Chapter 4 — Cahaya Bintang Yang Tak Sampai
Setelah
berbicara dengan Hikari-san, aku tidak sanggup
melihat wajah Eito. Ia mungkin
akan kembali ke keluarganya. Eito mungkin tidak akan lagi menjadi pelayanku. Setelah memikirkan kemungkinan itu, aku tidak
bisa melihat wajah Eito secara
langsung. Akhirnya, aku mengirim Eito ke tempat Hikari-san. Mungkin sekarang
dia sedang di rumah Asami.
Kita
perlu membicarakan apa yang akan datang.
(…Ah,
sudahlah. Rasanya bukan seperti aku saja, Tendou Hoshine.)
Sebenarnya,
meskipun aku mengatakan akan berpisah dengan Eito, bukannya berarti ia akan menghilang.
Hanya saja tempat tinggalnya yang akan berubah. Bahkan saat liburan musim panas
pun pernah terjadi. Hanya saja kali ini, tempatnya adalah luar negeri.
Benar.
Mungkin sebaiknya aku juga pindah ke luar negeri. Meskipun tidak perlu
melakukan itu, aku masih bisa pergi menemuinya jika aku mau.
(…Tapi, aku
tidak boleh mengganggunya,
‘kan? Lagipula, ia sudah bisa bertemu kembali
dengan keluarganya
yang terpisah.)
Saat aku
menghela napas dan berbaring di tempat tidur, pintu kamarku diketuk.
…Bukan Eito.
Suara ketukan Eito sangat sopan, dan bahkan dalam keramaian, suaranya sangat
jelas terdengar. Mungkin itu
adalah pelayan Oikawa.
“Ya,
silakan masuk.”
“Ojou-sama, ini saya Oikawa. Ada tamu yang datang.”
“Tamu?
Baiklah… silakan masuk.”
Kira-kira siapa
ya? Siapa pun tidak masalah, asalkan bisa mengalihkan perhatianku.
“Tendou
Hoshine!”
Pintu
dibuka dengan semangat, dan yang masuk adalah Miu. Di belakangnya ada Otoha juga.
“Ah, rupanya kalian berdua… ada apa? Kenapa kalian tiba-tiba menerobos masuk ke rumah orang?”
“Tidak
ada yang istimewa. Hari ini, ‘kan?
Pembicaraan antara Eito-sama dan
Hikari-san.”
“…Kami
datang untuk menanyakan bagaimana hasilnya.”
“Ah,
tentang itu… seharusnya kalian bisa mengirimiku pesan di smartphone.”
“…Kami
tidak melihat pesan yang sudah dibaca.”
Ternyata beneran.
Aku baru ingat bahwa aku meninggalkan smartphone begitu saja. Aku dengan lambat memeriksa layar, dan
notifikasi dipenuhi dengan pesan dari Otoha dan Miu.
“Apa
kalian tidak bertanya langsung kepada
Eito?”
“…Tidak
sopan untuk tiba-tiba bertanya langsung kepada orangnya dalam keadaan tidak
tahu hasilnya.”
“Walaupun
kami yang mengatakannya, masalah keluarga itu sensitif. Jika bisa bergerak
dengan hati-hati, lebih baik begitu.”
Tampaknya
tindakan mereka berdua merupakan
hasil dari perhatian mereka terhadap Eito.
“Kalian terus membicarakan tentang
kepekaan dan hal-hal sensitif, tapi kalian
justru menerobos masuk ke rumahku tanpa janji?”
“…Siapa
yang berusaha mengawasi kencanku dengan Eito menggunakan drone?”
“Siapa
yang menyusup ke rumahku mengenakan kostum
pelayan tanpa izin?”
“Aku
tidak suka mengenang masa lalu.”
Drone? Menyusup tanpa izin? Apa yang mereka
bicarakan?
Aku sama
sekali tidak ada ingatan tentang itu.
“…Jadi, pada akhirnya, bagaimana dengan
Eito?”
“Tampaknya
dia tidak kembali ke rumah.”
“Kalau kalian sedang mencari Eito…
sepertinya ia akan tinggal
di luar negeri bersama adik perempuannya.”
“Lu-Luar negeri!?”
