berjalan-jalan santai di kota yang tidak aku kenal,” ucap Ayase-san.
Namun, rasanya
masih diragukan apakah orang bisa benar-benar merasakan perbedaan budaya hanya
dengan berjalan di jalan-jalan di kota modern Jepang. Paling banter, mungkin
hanya bahasa Kansai yang diucapkan oleh orang-orang yang lewat. Tidak ada
perbedaan yang terlihat dalam cara bangunan dibangun, bentuk pembatas jalan,
atau tanda-tanda di permukaan aspal. Bahkan jika ada perbedaan, aku tidak bisa
melihat perbedaannya.
Gaya hidup
dan budayanya tidak berbeda──
“Tidak juga,
Asamura-kun. Lihat ini.”
Ayase-san
menunjukkan nomor telepon yang tertera di papan nama sebuah toko.
“Eh?”
“Kode
area-nya 06, ‘kan?”
“Ah.”
Karena
belakangan ini aku jarang menelepon ke telepon rumah, jadi aku tidak lagi
memperhatikannya. Kode area Tokyo adalah 03, sedangkan Osaka adalah 06. Jadi,
mungkin itulah yang membuatku merasa aneh dengan papan nama yang kutemui di
mana-mana.
Aku
menyadari betapa kurangnya kemampuan observasiku. Menginginkan untuk merasakan
budaya yang tidak dikenal adalah pernyataan yang mengecewakan. Jika aku tidak
memiliki kepekaan untuk merasakan perbedaan, kurasa itu tidak ada gunanya
meskipun aku pergi ke negara asing.
“Selain itu,
aroma bunganya.”
“Aroma?”
“Apa kamu
tahu perkiraan berbunganya pohon sakura tahun ini?”
“Ah... apa
sudah mulai mekar?”
“Kalau di Tokyo
sudah. Tanggal 20. Tapi, Osaka tanggal 23, jadi kemarin.”
“Eh, jadi
Osaka lebih lambat?”
Entah
kenapa, aku berpikir kalau yang di Tokyo lebih lambat.
“Sebenarnya
begitu. Jadi, lihat, sama seperti di Kastil Osaka pada hari pertama.”
Memang
benar. Bunga-bunga sakuranya baru mulai mekar.
“Ketika kita
berjalan seperti ini, aroma bunganya bisa tercium dari berbagai tempat, tetapi
terasa lebih lembut dibandingkan di Tokyo. Hanya selisih beberapa hari, tetapi
masih ada sedikit sisa musim dingin di berbagai tempat.”
“Begitu ya.”
“Yah,
Asamura yang melamun bukanlah hal baru.”
Karena kami
berteman dekat, kata-kata itu tidak ada rasa sungkan dan membuatku sangat
menyesal.
“Maafkan
aku.”
"Apa
boleh buat, setiap orang memiliki kelebihan dan kekurangan. Aku percaya, karena
Asamura tidak terlalu memperhatikan detail, jadi kamu memiliki kemampuan untuk
melihat gambaran besar.”
“Begitu ya.”
“Kelebihan
juga bisa menjadi kekurangan, dan kekurangan bisa menjadi kelebihan. Ayase
mungkin cenderung terikat pada hal-hal yang ada di depannya karena dia melihat
hal-hal dengan detail, mungkin. Tapi, aku juga tidak tahu sih.”
“Ucapan
terakhirmu merusak semuanya, Tomo-kun!”
“Penilaian
orang lain sebaiknya didengar setengah hati saja, atau bahkan hanya sepuluh
persen."
“Tomo-kun
memang terlalu sensitif, ya.”
Narasaka-san
berkata tajam, membuat Maru mengernyitkan wajahnya. Dari reaksinya yang tidak
langsung membantah, sepertinya dia merasa tersentuh di titik yang sensitif.
Maru—sensitif? Maksudnya, ia peka terhadap lingkungan sekitar, terlalu
khawatir, dan terlalu memperhatikan penilaian orang lain?
Dari sudut
pandangku, Maru selalu terlihat percaya diri dan tidak mempermasalahkan hal-hal
kecil. Namun, setelah memikirkan itu, aku jadi teringat kembali. Jika dirinya
bukan orang yang sensitif, rasanya tidak mungkin ia bisa menjadi kapten klub
bisbol. Ia adalah pemimpin dari lebih dari 20 anggota klub bisbol. Jika dirinya
tidak memperhatikan setiap anggota, tentu saja ia tidak bisa mengelola mereka
dengan baik.
Maru jelas-jelas
bukan tipe orang yang menerima semua yang datang dan tidak mengejar yang pergi,
sama seperti diriku. Sepertinya Narasaka-san lebih mengenal Maru dibandingkan
aku yang sudah berteman selama tiga tahun, dan itu membuatku sedikit merasa
tertekan.
“Yah, untuk
saat ini, mari kita bahas karya jiwaku.”
Maru berkata
tegas, berusaha mengubah suasana.
“Jelaskan
dengan benar, ya.” Ucap Narasaka-san.
“Serahkan
padaku.”
Dengan
semangat seolah ingin memukul dadanya, Maru mulai menceritakan cerita anime
yang membuatnya terharu. Ia menjelaskan bagaimana pemandangan yang terlihat di
depan mereka muncul dalam cerita tersebut. Menurut Maru, tempat yang menjadi
model untuk adegan dalam cerita tidak hanya ada di Osaka, tetapi juga di
berbagai tempat di Jepang. Bahkan ada yang berasal dari Tokyo.
Dengan kata
lain, pihak produksinya menggabungkan berbagai pemandangan untuk menciptakan
kota fiktif—begitu?
“Nilai-nilai
seperti ziarah tempat suci belum begitu menyebar saat itu.”
“Jadi itu
adalah karya yang sudah cukup lama, ya.”
“Lagipula,
game asli yang menjadi dasar cerita ini dirilis tidak lama setelah aku lahir.
Aku telah bersama game itu sepanjang sejarahnya. Mau tak mau aku merasakan
takdir di sini!”
Meski Maru
mengatakan itu, semua orang di sini lahir di tahun yang sama.
“Dan
anime-nya ditayangkan tiga tahun kemudian. Itu berarti aku baru berusia tiga
tahun saat anime-nya pertama kali ditayangkan.”
“Maru.. saat
umur tiga tahun.”
“Tomo-kun
versi balita! Aku ingin melihatnya. Tunjukkan album fotonya nanti ya!”
Ketika Narasaka-san
berkata demikian, Maru langsung memasang wajah yang sangat tidak suka.
“Kenapa aku
harus melakukan hal seperti mengirim garam kepada musuh? Kalau kamu bersikeras,
kamu juga harus menunjukkannya padaku. Biar adil.”
“Kamu ingin
melihat kekasihmu dalam keadaan alaminya? Tomo-kun, kamu mesum, ya.”
“…Memangnya
kamu ini bodoh apa!?”
“Fufu,
jangan malu-malu begitu. Maaya-sama sudah tahu semuanya!”
“Siapa juga
yang merasa malu.”
Kita sudah
melenceng dari topik.
“Jadi, kapan
kamu pertama kali bertemu dengan karya yang ditakdirkan itu?”
Mana mungkin
ia sudah menontonnya saat berusia tiga tahun, ‘kan?
“Hmm. Ah,
maaf. Jadi, tentu saja aku tidak menontonnya secara real-time. Aku pertama kali
menontonnya saat aku mengikuti ujian masuk SMA.”
“Kamu
menonton anime bahkan saat mengikuti ujian masuk?”
“Itu cuma cara
untunk melepaskan stres. Tapi anime itu benar-benar menyentuhku. Aku merasa sangat
terharu. Ini adalah cerita yang bagus.”
“Semua gadis
yang muncul juga kelihatan sangat imut, ya.”
