Chapter 8 — Bunda Suci, Maid, dan Slippai
Kecerobohan adalah musuh terbesar. Hal-hal baik sering kali diiringi dengan banyak masalah. Kencangkan tali helmmu setelah
kemenangan.
Ada
banyak ungkapan dalam bahasa Jepang yang menekankan pentingnya tetap waspada
saat segala sesuatunya berjalan baik. Hal tersebut
menunjukkan bahwa banyak orang terjebak dalam kesenangan dan kehilangan
pijakan. Pada saat yang sama, ini juga membuktikan bahwa manusia adalah makhluk
yang cenderung lengah meskipun telah diberi peringatan. Dan seringkali,
seseorang tidak menyadari bahwa mereka telah lengah sampai mereka mengalami
konsekuensi yang menyakitkan.
(Sial…!)
Saat
menyadari hal itu, semuanya sudah
terlambat.
Mengapa dirinya tidak lebih waspada? Seharusnya ia sudah menyadari bahwa benda ini adalah ancaman. Keyakinan bahwa dirinya bisa mengendalikannya membuatnya melakukan kesalahan dengan
menyimpan benda itu. Penyesalan yang datang terlambat ini terus berputar dalam
pikirannya tanpa arti.
Akhir-akhir
ini, Masachika berada dalam semacam mode tak terkalahkan. Biasanya, dirinya akan merasa ragu dan bimbang sehingga ia tidak bisa mengambil langkah pertama, tapi setelah Alisa menuntun tangannya,
dirinya menjadi bersemangat dan segala
sesuatunya berjalan lancar. Masachika
bisa berbicara terbuka dengan adik perempuannya,
menyelesaikan ketegangan dengan ibunya, dan mencapai hasil yang lebih baik dari
yang diharapkan dalam negosiasi dengan kakeknya. Selain itu, dirinya bisa bermain piano dengan
bebas, sehingga mendapat pujian dari anggota
klub orkestra. Sepertinya
ia
bakalan memenuhi janjinya dengan Elena, dan merasa sangat positif,
seperti, “Whoa,
entah kenapa, aku akan melangkah sejauh mungkin!” Namun, saat ia menunjukkan
kelemahan, sang iblis
datang untuk menyerang.
(Aku
takkan pernah lagi… mempercayai makhluk ini…)
Dalam
pandangannya yang
kabur, Masachika memelototinya
dengan penuh kebencian… dan jatuh berlutut.
Beberapa
detik kemudian, bola basket—yang memantul tajam setelah mengenai kaki pemain
lawan saat ia sedang menggiring bola dan mengenai rahang Masachika dengan sudut
tajam—jatuh dan memantul
di lantai lapangan. Bola memang selalu menjadi musuh bebuyutan Masachika.
◇◇◇◇
“Apa
kepalamu ada yang sakit?”
“Tidak
ada.”
“Apa kamu
merasa mual?”
“Tidak
ada.”
“Hmm…
mungkin kamu mengalami gegar otak ringan. Untuk berjaga-jaga, kamu boleh beristirahat dari sisa
pelajaran dan berbaring di tempat tidur. Aku
akan mengawasimu sebentar, dan jika kamu baik-baik saja, kamu boleh pulang.”
“Baiklah…”
“Jika
ada bagian yang sakit, beri
tahu Sensei ya.”
“Ya.”
Sesuai
arahan guru UKS,
Masachika menarik tirai yang mengelilingi ranjang
dan berbaring di sana dengan pakaian olahraganya.
Sejujurnya,
gejala pusing dan goyah yang dirasakannya setelah
pingsan sudah reda, jadi secara fisik Masachika merasa sudah bisa kembali ke
kelas. Namun, dirinya tetap
mengikuti arahan guru karena… sederhana saja, dirinya
malu untuk muncul di depan teman-teman sekelasnya.
(Tidak,
ini benar-benar memalukan… sangat tidak keren.)
Mengingat
kesalahan yang baru saja dibuatnya, Masachika diam-diam merintih di
atas tempat tidur. Jatuh pingsan di tengah pelajaran olahraga dan dibawa ke
ruang UKS adalah kejadian kecil. Namun, jika diselidiki lebih lanjut, meskipun
ada gangguan dari pemain lawan, penyebabnya hampir sepenuhnya karena kesalahan
sendiri. Setidaknya ada sedikit penghiburan bahwa pelajaran olahraga terpisah
antara laki-laki dan perempuan, jadi para gadis tidak melihat momen tersebut.
(Jika Alya melihatnya, rasanya pasti akan sangat
memalukan… Hah~ manusia memang tidak boleh terlalu percaya diri… meskipun
sebenarnya aku tidak merasa terlalu percaya diri sih.)
Meski
begitu, kalau dipikir-pikir sekarang, rasanya aneh sekali karena dirinya merasa bisa melakukan apa saja.
Jika tidak, Masachika tidak
akan melakukan tindakan sembrono seperti menggiring
bola basket yang hanya menyebabkan cedera jari.
(Mungkin rasanya mirip seperti
orang mabuk yang tidak menyadari dirinya mabuk sampai dirinya sadar kembali… meskipun aku
tidak pernah mabuk, jadi aku juga
enggak tahu sih~)
Saat
merenungkan hal-hal seperti itu… mungkin karena hilangnya perasaan bisa melakukan apa saja,
Masachika merasakan bahwa kondisi mentalnya
langsung depresi.
(Ah~ gawat. Tiba-tiba jadi merasa minder banget.)
Pikiran
yang kini sudah menjadi kebiasaan, seperti “aku bukanlah apa-apa…,” mulai muncul, dan Masachika
berusaha sekuat tenaga untuk mengalihkan pikirannya ke tempat lain. Namun, karena pelajaran
olahraga masih berlangsung, jadi ia tidak membawa ponselnya.
(...Apa boleh buat. Mendingan tidur saja deh.)
