
Chapter 11 — 12 April (Selasa) Asamura Yuuta
Setelah jadwal
perkuliahan ketiga selesai, sekelompok mahasiswa tingkat atas muncul di ruang
kuliah. Seorang pria jangkung mengangkat suaranya.
“Para junior
dari Fakultas Ilmu Data Sosial! Kami mengadakan acara pesta penyambutan untuk
mahasiswa baru. Bagi yang berminat, silakan ambil brosur ini!”
Sambil
berbicara demikian, dirinya mulai membagikan brosur di dekat pintu.
Acara pesta
sambutan mahasiswa baru? Hmm, ada juga acara begitu ya... Saat aku
memperhatikan, sekitar satu dari beberapa mahasiswa yang keluar dari ruang
kuliah menunjukkan minatnya dan mengambilnya. Jumlahnya ternyata sedikit,
tetapi setelah dipikir-pikir, rasanya itu wajar. Jumlah mahasiswa di Fakultas
Ilmu Data Sosial sendiri sudah sedikit, dan universitas ini menggunakan sistem
kredit, berbeda dengan kelas di SMA. Artinya, tidak semua mahasiswa yang
mengikuti kuliah ini merupakan mahasiswa semester pertama dari Fakultas Ilmu
Data Sosial.
“Jika kamu
sudah menerima brosur di pagi hari,kamu tidak perlu mengambilnya lagi. Karena isinya
sama!”
Salah satu
senior wanita yang sedang membagikan brosur berteriak kepada mahasiswa yang
masih tersisa di ruang kuliah. Suaranya jelas dan tegas, mungkin dia salah satu
anggota panitia acara sambutan.
Ternyata
mereka membagikan brosur pada akhir kuliah yang kemungkinan dihadiri mahasiswa
baru.
“Tempat,
waktu, dan biaya partisipasi sudah tertulis di sana. Jika kamu bisa datang,
silakan mendaftar di ruang obrolan LINE dan sampaikan keinginanmu untuk ikut!
Ini bukan ajakan yang mencurigakan, ya! Terima kasih!”
Sambil
berbicara, para senior mengibaskan selembaran brosur mereka.
Mahasiswa
yang sudah ada di kelas sebagian besar sudah pergi, dan para senior juga mulai
merapikan brosur untuk pulang. Sebelum aku memantapkan keinginanku, kakiku
sudah melangkah maju.
“Bisa minta
satu?”
“Oh, tentu
saja! Ini dia. Karena ini acara kumpul-kumpul santai, jadi silakan datang!”
Rupanya dia
senior wanita yang suaranya jelas tadi.
“Aku akan
memikirkannya.”
Saat aku
menjawab begitu, senior wanita di depanku dan para senior di sampingnya
tersenyum dengan penuh minat.
“Itu jawaban
yang sangat baik untuk ajakan!”
“Baguslah
kamu tidak bilang akan berusaha sebaik mungkin!”
...Apa itu
pujian?
“Pertimbangkanlah
dengan baik. Itulah yang disebut sebagai kelompok kelas. Namun, kami akan
sangat senang jika kamu datang!”
Seorang
senior besar seperti beruang berkata sambil tersenyum. Aku sempat berpikir kalau
dirinya agak mirip dengan Maru.
Aku
melihat-lihat brosur sambil berjalan menyusuri lorong. Rupanya tempat pelaksanaannya
berada di izakaya di depan stasiun (tentu saja tertulis bahwa mahasiswa di
bawah 20 tahun dilarang minum alkohol). Mungkin karena tempat ini jauh dari
pusat kota, waktu pelaksanaannya tidak terlalu lama dan sepertinya aku bisa
pulang sebelum larut malam. Biaya partisipasinya juga cukup terjangkau.
Meskipun aku
bilang akan memikirkannya, sebenarnya sejak menerima brosur, aku sudah merasa
ingin pergi.
Universitas
ini menggunakan sistem kredit, bukan sistem kelas. Dengan kata lain, jika kita tidak
aktif berinteraksi dengan orang lain, sulit untuk mendapatkan satu teman pun.
