Gimai Seikatsu Volume 14 Chapter 14 Bahasa Indonesia

Chapter 14 — 28 April (Kamis) Ayase Saki

 

Ruang kuliah di universitas merupakan tempat yang tenang, hanya terdengar suara kering dari dosen yang menulis di papan tulis secara teratur. Ritme yang konstan terasa seperti hipnosis, dan tulisan yang muncul tampak seperti bayangan putih biasa, yang kemudian terlepas dari papan tulis dan menghilang ke udara.

Tanganku gemetar saat menulis huruf-huruf itu di buku catatanku, dan aku merasa kehilangan arah.

Anak-anak. Anak kecil. Paja. Yuwana.

Kata-kata yang terlintas dalam percakapanku dengan ibu pada hari itu terus terngiang-ngiang di dalam kepalaku.

Jika kita saling mencintai dan menikah, itu adalah alur yang wajar, ‘kan? Ya, kupikir aku sudah memahaminya. Namun, ketika aku menyadari itu sebagai kenyataan, aku merasa seolah-olah dilemparkan ke dunia yang tidak kukenal, diliputi oleh kecemasan yang tidak berbentuk.

Apa artinya menikah? Apa artinya berkeluarga? Apa artinya memiliki anak? Pemikiran itu terus berkelebat di kepalaku, bolak-balik, dari kanan ke kiri. Tanpa kusadari, aku sudah memikirkannya terus-menerus.

Sebagian besar semuanya karena salah ibu.

Pada hari itu, setelah berbicara denganku dan Asamura-kun tentang rencananya memiliki momongan baru, ibu dengan lembut berbisik hanya kepadaku.

Saki, dalam dua tahun lagi, kamu akan mencapai usia yang sama ketika aku mengandungmu. Jadi, aku meyakini hari itu akan segera tiba. Tidak peduli siapa pasanganmu, aku..... dan Taichi-san pasti akan merayakannya dan merestui kalian. Ibu berharap kamu bisa mempercayai hal itu.

Setelh Ibu mengatakan itu, pikiranku seketika menjadi kosong.

Karena cara Ibu mengatakannya seolah-olah dia yakin bahwa pasanganku ialah orang yang kuanggap tidak akan menerima restu mereka. Meskipun ibu berbicara seolah-olah dia sudah menyadarinya, tapi aku merasa kalau ini sudah pasti. Alasan Ibu secara khusus mengatakan ‘Taichi-san juga’ karena Ibu berasumsi bahwa pasanganku adalah Asamura-kun──kakak tiriku, yaitu Yuuta.

Sudah kuduga, Ibu memang sangat peka. Aku mungkin tidak bisa berbohong lagi.

Setelah berpikir begitu, “Aku...,” dan ingin mengatakan tentang hubunganku Asamura-kun. Namun, tepat sebelum itu, ibu meletakkan hari telunjuknya di depan bibirku, menghentikanku ketika aku hendak mengucapkan “A” dari “Asamura-kun”.

Aku tidak sedang mendesakmu kata ibu sambil tersenyum.

Aku hanya ingin menyampaikan bahwa pilihanmu bebas dan kami akan merestuimu. Aku takkan bertanya sampai hari itu benar-benar tiba. Hargai waktu yang kalian miliki sekarang dan perlahan-lahan memupuk perasaan cinta kalian

Ibu seolah-olah bisa melihat semuanya, tapi tidak mengucapkan hal-hal yang pasti.

Rasanya curang.

Namun, aku juga berpikir, apa ini yang namanya kebaikan orang dewasa?

Aku selalu berpikir bahwa penting untuk saling menunjukkan kartu yang kita miliki dan saling menyesuaikan, itulah yang disebut sebagai orang dewasa. Namun, dunia ini tidak selalu bisa dipisahkan dengan jelas antara hitam dan putih. Tindakan saling menyesuaikan tidak selalu benar dalam setiap kasus.

Usulan untuk saling menyesuaikan bisa menjadi pesan bahwa [Aku tidak akan mempercayaimu jika kamu tidak membuka isi hatimu]. Terkadang hal itu bisa memberikan beban mental yang besar kepada lawan bicara dan sama saja dengan menyatakan dengan dingin bahwa tidak ada niat untuk lebih dekat daripada yang tertulis dalam kontrak.

Komunikasi ibu yang sengaja mengaburkan kontrak dan menyerahkannya tampak berasal dari cinta tanpa syarat. Selain itu, alasan mengapa dia hanya membicarakan itu padaku merupakan tanda cinta dan ketegasannya seorang ibu kepada putrinya.