Setelah
memikiran itu, Masachika memejamkan
matanya dan fokus pada pernapasannya yang semakin
pelan. Karena baru saja berolahraga, pikirannya
perlahan-lahan menjadi kabur… dan dalam
beberapa menit, dirinya
tertidur.
◇◇◇◇
──……、…………
Ia
mendengar suara di balik tirai, dan kesadarannya perlahan terbangun.
“Ngh…”
Saat Masachika meregangkan tubuhnya di atas ranjang UKS dan mengeluarkan suara seperti
geraman, seseorang yang dikenal mengintip dari celah tirai.
“Oh?
Apa aku membangunkanmu?”
“……Slippa?”
“Memanggilku
dengan nama itu saat baru bangun… ya sudah sih.”
Entah
bagaimana, anggota klub kerajinan tangan
yang memiliki hubungan erat dengannya
menjawab pertanyaan Masachika dengan senyuman kecut.
“Guru
UKS sedang ada rapat. Sementara itu,
aku yang merupakan anggota kesehatan menjaga di sini sambil bersih-bersih.”
“Ah,
begitu ya...”
“Ngomong-ngomong,
barusan Kujou-san dan dua
orang laki-laki meninggalkan barang-barangmu.
Mereka baru saja pulang."
“Oh,
jadi begitu...”
Saat
Masachika melihat ke arah yang ditunjuk oleh Slit-paisen,
di sana memang ada tas dan seragamnya
yang diletakkan di samping tempat tidur.
(Takeshi
dan Hikaru... jadi, kurasa
Alya juga sudah tahu, tentu saja...
yah, kurasa untungnya dia tidak mendampingiku.)
Rasanya sangat
memalukan jika dirawat karena alasan sepele seperti ini. Jika Alisa yang pernah datang menjenguknya saat Masachika sakit pilek, mungkin dia akan
berkata, “Aku akan
tetap di sini menemanimu”. Namun,
mungkin Takeshi dan Hikaru sebagai sesama laki-laki memahami harga dirinya dan membujuk Alisa pulang. Atau mungkin Alisa
hanya tidak bisa mengatakan ingin menemani di depan mereka. Pokoknya, Masachika merasa
beruntung.
“Bagaimana
keadaanmu? Jika Sensei kembali dan tidak ada masalah,
sepertinya kamu boleh pulang.”
“Mm~...
yah, kurasa sebenarnya sudah tidak ada
masalah...”
“Ahaha,
kamu terlihat mengantuk... mendingan tidur lagi saja. Aku juga akan
bersih-bersih dengan tenang.”
“Baiklah,
aku akan melakukannya...”
Masachika
menjawab dengan wajah yang masih setengah mengantuk,
lalu berbalik dan kembali terlelap.
◇◇◇◇
Pada hari
itu, Maria terus-menerus merasa
gelisah sejak pagi.
Entah
kenapa, ada rasa jengkel dan tidak menyenangkan
di dalam dadanya, tetapi jika ditanya apa itu tidak nyaman, rasanya juga tidak begitu... sensasi yang
menyiksa ini sudah berlangsung beberapa hari dan pagi ini mencapai batasnya,
menjadi sesuatu yang tidak tertahankan. Dan Maria tahu apa yang
dirasakannya.
(Aku
frustrasi!!)
Tanpa
mengucapkannya, dia hanya menghembuskan napas berat.
Jika
hanya mendengar ini, mungkin terdengar seperti jeritan hati Maria yang tidak
biasa... tetapi jika ditanya lebih spesifik tentang keinginannya, pendapat itu
bisa berubah. Maksudnya,
(Nnnnn~~~~~! Aku ingin mengasihi
seseorang, membelai dan memeluknya~~~~~!)
Begitulah.
Keinginan Maria pada dasarnya adalah keinginan untuk memanjakan seseorang... naluri keibuannya yang sangat
kuat sejak lahir kini menjadi stres karena tidak ada tempat untuk
disalurkan.
Tentu
saja, meskipun dia berkata ‘seseorang’, bukannya berarti dia akan melakukannya dengan siapa
saja. Maria tidak menyukai orang yang tidak berusaha dan hanya mengandalkan
orang lain, jadi dia sama sekali tidak tertarik pada orang seperti itu. Malah,
dia akan berusaha menjauh. Ini adalah hal
yang merepotkan, di mana kesepakatan kepentingan sulit terjadi... sebaliknya,
dia menyukai orang-orang yang tidak mencoba untuk bergantung padanya. Dia suka
memanjakan orang yang berjuang keras dan tidak menunjukkan kelemahan kepada
siapa pun. Saat seseorang yang biasanya tidak mudah bergantung padanya
menyerahkan diri, dia merasa sangat bersemangat. Dipercaya dan dibutuhkan
sebagai objek untuk dimanjakan. Pada saat itu, dia merasakan perasaan yang luar
biasa. Kebahagiaan meledak, “Wah,
sekarang aku dibutuhkan!? Baiklah, aku akan memanjakanmu sepuasnya!!” Rasanya jelas bahwa ini adalah
hasil dari didikan Alisa yang dingin sejak kecil, tetapi itu urusan lain.
Selain
itu, Maria juga sangat menyukai kontak fisik. Saat bersama orang yang
dicintainya, dia merasa hangat, aman, dan bahagia. Dia biasanya berinteraksi
fisik dengan keluarganya, tetapi pada usia ini, dia merasa canggung untuk
terlalu dekat dengan orang tuanya, dan adiknya Alisa yang sangat dingin... jadi,
begitulah.
(Ah, andai saja ada seseorang yang
bisa membiarkanku memanjakannya~...)
Saat
Maria memendam hasrat yang sulit dipahami, ia menerima kabar tak terduga saat
jeda antara jam pelajaran kelima dan keenam.
“Eh!?”