Oh iya, Narasaka-san
pernah bilang kalau dia sudah sedikit menontonnya.
“Ayo,
Tomo-kun, tunjukkan, biarkan aku melihatnnya!”
Kupikir itu
adalah permintaan yang tidak masuk akal, tetapi yang mengejutkan, anime itu
masih memiliki situs resmi yang aktif meskipun sudah 15 tahun sejak
ditayangkan. Bahkan, situs tersebut diperbarui secara berkala. Artinya, ini
adalah konten yang masih relevan.
Maru
mengarahkan layar ponselnya ke arah kami. Sepertinya itu adalah halaman
pengenalan karakter. Aku melihatnya bersama Ayase-san.
Dari sudut
pandang orang luar, kami mungkin terlihat seperti wisatawan yang berjalan-jalan
menyusuri tempat wisata, lalu berhenti sejenak untuk memeriksa peta.
Padahal yang
kami lihat adalah ilustrasi gadis dari dunia dua dimensi.
“Lihat,
lihat, karakter ini imut, ‘kan? Saki dan Asamura-kun, karakter mana yang kalian
suka?”
“Kalau
ditanya begitu…”
Aku juga
suka membaca buku, tetapi aku belum pernah berpikir untuk menikmati cerita
berdasarkan penampilan karakter. Ketika Maru membeli barang-barang tiga dimensi
di toko anime, aku ikut menemaninya, tetapi aku sendiri belum pernah
membelinya.
“Heh, tidak
kusangka. Kupikir meja Asamura-kun juga mempunyai tiga baris figurin gadis yang
berjejer.”
…Tunggu.
“Sebenarnya,
aku ingin tahu bagaimana Narasaka-san sampai pada kesimpulan tentang mejaku.”
“Yang serupa
menarik yang serupa?”
Aku dan
Ayase-san diam-diam melihat ke arah Maru.
“Tunggu! Itu
tidak benar. Yang ada di mejaku hanya model robot yang diproduksi massal.”
“Ihh, dasar Tomo-kun,
jangan malu-malu begitu.”
“Aku tidak
malu! Ah, itulah sebabnya aku tidak ingin kamu masuk ke dalam kamarku.”
“Jadi dia
pernah masuk ke sana, ya.”
Ayase-san bergumam
pelan. Wajah Maru yang biasanya tenang kini terlihat gugup dan panik, sehingga
itu adalah momen yang langka. Namun, jika percakapan ini terus berlanjut, kami
tidak akan punya waktu untuk berkeliling akuarium.
“Maru,
lanjutkan.”
Aku
mendesaknya untuk memulai tur lagi.
“Ini adalah
latar belakang sampul edisi terbatas pertama DVD volume 6.”
Tunggu,
tunggu, tunggu. Aku baru saja mendengar sesuatu yang mirip seperti mantra
sekarang.
“Apa katamu?”
“Ini dia.”
Sambil
berkata begitu, Maru mengeluarkan sesuatu dari ranselnya yang tampaknya adalah
ilustrasi sampul DVD. Dengan latar belakang yang digambar dengan indah,
karakter-karakter tersebut ditampilkan. Sepertinya ia sengaja mengeluarkan
sampulnya dan memasukkannya ke dalam map transparan. Jadi, inilah asal-usul
mantra sebelumnya.
Dan
pemandangan yang terlihat ini—.
“Sama…”
Melalui file
transparan, pemandangan yang terlihat dan gambar pada sampulnya memiliki sudut
pandang yang cukup dekat, sehingga aku bisa memahami bahwa model gambar
tersebut berasal dari sini.
“Mana, mana.
Ohh~!”
Narasaka-san
yang mengintip dari sampingku juga terkejut melihatnya.
Ayase-san
juga melirik sekilas, lalu menjauhkan wajahnya dan berkata dengan emosi
mendalam,
“Setelah
tahu cara melihatnya, rasanya tidak aneh jika orang-orang yang muncul dalam
cerita itu seolah-olah berinteraksi di pemandangan yang terlihat.”
“‘Kan?”
Maru berkata
dengan senang, dan Ayase-san mengangguk.
“Aku
tertarik pada bangunan atau situs bersejarah yang tetap utuh, tetapi mungkin
aku tidak terlalu menyadari bahwa orang-orang pernah tinggal di sana pada zaman
ketika itu dibangun.”
“Jadi minat
Ayase lebih condong kepada bangunan, ya?”
“Aku
berpikir bahwa ada bagusnya jika sesuatu bisa tetap dalam bentuk yang sama
selama ratusan tahun…”
Itulah sebabnya
Ayase-san suka mengunjungi situs bersejarah. Karena bangunan tersebut masih tetap
sama seperti saat itu.
Mungkin
Ayase-san juga sudah menyadari bahwa perasaan mengagumi sesuatu yang tidak
berubah muncul karena pengalaman menyedihkan akibat perubahan yang
terjadi.
Keluarga
Ayase-san berantakan di tengah jalan. Bisnis ayah kandungnya mengalami
kebangkrutan, dan suasana di rumah menjadi tegang hingga berujung pada
perceraian. Pemandangan indah dari masa-masa bahagia itu lenyap tanpa
jejak.
Itulah
sebabnya dia mengagumi hal-hal yang tidak berubah.
“Tapi, cara
melihat seperti ini juga bagus. Mereka yang tidak ada di dunia nyata ini,
tetapi—”
Ayase-san
mengalihkan pandangannya. Di dalam pemandangan yang terlihat ada apartemen dua
lantai dengan tangga luar, saluran air di depan, pagar pengaman berkarat, dan
di seberang jalan sempit ada mesin penjual otomatis.
“—Jika
mereka tinggal di sini, kita bisa membayangkan kalau mereka mungkin
menyeberangi jalan sempit ini untuk membeli jus di mesin penjual otomatis, Tangga
logam eksternal itu kelihatannya akan terdengar berisik saat digunakan naik dan
turun.”
Maru mengangguk.
“Ah, tidak
mungkin semua hal dalam cerita bisa diceritakan. Jika terlalu banyak bercerita,
kita tidak akan tahu apa ceritanya. Dan detail-detail yang terlewat mungkin
jelas bagi mereka yang membuatnya, tetapi tidak ada petunjuk bagi kita yang menontonnya.
Kita tidak seimajinatif mereka yang membuat anime atau film.”
Aku merasa
mengerti apa yang ingin disampaikan Maru.
Jika
seseorang memiliki imajinasi dan kemampuan observasi, bahkan tanpa pergi ke
Kastil Osaka, mereka mungkin bisa membayangkan kehidupan orang-orang pada masa
itu dengan jelas hanya dengan membaca buku teks. Seperti yang pertama kali
ditemukan oleh Ayase-san mengenai perbedaan kecil antara kota Tokyo dan kota
Osaka.
Namun, aku
sama sekali tidak menyadarinya.
Meskipun
begitu, ketika aku benar-benar pergi mengunjungi Kastil Osaka dan melihat ke
atas dari bawah pohon sakura, aku bisa sedikit membayangkan bagaimana perasaan
orang-orang pada masa itu. Seratus kali mendengar tidak ada bandingnya dengan
satu kali melihat.
Maru berkata
dengan wajah sedikit malu,
“Yah, dalam
kasusku, aku hanya ingin tahu lebih banyak tentang karakter yang aku sukai.
Dengan memikirkan hal itu, aku bisa menikmati karya tersebut lebih dalam.
Mungkin ini hanya pemikiran yang kuyakini.”
“Itu hobi,
jadi membaca lebih dalam juga tidak masalah sama sekali,” kata Narasaka-san
dengan senyum.
“Pendekatan
seperti itu terdengar baru bagiku. Jadi, Maru-kun tertarik untuk mengenal
manusia, ya? Apa manusia itu nyata atau tidak, itu tidak masalah.”