Setelah menerima kata-kata ibu bahwa aku harus berpikir tentang apa yang harus dilakukan bersamanya. Saki, kamulah yang harus mengambil inisiatif dan memikirkannya. Begitulah pesan tersirat yang ingin disampaikan Ibu.

Dengan suara papan tulis yang berbunyi keras, aku terkejut dan kembali dari perjalanan pikiranku. Gawat, aku harus fokus.

Aku sering mendengar cerita tentang siswa berprestasi yang terpuruk selama empat tahun di universitas dan tidak bisa menjadi profesional yang baik. Aku terus menegur diriku sendiri bahwa kurangnya konsentrasi seperti ini bisa mengakibatkan kejatuhan. Namun, tampaknya di universitas ada banyak godaan iblis yang mengintai.

“Pria yang aku temui kemarin di aplikasi cari pasangan benar-benar gila! Badannya tinggi dan berotot!”

“Nah, ‘kan~? Pria yang lebih tua itu enak, ‘kan?”

“Ugh. Tapi aku lebih menyukai pria yang lebih muda... tapi kalau cuma untuk bersenang-senang, pria yang lebih tua juga oke!”

Aku terlibat dalam pembicaraan yang sangat erotis tentang hubungan pria dan wanita antara Kyouka-san dan Mayu-san di kafe kampus selama waktu kosong antara kuliah, dan secara paksa menyadarkanku.

Pembicaraan ‘membuat anak’ yang dibicarakan ibu adalah topik yang sangat serius dan berkaitan dengan kehidupan masa depan. Namun, tindakan itu yang muncul dalam obrolan santai teman-teman sejawat terasa sangat sepele dan bersifat sesaat. Mengapa tindakan yang sama diperlakukan dengan cara yang begitu berbeda, dan bagaimana aku harus menghadapinya?

Namun, berbicara dengan Kyouka-san membuatku menyadari sekali lagi betapa dahsyatnya kekuatan kata-kata.

Mungkin karena bobot sebuah definisi, atau daya tarik prasangka, atau mungkin kekuatan penamaan. Aku tidak bisa mengikuti sebagian besar percakapan seksual, dan hanya memberikan anggukan samar, tetapi karena pemikiran ‘master gyaru’ yang terbangun dalam diri Kyouka-san, dia tidak pernah menyadari jati diriku meskipun aku sering mengungkapkan kepolosanku.

Tak pernah kusangka jika definisi, prasangka, dan nama memiliki kekuatan seperti itu. Aku... siapa aku sebenarnya?

 

◇◇◇◇

 

Setelah menyelesaikan jadwal kuliah di universitas dan bersiap untuk pulang, keadaan langit di atas sudah mulai memancarkan warna senja. Sisa-sisa dingin yang ada hingga Maret mulai memudar, dan aku berjalan menuju stasiun sambil menahan menguap di udara yang sedikit hangat. Gawat, gawat, aku harus bersikap tegas. Menunjukkan sikap santai di luar ruangan tentu tidak baik. Meskipun aku mulai berpikir bahwa hanya bersenjata saja tidak cukup, aku tidak ingin tampak terlalu santai di luar.

Aku menaiki kereta jalur Sobu hingga Yoyogi, lalu berpindah ke jalur Yamanote. Setelah keluar dari pintu Hachiko, aku menyeberang jalan di persimpangan ramai menuju gedung tempat aku bekerja di toko buku. Aku merasa sudah cukup terbiasa dengan serangkaian gerakan ini.

Namun, kehidupan ini akan berakhir dalam dua hari, hari ini dan lusa.

Waktu bekerja di tempat yang sudah diputuskan untuk aku tinggalkan terasa aneh dan berbeda. Rasanya bukan kesegaran, tetapi juga bukan kesepian. Seolah-olah aku sudah tidak berada di sini, tetapi masih diperbolehkan melihat sedikit dunia yang tanpa adanya kehadiranku di dalamnya... rasanya mirip seperti hantu yang melayang gentayangan.

Hari ini, jadwal shiftku bersama Asamura-kun dan Kozono-san. Sambil mengamati cara kerja mereka, aku berpikir dengan samar bahwa mulai bulan depan, aku akan menghilang dari sini.

Kira-kira, apa sikap Kozono-san akan sedikit berbeda?