Maria
tidak bisa menahan suara ketika membaca pesan yang masuk ke grup obrolan OSIS. Melihat teman sekelasnya
yang menatapnya dengan penasaran, dia menjawab, “Maaf~
bukan apa-apa,” sebelum memeriksa isi pesan
tersebut lagi.
(Kuze-kun
sedang terluka dan beristirahat di UKS...?)
Isi pesan
tersebut merupakan
pertanyaan dari Alisa tentang bagaimana keputusan OSIS hari ini. Hari ini,
awalnya Yuki memiliki urusan yang tidak bisa ditinggalkan, dan Chisaki harus menghadiri rapat komite kedisiplinan, sehingga jumlah peserta
sedikit. Masachika juga tidak bisa hadir, lalu Alisa bertanya, bagaimana?
Setelah itu, Touya juga
sepertinya telah memeriksa pesan tersebut, dan segera mengirimkan balasan yang
menyatakan, “Karena tidak ada
urusan mendesak, jadi jika tidak ada keberatan, kita akan membatalkannya”. Sambil membalas dengan stiker
kucing yang bertuliskan “OK,” Maria merasakan detak jantungnya
meningkat.
(Kuze-kun...
Sa-kun, sedang lemah...?)
Sungguh
kebetulan yang hebat. Ini pasti merupakan kehendak besar yang
meminta Maria untuk merawat Masachika.
(Tunggu
sebentar ya, Sa-kun!
Aku akan memanjakanmu dengan baik!)
Dengan naluri
keibuannya yang sudah
memuncak, dia melewati sisa pelajaran dengan gelisah... Setelah jam pelajaran selesai, Maria langsung
menuju ruang UKS.
“Permisi!”
Dengan
semangat yang meluap, dia membuka pintu geser ruang UKS...
“Maria-senpai...
terima kasih atas kerja kerasnya.”
Ayano
yang berbalik memberi hormat, matanya yang besar berkedip-kedip.
“Ayano-chan...
apa kamu datang untuk menjenguk Kuze-kun?”
“Ya,
mumpung sudah ada di sini, aku
ingin mengantarnya pulang."
Setelah
mendengar tentang hubungan antara Masachika dan Yuki yang terungkap baru-baru
ini, Maria ingat bahwa Ayano sebenarnya adalah pelayan Masachika. Dengan
begitu, rasanya tidak ada yang aneh.
Namun...
“Ayano-chan...
maaf. Bisakah kamu memberikanku kesempatan hari ini~?”
“Eh?”
“Aku
ingin berbicara berdua dengan Kuze-kun. Jadi, tolong!”
Maria menangkupkan kedua tangannya
sebagai bentuk permohonan di depan wajahnya.
Namun, ini juga merupakan kesempatan bagi Ayano untuk melayani tuannya yang
dihormati. Meskipun itu permintaan dari seniornya,
Ayano tidak bisa begitu saja mengangguk.
“Maaf,
tetapi Masachika-sama harus beristirahat total. Jika itu merupakan hal yang penting, bisakah kita
lakukan setelah besok?”
“U-umm,
aku tidak berniat membicarakan hal yang sulit... Sebenarnya, aku selalu
mendapat bantuan dari Kuze-kun, dan aku ingin merawatnya sebagai ungkapan
terima kasih...”
Usai
mendengar jawaban Ayano yang masuk
akal, Maria sedikit menunjukkan ketulusannya. Namun,
jika begitu, Ayano semakin tidak bisa mengalah.
“Kalau
begitu, itu sudah menjadi tugasku. Aku
tidak bisa merepotkan senpai.”
“Eh,
tapi... Aku juga berterima kasih padamu, Ayano-chan, jadi sesekali biarkan aku yang
mengurusnya...”
“Kita berdua saling berhutang budi, jadi tidak ada yang perlu
dikhawatirkan oleh Senpai.”
Keduanya
berbicara dengan sopan namun teguh, tidak mau mengalah. Maria mengerutkan
alisnya, sementara Ayano tetap mempertahankan ekspresi tanpa emosi, tatapan
mereka bertemu di udara... dan tiba-tiba terdengar suara tangan yang bertepuk,
membuat mereka berdua menoleh ke arah suara itu.
Maria
melihat ke arah petugas kesehatan yang sedang membersihkan dan berpaling,
dengan kaki terbuka lebar dan membungkuk untuk melihat kedua orang itu.
“Hebat!
Secara pribadi, saya juga ingin meminta maaf kepada Kuze-shi, jadi aku akan mengambil tantangan
ini!"
“E-Eh? Bukannya kamu yang dari klub kerajinan tangan...?”
“Siapa
di antara kalian berdua yang akan merawat Kuze-shi,
mari kita adakan kompetisi untuk menarik perhatiannya!”
“Kompetisi
untuk menarik perhatian...?”
Maria dan
Ayano memiringkan kepala mereka secara
bersamaan, sementara Si Slit-paisen menunjukkan senyuman menantang.
◇◇◇◇
“Umm...”
Setelah tiba-tiba
terbangun, Masachika menatap langit-langit dan perlahan-lahan berkedip.
(Sekarang
jam berapa...? Hmm, aku sudah bangun sekali, jadi kurasa waktunya sudah
sore...?)
Saat
berpikir dengan kepala yang masih mengantuk, ia merasakan kehadiran seseorang
di dekatnya dan melihat ke arah kakinya. Seketika itu
juga Masachika tertegun.
“Ah,
selamat pagi, Kuze-kun.”
“Selamat pagi, Masachika-sama.”
“...”
Dirinya bahkan tidak bisa membalas
salam mereka. Karena di sana ada... bisa dibilang, dokter wanita yang mengenakan pakaian pembunuh
keperjakaan dan malaikat putih yang memakai rok mini.
(... Begitu ya, jadi ini cuma mimpi.)