Aku meninggalkan gedung kuliah menuju
halaman. Kuliah keempat ada di gedung sebelah. Sambil menginjak batu paving dan
melihat sekeliling, aku menyadari bahwa tidak ada lagi warna cerah bunga
sakura. Setelah hujan membuatnya gugur,
pemandangan telah sepenuhnya berubah menjadi hijau yang lebat. Kupikir cuacanya lumayan hangat ketika bangun pagi ini, tapi
aku tidak menyangka suhu tertinggi hari ini akan melebihi 25°C.
Saat berjalan
di bawah sinar matahari, cuacanya cukup panas hingga membuatku
berkeringat.
Musim
terus berganti dengan cepat. Jika begini terus, liburan Golden Week akan
segera tiba. Saat itu terjadi,
suasana di kampus kemungkinan akan hampir tetap sama.
Selama perjalanan kelulusan, aku
menyadari bahwa aku terlalu bergantung pada pertemuan kebetulan.
Pada hari
upacara penerimaan siswa baru di SMA Suisei, apa
yang terjadi jika Maru tidak melihat buku yang sedang aku baca? Jika suasananya tidak mendukung
untuk berbicara? Jika
selera genre kami tidak cocok?
Berkat
banyak kebetulan aneh yang terjadi, aku dan Maru bisa menjadi teman, tapi hal itu merupakan hasil
dari rangkaian kejadian yang sangat tipis.
Aku
menatap brosur yang kuterima.
Mencari ‘ikatan’ dengan cara seperti ini juga hal
yang penting, itulah yang
kupikirkan saat perjalanan
kelulusan. Aku melipat brosur dan memasukkannya ke dalam
saku. Aku jadi merasa sedikit
bersemangat.
◇◇◇◇
Setelah perkuliahan kelima selesai, aku menghubungi
Ayase-san.
Aku harus
memberi tahu bahwa aku membatalkan makan malam.
[Aku akan
menghadiri pesta penyambutan,
jadi mungkin aku akan pulang terlambat]
Setelah
mengirim pesan itu, aku segera menerima
balasan. Dia juga berencana untuk ikut acara penyambutan
malam ini. Kebetulan memang sering terjadi.
Dengan begitu, ayahku akan makan malam sendirian malam ini, tapi... apa dia
sudah menyiapkan sesuatu?
Aku
mengeluarkan ponsel lagi dan berkomunikasi dengan Ayase-san.
Oh,
sepertinya Ibuku sudah membeli ikan mackerel yang dimasak dengan miso dalam
kaleng... Sambil memberi tahu ayah bahwa aku akan pulang terlambat, aku juga
menambahkan tentang makan malam yang sudah disiapkan. Dengan begitu, aku tidak
perlu khawatir.
Saat tiba
di izakaya yang tertera di peta, di sana sudah
ada sekelompok pria dan wanita yang tampaknya mahasiswa dari universitas yang
sama berkumpul di dekat pintu masuk. Jumlahnya mungkin
ada sekitar 12 atau 13 orang. Meskipun dari kata ‘acara
penyambutan mahasiswa baru’ terdengar sedikit, sebenarnya,
kuota untuk Fakultas Ilmu Data Sosial yang baru dibuka di Universitas Ichinose
adalah sekitar 60 orang, jadi bisa dibilang ini cukup banyak.
Hmm?
Fakultas baru? ... Oh iya, benar
juga. Jadi, siapa sebenarnya kelompok penyelenggara
yang terlihat seperti senior itu?
“Ohh, selamat datang, akhirnya kamu datang juga!”
Aku
mengangkat wajahku ketika
mendengar suara tersebut,
rupanya dia adalah senior wanita yang
sebelumnya membagikan brosur dengan semangat.
“Ah, ya.
Itu….”
Siapa
sebenarnya kamu? Mana mungkin
aku bertanya seperti itu.
Apa yang
harus kulakukan?
“Ada apa?
Apa ada pertanyaan? Kamu… ehm…”
“Ah, namaku Asamura.”
Begitu
aku memperkenalkan diri, mata senior itu terlihat membulat dengan tatapan penasaran.