“…Apa itu
asli?”
“Asli. Mungkin sekarang mereka sedang
membicarakan masa depan di rumah mereka.”
Otoha dan Miu mengangkat alis mereka dengan wajah terkejut.
“……Apa-apaan dengan reaksi kalian berdua?”
“……Eito
berbicara dengan adik perempuannya
hari ini, ‘kan?”
“Ya.”
“Jadi,
Eito-sama memutuskan untuk tinggal di luar
negeri segera setelah bertemu Hikari-san hari ini?”
“Ya,
itulah yang kukatakan.”
Otoha dan
Miu saling bertukar pandang. Mereka tampak tidak begitu
yakin.
“……Kedengarannya tidak seperti Eito.”
“Eito-sama yang itu bisa mengambil
keputusan untuk menjauh darimu dengan cepat… sejujurnya, aku tidak bisa
membayangkannya.”
“……Karena
ia kehilangan ingatan?”
“Kalau
itu yang kamu katakan, ya…”
Sepertinya
mereka tidak bisa mengaitkan ini dengan citra Eito yang ada di benak
mereka.
“……Apa
Eito benar-benar tidak ragu?”
“Sepertinya
ia kelihatan ragu, tapi…”
“……Tapi?”
“……Karena
ia tampaknya ragu, jadi aku
mendorongnya.”
Ya. Itu
benar. Akulah yang
mendorongnya.
Ini
bukanlah sesuatu yang perlu disembunyikan, atau
sesuatu yang sulit untuk dikatakan.
“Aku menyuruhnya untuk lebih memilih keluarganya. Tinggal bersama adik perempuannya. Itulah perintah
terakhirku sebagai majikannya
Eito.”
““…………………………””
Meskipun
aku mengatakannya dengan percaya diri, Otoha dan Miu tampaknya tidak setuju.
“……Hoshine,
kamu menyuruh Eito untuk lebih memilih keluarganya?”
“Memang. Dan Eito menuruti kata-kataku. Itu saja.”
“……Begitu ya.”
Reaksinya
sangat minim. Tidak, Otoha memang bukan anak yang menunjukkan reaksi besar,
tapi kali ini reaksi yang ditunjukkan jauh lebih sedikit dari biasanya.
“Jadi?
Apa yang kamu lakukan?”
“Apa
maksudmu...?”
“Kalau
kamu yang seperti biasanya, kamu pasti sudah mengunjungi rumah Asami dan
berpura-pura bertingkah seperti pacarnya Eito-sama.”
“...atau
mungkin sedang mempersiapkan pindah ke luar negeri.”
“......
Hah? Memangnya kalian pikir aku ini apaan?”
“...Ojou-sama yang boros dan sembrono.”
“Penjahat
yang memiliki banyak uang.”
Mereka lancang sekali. Seolah-olah mereka ingin
bilang bahwa aku adalah Ojou-sama
yang tidak masuk akal. Padahal mereka juga tidak jauh berbeda! Apa kalian sudah melupakan semua
kenangan liburan musim panas kalian?
“Aku
berbeda dengan kalian, aku sudah dilengkapi dengan kepekaan dan kelembutan. Pertama-tama, ini adalah
pertemuan kembali dengan keluarga yang terpisah, kan? Seharusnya kita
membiarkannya seperti ini, untuk saat ini.”
Benar.
Kita seharusnya membiarkannya.
“Jika
memikirkan kebahagiaan Eito,
seharusnya memang seperti
itu.”
Kupikir aku
sudah memberitahu mereka. Namun, entah kenapa, suaraku
terdengar seperti sedang
meyakinkan diriku sendiri.
“Yah,
jika kamu merasa puas dengan itu, aku takkan ikut campur.”
“Apaan sih? Jika ada yang ingin kamu
katakan, katakanlah dengan jelas.”
“Kupikir itu
hal yang keterlaluan jika dikatakan pada Tendou
Hoshine.”
Miu, yang
hanya mengatakan apa yang ingin dia katakan, pergi begitu saja dari ruangan
tanpa memberi tahu. Otoha, yang ingin mengikutinya, berbalik ke arahku untuk
terakhir kalinya.
“...aku
merasa iri pada Hoshine.”