Setelah
menyimpulkannya dengan cepat,
Masachika meletakkan kepalanya kembali ke atas bantal.
Kemudian, kedua orang yang berdiri di ujung tempat tidur itu segera bergerak
mendekat.
“Ah,
jangan tidur lagi~. Jika mau
tidur, pilih salah satu dulu~~”
Maria,
yang mengenakan jas putih di atas sweater ‘pembunuh
keperjakaan’ yang
memiliki belahan di dadanya, memohon
dari sisi kiri.
“Masachika-sama,
Anda ingin dirawat oleh siapa?”
Ayano,
yang mengenakan seragam perawat dengan lubang berbentuk hati di dada dan sayap
kecil putih di punggungnya, mengintip dari sisi kanan dengan ekspresi datar. Apa-apaan dengan situasi ini?
Situasi
yang terlalu berat untuk diproses dengan kepala yang masih mengantuk, membuat Masachika terdiam selama beberapa
detik... dan menjawab dengan serius.
“...
Sebenarnya, aku ingin
dirawat oleh dokter saja.”
Masachika
menyadari bahwa cara penyampaiannya
bisa disalahartikan setelah melihat mata Maria bersinar dan Ayano terkejut
dengan mata terbelalak.
“Benarkah!?
Wah~! Baiklah, ayo tidur ya~?”
“Tidak,
yang kumaksud dokter itu guru UKS yang berjaga
di ruang UKS.”
Melihat Maria berusaha mencondongkan badannya ke
tempat tidur, Masachika berusaha
cepat untuk meluruskan
kesalahpahaman, tapi telinga Maria yang penuh naluri keibuan tidak
mendengarnya.
Masachika
meletakkan sikunya di tempat tidur dan mencoba mengangkat tubuhnya. Dari bawah
kepalanya, Maria dengan cepat mengambil bantal dan menggantinya dengan kakinya,
lalu mendorong bahu Masachika untuk dijadikan bantal lutut secara paksa. Karena
gerakan yang sangat cepat, Masachika hanya bisa berkedip
tertegun.
Kemudian,
dari sisi yang berlawanan, terdengar suara tempat tidur berderit, dan dia
merasakan tangan yang meraih kepala dan bahunya dari sisi kanan, menariknya
dengan kuat.
“Tidak
boleh, Maria-senpai! Masachika-sama mengatakan bahwa dirinya ingin dirawat oleh guru UKS, bukan oleh Maria-senpai!”
Sambil
berkata demikian, Ayano meletakkan kepala Masachika di atas pangkuan lututnya. Namun, Maria langsung mengulurkan
lengannya dan menarik kepala Masachika dengan kuat.
“Tidak!
Ia pasti bilang dokter! Aku
benar-benar mendengarnya!"
“Justru
itu! Itu hanyalah
kesalahpahaman!”
Maria
yang bersikeras seperti anak kecil dan Ayano yang jarang sekali mengangkat suaranya sedikit
lebih keras. Keduanya berusaha menarik kepala Masachika, memegang bahu dan
kepalanya sambil saling mendekatkan wajah. Akibatnya, tanpa sengaja terjadi ‘sandwich’ antara payudara. Dari kanan
menempel lembut dan dari kiri juga demikian, sensasi lembut yang saling
bersaing. Hmm, memang seperti ini, naluri pria secara alami condong kepada
dokter wanita.
(Tunggu! Ini, mereka pasti tidak mengenakan apa-apa,
‘kan!?)
Dengan
sensasi yang terlalu lembut menempel di telinga dan pipinya, Masachika mulai menyadari bahwa
pikirannya sebelumnya tentang pakaian mereka— “Eh?
Dengan posisi dan ukuran lubang ini, jika mereka mengenakan pakaian dalam,
bukankah itu akan terlihat?”—tidaklah
salah.
(Sebenarnya,
sejak tadi sudah sering menyentuh kulitku...
huh? Lubang? Belahan?)
Akhirnya,
Masachika teringat bahwa orang yang mungkin menyebabkan situasi ini ada di
dalam ruangan tadi.
“Slippaaa!!”
“Ya
ya, tunggu sebentar.”
Di ujung
tempat tidur, muncul Si Slit-paisen
yang anehnya mengenakan kostum gadis ronde. Sepertinya dia baru saja berganti pakaian, karena dia masuk sambil memeriksa
penampilannya, lalu terhenti melihat pemandangan di atas ranjang UKS.
“Woahh~... situasinya berubah menjadi sangat
menarik dari yang kubayangkan. Ayo,
biarkan aku yang menggantikanmu.”
“Kenapa
kamu juga berpakaian seperti itu?”
“Sebenarnya,
aku ingin mengenakan kostum wasit... tapi karena tidak
ada, jadi ya sudah, aku jadi wasit yang sangat cabul.”
“Kenapa
harus wasit?”
“Untuk
menengahi pertarungan antara wanita ini?”
“Apa-apaan itu?”
Masachika
yang tidak bisa mengikuti pembicaraan terus-menerus melontarkan pertanyaan,
sementara Slit-paisen
membersihkan tenggorokannya dan memanggil Maria dan Ayano.
“Ayo,
kalian berdua, mundur sedikit. Wanita tidak seharusnya bertarung dengan lengan.
Ini sempurna. Pertandingan pertama adalah bertarung dengan lutut!”
“Kenapa kamu
jadi bersemangat begitu?”
“Kalau
begitu, mulai dari peserta
Kunojou!”
“Kenapa
malah pakai nama panggung segala?”
Masachika
tidak bisa berhenti bertanya tentang gaya aneh Slit-paisen,
tetapi entah bagaimana kedua gadis itu sepertinya mendengarkan perintah wasit,
dan kembali meletakkan kepala Masachika di atas lutut Maria.
“.....”
“Selanjutnya!
Peserta Kiminoshima!”