Mendengar
Ayase-san mengatakan itu, Maru membuka mulutnya dengan terkejut seolah-olah
dirinya baru saja diberi tahu sesuatu yang tak terduga.
“Uh, oh.
Iya, benar…”
“Aku belum
pernah memikirkan hal seperti itu, jadi rasanya benar-benar baru. Ya, mungkin ini
adalah pengalaman yang baik. Terima kasih.”
Ketika Ayase-san mengucapkan terima kasih, Maru bergumam, “Tidak terlalu.”
“Malunya
kelihatan tuh.”
“Dibilangin
jangan menggodaku.”
Kemudian,
kami mengikuti panduan Maru-sensei lagi dan berjalan-jalan di sekitar kota
Osaka.
Ketika kami
kembali ke depan stasiun untuk makan siang, meskipun kami belum melihatnya,
kami merasa seolah-olah telah mengalami salah satu karya menyentuh jiwa
Maru.
◇◇◇◇
Setelah
makan siang, kami menuju ke tujuan sore kami, yaitu Akuarium.
Dari Stasiun
Universitas Kansai, kami melakukan satu kali pergantian kereta hingga sampai di
Stasiun Osakakou. Waktu yang dibutuhkan sekitar 45 menit. Kali ini aku yang
memimpin, tetapi kami tiba di Stasiun Osakakou tanpa banyak kebingungan.
“Kurasa kita
harus menitipkan barang bawaan di loker.”
“Aku setuju.
Lebih baik berkeliling museum atau galeri seni dengan barang bawaan ringan.”
Karena ini
adalah hari terakhir, kami sudah check-out dari hotel. Kami telah
bergerak dengan membawa barang selama dua malam tiga hari, dan meskipun pagi
berjalan santai, kami mulai merasa lelah di sore hari. Di dalam gedung Akuarium
itu mungkin agak gelap, sehingga langkah kami bisa menjadi tidak stabil. Kami
tidak ingin berjalan dengan membawa barang besar di tempat seperti itu.
“Kurasa di
akuarium juga menyediakan loker, tetapi… apa kita mungkin harus berjalan cukup
jauh dari sini?”
“Tempatnya tidak
terlalu jauh. Sepertinya hanya berjarak sekitar enam menit jalan kaki. Namun,
jika seandainya loker di akuarium penuh, aku lebih suka menitipkan barang di
sini.”
Ayase-san
tampaknya setuju dengan jawabanku.
Setelah
keluar dari gerbang, kami menemukan loker setelah berjalan sedikit, jadi kami
memutuskan untuk menitipkan barang perjalanan kami di sana. Tentu saja, kami
masih membawa barang berharga kami.
“Kalau tidak
salah gedung akuariumnya ada di sisi utara stasiun. Sepertinya ke arah sini.”
Sambil
berkata demikian, aku melihat aplikasi peta dan berjalan di depan. Setelah
melewati gerbang, ada lorong yang mengarah ke utara. Aku menemukan papan nama
akuarium yang kami tuju di dinding, dan merasa lega. Sepertinya kami berada di
jalan yang benar.
“Asamura-kun,
kamu tidak pernah tersesat, ya~”
“Karena aku
melihat peta saat berjalan, jadi tidak…”
“Di dunia
ini, ada beberapa orang yang masih tetap tersesat meskipun sudah melihat peta,
loh~”
Narasaka-san
berkata dengan serius. Sepertinya dia memiliki kenalan yang dikenal sebagai
orang yang buta arah.
“Dan parahnya
lagi, orang-orang seperti itu biasanya berjalan dengan percaya diri. Mereka
menarik semua orang dan berjalan cepat, sehingga kita mengira mereka tahu jalan
dan mengikuti mereka, tetapi setelah berjalan jauh, mereka malah bertanya, 'Eh,
kita mau ke mana, ya?' Seriusan, ayahku benar-benar buta arah!”
Narasaka-san
mengatakan itulah kelemahan keluarganya.
Yah, kurasa
itu bukan kelemahan yang terlalu besar. Karena mereka adalah manusia, tidak
mungkin hanya terdiri dari orang-orang yang seperti dewa yang serba bisa.
“Menurut
peta, sepertinya kita hanya perlu berjalan lurus dan belok kiri sekali. Kurasa ini
bukan jalan yang membingungkan, jadi tidak masalah.”
Sambil
memimpin, aku juga memperhatikan pemandangan di sekitar.
Aku merasakan
kalau langit di sini terasa lebih luas dibandingkan dengan kota Shibuya. Jalan
dua jalur yang ada di kiri dan kanan (dikenal sebagai Jalan 287 Minato)
juga lebar. Dari peta yang terlihat seperti papan catur, mungkin ini adalah
tanah baru seperti lahan reklamasi Teluk Tokyo.
Waktu menunjukkan
sudah hampir pukul 2 siang, dan jumlah orang yang berjalan di trotoar tidak
terlalu banyak. Sekolah-sekolah di sekitar Osaka sepertinya sudah libur musim
semi mulai tanggal 25, jadi mungkin setelah hari ini akan lebih ramai. Yah,
kami sudah merencanakan jadwal untuk menghindari keramaian, jadi seharusnya
tidak terlalu ramai.
“Ah, lihat!”
Narasaka-san
menunjuk ke depan jalan.
“Ada
bianglala! Besar banget!”
Aku melihat
sesuatu yang muncul di balik gedung, dan saat kami mendekat, aku menyadari itu
adalah roda bianglala yang terlihat dari samping. Bianglala itu terlihat
seperti tiang tipis yang menjulang ke langit. Walaupun aku melihatnya dari
samping, aku bisa memahami bahwa itu adalah struktur lingkaran.
“Menurut
peta, itu adalah 'Bianglala Tenpozan'.”
“Hmm.
Sepertinya itu adalah salah satu bianglala terbesar di dunia dengan diameter
100 meter dan tinggi 112,5 meter.”
“Woahh, salah
satu yang terbesar di dunia!”
“Tidak
boleh.”
Maru berkata
tanpa ragu.
“Ehhh! Aku bahkan
belum mengatakan apa-apa!?”
“Kamu ingin menaikinya,
‘kan?”
Narasaka-san
mengangguk cepat seperti hewan kecil.
“Jika kita menaikinya,
kita takkan mempunyai waktu untuk mengunjungi akuarium.”
“Uuuuu…”
“Bersabarlah.”
“Uuu,
baiklah…”
“Aku bisa mengerti
mengapa kata 'terbesar di dunia' menarik perhatian Maaya. Aku juga mungkin
ingin menaikinya jika ada waktu.”
“Kabarnya
ada kursi dengan lantai transparan.”
Begitu Maru
berbicara, jantungku langsung bergetar. Apa-apaan itu, kedengarannya terlalu
menakutkan.
Namun, Narasaka-san
dan Ayase-san membuka mata mereka lebar-lebar dan dan berseru “Ohh~”
sambil tersenyum cerah seolah-olah terkena cahaya. Inilah sebabnya mengapa para
penggemar wahana ekstrem seperti ini…
“Tapi kali
ini, kita harus bersabar,” ucap Maru sambil melihat ke arahku.
Hmm, jadi
ini berarti mereka mengalah karena aku merekomendasikan akuarium… Narasaka-san
dan Ayase-san mengangguk meskipun dengan ekspresi sedikit kecewa.
Ketika kami
mendekat hingga bisa melihat bianglala dengan sudut yang membuat leherku sakit,
kami tiba di jalan lebar yang bersilangan. Di peta tertulis “Jalan Ichijou”.
Jika kami menyeberang jalan dan belok kiri, gedung akuarium seharusnya sudah
terlihat.
“Ada
jerapah.”
Aku mengangkat
wajahku dari aplikasi peta ketika mendengar ucapan Ayase-san. Hah, ada jerapah di
sini?