Dia memang sudah cukup bergaya, tapi sekarang ada aura yang lebih dewasa, seolah pesona dari dalam dirinya mulai muncul. Sepertinya dia semakin menarik. Dia terlihat seperti menyebarkan feromon. Tidak, aku tidak tahu apakah itu benar-benar yang dia pancarkan.

Mungkin karena dia sekarang sudah kelas dua SMA. Karakter anak SMP-nya sudah sepenuhnya hilang.

Selain itu, dia tidak hanya mempesona, tetapi juga sangat terampil dalam pekerjaannya. Mungkin berkat mentor hebat seperti Shiori-san dan Asamura-kun, dia sudah sempurna dalam pelayanan dan menangani pertanyaan. Belakangan ini, ada banyak pelanggan dari luar negeri, dan mungkin karena dia bersekolah di sekolah SMA internasional, dia tampaknya juga cukup mahir berbahasa Inggris, sehingga tidak perlu memanggil karyawan lain untuk membantu.

Luar biasa. Dia sangat hebat.

Aku melirik ke sampingku. Asamura-kun sedang melipat sampul buku dari kertas. Ia tetap fokus pada tangannya, tetapi tetap menyadari jika ada pelanggan yang mendekat. Aku merasa lega melihatnya tidak terpesona oleh daya tarik Kozono-san.

“Hmm. Ada apa?”

“Eh. Tidak, bukan apa-apa.”

Ia menyadari tatapanku.

Aku buru-buru mengalihkan perhatian, tapi mungkin ia sudah menduga ada yang aneh dengan sikapku. Haruskah aku memberikan alasan? Saat berpikir seperti itu, tiba-tiba Asamura-kun mengeluarkan suara kaget.

Tatapannya tidak mengarah padaku, tetapi sedikit menjauh.

Ah gawat, ada pelanggan! Pikirku, lalu aku segera menoleh.

“Ah, Fujinami-san.”

“Halo.”

Seorang wanita jangkung yang tiba-tiba muncul di hadapanku mengangkat tangannya dengan ringan di depan dadanya.

Dia mulai berbicara dengan Asamura-kun dari seberang meja kasir. 

“Sudah lama tidak ketemu ya. Kamu masih di sini setelah melanjutkan studi? ... Ah, tidak, tentang melanjutkan studi...”

“Jangan khawatir. Aku berhasil diterima di universitas pilihan pertama.” 

“Begitu ya. Kalau begitu, aku bisa berbicara tanpa sungkan.”

“Kalau Fujinami-san sendiri?” 

“Aku juga diterima. Di Fakultas Hukum Waseho.”

Dia mengatakannya dengan suara yang tidak menunjukkan semangat sama sekali dan sambil melakukan tanda double peace yang hanya sekadar formalitas. Aku tidak bisa memastikan apakah dia orang yang gampang bergaul atau tidak, mempunyai sifat santai atau serius. 

...Eh? Sebenarnya, aku merasa pernah melihat gadis ini di suatu tempat sebelumnya. 

Aku mencoba mencari-cari dalam ingatanku. Gadis dengan tinggi badan seperti model. Warna rambutnya hitam dan gaya rambutnya tampak sederhana, tidak terlihat menghabiskan banyak waktu untuk berdandan, dan pakaiannya juga sederhana. Namun, kacamata yang dia kenakan memiliki bingkai yang elegan, dan jelas sekali dia memilih desain dan warna pakaian yang sesuai dengan bentuk tubuh dan kesan dirinya, menunjukkan selera yang baik. Sepertinya aku pernah melihat gadis dengan penampilan seperti ini sebelumnya... 

Ah, aku lalu mengingatnya. 

Waktu itu adalah hari di mana aku ingin pulang bersama Asamura-kun dan menunggunya di depan sekolah bimbelnya. Aku ingat melihatnya berjalan keluar dari tempat bimbel dan berpikir bahwa dia adalah orang yang cantik. 

Fujinami-san, ya. 

Jadi, ‘teman perempuan yang sering diajak bicara di bimbingan belajar’ itu maksudnya gadis ini, ya. 

...Hmm. Oh, jadi begitu rupanya. Hmm... 