Kemudian,
kepalanya diletakkan
di atas pangkuan
lutut Ayano. Sepertinya harus ada penilaian, jadi Masachika mencoba
membandingkan sensasi di bagian belakang kepalanya...
(Tidak, sejujurnya, satu-satunya perbedaan adalah tinggi dan lebar kakinya...
Hmm, yah, mungkin
bagian Masha-san
sedikit lebih lembut? Tapi dalam hal posisi leher...)
“Jadi,
bagaimana pendapatmu, Tuan Kuze?”
“Ayano.”
“Kiminoshima menang!”
“Eh!?
Kenapa Kuze-kun!?”
“...Ah.”
Jika
ditanya mengapa, sebelum membahas sensasi, pemandangan yang terlihat di depan
mata Masachika terlalu berbahaya. Menurutnya, sweater orang dengan payudara
besar itu tidak adil. Bentuknya terlihat sangat jelas.
“Selanjutnya,
pertandingan tidur bersama!”
“Eh,
ada babak keduanya?”
“Kunojou!”
“...”
Maria
terbaring di sebelah kiri Masachika, memandangnya dengan senyuman penuh kasih sayang.
“Kalau
begitu, Kiminoshima!”
“...”
Ayano berbaring ragu-ragu di
sebelah kanan Masachika dan
menatapnya dengan ekspresi datar.
“Jadi, apa keputusanmu?!”
“Ayano.”
“Ehhh!?
Kenapa~!?”
“Yah...”
Kenapa?
Karena pemandangan yang ada. Jika tidur bersampingan dengan pakaian seperti
itu, pasti pandangannya akan
tertarik pada belahan dada Maria.
(Pertama-tama, rasanya tidak masuk akal untuk
tetap beristirahat dengan tenang
di depan dokter wanita pakaian yang
bisa membunuh keperjakaan seperti ini.)
Saat
berpikir dengan tatapan kosong, Maria mengerutkan wajahnya dan berkata dengan
suara hampir menangis.
“Kuze-kun...
apa yang tidak kamu sukai dariku?”
“Eh!?
Tidak, itu...”
Reaksinya yang lebih serius dari yang diharapkan membuat Masachika panik, lalu ia
melirik Ayano dan Slit-paisen
sebelum mendekatkan mulutnya ke samping telinga
Maria.
【Karena kamu terlalu
seksi, aku jadi kesulitan untuk tenang.】
Masachika
meletakkan tangannya di samping mulutnya dan berbisik pelan... lalu lengannya
melingkar di belakang lehernya, dalam sekejap dia merasakan kekuatan
keibuan.
“Ah,
syukurlah! Seharusnya kamu bilang lebih jelas kalau begitu.”
'Mana mungkin aku bisa mengatakannya
dengan pakaianmu yang
seperti itu!?'
Dirinya berteriak dalam hati, tetapi
tertekan oleh bahan rajutan, suaranya mungkin hanya terdengar seperti desahan
bagi orang lain.
(Gawat, hidungku terjebak di belahan—hyahooo! Rasanya benar-benar berbeda jika tanpa bra!)
Saat
Masachika berteriak dalam pikirannya, tiba-tiba bahunya digenggam dari
belakang.
“Maria-senpai! Akulah
yang menang dalam ertandingan ini!”
Dia
menariknya kembali... menariknya lebih dekat... tidak, Masha sama sekali tidak
mau melepaskannya.
“Masachika-sama, Anda
harus istirahat total!”
Sambil
mengucapkan hal yang sangat terlambat dan tidak berguna, Ayano berusaha menarik
Masachika. Sementara itu, tubuhnya menempel di punggung Masachika, dan sekarang
mereka terjebak dalam ‘sandwich’ payudara
lagi.
(Hmm~, jadi ini bantal payudara favorit
Yuki, ya~.
Cabul banget.)
Masachika
berpikir demikian sambil
melarikan diri dari kenyataan, tetapi sebenarnya situasinya cukup kritis.
Karena hidung, mulut, dan pipinya sepenuhnya tertutup oleh sesuatu yang lembut,
secara fisik dirinya tidak
bisa bernapas.
“Seriusan,
ayo kita bertukar tempat sebentar.”
Entah Slit-paisen tahu atau tidak tentang
kesulitan Masachika, dia tidak menunjukkan tanda-tanda berhenti dan malah
mengambil foto dengan smartphone-nya.
Di depan pandangannya, tangan kanan Masachika yang terulur untuk meminta
bantuan... tergeletak lemas di
atas tempat tidur.
◇◇◇◇
“Ah~
kalian berdua? Sudah waktunya kalian
melepaskan Kuze-shi...
jika tidak, ia benar-benar bisa mati.”
Maria
memeluk Masachika erat-erat sambil mengeluarkan tanda hati dari kepalanya,
sementara Ayano menatapnya dengan ekspresi datar dan penuh usaha. Melihat
Masachika yang kehabisan tenaga di antara mereka, Slit-paisen dengan sedikit terkejut
memanggilnya. Tiba-tiba, dia mendengar suara seseorang yang mendekat.
(Ah, gawat!)
Dia dengan panik menarik tirai dan melihat
jam dinding, ternyata sudah tiga menit sebelum waktu yang diumumkan oleh guru UKS untuk kembali.
(Tidak, aku pasti akan dimarahi dengan
pakaian seperti ini!)
Perasaan
bahaya yang kuat menusuk punggungnya, tetapi semuanya sudah terlambat.
“Ah!”
Mata
Slit-paisen terbelalak saat melihat sosok
guru melalui jendela di pintu. Namun, untungnya, guru itu tampaknya sedang berbicara dengan
seorang siswa yang berjalan bersamanya dan belum menunjukkan tanda-tanda akan
masuk ke dalam ruangan UKS.
(Ap-Ap-Ap-Apa yang harus kulakukan!? Etto, etto...)