Saat melihatnya
lagi lebih dekat, rupanya itu bukan jerapah asli, melainkan patung jerapah
raksasa yang tampaknya terbuat dari blok mainan, tingginya tiga kali tinggi
manusia. Patung itu berdiri tepat di sudut jalan. Tapi, kenapa ada mainan jerapah
di sini?
Aku
buru-buru melihat kembali aplikasi peta.
“Hahaa, jadi
karena ini ya. Sepertinya ada taman bermain bertema blok mainan di dekat sini.”
“Eh, seriusan!?”
“Narasaka.”
“Ah, aku
tahu kok. Selama ini kita sudah banyak melakukan hal-hal yang sesuai dengan
minat kita. Kita pasti akan pergi ke akuarium.”
Yah, jika
sampai dibilang segitunya, harapan untuk pergi ke akuarium jadi semakin
berat.
“Aku hanya
berpikir bahwa adik-adikku pasti akan senang,” kata Narasaka-san.
Maru
menjawab bahwa dia bisa membawanya lain kali, tapi Narasaka-san mengeluh bahwa
dia tidak bisa mengurus jumlah itu sendirian. Ngomong-ngomong, ada berapa
banyak adik Narasaka-san ya? Sampai sekarang, aku masih belum tahu. Dia
mengatakan “banyak sekali,” tetapi secara logika, mungkin ada tiga atau empat
orang. Dia adalah kakak yang baik yang selalu memikirkan adik-adiknya.
Setelah
berjalan lima menit, aku melihat bangunan yang tampaknya merupakan akuarium
yang kami tuju.
“Sepertinya
itu akuarium yang kita cari,” kataku sambil menutup aplikasi peta dan berbicara
kepada semua orang.
◇◇◇◇
Kami
mengantri di loket tiket. Kupikir loket itu kosong, tapi antrean di depan loket
ternyata cukup panjang.
“Yang paling
menarik dari tempat ini adalah pameran permanen yang menggunakan banyak
akuarium.”
Aku
membagikan informasi yang sudah aku catat di ponsel sebelumnya.
Konsep
pameran permanen adalah ‘Menciptakan kembali ekosistem lautan Pasifik’.
Setiap akuarium mereproduksi lingkungan dari berbagai tempat di samudera Pasifik,
dan kita bisa melihat jenis makhluk hidup apa yang ada di daerah tersebut.
Ayase-san
bertanya.
“Berbagai
bagian samudera pasifik?”
“Yah, di
brosur juga tertulis begitu, tapi seperti Jepang, Kepulauan Aleut, Teluk
Monterey, Teluk Panama… seperti semua tempar yang mengelilingi samudera Pasifik.”
“Aleutian?”
Narasaka-san
mengucapkannya seolah-olah dia baru pertama kalinya mendengar nama tempat
tersebut, padahal dia seharusnya termasuk dalam kelompok yang lulus dari
universitas negeri paling sulit di Jepang…
“Tidak, aku
tahu. Aku tahu. Hmm, itu nama antara negara bagian Alaska dan Semenanjung
Kamchatka!”
“Benar
sekali.”
“Seperti
yang bisa ditebak dari namanya, Teluk Panama terletak di Terusan Panama, ‘kan?”
Maru
berkata.
“Itu adalah
pintu masuk di sisi Pasifik dari kanal.”
“Jadi, letaknya
hampir di sekitar garis khatulistiwa. Hmm. Sekitar 8 hingga 9 derajat lintang
utara.”
Sepertinya
Maru mencari informasi di ponselnya. Dirinya menunjukkan peta Pasifik yang
diambil dari suatu tempat. Ia juga mencari lokasi Teluk Monterey. Ternyata
teluk itu terletak di pantai Pasifik California di Amerika serikat bagian barat.
“Sepertinya
mereka menciptakan kembali lingkungan dari berbagai tempat dan memelihara
makhluk laut di sana.”
“Ah, ada
juga Antartika! Penguin, beruang kutub!”
Narasaka-san
berkata dengan senang. Ah, itu salah.
“Itu
kesalahpahaman umum, tapi sebenarnya beruang kutub tidak ada di area Antartika.”
“Hah?” Narasaka-san
terkejut.
Oh, jadi itu
bukan kekeliruan, tapi dia benar-benar tidak mengetahuinya.
“Beruang
kutub tinggal di daerah Kutub Utara, di sisi utara Bumi. Itulah sebabnya mereka
tidak ada di Antartika. Sebaliknya, penguin adalah makhluk dari belahan
selatan, jadi mereka tidak ada di belahan utara. Kedua spesies ini sebenarnya
tidak hidup berdampingan secara alami. Selain itu, ada berbagai jenis penguin
yang juga tinggal di tempat-tempat yang tidak dingin.”
“Hee~”
“Aku tidak
pernah mengetahuinya. Asamura-kun, kamu sangat tahu banyak, ya.”
Aku merasa
sedikit malu ketika Ayase-san berkata demikian.
“Kalau gitu,
mari kita masuk.”
Kami
akhirnya tiba di loket tiket dan membeli empat tiket masuk untuk masuk ke
dalam.
◇◇◇◇
Singkatnya,
ini adalah dunia biru.
Seperti yang
kuduga, seluruh bagian dalam akuarium agak gelap dan didominasi oleh warna
biru. Bukan hanya dindingnya saja, tapi mungkin juga panel akuarium yang
transparan diberi warna.
“Kenapa sampai
bisa sebiru ini ya?”
“Jangan sampai
jatuh, oke?”
Maru
mengikuti Narasaka-san. Sepertinya ia khawatir karena lantainya miring.
“Tenang saja.
Meskipun sedang senang, aku tidak berlebihan, kok?”
Maru memandang
Narasaka-san dengan tatapan curiga, tetapi sebenarnya itu benar.
Baik di
kebun binatang maupun di akuarium, hewan secara instinktif tidak suka suara
keras. Tentu saja, mengetuk akuarium adalah hal yang tidak boleh dan dilarang. Karena
itu juga mengganggu pengunjung lain yang sedang menikmati.
Oleh karena
itu, percakapan secara alami menjadi pelan.
Narasaka-san
yang berbicara dengan Maru mengerti hal itu. Meskipun nada bicaranya sama
seperti biasa, volume suaranya sangat terjaga. Dengan kata lain, dia memang mengendalikan
dirinya.
Lalu mengapa
dia mengatakan sesuatu yang tidak penting seperti itu?
“Dia sedang manja.”
Ayase-san
bergumam demikian. Mengenai Narasaka-san. Dia biasanya berada dalam posisi
merawat, jadi dia manja kepada orang yang merawatnya.
“Hei,
Asamura-kun.”
“Ada apa?”
“Seperti
yang dikatakan Maaya tadi, kenapa tempat ini begitu biru? Karena ini lautan?”
Hmm, dari
mana aku harus menjelaskannya, ya?
“Akuarium
ini memiliki akuarium terbesar yang disebut akuarium Pasifik di tengah, tetapi…
umm… kedalamannya sembilan meter, lebar 34 meter, dan panjang 32 meter.”
“Kedalaman
sembilan meter… cukup dalam, ya.”
“Dan
sebenarnya, cahaya matahari, tepatnya cahaya yang terlihat, itu memiliki jarak
yang berbeda untuk masuk ke dalam air tergantung pada warnanya. Daya pancarnya
berbeda-beda. Cahaya merah cepat diserap oleh air, jadi jika sedikit menyelam,
cahaya itu tidak akan sampai. Secara spesifik, hampir semua cahaya diserap
dalam kedalaman 10 meter.”
Ayase-san
terlihat terkejut.
“Eh, kamu
bilang kalau akuarium besar di sini memiliki kedalaman sembilan meter, ‘kan?”