“Ohh~, jadi kamu
ya orangnya!”
“Hah?”
Apa yang
terjadi?
“Ada
apa?”
Senior bertubuh besar yang mirip beruang datang
menghampiri.
“Katanya namanya Asamura-kun. Dengar-dengar, ia dan Profesor Mori menjadikan
Kudou-san sebagai mainan.”
Dia
mengatakan sesuatu yang sangat mengejutkan.
“Ohh~. Jadi kamu berhasil diterima di kampus ini. Selamat! Profesor pernah membicarakanmu dengan riang gembira.
Katanya dirinya
berhasil merekrut anak muda berbakat lainnya untuk ilmu data sosial. Oh, tentu
saja namamu dirahasiakan. Sayangnya, teman usilku
yang sedang bersantai di kafe saat itu berada
di dekat situ.”
“Dinding
punya telinga dan pintu punya mata, ya?”
“Begitulah!
Maafkan aku. Dan, selamat datang di fakultas baru. Sayang sekali kita tidak bisa menyambut anggota baru
yang menjanjikan, tapi sebagai sesama mahasiswa sosiologi, aku harap kita bisa
saling membantu.”
“…Jangan-jangan, dari seminar Profesor
Mori?”
Senior
beruang itu mengangguk.
Dengan
begitu, aku mulai mengerti.
Karena ini fakultas yang baru berdiri, jadi
mana mungkin ada seniornya.
Namun, Profesor Mori bilang dia dipindahkan dari fakultas sebelumnya ke
fakultas yang baru dibuka. Dengan kata lain,
pasti ada mahasiswa di fakultas lamanya.
Aku sudah menduga bahwa mereka mungkin mahasiswa seminar
Profesor Mori. Mungkin juga mahasiswa pascasarjana.
Meskipun
tidak ada kewajiban melakukannya,
tapi mereka sudah membantu mahasiswa baru
yang tidak tahu apa-apa. Aku juga bisa merasakan betapa dihormatinya Profesor Mori meski setelah dipindahkan.
Saat
waktu yang sudah dipesan tiba, kami pun duduk di sudut izakaya. Totalnya ada 25 orang. Kelompok kami cukup besar.
Sudut yang terpisah di bagian belakang restoran sepenuhnya diisi oleh anggota
acara pesta penyambutan mahasiswa baru.
Baru
pertama kalinya aku masuk izakaya, dan ada banyak
hal yang menarik perhatian. Acara langsung dimulai
sejak suara pertama dari senior yang merencanakan acara pertemuan.
“Pertama-tama,
mari kita minum bir!”
Aku
merasa terharu mendengar kalimat itu. Jadi ini
yang disebut-sebut ‘mari kita
mulai dengan bir’?. Dan yang mengejutkan malah ada mahasiswa baru yang
mengangkat tangan. Ketika aku melihatnya dengan
keheranan, rupanya ia
memiliki kumis dan janggut di
sekitar mulutnya mirip seperti ronin.
…Mahasiswa baru?
“Sekedar memastikan, kamu sudah lebih
dari 20 tahun, ‘kan?”
“Tahun
ini aku berusia 23 tahun!”
Dirinya tersenyum lebar sambil
mengatakan itu. Artinya, ia mengakui bahwa dirinya
sudah gagal ujian sampai lima
kali sebelum ditanya.
“Okee. Jadi, kamu minum bir. Mahasiswa
baru lainnya boleh minum sepuasnya, jadi kalian bisa pilih apa saja dari menu,
tapi pastikan kalian minum yang sama di awal. Kalau mau teh oolong, kalian bisa
pesan satu teko supaya lebih gampang,
bagaimana?”
Sepertinya
tidak ada yang keberatan, jadi senior yang menjadi panitia dan mahasiswa baru
yang berusia 23 tahun itu memesan bir, sementara yang lainnya memilih teh
oolong.
Ketika
bir dan teh oolong tiba, kami bersulang dan acara sambutan mahasiswa baru pun
dimulai.
Namun,
meskipun kami baru saja memperkenalkan diri, ketika makanan datang, semua orang sibuk makan.