Dia
melangkah melewati batas ruangan, tepat di depan pintu.
“Hoshine,
yang bisa dengan bebas mengekspresikan perasaannya kepada orang lain...
terlihat cerah dan bersinar.
Seperti bintang yang bersinar di langit.”
Otoha
yang terpisah di sisi lain menatapku dengan tajam.
“Aku,
Utahime, dulu sering memandangi
bintang-bintang. Tapi sekarang... bahkan ketika aku memandang ke atas,
bintang-bintang tampak redup. Aku merasa itu sedikit... menyedihkan.”
Hanya itu
yang dia katakana sebelum pergi. Otoha mulai melangkah pergi. Miu
juga. Ke depan.
Lebih jauh dari aku yang berada di dalam ruangan.
“...Apa?
Mengatakannya semau kalian.”
Aku tidak
bisa mengejar keduanya. Aku
terjatuh ke tempat tidur dan menyerahkan diriku. Memeluk tubuhku sendiri.
Menutupinya dengan tangan, menahannya, mengurungnya.
Aku
meringkuk dan menahan perasaan yang hampir meluap—lalu memejamkan
mataku.
•❅──────✧❅✦❅✧──────❅•
(Sudut
Pandang Eito)
Dengan
dorongan Ojou, aku menuju rumah Asami di mana Hikari tinggal.
Dalam
perjalanan pulang, Hikari berlari kembali dengan wajah yang penuh senyum.
Karena dia berlari, dia hampir terjatuh, dan secara refleks aku menyokongnya,
lalu dia langsung memelukku.
“Nii-san... Nii-san! Aku sangat senang...!”
“Ah,
ah... aku juga, senang.”
Aku
memandang lembut Hikari yang meneteskan air matanya. Aku
bahkan tidak bisa menangis. Tidak ada setetes air mata
pun yang mengalir di pipiku.
Apa ini
reaksi yang benar sebagai kakak yang tinggal bersama adiknya yang sudah lama terpisah?
(Kurasa
Ojou mungkin sudah pulang sekarang. Aku penasaran apa dia tiba dengan selamat.)
Meskipun
aku seharusnya bisa merasa lebih bahagia karena bisa bersatu
kembali dengan adik perempuanku sampa-sampai
membuatku ingin menangis, tapi pikiranku
malah menghitung rute perjalanan dan waktu tempuh dari tempat mobil jemputan
berhenti sampai ke rumah Tendou,
khawatir tentang keadaan Ojou.
Hatiku
masih hanya memikirkan Ojou.
Jika aku
terus seperti ini, mungkin rasa bersalahku terhadap Ojou bisa hilang.
Setelah
ditinggalkan oleh keluarga, aku menjadi sendirian. Aku tahu betapa dinginnya
kesendirian, merasa ketakutan dan cemas.
Aku tidak
ingin sendirian, jadi aku melayani Ojou
seolah-olah aku bergantung padanya. Aku
memanfaatkan Ojou demi ketenangan hatiku sendiri. Rasa bersalah itu mungkin bisa
hilang...
Jika aku
melupakan semuanya dan menjadi siswa SMA biasa, aku bisa berdiri dengan bangga
di sampingnya...
(...Apa ini alasan aku
memanfaatkan keluargaku
kali ini?)
Memanfaatkan
keluargaku untuk menghilangkan rasa
bersalah. Bukannya itu sama saja dengan saat aku
melayani Ojou karena
tidak ingin sendirian?
Tapi
sungguh, sebagai pelayan keluarga Tendou, sebagai seseorang yang melayani Ojou... tidak. Sekarang aku
sudah...
“Nii-san?”
“Eh?
Oh, maaf... ada apa?”
“Kita
akan segera sampai di rumah.”
“Be-Begitu ya...”
Sekarang
sebaiknya aku tidak berpikir terlalu banyak. Aku tidak boleh menyia-nyiakan
kesempatan yang diberikan oleh Ojou.
Aku harus
fokus pada keluarga di depanku.
Begitu
sampai di rumah Asami, aku memandang bangunan
rumah satu lantai dengan taman yang terlihat bahagia.