“Benar. Jadi
hampir tidak ada panjang gelombang cahaya merah yang mencapai dasar akuarium.
Sementara itu, cahaya biru bisa menembus lebih dalam. Konon, cahaya biru bisa
mencapai lebih dari kedalaman 100 meter. Artinya, laut yang dalam sekitar 10
meter harus dipenuhi dengan warna biru.”
“Hee, begitu
ya…”
“Jadi, kurasa
beginilah rupa dunia bagi ikan dan makhluk yang hidup di kedalaman lebih dalam
dari permukaan laut...”
Sambil
berkata begitu, aku melambaikan tangan ke arah akuarium.
“Dasar laut
adalah dunia biru…”
“Kalau
seukuran ini, meskipun disebut dasar, itu masih tergolong dangkal jika dibandingkan
dengan seluruh lautan. Lebih dalam lagi, kedalaman di bawah 200 meter disebut 'lautan
dalam' dalam biologi kelautan, dan pada kedalaman segitu, cahaya matahari
sudah tidak sampai, jadi bukan hanya biru, melainkan sudah berubah menjadi
dunia kegelapan. Seperti Palung Mariana yang kedalamannya sekitar 10.000 meter.”
“Pengetahuanmu
lumayan luas, ya. Kamu bahkan mengingatnya dengan baik.”
“Benarkah?”
“Sepertinya
bukan karena belajar untuk ujian. Ngomong-ngomong, kamu pernah bilang bahwa
kamu memelihara ikan hias. Apa kamu belajar saat itu?”
“Entahlah…”
Tentu saja,
ada juga fakta bahwa aku melakukan riset sebelumnya, tetapi hal-hal yang aku
ceritakan sekarang bisa diambil dari ingatanku.
“Oh, tapi… sekarang
setelah kamu mengatakannya, aku jadi ingat. Dulu waktu kecil, aku cukup suka
melihat ensiklopedia.”
Bukan hanya
tentang hewan saja, tapi juga ensiklopedia tentang luar angkasa dan kendaraan.
Itu waktu aku masih di taman kanak-kanak.
Ayahku
mempunyai banyak ensiklopedia semacam itu, dan aku juga pernah dibelikan buku
bergambar. Aku yang lebih suka di dalam ruangan sering mengeluarkan
ensiklopedia itu dan melihat-lihat.
“Sewaktu
kecil, kita pasti ingin memamerkan ilmu yang sudah dipelajari, kan?”
“Masa?”
“Ternyata
Ayase-san berbeda. Yah, mungkin tergantung orangnya. Aku termasuk tipe seperti
itu. Jadi, aku tipe anak yang akan menceritakan semua yang kupelajari dari buku
ensiklopedia.”
Meskipun aku
merasa aneh mengatakannya sendiri, tidak diragukan lagi bahwa aku adalah anak
yang cerdas. Dan orang tuaku tidak pernah menolak rasa penasaranku yang seperti
itu. Jadi, aku dengan bangga mengungkapkan pengetahuan yang sekarang terasa
tidak berarti, seperti ‘Meskipun mirip ikan, paus adalah mamalia” atau ‘Tahun
cahaya bukanlah satuan waktu, tetapi satuan jarak”. Jika ada lubang, aku
ingin memasukinya karena terlalu malu. Ketika bertemu anak-anak yang melakukan
hal yang sama, aku merasa malu dan ingin melarikan diri.
“Namun,
berbagi pengetahuan yang didapat dengan orang lain tampaknya membantu
mengingat. Fakta yang kupelajari saat itu masih teringat sampai sekarang.”
Berbicara
kepada orang lain membuatnya lebih mudah diingat. Karena orang tuaku mengetahui
itu, jadi mereka mendengarkan pengetahuanku dengan wajah yang tertarik dan
sabar.
“Jadi, kamu
mengingat yang sebelumnya dengan cara seperti itu?”
“Umm. Tidak,
pengetahuan yang didapat dari buku yang ditujukan untuk anak-anak di kelas 1 SD
tidak terlalu signifikan.”
Beruang
kutub ada di Kutub Utara. Penguin ada di belahan selatan. Itu sih sudah
jelas.
“Tapi aku
tidak selalu mengejar pengetahuan tentang ikan. Jika aku benar-benar menyukai
ikan, kurasa aku akan memamerkan pengetahuan setiap kali melihat masakan ikan
Ayase-san. Misalnya, Ikan yang disebut sanma itu.... Namun sekarang, aku hanya
bisa mengenali ikan yang aku makan dengan susah payah.”
Setelah aku
mengatakannya, Ayase-san menunjukkan senyuman kecil.
“Memang bisa
jadi begitu.”
“‘Kan?”
Namun,
mungkin karena kenangan tentang membaca ensiklopedia di masa kecil muncul
kembali, aku jadi teringat lebih banyak hal. Orang yang mendengarkan pengetahuanku
saat itu adalah ayah dan ibuku. “Yuuta, kamu tahu banyak ya. Ceritakan juga
pada ibu ya,” kata ibuku sambil tersenyum mendengarkan pengetahuan yang aku
sampaikan dengan percaya diri.
Saat aku
berusia sekitar empat atau lima tahun di mana aku masih belum masuk sekolah SD,
saat itu suasana di rumah masih cukup baik…
Aku merasa
senang ketika ibuku memujiku, “Kamu hebat sekali, Yuuta”. Namun,
sekarang aku berpikir bahwa perilakuku yang seperti itu mungkin membuat ibuku
bersemangat untuk mendorongku mengikuti ujian masuk sekolah dasar dan ujian
masuk SMP.
Dan
kegagalan dalam dua kali ujian tersebut menjauhkanku dari rasa ingin
tahuku.
Setelah
suasana di rumah menjadi tegang dan ibuku pergi, aku tidak menunjukkan sedikit
pun keinginan untuk mempelajari hal baru. Tidak ada yang memujiku lagi. Ayahku
mengkhawatirkanku karena aku hanya berdiam diri di rumah tanpa melakukan
apa-apa bahkan di hari liburku, jadi ia membawaku ke kebun binatang dan museum
sains. Pada sekitaran waktu yang sama, aku mulai lagi membaca buku dan
menikmati mengunjungi pameran… lalu, mirip seperti air yang meresap ke pasir kering,
aku kembali ──
“Itulah
sebabnya. Kurasa aku mempelajari informasi numerik detail seperti ‘tekanan
air meningkat 1 atmosfer ketika kamu menyelam 10 meter’ dan ‘cahaya
menempuh jarak 9,46 triliun kilometer dalam setahun’ jauh setelah aku mulai
membaca buku. Aku bahkan tidak ingat di mana aku mempelajarinya.”
“Begitu ya.”
Saat kami
sedang berbincang, Narasaka-san dan Maru kembali dari depan jalur.
“Oi, ada ikan
yang besar di akuarium besar sana loh!”
“Itu luar biasa!”
Maru berkata
begitu, dan Narasaka-san menambahkan dengan sedikit bersemangat.
Oi, oi.
Kalian berdua tidak menyampaikan apa-apa. Hanya bilang ‘besar’ dan ‘luar
biasa’. Meskipun begitu, aku bisa menebak apa yang ingin mereka
katakan.
“Ayase-san,
ayo pergi. Mungkin itulah daya tarik utama di akuarium ini. Yang katanya kita
hanya bisa melihatnya di sini.”
“Ah,” sepertinya Ayase-san juga mengingatnya.
“Itu pasti
semacam hiu. Hiu Paus, kan?”
“Ya, itu
dia. Dengar-dengar ukurannya sangat besar, tapi sejujurnya, baru pertama
kalinya aku melihatnya.”
Meskipun
begitu, seberapa besar ukurannya ya?