Pakaian
gantinya berada
di tempat tidur sebelah. Jika dia dengan nekat berlari dan melompat ke
tempat tidur sebelah, menutup tirai... tapi itu terlalu berisiko.
(Sebenarnya,
kalau ada yang memanggilku saat aku sedang berganti pakaian, aku dalam masalah!
Umm....)
Dia berusaha memutar otaknya... lalu setelah melihat Maria di atas
tempat tidur, dia mendapat ide.
“Tu-Tu-Tu-Tu-Tunggu
dulu sebentar Kujou-senpai, tolong pinjamkan jas putih itu sebentar!”
“E-Ehh???”
Dia
menyambar jas lab itu dari Maria yang kebingungan dan
memakainya di atas kostum gadis ronde yang memperlihatkan
bagian perutnya, lalu dia
mengancing semua kancing di depannya.
(Hmm, apa aku bisa mengelabuinya dengan ini? Ya,
mungkin bisa!)
Dengan
sedikit memaksakan diri
untuk meyakinkan, Slit-paisen
mengintip dari celah tirai untuk memeriksa keadaan di luar, lalu berlari ke
tempat tidur sebelah.
Dia
melompat ke dalam tirai yang setengah terbuka, meraih pakaian ganti dan
barang-barang untuk tiga orang, lalu mendorongnya melalui celah di bawah tirai
untuk diteruskan ke sebelah.
“Maaf,
aku akan menahan guru UKS, jadi kalian
berdua cepat ganti baju!”
Saat dia
memanggil dari balik tirai, akhirnya guru yang sudah selesai berbicara masuk ke
ruang UKS sambil mengucapkan selamat
tinggal kepada siswa. Melihat penampilan Slit-paisen
yang mengenakan jas putih, dia tertegun sejenak sebelum mengernyitkan
dahi.
“...kenapa kamu malah pakai jas
putih?”
“Ah,
tidak, sebagai anggota komite kesehatan, kupikir
lebih baik memulai dengan penampilan yang tepat.”
“Ah,
begitu ya...”
“Sensei!
Ada beberapa hal yang sedikit menggangguku
saat beres-beres tadi, boleh aku memberitahukannya?”
“Eh?
Ya... silakan.”
“Ya,
di rak sebelah sini...”
Sambil
mendorong dengan kuat, Slit-paisen
membawa guru UKS ke rak
yang agak jauh dari tempat tidur.
Kemudian, saat
dia berusaha keras untuk memperpanjang percakapan...
“Mi!?”
Suara
aneh Masachika terdengar dari balik tirai tempat tidur, dan Slit-paisen mulai menyadari apa yang
terjadi.
(Ahhh~... tapi bukankah biasanya para
gadis yang bakalan berteriak?)
“Kuze-kun?
Ada apa?”
“...Tidak,
maaf, bukan apa-apa.”
Slit-paisen berpikir dalam hati ketika mendengar
suara Masachika yang terdengar tertekan menjawab guru.
(Karena aku sudah melakukanya
sampai sejauh ini, kurasa tidak
ada salahnya kalau Kuze-shi
mengajakku makan sekali, ‘kan?)
◇◇◇◇
(Surippa, seriusan aku takkan memaafkannya)
Setelah
menyebabkan situasi yang mengingatkan pada insiden ganti baju seragam musim
panas di ruang OSIS, Masachika mengingat wajah siswi yang dengan santai berkata
sambil mengacungkan jempol
dan menepuk bahunya, “Kamu
beruntung, ya, Nak”. Masachika
melontarkan kutukan dalam hati. Dirinya
juga ingin mengatakan, “Cobalah
merasakan bagaimana rasanya harus pulang bertiga”.
“Astaga,
seriusan, biasanya aku hanya fokus untuk memblokir
tembakan lawan, loh? Tapi,
hari ini, begitu aku memegang bola yang berhasil diblok, entah kenapa aku
berpikir, 'Eh? Ada ruang kosong di depan diagonal? Bisa lanjut nih!'...
lalu beginilah akibat dari
dribbling yang tidak biasa.”
“Arara~~
itu pasti sulit ya~.”
Masachika
menceritakan kesalahan hari ini dengan sedikit dramatis dan lucu. Maria
mengangguk sambil tersenyum, tetapi...
“Masha-san,
bukannya kamu pandai dalam olahraga
seperti bola?”
“Ah,
umm, tidak terlalu jago sih~...
tapi aku suka berolahraga?”
Ketika
Masachika mengalihkan pandangannya ke arah itu, wajah Maria sedikit memerah dan
dia langsung mengalihkan pandangnya.
Pemandangan ini sudah berulang kali
terjadi. Melihat Maria yang jarang terlihat malu, Masachika merasa sedikit
terganggu.
“Hee~~,
ngomong-ngomong, apa olahraga favoritmu di pelajaran
olahraga?”
“Hmm,
mungkin... lari jarak jauh?”
“Lari
jarak jauh!?”
“Rasanya
mirip seperti permainan petak umpet, kedengarannya seru, iya ‘kan?”
Selama
berbicara, Maria tidak menatapnya dan tetap memandang ke depan. Meskipun
Masachika menyadari ketidaknyamanan itu, ia tidak menghentikan percakapan. Dirinya bisa membayangkan betapa
canggungnya jika percakapan terhenti.
(Apa yang
membuatnya begitu malu...? Padahal
saat insiden seragam musim panas itu, dia tidak terlalu terkejut... tidak, kurasa aku tidak
boleh membandingkan dengan saat itu.)
Ternyata,
sepertinya mengenakan atasan atau tidak itu
berpengaruh besar? Namun, sepertinya saat Masachika
melihatnya, Maria tidak terlalu
terkejut...
(Tidak, rasanya bakalan aneh jika dia tidak terkejut.
Karena Ayano selalu tidak bereaksi seperti biasanya, jadi sulit untuk menilai
situasinya...)