Tentu
saja bangunan itu tidak bisa dibandingkan
dengan rumah keluarga Tendou,
tetapi untuk keluarga biasa, ini cukup bagus.
“Eito...”
Setelah
masuk ke dalam rumah,
ibuku menyambutku.
Ibu yang
kutemui setelah beberapa tahun tampak lebih tua dan sedikit lebih kurus
daripada yang kuingat.
“Eito...
maafkan aku.”
Kata-kata
pertama yang diucapkan ibuku adalah permintaan maaf yang disertai air mata. Dia menundukkan kepala dengan
lemah dan bergetar.
Aku
merasa... entah kenapa...
“Aku
tahu kalau aku tidak berhak untuk meminta
maaf... tapi tetap saja...”
“...Tidak
perlu minta maaf, Bu.”
“Tapi,
aku... kamu...”
“Sebagai
remaja sekarang, aku mengerti. Ibu saat itu sedang
terpuruk dan tidak bisa berbuat apa-apa. Itu bukan
salahmu.”
“Maafkan
aku... maafkan aku...”
Air mata
mengalir deras. Dia meminta maaf sambil menangis tersedu-sedu dan
menundukkan kepala, dan aku menghentikannya.
Bohong rasanya kalau aku bilang kalau aku tidak membenci Ibu sama
sekali, tapi hanya hanya
sedikit.
Mempertimbangkan
kondisi ibuku yang sudah sangat tertekan, aku bisa memahami bahwa waktu itu merupakan pilihan hal yang
wajar, dan yang benar-benar bersalah adalah ayahku.
Bahkan ayah pun, keadaan yang menimpanya
adalah sesuatu yang sangat tidak beruntung.
“Maafin aku ya, Eito-kun. Meskipun ini demi kepentinganku sendiri,
tapi tiba-tiba kamu harus tinggal di luar negeri.”
“Jangan
khawatir. Aku baik-baik saja. Berkat pengalaman bekerja sebagai pelayan di
keluarga Tendou,
sepertinya aku bisa berbicara bahasa Inggris."
Ayah tiriku ini merupakan orang yang baik. Dari
penyelidikan yang dilakukan oleh keluarga Tendou,
tidak ada hal mencurigakan, dan mereka tampaknya akan menerimaku dengan senang
hati.
Aku merasa beruntung.
Aku
bahagia.
Akan
tetapi.... meskipun aku terkejut dengan diriku sendiri, hatiku tidak
bergetar sama sekali.
Rasanya seolah-olah
aku hanya mengamati pertemuan kembali dengan keluarga yang telah lama terpisah dari sudut pandang orang luar,
mengikuti alur cerita dengan samar.
Setelah
membicarakan hal-hal ringan tentang kepindahan,
hari ini aku akan menginap di rumah ini. Rumah yang tidak dikenal. Kasur yang
diletakkan di lantai. Pakaian yang dipakai dan baunya terasa seperti barang
orang lain. Rasanya wajar saja karena sebenarnya
sampai saat ini, rumah ini hampir sepenuhnya milik orang lain.
(Jika aku terbiasa, apa lama-lama... tempat ini juga akan
menjadi rumahku?)
Ruangan
yang lampunya dimatikan menjadi gelap gulita. Langit-langit yang tidak
memantulkan satu bintang pun terlihat seperti langit yang tertutup awan.
•❅──────✧❅✦❅✧──────❅•
Sebelum
pindah ke luar negeri, aku sudah dipastikan tinggal di rumah Asami—dan persiapan pindahan berlangsung dengan lancar. Meskipun namanya
pindahan, barang-barang di kamarku sebenarnya tidak banyak, jadi tidak perlu
memanggil jasa angkut.
Belakangan
ini, Ojou tidak banyak bertemu denganku,
tetapi pada hari kepindahan,
dia datang untuk mengantarku.
“…Jadi.
Jaga dirimu baik-baik di sana
ya.”
“…Ya.
Aku akan baik-baik saja.”
Aku tidak
bisa mengucapkan terima kasih padanya.
Hanya sekedar
ucapan selamat tinggal saja tidak
bisa keluar dari mulutku.
Aku
bahkan tidak bisa mengucapkan semoga Ojou
juga baik-baik saja.