Sekilas, dia mungkin terlihat sederhana dan biasa-biasa saja. Tapi sebenarnya, dia memiliki fitur wajah yang menawan, dan aku bisa melihat bekas lubang di telinganya, sepertinya dia pernah memakai anting. Tidak, jika lubangnya belum tertutup, mungkin dia masih sesekali memakainya. Mungkin karena hari biasa, dia tampil lebih sederhana, tetapi di akhir pekan, dia mungkin memiliki gaya fashion yang cukup berani. Karena tinggi badannya, atau mungkin karena tatapan matanya yang tajam di balik kacamatanya, dia tidak bersikap menakutkan, tapi memiliki aura yang membuat orang di sekitarnya merasa harus berdiri tegak. 

Aku merasa tidak nyaman. 

Bukannya berarti Asamura-kun dengan senyaja menyembunyikan keberadaan orang ini, tapi aku tidak menyangka kalau orang yang dimaksud bakalan secantik ini. Selain itu, ada sesuatu yang berbeda dari Shiori-san dan Kozono-san, perasaan tidak nyaman yang kurasakan padanya. 

Entahlah, aku tidak bisa mengungkapkannya dengan baik, tapi... Ya, itu dia. Rasanya dia sedikit mirip denganku.

Jika aku menjadi objek cinta Asamura-kun, sepertinya orang ini juga bisa. Begitulah yang kurasakan. 

Yah, aku tahu kalau Asamura-kun bukan tipe yang berselingkuh dengan gadis lain. Aku mempercayainya. Umumumu. 

Sementara mereka berdua berbicara, aku berusaha untuk tidak melihat ke arah mereka dan berkonsentrasi pada tanganku sebisa mungkin sambil terus melipat sampul kertas. 

Karena kami belum saling mengenal, jadi aku merasa tidak pantas untuk ikut campur dalam percakapan mereka. 

“Ngomong-ngomong, Ayase-san. Boleh aku bicara denganmu sekarang?”

“...Apa?”

Aku terkejut betapa ketusnya suara balasanku ketika da tiba-tiba memanggilku. 

Memangnya aku ini bego apa? Jangan menunjukkan ketidakpuasan secara blak-blakan begitu. 

“Gadis ini adalah Fujinami-san. Kurasa aku pernah membicarakannya sebelumnya, ‘kan? Teman dari bimbingan belajar.” 

“Oh, yang itu..." 

Aku sudah menduganya, tapi aku berkata dengan raut wajah yang menunjukkan bahwa aku belum memikirkannya. 

“Dan ini adalah Ayase-san.”

“Entah bagaimana, aku sudah merasakannya.” 

Fujinami-san mengatakannya dengan santai. 

Hatiku terasa tertekan. 

Mungkin dia mengenaliku dan memprediksi hal ini saat mendekati kasir, atau saat berbicara dengan Asamura-kun. Dia mengenaliku dengan cara yang sama, berpikir dengan cara yang sama, dan dibandingkan denganku yang berpura-pura, dia begitu tenang dan jujur. 

Aku merasa seperti disadarkan betapa kecilnya karakterku, dan itu sedikit membuatku merasa kesal. 

“Senang bertemu denganmu, namaku Fujinami Kaho. 'Fuji' dari kanji kata yang sudah dikenal dan 'Nami' dari kata 'ombak'. 'Summer', dan 'Sail’, makanya jadi Fujinami Kaho.” 

Summer...Sale...?”

Aku membayangkan stiker merah dan kuning yang mencolok yang biasanya ada di barang diskon. (TN: Katakana huruf Sail bisa kedengeran seperti Sale, yang artinya jual)

“Bukan yang dijual, tetapi yang ditempel.”

“Yang ditempel... eh? Eh...?” 

Karena baru saja membayangkan stiker, aku benar-benar kehilangan fokus pada kanji tersebut. 

“...Apa tidak tersampaikan? Aku yakin orang-orang akan langsung mengingatnya dengan pengenalan diri ini, tapi sepertinya aku belum cukup terlatih.”

“Ah, tidak, aku yang seharusnya minta maaf. Aku kurang peka...”

Aku merasa malu ketika dia menundukkan kepalanya. 

Apa-apaan dengan perasaan aneh ini? 

Rasanya berbeda dengan humor ringan Shiori-san. Dia adalah tipe orang yang belum pernah aku temui sebelumnya, dan aku tidak tahu bagaimana cara menanggapinya. 

Rasa cemburu yang mulai tumbuh dalam diriku tiba-tiba menghilang. 

“Sepertinya tidak baik jika berbicara terlalu lama saat kalian bekerja. Kurasa sudah saatnya... Oh, aku akan membeli ini.” 

“Ah, iya. Silahkan.”