Bukannya ini
jadinya cuma sekadar pesta minum
biasa?
“Hmm, rasanya enak juga. Ya, tidak buruk.
Lumayanlah.”
Aku
merasa ada yang aneh. Suaranya terdengar seperti dialek Kansai, atau mungkin
tidak, tapi ada nada yang khas yang aku ingat.
Aku
menoleh ke kiri, dan dia juga menatapku pada saat yang sama, sehingga mata kami
bertemu.
“Oh.”
“Ah.”
Ia
memiliki rambut pirang dengan aksen hitam. Tingginya di atas rata-rata dan
tubuhnya atletis, terlihat seperti seseorang yang aktif dalam olahraga. Kurasa kami duduk berdampingan pada
hari pertama…
Sementara
aku mengingat-ingat, pria itu
mulai berbicara lebih dulu.
“Kita
bertemu lagi, ya. Ehm, kamu itu…”
“Ah, aku—”
“Tunggu
sebentar! Tunggu. Ehm, namamu itu…”
Tapi
kurasa ia takkan tahu karena aku belum memperkenalkan diri.
“Ah,
benar! Takashimaya!”
“Bukannya nama departemen store yang ada
di Nipponbashi?”
“Hah?
Takashimaya itu bukan di Nipponbashi, melainkan di Namba.”
“Eh?”
“Hah?”
“Ah,
maksudku. Bukan ‘Nipponbashi,’ tapi ‘Nihonbashi.’
Ngomong-ngomong, jadi markas besarnya di Osaka, ya? Dan namaku Asamura. Senang
berkenalan denganmu.”
“Oh,
begitu. Aku mengerti. Aku tidak menyangka akan dijawab dengan serius setelah
bercanda seperti itu. Jadi, boleh aku memanggilmu dengan Asamura?”
“Ya,
Asamura Yuuta.”
“Yuuta, ya. Namaku Nakamura. Nakamura Hironobu.
Kamu bisa memanggilku dengan nama keluarga atau nama depan, terserah mana yang
kamu suka. Nama Nakamura ditulis dengan ‘naka’ dan ‘mura.’ Paham? Tentu saja kamu pasti paham, ‘kan! Lalu, Hironobu ditulis dengan
karakter yang berarti ‘menyebarkan informasi dengan luas.’ Katanya orang
tuaku ingin aku menjadi anak yang memberikan pengaruh baik di sekitarku. Tapi,
tanpa sadar, aku malah menjadi anak yang suka menghibur orang.”
Ia
berbicara dengan cepat dan terus menerus.
Aku
sedikit terkejut dengan kapasitas paru-parunya. Ia pasti aktif
berolahraga, pikirku, tetapi aku hanya bisa mendengarkan
tanpa bisa menyela.
Kemudian,
aku mendengar suara seseorang dari sebelah kanan.
“Kalau
kamu terkejut begitu, kamu
akan kehilangan kesempatan untuk berbicara, jadi lebih baik kamu memotong
pembicaraan Hiro dan mulai bicara sendiri.”
Eh?
Aku langsung menggelengkan kepala ke arah kanan.
Seorang
pemuda dengan rambut hitam panjang yang diikat sembarangan dengan tali
mendekatkan wajahnya ke gelas teh oolong yang diisi penuh dan perlahan-lahan
menyeruputnya. Wajahnya terlihat sangat pucat, sampai membuatku khawatir. Dirinya melirik ke arahku dengan
tatapan mengantuk. Seolah-olah matanya bertanya, “Ada apa?” tetapi di
saat yang sama, seolah-olah ia juga berkata, “Jangan menggangguku jika tidak
ada urusan.”
“Wajah
Yuma selalu terlihat cemberut, jadi jangan ragu untuk bicara dengannya. Anak
itu
cuma kurang tidur.”
Kurang
tidur.... apa iya begitu?
“Aku bukannya kurang tidur. Aku
hanya tidak mau membuang-buang energiku seperti
Hiro. …Apa?”
Eh…
“Ah,
tidak, maksudku, aku hanya berpikir kalian berdua sudah sangat akrab.”
““Hah!?””