Mungkin ini terdengar terlihat tidak sopan
baginya, tapi aku tidak ingin mengucapkan kata perpisahan itu. Ini berbeda dari tugasku sehari-hari. Tidak lagi sebagai
pelayan, bahkan menjauh dari Ojou
pun terasa sangat sulit.
Aku
bahkan tidak ingin mengucapkan kata perpisahan.
(Ini
mungkin... hukuman dari Tuhan.)
Ketika Ojou memerintahkanku untuk kembali ke
keluargaku, bohong rasanya jika aku
mengatakan bahwa aku tidak terkejut.
Apa aku
sudah dibuang oleh Ojou?
Apa Ojou sudah tidak membutuhkanku
lagi?
Apa Ojou tidak akan berada di sampingku
lagi?
Namun,
aku tidak berhak merasa terluka.
Saat itu,
aku merasa bimbang.
Berpura-pura seolah-olah ingatanku tidak kembali dan mencoba memulai kembali
sebagai diriku yang putih bersih.
Kali ini,
aku akan menjadi Yagiri Eito yang baru dan mengulang pertemuan dengan Ojou.
Dengan
melupakan semua yang pernah kulakukan karena
memanfaatkan Ojou, aku ingin berdiri dengan bangga di
sampingnya.
Aku
terjebak dalam pemikiran
yang sangat memalukan seperti
itu.
(Bodoh
sekali... meskipun aku berusaha menjauh, kenyataannya aku terkejut ketika
disuruh menjauh...)
Aku
berusaha terus menipu Ojou.
Aku tidak
berhak merasa terkejut.
...Bahkan sekarang, karena aku belum bisa
mengungkapkan bahwa ingatanku telah kembali, jadi kurasa itu tidak mengubah
fakta bahwa aku menipunya.
(Yah,
tidak masalah...bukan berarti kami tidak akan
pernah bertemu lagi...)
Sebenarnya,
meskipun aku sudah
pindah, aku masih bisa bertemu dengannya di
sekolah.
Kami
bersekolah dari rumah yang berbeda. Kami akan masuk ke kelas dan bertukar sapa.
Kami akan mengobrol santai. Bukan
sebagai majikan dan pelayan, melainkan hanya
sebagai teman sekelas.
Layaknya
siswa SMA biasa yang selama ini kuinginkan.
Aku tidak
dibuang oleh ibuku atau Hikari.
Sekarang
aku memiliki ayah tiri dan ayah baru.
Keluarga
yang memuaskan. Pemandangan yang aku cari.
“Aku merasa senang. Aku bisa menghabiskan
waktu dengan Nii-san.”
Tak ada
yang kurang dari rumah baru ini.
Pertemuan
keluarga yang sempurna.
Tentunya
ini akan mengisi kekosongan yang selama ini menumpuk di hatiku.
“Walaupun
sekarang, aku bisa mengembalikan waktu berharga sebagai saudara."
Namun,
kenapa ya...
Kenapa
rasanya ada lubang besar di hatiku?
Kupikir
aku akan terbiasa dengan rumah ini setelah tinggal di sana cukup lama, tapi
tetap saja aku tak bisa.
Tak ada
yang perlu dikecewakan.
Seharusnya
tak ada.
Kenapa
hatiku begitu gelisah?
•❅──────✧❅✦❅✧──────❅•
“Akhir-akhir
ini, kamu kelihatan sangat murung, ya?”
Sambil
memiringkan kepalanya, Yukimichi menggigit sandwich
yang dibelinya di toko.
Setelah
mengunyah roti, mengisinya hingga penuh, lalu menelannya, ia membasahi mulutnya
dengan jus dalam kemasan kertas.
“Kamu akan pergi ke luar negeri, ‘kan? Kamu akan menjalani
kehidupan baru di tempat baru.”
“Ah...
iya, benar begitu sih.”
Ngomong-ngomong,
aku belum memberitahu Yukimichi tentang ingatanku yang telah kembali.
“Yukimichi...
aku ini orang yang seperti apa sih?”
“Kamu pernah
menanyakan hal itu sebelumnya. Kamu
adalah orang yang sangat tidak peka.”
“Tidak peka
terhadap orang-orang di sekitarku, dan tidak peka
terhadap diriku sendiri. Aku memang seperti itu... ya?”