◇◇◇◇
Akuarium
besar yang dibicarakan Maru dan Narasaka-san adalah pameran utama di akuarium,
yaitu akuarium samudera Pasifik. Akuarium Pasifik terletak di tengah gedung,
dan para pengunjung turun mengikuti jalur spiral di sekitar akuarium tengah.
Jadi, pengunjung dapat melihat akuarium raksasa ini berkali-kali saat berjalan
ke bawah. Kedalamannya sembilan meter, setara dengan ketinggian gedung sekolah
tiga lantai, dan lebarnya 34 meter, yang berarti setara dengan empat hingga
lima ruang kelas. Itu hampir setengah dari ukuran gedung sekolah.
“Lalu, yang
besar itu apa?”
Ketika aku
bertanya, Maru menunjuk ke arah atas kanan di balik kaca akrilik.
“Itu.
Sekarang dia akan datang ke sini.”
“Akan
datang?”
Aku dengan
cepat mengalihkan pandanganku dan tanpa sengaja mengeluarkan suara “Woah.”
“Itu… hiu
paus?”
Ayase-san
juga bergumam dengan suara terkejut.
Ikan raksasa
itu perlahan-lahan berenang ke arah kami dari atas. Besar sekali. Mungkin dari
ujung hidung hingga ekornya sekitar empat hingga lima meter.
Karena hiu
paus adalah sejenis hiu, bentuk keseluruhannya mirip seperti hiu. Namun, hiu
yang biasanya kita bayangkan memiliki bentuk aerodinamis dengan hidung yang
runcing. Kemarin, di USJ, aku memesan kotak makan siang yang dicetak dengan gambar
hiu dari film hiu, dan hiu yang digambar di sana juga memiliki hidung yang
runcing. Namun, kepala hiu paus, seperti yang bisa dilihat, tidak runcing.
Wajahnya datar dan lebar. Mulutnya juga besar dan datar.
“Seperti
yang diharapkan, ikan ini memang disebut sebagai ikan yang terbesar di dunia.”
“Sepertinya ikan
itu bisa menggigit kepala kita...”
Mendengar
kata-kata Ayase-san, aku merasa inilah saat yang tepat untuk menunjukkan hasil penelitianku.
Inilah momen yang tepat untuk memamerkan pengetahuan.
“Tahu enggak
hiu paus itu makan apa?”
“Eh...?”
Ayase-san
berpikir sambil mengikuti gerakan ikan raksasa itu dengan matanya.
“Umm...
Karena dia sebesar itu, mungkin ikan besar, atau sejenisnya?”
“Plankton.”
“Eh? ...
Plankton itu, yang... makhluk kecil itu, ‘kan?”
“Benar. Makhluk
seperti daphnia atau ganggang hijau. Plankton adalah istilah umum untuk
organisme kecil di dalam air yang tidak bisa melawan arus, jadi makanan
utamanya adalah makhluk yang sangat kecil.”
“... Memangnya
itu cukup, ya?”
“Dikatakan
bahwa mereka harus makan sekitar delapan kilogram per hari.”
Pengetahuan
ini merupakan hasil dari persiapanku sebelumnya.
“De-Delapan
kilo...!”
“Hiu paus
membuka mulut besar dan menyedot air laut di sekitarnya. Di dalam mulutnya, hiu
paus menyaring dan hanya mengirim plankton yang tersisa ke perut mereka.
Meskipun tubuhnya besar, sifatnya lembut dan tidak menyerang manusia.”
Ikan itu
tampak sedikit konyol dengan wajah yang tenang. Besar dan terlihat kuat, tetapi
sifatnya lembut. Gerakannya juga lambat. Ia berenang perlahan hingga ke bagian
bawah akuarium dan kembali naik dengan santai.
“Padahal
ukurannya begitu besar, tapi... bersifat lembut...”
“Hiu paus
adalah hewan ovovivipar, artinya telurnya menetas di dalam rahim, dan setelah
mencapai ukuran tertentu, mereka dilahirkan. Dengan kata lain, saat keluar dari
rahim ibunya, mereka sudah cukup berkembang. Diperkirakan ada sekitar 300 ekor
lahir dalam sekali melahirkan, tetapi karena tidak dirawat, jumlah yang
bertahan hidup sangat sedikit.”
“Tidak
dirawat?”
“Benar. Ini
adalah contoh dari banyak kelahiran tetapi sedikit yang selamat. Fenomena ini
sering terjadi pada ikan, hewan amfibi, dan serangga.”
“Apa semua
ikan seperti itu?"
“Sebenarnya,
itu juga menjadi perhatianku saat aku melakukan menyelidikinya.”
Mungkin, apa
yang diperhatikan oleh Ayase-san dan apa yang kurasakan adalah karena kami
berdua pernah merasakan pengalaman ditinggalkan oleh salah satu orang tua kami.
Meski demikian, tidak ada gunanya mempertanyakan strategi spesies yang tidak
mengandalkan pengasuhan sebagai dasar kelangsungan hidup mereka.
Selain
itu──.
“Saat aku
mencari informasi lebih lanjut, aku menemukan situs yang menjelaskan bahwa
definisi 'pengasuhan' bisa dalam artian sempit atau luas.”
“Definisi
pengasuhan?”
“Dalam arti
luas, 'pengasuhan' dapat diartikan sebagai 'meningkatkan kemungkinan
kelangsungan hidup anak.' Sampai di sini jelas, ‘kan?”
Melihat
Ayase-san mengangguk, aku melanjutkan.
“Hampir
semua ikan yang hidup di laut bertelur dengan menyebarkan telur mereka ke seluruh
lautan. Telur-telur itu terbawa arus, jadi meskipun mereka ingin merawatnya,
telur-telur itu bisa terbawa jauh ke tempat yang bahkan induknya sendiri tidak
tahu. Telur-telur tersebut bisa mati atau dimakan ikan lain sebelum menetas.”
“O-Oke.”
“Namun, hal itu
tidak terjadi pada ikan ovovivipar. Karena telur tetap berada di dalam rahim sang
induk sampai mencapai ukuran tertentu. Dengan kata lain, dalam arti luas,
periode di mana telur menetas di dalam rahim dapat dianggap sebagai pengasuhan.
Mereka meningkatkan kemungkinan kelangsungan hidup dari telur hingga menjadi
larva.”
Ayase-san
mengangguk tanda mengerti.
“Dalam hal
itu, sulit untuk menilai apakah 300 ekor yang dilahirkan itu banyak atau
sedikit. Mungkin jika mereka hanya bertelur tanpa merawatnya, mereka bisa
menghasilkan lebih banyak telur.”
“Oh, begitu.
Jadi 300 ekor itu setelah mereka dirawat agar lebih mudah bertahan hidup.”
“Benar. Jika
mereka melahirkan 300 ekor, mereka termasuk dalam kategori banyak kelahiran
tetapi sedikit yang selamat.”
“Jadi, yang
selamat sangat sedikit...”
“Tapi, jika
dipikir-pikir, itu mungkin wajar.”
“Eh?”
“Sebab, kalau
ikan jantan dan betina menghasilkan keturunan, selama lebih dari dua
keturunannya bertahan hidup sampai mereka melahirkan generasi berikutnya,
jumlah mereka tidak akan berkurang. Namun, lautan di dunia tidak penuh dengan
hiu paus, ‘kan? Dengan kata lain, bisa dikatakan bahwa jika tidak melahirkan
300 ekor, spesies hiu paus tidak bisa bertahan.”
“Umm, jadi
itu berarti....mereka kesulitan untuk bertahan hidup?”