Teman
masa kecilnya yang
kini tetap mendengarkan dari jarak yang sedikit jauh, tampak tidak berubah
seperti biasanya. Ketika ia meminta maaf sebelumnya, Ayano hanya menjawab dengan tenang, “Masachika-sama tidak perlu meminta maaf segala,” dan
setidaknya di permukaan, tampaknya dia tidak terpengaruh oleh rasa malu atau
canggung.
(Tapi...
Ayano tadi terlihat sangat keras kepala, atau
bisa dibilang, tumben-tumbennya dia
menunjukkan emosinya... Sepertinya dia tidak sepercaya diri biasanya.)
Jika
dipikir-pikir kembali, rasanya
Maria juga sedikit berlebihan. Dia bahkan tidak
berusaha menyembunyikan perasaannya terhadap Masachika...
(...Yah,
bisa jadi ini semua karena sikapku yang selalu setengah hati.)
Setelah memikirkan
hal itu, Masachika merasa sedikit membenci dirinya sendiri. Ia mengandalkan kata-kata Maria
yang memintanya untuk
menghadapi perasaan Alisa
terlebih dahulu, sementara dirinya
terus menunda untuk merespons perasaan yang ditunjukkan Maria. Mungkin Maria
yang sedikit berlebihan hari ini adalah akibat dari penundaan yang lama ini...
Dengan pemikiran itu, Masachika membuat keputusan.
(...Ya,
benar. Aku harus berhenti mengandalkan pengertian orang lain dan mulai
menghadapi masalah ini.)
Masachika
sudah merasa cukup menyesal dengan masalah adik perempuannya. Dirinya juga akan menghadapi perasaan Alisa.
Namun, ia tidak akan menjadikan itu sebagai alasan untuk terus menunda
menghadapi perasaan Maria. Masachika
sudah memutuskannya sekarang.
(Ah,
benar. Saat ini aku harus melangkah maju. Dengan semangat berani dan percaya
diri, aku dalam mode tak terkalahkan.)
Setelah
menerima serangan bola yang mengejutkan, ia kembali mengumpulkan kepercayaan
diri yang sempat meredup.
“Terima
kasih sudah mengantarku~. Kalian
berdua juga hati-hati di jalan ya~?”
Sambil
tersenyum dan melambaikan tangannya,
Maria melangkah masuk ke pintu masuk gedung apartemen... Masachika melangkah
maju.
“Umm,
Masha-san!”
Ketika ia
berlari mengejar Maria sampai ke
pintu masuk, Maria menoleh dengan wajah terkejut dan Masachika menelan ludah
sebelum memulai pembicaraan.
“Umm,
ini soal janji kencan saat festival
olahraga waktu itu...”
“Eh,
ah~~
yang waktu itu? Itu sudah tidak apa-apa.”
“Eh...?”
Masachika
merasa terkejut dengan Maria
yang terlihat sedikit canggung sambil tertawa dan mendongak.
“Setelah
dipikir-pikir, kencan bukanlah sesuatu yang bisa dipaksakan... Aku tidak ingin
membuatmu merasa tidak nyaman, jadi sekarang sudah
tidak apa-apa.”
“Oh,
begitu ya...”
“Iya...”
Dengan
ekspresi sedikit menyesal, Maria tersenyum sambil menundukkan alisnya... Dia
menunjukkan aura dewasa yang terbiasa menahan diri.
(Ah...
sama seperti Yuki.)
Masachika
secara refleks merasakannya. Ia tidak suka melihat ekspresi Maria
yang seperti itu dan merasa bahwa dirinya yang membuatnya terlihat seperti
itu.
“Baiklah, aku
mengerti.”
Setelah
mengangguk sekali, Masachika menatap Maria yang menundukkan pandangannya dan
berkata dengan tegas.
“Kalau
begitu, aku akan mengajakmu lagi.”
“Eh?”
Maria
mengangkat wajahnya dengan ekspresi terkejut, dan Masachika menatap
matanya.
“Masha-san,
pada hari setelah upacara penutupan semester,
tanggal 25 Desember, pada hari Natal,
maukah kamu berkencan denganku?”
Permintaan
Masachika membuat Maria membuka matanya lebar-lebar... dan dalam sekejap, dia
melompat dan memeluk Masachika dengan erat.
“Ya!
Dengan senang hati!”
Setelah
itu, dia menempelkan pipinya pada pipi Masachika, sedikit menjauhkan wajahnya,
dan membisikkan di telinga Masachika.
“Maafin aku ya? Tadi aku agak canggung, ‘kan?”
“Eh?
Ah, tidak apa-apa, kurasa mau bagaimana lagi...”
“Tidak,
bukannnya begitu.
Dengar ya...”
Dengan
senyum malu-malu di telinga Masachika, Maria membisikkan dengan penuh
semangat.
“Di ruang
UKS tadi, kamu berbicara denganku dalam bahasa Rusia, ‘kan? Entah kenapa, itu
mengingatkanku pada masa lalu... membuatku jadi sangat
berdebar-debar.”
Hembusan
napas hangat Maria menyentuh telinga Masachika, dan segera setelah itu, ciuman
yang lebih panas menempel
di pipi Masachika.
“!?”
“Mm...”
Bibir
Maria menjauh seiring dengan bunyi kecupan,
dan pelukan mereka pun terlepas.
【Kalau begitu, sampai jumpa lagi, Sa-kun! Aku menantikannya!】
Kemudian dengan
senyum ceria seperti anak-anak, dia berlari pergi. Masachika menatapnya dengan
terpesona, dan setelah beberapa detik, ia tersadar dan menoleh ke
belakang.
Dirinya merasa lega melihat bahwa sosok
Ayano terhalang oleh pintu otomatis di pintu masuk.
(Baguslah...
Seandainya dia melihat itu, aku pasti
sulit untuk memberikan alasan.)