Buku yang kupegang (sepertinya tentang politik atau isu internasional. Meskipun di Fakultas Hukum, kok bukan tentang hukum?) diletakkan di meja kasir, dan aku beralih ke mode pelayanan. 

“Apa kamu ingin menyampul bukunya?”

“Ah, ya, tolong.”

“Dimengerti.” 

“Aku akan membantu, Ayase-san.”

“Terima kasih. Asamura-san.”

Aku memindai kode batang dengan suara 'bip, bip, bip', dan setelah selesai memindainya, aku menyerahkan buku itu kepada Asamura-kun. Ia menerimanya lalu dengan cepat dan cekatan, Asamura-kun mengenakan sampul dengan tangan yang lembut seperti bulu.

Pembayarannya dilakukan dengan uang elektronik di ponsel. “Rasanya aneh ya melihat buku kertas, simbol budaya yang tak berubah bentuk selama bertahun-tahun, dibeli dengan cara yang begitu modern”. Jika Asamura-kun dan Shiori-san tidak membicarakan hal seperti itu, aku bahkan takkan menyadarinya. Sekarang aku merasa itu memang sedikit surealis.

Karena cara Fujinami-san mengarahkan ponselnya tanpa mengubah ekspresi wajahnya terasa sealamiah saat membeli teh di minimarket, aku jadi semakin berpikir begitu. 

Setelah selesai berbelanja, Fujinami-san melambaikan tangannya dan berkata “Sampai jumpa”, lalu berjalan keluar dengan langkah gontai sampai-sampai membuatku khawatir apakah punggungnya benar-benar memiliki tulang. 

Saat itu, dia berpapasan dengan Kozono-san yang kembali dari area penjualan. Dia berbisik di belakang kami di meja kasir. 

“Tadi ada orang yang sangat besar, ya. Eh, apa kalian berdua mengenalnya?” 

“Dia temannya Asamura-san.”

“Eh, umm... Ayase-san? Cara bicaramu, entah kenapa...” 

Apa kamu ingin bilang terdengar sangat menyindir? Tidak, itu tidak benar, tidak ada alasan untuk merasa cemburu. 

“Dia sangat cantik dan tubuhnya mirip seperti model... Yuuta-senpai... Seriusan?” 

“Tidak, tidak begitu.”

Asamura-kun menyangkal dengan bingung saat Kozono-san terus menuduhnya tanpa ampun. Melihatnya yang sangat tidak berdaya dan sama sekali tidak terlihat pintar, justru membuatku merasa senang, dan aku tidak bisa menahan tawa. 

“Ayase-san? Ehm, kenapa kamu tadi malah menertawakanku?” 

“Bukan apa-apa.”

“Eh...?”

Benar, memang tidak ada apa-apa. 

Rasanya konyol sekali jika Asamura-kun benar-benar tidak jujur dan menjalin hubungan terlarang dengan Fujinami-san yang tadi. Tapi aku mempercayainya, dan aku hanya merasa cemburu karena hal kecil dalam kehidupan sehari-hari, bukan karena benar-benar merasa cemas. 

Ini hanya sekadar bercandaan. Jika ada yang membuatku cemas, justru masa depanlah yang lebih menantang. 

Jadi, tawa ini bukan ejekan untuk Asamura-kun. 

Ini hanyalah ejekan untuk diriku sendiri. 

Tawa yang bertanya, “Apa baik-baik saja, diriku?”. Karena memang begitu. Betapa konyolnya jika aku cemburu pada Fujinami-san yang berbicara dengan jujur dan diperkenalkan di depanku. Bagaimana jadinya kehidupanku mulai bulan depan? 

Aku akan berhenti dari pekerjaan paruh waktuku dua hari lagi. Waktu yang kuhabiskan dengan Asamura-kun pasti akan berkurang.

 

◇◇◇◇

 

Pekerjaan paruh waktu telah selesai. Hari ini, aku berjalan di jalanan yang sama seperti biasa bersama Asamura-kun. Jalan pulang selalu sama, tetapi pemandangan yang kulihat kini sedikit berbeda dibandingkan saat aku masih SMA. 

Pertama-tama, waktunya berbeda. 

Sejak bulan April, aku mulai bekerja pada pukul 6 atau 7 malam (tergantung kapan kuliah selesai) dan pulang pada tengah malam. Sewaktu aku masih SMA, karena peraturan, aku harus meninggalkan toko sebelum pukul 10 malam, tetapi sekarang, aku sudah bebas dari batasan tersebut, kami dapat berjalan-jalan di Shibuya pada larut malam dengan percaya diri. Meskipun, aku tidak berniat untuk keluyuran malam-malam. 