“Setelah tumbuh
besar, mereka mungkin tidak dimakan oleh ikan lain, tetapi bisa dibilang mereka
tidak memiliki strategi kelangsungan hidup selain tumbuh besar. Mereka tidak
memiliki cara untuk menyerang musuh, tidak seperti ikan piranha yang memiliki
gigi tajam, atau kepiting dan lobster yang memiliki penjepit. Mereka juga tidak
bisa mengeluarkan tinta untuk membuat tabir asap, dan tidak bisa berenang
cepat. Sejak awal mereka bahkan tidak punya sifat agresif.”
“Tidak ada
cara lain untuk melindungi diri selain tumbuh besar...”
“Yah begitulah.”
“Padahal
mereka hiu.”
Yah, memang
ada berbagai jenis hiu. Tidak semua hiu adalah hiu pemangsa yang menyerang
manusia dengan gigi tajamnya.
“Itulah
sebabnya aku berpikir bisa menjadi sebesar ini merupakan perjuangan yang sulit.
Mereka telah bertahan hidup sampai sekarang.”
Sambil
melihat hiu paus yang kembali mendekat, aku bergumam seperti itu.
“Tapi jika mereka
sudah tumbuh sebesar ini, mereka bisa hidup lebih lama.”
Aku tidak
tahu apakah umur hiu paus yang dipelihara di akuarium lebih panjang atau lebih
pendek dibandingkan dengan yang hidup di alam liar, tetapi berdasarkan informasi
yang kucari, umur mereka sekitar 100 tahun. Artinya, tidak jauh berbeda dengan
manusia.
Ketika aku
memberitahu Ayase-san tentang itu, dia sepertinya merasakan ketertarikan baru
pada hiu paus.
“Dalam artian
begitu, manusia juga dibesarkan di dalam perut sebelum lahir, jadi pengasuhan
anak dalam arti luas dimulai bahkan sebelum lahir, ya?”
Aku terkejut
dengan perkataan Ayase-san.
Itu adalah
sesuatu yang belum pernah kupikirkan. Jika dipikir-pikir, dalam kasus manusia,
proses pengasuhan itu ada banyak tahapannya.
“Tunggu.
Mungkin jika hiu paus memperpanjang periode pengasuhan, mereka bisa bertahan
hidup meskipun lahir dalam jumlah yang lebih sedikit?”
“Eh,
maksudmu jika induk hiu membesarkan anaknya di dalam perut hingga lebih besar?”
“Ya.
Misalnya, jika mereka bisa tumbuh hingga 10 kali lebih besar sebelum
melahirkan, maka jumlahnya bisa berkurang hingga sepuluh kali.”
“Kurasa
tidak sesederhana itu... Tapi secara teori, mungkin saja benar.”
“Tapi,
meskipun dikurangi menjadi sepersepuluh, jumlahnya tetap saja 30 ekor...
Melahirkannya pasti sulit. Rasanya mirip seperti melahirkan bayi kembar 3
sampai sepuluh kali, loh, Asamura-kun...”
Ayase-san,
apa kamu sedang ngelantur lagi?
“Tidak,
dalam hal ini kita berbicara tentang jumlah kelahiran dalam sekali melahirkan,
jadi kita tidak bisa membaginya menjadi sepuluh kali.”
Dan kenapa
aku serius memikirkan ini juga?
“Tiga puluh
ekor! Itu pasti tidak mungkin!”
“Eh?”
“Anak-anak. Mana
mungkin aku bisa melahirkan sebanyak itu. Setidaknya, tolong lahirkan kembar 3!
Dengan cara dibagi! Jika begitu, aku akan berusaha untuk membantu!”
“Kamu...
akan membantu?”
“Ehh?”
“Eh.”
“Ah, ehmm...
Maksudku bukan itu, aku berharap kamu merespons tentang yang dibagi...”
Oh, jadi dia
menunggu tanggapan.
“Jangan-jangan,
kamu ingin meniru seperti yang dilakukan Narasaka-san kemarin...”
“Ah, eh...
iya.”
Aku tanpa
sadar melihat ke sekeliling. Ya, setidaknya tidak ada orang lain di sekitar
kami. Narasaka-san terlihat sedikit jauh, berbicara dengan ikan pari besar yang
tenggelam ke lantai. Baiklah, sepertinya tidak ada yang mendengar leluconnya
selain aku.
“E-Eh? Apa
jangan-jangan itu lelucon yang cukup memalukan?”
Di tengah
pemandangan biru, Ayase-san tampak memerah—atau kelihatannya seperti begitu.
Namun, dalam keadaan gelap, warna merah terlihat lebih suram. Sepertinya
wajahnya terlihat pucat, dan aku jadi khawatir.
“Umm...
kenapa begitu? Ini bukan tentang pembayaran utang."
Sial, aku
mengucapkannya dengan datar.
“…Tolong dilupakan
saja.”
“…Mengerti.”
Tidak,
maksudku, pria mana yang jantungnya tidak berdegup kencang dan terkesiap jika
pacarnya tiba-tiba mengatakan sesuatu seperti, 'Jika itu kembar tiga, aku
akan berusaha membantu,' ...Kurasa tidak ada.
Tindakan
Ayase-san yang mencoba meniru Narasaka-san dan membuat lelucon pertamanya,
harus berakhir dengan kegagalan karena diriku kurang berpengalaman sebagai
pasangan lawakannya. Aku merasa sudah seharusnya kehilangan semua bantal duduk.
Aku merasa sangat menyesal.
Setiap orang
memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing.
◇◇◇◇
Ketika kami menaiki
kereta shinkansen, cahaya senja telah menghilang dan langit sudah menjadi
gelap.
Seolah-olah
merindukan perjalanan yang berakhir begitu cepat, kami berbagi kenangan. Tidak
ada yang tidur. Itu adalah perjalanan yang melelahkanKupikir kami akan langsung
tertidur begitu duduk, tapi tidak ada yang—benar-benar tidak ada yang tidur dan
kami terus mengobrol satu sama kalian.
“Panduan
Asamura-kun di Akuarium bagus sekali, ya,” kata Narasaka-san tiba-tiba.
Tak
berselang lama dia berkata demikian, pengumuman bahwa kami akan segera tiba di
Shinagawa mulai terdengar.
“Kenapa kamu
kelihatan terkejut begitu?”
“Ah,
tidak... Aku cuma merasa kalau aku belum bisa memberikan panduan yang baik
sampai membuatku pantas mendapat pujian.”
“Yah, memang
sih? Di awal-awal, Asamura-kun hanya bermesra-mesraan dengan Saki, ‘kan?”
“Tidak!”
Ayase-san
langsung membantah, tetapi aku berpikir untuk menerima kritiknya dengan lapang
dada. Bukan soal bercandanya, tetapi soal tidak bisa memberikan panduan dengan
baik.
Di dalam gedung
Akuarium tadi terdapat kafe, dan kami beristirahat sejenak di sana. Kafe di
tempat seperti ini sering kali menawarkan menu yang sesuai dengan pameran, dan Akuarium
tidak terkecuali, dengan menu seperti ‘Hotdog kuda laut’ dan ‘Soft
Ice Cream Hiu Paus’. Yang pertama adalah sosis yang sangat panjang di
antara roti panjang, dan yang kedua adalah es krim berwarna tubuh hiu paus.
Makanan berwarna biru sering kali bisa membuat selera makan berkurang (mungkin
karena di alam jarang ada makanan berwarna biru), tetapi es krim yang
dibagi menjadi dua warna, mengingatkanku pada bagian punggung hiu paus yang
berwarna abu-abu kebiruan dan bagian perutnya yang putih, dengan mudah
mengingatkan pada ikan besar yang baru saja kami lihat, dan wajahnya yang
menggemaskan membuatku bisa memakannya tanpa banyak keberatan. Rasanya enak.
Tidak, kenangan tentang makanan tidak terlalu penting. Kami masing-masing
memesan sesuai dengan tingkat rasa lapar kami, sambil menjilati es krim dan
minum kopi, kami menyegarkan diri dari kelelahan berjalan-jalan, tapi kemudian
aku terlambat merenungkan tindakanku.