“Benar.
Tapi, akhir-akhir ini, kau memang terlihat sangat tidak peka.”
Setelah
menghabiskan sandwich, Yukimichi mengumpulkan kertas pembungkusnya dan meremasnya.
“Jelas-jelas kamu tidak baik-baik saja sejak pindah. Dan orang-orang di
sekitarmu juga menyadarinya, termasuk adikmu.”
“Ugh...”
Sepertinya
aku telah membuat mereka khawatir. Dan aku bahkan tidak menyadari bahwa aku
membuat mereka khawatir. Itu memalukan.
“Loyalitasmu
terhadap Tendou-san bukanlah hal sepele. Seluruh hidupmu ada untuk Tendou-san,
dan kamu bangga akan hal itu.”
Setelah
menghabiskan jus dalam kemasan, Yukimichi berjalan menuju tempat sampah
terdekat.
“Aku
sebenarnya cukup menyukai sisi itu darimu. Karena kamu selalu memikirkan
Tendou-san, kata-katamu padaku tidak ada yang bohong. Tidak ada kata-kata
murahan yang hanya untuk menjalin koneksi dengan keluarga Tendou. …Karena itulah, aku bisa berbagi apa saja
denganmu. Tentang cuaca, tentang siapa yang kamu dekati, tentang menu baru di
kedai gyudon, semua obrolan yang tidak ada manfaatnya.”
Ia
kemudian membuang kertas pembungkus dan kemasan jus yang kosong ke tempat
sampah.
“Oleh
karena itu, ceritakan apa saja padaku.
Hal-hal yang tidak bisa kamu ceritakan kepada Tendou-san. Hal-hal sepele maupun yang memalukan. Sekarang, aku
akan jadi tempat sampah untuk semua kebodohan itu.”
“Yukimichi...”
Benar.
Pria yang aku kenal sebagai Kazami
Yukimichi memang orang yang seperti
ini. Ia adalah orang yang bisa
kupercayai. Selalu bisa berbagi kata-kata tanpa beban. Bisa membicarakan apa
saja.
“Sebenarnya...”
Tanpa kusadari, aku mulai berbicara.
Hal-hal
yang bahkan tidak bisa kuceritakan
kepada Ojou. Tidak, justru karena Ojou-lah, aku tidak bisa
membicarakannya.
Kekosongan
yang ada di hatiku.
Ketakutan
akan kesendirian.
Bahwa aku
melayani Ojou karena aku tak ingin sendirian.
Bahwa aku
telah memanfaatkan Ojou.
Bahwa aku
merasa bersalah karenanya, dan berutang budi padanya.
Bahwa aku
ingin melupakan semua itu dan bersikap normal saja.
“Alasan
aku di sini bersama keluargaku sekarang...bukan karena Tendou-san yang
menyuruhku. Aku yakin aku juga memanfaatkan keluargaku. Untuk menjadi orang
normal. Untuk menjadi normal dan bisa berdiri di samping Tendou-san tanpa rasa
bersalah...”
“Mungkin.
Jika untuk melayani Tendou-san, kamu akan memikirkan hal seperti itu. Itulah Eito
yang aku kenal. Namun... memangnya ada masalah dengan
itu?”
“Eh?”
“Cinta
tanpa pamrih memang hal yang
baik. Membantu orang lain tanpa mengharapkan imbalan merupakan kebajikan. ...Tapi jika
tindakan yang terencana dianggap buruk, kurasa itu tidak benar. Pada dasarnya,
manusia pasti bergerak dengan sedikit banyak perhitungan.”
Yukimichi
yang sering berbicara tentang banyaknya orang
yang mendekatinya cuma demi bisa
menjalin koneksi dengan keluarga Tendou, mengungkapkan kata-kata yang
mengejutkan. Mungkin ekspresi di wajahku menunjukkan keterkejutanku. Yukimichi
melanjutkan dengan senyuman pahit.
“Ada
berbagai jenis perhitungan. Misalnya, mengajak pria yang disukai berkencan karena ingin diperhatikan... itu juga bisa dibilang perilaku perhitungan, ‘kan? Bukan cinta tanpa pamrih.