Kalian
berdua tidak perlu berteriak serempak seperti itu…
Tapi,
sebelumnya aku senpat berpikir
kalau mereka akan bertengkar, dan
sekarang tiba-tiba mereka saling memanggil dengan nama depan.
Setelah
aku mengatakan itu, Yuma yang memiliki mata mengantuk itu terdiam sejenak
sebelum berkata, “Hiro hanya memanggilku begitu. Seperti tadi.”
Tadi itu,
yang mana? Oh, yang tentang ‘Hironobu
yang artinya
menyebarkan informasi.’ Tapi, jika begitu, seharusnya
ia bisa dipanggil Nakamura-kun
atau Hironobu-kun, ‘kan? Tapi ia justru memanggilnya dengan nama panggilan Hiro. Nakamura-kun juga memanggilnya Yuma.
“Aku dan
Hiro sering mengambil mata kuliah yang sama.”
“Artinya kami mempunyai
minat yang sama.”
“Yah, kurasa
begitulah takdir
bekerja.”
Ketika
aku menyela mereka, kedua
orang itu yang tampak sangat berbeda satu sama lain menatapku dengan ekspresi
yang sama. Hah?
“Eh, apa
aku mengatakan sesuatu yang aneh?”
“Tidak juga.”
“Yuuta ternyata sangat jujur,
ya.”
Begitu, ya?
Aku lebih berpikir bahwa aku tipe yang sarkastik, jadi sebenarnya aku lebih
terkejut ketika mereka mengatakan itu.
“Kalau
dipikir-pikir, mungkin aku dianggap sebagai anak yang introvert.”
“Introvert
itu seperti Yuma yang di sana.”
“Aku
tidak membantahnya.”
“Apa iya negitu? Aku belum berbicara dengan siapa
pun di kelas selama seminggu ini,
sedangkan kamu sudah memiliki teman, jadi…”
“Kikuchi
Yuuma.”
“Terima
kasih. Aku Asamura Yuuta. Dan
menurutku, Kikuchi-kun jauh
lebih pandai dalam membuat teman dan bersosialisasi.”
Setelah
aku mengatakan itu, Kikuchi-kun
sepertinya terpaksa memalingkan pandangannya dariku dan kembali menatap teh
oolong yang dipegangnya. Ia sedikit
memiringkan gelasnya, seolah-olah sedang
minum alkohol.
“Tidak
seperti itu,” gumamnya.
Nakamura-kun menimpali seolah mencoba menutupinya.
“Yah, dari sudut pandangku sih kalian berdua tidak
terlalu berbeda. Nama kalian juga terdengar mirip.
Kalian adalah pasangan Yuuyuu!”
Usai mendengar
itu, ia mengatakannya seolah-olah kami berdua merupakan duo
grup pelawak.
“Dari
sudut pandang Hiro, semua orang pasti terlihat seperti orang yang tenggelam
dalam kegelapan. Jika dibandingkan denganmu, semua orang akan tenggelam dalam
dunia bayangan. Jangan mendekat, sinar matahari itu terasa menyakitkan.”
“Begitu,
jadi itulah sebabnya kamu duduk di jarak yang
aman supaya tidak merasa sakit.”
Aku
mengatakannya tanpa berpikir, tetapi saat itu juga Kikuchi-kun menatapku dengan ekspresi
seolah-olah dia ketakutan. Ia
kembali menatap teh oolong di tangannya.
“Apa
Asamura selalu memandang
orang lain seperti itu?”
“Aku
tidak tahu maksud dari ‘seperti itu,’ tapi yah…
mungkin?”
“Hah? Aneh sekali. Aku selalu heran kenapa kau
selalu duduk di sebelah orang seperti itu. Yah, kupikir mungkin beberapa orang
memang tidak suka terlalu dekat, tapi apa itu menyakitkan? Dia pasti melakukan
hal yang buruk.”
“Kurasa
tidak buruk. Kalau aku berpikir begitu, aku tidak akan duduk sedekat itu.”
Aku
merasa mungkin telah mengatakan sesuatu yang tidak perlu, tetapi karena tidak
ada protes dari keduanya, aku merasa lega.