Entah
karena panik atau karena perbuatan Maria,
seluruh tubuhnya terasa panas, dan keringat mulai mengalir perlahan. Menyadari
hal itu, Masachika menggenggam bagian depan seragamnya dan mengibaskan udara
sambil memeriksa wajahnya di kamera depan ponsel.
(...Baiklah,
tidak ada bekas ciuman yang tertinggal... Fyuh!
Tetap tenang, tetap tenang.)
Masachika terus mengulangi mantra itu dalam hati dan
merapikan ekspresinya. Setelah beberapa detik, ketika ia merasa sudah bisa
berpura-pura tenang, ia keluar dari pintu masuk dan menuju Ayano.
“Maaf,
aku sudah membuatmu menunggu.”
“Tidak
apa-apa, tidak usah khawatir.”
Reaksi
Ayano selalu sama seperti biasanya.
Meskipun dia pasti memiliki pertanyaan tentang majikannya
yang tiba-tiba mengikuti seniornya, dia tidak menunjukkan tanda-tanda ingin
menyelidiki.
“...Ayo kita pulang.”
“Iya.”
Saat
mereka berjalan pulang, Masachika mengamati Ayano dari samping.
(...Sudah kuduga, dia tidak terlalu berbeda
dari biasanya.)
Namun,
entah mengapa, Masachika
merasakan ketidaknyamanan seperti gelisah. Ini hampir seperti intuisi yang
muncul dari hubungan mereka yang lama...
tetapi terasa seperti ada sesuatu yang disembunyikan di balik ekspresi tanpa
emosi itu, seolah-olah dia sedang menahan sesuatu...
“Ayano.”
“Ya.”
“Apa ada sesuatu yang terjadi?”
Masachika
berhenti sejenak dan langsung bertanya kepada Ayano. Dengan asumsi bahwa ada
sesuatu yang terjadi, pertanyaan Masachika yang penuh keyakinan membuat Ayano
menatap majikannya.
Setelah keheningan, dengan nada yang tenang namun
tegas, dia berkata.
“Sebelumnya,
Masachika-sama pernah
berkata kepada saya. Anda ingin saya menjadi pendukung utama Yuki.”
“Eh?
Ah iya.”
“Saya
masih mengingat kata-kata itu dalam hati dan
bertindak berdasarkan itu.”
“...”
Itu adalah
pernyataan tekad Ayano.... dan
sekaligus penolakan.
(Dengan kata lain... dia tidak bisa berbicara denganku
yang merupakan saingannya.)
Masachika
tersenyum sedikit sedih ketika menangkap
kehendak kuat yang tersimpan dalam kata-kata singkat itu.
“Begitu
ya... Aku mengerti.”
“…Terima
kasih atas pengertian Anda.”
“Tidak,
jika memang begitu, tidak ada yang bisa
dilakukan. Karena ini
menyangkut keyakinanmu sebagai pelayan.”
Masachika
menepuk bahunya dengan ringan seakan ingin
memberitahunya untuk tidak khawatir dan mulai berjalan lagi.
Lalu, untuk mengubah suasana, ia berkata dengan nada bercanda.
“Ah,
tapi meskipun kamu seorang pelayan, kamu harus
mengatakannya
dengan tegas jika ada yang tidak kamu sukai,
oke? Tidak perlu mengikuti semua hobi aneh Yuki dan perintah-perintahnya yang
tidak masuk akal, oke?”
“Kebahagiaan
majikan adalah kebahagiaan saya juga. Tidak ada yang tidak
menyenangkan.”
“…Benarkah?
Aku merasa sedikit cemas karena akibat kelakukannya,
pemikiranmu menjadi aneh... Hari ini saja, kamu tidak ragu mengenakan kostum
cosplay mendalam Slippa ...”
“Mendalam,
ya?”
“Ya,
sepertinya ada yang tidak beres denganmu. Apa kamu tidak merasa ada pengurangan
resistensi terhadap eksposur?”
“Saya
belum pernah menunjukkan kulit saya kepada lawan jenis selain Masachika-sama, jadi saya rasa tidak ada
masalah.”
“Eh,
masalahnya bukan begitu...
Apakah itu masalah? Maksudku, jangan menunjukkannya padaku juga kali? Setidaknya tunjukkan sedikit
sikap menyembunyikan?”
“Saya
tidak punya apa-apa untuk disembunyikan dari Masachika-sama."
“Sembunyikan
itu baik-baik... Rasanya kita pernah membicarakan ini sebelumnya...”
“Di
situ, kamu seharusnya menyembunyikannya... Eh, sepertinya kita pernah berdiskusi
tentang ini sebelumnya...”
Percakapan
yang biasa, terasa sedikit aneh namun akrab, terus berlanjut. Namun, di
dalamnya, Masachika merasakan sikap Ayano yang sedikit berbeda, sebuah
ketidaknyamanan yang tidak menyenangkan.
◇◇◇◇
“...”
Setelah
mengantar Masachika pulang, Ayano pulang
ke rumah dengan mobil keluarga Suou dan kini dia duduk sendirian di kamarnya,
menatap ponselnya.
(Benar, semuanya demi... Yuki-sama.)
Setelah
mengingat hal itu di dalam
hatinya, Ayano sempat beberapa kali berpikir dan merasa bimbang, tapi pada akhirnya dia menelepon. Setelah beberapa
dering, suara lembut yang tenang terdengar dari telepon.
“Halo,
Ayanono? Ada apa? Meneleponku pas malam-malam begini.”
“Maaf
mengganggumu di malam
hari, Nonoa-san. Umm—”
Setelah membasahi
bibirnya, Ayano menguatkan tekadnya
dan mulai berbicara.
“Aku
berharap kamu mau
bercerita lebih banyak tentang metode yang kamu
bicarakan tempo hari di mana aku bisa
mencapai masa depan yang kuinginkan...”