Shibuya setelah tengah malam terlihat sangat berbeda dibandingkan sekitar pukul 9 malam. Tingkat keamanan terasa menurun, dan penampilan orang-orang yang mabuk lebih mencolok dibandingkan mereka yang belum mabuk. Selain itu, hampir tidak ada orang yang masih waras yang pulang sebelum kereta terakhir, jadi orang-orang yang tersisa secara alami merupakan mereka yang, bisa dibilang, terlihat kurang baik. Percakapan yang terdengar juga terdengar sangat keras. 

Ada satu hal besar yang berubah. 

Asamura-kun tidak mendorong sepedanya. 

Beberapa waktu lalu, aku pernah bertanya padanya mengapa. Ternyata, alasan utamanya karena tidak ada tempat untuk parkir. 

Sewaktu SMA, ada tempat parkir di sekolah, dan jika pergi ke bimbel, ada tempat parkir di sana. Di dekat tempat kerja, ada tempat parkir yang gratis selama dua jam, tetapi setelah itu berbayar. 

Namun, sekarang sebagai mahasiswa, jika ia memarkir sepeda di tempat parkir berbayar dekat stasiun, biayanya akan terus berjalan sampai kuliah dan kerja paruh waktunya selesai. 

Meskipun tempat kerja dan rumah tidak berubah, tapi cara pulang Asamura-kun benar-benar berubah. Mau tak mau aku jadi berpikir, seberapa banyak perubahan yang bisa terjadi hanya dengan sedikit perubahan gaya hidup. 

…Apa yang akan terjadi padaku?  

Bahkan di kota Shibuya yang sama, suasana antara pukul 9 malam dan tengah malam terasa jauh berbeda, dan hanya dengan beralih dari SMA ke universitas, tindakan Asamura-kun berubah drastis. 

Aku sendiri berhenti dari pekerjaan di toko buku dan sekarang melakukan magang di tempat yang sama sekali berbeda. Ritme kehidupan, pemandangan yang terlihat, semuanya berubah. 

Aku merasa cemas. Dan sambil merasa cemas, aku juga menyadari bahwa aku terlalu banyak bergantung pada Asamura-kun dan Asamura Yuuta selama ini.

Alasan mengapa aku bisa tetap seperti ini meskipun aku begitu cemburu dan bergantung karena aku merasa puas dengan hubungan kami yang santai dan sederhana, serta membina kasih sayang yang nyaman seperti berendam dalam air hangat, semua itu karena waktu yang panjang kuhabiskan bersama Asamura Yuuta yang berada di hadapanku. 

Besok, semuanya akan berakhir. 

Lingkungan di mana kami bisa berbagi waktu yang lama akan hancur, dan dunia baru akan dimulai di mana kami sulit melihat apa yang dilakukan satu sama lain. 

Aku penasaran bagaimana Asamura-kun bekerja dengan Kozono-san di tempat kerja, percakapan seperti apa yang mereka lakukan. Apa Shiori-san kadang-kadang mampir ke toko buku itu? Bagaimana dengan Fujinami-san? Semua hal itu akan sepenuhnya tidak terlihat dari pandanganku. 

Meskipun, jika ada yang mengatakan bahwa itu merupakan hal yang wajar dan hampir semua pasangan mengalami hal yang sama, aku tidak bisa membantahnya. Aku juga mengerti bahwa mengikat kehidupan pasangan secara berlebihan tidak baik, dan jelas tidak baik jika ingin mengendalikannya, aku sudah mengetahuinya tanpa diberitahu. 

Kemudian, aku teringat lagi tentang cerita ibu. Pemikiranku berputar kembali. 

Apa sebenarnya artinya menikah? Apa artinya menjadi keluarga? Membuat anak── 

“Apa kamu baik-baik saja?”

Putaran pikiranku terputus oleh suara yang lembut. 

Terima kasih, Asamura-kun. Walaupun aku bisa mengucapkan terima kasih di dalam hatiku. 

“Ya. Tidak ada apa-apa.”

Ketika aku menyadarinya, aku berkata dengan suara yang menolak kebaikannya, mengenakan topeng kuat dan dingin.

 

 

Sebelumnya  |  Daftar isi  |  Selanjutnya

Posting Komentar

Budayakan berkomentar supaya yang ngerjain project-nya tambah semangat

Lebih baru Lebih lama