“Yah, apapun itu. Entah itu kebetulan
atau apa, kita duduk di tempat yang dekat adalah sebuah takdir. Yuuma dan Yuuta── senang berkenalan dengan kalian.”
“Jangan
memaksakan diri untuk berbicara dalam bahasa baku. Kedengarannya menjijikkan.”
“Apa
katamu?!”
“Sudah, sudah.”
Kenapa
kedua orang ini, meskipun terlihat akrab, selalu saja
bertengkar ketika aku ada di tengah-tengah mereka?
“Senang
berkenalan denganmu juga.”
Aku
membalas.
Kurasa
firasatku benar. Itu adalah ‘firasat
masalah’ yang pernah kuceritakan
pada Ayase-san. Tapi
di saat yang sama, aku sama-samar merasa
bahwa akhirnya ada sesuatu
yang baru mulai terjadi.
“Ngomong-ngomong,
aku dengar kota asal Nakamura-kun dari
Osaka, tapi Kikuchi-kun berasal dari
mana? Ngomong-ngomong, aku lahir dan besar di Tokyo, di daerah
Shibuya.”
“Sendai.”
Kikuchi-kun menjawab demikian. Sendai adalah ibu kota
Prefektur Miyagi, ‘kan? Jadi
sekarang ada orang dari Osaka, Tokyo, dan Miyagi berkumpul di sini. Aku merasa
bahwa universitas memang mengumpulkan orang dari sepenjuru negeri.
“Jadi Yuuta
dari Shibuya, ya? Shibuya itu tempat yang ada anjingnya, ‘kan?”
“Hachiko si anjing setia. Ya, benar.”
“Hmm. Bukannya itu terlalu jauh untuk pulang pergi?”
Ya,
memang memakan waktu lebih dari dua jam untuk pulang pergi, jadi bisa dibilang jaraknnya cukup jauh. Meskipun baru satu
minggu menjalaninya, aku merasa bersyukur
bisa membaca buku, tetapi aku juga mulai merindukan waktu yang lebih
bebas.
“Yah, aku baik-baik saja. Karena aku bisa membaca buku.”
Setelah
aku menjawab demikian, Kikuchi-kun bertanya buku apa yang sedang
kubaca, dan dari situ pembicaraan kami berkembang sedikit…
Di akhir
acara kumpul-kumpul, aku merasa seolah-olah sudah bisa berbicara
dengan keduanya.
Saat
pulang ke rumah dan memikirkan betapa lamanya waktu perjalanan, aku membuka
pintu dengan suara “aku pulang,”
dan kebetulan Ayase-san sedang menyimpan sepatu yang baru saja dia lepas, lalu
menatapku dengan mata terkejut.
“Bikin aku kaget saja.
Ternyata kita pulang hampir
bersamaan, ya?”
“Selamat
datang kembali. Ummmm…
Saki.”
Ayahku
mungkin sudah tidur, jadi aku harus berhati-hati. Jika tidak, aku bisa saja keceplosan dengan memanggilnya
Ayase-san. Tiba-tiba, aku berpikir. Mungkin karena aku pulang ke rumah, aku
tidak bisa berhenti memanggilnya Ayase-san. Ketika aku keluar rumah, kesempatan
untuk bertemu Ayase-san di depan orang tuaku
menjadi berkurang. Jika begitu, aku akan lebih mudah memanggilnya “Saki.”
“Ah, aku
sudah pulang. Yuuta...niisan.”
Mungkin
Ayase-san jauh lebih
terbiasa memanggil namaku. Jadi, dia menambahkan “Nii-san” dengan terburu-buru.
“Kamu kelihatannya cukup
lelah?”
Kalau
diingat-ingat lagi, Ayase-san juga baru saja menghadiri acara pesta penyambutan. Meskipun dia pasti tidak
minum alkohol, dia terlihat sangat kelelahan.
“Tidak, aku pasti baik-baik saja kalau tidur. Ya.”
Setelah
berkata demikian, Ayase-san segera pergi ke dalam kamarnya.
...Aku
penasaran, apa ada sesuatu yang terjadi?