Bagi orang tersebut, ada keuntungan bisa
berkencan dengan orang yang disukai. Tapi apa itu hal yang jelek?”
“…Tidak.”
“Benar,
‘kan? Sebenarnya kamu itu terlalu kaku. Aku mengerti bahwa
sebagai pelayan Tendou-san, kamu harus menjadi yang terbaik. Tapi, Tendou-san
juga bertindak dengan perhitungan dalam kesehariannya. Jadi kamu tidak perlu terlalu memikirkannya,
kan?”
Sepertinya
aku memang memiliki pandangan yang baik terhadap teman-temanku.
Sungguh
menyenangkan memiliki teman dekat seperti Kazami Yukimichi
yang dengan tegas menyatakan hal-hal seperti ini.
“Tapi...
jika begitu, kenapa aku merasa seperti ini...”
Aku
meletakkan tanganku di dada seolah-olah ingin merasakan
sesuatu yang tidak berbentuk dan tidak terlihat.
“Aku
merasa aneh sejak kepindahanku.
Seharusnya aku sudah mendapatkan apa yang aku inginkan. Pertemuan kembali
dengan keluarga. Menjadi siswa SMA biasa. Keluarga yang bahagia... meskipun
begitu, sekarang aku merasa seperti ada lubang besar di dalam dadaku.
Seharusnya aku bisa berdiri dengan bangga di samping Tendou-san.”
Seharusnya
ini seperti mewujudkan mimpiku.
Namun,
ada lubang yang lebih besar dari kekosongan itu.
“Kamu
benar-benar tidak peka terhadap dirimu sendiri, ya? Bukannya itu sudah jelas?”
Dengan
nada keheranan, Yukimichi mengangkat bahunya
dan sekali lagi menyatakan.
“Itu
karena kamu merasa kesepian.”
“Kesepian...
eh?”
“Di-bi-la-ngin,
kamu merasa kesepian karena terpisah dari Tendou-san. Kamu sekarang di luar
negeri. Tidak bisa bertemu dengan mudah seperti sebelumnya, dan jarak fisik
juga sangat jauh.”
“Kesepian...
memangnya aku masih anak-anak?”
“Ya,
berarti kamu memang anak-anak.”
Yukimichi
tersenyum nakal, seperti anak yang usil.
“Ngomong-ngomong,
kita masih siswa SMA, ‘kan?
Lagipula, kamu selalu berada di samping Tendou-san. Tiba-tiba menjadi orang
asing tentu saja membuatmu merasa kesepian.”
Anehnya, ucapan Yukimichi cukup menusuk batinku. Setiap kata dari teman dekatku
mengisi kekosongan yang aku kira tidak ada dasarnya.
“Tendou-san
memerintahkanmu untuk pergi ke keluargamu, kan? Kamu mematuhi perintahnya, tapi tetap saja merasa
kesepian. Itu terlihat jelas bagiku.”
“Kesepian,
ya...”
Kata ‘kesepian’ yang diucapkan terasa sangat
berat.
Seperti
potongan teka-teki yang
akhirnya pas di tempatnya.
“Pria
yang kukenal, 'Yagiri
Eito, pelayan keluarga Tendou,'
adalah tipe pria yang patuh pada perintah. Tapi, sekarang kamu bukan pelayan
Tendou-san lagi, dan kamu tidak memiliki ingatan, ‘kan? Jadi, ada hal lain yang bisa
kamu lakukan, bukan?”
“…Yukimichi,
apakah kamu mungkin menyadarinya? Tentang ingatanku—”
“Apa
yang kamu bicarakan? Yagiri Eito-kun yang sedang
kehilangan ingatan?”
“…Tidak.
Terima kasih.”
Namaku
adalah Yagiri Eito.
Seorang
pelayan yang melayani keluarga kaya, Tendou.
Aku
melayani putri mereka yang bernama Tendou Hoshine.
Namun.
Sekarang,
aku bukan lagi 'pelayan dari
keluarga Tendou', tetapi 'pria
yang kehilangan ingatan, Yagiri Eito'.
Ada
beberapa hal yang bisa kulakukan justru karena aku telah kehilangan ingatanku
sekarang.