Aku memilih
Akuarium karena sesuai dengan seleraku, yang berarti bahwa tempat ini mungkin
tidak terlalu menarik bagi ketiga orang lainnya. Karena itulah, aku merasa
perlu untuk memastikan mereka tidak merasa bosan. Terlebih lagi, perjalanan
kelulusan ini juga merupakan cara kami, aku dan Ayase-san, untuk menunjukkan
rasa terima kasih kepada Maru dan Narasaka-san yang selalu membantu kami.
Dengan pemikiran
itu, di bagian kedua perjalanan, aku berusaha menyisipkan pengetahuan yang
sudah kupersiapkan sebelumnya (tentu saja, dalam batas yang tidak
mengganggu) saat kami menjelajahi pameran, meskipun sebenarnya aku tidak
yakin seberapa baik aku melakukannya.
“Rasanya
seperti mengunjungi museum sambil mendengarkan pemandu, cukup menarik dan
seru.”
“Syukurlah jika
kamu merasa begitu.”
Aku menjawab
sambil merasa lega. Yah, jika pengetahuan seadanya itu bisa membuat mereka
terhibur, aku merasa beruntung.
“Kita hampir
sampai,” kata Maru.
Di luar jendela,
aku bisa melihat gemerlapnya lampu kota Tokyo di bawah malam yang gelap.
Walaupun
kamu cuma melakukan selama 3 hari, tetapi aku merasa lega.
Kata ‘kampung
halaman’ dan istilah ‘kota besar’ sering kali dianggap jauh berbeda.
Dalam pelbagai novel dan cerita, pemandangan kembali ke kampung halaman
biasanya menggambarkan perjalanan ke daerah pedesaan. Jarang sekali ada adegan
yang menggambarkan seseorang yang berkata ‘kembali ke Tokyo’ saat
pulang. Sebegitu jauhnya kata ‘pulang ke kampung halaman’ dengan ‘kota
besar’.
Namun,
ketika aku melihat lampu-lampu kota Tokyo, aku merasa lega. Aku menyadari bahwa
aku benar-benar seorang anak kota.
Tiba-tiba,
aku melihat wajah Ayase-san yang terpantul di kaca jendela.
Matanya yang
menatap lampu kota terlihat sedikit basah.
“Saki, kamu
menangis?”
Narasaka-san
bertanya kepada Ayase-san yang duduk di depannya.
“Aku tidak
menangis.”
“Ah~
baiklah, baiklah.”
Narasaka-san
memeluk Ayase-san dan mengelus kepalanya.
“Sudah kubilang
aku tidak menangis...”
“Sudahlah,
sudahlah.”
Maru bergumam
pelan sambil menatap ke luar jendela melewati Narasaka-san.
“Yah,
perjalanan ini cukup menyenangkan.”
Aku juga
mengangguk.
Narasaka-san
masih memeluk kepala Ayase-san di dadanya.
“Bukannya
berarti kita akan berpisah selamanya, oke?”
“Dibilangin
aku tidak menangis.”
“Begitu ya,
begitu ya.”
“Mouu!
...Kurasa Maaya dan Maru-kun sih baik-baik saja. Karena kalian kuliah di
universitas yang sama.”
Ayase-san
berkata sedikit dengan nada kecewa.
Meskipun
pertemuan diikuti dengan perpisahan merupakan hal yang lumrah dalam hidup, ada
hubungan yang ingin kita jaga, dan meskipun hidup ini lebih banyak tentang
pertemuan, pada akhirnya waktu yang kami bagi bersama pasti akan berakhir.
Aku
merasakan firasat bahwa kehidupan kampus pasti akan jauh lebih sibuk
dibandingkan masa SMA.
Ayase-san perlahan-lahan
menjauhkan tubuhnya dari Narasaka-san.
Entah
bagaimana, hubungan antara mereka yang semakin dekat membuatku merasakan
keanehan dalam hidup—meskipun mungkin itu terdengar berlebihan.
“Sepertinya
kita takkan pernah berkumpul berempat untuk melakukan sesuatu seperti ini lagi,”
kata Ayase-san dengan pelan.
“Apa iya
begitu~?”
“Mungkin. Kurasa
saat kita menjadi dewasa, waktu yang bisa kita gunakan hanya untuk diri sendiri
akan semakin berkurang. Seharusnya aku lebih banyak bermain dengan Maaya....”
Perkataan
Ayase-san membuatku teringat pada ruang kelas tempat kami belajar sebelum
kelulusan. Aku mengingat sosok Ayase-san yang perlahan melihat sekeliling kelas
yang hampir kosong di antara waktu belajar mandiri.
“Bukannya
aku menyesalinya, tapi entah kenapa rasanya sayang sekali.”
“Itu bisa
dengan mudah diperbaiki. Kita masih muda, iya ‘kan? Oh, bagaimana kalau kita
melakukan sesuatu bersama berempat lagi?”
Narasaka-san
tiba-tiba mengusulkan hal tersebut, dan Ayase-san menatapnya seolah-olah ingin
menanyakan apa yang sedang dia bicarakan.
“Apa yang
kamu maksud dengan sesuatu?”
“Umm, ah itu
dia. Bagaimana kalau kita buat video bersama? Kita berempat. Mumpung sedang
tren belakangan ini.”
Maru pun
ikut memberikan tatapan bingung kepada Narasaka-san.
“Dunia
hiburan tidak semudah itu, tau.”
“Kita tidak
perlu terlalu serius, ini hanya untuk bersenang-senang!”
“Narasaka,
kamu mengerti. ‘kan? Meskipun itu cuma untuk bersenang-senang, apa pun yang
kita bagikan ke dunia memiliki tanggung jawab tersendiri. Ini bukan hanya tentang
bersenang-senang di antara teman ──”
“Bagaimana
kalau kita buat saluran YouTube tentang harta karun Maru-kun?”
“Aku tidak
memiliki harta karun yang bisa dipamerkan. Harta karun terbesarku paling hanya
────”
Kita sudah
mulai melenceng dari topik.
Shinkansen
meluncur masuk ke peron.
“Ayo, kita
harus turun.”
Aku mendesak
mereka sehingga percakapan itu tiba-tiba berakhir di sana, dan kami semua turun
dari kereta.
Narasaka-san
dan Maru masih saling berdebat sambil menyeret koper mereka.
“Pertama-tama,
kamu memang selalu begitu...”
“Mungkin saluran
YouTube yang menyiarkan kehidupan mesra antara Saki dan Asamura-kun juga bisa
menjadi pilihan bagus. Kurasa itu akan menarik.”
Mendengar
percakapan yang terputus-putus itu membuatku merasa merinding dengan membayangkan
betapa mengerikannya ide itu. Seharusnya itu adalah ide untuk melakukan sesuatu
bersama berempat, tapi kenapa pembicaraannya malah melenceng menjadi tentang
aku dan Ayase-san?
“Sudah berakhir,
ya?”
Aku menoleh saat
mendengar suara dari belakang. Ayase-san yang mengikuti dari belakang dengan
santai terlihat sedikit lelah, tapi dia tetap menunjukkan rasa puas di
wajahnya.
Setelah
keluar dari gerbang stasiun shinkansen, kami berpisah ke jalur masing-masing.
Aku dan Ayase-san sama-sama menuju rumah kami di Shibuya.
Sambil menyusuri
jalan pulang yang biasa, kami berbicara tentang perjalanan selama tiga hari
itu.
—Yah, itu
adalah perjalanan yang menyenangkan.
Perkataan Maru
kembali bergema di telingaku. Aku juga merasa begitu, Maru.
Perjalanan
kelulusan kami telah selesai, dan kehidupan SMA kami berempat pun telah
berakhir.
